Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang,
penulis panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat,
hidayah, dan inayah-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah
tentang konsep dasar perbuatan melawan hukum
Makalah ini telah penulis susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari
berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu penulis
menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam
pembuatan makalah ini.
Terlepas dari semua itu, penulis menyadari sepenuhnya bahwa masih ada
kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan
tangan terbuka penulis menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat
memperbaiki makalah ini.
Akhir kata pemulis berharap semoga makalah tentang wanprestasi dalam perjanjian
ini dapat memberikan manfaat maupun inpirasi terhadap pembaca.
1
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR............................................................................................ 1
BAB 2 PEMBAHASAN.................................................................................. 4
3. A. Kesimpulan .............................................................................. 18
2
BAB 1
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
3
BAB 2
PEMBAHASAN
4
maka diwajibkan untuk memberikan ganti kerugian. Sisi yang lain, orang yang mengalami
kerugian tersebut dijamin haknya oleh Undang-Undang untuk menuntut ganti rugi.
Menurut ketentuan dalam pasal 1246 KUHPerdata ada tiga macam ganti rugi yang
dapat diajukan oleh penggugat terhadap pengugat, yaitu biaya, rugi dan bunga. Biaya
adalah segala ongkos yang dalam kenyataan memang sudah dikeluarkan oleh pengguagat,
rugi adalah kerusakan barang milik penggugat, misalnya karena membeli disket dari
tergugat dan disket tersebut terkontaminasi virus sehingga seluruh sistem dan perangkat
komputer milik tergugat menjadi rusak, sedangkan pengertian bunga dapat dibedakan atas
kehilangan keuntungan yang diharapkan (winstderving/expectationdamages) dan bunga
moratoir.
Ganti rugi akibat dari adanya PMH menurut KUHPerdata dapat kita bedakan menjadi 2
(dua) macam ganti rugi, yaitu:
Yang dimaksud dengan ganti rugi umum dalam hal ini adalah ganti rugi yang berlaku
dan berkaitan dengan semua perkara, baik untuk perkara wanprestasi maupun yang
5
berkaitan dengan perikatan-perikatan lainnya termasuk karena PMH. Ketentuan mengenai
ganti rugi umum dalam KUHPerdata diatur mulai dari Pasal 1243 sampai dengan Pasal 1252,
dimana dalam Pasal-Pasal dimaksud secara konsisten KUHPerdata menyebutkan ganti rugi
dengan istilah biaya, rugi dan bunga.
Selain ganti rugi umum, KUHPerdata juga mengatur ganti rugi khusus terhadap
kerugian yang timbul dari perikatan-perikatan tertentu. Dalam hubungan dengan
kerugian yang timbul akibat dari suatu PMH, selain adanya ganti rugi umum
KUHPerdata juga mengatur adanya pemberian ganti rugi terhadap hal-hal sebagai
berikut:
Perbuatan melawan hukum dalam konteks hukum pidana, menurut pendapat dari
Satochid Kartanegara, “melawan hukum” (Wederrechtelijk) dalam hukum pidana
dibedakan menjadi:
6
2. Wederrechtelijk Materiil, yaitu sesuatu perbuatan “mungkin” wederrechtelijk,
walaupun tidak dengan tegas dilarang dan diancam dengan hukuman oleh
undang-undang. Melainkan juga asas-asas umum yang terdapat di dalam
lapangan hukum (algemen beginsel).
Lebih lanjut, Schaffmeister, sebagaimana dikutip oleh Andi Hamzah dalam bukunya
berpendapat bahwa “melawan hukum” yang tercantum di dalam rumusan delik yang
menjadi bagian inti delik sebagai “melawan hukum secara khusus” (contoh Pasal 372
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana/KUHP), sedangkan “melawan hukum” sebagai
unsur yang tidak disebut dalam rumusan delik tetapi menjadi dasar untuk menjatuhkan
pidana sebagai “melawan hukum secara umum” (contoh Pasal 351 KUHP).
Pendapat para ahli hukum Pidana Indonesia berdasarkan kepada literatur Belanda
seperti Bambang Poernomo atau Andi Hamzah akhirnya menyimpulkan yang dimaksud
dengan melawan hukum secara formal jika suatu perbuatan telah memenuhi rumusan
delik dan dapat dibuktikan.Sesuatu pengecualian seperti daya paksa, pembelaan paksa
itu hanyalah karena ditentukan secara tertulis dalam Undang-undang (Pasal 48, 49,
KUHP).Melawan hukum dikatakan melawan Undang-undang ,oleh karena itu pandangan
ini disebut sifat melawan hukum yang formal.Sebaliknya tidak selalu melawan hukum
sebagai perbuatan yang bertentangan dengan Undang-undang dan suatu perbuatan yang
melawan Undang-undang dapat dikecualikan sebagai perbuatan yang tidak melawan
7
hukum.Menurut Poernomo melawan hukum dapat dapat diartikan melawan Undang-
undang maupun hukum diluar undang-undang. Andi hamzah mengemukakan bahwa
bukan hanya bertentangan dengan undang-undang saja yang dikatakan sifat melawan
hukum dalam hukum Pidana namun juga kepatutan, kelaziman didalam pergaulan
masyarakat yang dipandang perbuatan meawan hukum yang pengertiannya sama
dengan melanggar hukum (onrechtmatige) dalam hukum Perdata.
