Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

Dinamika Status Muslim, Ahl Kitab, Dzimmi dalam Hukum


Kewarganegaraan Modern
Untuk Memenuhi Tugas Fiqih Siyasah Kontemporer
Dosen Pengampu :
Habib Luqman Hakim, M.H.I

Disusun Oleh :

Dwi Santoso (12103193054)


Falah Izzatul Haq (12103193012)
Irma Duwi Sari (12103193017)

SEMESTER 5
JURUSAN HUKUM TATA NEGARA KELAS5A
FAKULTAS SYARIAH DAN ILMU HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SAYYID ALI RAHMATULLaH


TULUNGAGUNG

Oktober 2021
KATA PENGANTAR
Segala puji syukur senantiasa penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
memberinya limpahan rahmat, taufiq serta hidayah-Nya, sehingga penulis dapat
menyelesaikan makalah ini dengan baik dan lancar. Sholawat dan salam semoga tetap Allah
limpahkan kepada Nabi Muhammad SAW, keluarga, sahabat serta pengikut setia ajarannya.

Makalah ini sebagai salah satu tugas mata kuliah Fiqih Siyasaym Kontemporer. Penulis
menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak.
Karena itu penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya terutama
kepada yang terhormat :

1. Prof.Dr. H. Maftukhin, M. Ag. selaku Rektor UIN Sayyid Ali Rahmatullah


Tulungagung yang telah memberi kesempatan belajar dan menuntut ilmu di UIN
Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung.
2. Dr.H. Ahmad Muhtadi Anshor, M.Ag. selaku Dekan Fakultas Syariah dan Ilmu
Hukum yang bekerja keras dan mengatur fakultas kami.
3. Dr. Hj. Nur Fadilah M.H. selaku ketua jurusan Hukum Tata Negara yang telah
mendukung dan memotivasi kami di jurusan ini.
4. Habib Luqman Hakim,M.H.I.selaku dosen pengampu mata kuliah “Fiqih Siyasah
Kontemporer“ yang memberikan pengarahan dan pemahaman sehingga makalah ini
dapat terselesaiakan.
5. Teman – teman kelas Hukum Tata Negara 5-A yang memberikan semangat kepada
kami.

Dengan adanya makalah ini kami berharap dapat membantu para pembaca untuk
mengetahui mengenai “Dinamika Status Muslim, Ahl Kitab, Dzimmi dalam Hukum
Kewarganegaraan Modern” yang dapat membantu mahasiswa hukum untuk memahami
“Dinamika Status Muslim, Ahl Kitab, Dzimmi dalam Hukum Kewarganegaraan Modern”.
Makalah ini kami susun masih jauh dari kata sempurna, untuk itu kami perlu kritik saran
yang dapat menyempurnakan makalah ini.

Tulungagung, Oktober 2021

Penyusun

2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...............................................................................................................2

DAFTAR ISI..............................................................................................................................3

BAB I.........................................................................................................................................4

PENDAHULUAN......................................................................................................................4

A. Latar Belakang................................................................................................................4

B. Rumusan Masalah...........................................................................................................4

C. Tujuan Penulisan.............................................................................................................4

BAB II........................................................................................................................................5

PEMBAHASAN........................................................................................................................5

A. Definisi Ahl al kitab, Muslim dan Dahimmi...................................................................5

B. Dinamika status Ahl Khitab, Muslim dan Dzimmi dalam hukum kewarganegaraan
modern....................................................................................................................................7

BAB III.....................................................................................................................................15

PENUTUP................................................................................................................................15

Kesimpulan...........................................................................................................................15

DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................16

3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Konsep dalam kewarganegaraan secara klasik menurut pandangan islam
dibagi kedalam dua kelompok atau golongan, yakni golongan muslim dan dzhimmi.
Dalam ilmu fiqih sendiri maupun politik islam, dzhimmi merupakan warga negara
non muslim dalam suatu negara islam yang mendapatkan perlindungan serta
keamanan. Dalam hal ini, dzhimmi mendapatkan sebuah perlakuan yang berbeda
dengan warga negara muslim baik dalam hak, maupun dalam kewajiban yang
diterimanya. Sebagai warga negara, dzhimmi tidak dapat menduduki posisi strategis
dalam pemerintahan, diwajibkan membayar jizyah serta sederet kewajiban yang
memang merupakan kompensasi atas hak-hak yang dimilikinya sebagai warga negara.
Warga negara dzhimmi tersebut mendapatkan sebuah perlakuan yang berbeda. Warga
negara dzhimmi tidak boleh membangun rumah yang lebih tinggi dari rumah seorang
muslim dan begitu juga tempat ibadah mereka. Mereka tidak diperbolehkan
mendirikan gereja baru, tidak boleh memperlihatkan salib, dan tidak boleh berdoa
sambil membunyikan lonceng dengan keras. Selain itu mereka juga tidak boleh
menyerang agama islam dan menghinda Nabi atau memperlihatkan sikap kurang
hormat kepada nabi dan al-Qur’an, tidak boleh mengancam jiwa kaum muslimin dan
mengancam miliknya, membujuk umat islam meninggalkan agamanya, tidak boleh
menangisi keluarganya yang meninggal dengan keras, dan kuburannya harus jauh dari
permukiman kaum muslimin.1
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Definisi dari ahl kitab, muslim dan dzhimmi?
2. Bagaimana dinamika status dari Ahl Khitab, Muslim dan Dzimmi dalam hukum
kewarganegaraan modern?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui definisi dari ahl kitab, muslim dan dzhimmi.
2. Untuk mengetahui dinamika status dari Ahl Khitab, Muslim dan Dzimmi dalam hukum
kewarganegaraan modern.

