Anda di halaman 1dari 91

NASKAH AKADEMIK

RANCANGAN UNDANG-UNDANG
TENTANG
PERJANJIAN INTERNASIONAL

BADAN LEGISLASI
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
2012

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Di

era

globalisasi

dimana

ilmu

pengetahuan

dan

teknologi

berkembang dengan pesat, interaksi dan interdependensi antar negara


semakin meningkat. Seiring dengan meningkatnya interaksi tersebut,
meningkat

pula

kerjasama

internasional

di

berbagai

bidang

yang

dituangkan dalam beragam bentuk perjanjian internasional yang mengikat


para pihak. Ini berarti semua pihak dengan itikad baik harus bersungguhsungguh melaksanakan kewajiban yang timbul dari perjanjian internasional
yang

telah

disepakati

bersama.

Tidak

dilaksanakannya

perjanjian

internasional oleh suatu pihak dapat berakibat timbulnya gugatan oleh


pihak lain.
Sebagai
melaksanakan

bagian

dari

hubungan

masyarakat
internasional

internasional,
dan

Indonesia

membuat

juga

perjanjian

internasional dengan negara lain, organisasi internasional, dan subyek


hukum internasional lainnya. Agar perjanjian internasional sejalan dengan
kepentingan nasional, memberikan hasil yang maksimal dan bermanfaat
bagi rakyat, maka perlu diatur dalam suatu undang-undang (UU). Sampai
saat ini UU yang mengatur mengenai perjanjian internasional adalah UU
No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional yang mulai berlaku
pada tanggal 23 Oktober 2000.
Pada saat dibentuknya UU No. 24 Tahun 2000, UUD Tahun 1945
baru mengalami dua kali perubahan. Dalam UUD Tahun 1945 Perubahan
Pertama (1999) dan Kedua (2000), Pasal 11 yang menjadi landasan yuridis
pembentukan UU No. 24 Tahun 2000 tidak mengalami perubahan.
Rumusan Pasal 11 tetap seperti semula, yang berbunyi Presiden dengan
persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat
perdamaian dan perjanjian dengan negara lain. Sedangkan dalam UUD
Tahun 1945 Perubahan Ketiga (2001) dan Keempat (2002), Pasal 11
mengalami perubahan yaitu terdiri dari 3 ayat, yang rumusan lengkapnya
adalah sebagai berikut:

(1) Presiden

dengan

persetujuan

Dewan

Perwakilan

Rakyat

menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan


negara lain.
(2) Presiden dalam membuat perjanjian ineternasional lainnya yang
menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan
rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara dan/atau
mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang
harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
(3) Ketentuan lebih lanjut tentang perjanjian internasional diatur
dengan undang-undang.
Sebagaimana dikemukakan oleh I Wayan Partiana, ada beberapa
catatan yang dapat dikemukakan dari Pasal 11 UUD Tahun 1945
Perubahan Ketiga dan Keempat tersebut, diantaranya adanya kriteria
perjanjian internasional yang harus membutuhkan persetujuan DPR.1 Pasal
11 UUD Tahun 1945 Perubahan Ketiga dan Keempat seharusnya juga
menjadi landasan yuridis dalam pembentukan UU yang mengatur mengenai
perjanjian internasional.
Permasalahan lain dari perjanjian internasional adalah tidak semua
perjanjian internasional memberikan manfaat bagi kesejahteraan rakyat.
Ada beberapa perjanjian internasional yang dianggap oleh sebagian
kalangan masyarakat dapat menyengsarakan rakyat. Misal, berbagai
perjanjian perdagangan bebas yang dibuat oleh Pemerintah baik secara
bilateral maupun multilateral seperti ASEAN-China Free Trade Area
(ACFTA), ASEAN Free Trade Area (AFTA), ASEAN-Australia-New Zealand Free
Trade Area, ASEAN-Korea Selatan Free Trade Area, dan Indonesia-Japan
Partnership.2

Baca: I Wayan Partiana, Kajian Akademis (Teoritis dan Praktis) atas Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional Berdasarkan Hukum Perjanjian
Internasional,
Jurnal
Hukum
Internasional,
isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/5308460487.pdf , hal. 473.
2 Baca: Edy Burmansyah (Peneliti Institute for Global Justice), FTA dan UU Perjanjian
Internasional, Globalisasi, www.unisosdem.org/article_detail.php?... .
1

Keikutsertaan Indonesia dalam berbagai perjanjian perdagangan


bebas tersebut menyebabkan rakyat dihadapkan kepada perdagangan
bebas dan dipaksa untuk bersaing dengan para pelaku ekonomi dari luar
negeri di pasar domestik tanpa adanya perlindungan dari pemerintah. Hal
ini tentu akan sangat berpengaruh dan memberikan dampak yang sangat
berat bagi masyarakat. Dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000,
perjanjian

internasional

di

bidang

ekonomi

dan

perdagangan

tidak

termasuk di dalam kategori yang harus mendapat persetujuan Dewan


Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI). Akibatnya, perjanjian
perdagangan yang dilakukan Indonesia dengan negara lain dianggap berada
di dalam ranah eksekutif yang pengesahannya cukup melalui Keputusan
Presiden (Kepres).
Dalam praktiknya, selama ini juga telah terjadi penyimpangan dalam
pelaksanaan UU No. 24 Tahun 2000. Pagu pinjaman luar negeri yang
disetujui

oleh

DPR

bersamaan

dengan

disahkannya

UU

Anggaran

Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dianggap secara otomatis adanya


persetujuan DPR terhadap perjanjian pinjaman luar negeri. Hal ini tidak
sesuai dengan maksud UU No. 24 Tahun 2000. Persetujuan DPR terhadap
UU

APBN

tidak

identik

dengan

pengesahan/ratifikasi

perjanjian

internasional oleh DPR. UU APBN bukanlah UU mengesahkan/ratifikasi


suatu perjanjian internasional, melainkan UU untuk menyetujui rencana
pemerintah untuk melakukan pinjaman. Sedangkan pengesahan/ratifikasi
adalah lembaga hukum ketatanegaraan tentang pengesahan oleh legislatif
atas perbuatan hukum pemerintah sesuai dengan hukum perjanjian
internasional.3
Beberapa permasalahan tersebut menandakan adanya kelemahan
atau kekurangan yang ada dalam UU No. 24 Tahun 2000 dalam mengatur
mekanisme pembuatan atau pun pengesahan perjanjian internasional. Hal
ini dikhawatirkan pembuatan dan pengesahan perjanjian internasional
kurang

memberikan

manfaat

yang

maksimal

untuk

meningkatkan

kesejahteraan rakyat.
Damos Dumoli Agusman, Beberapa Perkembangan Teori dan Praktik di Indonesia tentang
Hukum Perjanjian Internasional, e-library.kemlu.go.id/index.php?...65%3Aapa-perj... .
3

B. Identifikasi Masalah
Penggantian terhadap UU No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian
Internasional telah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas)
Rancangan Undang-Undang (RUU) Prioritas Tahun 2011. Dalam Lampiran
Keputusan DPR RI No. 02B/DPR/II/2010-2011 tanggal 14 Desember 2010
penggantian Undang-Undang ini terdapat di urutan nomor 37, yang Naskah
Akademik dan draft awal RUU penggantiannya disiapkan oleh DPR RI.
Untuk

itu,

berdasarkan

Surat

Ketua

Badan

Legislasi

Nomor

63/BALEG/DPR RI/V/2010 perihal dukungan teknis administratif dan


keahlian pada Badan Legislasi tanggal 24 Mei 2010 dan sesuai Rapat
Koordinasi Deputi Perundang-Undangan tanggal 22 Desember 2010 dengan
agenda membicarakan tugas pendampingan perancangan undang-undang
dalam daftar Prolegnas RUU Prioritas Tahun 2011, dibentuk Tim Penyusun
Naskah Akademik dan draft awal RUU tentang Penggantian UndangUndang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional.
Dalam Pasal 43 ayat (3) UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundangan-undangan disebutkan bahwa Rancangan UndangUndang yang berasal dari DPR, Presiden, atau DPD harus disertai Naskah
Akademik.

Naskah

Akademik

adalah

naskah

hasil

penelitian

atau

pengkajian hukum dan hasil penelitian lainnya terhadap suatu masalah


tertentu

yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah mengenai

pengaturan masalah tersebut dalam suatu

Rancangan Undang-Undang,

Rancangan Peraturan Daerah Provinsi, Rancangan Peraturan Daerah


Kabupaten/Kota, sebagai solusi terhadap permasalahan dan kebutuhan
hukum masyarakat.4 Oleh karena itu, beberapa permasalahan yang akan
dimuat dalam NA RUU Penggantian UU No. 24 Tahun 2000 ini adalah:
1. Bagaimana definisi atau pengertian perjanjian internasional yang tepat
agar tidak ada multitafsir antara perjanjian internasional yang bersifat
publik dan yang bersifat privat?

Lampiran I angka 1 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan PerundangUndangan.


4

2. Apa yang menjadi landasan filosofis, sosiologis, dan yuridis penggantian


UU No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional?
3. Materi-materi perjanjian internasional apa saja yang pengesahannya
harus memerlukan persetujuan DPR?
4. Bagaimana

mekanisme

pembuatan

dan

pengesahan

perjanjian

internasional agar perjanjian internasional sejalan dengan kepentingan


nasional dan tidak merugikan daerah yang terkena dampak perjanjian
internasional?
5. Bagaimanakah materi muatan RUU tentang Penggantian atas UU No. 24
Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional?
A. Tujuan dan Kegunaan
Sesuai dengan permasalahan yang dikemukakan di atas, maka
tujuan penyusunan Naskah Akademik (NA) ini adalah sebagai berikut:
1. menguraikan mengenai pengertian perjanjian internasional.
2. menguraikan landasan filosofis, sosiologis, dan yuridis pembentukan
RUU tentang Penggantian atas UU No. 24 Tahun 2000.
3. menganalisis

materi-materi

perjanjian

internasional

yang

pengesahannya harus dengan persetujuan DPR.


4. menganalisis

mekanisme

pembuatan

dan

pengesahan

perjanjian

internasional yang baik agar sejalan dengan kepentingan nasional dan


tidak merugikan daerah yang terkena dampak perjanjian internasional.
5. merumuskan materi muatan RUU tentang Penggantian atas UU No. 24
Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional.
Adapun kegunaan dari penyusunan NA ini adalah sebagai acuan atau
referensi dalam menyusun dan membahas RUU tentang Penggantian atas
UU No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional yang tercantum
dalam

daftar

Prolegnas

2011

2014

RUU

Prioritas

Tahun

2011.

Penggantian UU tentang Perjanjian Internasional ini akan menjadi landasan


hukum

yang

kuat

dan

menjadi

pedoman

dalam

pembuatan

dan

pengesahan perjanjian internasional sehingga perjanjian internasional


benar-benar bermanfaat bagi kesejahteraan rakyat.

C. Metode Penelitian
1. Jenis dan Sifat Penelitian
Jenis

penelitian

yang

digunakan

dalam

penyusunan

Naskah

Akademik ini adalah penelitian yuridis normatif. Penelitian yuridis


normatif merupakan suatu penelitian kepustakaan yang dilakukan
dengan meneliti data sekunder.5 Penelitian dilakukan dengan meneliti
ketentuan-ketentuan mengenai perjanjian internasional yang ada di
dalam

peraturan

perundang-undangan,

konvensi/perjanjian

internasional, dan literatur terkait. Sedangkan sifat penelitian yuridis


normatif ini adalah penelitian deskriptif, yaitu penelitian untuk
memberikan data yang seteliti mungkin tentang manusia, keadaan
atau gejala-gejala lainnya6.
2. Teknik Pengumpulan Data dan Sumber Data
Penelitian yuridis normatif ini menggunakan data sekunder dan data
primer. Data sekunder yang dimaksud terdiri dari bahan hukum
primer, bahan hukum sekunder, maupun bahan hukum tersier.
Bahan hukum primer adalah bahan yang isinya mengikat karena
dikeluarkan oleh lembaga/pihak yang berwenang, meliputi antara
lain, peraturan perundang-undangan, perjanjian, dan konvensi.
Bahan hukum sekunder adalah bahan yang isinya membahas bahan
hukum

primer,

seperti:

buku-buku,

artikel,

makalah,

laporan

penelitian, dan berbagai karya tulis ilmiah lainnya.7 Data sekunder


tersebut diperoleh dari perpustakaan, internet, surat kabar, seminar,
dan sebagainya. Bahan hukum tersier adalah bahan-bahan yang
bersifat menunjang bahan hukum primer dan sekunder, seperti:
kamus, buku pegangan, almanak dan sebagainya, yang semuanya
dapat disebut bahan referensi atau bahan acuan atau rujukan8.

Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1983),
hal. 24.
6 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta UI Press, 1984, hal. 10.
7 Burhan Ashshofa, Metode Penelitian Hukum, Jakarta:Rineka Cipta,1998, hal.103-104.
8
Burhan Ashshofa, Metode Penelitian Hukum (Jakarta: Rineka Cipta,1998), hal. 103-104.
5

Untuk mendukung data sekunder diperlukan data primer yang


diperoleh melalui wawancara secara mendalam dengan berpedoman
pada daftar pertanyaan yang telah dipersiapkan terlebih dahulu.
Adapun para pihak yang diwawancara adalah para pejabat/pegawai
Pemda Provinsi Kalimantan Barat dan Provinsi Aceh, anggota DPRD
Kalimantan Barat dan Aceh, dan para akademisi. Disamping itu, data
juga

diperoleh

dengan

mengadakan

diskusi

internal

dengan

pejabat/pegawai Kementerian Luar Negeri, akademisi, dan praktisi.


3. Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian dilakukan mulai bulan Juli 2011, sedangkan penelitian ke
daerah dilakukan pada tanggal 9 sampai dengan 12 Agustus 2011.
Adapun daerah yang menjadi lokasi penelitian adalah Provinsi
Kalimantan Barat dan

Provinsi Aceh. Pertimbangan pemilihan

Provinsi Kalimantan Barat didasarkan antara lain pada karakteristik


wilayah Provinsi ini sebagai daerah yang berbatasan langsung dengan
negara tetangga Malaysia, yang memiliki kesepakatan Sosek Malindo
atau Sosial Ekonomi Malaysia Indonesia, dan didasarkan pula pada
adanya kesepakatan kerjasama Memorandum of Understanding (MoU)
Sister City antara pemerintah Kota Singkawang dengan Pemerintah
Yang Mei Taiwan
Sedangkan pertimbangan pemilihan Provinsi Aceh sebagai lokasi
penelitian adalah adanya MoU antara Pemerintah RI dengan Gerakan
Aceh

Merdeka

(GAM)

atau

perjanjian

perdamaian

yang

ditandatangani di Helsinki. Selain itu, terjadinya bencana tsunami


yang menarik perhatian berbagai donor internasional.