8
dalam KUHP yang dengan tegas mencantumkan sifat melawan hukum antara lain adalah
Pasal-pasal: Pasal 167, Pasal 168, Pasal 333, Pasal 334, Pasal 335, Pasal 362, Pasal 368,
Pasal 378, Pasal 406 dan termasuk juga Pasal-pasal 302, 392, 282 dan sebagainya.
Meskipun sifat melawan hukum merupakan unsur mutlak/esenssial dari suatu tindak
pidana, namun dalam kenyataannya tidak semua rumusan tindak pidana yang
mencantumkan secara tegas/eksplisit sifat melawan hukum ini sebagai bagian inti dari
rumusan tindak pidana (bestandellen van het delict). Melawan hukum
sebagai bestandellen van het delict terlihat dalam beberapa pasal, yakni Pasal 362, Pasal
368, Pasal 369, Pasal 372, dan Pasal 378. Pasal-pasal lain dalam KUHP banyak pula yang
menjadikan sifat melawan hukum ini sebagai elemen dari tindak pidana (elementen van
het delict) atau tidak secara tegas dinyatakan sebagai unsur dalam rumusan tindak
pidana, namun demikian bukanlah berarti perbuatan yang dimaksudkan dalam rumusan
tindak pidana tersebut tidak memiliki sifat melawan hukum. Hal ini dapat pula diartikan
secara sederhana bahwa suatu tindak pidana sebenarnya merupakan salah satu bentuk
tindakan melawan hukum yang mendapat tempat secara khusus dalam suatu undang-
undang hukum pidana.
Dalam praktik peradilan, apabila melawan hukum sebagai bestandellen van het
delict atau secara eksplisit dinyatakan dalam rumusan tindak pidana, maka penuntut
umum harus mencantumkan dan menguraikannya di dalam dakwaan dan kemudian
membuktikannya di persidangan. Ketidakmampuan penuntut umum untuk membuktikan
unsur melawan hukum ini maka konsekuensinya adalah terdakwa harus dibebaskan dari
dakwaan penuntut umum (vrijspraak). Berbeda dengan kedudukan melawan hukum
sebagai elementen van het delict.Meskipun tidak secara eksplisit dinyatakan dalam
rumusan tindak pidana namun melawan hukum sebagai elementen van het
delict disyaratakan harus ada dalam setiap tindak pidana. Dalam praktiknya, penuntut
umum dalam hal ini tidak perlu mencantumkan dan menguraikannya dalam surat
dakwaan dan tidak ada pula kewajiban untuk membuktikannya di persidangan,
melainkan terdakwa-lah yang berusaha untuk membuktikan bahwa perbuatan yang
dilakukannya tidak bersifat melawan hukum. Ketika melawan hukum yang
menjadi elementen van het delict tidak ditemui pada perbuatan yang didakwakan maka
9
konsekuensinya terdakwa harus dilepaskan dari segala tuntutan (onslag van alle
rechtsvervolging).
Keberadaan ajaran sifat melawan hukum secara formil tidak menjadi persoalan
karena ini secara eksplisit menjadi unsur dari suatu pasal, sehingga untuk menentukan
apakah seseorang itu melakukan sesuatu yang melawan hukum atau tidak, cukup apabila
orang itu melihat apakah perbuatan itu telah memenuhi semua unsur yang terdapat
dalam rumusan delik atau tidak. Persoalan dan perdebatan muncul dengan keberadaan
ajaran sifat melawan hukum materiil. Hal ni dikarenakan di Indonesia berkembang pula
hukum yang tidak tertulis, yaitu hukum adat yang memungkinkan sifat melawan hukum
tersebut ada dan terdapat dalam masyarakat.
