Anda di halaman 1dari 3

3.

3 Akibat Hukum
Akibat hukum adalah akibat yang ditimbulkan oleh peristiwa hukum (Ishaq, 2008:86). Karena
suatu peristiwa hukum disebabkan oleh perbuatan hukum, sedangkan suatu perbuatan hukum
juga dapat melahirkan suatu hubungan hukum, maka akibat hukum juga dapat dimaknai sebagai
suatu akibat yang ditimbulkan oleh adanya suatu perbuatan hukum dan/atau hubungan hukum.

Lebih jelas lagi, menurut Syarifin (1999:71), akibat hukum adalah segala akibat yang terjadi dari
segala perbuatan hukum yang dilakukan oleh subyek hukum terhadap obyek hukum atau akibat-
akibat lain yang disebabkan karena kejadian-kejadian tertentu oleh hukum yang bersangkutan
telah ditentukan atau dianggap sebagai akibat hukum.

Berdasarkan uraian tersebut, untuk dapat mengetahui telah muncul atau tidaknya suatu akibat
hukum, maka yang perlu diperhatikan adalah hal-hal sebagai berikut :

1. Adanya perbuatan yang dilakukan oleh subyek hukum terhadap obyek hukum atau
terdapat akibat tertentu dari suatu perbuatan, yang mana akibat itu telah diatur oleh
hukum;
2. Adanya perbuatan yang seketika dilakukan bersinggungan dengan pengembanan hak dan
kewajiban yang telah diatur dalam hukum (undang-undang).

Contoh :

1. Timbulnya hak dan kewajiban si pembeli dan si penjual tanah merupakan akibat dari
perbuatan hukum jual beli tanah antara pemilik tanah dengan pembeli
2. Dihukumnya seorang pembunuh adalah akibat hukum dari perbuatan pembunuhan
tersebut, yakni menghilangkan jiwa orang lain

3.3.1 macam-macam akibat hukum

Ada 3 macam akibat hukum yang dapat berwujud sebagai berikut:

1. Akibat hukum berupa lahirnya, berubahnya atau lenyapnya suatu keadaan hukum.
Contoh :
1. Usia menjadi 21 tahun, akibat hukumnya berubah dari tidak cakap hukum
menjadi cakap hukum, atau
2. Dengan adanya pengampuan, lenyaplah kecakapan melakukan tindakan hukum.
2. Akibat hukum berupa lahirnya, berubahnya atau lenyapnya suatu hubungan hukum,
antara dua atau lebih subyek hukum, di mana hak dan kewajiban pihak yang satu
berhadapan dengan hak dan kewajiban pihak yang lain.

Contoh:
Made mengadakan perjanjian jual beli dengan Ketut. Dengan adanya perjanjian tersebut
(persitiwa hukum), maka lahirlah hubungan hukum antara Made dan Ketut. Dengan
lahirnya hubungan hukum tersebut, lahir akibat hukum berupa hak dan kewajiban.
Setelah dibayar lunas, hubungan hukum tersebut menjadi selesai.
3. Akibat hukum berupa dijatuhkannya sanksi apabila dilakukannya tindakan yang melawan
hukum.

Contoh:
Seorang pencuri yang dihukum adalah suatu akibat hukum dari perbuatan si pencuri.
Mencuri ialah mengambil barang orang lain tanpa hak dan secara melawan hukum.

3.3.2 Perbedaaan batal demi hukum dan dapat dibatalkan

Secara istilah batal demi hukum mengandung pengertian bahwa akibat-akibat dari keputusan
dianggap tidak pernah ada atau dikembalikan seperti semula sebelum adanya keputusan.
Sedangkan dapat dibatalkan mengandung arti bahwa akibat-akibat yang timbul dari suatu
keputusan tetap sah sebelum diadakan pembatalan.

Untuk lebih mudah memahami maksud dan pengertian tersebut, maka dapat dikaitkan dengan
sebuah contoh perbuatan hukum. Misal perjanjian, maka dalam hal ini untuk mengetahui bahwa
suatu perjanjian sah atau tidak sah harus diuji dengan beberapa syarat. Karena perjanjian yang
tidak sah mengandung pengertian bahwa perjanjian tersebut batal demi hukum, sedangkan
perjanjian yang sah tetap dapat dibatalkan apabila diajukan pembatalan karena terdapat salah
satu atau beberapa syarat yang tidak dipenuhi. Pasal 1320 KUH Perdata menentukan 4 syarat
sahnya perjanjian yaitu :

1. Sepakat
2. Kecakapan
3. Suatu hal tertentu
4. Sebab yang halal

Syarat pertama dan kedua disebut syarat subjektif karena kedua syarat tersebut harus dipenuhi
oleh subjek hukum, sedangkan syarat ketiga dan keempat disebut dengan syarat objektif karena
kedua syarat ini harus dipenuhi terhadap objek yang diperjanjikan.

Tidak terpenuhinya (salah satu) syarat subjektif dapat mengakibatkan suatu perjanjian dapat
dibatalkan, maksudnya perjanjian tersebut menjadi batal apabila ada yang memohonkan
pembatalan. Sedangkan tidak terpenuhinya (salah satu) syarat objektif dapat mengakibatkan
perjanjian tersebut batal demi hukum, artinya sejak semula dianggap tidak pernah dilahirkan
suatu perjanjian dan tidak pernah ada suatu perjanjian.

Lebih jelasnya syarat-syarat tersebut dapat diuraikan sebagai berikut :

1. Sepakat ; Para pihak yang terlibat dalam suatu perjanjian harus sepakat atau setuju
mengenai hal-hal pokok dari perjanjian tersebut. Pasal 1321 KUH Perdata menentukan
bahwa kata sepakat tidak sah apabila diberikan karena kekhilafan atau diperoleh karena
paksaan dan/atau penipuan.
2. Kecakapan ; Pasal 1330 KUH Perdata menentukan bahwa setiap orang adalah cakap
untuk membuat perikatan, kecuali undang-undang menentukan bahwa ia tidak cakap.
Mengenai orang-orang yang tidak cakap untuk melakukan perjanjian dapat kita temukan
dalam pasal ini, yaitu orang-orang yang belum dewasa dan mereka yang berada dibawah
perwalian.
3. Suatu hal tertentu ; Mengenai hal ini dapat kita temukan dalam pasal 1332 dan 1333
KUH Perdata. Yaitu “hanya barang-barang yang dapat diperdagangkan saja dapat
menjadi pokok suatu perjanjian” (Ps.1332) dan “suatu perjanjian harus mempunyai
sebagai pokok suatu barang yang paling sedikit ditentukan jenisnya. Tidaklah menjadi
halangan bahwa jumlah barang tidak tentu, asal saja jumlah itu dapat ditentukan dan
dihitung (Ps. 1333).
4. Sebab yang halal ; Perjanjian tidak dilarang oleh undang-undang atau tidak bertentangan
dengan kesusilaan atau ketertiban umum (Ps. 1337). Selain itu pasal 1335 KUH Perdata
juga menentukan bahwa suatu perjanjian yang dibuat karena sebab yang palsu atau
terlarang adalah tidak mempunyai kekuatan hukum.

Anda mungkin juga menyukai