4. Teknik Penyajian dan Analisis Data


Hasil penelitian dijabarkan secara deskriptif analitis dan preskriptif.
Analitis deskriptif, yaitu mendeskripsikan fakta-fakta yang ada,
kemudian dilakukan analisis berdasarkan hukum positif maupun
teori-teori yang ada. Analisis deskriptif tertuju pada pemecahan
masalah yang ada. Pelaksanaan metode deskriptif ini tidak terbatas
hanya sampai pada tahap pengumpulan dan penyusunan data, tetapi
meliputi analisis dan interpretasi tentang arti data itu sendiri.9
Sedangkan
rumusan

sifat
regulasi

preskriptif,
yang

bahwa

diharapkan

penelitian
untuk

mengemukakan

menjadi

alternatif

penyempurnaan norma-norma serta sistem pengaturan mengenai


perjanjian internasional di masa yang akan datang.

Soejono dan Abdurrahman, Metode Penelitian Hukum, cetakan kedua (Jakarta: Rineka Cipta,
2003), hal. 22.
9

BAB II
KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTIK EMPIRIS
A. TEORI PERJANJIAN INTERNASIONAL
Dari awal berkembangnya hukum internasional, hukum perjanjian
internasional pada mulanya tumbuh dan berkembang dalam bentuk
hukum

kebiasaan

internasional

(international

customary

law)

yang

kemudian oleh masyarakat internasional diformulasikan dalam bentuk


hukum

tertulis

yang

berupa

konvensi-konvensi

atau

perjanjian

internasional. Hukum kebiasaan internasional pada dasarnya terbentuk


oleh praktik yang sama yang dilakukan secara terus menerus tanpa adanya
subyek hukum internasional yang menentang, dan diikuti oleh banyak
negara. Dengan cara demikian maka hukum kebiasaan internasional
tersebut terbentuk semakin kuat dan berlaku secara universal karena
diikuti oleh banyak negara di dunia.
Konvensi atau perjanjian internasional merupakan salah satu sumber
penting dalam hukum internasional. Pasal 38 Ayat (1) Statuta Mahkamah
Internasional

menentukan

bahwa

dalam

mengadili

suatu

perkara

Mahkamah sebaiknya menggunakan sumber hukum internasional10:


1. Perjanjian Internasional (International Conventions);
2. Kebiasaan Internasional (International Customs);
3. Prinsip-Prinsip Umum Hukum Internasional (general principles of
international law); dan
4. Keputusan Pengadilan dan pendapat para ahli yang telah diakui
kepakarannya (Judicial teachings of the most high qualified publicist).
Konvensi-konvensi tersebut dapat berbentuk bilateral bila yang
menjadi pihak hanya dua negara, dan berbentuk multilateral bila yang
menjadi pihak lebih dari dua negara. Dalam praktiknya terdapat juga
10

Lihat, Mochtar Kusumaatmadja & Etty R. Agoes, Pengantar Hukum Internasional,


Alumni, Bandung, Edisi Kedua, 2003 hlm 113-116 ; Urutan penyebutan dalam Pasal
38 tersebut tidak menggambarkan urutan pentingnya mana yang paling utama atau
terpenting karena tidak ditegaskan di dalam ketentuan Pasal 38 tersebut. Pada
praktiknya antara sumber hukum yang satu dengan yang lain saling mengisi. Yang
dapat diklasifikasikan adalah bahwa sumber hukum yang pertama sampai dengan
ketiga adalah sumber hukum utama, sedangkan sumber hukum yang keempat
merupakan sumber hukum tambahan (subsidiary means).
10

konvensi atau perjanjian internasional yang disebut regional bila yang


menjadi pihak hanya negara-negara dari suatu kawasan misalnya ASEAN.
Konvensi multilateral dapat bersifat universal bila menyangkut seluruh
negara di dunia. Melalui perjanjian internasional tersebut, tiap subyek
hukum internasional menggariskan dasar kerjasama mereka dan mengatur
berbagai kegiatan yang akan disepakati. Dengan demikian perjanjian
internasional merupakan instrumen yuridis bagi masyarakat internasional
untuk menampung kehendak dan persetujuan untuk mencapai tujuan
bersama.

Pembuatan

perjanjian

internasional

merupakan

perbuatan

hukum dari subyek hukum internasional dan mengikat para pihak dalam
perjanjian tersebut.
Berdasarkan praktik-praktik dari hukum kebiasaan internasional,
masyarakat

internasional

berhasil

mengkodifikasikan

kaidah-kaidah

perjanjian internasional ke dalam dua konvensi yaitu :


Konvensi Wina 1969 tentang Hukum Perjanjian Internasional yang
Mengatur Perjanjian-Perjanjian Internasional Antar Negara dan Negara.
Konvensi Wina 1986 tentang Hukum Perjanjian Internasional Antara
Organisasi Internasional dengan Organisasi Internasional yang Mengatur
Tentang Perjanjian Internasional, Antara Organisasi Internasional dan
Negara, Ataupun Perjanjian Internasional Antara Sesama Organisasi
Internasional.
Pada dasarnya kedua konvensi tersebut mengatur tentang proses
atau tahap-tahap dalam pembuatan sampai dengan pengakhiran perjanjian
internasional yang secara garis besarnya dimulai dari tahap perundingan
(negotiation) untuk merumuskan naskah perjanjian, penerimaan naskah
perjanjian

(adoption

of

the

text),

pengotentikan

naskah

perjanian

(authentication of the text), persetujuan untuk terikat atau pengikatan diri


pada perjanjian (consent to be bound by treaty) yang dapat disertai dengan
pengajuan pensyaratan (reservation), mulai berlakunya perjanjian (entry into
force of a treaty), dan lain-lain. Indonesia sampai saat ini belum menjadi
negara pihak pada kedua Konvensi Wina tersebut, tetapi ketentuanketentuan yang terdapat di dalamnya selalu dijadikan dasar dan pedoman
dalam membuat perjanjian internasional dengan negara lain.

11

1. Teori Monisme dan Dualisme


Perjanjian kerjasama internasional

yang dibuat antara negara

dengan negara lainnya atau dengan organisasi internasional merupakan


perjanjian internasional dalam pengertian hukum internasional publik11.
Bagaimana

perjanjian

internasional

sebagai

norma

hukum

internasional diterapkan dalam hukum nasional persoalannya terletak pada


permasalahan bagaimana hubungan hukum internasional dengan hukum
nasional. Dalam hukum internasional, ada dua macam teori yang mencoba
untuk menerangkan hubungan hukum internasional dengan hukum
nasional, yaitu teori dualisme dan teori monisme12. Menurut aliran
monisme, hukum internasional dan hukum nasional merupakan dua
bagian dari satu kesatuan yang lebih besar yaitu hukum yang mengatur
kehidupan manusia. Akibat pandangan monisme ini ialah bahwa antara
dua perangkat ketentuan hukum ini mungkin ada hubungan hirarki.
Karena adanya hubungan hirarki ini, maka timbul aliran monisme dengan
primat hukum internasional dan monisme dengan primat hukum nasional.
Menurut monisme dengan primat hukum nasional, berlakunya
hukum internasional karena negara atau hukum negara itu menyetujui
berlakunya hukum internasional, dan karena hukum internasional itu
tidak lain merupakan kelanjutan hukum nasional. Di lain pihak, menurut
monisme dengan primat hukum internasional, hukum nasional mengatur
sesuatu karena diperbolehkan oleh hukum internasional. Menurut aliran
ini

hukum

nasional

membuat

peraturan

pelaksanaan,

dan

pada

hakekatnya tidak terjadi penciptaan hukum tersendiri oleh hukum


nasional. Pembuatan hukum nasional dianggap sebagai penerusan dan
penciptaan hukum internasional.
Sebaliknya, menurut aliran dualisme, hukum internasional dan
hukum nasional itu sama sekali terlepas satu sama lainnya karena masing11

Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional, Buku-I Bagian Umum,


Bandung: Binacipta, 1977, hal. 42-43.

12

Sri Setianingsi Suwardi, Masalah-masalah Hukum Perjanjian Pinjaman Internasional,


Makalah pada Fakultas Pasca Sarjana Bidang Hukum Internasional UNPAJ, 1990, hal.
5.
12

masingnya mempunyai sifat yang berlainan. Menurut aliran dualisme ini,


daya pengikat hukum internasional bersumber pada kemauan negara,
maka hukum internasional dan hukum nasional merupakan dua sistem
atau perangkat hukum yang terpisah satu dari yang lainnya. Dengan
perkataan lain, dalam teori dualisme tidak ada tempat bagi persoalan
hirarki antara hukum nasional dan hukum internasional karena pada
hakekatnya kedua perangkat hukum ini tidak saja berlainan dan tidak
tergantung satu sama lainnya tapi juga lepas satu dari yang lainnya.
Dengan

demikian,

hukum

internasional

hanya

berlaku

setelah

ditransformasikan dan menjadi hukum nasional13.


Dalam hal perjanjian internasional yang dilakukan antara subyek
hukum internasional publik yakni antara pemerintah Republik Indonesia
dengan negara lainnya, maka hukum yang dipakai adalah hukum
internasional publik, maka asas-asas hukum perjanjian internasional
publik berlaku pada perjanjian ini. Ini berarti bahwa asas-asas hukum
perjanjian internasional baik yang tertuang dalam Konvensi Wina tahun
1986 berlaku untuk perjanjian internasional tersebut.
2. Teori Delegasi
Menurut

teori

delegasi,

aturan-aturan

konstitusional

Hukum

Internasional mendelegasikan kepada masing-masing konstitusi Negara,


hak untuk menentukan: kapan ketentuan Perjanjian Internasional berlaku
dalam

Hukum

Internasional

Nasional

dan

dijadikan

cara

Hukum

bagaimana
Nasional.

ketentuan
Indonesia

Perjanjian
cenderung

menggunakan teori delegasi. Pengesahan yang dilakukan menurut Hukum


Nasional Indonesia, merupakan bagian prosedur ratifikasi dalam ranah
Hukum Nasional untuk memperoleh instrumen ratifikasi, yang diperlukan
prosedur

ratifikasi

dalam

ranah

Hukum

Internasional.

Ratifikasi

merupakan bagian prosedur pembentukan Hukum Internasional yang


dituangkan dalam perjanjian yang bersangkutan. Keterikatan Indonesia
pada Perjanjian Internasional yang bersangkutan, dilandaskan pada
13

Hans Kelsen, General Theory Of Law and State, Translated by Anders Wedberg, New
York, Russel & Russel, 1973, hal. 123-124.

13

penyampaian instrumen ratifikasi dalam ranah Hukum Internasional.


Apabila

Indonesia

melaksanakannya

sudah
dengan

menjadi
itikad

Negara

baik

dan

pihak,

Indonesia

melakukan

wajib

penyesuaian

perundang-undangannya dengan Perjanjian Internasional yang sudah


berlaku secara definitif.14
3. Konsep one door policy
Dalam

pelaksanaan

perjanjian

kerjasama

internasional

Negara

merupkan entitas abstrak. Negara terbagi dalam berbagai kekuasaan yang


memiliki tugas dan tanggung jawab yang kesemuanya diatur dalam
konstitusi. Tidak bisa semua institusi negara melakukan hubungan dengan
subyek hukum internasional lainnya. Dalam kebiasaan yang diakui oleh
masyarakat internasional, negara yang memiliki Dalam suatu negara
ditentukan dalam konstitusi lembaga mana yang dapat melakukan
hubungan luar negeri atas nama negara tersebut. Ini penting agar hanya
ada satu pintu (one door policy) dan kebijakan bila pihak lain ingin
berhubungan dengan negara tersebut. Berdasarkan konsep yang dikenal
dalam hukum internasional, pemerintah pusat merupakan pemegang
kedaulatan suatu negara. Subyek hukum internasional lainnya akan
berhubungan dengan pemerintah pusat bila hendak melakukan hubungan
luar negeri. Hukum internasional tidak mengatur lembaga mana yang
dianggap sebagai pemerintah pusat. Ini diserahkan kepada masing-masing
konstitusi dan peraturan perundang-undangan suatu negara.15
Dalam konstitusi Indonesia yakni Pasl 11 ayat (1) UUD 1945
menyatakan:

Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat

menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan Negara


lain.

Hal tersebut ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun

2000 tentang Perjanjian Internasional pada Pasal 4 ayat (1) menyebutkan:

14

Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional: Buku I- Bagian Umum, Bina


Cipta, Bandung, 1990, hlm. 65

15

Hikmahanto
Juwana, UU Hbungan Luar Negeri,:Konteks, Konsep pemikiran dan
pelaksanaannya selama ini, artikel Hukum pada Institut for legal and zonstitutional
goverment, 1 Maret 2010.

14

Pemerintah Republik Indonesia membuat perjanjian internasional dengan


satu negara atau lebih, organisasi internasional, atau subjek hukum
internasional lain berdasarkan kesepakatan; dan para pihak berkewajiban
untuk melaksanakan perjanjian tersebut dengan iktikad baik. Lebih lanjut
terkait dengan peran pemerintah daerah, pada Pasal 5 ayat (1) UU tentang
Perjanjian Internasional menyebutkan: Lembaga negara dan lembaga
pemerintah, baik departemen maupun nondepartemen, di tingkat pusat dan
daerah, yang mempunyai rencana untuk membuat perjanjian internasional,
terlebih dahulu melakukan konsultasi dan koordinasi mengenai rencana
tersebut dengan Menteri16.
B. PRAKTIK EMPIRIS
1. Tinjauan Terhadap Defenisi Perjanjian Internasional
Mengenai terminologi atau istilah Perjanjian Internasional yang
dipakai oleh masyarakat internasional sampai saat ini dapat berupa
berbagai macam diantaranya traktat (treaties), konvensi (convention),
persetujuan (agreement), piagam (charter), protokol (protocol), nota
kesepahaman (memorandum of understanding/MoU), dan sebagainya.
Terminologi-terminologi tesebut umumnya tidak mengurangi hak dan
kewajiban

yang

terkandung

di

dalamnya.

Suatu

terminologi

perjanjian internasional digunakan berdasarkan permasalahan yang


diatur dan dengan memperhatikan keinginan para pihak dalam
perjanjian tersebut. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Boer
Mauna sebagai berikut:
Penggunaan judul tertentu pada suatu perjanjian internasional
juga dilakukan untuk menunjukkan bahwa materi perjanjian
tersebut memiliki bobot kerjasama yang berbeda tingkatannya
dengan

perjanjian

internasional

lainnya,

atau

untuk

menunjukkan hubungan antara perjanjian internasional tersebut


16

Lihat Pasal 4 dan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian
Internasional.

15

dengan dengan perjanjian-perjanjian internasional lainnya yang


telah dibuat sebelumnya.17
Defenisi

perjanjian

internasional

publik

harus

dibedakan

dengan perjanjian internasional yang bersifat privat atau dengan


kontrak/perjanjian

biasa.

