Anda di halaman 1dari 17

“PENYITAAN,PENGUKUHAN DAN EKSEKUSI”

Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Hukum Acara Peradilan Agama

Dosen Pengampu : Eko Setyo Ari Wibowo, M.H.I.

Disusun Oleh:

1. ABDUL MAJID 33030170104


2. MIFTACHUL ULUM 33030170105
3. IREYNS MEILINDA P 33030170108
4. LAELA GUSMIYATI 33030170139
5. MUHAMMAD TUTUR S 33030170109
6. NADIA R A 33030170128

HUKUM TATA NEGARA

FAKULTAS SYARI’AH

Institut Agama Islam Negeri Salatiga

2020

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT, atas segala rahmat-Nya sehingga makalah ini dapat
tersusun hingga selesai. Tidak lupa penulis ucapkan banyak terimakasih atas bantuan dari pihak
yang telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik materi maupun pikirannya.
Tujuan dibuatnya makalah ini adalah selain untuk memenuhi tugas mata kuliah “Hukum
Acara Peradilan Agama” juga untuk berbagi pengalaman dan pengetahuan kepada para pembaca
yang senantiasa membaca makalah yang telah penulis susun sedemikian rupa. Semoga makalah
ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman bagi pembaca, untuk dapat memperbaiki
bentuk maupun menambah isi makalah agar menjadi lebih baik lagi di masa yang akan datang.
Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman penulis, penulis yakin masih
banyak kekurangan dalam makalah ini. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan saran dan
kritik yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

SALATIGA 15 Mei 20

TIM PEYUSUN

BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

2
Penyitaan atau Sita (Beslag) adalah suatu tindakan hukum pengadilan atas benda
bergerak ataupun benda tidak bergerak milik Tergugat atas permohonan Penggugat untuk
diawasi atau diambil untuk menjamin agar tuntutan Penggugat/Kemenangan Penggugat tidak
menjadi hampa. Untuk mempertahankan haknya masing masing pihak itu tidak melampaui
batas batas dari norma yang ditentukan maka perbuatan sekehendaknya sendiri haruslah
dihindari. Apabila para pihak merasa haknya terganggu dan menimbulkan kerugian, maka
orang yang merasa haknya dirugikan dapat mengajukan gugatan kepada pengadilan agama
sesuai dengan prosedur yang berlaku.
Para pihak yang bersengketa dapat memulihkan hak haknya yang telah dirugikan oleh
pihak lain melaui pengadilan, tidak main hakim sendiri mengingat hal hal yang berkenaan
dengan sikap dan kejurusitaan ini merupakan hal yang baru dilingkungan peradilan agama,
terutama dalam hal peraktek pelaksaan yang sering terjadi penyimpangan dari ketentuan
yang berlaku dan penerapan sita yang rumit dan komplek, maka disini kami mencoba
menguraikan beberapa masalah hukum tentang sita dan penyitaan secara sistematis dan logis
sekedar untuk mengingatkan kembali dalam hal pelaksanaannya dilingkungan peradilan
agama.

B. Rumusan Masalah
1. Jelaskan pengertian penyitaan dan tujuan penyitaan !
2. Jelaskan mengenai pengukuhan!
3. Jelaskan pengertian eksekusi!
C. Tujuan
1. pengertian penyitaan dan tujuan penyitaan
2. Mengetahui mengenai pengukuhan.
3. pengertian eksekusi.

3
BAB II

PEMBAHASAN
PENYITAAN, PENGUKUHAN DAN EKSEKUSI
A. Penyitaan

1. Pengertian Penyitaan

Sita (Beslag) adalah suatu tindakan hukum pengadilan atas benda bergerak ataupun
benda tidak bergerak milik Tergugat atas permohonan Penggugat untuk diawasi atau
diambil untuk menjamin agar tuntutan Penggugat/Kemenangan Penggugat tidak menjadi
hampa1.

Pengertian penyitaan menurut Retno Wulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartowinata


untuk menjamin pelaksanaan suatu putusan dikemudian hari, atas barang-barang miliki
Tergugat baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak selama proses perkara
berlangsung terlebih dahulu disita, atau dengan lain perkataan bahwa terhadap barang-
barang yang sudah disita tidak dapat dialihkan, diperjualbelikan atau dipindahkan atau
dipindahtangankan kepada orang lain2.

