Anda di halaman 1dari 2

TEORI ASAL MULA NEGARA MENURUT BENEDICTUS DE SPINOZH

Benedictus de spinozh adalah sarjana belanda yang hidup pada tahun 1632-1677
bukunya yang paling terkenal adalah tentang negara dan hukum yaitu Etika dan Traktat
Teologis Politik. Meskipun dia merupakan sarjana hukum alam tetapi pendpatnya berbeda. Dia
mengatakan bahwa hukum alam itu bukan suatu Sollen, akan tetapi adalah suatu Sein.
Das sollen adalah apa yang seharusnya hukum sebagai fakta hukum yang diungkapkan
para ahli hukum dalam tataran teoritik (law in the books), yakni hukum dalam bentuk cita-cita
bagaimana seharusnya; sedangkan (das sein) lebih kepada hukum sebagai fakta (yang
senyatanya), yaitu hukum yang hidup berkembang dan berproses di masyarakat (law in action).

Jadi dengan demikian Spinoza tidak mengatakan bagaimana orang itu seharusnya,
tetapi yang dinyatakan adalah : bagaimana orang itu dalam keadaan alam yang sewajarnya.
Menurut Spinoza, manusia itu, baik waktu masih dalam keadaan alamiah, maupun sesudah
bernegara, perbuatannya tidak semata-mata berpedoman atau di dasarkan pada rasio saja,
akan tetapi sebagian besar dari perbuatan manusia itu dipengaruhi oleh hawa nafsunya.
Malahan inilah yang memberi corak pada perbuatan manusia.
Lebih lanjut Spinoza mengatakan bahwa, jika perbuatan manusia itu hanya di dasarkan
atas rasio saja, ini belum memberikan kepuasan. Oleh karena manusia sebagai makhluk sosial
membutuhkan perdamaian. Sebaliknya jika perbuatan manusia itu hanya di dasarkan atas
nafsunya seperti dalam keadaan alamiah, juga tidak akan memberikan kepuasan, karena di
samping nafsu manusia memiliki rasio. Sifat-sifat kodrat manusia yang demikian ini tidak akan
dilepaskan meskipun dalam negara.
Maka salah satu soal yang dikemukakan oleh Spinoza adalah, bagaimanakah
mungkinnya orang yang semula hidup dalam keadaan alam bebas, dalam keadaan alamiah,
beralih ke keadaan bernegara, di mana ia hidup di bawah kekuasaan negara dan selalu terikat
oleh semua peraturanperaturan dan atau undang-undang. Hal ini dijelaskan oleh Spinoza,
bahwa dalam keadaan alamiah manusia itu memang hidup dengan segala hawa nafsunya,
tetapi hal ini tidak memberikan kepuasan, karena sebagai makhluk sosial manusia itu ingin
hidup dengan damai, aman, tenteram dan tanpa ketakutan. Untuk mencapai tujuan inilah maka
manusia membentuk negara.
Tentang terjadinya negara menurut Spinoza, apakah itu karena perjanjian masyarakat
ataukah tidak, tidak begitu terang. Karena ia hanya menerangkan secara logis peralihan dari
keadaan alamiah ke keadaan bernegara.44)
Tugas negara menurut Spinoza adalah menyelenggarakan perdamaian, ketentraman
dan menghilangkan ketakutan. Maka untuk mencapai tujuan ini. ketentraman dan
menghilangkan ke warga negara harus mentaati segala peraturan dan undang-undang negara a
tidak boleh membantah, meskipun peraturan atau undang-undang negara itu sifatnya tidak adil
dan merugikan. Sebab jika tidak demikian, maka keadaan alamiah akan timbul kembali. Jadi
dengan demikian kekuasaan negara adalah mutlak terhadap warga negaranya.
Hanya dua hal yang tidak dapat dikuasai oleh negara secara mutlak, yaitu berpikir dan
menimbang. Maka akibatnya bila sebagian besar daripada warga negaranya tidak mau tunduk,
tidak mau taat, negara tidak dapat berbuat apa-apa.
Mengenai bentuk negara yang dipilih Spinoza adalah bentuk Aristokrasi, sebab di sini
yang berkuasa adalah beberapa orang, dan dasar kekuasaannya akan lebih kokoh dan kuat
daripada dalam monarki yang hanya diperintah oleh satu orang saja, yang selalu dipengaruhi
oleh kepentingan pribadi, apalagi kalau sifatnya turun-temurun, jadi pokoknya monarki ditolak.
Pemikiran Spinoza belum sampai pada Demokrasi, karena ia telah meninggal."
Dari seluruh ajarannya, Spinoza lebih memperlihatkan cara berpikir, yang berdasarkan
atas kenyataan, dan telah mengganti pandangan yang abstrak tentang susunan pemerintahah
dengan suatu pandangan yang Derdasarkan atas kenyataan, di mana keadaan-keadaan yang
nyata menguasa Pikiran tentang negara dan hukum seluruhnya. Kecenderungan
memperalihkan dari cara berpikir secara abstrak ke arah praktek kenegaran tampak lebih jelas
pada alam pikiran seorang sarjana Inggris, yang merupakan jembatan antara pemikiran tentang
negara dan hukum pada abad ke XVII dengan pemikiran tentang negara dan hukum pada abad
ke XVIII, dengan akibat bahwa pemikiran tentang negara dan hukum pada abad ke XVIII bersifat
lain sama sekali dengan sifat pemikiran tentang negara dan hukum pada abad ke XVII. Sarjana
tersebut yang dimaksud adalah : John Locke.

Anda mungkin juga menyukai