Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Teori merupakan sebuah keberadaan yang sangat penting dalam dunia hukum,

karena hal tersebut merupakan konsep dasar yang dapat menjawab suatu masalah.

Teori juga merupakan sarana yang memberikan rangkuman bagaimana

memahami suatu masalah dalam setiap bidang ilmu pengetahuan hukum. Penting

untuk seorang akademisi hukum mengetahui pengertian teori secara luas,

sehingga tidak terjadi kesalahan dalam membuat karya-karya ilmiah yang

merupakan proses kegiatan seorang akademisi dalam kegiatan ilmiah maupun

dalam suatu penelitian. Dalam penemuan hukum terdapat beberapa aliran.

Sebelum tahun 1800 sebagian besar hukum adalah kebiasaan. Di muka hukum

kebiasaan itu beraneka ragam dan kurang menjamin kepastian hukum. Keadaan

ini menimbulkan gagasan untuk menyatukan hukum dan menuangkan dalam

sebuah kitab undang-undang, maka timbullah gerakan kodifikasi. Berikut ini

merupakan pendapat beberapa pakar yang memberikan pengertian arti teori.

1. Kartini Kartono menjelaskan bahwa teori adalah satu prinsip umum yang

dirumuskan untuk menerangkan sekelompok gejala yang saling berkaitan.

2. Ronny Hanitijo Soemitro berpendapat bahwa teori adalah serangkaian

konsep, definisi, dan proposisi yang saling berkaitan dan bertujuan untuk

memberikan gambaran yang sistematis tentang suatu fenomena.

1
3. M. Solly Lubis mengemukakan bahwa teori adalah pengetahuan ilmiah

yang mencakup penjelasan mengenai suatu sektor tertentu dalam disiplin

keilmuan.

4. S. Nasution menguraikan bahwa teori adalah susunan fakta yang saling

berhubungan dalam bentuk sistematis, sehingga dapat dipahami fungsi dan

peranan teori dalam penelitian ilmiah, mengarahkan, merangkum

pengetahuan dalam sistem tertentu, serta meramalkan fakta.

Teori menurut para pakar diatas berasal dari cabang-cabang ilmu lain,

tergantung dari sudut mana memandang substansi teori tersebut, begitu pula

dengan ilmu hukum yang luas sehingga terdapat banyak aliran teori atau mahzab

yang lahir dari para sarjana.

Teori hukum selalu berkembang mengikuti perkembangan manusia serta

mengikuti kebutuhan dan nilai-nilai yang hidup dalam manusia sehingga teori

dapat dikatakan sebagai kajian fundamental dalam sebuah karya tulis. Makalah ini

mencoba mengulas berbagai macam teori-teori hukum yang ada serta mahzab-

mahzab yang dikemukakan oleh para sarjana. 

B. Rumusan masalah

1. Sebutkan dan Jelaskan Teori-Teori dalam Hukum ?

2. Sebutkan dan Jelaskan Aliran-Aliran dalam Hukum?

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Teori-Teori dalam Hukum

Zoon politicon, sebuah istilah yang di ajarkan oleh Aristoteles yang

menyatakan bahwa manusia dikodratkan untuk hidup bermasyarakat dengan

manusia yang lain. Ajaran ini adalah salah satu gambaran bahwa manusia

membutuhkan keberadaan manusia yang lain untuk mengatasi permasalahannya.

Walaupun telah hidup bermasyarakat bukan berarti manusia tersebut dapat

sepenuhnya terhindar dari permasalahan. Homo Homini Lupus, adalah istilah dari

Plautus Asinaria (495 M) yang menggambarkan bahwa manusia diibaratkan

sebagai serigala bagi manusia yang lainnya. Manusia dapat menyelesaikan atau

mendatangkan permasalahan bagi mannusia lainnya.

Kehidupan masyarakat selalu berkembang dengan dinamis, begitu juga

dengan masalah yang ditimbulkannya. Permasalahan yang yang ada di masyarakat

selalu berkembang semakin rumit. Dalam keadaan yang demikian itu dibutuhkan

sesuatu untuk menyelesaikan permasalahn tersebut, kemudian lahirlah hukum.

Hukum mengatur interaksi antara manusia satu dengan lainnya.