Try Wiganda Irfan, Konsep Kewarganegaraan Klasik dan Modern, Jurnal Of Moral Civic Education, Vol. 2,
1

No. 1, hlm. 38.

4
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Ahl al kitab, Muslim dan Dahimmi
1. Ahl Kitab

Konteks penafsiran tentang Ahlul al-Kitab yang berkembang di kalangan umat


Islam selama ini, maka terlintas dalam gambaran kita bahwa yang dimaksud Ahlul al-
Kitab hanyalah komunitas Yahudi dan Nasrani saja. Akan tetapi belakangan ada
sebagian mufasir memasukkan komunitasMajusi ( Zoroaster ) dan Shabi’in sebagai
bagian dari Ahlul al- Kitab. Di luar komunitas itu dianggap bukan sebagai Ahlul Kitab.

Menjelaskan pengertian Ahlul Kitab terlebih dahulu diperlukan penjelasan secara


terpisah dari dua kata tersebut,yaitu Ahlul dan Kitab. Secara literal, kata Ahlul
mengandung pengertian ramah, senang atau suka. Ada juga yang mendefinisikan Ahlul
yang berarti orang yang tinggal bersama dalam suatu tempat tertentu.2 Selain itu, kata
Ahlul al-Kitab (Ahl al kitab) berasal dari bahasa Arab. Jika kata itu di Indonesiakan,
maka dibaca dan ditulis Ahlul al-Kitab. Hal ini untuk lebih memudahkan terjemahan.
Kata Ahlul itu sendiri dipergunakan untuk menunjuk kepada sesuatu yang mempunyai
hubungan yang sangat dekat, seperti ungkapan Ahl al-Rajul yaitu orang yang
menghimpun mereka, baik karena hubungan nasab maupun agama, atau hal-hal yang
setara dengannya, seperti propesi,etnis dan masyarakat atau komunitas.

2. Kaum Muslim

Ada dua persyaratan sebuah dasar kewarganegaraan yang telah ditetapkan dalam
al-Qur’an (QS. al-Anfal: 72), yaitu: beriman dan penduduk asli dalam suatu negara Islam
atau yang berdomisili di negara Islam. Seseorang yang meskipun beragama Islam, belum
menghentikan ketaatannya terhadap negara non-Islam atau belum berhijrah ke negara
Islam, tidak dapat dikatakan sebagai warga negara Islam. Sebaliknya, semua orang yang
beriman, mereka yang dilahirkan di negara Islam atau telah berhijrah ke negara Islam,
mereka merupakan warga negara Islam yang menjadi saudara satu sama lain. Warga
negara muslim terdapat beban dan tanggung jawab terhadap proses kehidupan dan tradisi
Islam terbaik. Karena mereka yang dapat menegakkan hukum-hukumnya secara
keseluruhan serta memerintahkan untuk melaksanakan semua kewajiban agama, moral,

2
Muhammad Galib, Ahl Al Kitab, Maknadan cakupannya, (Jakarta : Paramadina, 1998), hlm. 17-18.

5
budaya, sosial dan politik. Negara membebani mereka semua tugas dan kewajiban serta
meminta pengorbanan untuk membela dan mempertahankan kemerdekaannya.

3. Kaum Dzimmi

Dzimmi (ahl al-dzimmah) adalah sebagai penduduk non-Muslim yang tinggal di


kawasan negara Islam yang wajib melaksanakan hukum Islam dan menetap untuk
selamanya tanpa melihat dari agama dan kepercayaan mereka. Mereka terdiri dari orang
Kristen, Yahudi, Majusi atau orang-orang penganut sembahan yang lain atau orang-orang
yang tidak mempunyai kepercayaan pada agama sama sekali (atheis).Tetapi mereka tetap
mendapatkan jaminan keamanan atas jiwa dan harta mereka. Mereka dipandang sama
dalam kedudukan dengan kaum Muslimin. Islam meyamakan kaum Muslimin dengan
mereka hanya dalam sebuah kemanusiaan. Pada soal-soal yang berhubungan dengan
akidah (kepercayaan) diberikan kebebasan untuk memeluknya. Apabila menyamakan
mereka dengan kaum Muslimin merupakan bentuk ketidakadilan. Tidak adanya paksaan
bahwa non Muslim memeluk atau masuk Islam.

