2. Razlia Kartika Ayu 160200128 3. Sri Rahmadhani Daulay 160200153 4. Yustika Butar—butar 160200337 5. Yunisa Permata Hatimi 160200355 6. Mita Syahfitri Panjaitan 160200421 Berkaitan erat dengan praktek dari teori sebelumnya, yaitu doktrin sovereign immunity, khususnya di Amerika Serikat dikenal prinsip lain yang dinamakan “Act of State Doctrine”. Berdasarkan doktrin ini maka badan-badan peradilan dari suatu negara tidak dapat mengadili perbuatan-perbuatan dari negara lain yang dilakukan dalam wilayahnya sendiri. Doktrin ini berkembang dari yurisprudensi untuk mencegah tindakan-tindakan hakim pada bidang-bidang yang dianggap sensitif. Berdasarkan act of state doctrine ini, maka tindakan-tindakan negara yang mengandung unsur-unsur komersial masih mungkin untuk diberikan, hal mana dalam sovereign immunity hal tersebut tidak dimungkinkan. Secara umum imunitas merupakan tejemahan dari kata “immunity” yang berarti kekebalan. Kekebalan berasal dari kata kebal yang dalam bidang hukum artinya tidak dapat dituntut. Sementara itu dalam hukum internasional istilah imunitas atau immunity dikenal sebagai aturan-aturan dan prinsip-prinsip hukum mengenai hak-hak yang dimiliki oleh kategori orang-orang atau badan-badan tertentu, yang berdasarkan hukum internasional memperoleh kekebalan atau dikecualikan dari yurisdiksi negara lain. Secara prinsipil ada dua kategori imunitas, pertama imunitas yang dimiliki oleh negara asing yang disebut dengan imunitas negara (sovereign or state immunity) dan kedua imunitas yang diperoleh oleh perwakilan diplomatik negara asing (diplomatic immunity). 1. Teori Imunitas Negara Mutlak (Absolute Sovereign Immunity) Teori imunitas negara mutlak atau absolute sovereign immunity, adalah suatu ajaran yang menerangkan bahwa negara dalam segala hal tidak dapat dilakukan gugatan terhadapnya di Pengadilan negara llian, tanpa persetujuan dasri negara yang bersangkutan. 2. Teori Imunitas Negara Terbatas (Restrictive Sovereign Immunity) Merupakan kelanjutan dari perkembangan teori imunitas absolut dan perkembang lebih lanjut dari teori imunitas negara. Teori ini pada awalnya dianut oleh Belgia, Italia, Swiss, Perancis, Austria, Mesir, Yunani, Paru dan Enmark. Perancis, Austria dan Yunani pada awalnya merupakan pendukung teori imunitas negara mutlak, akan tetapi menjelang abad ke-20 meninggalkannya dan menjadi negara yang menganut teori imunitas terbatas. 1. Negara sebagai Pihak dalam Perkara “Immunity” 2. Sengketa Internasional mengenai Penanaman Modal Asing 3. Yurisprudensi Internasional Dari keseluruhan pembahasan terdahulu , akhirnya dapat diraih suatu kesimpulan, bahwa pada pokoknya da-lam Doctrine Act of State dijunjung pengertian bahwa badan-badan peradilan dari suatu negara berdaulat tidak dapat menguji sah atau tidaknya tindakan-tindakan dari negara-negara ber-daulat lainnya yang telah dilakukan dalam wilayahnya sendiri. Khususnya di Amerika Serikat, apabila suatu negara telahdiakuinya, maka para hakim di sana menganggap diri mereka tidak berwewenang untuk mengadili perkara yang diajukan kepada mereka selama hal tersebut menyangkut kedaulatan negara (sovereinitas). Doktrin ini telah tertanam kuat dalam yurisprudensi, terutama di negara-negara Anglo Saxon (kl-Aususnya Amerika Serikat) dan juga diakui oleh banyak negara di dunia. Pokok masa-lah ini adalah lebih dikenal orang dengan Par in Parem non Habet Jurisdiction, yaitu suatu negara yang berdaulat harus menghormati tindakan atau perbuatan dari negara berdaulat lainnya. Haki dari negara berdaulat satu tidak dapat mengadili tindakan-tindakan dari negara-negara berdaulat lainnya.
Analisis Terhadap Surat Keputusan Bersama Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri dan Jaksa Agung masing – masing Nomor 03 Tahun 2008, Nomor KEP-033/A/JA/6/2008 dan No. 199 Tahun 2008 tentang Peringatan dan Perintah kepada Penganut, Anggota dan/atau Anggota Pengurus Jamaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Warga Masyarakat