Sejak dulu hingga saat ini, masyarakat dihadapkan pada berbagai teori tentang

hukum yang lahir pada setiap babak perjalanan sejarah hukum, Pada umumnya

suatu teori hukum tidaklah dapat dilepaskan dari lingkungan zamannya. Setiap

teori hukum ada masa gemilang dan ada masa merosot. Masa gemilang dicapai

3
ketika sesuai dengan zaman dan jika kadar unsur-unsur kekuatan (strength points)

dari teori tersebut jauh melebihi kadar unsur kelemahannya (weak points). Di lain

sisi, pada saat kadar weak points meningkat, saat itulah teori tersebut mulai

ditinggalkan.

Teori hukum adalah ilmu pengetahuan mengenai hukum yang berlaku, bukan

mengenai hukum yang seharusnya. Teori hukum berisi keseluruhan pernyataan

yang saling berkaitan berkenaan dengan sistem konseptual aturan-aturan hukum

dan putusan-putusan hukum, dan sistem tersebut untuk sebagian yang penting

dipositifkan.

Tujuan teori hukum adalah untuk mengurangi kekacauan dan kemajemukan

menjadi kesatuan, membuat jelas nilai-nilai oleh postulat-postulat hukum sampai

kepada landasan filosofinya yang tertinggi. Teori hukum sebagai teori tentang

norma-norma, tidak adahubungannya dengan daya kerja norma-norma hukum.

Teori hukum adalah formal, suatu teori tentang cara menata, mengubah isi dengan

cara yang khusus. Teori hukum dipelajari sudah sejak zaman dahulu, para ahli

hukum Yunani maupun Romawi telah membuat berbagai pemikiran tentang

hukum sampai kepada akar-akar filsafatnya. Sebelum abad kesembilan belas, teori

hukum merupakan produk sampingan yang terpenting dari filsafat agama, etika

atau politik. Para ahli fikir hukum terbesar pada awalnya adalah ahli-ahli filsafat,

ahli-ahli agama, ahli-ahli politik.

Perubahan terpenting filsafat hukum dari para pakar filsafat atau ahli politik

ke filsafat hukum dari para ahli hukum, barulah terjadi pada akhir-akhir ini. Yaitu

4
setelah adanya perkembangan yang hebat dalam penelitian, studi teknik dan

penelitian hukum. Teori-teori hukum pada zaman dahulu dilandasi oleh teori

filsafat dan politik umum. Sedangkan teori-teori hukum modern dibahas dalam

bahasa dan sistem pemikiran para ahli hukum sendiri. Perbedaannya terletak dalam

metode dan penekanannya. Teori hukum para ahli hukum modern seperti teori

hukum para filosof ajaran skolastik, didasarkan atas keyakinan tertinggi yang

ilhamnya datang dari luar bidang hukum itu sendiri. Sampai saat ini ada empat

teori hukum yang terkenal, empat teori hukum tersebut yaitu:

1. Teori-Teori Yunani dan Romawi (Klasik)

a) Sebelum abad ke-6 SM

Pada masa itu, manusia harus bertahan hidup dari ganasnya alam. Teori ini

adalah mengenai hukum sebagai kekuatan, benar-benar merupakan strategi

‘bertahan hidup’ dari manusia zaman itu yang memilih adaptasi terhadap alam.

Sesuai tingkat peradaban masa itu, maka alam dijadikan sebagai titik-tolak

analisis. Pada masa ini terjadi suatu yang dinamakan seleksi alam. Siapa yang

kuat dan cerdik, ia selamat. Dan siapa yang mampu selamat, dia berkesempatan

menjadi sumber hukum.

b) Setelah abad ke-6 SM

Masuk abad ke-6 SM yang berlanjut hingga abad ke-1 SM, teori kekuasaan

alam telah “berpindah” ke manusia lewat logos (akal). Logos merupakan akal

dewa-dewi yang mencerahkan dan menuntun manusia pada pengenalan akan

5
yang “benar”,“baik”, dan “patut”. Berkat logos yang mencerahkan itu,

dimungkinkan terciptanya suasana keteraturan (nomos). Nomos inilah yang

menjadi petunjuk hidup di dunia riil. Esensi nomos sebenarnya soal kepatutan.

