Anda di halaman 1dari 8

CRITICAL LEGAL STUDIES

Resume ini diajukan untuk memenuhi tugas Ujian Tengah Semester


Mata Kuliah Filsafat Hukum Semester Gasal
Tahun Akademik 2020/2021

Dosen Pengampu :
Dr. Sapto Hermawan, S.H., M.H.
NIP 198009092005011001

Disusun Oleh :
Dody Setyawan
NIM E0020153

S-1 Ilmu Hukum


Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret
202

1
Critical Legal Studies

Critical legal studies adalah pemikiran terbaru dalam teori hukum,


diperkenalkan pada tahun 1970-an. Critical legal studies ini mulai dikembangkan
di Amerika Serikat bertepatan dengan diselenggarakannya Conference on Critical
Legal Studies di Universitas Wisconsin, Madison pada tahun 1977. Critical legal
studies merupakan sebuah gerakan konseptual yang muncul sebagai ke lanjutan
dari pemikiran legal realism yang menginginkan suatu pendekatan yang berbeda
dalam memahami hukum. Beberapa nama yang menjadi penggerak critical legal
studies antara lain adalah Roberto M. Unger, Duncan Kennedy, Karl Klare, Peter
Gabel, Mark Tushnet, Kelman, David Trubeck, Horowitz, dll. Critical legal
studies mengembangkan pemikiran dan ajaran yang pada garis besarnya bertujuan
menentang (challenges) atau setidaknya meninjau kembali norma-norma atau
standar- standar dalam teori hukum, dan implementasinya yang berasal dari apa
yang dikenal sebagai sistem hukum modern.

Seperti praktik pemikiran hukum sebelumnya, critical legal studies


melanjutkan tradisi pengkajian empiris terhadap hukum. Tetapi pendekatan yang
digunakan adalah paradigma-paradigma ilmu sosial seperti aliran Marxisme, teori
kritis mazhab Frankfurt, neo-Marxis, Strukturalisme, dan lain- lain. Hal ini tidak
berarti critical legal studies merupakan pewaris pandangan-pandangan tersebut,
namun memanfaatkannya secara ekletis. Secara radikal critical legal studies
menggugat teori, doktrin atau asas-asas seperti netralitas hukum (neutrality of
law), otonomi hukum (autonomy of law), dan pemisahan hukum dengan politik
(law politics distinction).

Dalam perkembangannya, teori-teori yang dibangun dalam critical theory


kemudian digunakan sebagai dasar bagi pengembangan pemikiran critical legal
studies. Critical theory merupakan teori yang lahir dari kritik terhadap positivisme
sebagai paradigma dalam ilmu- ilmu sosial yang dilakukan oleh penganut

2
pemikiran Frankfurt School (Mazhab Frankfurt) yang mulai eksis kehadirannya
pada tahun 1923. Critical theory yang dibangun oleh Frankfurt School pada
awalnya dilatarbelakangi oleh tradisi pemikiran kritis yang dibangun Karl Marx,
yang kemudian dikembangkan lagi oleh penganutnya yang disebut kelompok
pemikir Neo-Marxian. Frankfurt School mencoba mengkritik ilmu pengetahuan
ataupun teori-teori yang hanya bertujuan untuk memperkuat kedudukan penguasa.
Kritik mereka juga ditujukan kepada kekuasaan dan cara hidup konsumtif dalam
negara-negara kapitalis.

Critical legal studies awalnya muncul karena ketidakpuasan terhadap


penyelenggaraan hukum di Amerika Serikat, yang umumnya didominasi oleh
sistem hukum liberal yang didasarkan pada pikiran politik liberal. Prinsip the rule
of law dalam legalisme liberal telah tidak mampu mengatasi permasalahan
mendasar mengenai keadilan sosial dan juga telah menjadi pendukung utama
kekuasaan. Bahkan prinsip the rule of law itu juga turut ambil bagian dalam
praktik korupsi.

Esensi pemikiran critical legal studies menegaskan pikiran kritisnya


bahwa “Law is politics, law exists only as an ideology”. Berdasarkan pemikiran
tersebut, critical legal studies berarti sudah langsung menolak dan menyerang
keyakinan para positivis dalam ilmu hukum yang mengembangkan pemikira n
hukum liberal. Critical legal studies mengkritik hukum yang berlaku, yang
nyatanya memihak ke politik dan sama sekali tidak netral.