Pengertian penyitaan menurut M. Yahya Harahap, Penyitaan berasal dari terminology


Beslag (Belanda) dan istilah Indonesia “Beslag” tetapi istilah bakunya ialah sita atau
penyitaan. Pengertian yang terkandung di dalamnya ialah :

a. Tindakan menempatkan harta kekayaan tergugat secara paksa berada ke dalam


keadaan penjagaan (to take into custody the property of a defendant);
b. Tindakan paksa penjagaan (Custody) itu dilakukan secara resmi (official)
berdasarkan perintah pengadilan atau hakim;
c. Barang yang ditempatkan dalam penjagaan tersebut, berupa barang yang
disengketakan, tetapi boleh juga barang yang akan dijadikan sebagai alat
pembayaran atas pelunasan utang debitur atau Tergugat, dengan jalan menjual
lelang (Exetorial Verkoop) barang yang disita tersebut;

1
Wildan Suyuthi, Sita Eksekusi, PT. Tatanusa, Jakarta. 2004, hal 20
2
Retno Wulan S dan Iskandar O, Hukum Acara Perdata dan Praksely, CV Mandar Maju, Bandung, 2002, hal. 98

4
d. Penetapan dan penjagaan barang yang disita, berlangsung selama proses
pemeriksaan sampai ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, yang
menyatakan sah atau tidak tindakan penyitaan itu3.

Dari beberapa pengertian di atas, maka dapat dijelaskan bahwa sita atau

penyitaan adalah :

a. Mengambil atau menahan barang harta kekayaan dari kekuasaan orang lain dilakukan
berdasarkan atas penetapan dan perintah ketua pengadilan atau ketua majelis.
b. Barang-barang yang sudah diletakkan sita tidak dapat dialihkan, diperjualbelikan atau
dipindahkan atau dipindahtangankan kepada orang lain.
c. Sita merupakan tindakan hukum eksepsional, sebagai tindakan hukum yang diambil oleh
pengadilan mendahului pemeriksaan pokok perkara atau mendahului putusan atau
dilaksanakan pada saat pemeriksaan perkara sedang berjalan.
d. Menjamin suatu hak atas barang yang telah diletakkan sita agar tidak dialihkan,
dihilangkan dan dirusak, sehingga dapat merugikan pihak pemohon sita dan diharapkan
agar gugatan penggugat tidak hampa (illusoir) dengan kata lain hanya menang dalam
kertas.

Menurut M. Yahya Harahap bahwa pengabulan penyitaan sebagai tindakan hukum


eksepsional atau pengecualian, maka penerapannya harus dilakukan oleh Ketua Pengadilan
atau majelis hakim dengan pertimbangan yang sangat hati-hati sekali dengan alasan yang
kuat dan didukung dengan fakta yang kuat pula.

Dalam mengabulkan sita hendaknya ketua pengadilan atau majelis hakim sejak awal
sebaiknya sudah dilandasi dengan bukti-bukti yang kuat tentang kemungkinan akan
dikabulkannya gugatan penggugat.

2. Sifat Penyitaan
a. Penyitaan dapat bersifat permanen apabila penyitaan dikemudian hari dilanjutkan dengan
amar putusan menyatakan sita yang telah diletakkan sah dan berharga dilanjutkan dengan
perintah penyerahan kepada penggugat berdasarkan putusan yang telah berkekuatan
3
M.Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, Sinar Grafika, Jakarta, 2007, hal 283

5
hukum tetap, atau apabila penyitaan dilanjutkan kemudian dengan penjualan lelang untuk
melunasi pembayaran hutang tergugat kepada penggugat.
b. Penyitaan dapat bersifat temporer (sementara) apabila penyitaan dikemudian hari
dilanjutkan dengan amar putusan hakim memerintahkan pengangkatan sita. Perintah
pengangkatan sita jaminan yang seperti ini terjadi berdasarkan surat penetapan majelis
hakim pada saat proses persidangan mulai berlangsung, dan bisa juga dilaksanakan oleh
majelis hakim pada saat menjatuhkan putusan ketika gugatan penggugat ditolak.

3. Tujuan Penyitaan
Tujuan penyitaan adalah agar tergugat tidak memindahkanatau membebankan harta
benda yang telah disita kepada pihak ketiga agar benda sitaan tersebut tetap untuk selama
proses pemeriksaan perkara berlangsung sampai perkara tersebut memperoleh putusan
yang berkekuatan hukum tetap atau sampai dengan pelaksanaan putusan (eksekusi).