Kepatutan untuk menjunjung keadilan, menjamin keamanan, serta

mendatangkan kesejahteraan. Karena nomos mengandung moral logos, maka

pelanggar terhadap nomos perlu dihukum karena dianggap melakukan

kesombongan.

c) Teori Socrates

Bagi Socrates, sesuai dengan hakikat manusia, maka hukum merupakan

tatanan kebajikan. Tatanan yang mengutamakan kebajikan dan keadilan bagi

umum. Hukum bukanlah aturan yang dibuat untuk melanggengkan nafsu orang

kuat (kontra filsuf Ionia), bukan pula aturan untuk memenuhi naluri hedonisme

diri (kontra kaum Sofis). Hukum sejatinya adalah tatanan objektif untuk

mencapai kebajikan dan keadilan umum.

a) Teori Plato

Dengan mengambil inti ajaran kebijaksanaan Socrates, Plato sang murid,

juga mengaitkan hukum dengan kebijaksanaan dalam teorinya tentang hukum.

Akan tetapi ia tidak menempatkan kebijaksanaan dalam konteks mutu pribadi

individu warga polis. Sebaliknya, ia mengaitkan kebijaksanaan dengan tipe

ideal negara polis di bawah pimpinan kaum aristokrat. Dasar perbedaan

tersebut terletak pada perbedaan asumsi tentang peluang kesempurnaan pada

manusia. Bagi Socrates, secara individual manusia dimungkinkan mencapai

6
kesempurnaan jiwa secara swasembada. Sedangkan Plato tidak percaya pada

tesis gurunya tersebut. Bagi Plato kesempurnaan individu hanya mungkin

tercipta dalam konteks negara di bawah kendali para guru moral, para

pimpinan yang bijak, para mitra bestari, yakni kaum aristokrat.

b) Teori Aristoteles

Aristoteles mengaitkan teorinya tentang hukum dengan perasaan sosial-etis

yang bukanlah bawaan alamiah ‘manusia sempurna’ versi Socrates, bukan pula

mutu ‘kaum terpilih’ (aristocrat) model Plato. Perasaan sosial-etis ada dalam

konteks individu sebagai warga negara (polis). Berdiri sendiri lepas dari polis,

seorang individu tidak saja bakal menuai ‘bencana’, tetapi juga akan cenderung

liar dan tak terkendai. Oleh sebab itu, hukum seperti halnya polis, merupakan

wacana yang diperlukan untuk mengarahkan manusia pada nilai-nilai moral

yang rasional. Inti manusia moral yang rasional menurut Aristoteles adalah

memandang kebenaran (theoria, kontemplasi) sebagai keutamaan hidup

(summum bonum). Dalam rangka ini, manusia dipandu dua pemandu, yakni

akal dan moral. Akal (rasio, nalar) memandu pada pengenalan hal yang benar

dan yang salah secara nalar murni, serta serentak memastikan mana barang-

barang materi yang dianggap baik bagi hidupnya.

c) Teori Epicurus

Epicurus membangun teorinya tentang hukum melalui konteks etika

epicurunisme di mana tujuan kehidupan adalah kebahagiaan yang hanya

mungkin tercipta jika tiada penderitaan jiwa-raga. Segala sesuatu yang dapat

7
menyusahkan jiwa raga harus dihindari begitu juga kesenangan sensual dan

indrawi yang mengakibatkan sakit raga dan penderitaan jiwa pun harus dijauhi.

Gagasan utamanya adalah gagasan atomistik (individu-individu yang terpisah),

yang muncul di tengah peperangan dan pergolakan politik yang melanda polis

polis. Hukum diperlukan untuk mengatur kepentingan-kepentingan individu

secara damai demi terjaganya keamanan raga dan kedamaian jiwa. Oleh karena

itu, tugas hukum adalah sebagai instrument ketertiban dan keamanan bagi

individu-individu yang sama-sama merindukan hidup tenang dan tentram.