Seseorang menjadi dzimmi karena adanya sebuah perjanjian keamanan yakni


dapat menetap selamanya di dar al-Islam. Ada dua sebab yang menjadikan seorang non
Muslim menjadi dzimmi: pertama, non Muslim yang memasuki kawasan Islam dan
tinggal untuk selamanya serta meminta jaminan keaman. Kedua, apabila terjadi perang
terhadap Islam dan kaum Muslimin kemudian mereka berhasil dikalahkan oleh kekuatan
Islam maka mereka tetap mendapatkan jaminan keamanan serta tetap berada pada agama
dan berdiam di negara mereka. Di sini pemerintah Islam akan melindungi mereka dari
setiap serangan maupun hinaan dari manapun datangnya. Ahl al-dzimmah diwajibkan
membayar jizyah berdasarkan firman Allah Swt dalam QS. at-Taubat: 29.

Artinya: “Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak
(pula) kepada hari kemudian dan mereka tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan
oleh Allah dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah),
(yaitu orang-orang) yang diberi al-Kitab sampai mereka membayar jizyah dengan patuh,
sedang mereka dalam keadaan tunduk.”

Di dalam ayat al-Qur’an QS. at-Taubat: 29 tersebut di atas yang diperbolehkan


menjadi dzimmi yaitu orang-orang yang tergolong dalam ahl al-kitab (orang-orang
Yahudi dan Kristen), ditambah dengan sebuah ketentuan al-sunnah membolehkan
menerima jizyah dari orang-orang Majusi (Zoroaster). Oleh karena itu, jizyah ini dapat

6
diambil dari setiap orang, yaitu semua golongan dzimmi baik itu ahl al-kitab atau orang
Majusi, atau golongan yang lain. Selain Muslim dan dzimmi, ada lagi golongan lain yang
juga diperbolehkan masuk dalam kawasan Islam. Golongan ini yaitu penduduk kawasan
perang (dar al-harb) yang beragama Islam, dan masuk dalam kawasan Islam untuk
sementara waktu. Mereka mendapatkan sebuah jaminan keamanan atas harta dan jiwa
mereka. Tetapi setelah waktu perjanjian itu habis maka ia harus segera meninggalkan
kawasan Islam dan dia tidak mendapatkan jaminan keamanan, terkecuali kalau mereka
ingin menetap di kawasan Islam selamanya.3

B. Dinamika status Ahl Khitab, Muslim dan Dzimmi dalam hukum


kewarganegaraan modern.
1. Ahl Kitab
Dalam Al-Qur’an hal-hal mengenai ahl kitab telah disebut sebanyak 31 kali. Ahl
kitab juga disebutkan dalam bahasa yang berbeda yang memiliki makna dari ahl kitab
itu dalam sejumlah ayat al-Qur’an. Tak hanya pada ayat alQur’an pembahasan
mengenai ahl kitab juga terdapat pada hadis-hadis Nabi, ucapan-ucapan para sahabat
dan tabi’in hingga kitab-kitab hukum Islam yang ditulis oleh para ulama hingga saat
ini. Dalam sejarah perkembangan Islam di zaman Nabi Muhammad, adanya konsep
Ahli Kitab tersebut tidaklah begitu mengejutkan. Sejarah mencatat sebelum Islam
disiarkan oleh Nabi, sudah ada agama-agama lain yang berkembang di sekitar Arabia
saat itu, khususnya agama Yahudi dan Kristen yang diidentifikasi sebagai Ahli Kitab.
Karenanya wajar apabila Islam memberikan respon terhadap eksistensi agama-agama
yang telah terlebih dahulu ada tersebut.
Nabi Muhammad menyatakan bahwa Islam merupakan kontinuitas dari agama-
agama sebelumnya, dan bahwa dirinya hanyalah salah seorang di antara Rasul- Rasul
Allah yang diutus-Nya ke dunia ini. Dengan demikian, konsep Islam tentang Ahli
Kitab merupakan suatu respon terhadap realitas keagamaan yang plural di satu pihak,
dan peneguhan identitas teologis agama Islam di pihak lain. Terdapat beberapa
kecenderungan yang berkembang dalam menelaah konsep Ahli Kitab ini. Salah
satunya adalah kajian-kajian yang mencoba untuk melihat konsep Ahli Kitab sebagai
kata kunci dari negosiasi yang dilakukan Nabi dengan tokoh-tokoh agama Yahudi dan
Nasrani. ada yang mencoba untuk menunjukkan bahwa Islam itu tidak otentik karena
isi al- Qur’an hanyalah salinan dari kitab suci Yahudi dan Nasrani. Tidak