Dengan adanya perintah penyitaan atas harta tergugat atas harta sengketa, secara
hukum telah terjamin keutuhan keberadaan barang yang disita misalnya di dalam contoh
surat gugatan perkara harta bersama dalam perkara warisan pada bagian penyitaan
biasanya dimohonkan kepada hakim agar dilakukan sita jaminan terhadap barang-barang
yang disengketakan4.

Dari uraian tersebut diatas, penyitaan merupakan upaya hukum agar terjaga keutuhan
harta yang disita sampai putusan hakim dapat dieksekusi, sekaligus menjaga agar gugatan
penggugat pada saat eksekusi, tidak hampa sehingga dengan telah diletakkan sita pada
harta sengketa milik kekayaan tergugat, dan pelaksanaan penyitaan telah didaftarkan dan
diumumkan kepada masyarakat, terhitung sejak tanggal pendaftaran dan pengumuman
sita, sesuai pasal 198 HIR / 213 R. Bg. Telah digariskan akibat hukumnya sebagaimana
diatur dalam pasal 200 HIR / 215 R. Bg yaitu :

a. Demi hukum melarang Tergugat untuk menjual, memindahkan barang sitaan kepada
siapapun
b. Pelanggaran atas itu, menimbulkan dua sisi akibat hukum
1) Akibat hukum dari segi perdata :

4
Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti. Bandung, 2000, hal 57

6
Jika terjadi transaksi jual beli terhadap barang sitaan yang telah diletakkan sita,
maka batal demi hukum.
2) Akibat hukum dari segi pidana :
Jika terjadi transaksi Tergugat menjual barang yang telah diletakkan sita maka
tergugat telah melakukan tindakan kejahatan yang diancam dengan hukuman
pidana penjara maksimal 4 tahun sesuai pasal 31 KUHP.

Dari uraian tersebut di atas, maka semakin jelas tujuan perlunya peletakan sita terhadap
barang yang menjadi obyek sengketa dalam gugatan penggugat, lagi pula ini akan
memudahkan pelaksanaan eksekusi apabila gugatan penggugat terkabulkan dengan
menyatakan sita sah dan berharga.

4. Syarat Penyitaan

1. Sita berdasarkan adanya permohonan

a. Permohonan sita diajukan dalam surat gugatan

Para advokat / kuasa hukum biasanya mengajukan permohonan sita jaminan


diajukan bersama-sama dalam surat gugatan, bentuk dan tata cara permohonan sita secara
tertulis dalam bentuk surat gugatan, sekaligus bersamaan dengan pengajuan gugatan
pokok. Pengajuan permohonan sita yang demikian tidak dapat dipisahkan dari dalil
gugatan pokok kecuali penyitaan harta bersama dengan alasan salah satu pihak
dikhawatirkan melakukan perbuatan yang merugikan dan membahayakan harta bersama
seperti judi, mabuk, boros dan sebagainya. Hal ini diatur dalam Pasal 95 Ayat (1)
Kompilasi Hukum Islam sebagai berikut : “Dengan tidak mengurangi ketentuan Pasal 24
Ayat (2) Huruf c PP. Nomor 9 Tahun 1975 dan Pasal 136 Ayat (2) suami atau isteri dapat
meminta Pengadilan Agama untuk meletakkan sita jaminan atas harta bersama tanpa
adanya permohonan gagasan cerai, apabila salah satu melakukan perbuatan yang
merugikan dan membahayakan harta bersama seperti judi, mabuk, boros, dan sebagainya.

1) Permohonan sita dirumuskan setelah uraian posita/ dalil gugatan


2) Permohonan sah dan berharga diajukan pada petikan kedua

7
3) Permohonan terpisah dari pokok perkara disamping gugatan tentang pokok
perkara, penggugat dapat mengajukan permohonan sita dalam surat yang lain,
atau dapat mengajukan permohonan sita secara lisan, walaupun yang lazim
mengajukan permohonan sita bersamaan dengan gugatan pokok perkara secara
tertulis.