Pemahaman

publik

tentang

apa

itu

perjanjian internasional juga sangat minim dan acapkali melihatnya


dari

segi

popular

yaitu

negara/transnasional.
Pemerintah

RI-GAM

perjanjian

Sebagai
2005

yang

contoh,

akan

bersifat
MOU

dimengerti

lintas

Helsinki

sebagai

batas
antara

Perjanjian

Internasional, MOU RI-Vietnam untuk jual beli beras dan MOU RIMicrosoft 2007 juga dipahami sebagai suatu perjanjian internasional.
Distorsi publik ini pulalah yang mendorong lahirnya klaim bahwa
Production Sharing Contracts (PSC) di bidang minyak dan gas oleh
Pemerintah RI adalah perjanjian internasional sehingga memicu
adanya judicial review terhadap Undang-Undang No. 22 Tahun 2001
tentang Minyak dan Gas Bumi ke Mahkamah Konstitusi pada tahun
2007. Kasus judicial review ini merupakan kasus yang pertama dalam
jurisprudensi Indonesia yang mengangkat permasalahan teoritis
tentang hukum perjanjian internasional.
Keputusan Mahkamah Konstitusi terhadap judicial review
undang-undang Nomor 22 tahun 2001 tentang minyak dan gas bumi
memberikan penegasan dan batasan dan perbedaan yang jelas dalam
pembedaan tersebut. Dalam kasus ini yang menjadi permasalahan
adalah Pasal 11 ayat (2) yang berketentuan : setiap kontrak
kerjasama yang sudah ditandatangani harus segera diberitahukan
secara tertulis kepada DPR RI dianggap bertentangan dengan Pasal
11 ayat (2) UUD 1945 yang menentukan Presiden dalam membuat
perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas
dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban
keuangan

Negara

dan/atau

mengharuskan

perubahan

atau

pembentukan undang-undang harus dengan persetujuan DPR.


17

DR. Boer Mauna, Hukum Internasional Pengertian Peranan dan Fungsi Dalam Era
Dinamika Global, Alumni Bandung, Cetakan ke-4, Bandung, hlm. 89.
16

Di dalam putusannya Mahkamah Konstitusi menyatakan :


Meskipun bunyi pasal 11 ayat (2) UUD 1945 menyebut, perjanjian
internasional lainnya

perjanjian

internasional

lainnya yang

menimbulkan akbiat yang luas dan mendasar bagi kehidupan


rakyat yang terkait dengan beban keuangan Negara dan/atau
mengharuskan

perubahan

atau

pembentukan

undang-undang

harus dengan persetujuan DPR. Kami dapat menyetujui pendapat


pemerintah dan ahli yang diajukan bahwa perjanjian internasionaln
yang dimaksud adalah perjanjian internasional sebagaimana
diartikan dalam pasal 1 dan 2 Konvensi WIna tahun 1969 tentang
Hukum perjanjian (Law of treaties) dan Pasal 2 ayat (1) huruf a
Konvensi WIna tahun 1986 tentang perjanjian Internasional. Oleh
karenanya Kontrak Kerjasama sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 11 ayat (2) undang-undang migas tidak termasuk perjanjian
internasional yang merupakan ruang lingkup pasal 11 UUD
1945.
Masalah definisi perjanjian internasional memang salah satu
issue kontroversi dalam literatur hukum perjanjian internasional.
Perdebatan sengit bahkan berlangsung pula dalam perumusan
definisi

ini

pada

Konvensi

Wina

1969

tentang

Perjanjian

Internasional. Menurut Konvensi ini, perjanjian internasional adalah:


An International Agreement concluded between States and
International Organizations in written form and governed by
International Law, whether embodied in a single instrument or in
two or more related instruments and whatever its particular
designation
Selanjutnya, definisi ini diadopsi oleh Undang-Undang No. 24
Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional yang merumuskan
sebagai setiap perjanjian di bidang hukum publik, yang diatur oleh
hukum internasional, dan dibuat oleh Pemerintah dengan Negara,
organisasi internasional, atau subjek hukum internasional lain Dari
pengertian hukum ini, maka terdapat beberapa kriteria dasar yang

17

harus dipenuhi oleh suatu dokumen untuk dapat ditetapkan sebagai


suatu perjanjian internasional menurut Konvensi Wina 1969 dan
Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional,
yaitu:
an International Agreement;
by Subject of International Law;
in Written Form;
Governed

by

International

Law

(diatur

dalam

hukum

internasional serta menimbulkan hak dan kewajiban di bidang


hukum publik);

Whatever Form.
Undang-Undang

Internasional

sendiri

No.

24

telah

Tahun

2000

menekankan

tentang

Perjanjian

bahwa

perjanjian

internasional yang menjadi lingkup Undang-Undang ini adalah hanya


perjanjian internasional yang dibuat oleh Pemerintah Indonesia yang
diatur dalam hukum internasional serta menimbulkan hak dan
kewajiban di bidang hukum publik dan bukan di bidang hukum
perdata. Namun praktik Indonesia tentang pembuatan perjanjian
internasional baik sebelum dan sesudah lahirnya Undang-Undang
No. 24 Tahun 2000 tidak luput dari kerancuan ini. Sebelum lahirnya
Undang-Undang ini, semua dokumen sepanjang bersifat lintas
negara, sepanjang yang menjadi pihak adalah Pemerintah RI,
diperlakukan sebagai perjanjian internasional dan disimpan dalam
Treaty Room Departemen Luar Negeri. Perjanjian yang dibuat
Pemerintah RI dengan NGO juga dianggap sebagai perjanjian
internasional. Agreement yang dibuat oleh Pertamina and PT Caltex,
PT Stanvac and PT Shell juga pernah dianggap sebagai perjanjian
internasional dan bahkan diratifikasi melalui Undang-Undang No. 1
Tahun 1963.
Setelah lahirnya Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 tentang
Perjanjian Internasional, praktik di Indonesia telah menunjukkan
konsistensi tentang perjanjian namun masih terdapat kesulitan
tentang

pembedaan

yang

berkaitan

dengan

Governed

by
18

International Law, sehingga semua dokumen sepanjang dibuat oleh


Pemerintah RI dengan Subjek Hukum Internasional masih dianggap
sebagai perjanjian internasional sekalipun perjanjian itu tunduk pada
hukum nasional seperti loan agreements.
Dilihat dari kewenangannya, negara sebagai institusi publik,
dapat menjalankan kewenangannya sebagai institusi perdata dengan
melakukan suatu perdagangan internasional dengan negara lain.
Perjanjian suatu negara dengan subyek hukum lain dikategorikan
sebagai hukum perdata internasional apabila perjanjian tersebut
tunduk pada hukum nasional salah satu pihak dalam perjanjian.
Sebagai contoh, perjanjian pembelian tanah atau pembangunan
gedung atau transaksi lainnya yang dibuat mengacu pada hukum
setempat walaupun dilakukan oleh negara-negara dan organisasiorganisasi internasional bukan merupakan Perjanjian Internasional.18
Pembedaan secara tegas ini sangat penting dan diperlukan apabila
perjanjian yang bersifat ekonomi dan perdagangan dimasukkan ke
dalam

kategori

perjanjian

internasional

yang

memerlukan

pengesahan/ratifikasi Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.


Meskipun dapat dikatakan bahwa perjanjian internasional yang
berkaitan dengan ekonomi dan perdagangan masuk ke dalam
kategori hukum perdata internasional, namun tidak dapat dipungkiri
bahwa

akibat

yang

dapat

ditimbulkan

dari

suatu

perjanjian

internasional di bidang ekonomi dan perdagangan juga dapat


berpengaruh strategis bagi masyarakat atau kepentingan bangsa,
sehingga pada dasarnya juga perlu dilakukan pengesahan dengan
undang-undang. Contoh, dengan keikutsertaan Indonesia di dalam
ASEAN Free Trade Area (AFTA) maka rakyat dihadapkan kepada
perdagangan bebas dan dipaksa untuk bersaing dengan para pelaku
ekonomi

dari

luar

negeri

di

pasar

domestik

tanpa

adanya

perlindungan dari pemerintah. Hal ini tentu akan sangat berpengaruh


dan memberikan dampak yang sangat berat bagi masyarakat.
Sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000
18

DR. Boer Mauna, Op.Cit, hlm. 88.


19

tentang Perjanjian Internasional, perjanjian internasional di bidang


ekonomi dan perdagangan tidak termasuk di dalam kategori yang
harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia. Hal ini berakibat perjanjian perdagangan yang dilakukan
Indonesia dengan negara lain dianggap berada di dalam ranah
eksekutif yang pengesahannya cukup melalui Keputusan Presiden.
Oleh karena itu, diperlukan adanya perubahan terhadap
definisi Perjanjian Internasional dalam revisi Undang-Undang No.24
Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional. Terkait dengan definisi
Perjanjian Internasional tersebut, dari hasil pengumpulan data yang
dilakukan

di

Provinsi

Aceh

dan

Provinsi

Kalimantan

Barat

menegaskan, Pengertian PI hendaknya mengacu ke Konvensi Wina,


baik Konvensi Wina yang mengatur PI antar negara maupun Konvensi
Wina yang mengatur PI dengan organisasi internasional. Berpijak
pada Konvensi Wina tersebut maka perjanjian antara RI dengan Aceh
tidak dapat disebut PI. Begitupula perjanjian dengan korporasi
internasional (international corporation) juga bukan dalam lingkup
hukum internasional (bukan PI).
2. Surat Kuasa (Full Powers).
Full Power adalah kuasa penuh atau on behalf merupakan
salah satu kaidah hukum internasional yang menganggap tidak
semua warga negara dapat mewakili suatu Negara dalam pembuatan
hingga pengesahan perjanjian, karena hanya terdapat beberapa orang
dengan jabatan (amtenar) kenegaraanya yang mendapatkan kuasa
yang utuh untuk mewakili negaranya. Full power sebagaimana
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2000
TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL Surat Kuasa (Full Powers)
adalah surat yang dikeluarkan oleh Presiden atau Menteri yang
memberikan kuasa kepada satu atau beberapa orang yang mewakili
Pemerintah

Republik

Indonesia

untuk

menandatangani

atau

menerima naskah perjanjian, menyatakan persetujuan negara untuk

20

mengikatkan diri pada perjanjian, dan/atau menyelesaikan hal-hal


lain yang diperlukan dalam pembuatan perjanjian internasional.
Kusa Penuh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 Konferensi
Wina

1969:

Seseorang dianggap mewakili sesuatu Negara dengan maksud untuk


mengesahkan atau mengotentifikasi naskah dari suatu perjanjian
atau dengan maksud untuk menyatakan kesepakatan dari suatu
Negara untuk mengikatkan diri pada suatu perjanjian jika: Ia
memberikan surat kuasa penuh.
Selanjutnya Pasal 8 Konfrensi Wina 1969, pada intinya
menyatakan mereka yang mendapatkan kuasa penuh untuk mewakili
Negara adalah :
1) Kepala-kepala Negara, Kepala-kepala pemerintahan dan para
mentri luar negeri, dengan maksud untuk melaksanakan semua
tindakan

yang

berhubungan

dengan

pembuatan

perjanjian

Internasional yakni :
2) Kepala-kepala

perwakilan

diplomatic

dengan

maksud

untuk

mengesahkan naskah suatu perjanjian antara Negara yang


memberikan

akreditasi

dan

Negara

dimana

mereka

diakreditasikan;
3) Wakil-wakil yang diakreditasikan oleh Negara-negara pada suatu
konferensi internasional atau organisasi internasional, atau salah
satu badannya, dengan maksud untuk mengesahkan naskah dari
suatu perjanjian di konfrensi, organisasi atau badan tersebut.
Terkait

dengan

pemberian

surat

kuasa

tersebut,

dalam

Konvensi Wina tidak diatur teknis mengenai jangka waktu Surat


Kuasa, namun dari hasil pengumpulan data yang dilakukan yakni
hasil wawancara dengan Dosen Universitas Udayana dan Universitas
Syech Kuala menyatakan, tidak ada salahnya Indonesia mengatur
dalam RUU. Persoalan jangka waktu sebuah surat kuasa atau surat
kepercayaan, adalah hal teknis. Jangka waktu menyangkut dua hal,
yaitu (1) dalam hubungannya dengan pemerintah daerah yang akan
melakukan kerjasama dengan pemerintah daerah dengan

negara

21

lain, harus ada ketentuan yang mengikat menteri luar negeri untuk
mengeluarkan suarat kuasa bagi seorang kepala daerah setelah
kepala daerah yang bersangkutan mengajukan permohonan. (berapa
lama surat kuasa itu dapat digunakan, apakah dapat digunakan
berulang-ulang. Kedua hal ini harus diatur dalam RUU yang baru.
Sebagai catatan bahwa kuasa jabatan sebagaimana dipangku oleh
seorang menteri keuangan misalnya, sangat berbeda pengertiannya
dengan kewenangan yang diterima oleh menteri keuangan melalui
sebuah surat kuasa untuk melakukan suatu perjanjian karena sifat
berlakunya dengan surat kuasa ada tenggang waktunya, yakni
selesainya sebuah perjanjian.
3. Peran Pemerintah Daerah
Terkait dengan peran daerah dalam pelaksanaan perjanjian
internasional khususnya dalam pembuatan perjanjian Internasional,
dalam Bab II Pasal 5 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang
Perjanjian Internasional menyebutkan :
Lembaga negara dan lembaga pemerintah, baik departemen
maupun nondepartemen, di tingkat pusat dan daerah, yang
mempunyai rencana untuk membuat perjanjian internasional,
ter1ebih dahulu melakukan konsultasi dan koordinasi mengenai
rencana tersebut dengan Menteri.
Dengan demikian dari ketentuan yang terdapat dalam Pasal 5
ayat (1) tersebut, menyimpulkan bahwa daerah yang mempunyai
rencana untuk membuat perjanjian internasional, terlebih dahulu
melakukan konsultasi dan koordinasi mengenai rencana tersebut
dengan menteri. Dalam pembuatan perjanjian internasional yang
dilakukan oleh pemerintah, kewenangan atau yang menjadi pihak
dalam perundingan rancangan suatu perjanjian tersebut sesuai
dengan bunyi Pasal 5 ayat (4) adalah Menteri atau pejabat lain sesuai
dengan materi perjanjian dan lingkup kewenangan masing-masing.
Selain itu, daei aspek hukum internaional, Subyek Hukum
Internasional adalah Negara, dalam ha1 ini

perjanjian internasional,

22

Pemerintah Daerah meskipun dapat melaksanakan perjanjian atau


kerjasama internasional, tetapi kedudukannya tidak bisa dipandang
sebagaimana layaknya subjek hukum internasional. Tetapi lebih
merupakan perpanjangan tangan kekuasaan pemerintah pusat.
Dalam konteks hukum internasional, beban pertanggungjawaban
perjanjian internasional tetap berada di Pemerintah Pusat.
Terkait dengan keinginan daerah untuk dilibatkan dalam
pembuatan PI,

dari hasil pengumpulan data yang dilakukan di

Universitas .... Provinsi Kalimantan Barat dan Universitas Syech


Kuala Provinsi Aceh, menyatakan, perlu ada kehati-hatian jika
hendak mengakomodir keinginan daerah tersebut dalam UU PI
karena daerah bukan subyek hukum yang memiliki kewenangan
untuk membuat PI (treaty making power). Daerah tidak bisa
dilibatkan secara langsung dalam pembuatan PI.