2. Teori Hukum Alam

Teori hukum alam telah ada sejak zaman dahulu yang antara lain diajarkan

oleh Aristoteles, yang mengajarkan bahwa ada dua macam hukum, yaitu:

a. Hukum yang berlaku kerena penetapan kekuasaan Negara.

b. Hukum yang tidak tergantung dari pandangan manusia mana yang baik

buruknya hukum yang “Asli”. Menurut Aristoteles, pendapat orang tentang

“Keaslian” adalah tidak sama, sehingga seakan-akan tidak ada hukum alam

yang “Asli”. Teori ini kemudian dinamakan Teori Hukum Alam. Hukum

Alam itu adalah “hukum yang oleh orang-orang berfikir sehat dirasakan

sebagai selaras dengan kodrat alam”. Thomas Van Aquino (1225-1274)

berpendapat, bahwa segala kejadian di alam dunia ini diperintah dan

dikemudikan oleh suatu “Undang-Undang Abadi” (lex eterna) yang menjadi

dasar kekuasaan dari semua peraturan-peraturan lainnya. Lex Eterna ini

adalah kehendak dan pikiran tuhan yang menciptakan dunia ini. Manusia

8
dikaruniai tuhan dengan kemampuan berpikir dan kecakapan untuk dapat

membedakan baik dan buruk serta mengenal berbagai peraturan-

perundangan yang langsung berasal dari “Undang-undang Abadi” itu dan

yang oleh Thomas Van Aquino dinamakan “Hukum Alam” (Lex Naturalis).

Hukum Alam tersebut hanyalah memuat asas-asas umum seperti misalnya:

• Berbuat baik dan jauhi perbuatan jahat.

• Bertindaklah menurut pikiran yang sehat.

• Cintailah sesamamu seperti engkau mencintai dirimu sendiri.

Menurut Thomas Van Aquino, asas-asas pokok tersebut mempunyai

kekuatan yang mutlak, tidak mengenal pengecualian, berlaku di mana-mana

dan tetap tidak berubah sepanjang zaman.

3. Positivisme dan Utilitarianisme

Selama abad XIX manusia semakin sadar akan kemampuannya untuk

mengubah keadaan dalam segala bidang. Dalam abad ini pula muncul gerakan

positivisme dalam ilmu hukum. Oleh H.L.A Hart (lahir tahun 1907), seorang

pengikut positivisme diajukan berbagai arti dari positivisme sebagai berikut:

 Hukum adalah perintah.

 Analisis terhadap konsep-konsep hukum adalah usaha yang berharga

untuk dilakukan. Analisis yang demikian ini berbeda dari studi

sosiologis dan historis serta berlainan pula dari suatu penilaian kritis.

9
 Keputusan-keputusan dapat dideduksikan secara logis dari peraturan-

peraturan yang sudah ada terlebih dahulu, tanpa perlu menunjuk

kepada tujuan-tujuan sosial, kebijakan serta moralitas.

 Penghukuman (judgement) secara moral tidak dapat ditegakkan dan

dipertahankan oleh penalaran rasional, pembuktian atau pengujian.

 Hukum sebagaimana diundangkan, ditetapkan, positum, harus

senantiasa dipisahkan dari hukum yang seharusnya diciptakan, yang

diinginkan. Inilah yang sekarang sering kita terima sebagai pemberian

arti terhadap positivisme ini.

John Austin (1790-1859), menyatakan bahwa hukum adalah sejumlah

perintah yang keluar dari seorang yang berkuasa didalam negara secara

memaksakan, dan biasanya ditaati. John Austin mengartikan ilmu hukum

sebagai teori hukum positif yang otonom dan dapat mencukupi dirinya

sendiri. Hukum adalah perintah dari kekuasaan politik yang berdaulat didalam

suatu negara.

Jeremy Bentham (1748-1832) adalah seorang penganut utilitarian yang

menggunakan pendekatan tersebut kedalam kawasan hukum. Pendapatnya

adalah bahwa manusia itu akan berbuat dengan cara sedemikian rupa sehingga

ia mendapatkan kenikmatan yang sebesar-besarnya dan menekan serendah-

rendahnya penderitaan. Tujuan akhir dari perundang-undangan adalah untuk

melayani kebahagiaan paling besar dari sejumlah terbesar rakyat.