3
Ibid, hlm.39-40.

7
mengeherankan bahwa kecenderungan semacam ini berkembang di kalangan orientalis
Barat yang lebih dekat pada, jika bukan penganut, agama Kristen dan Yahudi. Di
kalangan sarjana Muslim, tentu saja pandangan-pandangan orientalis itu ditanggapi
dengan kritis.
Selain itu, di kalangan sarjana Muslim berkembang juga kecenderungan
apologis dalam membicarakan konsep Ahli Kitab. Misalnya mereka mengatakan
bahwa sikap Islam terhadap Ahli Kitab ternyata jauh lebih baik ketimbang sikap
Yahudi dan Kristen terhadap Islam. Beberapa cuplikan sejarah Islam yang dicomot
sana-sini dipakai untuk menjustifikasi pandangan ini, sementara kasus-kasus sejarah
lainnya yang diskriminatif terhadap Ahli Kitab tidak dikemukakan. Wacana tentang
Ahli Kitab yang dikemukakan oleh para pemikir Muslim Indonesia juga banyak yang
berkecenderungan apologis. Selain itu, meskipun wacana tentang Ahli Kitab bersifat
teologis, konteks sosial politik di Indonesia sangatlah berpengaruh karena secara
tersirat ataupun tersurat wacana itu mengimplikasikan suatu pendirian kaum Muslim
dalam menyikapi eksistensi agama-agama lain di negeri ini. Lebih dari itu, di kalangan
Muslim tertentu, wacana tentang Ahli Kitab bahkan berkembang begitu jauh menjadi
sebuah teori tentang konspirasi politik musuh-musuh Islam.
Adanya kebijakan agama yang diakui itu kemudian menimbulkan masalah,
antara lain ketika kaum Muslim menuntut agar kegiatan missi tidak boleh ditujukan
kepada penganut salah satu agama yang diakui. Dalam hal ini konsep Ahli Kitab
dipakai untuk menunjukkan bahwa Islam mendudukkan orang Kristen lebih tinggi
daripada kaum animis. Masalah lainnya muncul dalam kaitannya dengan kawin antar
agama. Meskipun ada pendapat bahwa lelaki Muslim boleh kawin dengan wanita Ahli
Kitab, para ulama kemudian justru melarang perkawinan tersebut karena alasan
menghindari mudarat. Melihat adanya kebuntuan di atas, para pemikir Muslim
Indonesia mencoba untuk memperluas konsep Ahli Kitab hingga merangkul semua
agama yang diakui di negara ini. Ini nampaknya bertujuan agar kaum Muslim
mendapatkan justifikasi teologis untuk menerima kesetaraan posisi penganut agama
lain di Indonesia, termasuk dalam masalah perkawinan antar agama. Lebih jauh lagi
ada upaya untuk menegaskan bahwa non-Muslim Indonesia bukanlah warga negara
kelas dua, melainkan setara dengan kaum Muslim dengan menghadapkan konsep fiqh
klasik mengenai dzimmi dan mu’āhid. Di sisi lain, penolakan sebagian kaum muslim
terhadap ide-ide kesetaraan ini juga cukup keras. Keengganan membuka diri kepada
non-Muslim tersebut kemudian dijustifikasi dengan teori-teori konspirasi Ahli Kitab.

8
2. Kaum Muslim
Agama dan politik tidak dapat dipisahkan, karena menurut pemahaman sebagaian
besar pemeluk Islam, Kitab Suci al-Qur’an memperlakukan kehidupan manusia
sebagai suatu keseluruhan yang organik. Artinya, semua bidang kehidupan manusia
harus dibimbing oleh petunjuk-petunjuk yang bersumber dari al-Qur’an, termasuk di
dalamnya adalah kehidupan politik. Bahkan al-Qur'an mengharuskan umat Islam
sebagai komunitas yang menyerukan kebaikan dan mencegah kemungkaran, misalnya
disebut dalam QS. Āli ‘Imrān ayat 104.
Kewarganegaraan memiliki dua persyaratan dasar kewarganegaraan yang telah
ditetapkan dalam al-Qur’an (QS. al-Anfal: 72), yaitu: beriman dan penduduk asli
dalam suatu negara Islam atau yang berdomisili di negara Islam. Seseorang yang
meskipun beragama Islam, belum menghentikan ketaatannya terhadap negara non-
Islam atau belum berhijrah ke negara Islam, tidak dapat dikatakan sebagai warga
negara Islam. Sebaliknya, semua orang yang beriman, mereka yang dilahirkan di
negara Islam atau telah berhijrah ke negara Islam, mereka merupakan warga
negara Islam yang menjadi saudara satu sama lainnya.4
Warga negara muslim memiliki beban dan tanggung jawab terhadap proses
kehidupan dan tradisi Islam terbaik. Karena mereka yang dapat menegakkan
hukum-hukumnya secara keseluruhan serta memerintahkan untuk melaksanakan
semua kewajiban agama, moral, budaya, sosial dan politik. Negara membebani
mereka semua tugas dan kewajiban serta meminta pengorbanan untuk membela dan
mempertahankan kemerdekaannya.
Pada zaman modern, terutama setelah diumumkannya deklarasi hak asasi
manusia, sistem kenegaraan di dunia berubah secara signifikan. Penaklukan atau
ekspansi menjadi hal yang sangat dicela di dunia. Kebebasan individu dari keterjajahan
sangat dijunjung tinggi. Hal ini berdampak besar kepada pola kewarganegaraan
seseorang dalam sebuahnegara. Kewarganegaraan seseorang sudah tidak didasarkan
kepada kesukuan, ras, dan bahkan agama. Seseorang akan menjadi warga negara jika
dia dinyatakan sah secara hukum suatu negara sebagai warga negara.
Kewarganegaraan juga dapat diperoleh dengan cara permohonan kepadanegara yang
bersangkutan, tanpa memandang suku, ras, atau agamanya. Proses tersebut dalam
negara modern populer dengan istilah naturalisasi.

