Anda di halaman 1dari 4

1.

Hukum Adat sebagai Cerminan Budaya Hukum Masyarakat


Tatkala para subjek hukum bersentuhan dengan hukum, maka hukum yang dimaksud tidak lagi
sepenuhnya bermakna tekstual sebagaimana tertulis di dalam undang-undang atau sumber hukum
positif lainnya. Hukum tersebut pasti sudah dikaitkan dengan fakta konkret yang tengah dihadapi.
Dengan perkataan lain, hukum yang in abstracto itu dihubungkan dengan kontekst fakta konkret yang
terjadi, sehingga pada akhirnya akan ditemukan jawaban seperti apa suatu kasus hukum akan
diselesaikan. Jawaban ini, jika dituangkan di dalam putusan hakim, akan menjadi hukum yang in
concreto.
Kalimat di atas memberi penegasan bahwa teks hukum memang tidak pernah lepas dari konteks.
Dalam proses ketika sebuah hukum dibentuk, misalnya oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan
Pemerintah sebagai pembentuk undang-undang, rancangan hukum tersebut pasti menampung
kebutuhan-kebutuhan masyarakat yang menjadi sasaran norma hukum itu. Artinya, hukum yang
dibuat harus sejalan dengan tuntutan kebutuhan masyarakat. Tuntutan kebutuhan ini bukan sesuatu
yang berada di awang-awang, melainkan kebutuhan yang senyatanya ada di dalam kehidupan
masyarakat, yang dipandang mendesak untuk diatur ke dalam hukum positif. Hal ini berarti ketika
suatu hukum positif, khususnya undang-undang ditetapkan, maka di situ sudah ada jaminan hukum
positif ini dapat berlaku secara sosiologis (karena masyarakat memang membutuhkan) dan berlaku
secara filosofis (karena masyarakat memandang seyogianya memang hal itu perlu dibuat aturannya).
Dengan demikian, menjadi tugas negara untuk menetapkan pengaturan itu ke dalam hukum positif,
sehingga peraturan itu berlaku secara yuridis.

Dalam hal ini terlihat bahwa hukum positif, baik ketika dibentuk maupun pada saat diterapkan dalam
kasus-kasus konkret di lapangan, akan bersentuhan dengan faktor ruang dan waktu. Faktor ruang
menunjuk pada tempat (lokasi) tempat para subjek hukum berada dan berinteraksi dengan sesama dan
alam sekitarnya. Faktor waktu menunjuk pada kurun masa tertentu pada saat subjek hukum ini hidup
dan beraktivitas. Kedua faktor ini membingkai aktivitas manusia sebagai mahluk individu dan mahluk
sosial, sehingga faktor ruang dan waktu ini dapat membentuk pola perilaku anggota-anggota
masyarakat. Adat dan kebiasaan adalah contoh dari pola perilaku orang-orang yang berada dalam
ruang yang sama pada kurun waktu tertentu. Kesamaan ini membentuk budaya.

Secara leksikal, ’budaya’ diartikan sebagai pikiran, akal budi, adat istiadat, atau sesuatu yang sudah
menjadi kebiasaan yang sudah sukar diubah. Sementara itu ada kata ’kebudayaan’ yang dimaknai
sebagai hasil kegiatan dan penciptaan batin (akal budi) manusia seperti kepercayaan, kesenian, dan
adat istiadat. Bisa juga diartikan sebagai keseluruhan pengetahuan manusia sebagai mahluk sosial
yang digunakan untuk memahami lingkungan serta pengalamannya dan yang menjadi pedoman
tingkah lakunya  (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2005: 169-170).
Seorang antropolog dan budayawan Indonesia, Koentjaraningrat (1985) menyebutkan tujuh unsur
universal yang terkandung dalam kebudayaan, yaitu: (1) sistem religi dan upacara keagamaan, (2)
sistem dan organisasi kemasyarakatan, (3) sistem pengetahuan, (4) bahasa, (5) kesenian, (6) sistem
mata pencaharian hidup, dan (7) sistem teknologi dan peralatan. Selanjutnya, ketujuh unsur itu lalu
mewujud ke dalam tiga macam fenomena, yaitu: (1) suatu kompleks ide, nilai, dan norma, (2)
kompleks aktivitas kelakukan berpola, dan (3) benda-benda hasil karya manusia.