Namun peran

daerah perlu diatur secara jelas agar tidak terjadi lagi pengalaman
kasus yang telah lalu, misal: rencana Kalbar untuk mendatangkan
mobil bekas yang dituangkan dalam Perda dimentahkan oleh SK
Menteri Perdagangan yang mengakibatkan Perda tidak berlaku.
Kasus yang terbaru adalah mengenai tata gula. Meskipun hal
tersebut tidak dapat dibenarkan dimana produk legislasi (Perda)
dibatalkan oleh eksekutif (SK Menteri Perdagangan), hal tersebut
dapat dimaklumi karena merupakan mekanisme kontrol dari pusat
kepada daerah.
Dalam pembuatan PI, dunia internasional (negara pihak) akan
melihat konstitusi. Berdasarkan konvensi Montivideo yang mengatur
hak dan kewajiban negara, jika negara berbentuk negara kesatuan
maka yang memiliki kewenangan/kemampuan untuk melakukan
hubungan keluar adalah pemerintah pusat. Oleh karena itu, jika
daerah hendak membuat PI maka harus melibatkan pemerintah
pusat. Berbeda halnya dengan negara yang berbentuk federal, dimana
negara bagian ada yang diberi wewenang untuk membuat PI. Untuk
itu, ke depan agar tidak ada permasalahan lagi maka dalam kerangka
NKRI, perlu ada dialog dengan daerah dalam pembuatan PI agar

23

kebutuhan/keinginan

daerah

dapat

terakomodasi.

Sehubungan

dengan hal tersebut, untuk mengantispasi masalah maka perlu ada


benang merah antara UU PI dengan UU terkait, diantaranya UU
Hubungan Luar Negeri, UU Perubahan UU No. 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, UU No. 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dan sebagainya. Jika
tidak ada benang merah maka apa pun yang dibuat dalam PI maka
akan timbul masalah di kemudian hari.
4. Pengesahan Perjanjian Internasional
a. Pasal 11 UUD 1945
Dalam UUD 1945 sebelum dilakukan amandemen dapat
dijumpai

suatu

ketentuan

pokok

yang

berhubungan

dengan

pembuatan perjanjian internasionkekuasaan kehakiman adalah

kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan


guna menegakkan hukum dan keadilanal. Ketentuan yang
dimaksud dituangkan dalam pasal 11 UUD 1945 yang berbunyi :
Presiden

dengan

persetujuan

Dewan

Perwakilan

Rakyat

menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian


dengan negara lain.
Selanjutnya pada tanggal 22 Agustus 1960 telah dikeluarkan
Surat Presiden kepada Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Nomor
2826/HK/60 yang isinya berbunyi sebagai berikut :17)
1.
2. Menurut pendapat Pemerintah perkataan perjanjian

di dalam

pasal 11 ini tidak mengandung arti segala perjanjian dengan


Negara asing, tetapi hanya perjanjian-perjanjian terpenting saja,
yaitu yang mengandung soal-soal politik dan yang lazimnya
dikehendaki berbentuk traktat (treaty). Jika tidak diartikan
demikian,

maka

Pemerintah

tidak

akan

mempunyai

cukup

keleluasaan bergerak untuk menjalankan hubungan internasional


17)

Syahmin AK, Hukum Perjanjian Internasional (Menurut Konvensi Wina 1969), Penerbit CV. Armico,
Bandung, Edisi ke-2, Agustus 1988, Lampiran II, Hal.269-271.
24

dengan

sewajarnya,

karena

tiap-tiap

perjanjian

walaupun

mengenai soal-soal yang kecil harus diperoleh persetujuan terlebih


dahulu dari Dewan Perwakilan Rakyat, sedangkan hubungan
internasional

dewasa

ini

demikian

intensifnya,

sehingga

menghendaki tindakan-tindakan yang cepat dari Pemerintah yang


membutuhkan prosedur konstitusional yang lancar.
3. Untuk menjamin kelancaran dalam pelaksanaan kerja sama
antara Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat sebagaimana
tertera dalam pasal 11 Undang-Undang Dasar, Pemerintah akan
menyampaikan pada Dewan Perwakilan Rakyat untuk memperoleh
persetujuan

Dewan

Perwakilan

Rakyat,

hanya

perjanjian-

perjanjian yang terpenting saja, (treaties) yang diperincikan


dibawah, sedangkan perjanjian yang lain (agreements) akan
disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat hanya untuk
diketahui.
4. Sesuai dengan pertimbangan-pertimbangan yang tersebut di atas
Pemerintah berpendapat bahwa perjanjian-perjanjian yang harus
disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk mendapat
persetujuan sebelumnya disahkan oleh Presiden ialah perjanjianperjanjian yang lazimnya berbentuk treaty yang mengandung
materi sebagai berikut :
a. Soal-soal politik atau soal-soal yang dapat mempengaruhi
haluan politik luar negeri Negara seperti halnya dengan
perjanjian-perjanjian

persahabatan,

perjanjian-perjanjian

persekutuan (alliansi), perjanjian-perjanjian tentang perobahan


wilayah atau penetapan tapal batas.
b. Ikatan-ikatan

yang

sedemikian

rupa

sifatnya

sehingga

mempengaruhi haluan politik luar negeri Negara; dapat terjadi


bahwa

ikatan-ikatan

sedemikian

dicantumkan

di

dalam

perjanjian kerja sama ekonomi dan teknis atau pinjaman uang.


c. Soal-soal yang menurut Undang-Undang Dasar atau menurut
sistem perundang-undangan kita harus diatur dengan Undang-

25

undang,

seperti

soal-soal

kewarganegaraan

dan

soal-soal

kehakiman.
Perjanjian-perjanjian yang mengandung materi yang lain yang
lazimnya berbentuk agreement akan disampaikan kepada Dewan
Perwakilan Rakyat hanya untuk diketahui setelah disahkan oleh
Presiden.
Dari Surat Presiden tersebut, keikutsertaan DPR seperti
dimaksudkan Pasal 11 UUD 1945, mencakup :
a. Soal-soal politik atau yang akan mempengaruhi politik luar negeri
RI, antara lain :
1) perjanjian persahabatan;
2) perjanjian persekutuan;
3) perjanjian tentang perubahan wilayah;
4) perjanjian kerja sama ekonomi dan teknik;
5) perjanjian pinjaman uang;
b. Soal-soal yang menurut UUD 1945 dan peraturan perundangundangan harus diatur oleh Undang-undang.
c. Soal-soal yang menurut

Undang-undang diatur dalam bentuk

traktat (treaty).18)
Sedangkan perjanjian yang mengandung materi yang lain yang
lazimnya berbentuk agreement akan disampaikan kepada Dewan
hanya untuk diketahui setelah disahkan oleh Presiden. Didalam
praktek pembedaan antara traktat dan persetujuan (agreement) dapat
dilihat bahwa traktat memerlukan persetujuan DPR dan bentuk
yuridis persetujuan ini dalam bentuk Undang-undang. Sedang dalam
hal persetujuan DPR hanya diberitahu dan bentuk yuridis ratifikasi
persetujuan dalam bentuk KEPPRES atau kadang-kadang tanpa
ratifikasi.19)

18)

Bagir Manan, Kekuasaan Presiden Untuk Membuat, Memasuki dan Mengesahkan Perjanjian/Persetujuan,
Majalah Universitas Padjajaran No. 3-4, Jilid XVI, 1998. Hal.14.
19)
Sri Setianingsih Suwardi, Ratifikasi Perjanjian Internasional Dalam Kaitannya Dengan Pasal 11 UUD
1945, Makalah Pada Lokakarya Perjanjian RI dengan Negara Lain serta Ratifikasi oleh DPR RI, di DPR, 10
Juni 1993. Hal. 15.
26

Ratifikasi sebenarnya adalah suatu metode pengecekan oleh


parlemen mengenai apakah utusan negara yang ditugaskan untuk
berunding dalam suatu perjanjian internasional tidak keluar dari
instruksi. Ratifikasi ini dianggap perlu dan penting karena :

Perjanjian itu umunya menyangkut kepentingan dan mengikat


masa depan Negara dalam hal-hal tertentu karena itu harus
disahkan oleh kekuasaan Negara tertinggi.

Untuk

menghindari

kontroversi

antara

utusan-utusan

yang

berunding dengan pemerintah yang mengutus mereka.

Perlu adanya waktu agar intansi-instansi yang bersangkutan


dapat mempelajari naskah yang diterima.

Pengaruh

Parlementer

yang

mempunyai

wewenang

untuk

mengawasi kegiatan-kegiatan eksekutif.19


Selain

berdasarkan

penandatangan

dan

Ratifikasi,

suatu

perjanjian internasional juga dapat tunduk dan mengikat bagi suatu


negara meskipun bukan sebagai negara peserta dari perjanjian
internasional tersebut melalui cara Aksesi. Yang dimaksudkan
dengan Aksesi disini adalah pernyataan suatu negara yang bukan
peserta

dari

perjanjian

internasional

untuk

tunduk

terhadap

ketentuan-ketentuan yang diatur dalam perjanjian internasional


tersebut. Umumnya Aksesi ini dilakukan dengan cara mengirimkan
piagam

Aksesi

ke

negara

penyimpan

untuk

kemudian

memberitahukan kepada negara-negara peserta lainnya.20


Tindakan internasional lain yang lazim dilakukan oleh negaranegara pada saat pembuatan Perjanjian Internasional adalah dengan
mengajukan suatu Pensyaratan (Reservation) terhadap klausul dari
suatu ketentuan dalam perjanjian internasional. Apabila Pensyaratan
tersebut diterima maka negara bersangkutan tidak tunduk terhadap
ketentuan dari pasal yang diajukan Pensyaratan tersebut. Umumnya

19
20

DR. Boer Mauna, Op.Cit, hlm. 118.


Mengenai Aksesi Konvensi Wina 1969 mengaturnya di dalam Pasal 15 yang
menyatakan bahwa Aksesi dapat dilakukan apabila : 1.Perjanjian itu sendiri secara
jelas menyatakan hal tersebut, 2.Bila terbukti Negara-negara yang ikut berunding
menginginkan demikian.
27

Pensyaratan ini diajukan pada waktu penandatanganan, Ratifikasi,


ataupun pada saat Aksesi. Terhadap Pensyaratan ini pada praktiknya
menimbulkan beberapa kesukaran yaitu keseragaman perjanjian
menjadi tidak terjaga karena Pensyaratan suatu negara berbeda-beda
dengan negara lain. Integritas perjanjian internasional juga menjadi
tidak terjamin karena sulit untuk diketahui pasal-pasal mana yang
berlaku atau tidak berlaku bagi suatu negara. Namun meskipun
demikian, praktik Penysaratan ini masih kerap dilakukan dan diakui
oleh masyarakat internasional.21
Mengenai keterikatan atau tunduknya suatu Negara pada
perjanjian

internasional

mengandung

dua

aspek

yaitu

aspek

eksternal dan internal. Aspek eksternalnya adalah negara itu


memikul kewajiban dan menerima hak dari perjanjian internasional
tersebut.

Sedangkan

aspek

internalnya

adalah

perjanjian

internasional itu masuk dan berlaku sebagai bagian dari hukum


nasionalnya. Yang dimaksud dengan aspek internal disini adalah
dampak atau pengaruh dari masuknya perjanjian internasional itu ke
dalam hukum nasional terhadap hukum atau peraturan perundangundangan nasional negara yang bersangkutan yang substansinya ada
hubungannya

dengan

substansi

dari

perjanjian

internasional

tersebut. Dalam hal ini dibutuhkan adanya pengharmonisasian atau


penyelarasan substansi dari perjanjian internasional tersebut dengan
substansi dari hukum atau peraturan perundang-undangan terkait.
b. Masalah Ruang Lingkup Pengesahan
Perjanjian tentang Pinjaman/Hibah menurut pasal 10 huruf f
Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional
harus mendapat pengesahan/diratifikasi dengan Undang-Undang
dan menurut penjelasan pasal ini akan diatur secara khusus dalam
21

Mengenai Pensyaratan diatur di dalam Konvensi Wina 1969 di dalam Pasal 19 yaitu :
suatu Negara waktu menandatangani, meratifikasi, menerima, atau aksesi dapat
mengajukan Pensyaratan terhadap suatu Perjanjian kecuali; 1.Pensyaratan dilarang
oleh perjanjian, 2.Pensyaratan tertentu dimana tidak termasuk Pensyaratan yang
dilarang, 3.Pensyaratan tersebut tidak sesuai dengan maksud dan tujuan Perjanjian.

28

Undang-Undang tersendiri. Undang-Undang No. 17 Tahun 2003


tentang Keuangan Negara menegaskan kembali prinsip perlunya
persetujuan DPR ini sehingga dalam pasal 23 ayat (1) menyatakan
Pemerintah Pusat dapat memberikan hibah/pinjaman kepada atau
menerima hibah/pinjaman dari pemerintah/lembaga asing dengan
persetujuan DPR. Namun perlu ditekankan bahwa persetujuan DPR
dalam

konteks

Undang-Undang

APBN

tidak

identik

dengan

pengesahan/ratifikasi dengan Undang-Undang (oleh DPR) seperti


yang dimaksud oleh Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 tentang
Perjanjian Internasional.

Undang-Undang APBN bukanlah Undang-

Undang untuk mengesahkan/ratifikasi suatu perjanjian internasional


melainkan Undang-Undang untuk menyetujui rencana pemerintah
untuk melakukan pinjaman. Di lain pihak pengesahan/ratifikasi
adalah lembaga hukum ketatanegaraan tentang pengesahan oleh
legislatif atas perbuatan hukum pemerintah RI sesuai dengan Hukum
Perjanjian Internasional. Dalam hal ini, perbuatan Pemerintah RI
yang menandatangani suatu perjanjian disahkan dengan UndangUndang

(dengan

demikian

melalui

persetujuan

DPR)

sehingga

Indonesia secara resmi, berdasarkan Konvensi Wina 1969 tentang


Perjanjian Internasional, terikat pada perjanjian itu. Sedangkan
pengertian persetujan DPR pada Undang-Undang APBN bukanlah
mengesahkan perjanjian yang sudah ditandatangani melainkan
menyetujui

rencana

pemerintah

untuk

melakukan

pinjaman.