2. Memenuhi tenggang waktu pengajuan sita

Penentuan tenggang waktu pengajuan sita diatur dalam pasal 227 HIR / 261 ayat R. Bg.

a. Ketentuan tenggang waktu yang dibenarkan karena hukum yaitu selama putusan
belum dijatuhkan atau selama putusan belum berkekuatan hukum tetap
b. Sejak mulai berlangsung pemeriksaan perkara di sidang pengadilan sampai putusan
dijatuhkan. Sesuai pasal 227 (1) HIR / 261 ayat 1 R. Bg sebagai : “Selama putusan
belum dijatuhkan”.
c. Selama putusan belum dapat dieksekusi
Dalam pasal 227 (1) HIR / 261 ayat 1 R.Bg juga memuat ketentuan yang berbunyi
“Selama putusan belum dapat dieksekusi (dilaksanakan), selama putusan belum dapat
dilaksanakan untuk mengandung arti yuridis selama putusan yang bersangkutan belum
memperoleh kekuatan hukum yang tetap.

5. Alasan Penyitaan

Berdasarkan pasal 227 HIR / 261 RBG alasan pokok permintaan sita.

a. Ada kekhawatiran atau persengketaan bahwa tergugat mencari akal untuk menggelapkan
atau mengasingkan harta kekayaannya selama proses pemeriksaan perkara sedang
berlangsung.
b. Kekhawatiran atau persangkaan itu harus nyata dan beralasan secara obyektif.Penggugat
harus dapat menunjukkan fakta tentang adanya langkah-langkah tergugat untuk
menggelapkan atau mengasingkan hartanya selama proses pemeriksaan berlangsung,
paling tidak tergugat dapat menunjukkan indikasi objektif tentang adanya daya upaya
tergugat untuk menghilangkan atau mengasingkan barang barangnya guna menghindari
gugatan.

8
B. Pengukuhan

Pada tahun 1937 keluar staatsblad 1937 No. 116. Staatsblad ini mencabut wewenang
yang dipunyai oleh Peradilan Agama dalam persoalan waris dan masalah masalah lain yang
berhubungan dengan benda, terutama tanah. Sejak itulah kompetensi Peradilan Agama hanya
pada masalah perkawinan dan perceraian.
Peradilan Agama pada masa ini tidak dapat melaksanakan keputusannya sendiri,
melainkan harus dimintakan pengukuhan dari Peradilan Negeri. Pengurangan terhadap
kompetensi Peradilan Agama tersebut tentunya mengecewakan masyarakat muslim Indonesia
karena Peradilan Agama pada waktu itu betul betul mereka anggap sebagai lembaga
peradilan layaknya lembaga peradilan, bukan sebagai lembaga agama. Belum lagi pada masa
ini Peradilan Agama hanya dapat menghidupi dirinya sendiri melalui ongkos perkara yang
diterimanya.
Hal ini dilakukan karena pemerintah kolonial tidak pernah mensubsidi Peradilan
Agama untuk pengelolaan administrasinya, termasuk tidak menggaji hakim dan pegawainya.
Kenyataan bahwa hakim dan pegawai Peradilan Agama menerima uang dari mereka yang
menggunakan jasa peradilan inilah yang belakangan dipakai sebagai alat oleh Belanda untuk
mengatakan bahwa Peradilan Agama adalah sarang korupsi.Undang Undang Nomor 14 tahun
1970 merupakan undang undang organik, sehingga perlu adanya undang undang lain sebagai
peraturan pelaksananya, yaitu undang-undang yang terkait dengan Peradilan Umum,
Peradilan Militer, Peradilan tata Usaha Negara, termasuk juga Peradilan Agama.
Namun secara faktual dapat dilihat bahwa pengundangan undangundangilan Agama
adalah yang terakhir dibanding dengan undang undang Peradilan yang lain, yaitu tepatnya 19
tahun setelah Undang Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman disahkan.
Oleh karena itu, hingga tahun 1989, tepatnya sampai disahkan Undang Undang Nomor 7
Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, Peradilan Agama masih belum bisa disebut sebagai
Peradilan yang sesungguhnya, karena Peradilan Agama belum diberi wewenang untuk
menjalankan keputusan yang dibuatnya sendiri, melainkan Pengadilan Agama hanya dapat
mengimplementasikan keputusannya apabila sudah mendapat restu atau izin dari Pengadilan
Negeri dalam bentuk executoirverklaring. Barulah kemudian setelah disahkannya Undang

