Anda di halaman 1dari 8

A.

Latar belakang

Istilah samenloop ini ada yang menterjemahkan sebagai “gabungan beberapa tindak
pidan’ da nada juga yang mengartikan “rentetan beberapa peristiwa pidan”. Di samping itu ada
juga memakai “perbarengan dari beberapa perbuatan pidana”.

Suatu samenloop van strafbare feiten atau suatu gabungan dari perbuatan-perbuatan yang
dapat dihukum itu hanya ada, yaitu apabila perbuatan-perbuatan yang dapat dihukum itu hanya
ada, yaitu apabila perbuatan-perbuatan tersebut telah dilakukan oleh satu orang yang sama dan di
antara perbuatan-perbuatan itu tudak terdapat suatu putusan hakim yang telah mengadili satu
atau lebihdari perbuatan-perbuatan tersebut.

Yang dimaksud dengan Samenloop Van Starfbare Feiten yaitu:

Apabila seseorang melakukan satu perbuatan dan dengan melakukan satu perbuatan itu ia
melanggar beberapa perbuatan atau apabila seseorang melakukan beberapa perbuatan dan
tiap-tiap perbuatan itu merupakan tindak pidana/perbuatan pidana yang berdiri sendiri-
sendiri dan terhadap salah satu pelanggaran dari peraturan pidana itu belumlah dihatuhi
putusan hakim atas diri orang tersebut dan terhadap beberapa pelanggaran dari beberapa
peraturan pidana itu diadili sekaligus.

Pembagian lain dari samenloop apabila kita tinjau dari segi bentuknya dapat dibagi atas 3
hal yaitu :

 Eendaadse Samenloop (concursus idealis = Perbarengan Peraturan)


Bentuk ini diatur dalam pasal 63 KUHP
 Meerdaadse samenloop (concursus realis = Perbarengan Perbuatan)
Bentuk ini diatur dalam pasal 65 KUHP
 Voorgezette handeling = Perbuatan berlanjut.
Bentuk ini diatur dalam pasal 64 KUHP

Dengan demikian dalam Makalah ini akan membahas lebih lanjut terhadap bentuk
gabungan tindak pidana Eendaadse Samenloop (concursus idealis).
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian concursus?
2. Jelaskan pengertian concursus idealis?
3. Sebutkan sistem pemberian pidana pada concursus idealis?
4. Apa itu teori penyerapan?
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Concursus

Concursus diatur dalam pasal 63 sampai dengan 71 KUHP, dalam KUHP gabungan
melakukan tindak pidana sering diistilahkan dengan Samenloop van Strafbare Feiten yaitu satu
orang yang melakukan beberapa peristiwa pidana . Dalam bukunya E.Y.Kanter dan S.R. Sianturi
terdapat batasan, bentuk dan syarat syarat dari concursus yaitu :

1. Batasan Concursus

a. Satu tindakan yang dilakukan (aktif/passif) oleh seseorang yang dengan tindakan tersebut
terjadi dua/lebih tindak pidana sebagaimana dirumuskan dalam perundangan.

b. Dua atau lebih tindakan yang dilakukan (aktif/passif) oleh seorang, yang dengan itu telah
terjadi dua atau lebih tindak pidana sebagaimana dirumuskan dalam perundangan.

c. Dua atau lebih tindakan yang dilakukan (aktif/passif) oleh seseorang secara berlanjut yang
dengan itu telah terjadi dua kali atau lebih tindakan pidana (pada umumnya sejenis)

2. Bentuk-bentuk dalam Concursus

a. Perbarengan tindakan tunggal atau perbarengan ketentuan pidana (concursus idealis)

b. Perbarengan tindakan jamak atau perbarengan tindak-tindak pidana (concursus realis)

c. Perbarengan tindakan berlanjut

3. Syarat-syarat dalam Concursus

a. Ada dua/lebih tindak pidana (sebagaimana dirumuskan dalam perindang-undangan)


dilakukan

b. Bahwa dua/lebih tindak pidana tersebut dilakukan oleh satu orang (atau dua orang/lebih
dalam rangka penyertaan)

c. Bahwa dua/lebih tindak pidana tersebut, belum ada yang diadili


B. Concurcus Idealis (Eendaadse Samenloop)

Concursus idealis diatur dalam Pasal 63 KHUP, Pasal 63 ayat 1 menentukan :

“Jika suatu perbuatan masuk dalam lebih dari satu aturan pidana, maka yang dikenakan hanya
salah satu diantara aturan-aturan itu, jika berbeda-beda yang dikenakan yang memuat ancaman
pidana pokok yang paling berat”.