Persetujuan DPR pada Undang-Undang APBN adalah terhadap


perjanjian yang akan dan belum ditandatangani oleh Pemerintah RI
sedangkan persetujuan dalam konteks pengesahan/ratifikasi adalah
terhadap perjanjian yang sudah ditandatangani. Dengan demikian,
secara juridis formal, adanya persetujuan DPR dalam APBN tidak
dapat meniadakan persyaratan ratifikasi sebagaimana ditetapkan
oleh pasal 10 huruf f Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 tentang
Perjanjian Internasional, kecuali secara tegas dinyatakan dalam UU
lainnya.

29

Dalam praktiknya telah dikeluarkan Peraturan Pemerintah No.


2 Tahun 2006 tentang Tatacara Pengadaan Pinjaman dan/atau
Penerimaan Hibah serta Penerusan Pinjaman dan/atau Hibah Luar
Negeri yang pada hakekatnya mengatur tentang Naskah Perjanjian
Pinjaman atau Hibah Luar Negeri. Menurut pasal 15 Peraturan
Pemerintah

tersebut,

wewenang

penandatanganan

Perjanjian

Pinjaman dan Hibah Luar Negeri berada pada Menteri Keuangan.


Pada

Peraturan

Pemerintah

ini

tidak

terdapat

aturan

yang

mengindikasikan bahwa Naskah Perjanjian Pinjaman atau Hibah


harus mendapat persetujuan DPR. Selain itu, Pasal 16 Peraturan
Pemerintah tersebut menyatakan bahwa Perjanjian Pinjaman dan
Hibah Luar Negeri mulai berlaku sejak ditandatangani, kecuali
ditentukan lain dalam naskah/dokumen yang bersangkutan. Pasal
ini

akan

menyulitkan

Departemen

Luar

Negeri

jika

ternyata

perjanjian dimaksud adalah perjanjian internasional publik yang


tunduk pada Konvensi Wina 1969 dan 1986 serta Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional. Itulah
sebabnya,

dalam

mengamankan

rangka

akuntabilitas

juridis

serta

kepentingan

hukum

khususnya

untuk

kewajiban

pengesahan dengan Undang-Undang, maka posisi Departemen Luar


Negeri

pada

setiap

mengupayakan

perjanjian

klausula

pinjaman

tentang

kategori

dipenuhinya

ini

terlebih

selalu
dahulu

prosedur konstitusional/internal sebelum berlakunya perjanjian.


Dalam

praktik,

notifikasi

telah

Departemen
terpenuhinya

Luar

Negeri

prosedur

akan

menyampaikan

konstitusional/internal

setelah mendapatkan konfirmasi tertulis dari Departemen Keuangan


perihal tersebut.
Permasalahan yang dihadapi oleh Pemerintah Indonesia terkait
masalah perjanjian pinjaman ini adalah tidak adanya penegasan
secara juridis baik dalam Undang-Undang No. 17 Tahun 2003
tentang Keuangan Negara maupun Peraturan Pemerintah No. 2
Tahun 2006 apakah perjanjian pinjaman ini masuk dalam kategori
perjanjian internasional publik atau perjanjian perdata internasional

30

biasa. Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian


Internasional hanya mengatur tentang perjanjian pinjaman per
definisi

Undang-Undang

ini

yaitu

perjanjian

Governed

by

International Law. Untuk perjanjian pinjaman kategori ini, ketentuan


Konvensi Wina 1969 dan 1986 serta Undang-Undang No. 24 Tahun
2000 tentang Perjanjian Internasional diberlakukan. Akibat tidak
adanya penegasan juridis dari Rancangan Undang-Undang ini, akan
terjadi konflik kewenangan antara substansi dan format yaitu Menteri
Keuangan yang memiliki kewenangan atas pinjaman luar negeri
dengan kewenangan Menteri Luar Negeri yang memiliki wewenang
untuk membuat perjanjian internasional itu sendiri. Terlebih lagi,
dalam pasal 14 ayat (2) disebutkan bahwa Naskah Perjanjian
Pinjaman

Luar

Negeri

ditandatangani

oleh

Menteri

Keuangan

sedangkan menurut penjelasan pasal 7 ayat (2) Undang-Undang No.


24

Tahun

2000

tentang

Perjanjian

Internasional,

Dalam

hal

pinjaman luar negeri, Menteri (dalam hal ini Menteri Luar Negeri)
mendelegasikan kepada Menteri Keuangan.
Terkait dengan pemberian hibah dari hasil pengumpulan data
yang dilakukan di Pemda Provinsi Kalimantan Barat dan Provinsi
Aceh, menyatakan,

sebaiknya dilaksanakan kebijakan one door

policy, yakni dalam penerimaan hibah Pemerintah Daerah harus


melakukan koordinasi dengan pemerintah pusat. Karena implikasi
dari pemberian hibah berdampak terhadap politik dan ekonomi suatu
daerah. Sebagai contoh pemberian hibah dari suatu Negara terhadap
pemerintah Aceh. Dampak dari pemberian hibah tersebut pemerintah
Aceh harus melakukan kerjasama (dibidang Sumber Daya Alam
misalnya) dengan pihak pemberi hivah tersebut. Oleh karena itu,
dalam revisi UU PI masalah hibah tersebut perlu pengaturan
tersendiri.

31

c. Pengesahan Perjanjian Internasional di Bidang Ekonomi


Indonesia sebagai salah satu Negara yang berkembang dengan
cukup pesat di Asia Tenggara, saat ini terlibat dalam sejumlah
perjanjian

perdagangan

bebas,

yaitu

dengan

World

Trade

Organization (WTO) yang melibatkan 153 negara, ASEAN Free Trade


Agreement (AFTA), dan Indonesia-Jepang Economic Partnership
Agreement. Sebagai bagian dari ASEAN, Indonesia juga terlibat FTA
dengan Korea Selatan, India, China, Australia dan Selandia Baru.
Sedangkan dengan Amerika Serikat (AS), diberlakukan sebagai
perjanjian perdagangan antar negara, tetapi hanya perjanjian bisnis
antara sektor-sektor usaha tertentu di Indonesia dan AS.
Dampak

positif

FTA

telah

dipaparkan

oleh

perwakilan

pemerintah. Namun, sejumlah FTA yang melibatkan Indonesia


tersebut tidak dapat dikatakan memberikan dampak yang lebih
positif bagi Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari sejumlah masalah
sosial yang terjadi, diantaranya: masalah pengangguran, masalah
kemiskinan,

masalah

transformasi

sektor

penanganan

pertanian,

sektor

masalah

informal,

reforma

masalah

agraria,

atau

penanganan terhadap masyarakat adat. Secara statistik, angka


pengangguran di Indonesia memang menurun. Tetapi, lapangan kerja
lebih banyak disumbangkan oleh sektor informal yang selalu
dimarjinalkan. Data BPS menyebutkan pertumbuhan sektor informal
terus meningkat sejak 1997 sebagai akibat berkurangnya lapangan
pekerjaan di sektor formal. Sektor informal ini ibaratnya spons cuci
yang menyerap sisa-sisa kotoran. Ia akan menyerap tenaga kerja yang
terlempar dari piring-piring sektor formal.
Sektor informal di kota-kota besar juga menjadi penyerap bagi
mereka yang terlempar dari sektor pertanian yang sekarang dibanjiri
oleh produk impor. BPS mencatat, selisih ongkos produksi dengan
pendapatan petani dari tahun ke tahun selalu menurun. Akibatnya,
semakin sedikit penduduk yang mau melestarikan pertanian dan
terjadilah

urbanisasi

yang

juga

menimbulkan

masalah

sosial

32

lanjutan. BPS menyebutkan bahwa sampai Februari 2011 sektor


pertanian mengalami penurunan jumlah pekerja sebesar 0,84%
dibandingkan tahun sebelumnya.
Berdasarkan
internasional

di

data

dan

bidang

alasan

ekonomi,

diatas,

maka

khususnya

perjanjian

terkait

dengan

perdagangan bebas harus diratifikasi dalam pengesahannya.


Ada tiga hal utama mengapa perjanjian internasional di bidang
perdagangan
Undang

bebas

harus

Undang,

internasional

pertama

memiliki

penandatanganan

diratifikasi,
;

perjanjian

dampak

perjanjian

atau

penting

disyahkan

melalui

perdagangan
dan

perdagangan

luas.

bebas

bebas
Kedua,

menuntut

konsekuensi perubahan berbagai peraturan perundang-undangan


lainnya di dalam negeri. Ketiga, perjanjian perdagangan bebas
umumnya mengikat (legally binding), yang pelanggarannya dapat
dikenakan denda atau sangsi secara internasional.
Selama

ini

awam

mengenal

perdagangan

bebas

sebagai

perjanjian perdagangan semata, atau hanya semata-mata urusan jual


beli

antar

Negara.

Perdagangan

bebas

tidaklah

demikian.

Perdagangan bebas adalah suatu rezim yang mengatur tidak hanya


perdagangan barang, akan tetapi investasi dan jasa-jasa. Rezim
perdagangan bebas mengatur seluruh aspek dalam ekonomi.
Melalui WTO yang merupakan suatu organisasi internasional
tentang perdagangan bebas, kita temukan ruang lingkup perjanjian
perdagangan bebas. Perjanjian WTO mencakup perjanjian sektor
pertanian, perdagangan barang, jasa dan kekayaan intelektual. Dasar
seluruh kebijakan WTO adalah prinsip-prinsip liberalisasi, termasuk
komitmen

masing-masing

negara

untuk

menurunkan

dan

menghilangkan tarif bea masuk dan hambatan perdagangan lainnya.


Pemerintah Indonesia telah meratifikasi pendirian WTO melalui
UU No 7 tahun 1994. Ratifikasi ini berarti bahwa Indonesia
menyetujui dokumen final pendirian WTO dan sekaligus secara resmi
menjadi anggota WTO. Keikutsertaan menjadi anggota WTO telah
menimbulkan

konsekuensi

yang

luas

terhadap

perekonomian

33

nasional. Dalam hal ini semestinya parlemen dapat memanggil


pemerintah/presiden dalam urusan pelaksanaan UU No 7 tahun
1994,

menyangkut

semakin

lemahnya

posisi

Indonesia

dalam

perdagangan internasional.
Selain

WTO

perjanjian

perdgaangan

bebas

lainnya

ditandantangani oleh pemerintah melalui Free Trade Agreement (FTA).


Meski hanya dilakukan antara Negara, antar Negara dengan suatu
kawasan dan antara kawasan yangs atu dengan kawasan lainnya,
namun perjanjian FTA memiliki dampak yang sangat luas. Ruang
lingkup perjanjian FTA lebi komprehensif dibandingak WTO, karena
tidak hanya meliputi pertanian, perdagangan barang, namun juga
liberalisasi dibidang keuangan dan jasa-jasa. Komitmen penurunan
tariff bea masuk dalam perdagangan dan liberalisasi keuangan serta
jasa-jasa dalam FTA lebih tinggi dibandingkan kesepakatan didalam
WTO.
Perjanjian FTA berlangsung sangat cepat. Idonoensia saat ini
telah menandatangani banyak FTA, misalnya perjanjian perdagangan
bebas ASEAN dengan komitmen penuh kea rah ASEAN single market.
Melalui

ASEAN

Indonesia

telah

menandatangani

perjanjian

perdagangan bebas dengan China, Korea, Jepang, Australia , India


dan rencana perjanjian perdagan bebas dengan AS dan EU yang saat
ini dalam proses negosiasi. Dengan ditandantanganinya seluruh
perjanjian FTA tersebut maka berarti Indonesia telah melakukan
liberalisasi penuh terhadap perekonomian nasionalnya baik dalam
bidang investasi, perdagangan dan keuangan.
Berbagai

perjanjian

perdagangan

bebas

tersebut

telah

berdampak penting dan luas. Sebagai contoh perjanjian FTA dengan


China telah menyebabkan Indonesia menjadi sasaran ekspansi
produk manufactur murah asal China. Perdagngan bebas dengan
Australia Newzealand menyebabkan Indonesia menjadi sasaran
ekapansi produk pertanian dan peternakan. Demikian pula halnya
perdagangan bebas dengan Jepang telah menyebabkan Indonesia
menjadi sasaran ekspansi pasar produk Jepang dan sisi lain

34

Indonesia menjadi sasaran eksploitasi sumber daya alam oleh actoraktor ekonomi dari Negara tersebut.
Ringkasnya perjanjian perdagangan bebas memiliki dampak
penting dan luas. Penadatanganan perjanjian ini oleh pemerintah
menyebabkan Negara terikat di dalam rezim internasional yang
seringkali Negara tidak dapat menarik diri keluar dari perundingan
karena

berbagai

konsekusnsi

yang

dapat

diterima

secara

internasional. Sebagai contoh Indonesia gagal melakukan negosiasi


ulang FTA dengan China meski telah jelas merugikan ekonomi
nasional.
Sementara

pemerintah

(eksekutif)

begitu

mudah

menandatangani perjanjian FTA karena menerima insentif seperti


utang, bantuan lainnya, tanpa memikirkan bahwa kesepakatan itu
akan berlaku pada pemerintahan berikutnya dan sulit menarik dari
dari perjanjian yang telah ditandatangani.
Dengan demikian maka satu-satunya cara untuk mengerem
tindakan pemerintah yang terus menerus menandatangani FTA
adalah dengan meratifikasi melalui UU. Karena kesepakatan itu
sangat strategis dan harus memperoleh persetujuan dari seluruh
rakyat melalui lembaga perwakilan rakyat (DPR). Selain itu yang
terpenting

adalah

UU

ratifikasi

FTA

nantinya

tidak

boleh

bertentangan dengan semangat proklamasi 1945, Pancasila dan UUD


1945 yang merupakan konstitusi dasar Negara Republic Indonesia.

35

BAB III
EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
TERKAIT
A. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar
Negeri
Dalam UU No. 37 Tahun 1999, yang dimaksud dengan hubungan
luar negeri adalah setiap kegiatan yang menyangkut aspek regional dan
internasional yang dilakukan oleh Pemerintah di tingkat pusat dan daerah,
atau lembaga-lembaganya, lembaga negara, badan usaha, organisasi politik,
organisasi masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, atau warga negara
Indonesia (Pasal 1 angka 1). Hubungan luar negeri diselenggarakan sesuai
dengan Politik Luar Negeri, peraturan perundang-undangan nasional dan
hukum serta kebiasaan internasional {Pasal 5 ayat (1)}.
Berdasarkan

Pasal

ayat

(1),

kewenangan

penyelenggaraan

hubungan luar negeri dan pelaksanaan politik luar negeri Pemerintah


Republik Indonesia berada di tangan Presiden. Sedangkan dalam hal
menyatakan perang, membuat perdamaian, dan perjanjian dengan negara
lain diperlukan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Lebih lanjut Pasal 6
ayat (2) mengatur bahwa Presiden dapat melimpahkan kewenangan
penyelenggaraan Hubungan Luar Negeri dan pelaksanaan Politik Luar
Negeri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) kepada Menteri. Yang
dimaksud dengan Menteri adalah menteri yang bertanggung jawab di
bidang hubungan luar negeri dan politik luar negeri (Pasal 1 angka 4).
Masih terkait dengan kewenangan, Pasal 7 ayat (1) mengatur Presiden
dapat menunjuk pejabat negara selain Menteri Luar Negeri, pejabat
pemerintah, atau orang lain untuk menyelenggarakan Hubungan Luar
Negeri di bidang tertentu. Namun sesuai dengan prinsip one door policy,
Pasal 7 ayat (2) mengatur bahwa dalam melaksanakan tugasnya, pejabat
negara selain Menteri Luar Negeri, pejabat pemerintah, atau orang lain
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melakukan konsultasi dan koordinasi
dengan Menteri.