9
Undang Nomor 7 Tahun 1989 tersebut, Peradilan Agama sudah diberi wewenang untuk
menjalankan keputusan yang dibuatnya sendiri.
Menutut Pasal 63 ayat (2) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,
tiap keputusan pengadilan agama yang sudah mempunyai kekuatan hukum yang pasti perlu
dikukuhkan oleh pengadilan negeri. Pengukuhan (fiat eksekusi) pengadilan negeri terhadap
putusan pengadilan agama ini ditunjuk berdasarkan Undang-Undang Darurat No. 1 Tahun
1951 dan Undang-Undang ini telah dicabut oleh Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana. Peraturan lain yang mengatur tentang pengukuhan (fiat eksekusi) ini
antara lain:
1) Pasal 2 huruf a ayat (3), (4) , (5) dari Ordonantie Stbl. 1882-152

2) Pasal 3 ayat (3), (4) , (5) dari Ordonantie Stbl. 1937-638 dan 639

3) Pasal 4 ayat (3), (4) , (5) dari Peraturan pemerintah Nomor 45 Tahun 1957, LN 1957-999

Namun demikian dengan dikeluarkannya Undang-Undang No. 7 tahun 1989


pengaturan tentang Fiat Eksekusi pengadilan negeri terhadap puutusan pengadilan agama ini
telah dihapuskan. Menurut Pasal 95, 98, dan 103 Undang-Undang ini diatur bahwa peradilan
agama sudah dapat melaksanakan eksekusi atas putusan dan penetapannya sendiri dengan
adanya lembaga juru sita.5

C. Eksekusi
1. Pengertian eksekusi

Pengertian eksekusi menurut M. Yahya Harahap, adalah pelaksanaan secara paksa putusan
pengadilan dengan bantuan kekuatan umum apabila pihak yang kalah (terseksekusi atau pihak
tergugat) tidak mau menjalankan secara sukarela6.

R. Subekti mengatakan, eksekusi adalah upaya dari pihak yang dimenangkan dalam putusan
guna mendapatkan yang menjadi haknya dengan bantuan kekuatan hukum, memaksa pihak yang
dikalahkan untuk melaksanakan bunyi putusan7.
5
Hj. Sulaikin Lubis, Sh., M.h. et al. “ Hukum Acara Perdata Peradilan Agama Di Indonesia. Ed. 1” (Jakarta: Kencana,
2005), hlm. 158-159.
6
M. Yahya Harahap, Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata, (Jakarta : PT. Gramedia, 1989), h. 20
7
Subekti, Hukum Acara Perdata, (Bandung : Bina Cipta, 1989), h. 128

10
Selanjutnya menurut Subekti pengertian eksekusi atau pelaksanaan putusan, mengandung arti
bahwa pihak yang dikalahkan tidak mau melaksanakan putusan tersebut secara sukarela,
sehingga putusan itu harus dipaksakan padanya dengan bantuan kekuatan hukum. Dengan
kekuatan hukum ini dimaksudkan pada Polisi, kalau perlu Polisi Militer (angkatan bersenjata)8.

Dari pendapat para ahli tersebut pada prinsipnya, hanya putusan yang berkekuatan hukum
tetap (in kracht van gewijsde) yaitu putusan yang sudah tidak mungkin lagi dilawan dengan
upaya hukum seperti verzet, banding dan kasasi yang dapat dilaksanakan putusannya.

2. Dasar hukum eksekusi


a. Pasal 195 sampai Pasal 208 dan 224 HIR atau Pasal 206 sampai Pasal 240 dan 258 R.Bg.
b. Pasal 225 HIR/ Pasal 259 R.Bg yang mengatur eksekusi tentang putusan pengadilan yang
menghukum tergugat untuk melakukan sesuatu perbuatan tertentu.
c. Pasal 180 HIR/ Pasal 191 R.Bg yang mengatur pelaksanaan putusan secara serta merta
(uitvoerbaar bij voorraad).
d. Pasal 1198 KUH Perdata yang menyatakan bahwa hipotik merupakan hak kebendaan yang
tetap melekat di atas benda hipotik ditangan siapa benda itu berada.
e. Peraturan Lelang Nomor 189 Tahun 1908

3. Asas-asas eksekusi
a. Putusan yang akan dieksekusi adalah putusan yang telah Berkekuatan Hukum Tetap (BHT).
b. Putusan yang tidak dijalankan secara sukarela.
c. Putusan yang bersifat kondemnator.
d. Eksekusi atas perintah Ketua Pengadilan Agama dan di bawah pimpinan Ketua Pengadilan
Agama.
e. Eksekusi harus sesuai dengan amar putusan.