Konsep lain tentang budaya dan kebudayaan disampaikan oleh Bernardo Bernadi yang kemudian
disederhanakan ole Soerjanto Poespowardojo (1993: 7-9), dengan membagi fenomena kebudayaan ke
dalam empat faktor dasar, yaitu: (1) anthropos, (2) oikos, (3) tekne, dan (4) ethnos. Keempat faktor
dasar ini dapat dipandang sebagai unsur yang menentukan perkembangan suatu kebudayaan.
Faktor anthropos berkaitan dengan manusia. Pada dasarnya manusia bukanlah mahluk rasional yang
sudah selesai dan sempurna. Artinya, manusia perlu berkarya agar dapat membuat dunianya menjadi
lebih bermakna. Potensi manusia inilah yang menjadikannya sebagai agen kebudayaan yang kreatif.
Faktor kedua, yaitu oikos, yang berarti alam atau lingkungan tempat manusia melakukan proses
kreativitasnya. Lingkungan inilah yang menjadi medan perjuangan manusia, sehingga muncul
hubungan antara manusia dan alam sekitarnya. Faktor ketiga adalah tekne, yakni akar kata
dari teknologi sebagai sarana/prasarana yang dgunakan manusia dalam membantunya mengelola 
kehidupannya. Hukum dapat saja dipandang sebagai tekne apabila dipahami sebagai alat untuk
mencapai tujuan kehidupan bermasyarakat yang lebih baik. Faktor terakhir atau keempat
adalah ethnos, yaitu komunitas. Karya manusia yang sebaik apapun, termasuk hukum positif yang
dibuat oleh manusia, tidak akan bermakna jika tidak didukung oleh semangat kolektif. Hukum yang
baik harus dilahirkan karena memang dikehendaki oleh masyarakat dan diterapkan sebagai
konsekuensi dari kesepakatan sosial.
Keempat faktor dasar dalam budaya ini sejalan dengan pernyataan dari Lawrence M. Friedman (1984:
6) tentang budaya hukum. Ia menyatakan:

… people’s attitudes toward law and legal system―their beliefs, values, ideas, and expectations. . .
The legal culture, in other words, is the climate of social thought and social force which determines
how law is used, avoided, or abused. Without legal culture, the legal system is inert―a dead fish
lying in a basket, not a living fish swimming in its sea.

Ahli hukum Jerman, F.C. von Savigny meyakini bahwa faktor budaya sangat berperan untuk
menentukan corak hukum suatu masyarakat, bahkan bangsa. Setiap bangsa yang dipersatukan oleh
bingkai sejarah yang sama, biasanya memiliki satu jiwa bangsa (Volksgeist). Hukum tidak dibuat,
melainkan tumbuh bersama dengan masyarakat. Dalam teori yang lebih modern, Leon Duguit dari
Prancis menyimpulkan bahwa hukum objektif itu tidak tumbuh dari jiwa bangsa atau dari undang-
undang, melainkan dibangun oleh solidaritas sosial. Artinya, berkat ikatan solidaritas sosial itulah
maka kehidupan suatu bangsa bisa berjalan dengan tertib, dan hukum bisa ditegakkan.  Dua
pendekatan berpikir ala Savigny dan Duguit mencerminkan pandangan bahwa hukum sebagai pola
perilaku sosial dalam skala makro. Hukum dikaitkan dengan jiwa bangsa dan solidaritas sosial.
Di sisi lain, ada pandangan yang lebih melihat hukum sebagai pola-pola perilaku sosial dalam skala
meso dan mikro. Perilaku masyarakat tatkala bersentuhan dengan hukum dapat dijadikan contoh.
Perilaku pengendara mobil dan sepeda motor dalam menghadapi rambu-rambu lalu lintas di jalan,
atau perilaku masyarakat yang hadir di persidangan saat mengikuti persidangan, adalah beberapa
contoh konkret dari pendekatan meso dan mikor dalam budaya hukum masyarakat.