36

Sehubungan dengan keinginan Indonesia untuk masuk ke dalam


atau keluar dari keaggotaan organisasi internasional, seperti organisasi
perdagangan

internasional

maka

Pasal

dapat

menjadi

pedoman.

Berdasarkan Pasal 9 ayat (1), pembukaan dan pemutusan hubungan


diplomatik atau konsuler dengan negara lain serta masuk ke dalam atau
keluar dari keanggotaan organisasi internasional ditetapkan oleh Presiden
dengan memperhatikan pendapat Dewan Perwakilan Rakyat. Pembukaan
dan penutupan kantor perwakilan diplomatik atau konsuler di negara lain
atau kantor perwakilan pada organisasi internasional ditetapkan dengan
Keputusan Presiden {Pasal 9 ayat (2)}.
Dalam UU No. 37 Tahun 1999, pembuatan dan pengesahan
perjanjian internasional diatur tersendiri dalam Bab III, Pasal 13 sampai
dengan Pasal 15. Sesuai dengan prinsip one door policy, Pasal 13 mengatur
bahwa Lembaga Negara dan lembaga pemerintah, baik departemen maupun
non departemen, yang mempunyai rencana untuk membuat perjanjian
internasional, terlebih dahulu melakukan konsultasi mengenai rencana
tersebut dengan Menteri. Pasal 14 mengatur bahwa Pejabat lembaga
pemerintah,

baik

departemen

maupun

nondepartemen,

yang

akan

menandatangani perjanjian internasional yang dibuat antara Pemerintah


Republik

Indonesia

dengan

Pemerintah

negara

lain,

organisasi

internasional, atau subyek hukum internasional lainnya, harus mendapat


surat kuasa dari Menteri. Sebagai catatan, nomenklatur atau penamaan
lembaga

pemerintah,

baik

departemen

maupun

nondepartemen

sebagaimana yang ada dalam Pasal 13 dan Pasal 14 tersebut saat ini sudah
tidak sesuai lagi. Berdasarkan UU No. 39 Tahun 2008 tentang Kementerian
Negara,

istilah

yang

digunakan

adalah

Kementerian

dan

Lembaga

Pemerintah Non Kementerian. Lebih lanjut, Pasal 15 mengamanatkan


untuk

mengatur

ketentuan

mengenai

pembuatan

dan

pengesahan

perjanjian internasional dengan undang-undang tersendiri.

37

B. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal


Pembuatan perjanjian internasional di bidang pengelolaan sumber
daya alam perlu memperhatikan tujuan penyelenggaraan penananaman
modal sebagaimana diatur dalam Pasal 3 ayat (2) UU No. 25 Tahun 2007,
yaitu antara lain untuk: a) meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional;
b) menciptakan lapangan kerja; c) meningkatkan pembangunan ekonomi
berkelanjutan; d) meningkatkan kemampuan daya saing dunia usaha
nasional; e) meningkatkan kapasitas dan kemampuan teknologi nasional; f)
mendorong pengembangan ekonomi kerakyatan; g) mengolah ekonomi
potensial menjadi kekuatan ekonomi riil dengan menggunakan dana yang
berasal, baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri; dan h)
meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Selain itu, pembuatan perjanjian internasional di bidang pengelolaan
sumber daya alam juga harus memperhatikan kebijakan dasar penanaman
modal yang ditetapkan oleh Pemerintah. Berdasarkan Pasal 4 ayat (1),
Pemerintah menetapkan kebijakan dasar untuk: a) mendorong terciptanya
iklim usaha nasional yang kondusif bagi penanaman modal untuk
penguatan daya saing perekonomian nasional; dan b) mempercepat
peningkatan penanaman modal. Selanjutnya Pasal 4 ayat (2) mengatur
bahwa dalam menetapkan kebijakan dasar sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), Pemerintah: a) memberi perlakuan yang sama bagi penanam modal
dalam negeri dan penanam modal asing dengan tetap memperhatikan
kepentingan nasional; b) menjamin kepastian hukum, kepastian berusaha,
dan keamanan berusaha bagi penanam modal sejak proses pengurusan
perizinan sampai dengan berakhirnya kegiatan penanaman modal sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan c) membuka
kesempatan bagi perkembangan dan memberikan perlindungan kepada
usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi. Berdasarkan Pasal 4 ayat (3),
Kebijakan dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
diwujudkan dalam bentuk Rencana Umum Penanaman Modal.
Tidak seperti Undang-Undang Penanaman Modal sebelumnya, yaitu
UU No. 1 Tahun 1967 yang hanya mengatur penanaman modal asing dan

38

UU No. 6 Tahun 1968 yang hanya mengatur penanaman modal dalam


negeri, UU No. 25 Tahun 2007 memberlakukan prinsip perlakuan sama
(equal treatment) dengan tidak membedakan penanaman modal asing dan
penanaman modal dalam negeri. Perlakuan sama ini dapat dilihat dari
ketentuan Pasal 3 ayat (1) huruf d, yang menyebutkan: penanaman modal
diselenggarakan berdasarkan asas perlakuan yang sama dan tidak
membedakan asal negara. Selain itu, perlakuan sama juga dapat dilihat
dari ketentuan Pasal 4 ayat (2) huruf a sebagaimana telah dipaparkan dan
juga Pasal 6 ayat (1) yang menyebutkan: Pemerintah memberikan
perlakuan yang sama kepada semua penanam modal yang berasal dari
negara manapun yang melakukan kegiatan penanaman modal di Indonesia
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Lebih lanjut
Pasal 6 ayat (2) mengatur bahwa perlakuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) tidak berlaku bagi penanam modal dari suatu negara yang
memperoleh hak istimewa berdasarkan perjanjian dengan Indonesia.
Pemberian perlakuan yang sama (non diskriminasi) kepada penanam
modal baik dalam negeri maupun asing merupakan wujud implementasi
dari prinsip yang diatur dalam WTO, khususnya dalam Agreement on Trade
Related Investment Measure (TRIMs). Beberapa prinsip dalam WTO tersebut
adalah: 1) Prinsip most favoured nations (MFN), yang menuntut perlakuan
yang sama dari negara host country terhadap penanam modal dari negara
asing yang satu dengan penanam modal dari negara asing lainnya, yaitu
tidak membedakan asal negara penanam modal tersebut; dan 2) Prinsip
national treatment, yang mengharuskan negara penerima modal untuk tidak
membedakan perlakuan antara penanam modal asing dan penanam modal
dalam negeri di negara penerima modal tersebut.
Selain perlakuan sama, hal lain yang harus diperhatikan adalah
masalah bidang usaha. Dalam UU No. 25 Tahun 2007, bidang usaha diatur
dalam dalam BAB VII, Pasal 12 yang berbunyi sebagai berikut:
(1) Semua bidang usaha atau jenis usaha terbuka bagi kegiatan
penanaman modal, kecuali bidang usaha atau jenis usaha yang
dinyatakan tertutup dan terbuka dengan persyaratan.

39

(2) Bidang usaha yang dinyatakan tertutup bagi penanam modal asing
adalah:
(3) produksi senjata, mesiu, alat peledak, dan peralatan perang, dan
(4) bidang

usaha

yang

secara

eksplisit

dinyatakan

tertutup

berdasarkan undang-undang.
(5) Pemerintah berdasarkan Peraturan Presiden menetapkan bidang
usaha yang tertutup untuk penanaman modal, baik asing maupun
dalam negeri, dengan berdasarkan kriteria kesehatan, moral,
kebudayaan,

lingkungan

hidup,

pertahanan

dan

keamanan

nasional, serta kepentingan nasional lainnya.


(6) Kriteria dan persyaratan bidang usaha yang tertutup dan yang
terbuka dengan persyaratan serta daftar bidang usaha yang
tertutup dan yang terbuka dengan persyaratan masing-masing
akan diatur dengan Peraturan Presiden.
(7) Pemerintah menetapkan bidang usaha yang terbuka dengan
persyaratan berdasarkan kriteria kepentingan nasional, yaitu
perlindungan sumber daya alam, perlindungan, pengembangan
usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi, pengawasan produksi
dan distribusi, peningkatan kapasitas teknologi, partisipasi modal
dalam negeri, serta kerja sama dengan badan usaha yang ditunjuk
Pemerintah.
Untuk melaksanakan amanat Pasal 12 ayat (4), pemerintah telah
membentuk Perpres No. 76 Tahun 2007 tentang Kriteria dan Persyaratan
Penyusunan Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka
dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal dan Perpres No. 36 Tahun
2010 tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang
Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal.
Terkait

dengan

bidang

usaha,

dalam

rangka

pengembangan

penanaman modal bagi usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi, Pasal
13 ayat (1) mengatur bahwa Pemerintah wajib menetapkan bidang usaha
yang dicadangkan untuk usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi serta
bidang usaha yang terbuka untuk usaha besar dengan syarat harus bekerja

40

sama dengan usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi. Selanjutnya


Pasal 13 ayat (2) mengatur bahwa Pemerintah melakukan pembinaan dan
pengembangan usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi melalui
program kemitraan, peningkatan daya saing, pemberian dorongan inovasi
dan perluasan pasar, serta penyebaran informasi yang seluas-luasnya.
UU No. 25 Tahun 2007 juga mengatur mengenai hak, kewajiban, dan
tanggung jawab Penanam Modal. Berdasarkan Pasal 14, setiap Penanam
Modal berhak mendapat: a) kepastian hak, hukum, dan perlindungan; b)
informasi yang terbuka mengenai bidang usaha yang dijalankannya; c) hak
pelayanan; dan d) berbagai bentuk fasilitas kemudahan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan. Sedangkan kewajiban setiap
Penanam Modal diatur dalam Pasal 15, yaitu berkewajiban: a) menerapkan
prinsip tata kelola perusahaan yang baik; b) melaksanakan tanggung jawab
sosial perusahaan; c) membuat laporan tentang kegiatan penanaman modal
dan menyampaikannya kepada Badan Koordinasi Penanaman Modal; d)
menghormati tradisi budaya masyarakat sekitar lokasi kegiatan usaha
penanaman

modal;

dan

e)

mematuhi

semua

ketentuan

peraturan

perundang-undangan.
Tanggung jawab Penanam Modal diatur dalam Pasal 16, yaitu: a)
menjamin tersedianya modal yang berasal dari sumber yang tidak
bertentangan

dengan

ketentuan

peraturan

perundang-undangan;

b)

menanggung dan menyelesaikan segala kewajiban dan kerugian jika


penanam modal menghentikan atau meninggalkan atau menelantarkan
kegiatan usahanya secara sepihak sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan; c) menciptakan iklim usaha persaingan yang sehat,
mencegah praktik monopoli, dan hal lain yang merugikan negara; d)
menjaga kelestarian lingkungan hidup; e) menciptakan keselamatan,
kesehatan, kenyamanan, dan kesejahteraan pekerja; dan mematuhi semua
ketentuan

peraturan

perundang-undangan.

Selain

tanggung

jawab

tersebut, berdasarkan Pasal 17, Penanam modal yang mengusahakan


sumber daya alam yang tidak terbarukan wajib mengalokasikan dana
secara bertahap untuk pemulihan lokasi yang memenuhi standar kelayakan

41

lingkungan hidup, yang pelaksanaannya diatur sesuai dengan ketentuan


peraturan perundang-undangan.
UU No. 25 Tahun 2007 juga mengatur mengenai penyelenggaraan
urusan

penanaman

kewenangan

modal

pemerintah

sehingga

daerah

dan

dapat

diketahui

pemerintah

secara

pusat

di

jelas
bidang

penanaman modal. Penyelenggaraan urusan penanaman modal tersebut


diatur dalam Bab XIII, Pasal 30 yang berbunyi sebagai berikut:
(1) Pemerintah dan/atau pemerintah daerah menjamin kepastian dan
keamanan berusaha bagi pelaksanaan penanaman modal.
(2) Pemerintah daerah menyelenggarakan urusan penanaman modal
yang menjadi kewenangannya, kecuali urusan penyelenggaraan
penanaman modal yang menjadi urusan Pemerintah.
(3) Penyelenggaraan urusan pemerintahan di bidang penanaman
modal

yang

merupakan

urusan

wajib

pemerintah

daerah

didasarkan pada kriteria eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi


pelaksanaan kegiatan penanaman modal.
(4) Penyelenggaraan penanaman modal yang ruang lingkupnya lintas
provinsi menjadi urusan Pemerintah.
(5) Penyelenggaraan penanaman modal yang ruang lingkupnya lintas
kabupaten/kota menjadi urusan pemerintah provinsi.
(6) Penyelenggaraan penanaman modal yang ruang lingkupnya berada
dalam

satu

kabupaten/kota

menjadi

urusan

pemerintah

kabupaten/kota.
(7) Dalam urusan pemerintahan di bidang penanaman modal, yang
menjadi kewenangan Pemerintah adalah :
a. penanaman modal terkait dengan sumber daya alam yang tidak
terbarukan dengan tingkat risiko kerusakan lingkungan yang
tinggi;
b. penanaman modal pada bidang industri yang merupakan
prioritas tinggi pada skala nasional;
c. penanaman modal yang terkait pada fungsi pemersatu dan
penghubung antarwilayah atau ruang lingkupnya lintas provinsi;

42

d. penanaman modal yang terkait pada pelaksanaan strategi


pertahanan dan keamanan nasional;
e. penanaman

modal

asing

dan

penanam

modal

yang

menggunakan modal asing, yang berasal dari pemerintah negara


lain, yang didasarkan perjanjian yang dibuat oleh Pemerintah
dan pemerintah negara lain; dan
f. bidang penanaman modal lain yang menjadi urusan Pemerintah
menurut undang-undang.
(8) Dalam urusan pemerintahan di bidang penanaman modal yang
menjadi kewenangan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada
ayat

