b. Alat Bukti
Pasal 36 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 menentukan
alat bukti meliputi:
a. surat atau tulisan;
b. keterangan saksi;
c. keterangan ahli;
d. keterangan para pihak;
e. petunjuk; dan
f. alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan,
diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau
serupa dengan itu.
Alat-alat bukti yang diajukan ke peradilan Mahkamah Konstitusi,
baik yang diajukan oleh Pemohon maupun yang diajukan oleh Termohon
dan/ atau pihak terkait, perolehannya atau cara mendapatkannya harus
dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. Alat bukti yang didapatkan
atau diperoleh dengan cara yang bertentangan dengan hukum (illegally
obtained evidence) tidak dapat disahkan oleh hakim konstitusi sebagai
alat bukti. Oleh karena itu setiap Pemohon dan/atau pihak lainnya
mengajukan alat
bukti kepada hakim konstitusi, selalu diperiksa cara memperoleh atau
mendapatkan alat bukti tersebut. Untuk alat bukti dari Pemohon,
biasanya dilakukan dalam sidang pendahuluan.
Alat bukti yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003
memiliki perbedaan dengan alat bukti yang lazim dalam proses peradilan
lain. Menurut Maruarar Siahaan, perbedaan tersebut antara lain, tidak
dikenal alat bukti pengakuan para pihak dan pengetahuan hakim yang
berlaku pada hukum acara PTUN, atau yang dalam hukum acara perdata
disebut dengan “persangkaan”, pengakuan, dan sumpah, serta dalam
hukum acara pidana disebut dengan keterangan Terdakwa. Pengakuan pihak
yang berperkara dipandang tidak relevan dalam Hukum Acara Konstitusi
karena hal itu tidak menghilangkan kewajiban hakim konstitusi mencari
kebenaran mengingat perkara yang diperiksa dan akan diputus terkait
dengan kepentingan umum dan akan mengikat semua warga negara, bukan
hanya pihak yang berperkara.
Namun demikian, ada pula hal yang tidak termasuk dalam alat bukti
namun dalam proses berpekara ternyata memengaruhi pemeriksaan, yaitu
“pengetahuan hakim”. Hal ini terjadi terutama dalam perkara pengujian
undang-undang di mana salah satu metode yang dapat digunakan untuk
mengetahui makna ketentuan dalam konstitusi adalah dengan mencari
maksud dari pembentuk Undang-Undang Dasar (original intent). Di
antara hakim periode pertama, terdapat beberapa hakim konstitusi yang
mengetahui bahkan terlibat dalam proses pembahasan suatu ketentuan
dalam UUD 1945 karena pada saat itu menjadi anggota PAH BP MPR
yang merumuskan Perubahan UUD 1945. Bahkan pengetahuan hakim
konstitusi dimaksud lebih dalam dan tidak terekam dengan baik dalam
risalah rapat Perubahan UUD 1945.
c. Proses Persidangan
Dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara dilakukan dalam
Sidang Pleno yang terdiri atas 9 (sembilan) orang hakim konstitusi dan
dipimpin oleh ketua. Dalam keadaan luar biasa, sidang dapat dilakukan
dengan 7 (tujuh) orang hakim. Secara praktikal, hal ini terjadi apabila
ada kematian anggota keluarga dekat, sakit yang dialami hakim yang
bersangkutan. Juga apabila salah satu hakim anggota meninggal dunia
atau sudah berhenti karena berakhir masa jabatannya, sementara hakim
yang menggantikannya belum diangkat dan diambil sumpahnya.
Mahkamah Konstitusi dapat membentuk panel hakim yang terdiri
atas sekurang-kurangnya tiga orang hakim yang diberi tugas memeriksa
permohonan dalam tahap tertentu, yakni dalam melakukan sidang
pemeriksaan pendahuluan, dan untuk memeriksa serta mendengar
pembuktian dari pihak-pihak berperkara. Seluruh tugas tersebut
selanjutnya akan dilaporkan kepada pleno untuk dibahas sebelum
diambil putusan.