4. Jenis-jenis eksekusi

Ada 3 jenis eksekusi:

a. Eksekusi membayar sejumlah uang :

8
Ibid, h. 13

11
Seseorang dihukum untuk membayar sejumlah uang apabila seseorang tidak dengan
sukarela memenuhi isi putusan dimana ia dihukum untuk membayar sejumlah uang, maka
jika sebelum putusan dijatuhkan telah dilaksanakan sita jaminan maka sita jaminan itu
setelah dinyatakan sah dan berharga secara otomatis menjadi sita eksekutorial. Kemudian
eksekusi dilakukan dengan cara melelang barang milik orang yang dikalahkan, sehingga
mencukupi jumlah yang harus dibayar menurut putusan hakim dan ditambah dengan semua
biaya sehubungan dengan pelaksanaan putusan tersebut.

Sita eksekutorial ada dua yakni :

1) Sita eksekutorial sebagai kelanjutan dari sita jaminan


2) Sita eksekutorial yang dilakukan sehubungan dengan eksekusi karena sebelumnya
tidak ada sita jaminan.

Eksekusi membayar sejumlah uang misalnya menjual rumah dengan cara lelang rumah
tereksekusi, jika tereksekusi tidak mau menyerahkan rumah kepada pemenang lelang, maka
eksekusi membayar sejumlah uang dilanjutkan dengan eksekusi riil berupa pengosongan
rumah.

b. Eksekusi melaksanakan suatu perbuatan Pasal 225 HIR/ 259 R.Bg :

Seseorang dihukum melaksanakan suatu perbuatan, Maksud Pasal 225 HIR/ 259
R.Bg yaitu sebagai berikut : Jika seseorang dihukum untuk melakukan suatu perbuatan, tidak
melakukan perbuatan itu dalam waktu yang ditentukan oleh hakim, maka bolehlah pihak
yang dimenangkan dalam putusan hakim itu meminta kepada pengadilan dengan pertolongan
ketuanya, baik dengan surat, baik dengan lisan supaya kepentingan yang akan didapatnya,
jika keputusan itu diturut, dinilai dengan uang yang banyaknya harus diberitahukannya
dengan pasti, jika penilaian itu dengan lisan, maka hal itu harus dicatat.

Sebagai contoh seseorang dihukum untuk melakukan suatu perbuatan misalnya


memperbaiki pagar, saluran air dan memasang pipa gas. Perbuatan ini tidak dapat
dilaksanakan paksa tetapi dapat diganti dengan membayar uang.

c. Eksekusi riil Pasal 1033 RV

12
“Jikalau putusan hakim yang memerintahkan pengosongan suatu barang yang tidak bergerak,
tidak dipenuhi oleh orang yang dihukum, maka ketua akan memerintahkan dengan surat
kepada seorang Juru sita supaya dengan bantuan alat kekuasaaan negara barang itu
dikosongkan oleh orang yang dihukum serta kekuasaannya dan segala barang
kepunyaannya”.

Penghukuman melakukan suatu perbuatan sebagaimana diatur dalam Pasal 225 HIR/
259 R.Bg. Contoh orang dihukum memperbaiki pipa gas, karena yang bersangkutan tidak
melaksanakan, maka penggugat dapat mengajukan ke pengadilan sehingga orang tersebut
dapat dihukum mengganti membayar sejumlah uang. Dengan demikian eksekusi riil berubah
menjadi eksekusi membayar sejumlah uang.

Eksekusi riil artinya eksekusi nyata, misalnya :

1) Pembongkaran
2) Penyerahan
3) Pengosongan

Disamping ada tiga jenis eksekusi sebagaimana tersebut di atas ada eksekutorial verkoop
yakni eksekusi riil terhadap barang yang dijual lelang atas pembayaran hutang. Sebagai contoh
orang yang kena lelang enggan mengosongkan untuk meninggalkan barang yang dilelang, hal ini
diatur dalam Pasal 200 (1) HIR/ 218 (2) R.Bg.