Dilihat dari subjek yang membentuk budaya hukum tersebut, oleh Friedman dibedakan menjadi dua.
Ada budaya hukum eksternal yang melibatkan masyarakat luas secara umum. Selain itu ada budaya
hukum internal, yaitu budaya yang dikembangkan oleh para aparat penegak hukum. Kedua jenis
budaya hukum ini saling mempengaruhi. Jika budaya hukum ekternalnya sehat, maka dengan
sendirinya budaya hukum internal akan ikut menyesuaikan karena aparat penegak hukum pada
hakikatnya adalah produk dari masyarakatnya sendiri. Jika masyarakat tidak terbiasa memberi suap
maka aparat penegak hukum juga tidak akan terbiasa meminta suap. Pada sisi sebaliknya, jika aparat
penegak hukum terbiasa menolak dengan tegas setiap bentuk penyuapan, maka masyarakat juga tidak
akan berani memulai berinisiatif memberi suap.

Terlepas apakah pola-pola perilaku yang dibiarkan terjadi terus-menerus itu baik atau buruk bagi
kehidupan hukum di dalam masyarakat, maka demikianlah suatu budaya hukum akan tercipta. Di sini
berlaku hukum tidak tertulis, bahwa pola perilaku yang berulang-ulang akhirnya akan ”disepakati”
mengikat bagi seluruh warga masyarakat. Budaya hukum yang baik akan berkontribusi membentuk
sistem hukum yang sehat, sementara budaya hukum yang tidak baik akan mendorong timbulnya
sistem hukum yang sakit.

Budaya hukum yang sehat diwujudkan dalam bentuk kesadaran hukum (rechtsbewustzijn), sedangkan
budaya hukum yang sakit (tidak sehat) ditunjukkan melalui perasaan hukum (rechtsgevoel). J.J. von
Schmid (1965: 63) dengan tepat membedakan kedua terminologi itu. Menurutnya, ”Van rechtsgevoel
dient men te spreken bij spontaan, onmiddelijk als waarheid vastgestelde rechtswaardering, terwijl
bij het rechtsbewustzijn men met waarderingen te maken heeft, die eerst middelijk, door nadenken,
redeneren en argumentatie aan nemelijk gemaakt worden.” Schmid kurang lebih menyatakan bahwa
perasaan hukum adalah penilaian masyarakat atas hukum yang diungkapkan mereka secara spontan,
langsung, dan apa adanya, sementara kesadaran hukum lebih merupakan penilaian tidak langsung
karena kesadaran hukum berangkat dari hasil pemikiran, penalaran, dan argumentasi.
Sebagai contoh, kegeraman masyarakat terhadap pelaku kejahatan yang meresahkan, sering
ditunjukkan dengan tindakan yang justru destruktif, termasuk merusak ruang pengadilan atau fasilitas
umum. Juga pernah terjadi tawuran selepas hakim menutup persidangan karena salah satu pihak tidak
puas dengan putusan hakim. Kasus-kasus yang dipandang sebagai penghinaan terhadap martabat
peradilan (contempt of court) bermula dari perasaan hukum.
Untuk mengetahui seberapa sehat suatu sistem hukum, dapat dicermati pada saat hukum ditegakkan
dalam kasus-kasus konkret. Apa yang dihadapi oleh para hakim di ruang-ruang pengadilan merupakan
batu ujian untuk memahami sehat tidaknya suatu sistem hukum, termasuk di dalamnya unsur budaya
hukum yang hidup di tengah-tengah masyarakat. Oleh sebab itu, budaya hukum dan penegakan
hukum merupakan dua mata rantai yang saling berhubungan.

Anda mungkin juga menyukai