Dari pengertian sifat melawan hukum dan pembagiannya di atas, maka dapat
dinyatakan bahwa sifat melawan hukum memiliki 4 (empat) makna. Pertama, sifat
melawan hukum diartikan syarat umum dapat dipidananya suatu perbuatan
sebagaimana definisi perbuatan pidana yakni kelakukan manusia yang termasuk dalam
rumusan delik, bersifat melawan hukum dan dapat dicela; kedua, kata melawan hukum
dicantumkan dalam rumusan delik, dengan demikian sifat melawan hukum merupakan
syarat tertulis untuk dapat dipidananya suatu perbuatan; ketiga, sifat melawan hukum
formil mengandung arti semua unsur dari rumusan delik telah terpenuhi; dan keempat,
sifat melawan hukum materiil mengandung 2 (dua) pandangan, pertama dari sudut
perbuatannya yang mengandung arti melanggar atau membahayakan kepentingan
hukum yang hendak dilindungi oleh pembuat undang-undang dalam rumusan delik, dan
kedua dari sudut sumber hukumnya, dimana sifat melawan hukum mengandung
pertentangan dengan asas kepatutan, keadilan, dan hukum yang hidup di masyarakat.
10
D. SYARAT DAN UNSUR PERBUATAN MELAWAN HUKUM
Sesuai dengan ketentuan Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia,
suatu perbuatan melawan hukum harus mengandung unsur-unsur sebagai berikut:
Perbuatan yang dimaksud adalah perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh
pelaku. Secara umum perbuatan ini mencakup berbuat sesuatu (dalam arti aktif) dan
tidak berbuat sesuatu (dalam arti pasif), misalnya tidak berbuat sesuatu, padahal pelaku
mempunyai kewajiban hukum untuk berbuat, kewajiban itu timbul dari hukum. (ada
pula kewajiban yang timbul dari suatu kontrak). Dalam perbuatan melawan hukum ini ,
harus tidak ada unsur persetujuan atau kata sepakat serta tidak ada pula unsur kausa
yang diperberbolehkan seperti yang terdapat dalarn suatu perjanjian kontrak.
Perbuatan yang dilakukan itu, harus melawan hukum. Sejak tahun 1919, unsur
melawan hukum diartikan dalam arti seluas-luasnya. Menurut Standaard Arest Tahun
1919, berbuat atau tidak berbuat merupakan suatu perbuatan melawan hukum jika:
Perbuatan yang bertentangan dengan hak orang lain termasuk salah satu
perbuatan yang dilarang oleh Pasal 1365 KUHPerdata. Hak yang dilanggar tersebut
adalah hak-hak seseorang yang diakui oleh hukum, termasuk tetapi tidak terbatas
pada hak-hak sebagai berikut:
· Hak-hak Pribadi
· Hak-hak Kekayaan
· Hak-hak Kebebasan
Yang dimaksud dengan melanggar hak orang lain adalah melanggar hak
subjektif orang lain, yaitu wewenang khusus yang diberikan oleh hukum kepada
11
seseorang untuk digunakan bagi kepentingannya. Menurut Meyers dalam bukunya
“Algemene Begrippen” mengemukakan:
“Hak subjektif menunjuk kepada suatu hak yang diberikan oleh hukum kepada
seseorang secara khusus untuk melindungi kepentingannya.”
12
secara melanggar pasal-pasal dari hukum tertulis, mungkin masih dapat dijerat
dengan perbuatan melawan hukum, karena tindakannya tersebut bertentangan
dengan prinsip kehati-hatian atau keharusan dalam pergaulan masyarakat.
Keharusan dalam masyarakat tersebut tentunya tidak tertulis, tetapi diakui oleh
masyarakat yang bersangkutan.
ada garis besarnya dapat dinyatakan bahwa suatu perbuatan adalah bertentangan
dengan kepatutan, jika:
Jika dilihat kembali dalam Pasal 1365 KUHPerdata terdapat dua faktor penting
dari perbuatan melawan hukum, yaitu adanya factor kesalahan dan kerugian. Kesalahan
adalah perbuatan dan akibat-akibat yang dapat dipertanggung jawabkan kepada diri si
pelaku. Menurut Asser’s ia tetap pada pendirian untuk memberikan pengertian atas
istilah kesalahan sebagai perbuatan dan akibat-akibat yang dapat dipertanggung
jawabkan si pelaku.
“Dalam hukum pidana telah diterima asas tidak dipidana tanpa kesalahan.
Sedang dalam hukum perdata asas tersebut dapat diuraikan: tidak ada pertanggung
jawaban untuk akibat-akibat dari perbuatan hukum tanpa kesalahan.”
Syarat kesalahan ini dapat diukur secara objektif dan subjektif. Secara objektif
yaitu harus dibuktikan bahwa dalam keadaan seperti itu manusia yang normal dapat
13
menduga kemungkinan timbulnya akibat dan kemungkinan ini akan mencegah manusia
yang baik untuk berbuat atau tidak berbuat. Secara subjekif, harus diteliti apakah si
pembuat berdasarkan keahlian yang ia miliki dapat menduga akibat dari perbuatannya.