Critical legal studies berusaha untuk membuktikan bahwa dibalik hukum


dan tatanan sosial yang muncul ke permukaan sebagai sesuatu yang netral,
sebenarnya di dalamnya penuh dengan muatan kepentingan tertentu yang bias
kultur, ras, gender, bahkan kepentingan ekonomi. Menurut pandangan critical
legal studies, doktrin hukum yang selama ini terbentuk, sebenarnya lebih berpihak
kepada mereka yang mempunyai kekuatan, baik itu kekuatan ekonomi, politik

3
ataupun militer. Oleh karena itulah, maka dalam memahami masalah hukum juga
harus selalu dilihat dari konteks power relations.

Selanjutnya ada beberapa model pemikiran yang dominan dalam arus


pemikiran critical legal studies ini, paling tidak ada tiga model, yaitu: Pertama,
pemikiran yang diwakili oleh Roberto M. Unger, yang mencoba mengintegrasikan
dua paradigma yang saling bersaing, yakni antara paradigma konflik dan
paradigma consensus. Kedua, adalah arus pemikiran yang diwakili oleh David
Kairys, yang mewarisi tradisi pemikiran Marxis, atau tepatnya mewarisi kritik
Marxis terhadap hukum liberal yang hanya dianggap melayani sistem kapitalisme.
Ketiga, arus pemikiran yang diwakili oleh Duncan Kennedy, yang menggunakan
metode ekletis yang membaurkan sekaligus perspektif strukturalis fenomenologis
dan neo marxis.

Untuk mengkritisi doktrin hukum yang telah terbentuk, aliran critical legal
studies menggunakan metode trashing, deconstruction dan genealogy. Trashing
adalah teknik untuk mematahkan atau menolak pemikiran hukum yang telah
terbentuk. Teknik ini dilakukan untuk menunjukkan kontradiksi dan kesimpulan
yang bersifat sepihak berdasarkan asumsi yang meragukan. Deconstruction adalah
membongkar pemikiran hukum yang telah terbentuk yang telah terbentuk. Dengan
melakukan pembongkaran maka dapat dilakukan rekonstruksi pemikiran hukum.
Genealogy adalah penggunaan sejarah dalam menyampaikan argumentasi.
Genealogy digunakan karena interpretasi sejarah kerap didominasi oleh mereka
yang memiliki kekuatan. Interpretasi sejarah ini yang kemudian digunakan untuk
memperkuat suatu konstruksi hukum.

Dalam memandang masalah hukum, critical legal studies menolak


perbedaan antara teori dengan praktek, dan menolak juga perbedaan antara fakta
dan nilai, yang merupakan karakteristik dari liberalisme. Oleh karena itu, maka
critical legal studies menolak kemungkinan adanya teori murni (pure theory),

4
serta lebih menekankan pada teori yang memiliki daya pengaruh terhadap
transformasi sosial yang praktis.

Selanjutnya, menurut Peter Fitzpatrick, sebagaimana yang dikutip oleh


Munir Fuady mengatakan, critical legal studies mempunyai komitmen yang besar
pula terhadap emansipasi kemanusiaan. Karena hal itulah, maka tidak
mengherankan apabila pada perkembangannya di kemudian hari critical legal
studies ini melahirkan pula Feminist Legal Theory dan Critical Race Theory.

Dengan mengutip pendapat Herman J. Pietersen, Samekto mengemukakan


bahwa pola-pola dasar pemikiran dalam critical legal studies menggunakan
pendekatan subjectivis-idealis yang didasarkan pada pemikiran missionary-
developmental mode, yang ditandai oleh enam pola dasar pemikiran, yaitu :

1. Kebenaran dilihat dari perspektif ideologi, konsep, atau prinsip-prinsip


tertentu, dalam arti sesuatu dapat dikatakan benar apabila ia sesuai dengan
ideologi, konsep, atau prinsip-prinsip tertentu.

2. Melibatkan nilai- nilai masyarakat atau nilai- nilai yang bersifat komunal
seperti ideologi, dan bukan nilai personal.

3. Bersifat humanism, dalam arti mengedapankan kepentingan kemanusiaan


sehingga kepentingan-kepentingan extra- legal tidak akan terpisahkan dalam
pembentukan suatu hukum.

4. Bersifat developmental-reformist, dalam arti pendekatan ini lebih bermakna


perubahan atau membangun suatu kesadaran tertentu.

5. Transenden, dalam arti analisis-analisis terhadap realitas menyangkut hal- hal


di luar practical experience.

6. Bertujuan untuk mempengaruhi atau merekayasa kehidupan atau masyarakat


agar sesuai dengan ide-ide atau prinsip-prinsip tertentu.