Caranya, orang yang telah memenangkan lelang mengajukan permohonan kepada ketua
pengadilan agar yang kena lelang segera mengosongkan kemudian ketua pengadilan akan
mengeluarkan surat perintah kepada Juru sita agar segera orang yang kena lelang segera
mengosongkan. Pengosongan tersebut meliputi diri, ruang yang kena lelang, keluarga, serta
barang-barangnya. Pelaksanaan pengosongan dapat dilakukan dengan bantuan kekuatan umum.

Bagaimana dengan putusan pengadilan agama tentang pembagian harta warisan dan pembagian
harta bersama? Bagaimana cara penyelesaiannya? Apakah dengan eksekusi riil atau dengan
eksekusi melaksanakan suatu perbuatan dan atau dengan eksekusi membayar sejumlah uang
dengan penjualan secara lelang? Hal tersebut secara tegas belum ada dasar hukumnya
dikarenakan masing-masing pihak sama-sama memiliki. Namun demikian yang paling tepat

13
adalah melalui eksekusi membayar sejumlah uang dengan cara penjualan secara lelang yang
kemudian hasil penjualan tersebut dibagikan kepada pihak-pihak sesuai isi amar putusan hakim.

14
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Penyitaan (Beslag) adalah suatu tindakan hukum pengadilan atas benda bergerak ataupun
benda tidak bergerak milik Tergugat atas permohonan Penggugat untuk diawasi atau
diambil untuk menjamin agar tuntutan Penggugat/Kemenangan Penggugat tidak menjadi
hampa.
Sifat Penyitaan :
1) Penyitaan dapat bersifat permanen

2) Penyitaan dapat bersifat temporer (sementara)

2. Pengukuhan, setelah masalah penyitaan yg ada di pengadilan agama disahkan dulu Di


Pengadilan Negeri, lalu bisa ditindaklanjuti untuk eksekusi. Tapi karena ada UU no 8
tahun 1981 pengukuhan tidak lagi digunakan
3. Eksekusi menurut R. Subekti mengatakan, eksekusi adalah upaya dari pihak yang
dimenangkan dalam putusan guna mendapatkan yang menjadi haknya dengan bantuan
kekuatan hukum, memaksa pihak yang dikalahkan untuk melaksanakan bunyi putusan.

Dasar Hukum Eksekusi


a. Pasal 195 sampai Pasal 208 dan 224 HIR atau Pasal 206 sampai Pasal 240 dan 258 R.Bg.

b. Pasal 225 HIR/ Pasal 259 R.Bg yang mengatur eksekusi tentang putusan pengadilan yang
menghukum tergugat untuk melakukan sesuatu perbuatan tertentu.

c. Pasal 180 HIR/ Pasal 191 R.Bg yang mengatur pelaksanaan putusan secara serta
merta(uitvoerbaar bij voorraad).

Asas-Asas Eksekusi
a) Putusan yang akan dieksekusi adalah putusan yang telah Berkekuatan Hukum Tetap
(BHT).
b) Putusan yang tidak dijalankan secara sukarela.

15
c) Putusan yang bersifat kondemnator.

d) Eksekusi atas perintah Ketua Pengadilan Agama dan di bawah pimpinan Ketua Pengadilan
Agama.

e) Eksekusi harus sesuai dengan amar putusan.

16
DAFTAR PUSTAKA

Wildan Suyuthi, Sita Eksekusi, PT. Tatanusa, Jakarta. 2004, hal 20


Retno Wulan S dan Iskandar O, Hukum Acara Perdata dan Praksely, CV Mandar Maju,
Bandung, 2002, hal. 98
M.Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, Sinar Grafika, Jakarta, 2007, hal 283
Subekti, Hukum Acara Perdata, (Bandung : Bina Cipta, 1989), h. 128
Ibid, h. 13
Hj. Sulaikin Lubis, Sh., M.h. et al. “ Hukum Acara Perdata Peradilan Agama Di Indonesia. Ed.
1” (Jakarta: Kencana, 2005), hlm. 158-159.
M. Yahya Harahap, Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata, (Jakarta : PT.
Gramedia, 1989), h. 20
Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti. Bandung, 2000, hal
57
M.Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, Sinar Grafika, Jakarta, 2007, hal 283

17

Anda mungkin juga menyukai