· Kesalahan dalam arti subjektif atau abstrak, yaitu apakah orang yang bersangkutan
umumnya dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya itu?
· Kesalahan dalam arti objektif atau konkrit, yaitu apakah ada keadaan memaksa
(overmacht) atau keadaan darurat (noodoestand). Dalam hal ini orang tersebut dapat
dipertanggungjawabkan perbuatannya namun karena ada keadaan memaksa maka
tidak ada kesalahan.
14
Perlu atau tidak, perbuatan melawan hukum mesti ada unsur kesalahan,
selain unsur melawan hukum , di sini terdapat 3 (tiga) aliran teori sebagai berikut:
Aliran ini menyatakan, dengan unsur melawan hukum dalam arti luas, sudah
mencakup unsur kesalahan di dalamnya, sehingga tidak diperlukan lagi ada unsur
kesalahan dalam perbuatan melawan hukum. Di negeri Belanda, aliran ini dianut
oleh Van Oven.
Aliran ini sebaliknya menyatakan, dalam unsur kesalahan, sudah mencakup juga
unsur perbuatan melawan hukum. Di negeri Belanda, aliran ini dianut oleh Van
Goudever.
c. Aliran yang menyatakan, diperlukan unsur melawan hukum dan unsur kesalahan.
Aliran ini mengajarkan, suatu perbuatan melawan hukum mesti ada unsur
perbuatan melawan hukum dan unsur kesalahan, karena unsur melawan hukum saja
belum tentu mencakup unsur kesalahan. Di negeri Belanda, aliran ini dianut oleh
Meyers. Kesalahan yang diharuskan dalam perbuatan melawan hukum adalah
kesalahan dalam arti ” kesalahan hukum ” dan ” kesalahan sosial “. Dalam hal ini,
hukum menafsirkan kesalahan itu sebagai suatu kegagalan seseorang untuk hidup
dengan sikap yang ideal, yaitu sikap yang biasa dan normal dalam pergaulan
masyarakat. Sikap demikian, kemudian mengkristal yang disebut manusia yang
normal dan wajar (reasonable man).
a. Kerugian materiil.
Kerugian materiil dapat terdiri dari kerugian yang nyata-nyata diderita dan
keuntungan yang seharunya diperoleh. Jadi pada umumnya diterima bahwa
15
si pembuat perbuatan melawan hukum harus mengganti kerugian tidak
hanya untuk kerugian yang nyata-nyata diderita, juga keuntungan yang
seharusnya diperoleh.
b. Kerugian immaterial/idiil.
16
dapat meminta putusan hakim bahwa perbuatannya adalah bersifat
melawan hukum.
Ada Hubungan Kausal antara Perbuatan dan Kerugian.
Dalam Pasal 1365 KUHPer, setiap perbuatan melawan hukum yang mengakibatkan
kerugian pada orang lain, mewajibkan orang yang karena kesalahannya menimbulkan
kerugian itu mengganti kerugian tersebut. Orang bersalah yang dimaksudkan adalah
pelaku perbuatan melanggar hukum, tidak hanya bertanggung jawab karena
perbuatannya sendiri, tetapi juga bertanggung jawab karena perbuatan orang lain yang
berada di bawah kekuasaan atau tanggung jawabnya, serta karena barang yang berada
di bawah pengawasannya (Pasal 1367 KUHPer).Pelaku perbuatan melawan hukum dapat
berupa manusia pribadi ataupun badan hukum. Ketentuan Pasal 1367 KUHPer
memberikan rincian orang yang mempunyai kekuasaan atau tanggung jawab atas
perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh orang lain seperti diuraikan berikut ini:
Orang tua atau wali terhadap anak yang belum dewasa
17
BAB 3
PENUTUP
A. KESIMPULAN
ketentuan Pasal 1365 KUH Perdata rumusan norma dalam pasal ini unik, tidak seperti
ketentuan ketentuan pasal lainnya. Perumusan norma Pasal 1365 KUH Perdata lebih
merupakan struktur norma daripada substansi ketentuan hukum yang sudah lenkap.
Oleh karenanya substansi ketentuan Pasal 1365 KUH Perdata senantiasa memerlukan
materialisasi di luar KUH Perdata. Oleh karena itu perbuatan melawan hukum
Perbuatan Melawan Hukum dalam KUH Perdata diatur dalam buku III tentang
Perikatan.
18
DAFTAR PUSTAKA
https://konsultanhukum.web.id/unsur-unsur-perbuatan-melawan-hukum/
http://lbhamin.org/perbuatan-melawan-hukum/
https://www.academia.edu/39630573/MAKALAH_PERBUATAN_MELAWAN_HUKU
M
http://pengantarilmuhukumidienn.blogspot.com/2017/01/makalah-perbuatan-
melawan-hukum.html
19