Jadi, dalam concurcus idealis seseorang melakukan suatu perbuatan tetapi dengan satu
perbuatan itu melanggar beberapa aturan pidana dan disni dikenakan ancaman pidana yang
terberat. Oleh karena itu juga disebut gabungan tindak pidana.

Akan tetapi dalam concursus idealis ini tidak berlaku bagi perbuatan pidana yang sudah
diatur khusus dalam aturan lainnya. Dengan adanya aturan khusus tersebut maka akan
mengesampingkan aturan hukum yang bersifat umum (lex specialis derogat legi generali). Hal
ini tertuang dalam Pasal 63 ayat 2, yang berbunyi “ Jika suatu perbuatan masuk dalam
suatuaturan pidana yang umum, diatur pula dalam aturan pidana yang khusus, maka hanya yang
khusus itulah yang diterapkan”.

Menurut ketentuan pasal 63 ayat 1 KUHP ini dirumuskan “beberapa feit”. Yang dimaksud
dengan feit, di dalam doktrin menimbulkan pengertian yang berbeda-beda sebagai berikut :

A. Ada yang menafsirkan “materiel feit” (feit materil) yaitu perbuatan ,anusia yang
dilakukan dengan kekuatan jasmaniah seperti memukul, membunuh.
B. Strafbaarfeit menurut Moeljatno ialah perbuatan yang dilarang dan diancam dengan
pidana barang siapa yang mealanggar aturan-aturan itu.
C. Feit juga diartikan “misdadig voorvall”. Yang dimaksud istilah ini yaitu serentetetan
perbuatan-perbuatan yang semuanya merupakan perbuatan pidana tanpa memperdulikan
perbuatan pidana apa.
D. Feit dapat juga dipandang dari sudut Hukun Acara pidana yaitu perbuatan yang
disebutkan dalam surat dakwaan kepada terdakwa mengenai perbuatan tertentu.

Sehubung dengan pengertian “fiet” tersebut maka kita perlu meninjau/mempelajari


yurisprudensi dan doktrin.
H.R sebelum tahun 1932 berpenderian H.R tersebut berubah dan hal ini tampak dari
beberapa arrest nya dimana feit tidak dipandang dari sudut jasmani tetapi jiga dari sudut
hokum pidana.

C. Sistem Pemberian Pidana-NYA

Sistem absorsi, yaitu hanya dikenakan pidana pokok terberat. Namun ketika terjadi
perbedaan pada jenis pidana pokoknya, maka di ambil jenis pidana pokok yang terberat menurut
pasal 10 KUHP. Selanjutnya didalam pasal 63 ayat (2) terkandung adagium (Lex specialis
derogate legi generali) atau aturan undang-undang yang khusus meniadakan UU yang umum.
Jadi ketika ada perbedaan antara aturan yang umum dan yang khusus maka diambil yang khusus.

Jika hakim dihadapkan dua pilihan yang masing-masing maksimumnya sama maka diambil
pidana tambahan yang paling berat.

Hal ini diatur dalam pasal 63 KUHP yang menentukan apabila suatu perbuatan meliputi lebih
dari satu pasal ketentuan hukum pidana, maka hanya satu pasal dilakukan, jika hukumannya
berlainan, pasal yang memuat hukuman diperberat.

Jadi berdasarkan ketentuan pasal 63 mengenai sistem hisapan pada perbarengan peraturan ini,
dapat dikenakan pada 3 kemungkinan, yakni:

1. Pada perbarengan peraturan dari beberapa tindak pidana dengan ancaman pidana pokok
yang sama berat.

2. Pada perbarengan peraturan dari beberapa tindak pidana dengan ancaman pidana pokoknya
tidak sama berat.

3. Pada perbarengan peraturan di mana satu perbuatan itu masuk atau diatur dalam suatu
aturan pidana umum yang sekaligus masuk dalam aturan pidana yang khusus.
D. Teori Penyerapan (al Jabbu)

Dalam teori penyerapan teori jarimah akan dijatuhi hukuman, dimana hukuman tersebut
sekaligus menggugurkan hukuman yang lainnya atau pelaksanaannya akan menyerap hukuman-
hukuman yang lain. Pengertian ini tertutup bagi hukuman pembunuhan, pelaksanaan hukuman
pembunuhan menutup pelaksanaan hukuman selainnya. Dalam hal ini hukuman pembunuhan
merupakan hukuman yang berdiri sendiri dimana hukuman selainnya tetap harus dilaksanakan.
Kelemahan dari teori ini adalah memudahkan dn menyia-nyiakan perkara.