(7),

Pemerintah

menyelenggarakannya

sendiri,

melimpahkannya kepada gubernur selaku wakil Pemerintah, atau


menugasi pemerintah kabupaten/kota.
(9) Ketentuan mengenai pembagian urusan pemerintahan di bidang
penanaman modal diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Sebagai pelaksanaan dari amanat Pasal 30 ayat (9), telah dibentuk
Peraturan Pemerintah (PP) No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan
Pemerintahan

antara

Pemerintah,

Pemerintah

Daerah

Provinsi,

dan

Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. PP ini mulai berlaku sejak tanggal


diundangkan yaitu pada tanggal 9 Juli 2007.
Terkait dengan perjanjian internasional di bidang penanaman modal,
dalam Bab XVII (Ketentuan Peralihan), Pasal 35 diatur bahwa Perjanjian
internasional, baik bilateral, regional, maupun multilateral, dalam bidang
penanaman modal yang telah disetujui oleh Pemerintah Indonesia sebelum
Undang-Undang ini berlaku, tetap berlaku sampai dengan berakhirnya
perjanjian tersebut. Lebih lanjut Pasal 36 mengatur bahwa Rancangan
perjanjian internasional, baik bilateral, regional, maupun multilateral,
dalam bidang penanaman modal yang belum disetujui oleh Pemerintah
Indonesia pada saat Undang-Undang ini berlaku wajib disesuaikan dengan
ketentuan Undang-Undang ini. Sebagai catatan UU No. 25 Tahun 2007
mulai berlaku pada tanggal diundangkan, yaitu pada tanggal 26 April 2007

43

C. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara


Dalam rangka pencapaian tujuan bernegara sebagaimana tercantum
dalam alinea IV Pembukaan UUD 1945 dibentuk pemerintahan negara yang
menyelenggarakan
Pembentukan

fungsi

pemerintahan

pemerintahan

negara

dalam

tersebut

berbagai

menimbulkan

bidang.
hak

dan

kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang yang perlu dikelola dalam
suatu sistem pengelolaan keuangan negara. Berdasarkan Pasal 1 angka 1
dinyatakan bahwa keuangan negara adalah semua hak dan kewajiban
negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa
uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung
dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.
Sejalan dengan semakin luas dan kompleksnya kegiatan pengelolaan
keuangan negara, hubungan keuangan antara pemerintah dan lembagalembaga

infra/supranasional

meliputi

hubungan

keuangan

antara

pemerintah pusat dan bank sentral, pemerintah daerah, pemerintah asing,


badan/lembaga asing, serta hubungan keuangan antara pemerintah dan
perusahaan negara, perusahaan daerah, perusahaan swasta, dan badan
pengelola dana masyarakat.
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara,
yang mengatur bahwa Pemerintah dapat memberikan pinjaman atau hibah
kepada Pemerintah Daerah/BUMN, dan Pemerintah dapat melakukan
penyertaan modal pada BUMN, pinjaman dan/atau hibah yang diterima
oleh Pemerintah dapat pula diteruskan kepada Pemerintah Daerah dalam
bentuk hibah, atau dijadikan sebagai penyertaan modal Pemerintah pada
BUMN. Selain itu pula, pengaturan mengenai hibah/pinjaman luar negeri
diatur dalam Pasal 23 yang berbunyi:
(1) Pemerintah Pusat dapat memberikan hibah/pinjaman kepada atau
menerima hibah/pinjaman dari pemerintah/lembaga asing dengan
persetujuan DPR.
(2) Pinjaman

dan/atau

hibah

yang

diterima

Pemerintah

Pusat

sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diterus pinjamkan


kepada Pemerintah Daerah/Perusahaan Negara/ Perusahaan Daerah.

44

Pinjaman dan/atau hibah yang berasal dari luar negeri tersebut


dapat diterus pinjamkan atau diterus-hibahkan kepada Pemerintah Daerah,
dan diterus-pinjamkan atau dijadikan penyertaan modal kepada BUMN.
Untuk pinjaman luar negeri perlu disesuaikan dengan kemampuan
perekonomian nasional karena dapat menimbulkan beban Anggaran
Pendapatan Belanja Negara/Daerah tahun-tahun berikutnya yang cukup
berat,

sehingga

pengelolaan

diperlukan

pinjaman

luar

kecermatan
negeri.

dan

kehati-hatian

Pengadaan

pinjaman

dalam

dan/atau

penerimaan hibah serta penerusan pinjaman dan/atau hibah luar negeri


dilakukan dengan mengantisipasi kebutuhan masa depan serta dengan
mempertimbangkan perlunya mempertahankan kondisi kesehatan dan
kesinambungan perekononomian nasional.
Perbaikan pengelolaan keuangan negara bertumpu pada sistem
anggaran yang transparan, bertanggung jawab, dan dapat menjamin
efektivitas pemanfaatan. Dalam rangka meningkatkan kemandirian, peran
pinjaman luar negeri dijaga pada tingkat yang aman, sementara sumber
utama

dalam

efektivitasnya.

negeri

yang

Kepentingan

berasal
utama

dari

pajak

pembiayaan

terus

ditingkatkan

pemerintah

adalah

penciptaan pembiayaan pembangunan yang dapat menjamin kemampuan


peningkatan pelayanan publik baik di dalam penyediaan pelayanan dasar,
prasarana dan sarana fisik serta ekonomi, dan mendukung peningkatan
daya saing ekonomi.
D. Undang-Undang

Nomor

12

Tahun

2011

tentang

Pembentukan

internasional

sebagaimana

Peraturan Perundang-Undangan
Mengingat

pentingnya

pergaulan

dituangkan pula dalam pembukaan UUD 1945, bahwa Indonesia harus


berperan aktif dalam pergaulan dunia maka tidak dapat dihindari
keikutsertaan Indonesia dalam organisasi internasional serta terjalinnya
perjanjian kerjasama dengan negara lain dan tentu saja akan berpengaruh
juga dengan kebijakan nasional karena suatu perjanjian internasional yang
diratifikasi oleh Indonesia atau secara otomatis berlaku bagi negara-negara
anggota perlu dituangkan dalam kebijakan hukum nasional.

45

Terkait perjanjian internasional, Pasal 10 ayat (1) huruf e UndangUndang

Nomor

12

Tahun

2011

tentang

Pembentukan

Peraturan

Perundang-Undangan menyatakan bahwa materi muatan yang harus diatur


dengan Undang-Undang berisi salah satunya yaitu pengesahan perjanjian
internasional tertentu. Yang dimaksud dengan perjanjian internasional
tertentu adalah perjanjian internasional yang menimbulkan akibat yang
luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban
keuangan negara dan/atau perjanjian tersebut mengharuskan perubahan
atau pembentukan undang-undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan
Rakyat.
Hal ini tentu saja harus mendapatkan perhatian, karena normanorma yang diakibatkan karena pengesahan suatu perjanjian internasional
tertentu harus diterjemahkan dalam norma hukum tertentu yakni undangundang karena hal ini terkait dengan daya mengikat keberlakuannya dan
disesuaikan

dengan

Dikarenakan

kepentingan

negara

dan

bangsa

Indonesia.

akibat hukum yang akan menyertai keberlakuan suatu

pengesahan perjanjian internasional maka menjadi suatu keharusan hal ini


menjadi

salah satu materi muatan yang harus diatur dalam undang-

undang.
Bahwa dalam ketentuan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2000 tentang Perjanjian Internasional, menyebutkan bahwa pengesahan
perjanjian

internasional

dilakukan

dengan

undang-undang

apabila

berkenaan dengan:
a) masalah politik, perdamaian, pertahanan, dan keamanan negara;
b) perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah negara Republik
Indonesia;
c) kedaulatan atau hak berdaulat negara;
d) hak asasi manusia dan lingkungan hidup;
e) pembentukan kaidah hukum baru; dan
f) pinjaman dan/atau hibah luar negeri.
Sementara itu dalam Pasal 11 Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2004 tentang Perjanjian Internasional dinyatakan bahwa:

46

(1) Pengesahan

perjanjian

internasional

yang

materinya

tidak

termasuk materi sebagaimana dimaksud Pasal 10, dilakukan


dengan keputusan presiden.
(2) Pemerintah Republik Indonesia menyampaikan salinan setiap
keputusan

presiden

yang

mengesahkan

suatu

perjanjian

internasional kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk dievaluasi.


Pengesahan

perjanjian

internasional

melalui

undang-undang

dilakukan berdasarkan materi perjanjian dan bukan berdasarkan bentuk


dan nama (nomenclature) perjanjian. Klasifikasi menurut materi perjanjian
dimaksudkan agar tercipta kepastian hukum dan keseragaman atas bentuk
pengesahan perjanjian internasional dengan undang-undang.
Pengesahan perjanjian internasional yang dituangkan dalam suatu
undang-undang, terkait juga dengan materi undang-undang yang harus
memuat mengenai tugas dan kewenangan penyelenggara negara. Sehingga
dengan diaturnya ketentuan tersebut sebagai materi muatan suatu undangundang akan memberikan limitasi yang tegas mengenai tugas dan
kewenangan penyelenggara negara dan sebagai upaya preventif dari
detournement de puvoir atau penyalahgunaan wewenang.
Mengacu pada ketentuan pada Pasal 11 ayat (2) (perubahan ketiga
UUD 1945 yang disahkan pada 10 November 2001) maka perjanjian
internasional yang harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat
adalah perjanjian internasional yang menimbulkan akibat yang luas dan
mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan
negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undangundang.

Ketentuan

ini

berarti

perjanjian

internasional

yang

tidak

menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang
terkait dengan beban keuangan negara, dan/atau tidak mengharuskan
perubahan

atau

pembentukan

undang-undang,

tidak

harus

dengan

persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat, sehingga tidak semua perjanjian


internasional haruslah disahkan dengan undang-undang.
Pengaturan

dengan

undang-undang

merupakan

suatu

bentuk

persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat, sehingga dapat diartikan


bahwa

semua

pengesahan

perjanjian

internasional

harus

dengan

47

persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat yaitu dengan menggunakan undangundang. Pengesahan perjanjian internasional tidak semuanya harus
diratifikasi dengan Undang-Undang, mengingat perjanjian atau persetujuan
internasional ada yang bersifat teknis dan administratif yang tidak
berpengaruh terhadap hak, kewajiban, dan kehidupan masyarakat luas. Di
samping itu proses pembentukan undang-undang memerlukan waktu yang
panjang, di satu sisi perjanjian internasional harus segera dilaksanakan.
Selain

ketentuan

tersebut

di

atas,

berkaitan

dengan

kondisi

lingkungan global yang semakin menurun dewasa ini, Indonesia sebagai


salah satu negara di dunia dengan kekayaan sumberdaya alam yang sangat
melimpah sudah semestinya mengatur pemanfaatan, pengelolaan serta
perlindungan sumberdaya alam sebagai bentuk partisipasi dalam menjaga
keberlangsungan kehidupan generasi yang akan datang. Apalagi Indonesia
merupakan negara kepulauan yang berciri nusantara sangat rentan dengan
bencana alam, dengan kondisi yang demikian, jika terjadi perubahan
keseimbangan alam di dunia dapat berakibat fatal bagi Indonesia sehingga
sudah seharusnya pemikiran mengenai perlindungan sumber daya alam
memasuki ranah kebijakan yang mesti dituangkan dalam peraturan
perundang-undangan

di

Indonesia

dan

menjadi

salah

satu

yang

disyaratkan sebagai materi muatan dalam suatu undang-undang.

E. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus


Bagi Provinsi Papua
Berkaitan dengan peran pemerintah daerah dalam pembuatan
perjanjian inetrnasional, terkait dengan otonomi khusus di provinsi Papua,
dalam

UU

internasional

No.

21

yang

Tahun
berkenaan

2001

mengenai

dengan

pembuatan

kepentingan

perjanjian

provinsi

Papua.

Pembuatan perjanjian inetrnasional di dalam Pasal 4 ayat (6) dinyatakan


bahwa Perjanjian Internasional yang dibuat oleh pemerintah yang hanya
terkait dengan kepentingan Provinsi Papua dilaksanakan setelah mendapat
pertimbangan

Gubernur

dan

sesuai

dengan

peraturan

perundang-

undangan. Selanjutnya dalam ayat (7) dinyatakan bahwa Provinsi Papua


dapat mengadakan kerjasama yang saling menguntungkan dengan lembaga
48

atau badan di luar negeri yang diatur dengan keputusan bersama sesuai
dengan

peraturan

perundang-undangan.

Untuk

itu,

dalam

rangka

percepatan pembangunan dan peningkatan kualitas sumber daya manusia,


Provinsi Papua dapat menjalin hubungan yang saling menguntungkan
dengan berbagai lembaga/badan di luar negeri sesuai dengan peraturan
perundang-undangan. Hubungan tersebut memungkinkan Provinsi Papua
memiliki lembaga atau badan yang dibentuk oleh Pemerintah Provinsi atau
swasta, yang bertujuan memajukan pendidikan, meningkatkan investasi,
dan mengembangkan pariwisata di Provinsi Papua.
Masih berkenaan dengan kekhususan provinsi Papua berkenaan
dengan kerjasama intenasional, dalam Pasal 35 ayat (1) dinyatakan Provinsi
Papua dapat menerima bantuan luar negeri setelah memberitahukannya
kepada Pemerintah. Kemudian pemerintah provinsi Papua diberikan
wewenang dapat melakukan pinjaman dari sumber dalam negeri dan/atau
luar negeri
untuk membiayai sebagian anggarannya sebagaimana diatur dalam
Pasal 35 ayat (2). Untuk pinjaman dari sumber dalam negeri untuk
Provinsi Papua harus mendapat persetujuan dari DPRP {(Pasal 35 ayat
3)}. Sementara itu, terkait dengan pinjaman yang berasal dari sumber
luar negeri untuk Provinsi Papua harus mendapat pertimbangan dan
persetujuan DPRP dan Pemerintah dengan berpedoman pada peraturan
perundang-undangan.
Dalam pasal-pasal tersebut, terlihat bahwa terkait dengan politik luar
negeri Indonesia, bahwa bahwa pemerintah pusat memiliki kewenangan
penuh mengurus politik luar negeri negara, dan provinsi Papua termasuk
kedalamnya. Dalam hal ini, Pemerintah Provinsi Papua melakukan
kerjasama dan konstultasi dengan pemerintah pusat untuk pelaksanaan
hal-hal tersebut di Provinsi Papua. Keterlibatan pemerintah pusat tetap
diperlukan

terutama

hal-hal

kesepakatan-kesepakatan
Pelaksanaan

kewenangan

luar

yang
negeri

pembuatan

menyangkut
dan

standarisasi

kerjasama

perjanjian

dan

antarnegara.