Dilihat dari materi persidangan terkait dengan proses suatu
perkara, sidang Mahkamah Konstitusi dapat dibagi menjadi 4 (empat),
yaitu Pemeriksaan Pendahuluan, Pemeriksaan Persidangan, Rapat
Permusyawaratan Hakim (RPH), dan Pengucapan Putusan. Keempat jenis
persidangan tersebut memang dapat dilihat sebagai tahapan persidangan
suatu perkara, namun dalam perkara-perkara tertentu dapat terjadi tidak
semua jenis persidangan itu dibutuhkan. Terdapat perkara-perkara tertentu
yang hanya memerlukan pemeriksaan pendahuluan dan setelah panel
hakim konstitusi melaporkan kepada pleno hakim, perkara dimaksud
sudah dapat diputuskan. Hal itu dapat terjadi dalam perkara-perkara
sebagai berikut:
1) Perkara yang dari sisi Pemohon sudah dapat ditentukan bahwa
Pemohon tidak memiliki hak mengajukan permohonan (legal
standing) atau materi permohonan bukan merupakan wewenang MK.
Untuk perkara demikian dapat langsung diputus dengan amar
putusan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard). Dalam
praktik, beberapa perkara yang diputus.
2) Pemohon memiliki legal standing dan materi
permohonannya merupakan wewenang MK serta sudah sangat
jelas dan dapat segera diputus untuk dikabulkan. Putusan dengan
amar dikabulkan yang dilakukan tanpa melalui Pemeriksaan
Persidangan, misalnya adalah Putusan No. 102/PUU-VII/2009
mengenai Pengujian Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008
tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden. Seperti
tertuang dalam pertimbangan putusan menyatakan bahwa Pasal
54 UU MK tidak mewajibkan MK meminta keterangan pihak
terkait untuk memutus suatu perkara. Ketentuan tersebut
menyatakan bahwa MK dapat meminta keterangan kepada pihak
terkait, yang berarti boleh dilakukan dan boleh tidak, bergantung
dari perkara dan urgensi keterangan yang diperlukan.
1) Pemeriksaan Pendahuluan
Sidang pertama harus ditetapkan dalam jangka waktu 14 hari setelah
permohonan dicatat dalam buku register sebagaimana diatur dalam Pasal
34 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003. Sidang pertama ini adalah
sidang pemeriksaan pendahuluan yang dilakukan oleh hakim panel
terhadap kelengkapan dan kejelasan Pemohon. Dalam praktik pemeriksaan
pendahuluan melihat pada dasar legal standing Pemohon dan uraian
posita atau petitum. Umumnya hakim memberi saran yang boleh
digunakan atau tidak yang kemudian akan memberi waktu bagi Pemohon
untuk melakukan perbaikan.
Pemeriksaan pendahuluan dapat dilakukan lebih dari satu kali berdasar
kebutuhan hakim (panel). Sejumlah hal yang harus dipersiapkan dengan
baik oleh pemeriksaan pendahuluan antara lain, sebagai berikut.
a) Pemeriksaan kualifikasi Pemohon, kewenangan bertindak, dan surat-
surat kuasa.
b) Kedudukan hukum atau legal standing Pemohon berdasarkan Pasal
51 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003.
c) Penyederhanaan masalah yang diajukan.
d) Kebutuhan perubahan permohonan, sesuai ketentuan undang-
undang baik atas saran hakim maupun keinginan Pemohon
sendiri.
e) Statement of constitutional issues (masalah konstitusi yang diajukan).
f) Alat-alat bukti yang diajukan secara full disclosure.
g) Saksi dan ahli yang pokok-pokok pernyataannya mendukung
permohonan yang diajukan.
h) Jumlah saksi dan ahli yang relevan harus dibatasi.
i) Pengaturan jadwal persidangan dan tata tertib persidangan.
Selanjutnya, perbaikan permohonan disarankan hakim atau yang
diinginkan Pemohon serta kelengkapan bukti-bukti lain diajukan tanpa
harus menunggu jangka waktu selambat-lambatnya 14 hari sebagaimana
diatur dalam undang-undang. Panel kemudian menyampaikan laporan
kepada pleno Mahkamah Konstitusi yang isinya pendapat atau rekomendasi
bahwa perkara yang diajukan dari segi kewenangan maupun legal
standing telah memenuhi syarat dan cukup layak untuk didengar di depan
Sidang Pleno dengan menghadirkan pemerintah, DPR, atau pihak terkait.