4
Muhtadi, A. (2013). DAR AL-ISLAM, DAR AL-HARB, DAR AL-SHULH Kajian Fikih Siyasah. Episteme,
hlm.8.

9
Dasar menetapkan kewarganegaraan negara modern bukanlah ideologi, namun
faham sekuler tentang persamaan dan kebebasan semua manusia tanpa membedakan
agamanya, yang mana faham tersebut dipelopori pandangan filsafat para filsud abad
ke-18,5 dan setiap negara mempunyai kebebasan dan kewenangan untuk menentukan
asas kewarganegaraan mana yang hendak dipergunakannya.6 Dalam menerapkan asas
kewarganegaraan ini dikenal dua pedoman, yaitu asas kewarganegaraan berdasarkan
kelahiran dan asas kewarganegaraan berdasarkan perkawinan. Dari sisi kelahiran, ada
dua asas kewarganegaraan yang sering dijumpai, yaitu ius soli (tempat kelahiran)dan
ius sanguinis (keturunan). Sedangkan dari sisi perkawinan dikenal pulaasas kesatuan
hukum dan asas persamaan derajat.7
3. Kaum Dzimmi
Dzimmi termasuk dalam warga negara dan juga mendapatkan perlakuan yang
yang berbeda dengan muslim dan kewajiban yang diterima dalam kapasitas sebagai
warga negara mereka juga tidak dapat menduduki posisi dalam pemerintahan, serta
diwajibkan membayar jizyah dan mendapatkan beberapa kewajiban yang merupakan
kompensasi dari hak yang dimiliki sebagai warga negara.8 adanya perlakuan yang
diterima perlakuan baik maupun tidak baik, tidak hanya sebatas dalam kehidupan
bermasyarakat mereka mendapatkan perlakuan tentang rumah mereka juga tidak boleh
lebih tinggi dari orang muslim serta tempat ibadah mereka. Mereka tidak
diperbolehkan untuk menyerang agama Islam serta memperlihatkan sikap mereka yang
buruk di hadapan umat Islam dan juga tidak boleh menghina nabi ataupun memper
lihatkan sikap kurang hormat kepada nabi. Selain itu pakaian yang mereka pakai harus
ditambah dengan kain warna kuning dan memakai ikat kepala berwarna untuk
menentukan identitas serta tidak boleh menyerupai orang Islam. Mereka tidak
diperbolehkan untuk menaiki kuda serta membawa senjata akan tetapi mereka
diperbolehkan untuk menaiki keledai dan bagal.9

Di negara Islam tidak meniadakan masyarakat yang memeluk agama selain Islam
akan tetapi juga membolehkan kan yang tidak suka iddah menjadi bagian dalam

5
Harun Nasution dan Bakhtiar Effendi, Hak Asasi Manusia dalam Islam (Jakarta:Pustaka Firdaus, 1987), 53-54.
6
Koernaiatmanto Soetoprawiro, Hukum Kewarganegaraan dan Keimigrasian Indonesia (Jakarta: Gramedia,
1996), hlm 27
7
itik Triwulan Tutik, Pokok-pokok Hukum Tata Negara (Jakarta: PrestasiPustaka, 2006), 12-14.
8
'Abdullah Ahmad al-Na'im, Dekonstruksi Shari'ah: Wacana Kebebasan Sipil, Hak Asasi Manusia dan
Hubungan Internasional dalam Islam. Penerj. Ahmad Suaedy dan Amiruddin al-Rany (Yogyakarta: LkiS,
2001), 336-337.
9
Abu Yusuf Ya'qub Ibn Ibrahim, al-Kharaj (Beirut: Maktabah al Qahirah, tt), 124.

10
masyarakat Islam tanpa meninggalkan agama lamanya. Hal tersebut menjadi tradisi
dalam Islam dan menamakan non Islam dalam masyarakat Islam sebagai Ahl Al-
dzimmah atau orang-orang dzimmi dengan demikian memberikan pada orang non
muslim hak dengan sebutan hak kewarganegaraan politis yang diberikan oleh negara
pada rakyatnya. Dalam hal tersebut mereka juga memperoleh serta terikat dengan hak
serta kewajiban semua warga negara.10 Hal tersebut menunjukkan bahwasanya Negara
Islam termasuk negara nomokrasi yang menjadikan Islam sebagai konsep hidup,
konstitusi pemerintahan, sumber hukum penentuan arah dalam hubungan secara
individual dan komunal. Pada asas kewarganegaraan di negara Islam klasik
mempunyai kesamaan aqidah, semua orang beragama Islam merupakan Warga Negara
Islam tidak melihat perbedaan warna kulit ras bangsa, bahasa maupun asal-usul orang
tua mereka. Menurut Imam Syafi'i, Imam Maliki dan Imam Ahmad orang Islam berada
di Dar Al-harb juga termasuk ahl Dar al-islam akan tetapi menurut Imam Hanafi
bukan.11