10
4. Teori Hukum Murni

Menurut Hans Kelsen (1881-1973), hukum murni tidak mengenal

kompromi, yaitu yang bebas dari naluri, kekerasan, keinginan-keinginan dan

sebagainya. Teori hukum murni juga tidak boleh dicemari oleh ilmu-ilmu

politik, sosiologi, sejarah dan pembicaraan tentang etika. Dasar-dasar pokok

teori Hans Kelsen adalah sebagai berikut:

 Tujuan teori tentang hukum adalah untuk mengurangi kekalutan

dan meningkatkan kesatuan (unity).

 Teori hukum adalah ilmu, bukan kehendak, keinginan. Ia adalah

pengetahuan tentang hukum yang ada, bukan tentang hukum yang

seharusnya ada.

 Ilmu hukum adalah normatif, bukan ilmu alam.

 Sebagai suatu teori tentang norma-norma, teori hukum tidak

berurusan dengan persoalan efektifitas norma-norma hukum

 Suatu teori tentang hukum adalah formal, suatu teori tentang cara

pengaturan dari isi yang berubah-ubah menurut jalan atau pola yang

spesifik.

 Hubungan antara teori hukum dengan suatu sistem hukum positif

tertentu adalah seperti antara hukum yang mungkin dan hukum

yang ada.

11
Salah satu ciri yang menonjol pada teori hukum murni adalah adanya

suatu paksaan. Setiap hukum harus mempunyai alat atau perlengkapan

untuk memaksa. Bagian lain dari teori Hans Kelsen yang bersifat dasar

adalah konsepsinya mengenai Grundnorm, yaitu suatu dalil yang akbar

yang tidak dapat ditiadakan yang menjadi tujuan dari semua jalan hukum.

Grundnorm merupakan induk untuk melahirkan peraturan-peraturan

hukum dalam suatu tatanan sistem tertentu.

B. Aliran-Aliran Hukum

Dalam praktik peradilan terdapat beberapa aliran hukum yang mempunyai

pengaruh luas bagi pengelolaan hukum dan proses peradilan. Aliran hukum yang

dimaksud adalah sebagai berikut:

1. Aliran legisme.

Cara pandang aliran legisme adalah bahwa semua hukum terdapat dalam

undang-undang. Maksudnya diluar undang-undang tidak ada hukum. Dengan

demikian, hakim dalam melaksanakan tugasnya hanya melakukan pelaksanaan

undang-undang belaka (wetstiopasing), dengan cara yuridische sylogisme,

yakni suatu deduksi logis dari perumusan yang umum (preposisi mayor)

kepada suatu keadaan yang khusus (preposisi minor), sehingga sampai kepada

suatu kesimpulan (konklusi). Sebagai contoh:

 Siapa saja karena salahannya menyebabkan matinya orang dihukum

penjara selama-lamanya lima tahun (preposisi mayor).

12
 Si Ahmad karena salahnya menyebabkan matinya orang (preposisi

minor). contoh: Si Ahmad dihukum penjara selama-lamanya lima tahun

(konklusi). Aliran ini berkeyakinan bahwa semua persoalan sosial akan

dapat diselesaikan dengan undang-undang. Oleh karena itu, mengenai

hukum yang primer adalah pengetahuan tentang undang-undang,

sedangkan mempelajari yurisprudensi adalah sekunder.

2. Aliran freie rechtslehre atau  freie rechtsbewegung atau  freie

rechtschule.

Pandangan Aliran freie rechtslehre/freie rechtsbewegung/ freie

rechtsschule berbeda cara pandang dengan aliran legisme. Aliran ini

beranggapan, bahwa di dalam melaksanakan tugasnya, seorang hakim

bebas untuk melakukan sesuatu menurut undang-undang atau tidak. Hal ini

dikarenakan pekerjaan hakim adalah menciptakan hukum. Aliran ini

beranggapan bahwa hakim benar-benar sebagai pencipta hukum (judge

made law), karena keputusan yang berdasarkan keyakinannya merupakan

hukum. Oleh karena itu, memahami yurisprudensi merupakan hal primer di

dalam mempelajari hukum, sedangkan undang-undang merupakan hal yang

sekunder. Tujuan daripada freie rechtslehre menurut R. Soeroso adalah

sebagai berikut:

 Memberikan peradilan sebaik-baiknya dengan cara member kebebasan

kepada hakim tanpa terikat pada undang-undang, tetapi menghayati

tata kehidupan sehari-hari.