5
Keenam pola dasar pemikiran critical legal studies berangkat dari tujuh
tesis utama yang mereka pegang dan yakini, yaitu :

1. Penolakan terhadap liberalisme. Critical legal studies menolak tradisi ini


dengan mendasarkan pada tiga alasan. Pertama, liberalisme telah menciptakan
visi yang menyimpang dari adanya kemampuan bermasyara kat oleh manusia.
Kedua, liberalisme telah mengarahkan manusia pada keadaan yang bersifat
dualistik. Ketiga, liberalisme memberikan legitimasi kepada kapitalisme dan
menyembunyikan fakta adanya eksploitasi dibalik idiom dihormatinya
kebebasan dan hak-hak individu. Penyembunyian fakta di atas telah
menyesatkan masyarakat sehingga mereka justru mendukung sistem yang
sebenarnya menekan mereka. Sesuatu yang sesungguhnya merugikan
dianggap sebagai sebuah kebenaran.

2. Penekanan pada kontradiksi fundamental. Critical legal studies menekankan


adanya kontradiksi fundamental dalam teori liberal yang menyebutkan bahwa
individu harus dibebaskan untuk memenuhi kepentingannya sendiri,
sementara upaya pemenuhan kepentingan ini akan mengorbankan
(menghambat) individu yang lain untuk mencapai kepentingannya.

3. Peminggiran dan delegitimasi. Critical legal studies berpandangan bahwa


liberalisme harus dibuang, didelegitimasi, dibongkar karena ternyata hanya
menjadi sistem yang dipakai untuk memperkuat kepentingan ekonomi.
Institusi- institusi sosial yang dibangun penuh rekayasa dan mengandung
ketidakseimbangan, namun justru melegitimasi hukum seperti ini melalui
pengkondisian sehingga yang nampak seolah-olah alamiah. Hukum harus
dibebaskan untuk memenuhi kepentingannya sendiri, seme ntara upaya
pemenuhan kepentingan ini akan mengorbankan (menghambat) individu yang
lain untuk mencapai kepentingannya.

6
4. Penolakan terhadap formalisme. Critical legal studies memahami legal
formalisme sebagai aliran yang meyakini bahwa hukum adalah sistem yang
bekerja secara deduktif. Penegak hukum akan mengidentifikasi prinsip-prinsip
dan prosedur hukum yang relevan kemudian menerapkannya pada kasus
konkret secara deduktif tanpa mempertimbangkan faktor non hukum, seperti
sosial, ekonomi, atau nilai- nilai masyarakat. Jadi hukum diposisikan sebagai
sesuatu yang netral dan bebas nilai.

5. Penolakan terhadap positivisme. Critical legal studies menerima dan


menggunakan pendekatan anti positivis dari Frankfurt School dan menolak
pernyataan bahwa ilmu pengetahuan empirik dapat diterapkan dalam hukum.
Dalam positivisme, realitas direduksi menjadi fakta- fakta yang dapat diamati.
Akan tetapi, reduksionisme tidak mudah diterapkan dalam ilmu sosial karena
tidak ada teori sosial yang bersifat universal. Ilmu- ilmu sosial tidak bebas nilai.

6. Penolakan terhadap rasionalitas dalam hukum. Pemisahan diskursus hukum


dari kekuatan sosial lain, seperti ekonomi, politika, dan nilai- nilai yang ada
dalam masyarakat, adalah sesuatu yang rasional karena doktrin dan
pengembangan hukum didasari oleh fondasi yang bersifat rasional. Pandangan
seperti ini, menurut critical legal studies, hanya mitos belaka, karena
keberpihakan tidak dapat dihapuskan dari hukum.

7. Menegakkan kesatuan antara politik dan hukum. Critical legal studies


berpandangan bahwa hukum merupakan ekspresi dari politik. Hukum
merupakan kehendak dari kekuatan-kekuatan politik.

7
DAFTAR PUSTAKA

Bachtiar. 2012. “CRITICAL LEGAL STUDIES (Suatu Review atas Pemikiran


Prof. Dr. FX. Adji Samekto, S.H., M.H.)”,
https://tiar73.wordpress.com/2017/05/07/critical- legal-studies-suatu-
review-atas-pemikiran-prof-dr-fx-adji-samekto-sh- mh/amp/, diakses pada
1 Desember 2020

Nadir. 2019. “Filsafat Hukum dan Dekontruksi Critical Legal Studies: Sebuah
Paradigma Pembaruan Hukum dalam Menggugat Eksistensi Dominasi
Asumsi Kemapanan Hukum”. Jurnal YUSTITIA Vol. 20 No. 2 Desember
2019 (hlm. 159-162).

Rakhmat, Muhammad. 2015. Pengantar Filsafat Hukum. Bandung: STIE


Pasundan Press dan CV. Warta Bagja.

Rasjidi, Lili dan Liza Sonia Rasjidi. 2016. Dasar-Dasar Filsafat dan Teori
Hukum. Bandung: PT Citra Aditya Bakti.

Anda mungkin juga menyukai