Anda di halaman 1dari 12

Oleh Kelompok 3

Nama Anggota:
1. Sahrul Babul R.
2. Denni Lilik Juniawan
3. Endis Fitcat Miagung
4. Fuad Hasan
5. Herdiwan Supriyatna
6. Muhammad Prayudo Hadi
7. Abigail Caroline
Pelaku kebiasaan , penjahat kambuhan atau
penjahat karir adalah orang yang dihukum karena
kejahatan baru yang sebelumnya dinyatakan
bersalah atas kejahatan. Berbagai negara bagian
dan yurisdiksi mungkin memiliki undang - undang
yang menargetkan pelanggar kebiasaan, dan secara
khusus memberikan hukuman yang ditingkatkan atau
patut dicontoh atau sanksi lainnya. Mereka
dirancang untuk melawan residivisme kriminal
dengan ketidakmampuan fisik melalui penjara .
1. Menurut Mr. W. A. Bonger
The Habitat Criminal yakni, Mereka atau orang yang selalu
mengulangi perbuatannya, seperti pemabok, pengemis. Dan dapat
juga digolongkan sebagai residivis.
2. Menurut Ruth Shonle Cavan
The Habitual Criminal ialah meraka yang melakukan
kejahatan ringan sebagai escape from reality (pelarian kenyataan)
hidup dan sekedar memenuhi kebutuhan misalnya, pemabuk,
narkotika.
3. Menurut Aschaffenburg
Penjahat karena kebiasaan, yaitu mereka yang secara
teratur melakukan kejahatan.
Sifat, ruang lingkup, dan jenis undang-undang
pelanggaran kebiasaan bervariasi, tetapi umumnya
berlaku ketika seseorang telah divonis dua kali karena
berbagai kejahatan. Beberapa kode dapat membedakan
antara kelas kejahatan (misalnya, beberapa kode hanya
berurusan dengan kejahatan kekerasan ) dan lamanya
waktu. Biasanya sangat ditingkatkan, dalam beberapa
keadaan mungkin lebih banyak daripada hukuman
maksimum untuk kejahatan .
Undang-undang pelanggar hukum dapat
memberikan hukuman wajib - di mana hukuman minimum
harus dijatuhkan, atau dapat memungkinkan diskresi
pengadilan dalam memungkinkan pengadilan untuk
menentukan hukuman yang tepat. Salah satu contoh
undang-undang pelaku kebiasaan adalah ketentuan yang
mengharuskan pencabutan SIM untuk seseorang yang
divonis beberapa kali mengemudi di bawah pengaruh
alkohol dll.
Praktik menjatuhkan hukuman penjara yang lebih
lama pada penjahat kambuhan daripada pelaku pertama kali
yang melakukan kejahatan yang sama bukanlah inovasi.
Sebagai contoh, New York memiliki hukum pelaku
kejahatan yang kuat yang berasal dari akhir abad ke-19.
Hukum pelaku kebiasaan lama ini tidak memberikan
hukuman wajib.
Hasil yang tidak adil dan tidak biasa

Hukum Pelanggar Kebiasaan, tergantung pada


ruang lingkup dan ruang diskresi yang diberikan kepada
hakim, dapat menyebabkan orang yang dihukum cukup
berat untuk pelanggaran yang relatif kecil. Sifat
discretionary dari hukum berarti bahwa mereka dapat
diterapkan secara tidak merata.
Di Australia, undang-undang yang berkaitan dengan
pelanggar yang berbahaya dan kebiasaan telah dikritik
karena mengabaikan prinsip kepastian dalam hukuman.
Perhatian utama lainnya di Australia adalah kesenjangan
yang cukup besar yang ada dalam persyaratan untuk status
pelaku yang berbahaya dan dalam kalimat yang tersedia
untuk pelanggar tersebut di seluruh yurisdiksi.
Persyaratan usia dan pelanggaran, ketentuan
hukuman yang tidak ditentukan atau ditetapkan, dan
prosedur peninjauan sangat berbeda dari satu negara bagian
ke negara bagian lain; ketidakkonsistenan ini telah dihapus
sampai batas tertentu dalam dekade terakhir.
1. Budaya Minum

Budaya minum di Sulawesi Utara (Manado, Minahasa)


seringkali dikaitkan dengan perilaku mabuk-mabukan. Sudah
banyak pelaku mabuk-mabukan di tangkap dan masuk dalam
proses peradilan pidana, tetapi budaya minum tetap saja
berlangsung. Menurut narasumber dari Pusat Kebudayaan
Sulawesi Utara (Pa’dior), Bapak Lexy M menceritakan budaya
yang melekat adalah budaya minum alkohol (sofi).
“Budaya minum di Manado dan sekitar bukan dilakukan
perorangan tapi bersama-sama, tidak boleh berlebihan, harus
saling jaga satu dengan lain. Tradisi minum berawal dari tradisi
duduk di meja makan sebagai tempat penyampaian pesan orang
tua kepada anaknya tentang keteladanan orang tua. Begitu pula
minuman beralkohol sebagai minuman tradisional untuk
kesehatan, penghangat tubuh malam hari, dan sarana
penghormatan pada tamu. Tapi saat ini banyak disalahgunakan
terutama di kalangan anak muda.” (Wawancara Lexy M, 15 Juli
2016, di Manado).
2. Preman & Duta
Beberapa lokasi di Palembang dan sekitar sering di juluki
sebagai tempat rawan oleh warga sekitar seperti Kertapati, Pebem
dan Tanggo Buntung. Beberapa preman yang berada di wilayah
tersebut kebanyakan tumbuh karena tindak kekerasan yang
dialaminya pada masa lalu. Hal ini memicu mereka menjadi
preman untuk membalas kekerasan yang dialami dengan
kekerasan yang sama pada masa kini.
Fenomena kekerasan lain adalah Duta di Kayu Agung.
Seorang narasumber di Kayu Agung (sebut saja SUL)
menjelaskan fenomena Duta dekat dengan perilaku kekerasan
yang dilatarbelakangi kebiasaan lokal dan keterbatasan sumber
daya alam. Duta merupakan fenomena lokal yang selalu dikaitkan
dengan kejahatan atau perilaku menyimpang.
3. Tajen
Di Bali, perilaku menyimpang perjudian tampak dalam
acara sabung ayam (Tajen). Beberapa narasumber mengatakan
terdapat perbedaan antara Tajen dengan Tabuh Rah. Tabuh Rah
adalah kegiatan formal dalam prosesi upacara keagamaan di
Bali. Dalam kenyataan seringkali acara Tabuh Rah dipakai
sebagai kedok untuk terhindar dari razia pihak kepolisian yang
jelas-jelas melarang Tajen karena sarat dengan praktik perjudian.
Tidak mengherankan jika Tajen saat ini tetap berjalan
terutama menjelang hari-hari besar keagamaan di Bali.
Fenomena Tajen menunjukkan bagaimana suatu kegiatan sosial
meski sudah dikategorikan perilaku menyimpang tetap sulit
diberantas karena bagian dari kebiasaan (budaya) masyarakat
setempat.

Anda mungkin juga menyukai