13
 Membuktikan bahwa dalam undang-undang terdapat kekurangan-

kekurangan dan kekurangan itu perlu dilengkapi.

 Mengharapkan agar hakim memutuskan perkara didasarkan kepada

rechts ide (cita keadilan).

3. Aliran rechtsvinding (penemuan hukum)

Sedangkan aliran rechtsvinding adalah suatu aliran yang berada di

antara aliran legisme dan aliran freie rechtslehre/freie rechtsbewegung/freie

rechtsschule. Aliran ini berpendapat bahwa hakim terikat pada undang-

undang, tetapi tidak seketat sebagaimana pendapat aliran legisme, sebab

hakim juga mempunyai kebebasan.

Dalam hal ini, kebebasan hakim tidaklah seperti pendapat freie

rechtsbewegung, sehingga hakim di dalam melaksanakan tugasnya

mempunyai kebebasan yang terikat. (gebonden vrijheid), atau keterikatan

yang bebas (vrije gebondenheid). Jadi tugas hakim merupakan melakukan

rechtsvinding, yakni menyelaraskan undang-undang yang mempunyai arti

luas.

Kebebasan yang terikat dan keterikatan yang bebas terbukti dari

adanya beberapa kewenangan hakim, seperti penafsiran undang-undang,

menentukan komposisi yang terdiri dari analogi dan membuat

pengkhususan dari suatu asas undang-undang yang mempunyai arti luas.

Menurut aliran rechtsvinding bahwa yurisprudensi sangat penting untuk

14
dipelajari di samping undang-undang, karena di dalam yurisprudensi

terdapat makna hukum yang konkret diperlukan dalam hidup

bermasyarakat yang tidak ditemui dalam kaedah yang terdapat dalam

undang-undang. Dengan demikian memahami hukum dalam perundang-

undangan saja, tanpa mempelajari yurisprudensi tidaklah lengkap, Namun

demikian, hakim tidaklah mutlak terikat dengan yurisprudensi seperti di

negara Anglo Saxon, yakni bahwa hakim secara mutlak mengikuti

yurisprudensi.

Aliran yang berlaku di Indonesia adalah aliran rechtsvinding, bahwa

hakim dalam memutuskan suatu perkara berpegang pada undang-undang

dan hukum lainnya yang berlaku di dalam masyarakat secara kebebasan

yang terikat (gebonden vrijheid) dan keterikatan yang bebas (vrije

gebondenheid). Tindakan hakim tersebut berdasarkan pada pasal 20,22 AB

dan Pasal 16 ayat (1) dan pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4

Tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman. Pasal 20 AB mengatakan

bahwa: “Hakim harus mengadili berdasakan undang-undang”.

Pasal 22 AB mengatakan bahwa: “Hakim yang menolak untuk

mengadili dengan alasan undang-undangnya bungkam, tidak jelas atau

tidak lengkap, dapat dituntut karena menolak untuk mengadili”.

Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 berbunyi:

“Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili dan

memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada

15
atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya”.

Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 berbunyi: “Hukum

wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa

keadilam yang hidup dalam masyarakat”.

16
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Hukum hanya sebagai kumpulan peraturan yang tidak hanya mengikat

masyarakat tetapi juga hakim. Undang-undang adalah sesuatu yang berbeda

dari bentuk dan isi konstitusi karena kedudukan itulah undang-undang

mengawasi hakim dalam melaksanakan jabatan nya dalam menghukum orang-

orang yang bersalah. Sebuah istilah yang di ajarkan oleh Aristoteles yang

menyatakan bahwa manusia dikodratkan untuk hidup bermasyarakat dengan

manusia yang lain. Ajaran ini adalah salah satu gambaran bahwa manusia

membutuhkan keberadaan manusia yang lain untuk mengatasi

permasalahannya.

B. Saran

Hukum sebagai kumpulan peraturan yang mengikat semua lapisan

masyarakat, sebaiknya dirumuskan dengan dasar-dasar teori yang baik dan

benar agar dalam proses penerapanya dilaksanakan dengan seadil-adilnya

tanpa memandang status sosial dalam masyarakat.

17

Anda mungkin juga menyukai