Setelah muncul asas tersebut kemudian muncul asas baru yakni asas tabaiyah Al
walidaini atau kewarganegaraan akibatkan oleh hubungan antara anak dengan orang
tua selama kedua orangtuanya diketahui dan muncul juga Thabi'iyah al-dar merupakan
kewarganegaraan karena hubungan tempat domisili terhadap anak di negeri Islam yang
tidak diketahui orang tuanya,12 dan terhadap perempuan kafir yang masuk Dar Al-
Islam dengan akad aman lalu menikah dengan orang Islam atau dzimmi, Musta'min
yang Membeli tanah kharaj maka ia mewajibkan membayar kharaj dalam setiap tahun
dan memiliki kewajiban menetap di Dar Al-Islam. Setelah zaman modern diumumkan
deklarasi hak asasi manusia, kenegaraan di dunia berubah secara signifikan. Kebebasan
individu dari kesejahteraan sangat dijunjung tinggi karena berdampak pada pola
kewarganegaraan dalam sebuah negara. Kewarganegaraan seseorang tidak didasarkan
pada ke sukuan, ras, dan bahkan agama. Orang yang menjadi warga negara jika
dinyatakan sah secara hukum negara sebagai warga negara. Kewarganegaraan
diperoleh dengan cara memohon pada negara yang bersangkutan tanpa memandang
Ras Suku ataupun agama proses tersebut dalam negara modern populer dengan istilah
naturalisasi. Dasar untuk menetapkan kewarganegaraan modern bukan ideologi akan
tetapi paham sekuler tentang persamaan dan kebebasan semua manusia tanpa
10
Yusuf Qardawi, Minoritas Non-muslim dalam Masyarakat Islam. Penerj. Muhammad Baqir (Bandung:
Penerbit Karisma, 1994), 19.
11
'Abd al-Qadir 'Awdah, al-Tashri' al-Janai fi al-Islam, juz 1 (Beirut: Mu'assasah al-Risalah, 1994), 307.
12
Al-Kasani, Badai' al-Sanai', juz 6, 66.

11
membedakan agama yang dimana paham tersebut dipelopori pandangan filsafat para
fil dan setiap negara mempunyai kebebasan dan kewenangan untuk menentukan asas
kewarganegaraan mana yang hendak dipergunakannya.13 Dalam menetapkan
kewarganegaraan ada dua asas yang dijadikan yakni asas Ius Soli atau tempat kelahiran
dan asas Ius Sanguinis atau keturunan sedangkan dalam perkawinan dikenakan pula
asas kesatuan hukum dan asas persamaan derajat.14

Masalah mengenai hak warga negara masyarakat sekuler tidak berdasarkan


landasan metafisik tetapi disarankan pada kontrak sosial. Lembaga pemerintahan
memiliki wewenang terbatas, pemerintah mendapatkan kekuasaan mendapat
persetujuan dari rakyat.15 Dalam islam asas hubungan antara warganegara dan
pemerintah berdasarkan prinsip dan tujuan berasaskan kemaslahatan hidup umat
manusia dan menjauhi prinsip rasisme, feodalisme kawasan dan kebangsaan.
Pemerintahan islam merupakan kesatuan akidah dalam corak fikir dan hati masing-
masing, hak warga negara di sebut dengan hak asasi manusia. 16 Hak tersebut
dibedakan menjadi 2 yakni hak politik mengenai partisipasi dalam jalannya
pemerintahan negara antara memangku jabatan, dalam negara Islam klasik Ahl Al-
dzimmah tidak boleh menduduki jabatan khalifah karena pihak yang berkuasa di
negara Islam adalah orang Islam dan jabatan ini pelaksanaan erat hubungannya dengan
akidah tersebut. Dalam konteks negara modern siapapun dapat menduduki jabatan
sebagai pengecualian adalah negara yang menerapkan sistem monarki kerajaan.

Hak warga negara sebagai individu mendapatkan perlindungan hak kebebasan


berkeyakinan mendapatkan perlakuan yang sama. Dalam nega islam klasik dan
modern hak perlindungan dan jaminan sosial ini sama. Hak mendapatkan perlakuan
yang sama di negara Islam klasik terdapat perbedaan perlakuan dalam warganegara
islam, seperti dzimmi dengan muslim yang dianggap mengandung unsur diskriminasi
pada dzimmi. Kebebasan berbuat dalam konteks negara modern dibatasi oleh hak
orang lain selama tidak mengganggu hak orang lain seseorang bisa melakukan apapun
titik kebebasan seseorang tidak dibatasi oleh orang lain tetapi juga dibatasi, ada hak
Allah yang harus dipenuhi. Kebebasan berkeyakinan di negara modern sangat berbeda
ada Perbedaannya terletak bawah Negara Islam tidak memberikan kebebasan untuk
13
Koernaiatmanto Soetoprawiro, Hukum Kewarganegaraan dan Keimigrasian Indonesia (Jakarta: Gramedia,
1996),1.
14
Titik Triwulan Tutik, Pokok-pokok Hukum Tata Negara (Jakarta: PrestasiPustaka, 2006),12-14.
15
Harun Nasution dan Bakhtiar Effendi, Hak Asasi Manusia Dalam Islam, 53-54.
16
'Athiyah, Fiqh Baru Bagi Kaum Minoritas, Penerj. Shofiyullah (Bandung: Marja, 2006), 41.