2) Pemeriksaan Persidangan
Berdasarkan asas audi et alteram partem, maka pihak-pihak
yang berperkara harus diberi kesempatan untuk memberi keterangan
dan menyatakan pendapatnya tentang permohonan dari Pemohon
tersebut. Hal ini dilakukan dengan pemberitahuan pada pemerintah,
DPR maupun pihak terkait dengan disertai salinan permohonan yang
telah diperbaiki dalam pemeriksaan pendahuluan.
Pemeriksaan persidangan adalah jenis persidangan yang dilakukan
untuk memeriksa permohonan, alat bukti, keterangan Termohon (jika ada),
keterangan saksi, keterangan ahli, dan keterangan pihak terkait. Untuk
kepentingan pemeriksaan persidangan, hakim konstitusi wajib memanggil
para pihak yang berperkara untuk memberi keterangan yang dibutuhkan
dan/atau meminta keterangan secara tertulis kepada lembaga negara yang
terkait dengan permohonan. Lembaga negara dimaksud wajib memberi
keterangan yang diminta dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari.
Meskipun undang-undang tidak menyebut secara tegas tenggang
waktu perihal sahnya pemberitahuan atau panggilan, tetapi secara
umum panggilan paling lambat/sekurang-kurangnya tiga hari. Bahkan
karena pembuatan keterangan memerlukan koordinasi, Mahkamah
Konstitusi mengirimkan pemberitahuan 2 (dua) minggu sebelumnya.
Lembaga yang dimaksud dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari wajib
memberikan keterangan yang diminta. Dalam praktik, pada
persidangan awal diminta kehadiran Menteri Hukum dan HAM
sebagai kuasa tetap Presiden/Pemerintah dan Menteri yang menangani
secara teknis, minimal harus hadir satu kali. Keterangan yang
diberikan adalah keterangan lisan dengan menyatakan keterangan
lisan tersebut akan disusul dengan keterangan secara tertulis.
Hal ini diatur dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi No.001/PMK/ 2005.
Sebagai salah satu sidang pengadilan yang melaksanakan kekuasaan
kehakiman dan tunduk pada asas-asas hukum acara yang berlaku, maka
persidangan selalu terbuka untuk umum. Selanjutnya sidang dibuka
oleh ketua sidang dengan memeriksa kehadiran pihak-pihak melalui
perkenalan diri yang dilakukan kuasa Pemohon dan pendamping serta
pihak lainnya, yaitu pemerintah, DPR atau pihak terkait, beserta kuasa
maupun pendampingnya. Tanggapan terhadap permohonan Pemohon
dalam hukum acara Mahkamah Konstitusi tidak disebut sebagai jawaban
Termohon melainkan keterangan pemerintah, DPR, atau pihak terkait.
Tahapan pemeriksaan persidangan adalah sebagai berikut:
a) Penyampaian pokok-pokok permohonan secara lisan.
b) Penyampaian pokok-pokok jawaban Termohon atau keterangan pihak-
pihak terkait secara lisan.
c) Pemeriksaan alat bukti dari Pemohon maupun dari Termohon dan
pihak terkait.
d) Penyampaian dan pemeriksaan keterangan saksi dan/atau ahli yang
diajukan Pemohon.
e) Penyampaian dan pemeriksaan keterangan saksi dan/atau ahli yang
diajukan oleh Termohon atau pihak terkait.
f) Penyampaian kesimpulan oleh Pemohon.
g) Penyampaian kesimpulan oleh Termohon dan/atau pihak terkait.
4) Pengucapan Putusan
Sidang pengucapan putusan pada hakikatnya adalah Sidang Pleno,
namun berbeda dengan Sidang Pleno pemeriksaan persidangan. Dalam
Sidang Pleno pengucapan putusan agendanya adalah pembacaan putusan
atau ketetapan Mahkamah Konstitusi untuk suatu perkara yang telah
diperiksa dan diadili.
Putusan biasanya dibacakan secara bergantian oleh majelis hakim
konstitusi, diawali oleh ketua sidang, dilanjutkan oleh hakim konstitusi
yang lain, dan pada bagian kesimpulan, amar putusan dan penutup
dibacakan oleh ketua sidang lagi. Setiap hakim konstitusi akan
mendapatkan bagian tertentu dari putusan untuk dibacakan secara
berurutan, kecuali hakim konstitusi yang dalam posisi mengajukan
pendapat yang berbeda (dissenting
opinion). Hakim yang mengajukan dissenting opinion atau concuring opinion
membacakan pendapatnya sendiri setelah ketua sidang membacakan amar
putusan.