Contoh kasus

Jadi, missal ada seorang ibu melakukan aborsi kandungan, maka dia dapat diancam dengan pasal
338 tentang pembunuhan dengan pidana penjara 15 tahun, namun karena pasal 341 telah
mengatur secara khusus tentang tindak pidana ibu yang membunuh anaknya, maka dalam hal ini
tidak berlaku sistem aborsi. Ibu tersebut hanya diancam dengan pasal 341.

Walaupun dalam hal perbarengan peraturan ini hakim hanya menerapkan/ menjalankan aturan
pidana yang terberat ancaman pidana pokoknya atau aturan pidana khususnya, tidak berarti
majelis hakim tidak perlu mempertimbangkan kesalahan yang telah diperbuat terhadap aturan
pidana yang lebih ringan atau aturan yang umum. Pertimbangan yang demikian sangat
diperlukan, sebab berhubungan dengan ketentuan pemberatan pada pengulangan. Bila majelis
hakim telah tidak mempertimbangkan tentang kesalahan terdakwa dalam pelanggaran aturan
yang lebih ringan demikian, maka apa yang telah tidak dilakukan majelis hakim itu, sengaja atau
lalai ia telah mempersempit atau membelenggu berlakunya hukum, sesuatu yang dilarang. Sebab
apabila dalam vonis tidak dipertimbangkan , maka terhadap aturan pidana yang telah
dilanggarnya itu tidak dapat terjadi pengulangan andaikata diperbuatnya lagi dalam waktu dan
memenuhi syarat-syarat dalam pasal yang ada. Apabila jaksa memuatnya dalam surat dakwaan,
maka majelis hakim harus mempertimbangkan tentang kesalahan terhadap pelanggaran aturan
pidana yang lebih ringan, dalam hal ini dapat terjadi pengulangan. Tetapi majelis hakim tidak
perlu mempertimbangkan demikian, apabila memang tidak dimuat dalam surat dakwaan. Hukum
menganggap tidak ada atau tidak pernah terjadi adanya pelanggaran terhadap aturan yang lebih
ringan tertentu atau aturan umum yang umum tertentu dalam hal jaksa Pengadilan umum telah
tidak memuatnya dalam surat dakwaan, dan hakim tentu saja tidak dapat memutusnya berhubung
dengan adanya larangan memutus segala sesuatu yang tidak didakwakan.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Seseorang melakukan beberapa tindak pidana dan di antara beberapa tindak pidana
tersebut belum mempunyai putusan hakim yang memperoleh kekuatan hukum tetap (in kractht)
disebut Concursus. Dimana dalam gabungan tindak pidana tersebut terdapat tiga ajaran tentang
Concursus atau gabungan tindak pidana yaitu Concursus idealis, realis dan perbuatan berlanjut.

Concursus idealis terjadi apabila seseorang melakukan satu perbuatan dan ternyata satu
perbuatan tersebut melanggar beberapa ketentuan hukum pidana. Sedangkan concursus realis
terjadi apabila seseorang sekaligus merealisasikan beberapa perbuatan. Adapun bentuk dari
concursus yang ketiga yaitu pernyataan lanjut terjadi apabila seseorang melakukan perbuatan
yang sama beberapa kali, dan diantara perbuatan-perbuatan itu terdapat hubungan yang
sedemikian eratnya sehingga rangakaian perbuatan itu harus di anggap sebagai perbuatan
lanjutan.
DAFTAR PUSTAKA

PROF. I MADE WIDNYANA, SH, ASAS-ASAS HUKUM PIDANA, FIKAHATI ANESKA,


2010.

http://iemaprasetjo.blogspot.com/2013/09/contoh-makalah-concursus.html

http://alfiyahfaiza.blogspot.com/2016/01/makalah-pidana-perbarengan.html

https://www.academia.edu/8737569/Pengertian_Concursus

https://repository.ar-raniry.ac.id/1355/1/SKRIPSI%20LENGKAP%20MARLINA%20SARI.pdf

http://putraelhilal.blogspot.com/2012/11/makalah-hukum-pidana-gabungan-tindak_8.html

Anda mungkin juga menyukai