12
pindah agama telah masuk Islam. Saat di luar Islam dan berada di wilayah negara
Islam maka pemerintah memberi dua alternatif yakni masuk islam atau akan dibunuh
hal tersebut berbeda dengan negara modern yang memberi kebebasan dan sebenarnya
pada warga untuk memeluk keyakinan yang diyakini dan juga berpindah dari satu
keyakinan ke kayakinan lain.

Sikap ulama mengenai posisi dzimmi dalam negara Islam klasik beberapa
perlakuan yang mereka terima baik mengenai hak dan kewajiban berbeda dengan
kaum muslim meski mereka sama bagi warga negara tidak terlepas dari konteks
tersebut dan juga mempengaruhi interpretasi. Menurut Ibnu Al Arabi ada 15 pendapat
mengenai orang yang membayar jizyah dengan berdiri dan pemungut sambil duduk,
dan bermakna bahwa mereka membayar jizyah harus menyerahkan sendiri dengan
tangannya sambil berjalan kaki, jika bermakna kerendahan dan tidak terpuji an orang
yang membayar.17 Maksud dari jizyah diambil dengan cara merendahkan
melambangkan kerendahan dan kehinaan bahkan pembayaran jizyah dengan berjalan
kaki dan tidak boleh naik kendaraan. Membayar jizyah harus berdiri dihadapan
pemungut Jizyah yang Dalam posisi duduk sambil memegang tengkuk jimmi dan dan
mengguncang badan dan berteriak Ayo bayar jizyah.18 Bangunan rumah dan tempat
ibadah kaum dzimmi tidak boleh lebih tinggi dari bangunan 4 Islam atau maksimal
sama yang tidak boleh terang-terangan melibatkan Salib dan minum khamr, naik kuda
yang bagus dan pilihan tapi tidak boleh naik keledai, tidak boleh memperdengarkan
suara Gong dan bacaan kitab mereka terutama tentang U'zayr dan Isa Al-Masih,
mereka harus mengundurkan jenazah dan tidak memperlihatkan kesedihan dengan
rintihan.19 Mereka memakai al-ghiyar atau pakaian mereka harus ditambal dengan kain
warna kuning dan memakai ikat kepala yang besar dan berwarna untuk menunjukkan
identitas mereka serta mereka tidak boleh menyerupai orang Islam dalam berpakaian.20

Dalam kasus ahl Al-dzimmah melihat standart masa kini disimpulkan bahwa
ketidakadilan dalam membedakan kewarganegaraan berdasarkan agama seseorang
yang. Tapi kondisi itu diketahui bahwa Islam memberi banyak toleransi kepada non
muslim yang tinggal di negara Islam hal tersebut tidak pernah terjadi di wilayah lain

17
Ibn al-'Arabi, Ahkam al-Qur'an,Juz 2 ( Libanon: Dar al-Ma'rifah, tt), 922-923
18
Abu al-Qasim Mahmud Ibn 'Umar al-Zamakhshari, Tafsir al-Kashaf, Vol I (Beirut: Dar al-Fikr, tt), 184. Lihat
juga al-Nawawi, Raudhat al-Talibin mwa 'Umdat al-Muftin, dalam membayar jizyah harus membungkukkan
kepala, dipegang janggutnya sambil dipukul tengkuknya.
19
Abi H{asan 'Ali Ibn Muhammad al-Mawardi, al-Ahkam alSulthaniyah (Beirut: Dar Fikr, tt),18.
20
Abu Yusuf Ya'qub Ibn Ibrahim, al-Kharaj (Beirut: Maktabah alQahirah, tt), 124.

13
karena Islam memberi hak-hak yang cukup besar kepada Ahl Al-dzimmah yang tidak
didapatkan oleh warga kelas 2 yang ada di wilayah non muslim. Hal tersebut dilihat
sesudah masa kejayaan Islam di Spanyol dengan terusirnya orang Islam di Spanyol
jika tidak mau memeluk Islam. Islam telah memberikan perlakuan terhadap non-
muslim secara adil dengan memberikan hak-hak secara proporsional dalam konteks
hubungan dengan nonmuslim menetapkan persamaan dan keadilan sebagai dasar
utama, Islam juga menegaskan prinsip toleransi dan tidak kalah pentingnya dengan
prinsip persamaan dan keadilan. Melalui Alquran Islam tidak melarang umatnya untuk
berbuat baik kepada non muslim.

14
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Menjelaskan pengertian Ahlul Kitab terlebih dahulu diperlukan penjelasan secara terpisah
dari dua kata tersebut yaitu Ahlul dan Kitab. Secara literal, kata Ahlul mengandung
pengertian ramah, senang atau suka. Ada juga yang mendefinisikan Ahlul yang berarti orang
yang tinggal bersama dalam suatu tempat tertentu. Selain itu, kata Ahlul al-Kitab (Ahl al
kitab) berasal dari bahasa Arab. Jika kata itu di Indonesiakan, maka dibaca dan ditulis Ahlul
al-Kitab. Hal ini untuk lebih memudahkan terjemahan. Kata Ahlul itu sendiri dipergunakan
untuk menunjuk kepada sesuatu yang mempunyai hubungan yang sangat dekat, seperti
ungkapan Ahl al-Rajul yaitu orang yang menghimpun mereka, baik karena hubungan nasab
maupun agama, atau hal-hal yang setara dengannya, seperti propesi,etnis dan masyarakat atau
komunitas. Seseorang yang meskipun beragama Islam, belum menghentikan ketaatannya
terhadap negara non-Islam atau belum berhijrah ke negara Islam, tidak dapat dikatakan
sebagai warga negara Islam. Sebaliknya, semua orang yang beriman, mereka yang dilahirkan
di negara Islam atau telah berhijrah ke negara Islam, mereka merupakan warga negara Islam
yang menjadi saudara satu sama lain. Warga negara muslim terdapat beban dan tanggung
jawab terhadap proses kehidupan dan tradisi Islam terbaik. Karena mereka yang dapat
menegakkan hukum-hukumnya secara keseluruhan serta memerintahkan untuk melaksanakan
semua kewajiban agama, moral, budaya, sosial dan politik. Negara membebani mereka
semua tugas dan kewajiban serta meminta pengorbanan untuk membela dan mempertahankan
kemerdekaannya. Dzimmi (ahl al-dzimmah) adalah sebagai penduduk non-Muslim yang
tinggal di kawasan negara Islam yang wajib melaksanakan hukum Islam dan menetap untuk
selamanya tanpa melihat dari agama dan kepercayaan mereka. Mereka terdiri dari orang
Kristen, Yahudi, Majusi atau orang-orang penganut sembahan yang lain atau orang-orang
yang tidak mempunyai kepercayaan pada agama sama sekali (atheis).Tetapi mereka tetap
mendapatkan jaminan keamanan atas jiwa dan harta mereka. Mereka dipandang sama dalam
kedudukan dengan kaum Muslimin. Islam meyamakan kaum Muslimin dengan mereka hanya
dalam sebuah kemanusiaan. Pada soal-soal yang berhubungan dengan akidah (kepercayaan)
diberikan kebebasan untuk memeluknya. Apabila menyamakan mereka dengan kaum
Muslimin merupakan bentuk ketidakadilan. Tidak adanya paksaan bahwa non Muslim
memeluk atau masuk Islam.

15
C.

DAFTAR PUSTAKA
Abdullah Ahmad al-Na'im, Dekonstruksi Shari'ah: Wacana Kebebasan Sipil, Hak Asasi
Manusia dan Hubungan Internasional dalam Islam. Penerj. Ahmad Suaedy dan
Amiruddin al-Rany (Yogyakarta: LkiS, 2001)
Abd. al-Qadir 'Awdah, al-Tashri' al-Janai fi al-Islam, juz 1 (Beirut: Mu'assasah al-
Risalah, 1994)
Abi Hasan 'Ali Ibn Muhammad al-Mawardi, al-Ahkam alSulthaniyah (Beirut: Dar Fikr,
tt).
Abu al-Qasim Mahmud Ibn 'Umar al-Zamakhshari, Tafsir al-Kashaf, Vol I (Beirut: Dar
al-Fikr, tt),
Abu Yusuf Ya'qub Ibn Ibrahim, al-Kharaj (Beirut: Maktabah al Qahirah, tt),
Al-Kasani, Badai' al-Sanai', juz 6
Athiyah, Fiqh Baru Bagi Kaum Minoritas, Penerj. Shofiyullah (Bandung: Marja, 2006)
Harun Nasution dan Bakhtiar Effendi, Hak Asasi Manusia dalam Islam (Jakarta:Pustaka
Firdaus, 1987)
Ibn al-'Arabi, Ahkam al-Qur'an,Juz 2 ( Libanon: Dar al-Ma'rifah, tt)
Itik Triwulan Tutik, Pokok-pokok Hukum Tata Negara (Jakarta: PrestasiPustaka, 2006)
Koernaiatmanto Soetoprawiro, Hukum Kewarganegaraan dan Keimigrasian Indonesia
(Jakarta: Gramedia, 1996)
Muhammad Galib, Ahl Al Kitab, Maknadan cakupannya, (Jakarta : Paramadina, 1998),
Muhtadi, A. (2013). DAR AL-ISLAM, DAR AL-HARB, DAR AL-SHULH Kajian Fikih
Siyasah. Episteme.
Triwulan Tutik, Pokok-pokok Hukum Tata Negara (Jakarta: PrestasiPustaka, 2006)
Try Wiganda Irfan, Konsep Kewarganegaraan Klasik dan Modern, Jurnal Of Moral Civic
Education, Vol. 2
Yusuf Qardawi, Minoritas Non-muslim dalam Masyarakat Islam. Penerj. Muhammad
Baqir (Bandung: Penerbit Karisma, 1994).

16

Anda mungkin juga menyukai