internasional

dan

kerjasama internasional baik hibah maupun pinjaman, pemerintah provinsi


Papua harus tetap berkoordinasi dengan pemrintah pusat. Untuk itu

49

pelaksanaan

kewenangan

tersebut

dilakukan

dalam

bingkai

Negara

Kesatuan Republik Indonesia. Selanjutnya jika isi Pasal 35 di hubungkan


dengan Pasal 5 Jo. Pasal 10 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang
Perjanjian Internasional, hal ini dikategorikan sebagai suatu bentuk
perjanjian internasional, yang merupakan perjanjian internasional yang
menyangkut pinjaman dan/atau hibah luar negeri disahkan dalam bentuk
Undang-Undang.
Hukum internasional hanya mengenal perjanjian antar negara tanpa
melihat sistem internal negara mengikatkan diri pada perjanjian otonomi,
federal, atau sentralisasi. Pemerintah daerah dalam hal ini bertindak
sebagai elemen negara (lembaga pemrakarsa) yang mengikatkan negara
pada perjanjian inetrnasional. Oleh karena itu, pemrintah daerah bertindak
atas nama negara, bukan atas nama pemerintah daerah.
Undang-Undang

Otonomi

Khusus

hanya

mengatur

mekanisme

daerah mengenai pembuatan perjanjian internasional. Mekanisme daerah


yang diatur dalam Undang-Undang Otonomi Khusus Papua memiliki esensi
yang sama yaitu memberikan ruang partisipasi bagi daerah dalam
pembuatan perjanjian inetrnasional. Mengingat perjanjian internasional
yang di buat oleh pemerintah daerah atas nama negara, perlu di perhatikan
ketentuan nasional yang berlaku termasuk perjanjian internasional dimana
Indonesia menjadi pihak. Oleh karena itu, konsekuensinya diperlukan
koordinasi dan konsultasi berbagai instansi terkait (mekanisme internal).
F. Undang Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh
Pemerintah Daerah Aceh memiliki kewenangan khusus dalam
melaksanakan kerjasama internasional. Berdasarkan UU No. 11 Tahun
2006 tentang Pemerintahan Aceh, Aceh dapat mengadakan kerjasama
dengan lembaga atau badan di luar negeri serta dapat berpartisipasi secara
langsung dalam kegiatan seni, budaya, dan olahraga internasional. Hal ini
secara jelas disebutkan dalam Pasal 8 mengenai rencana persetujuan
internasional yang berkaitan langsung dengan Pemerintah Aceh yang dibuat
oleh Pemerintah dilakukan dengan konsultasi dan pertimbangan DPR Aceh.
Selanjutnya dalam Pasal 9 undang-undang tersebut yang menyatakan:

50

(1) Pemerintah Aceh dapat mengadakan kerjasama dengan lembaga


atau badan di luar negeri kecuali yang menjadi kewenangan
Pemerintah.
(2) Pemerintah Acemeh dapat berpartisipasi secara langsung dalam
kegiatan seni, budaya, dan olah raga internasional.
(3) Dalam hal diadakan kerjasama sebagaimana dimaksud pada ayat
(1),

dalam

naskah

kerja

sama

tersebut dicantumkan

frasa

Pemerintah Aceh sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik


Indonesia.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai kerjasama sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Presiden.
Dengan demikian berdasarkan Undang-Undang ini, Pemerintah Aceh
dapat melakukan perjanjian internasional dengan lembaga atau badan luar
negeri secara langsung dalam batasan kewenangannya. Artinya, kerjasama
atau perjanjian internasional hanya dapat dilakukan oleh Pemerintah Aceh di
bidang selain yang menjadi kewenangan Pemerintah, yang berdasarkan UU
No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 10 ayat (3) meliputi:
a. politik luar negeri;
b. pertahanan;
c. keamanan;
d. yustisi;
e. moneter dan fiskal nasional; dan
f. agama.
Sebagaimana dimandatkan oleh Pasal 9 ayat (4) diatas bahwa
ketentuan lebih lanjut mengenai kerjasama luar negeri yang dapat
dilakukan oleh Aceh diatur dalam Peraturan Presiden, yaitu Peraturan
Presiden Nomor 11 tahun 2010 tentang Kerjasama Pemerintah Aceh
Dengan Lembaga atau Badan Di Luar Negeri. Dalam perpres ini diatur
secara jelas tentang prinsip kerjsama, tata cara kerjasama, pendanaan
kerjasama, pembinaan, pengawasan, dan pelaporan, serta penyelelesaian
perselisihan.

51

Terkait dengan tugas dan wewenang DPRA, dalam Pasal 23 huruf g


dan huruf h dinyatakan bahwa DPRA mempunyai tugas dan wewenang
untuk memberikan persetujuan terhadap rencana kerjasama internasional
yang dilakukan oleh Pemerintah Aceh dan memberikan pertimbangan
terhadap rencana kerjasama internasional yang dibuat oleh Pemerintah
yang berkaitan langsung dengan Pemerintah Aceh.
Mengenai kewenangan di bidang sumber daya alam di bidang
pertambangan

mineral,

batubara,

panas

bumi,

bidang

kehutanan,

pertanian, perikanan dan kelautan berada pada pemerintah daerah


(Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kabupaten/Kota). Sedangkan pengelolaan
sumber daya alam minyak dan gas bumi yang berada di darat dan di laut di
wilayah kewenangan aceh berada dibawah pengelolaan bersama antara
pemerintah

Pusat

penggunaan

dengan

sumber

Kabupaten/Kota,

Pemerintah

daya

alam

Pemerintah

Aceh

Aceh.

(SDA)
tetap

non

Menyangkut
migas

melakukan

dengan

di

daerah

koordinasi

dan

persetujuan dengan Kabupaten/Kota yang bersangkutan. Pembagian hasil


bagi daerah atas penggunaan sumber daya alam sangat tergantung dari
jenis perjanjian yang dilakukan. Misalnya pertambangan, kehutanan,
perikanan, pembangkit sumber daya listrik yang menjadi kewenangan
masing masing Kabupaten/Kota.

Terkait dengan hal tersebut di atas,

mengenai pengelolaan sumber daya alam diatur dalam Pasal 156 yang
menyatakan bahwa:
(1) Pemerintah Aceh dan Pemerintah kabupaten/kota mengelola
sumber daya alam di Aceh baik di darat maupun di laut wilayah Aceh sesuai
dengan kewenangannya. (2) Pengelolaan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) meliputi perencanaan, pelaksanaan, pemanfaatan dan pengawasan
kegiatan usaha yang dapat berupa eksplorasi, eksploitasi, dan budidaya. (3)
Sumber daya alam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi bidang
pertambangan yang terdiri atas pertambangan mineral, batu bara, panas
bumi,

bidang

kehutanan,

pertanian,

perikanan,

dan

kelautan

yang

dilaksanakan dengan menerap-kan prinsip transparansi dan pembangunan


berkelanjutan. (5) Kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan

52

ayat (3) dapat dilakukan oleh Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik
Daerah, koperasi, badan usaha swasta lokal, nasional, maupun asing.
Dibuka ruang partisipasi masyarakat bekenaan dengan kerjasama
internasonal,

dalam

hal

ini

penduduk

di

Aceh

dapat

melakukan

perdagangan dan investasi secara internal dan internasional sesuai dengan


peraturan perundang-undangan {Pasal 165 ayat (1)}. Selanjutnya dalam ayat
(2) dinyatakan Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota sesuai
dengan kewenangannya, dapat menarik wisatawan asing dan memberikan
izin yang terkait dengan investasi dalam bentuk penanaman modal dalam
negeri, penanaman modal asing, ekspor dan impor dengan memperhatikan
norma, standar, prosedur, dan kriteria yang berlaku secara nasional. Hal
tersebut dilakukan untuk pengembangan dan pembangunan provinsi Aceh
dan untuk menyejahterakan masyarakat Aceh.
Pemerintah Daerah dalam pembuatan perjanjian pinjaman luar
negeri, melakukan koordinasi dan konsultasi dengan Pemerintah Pusat
dalam hal ini Menteri Keuangan, Kementerian Dalam Negeri dan Badan
Peencanaan

Pembangunan

Nasonal.

Dalam

pembuatan

perjanjian

internasional tersebut mengacu Pasal 186 Undang-Undang Pemerintahan


Aceh yang berbunyi sebagai berikut:
(1) Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota dapat memperoleh
pinjaman dari Pemerintah yang dananya bersumber dari luar negeri
atau bersumber selain dari pinjaman luar negeri dengan persetujuan
Menteri Keuangan setelah mendapat pertimbangan dari Menteri
Dalam Negeri.
(2) Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota dapat memperoleh
pinjaman dari dalam negeri yang bukan berasal dari pemerintah
dengan pertimbangan Menteri Dalam Negeri.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai dana pinjaman dari dalam dan/atau
luar negeri dan
bantuan luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2) diatur dengan Qanun Aceh yang berpedoman pada peraturan
perundang-undangan.

53

(4) Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota dapat menerima


hibah dari luar negeri dengan kewajiban memberitahukan kepada
Pemerintah dan DPRA/DPRK.
(5) Penerimaan hibah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) bersifat:
a.tidak mengikat secara politis baik terhadap Pemerintah, Pemerintah
Aceh, dan pemerintah kabupaten/kota;
b.tidak mempengaruhi kebijakan Pemerintah Aceh dan pemerintah
kabupaten/kota;
c. tidak dilarang oleh peraturan perundang-undangan; dan
d. tidak bertentangan dengan ideologi negara.
(6) Dalam hal hibah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) mensyaratkan
adanya kewajiban yang harus dipenuhi Pemerintah seperti hibah
yang terkait dengan pinjaman dan yang mensyaratkan adanya dana
pendamping, harus dilakukan melalui Pemerintah dan diberitahukan
kepada DPRA/DPRK.
Terkait dengan kegatan ekonomi perbankan, dalam Pasal 196 ayat (4)
dinyatakan bahwa Bank asing dapat membuka cabang atau perwakilan di
Aceh sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Sementara itu,
bekenaan dengn perjanjian bagi hasi minyak dan gas bumi yang berlokasi
di Aceh antara dengan negara asing atau pihak lain, dinyatakan tetap
berlaku sampai berakhirnya masa perjanjian diatur dalam Pasal 252.
Dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia, kewenangan
untuk

melakukan

hubungan

internasional

dan

membuat

perjanjian

internasional ada pada pemerintah pusat yang diwakili oleh Presiden


Republik Indonesia sebagaimana ketentuan Pasal 4 ayat (1) jo. Pasal 11
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Tahun 1945
dan Pasal 10 ayat(3) UU No. 32 Tahun 2004. Pemerintah Daerah
berdasarkan ketentuan Pasal 7 ayat (1) UU No. 37 Tahun 1999 dan Pasal 5
ayat (1) UU No. 24 Tahun 2000, dan Pemerintah Aceh berdasarkan UU
No.11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, disebutkan juga dapat
melakukan hubungan luar negeri dan membuat perjanjian internasional.
Namun untuk pelaksanaannya diperlukan koordinasi dan konsultasi

54

dengan pemerintah pusat. Kepala Daerah merupakan pengemban tugas


dan kewenangan untuk mewakili daerah di dalam dan di luar pengadilan,
termasuk dalam melaksanakan hubungan luar negeri dan membuat
perjanjian internasional namun masih memerlukan adanya surat kuasa
penuh (full powers) dari Menteri Luar Negeri. Hal ini menunjukkan bahwa
yang memiliki kewenangan untuk melakukan hubungan luar negeri dan
untuk membuat serta menandatangani perjanjian internasional adalah
pemerintah pusat yang diwakili oleh Presiden Republik Indonesia.
Kedudukan Kepala Daerah sebagai kepala pemerintah daerah disatu
sisi

dengan

kedudukan

kepala

daerah

sebagai

pejabat

negara

yang

memperoleh surat kuasa penuh (full powers) dari Menteri Luar Negeri untuk
melaksanakan hubungan luar negeri, disisi yang lain adalah saling
berkaitan satu dengan yang lain. Oleh karenanya obyek hubungan
kerjasama luar negeri yang dilakukan oleh pemerintah daerah adalah
segala

urusan

yang

berdasarkan

ketentuan

perundang-undangan

disebutkan sebagai urusan dari pemerintah daerah. Sedangkan dalam


penyelesaian sengketa yang mungkin terjadi dalam pelaksanaan hubungan
kerjasama luar negeri yang dilakukan pemerintah daerah, pemerintah
pusat harus terlibat aktif dalam rangka menyelesaikan sengketa yang
terjadi sebab dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang dianggap
sebagai subyek hukum internasional adalah Negara Kesatuan Republik
Indonesia secara utuh dan tidak terbagi-bagi. Sehingga oleh karenanya,
walaupun hubungan kerjasama luar negeri di prakarsai dan dilaksanakan
oleh

pemerintah

daerah,

pada

saat

terjadi

sengeketa

internasional

pemerintah pusat tidak dapat lepas tangan begitu saja.


Pemerintah Daerah, baik Provinsi maupun Kabupaten/Kota dalam
perjanjian sister city melakukan koordinasi dengan pemerintah pusat
khususnya Kementerian Luar Negeri dan dalam hal kerjasama yang
membebani Anggaran Pendapatan dan Belanja (APBA) dan daerah, maka
kami harus mendapat persetujuan terlebih dahulu dari Dewan Perwakilan
Rakyat Aceh (DPRA). Dalam hal ini berlaku ketentuan khusus (lex specialis)
bagi Aceh sesuai dengan Undang-Undang Pemerintahan Aceh. Ketentuan

55

ini berbeda dengan ketentuan umum (lex generalis) yang berlaku bagi
kebanyakan daerah lainnya di Indonesia.
Mengingat

perkembangan

hukum

yang

mengatur

tentang

Pemerintahan Daerah, baik yang bersifat umum (UU No. 32/2004) maupun
yang bersifat khusus seperti Aceh (UU No. 11/2006) dan Papua (UU No.
21/2001) telah membuka kesempatan bagi daerah-daerah secara khusus
untuk melakukan hubungan luar negeri. Oleh karena itu, prinsip one door
policy

sebaiknya

diadakan

pembatasan

hanya

terhadap

perjanjian

internasional yang bersifat central power sebagai kewenangan Pemerintah


saja, sedangkan untuk residu power sebagai kewenangan daerah seperti
yang ditentukan di dalam UU No. 11/2006 misalnya tidak dibutuhkan
prinsip kebijakan satu pintu tersebut.
Jika merujuk pada pasal-pasalnya, maka UU tersebut memiliki
beberapa fungsi yaitu, penguat eksistensi NKRI, sebagai instrumen yuridis
untuk penyelenggaraan pemerintah daerah, instrumen yuridis pelaksanaan
perjanjian

internasional

(Memorandum

of

Understnding)

serta

untuk

penyelesaian masalah Aceh secara menyeluruh.


G. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah
Seiring dengan proses reformasi Indonesia, yang salah satu pilar
utamanya adalah pembentukan sistem otonomi daerah maka tidak dapat
dipungkiri bahwa peran pemerintah daerah sangat penting sebagai salah
satu aktor dalam pelaksanaan hubungan internasional. Globalisasi yang
secara tidak langsung berimbas kepada kemajuan teknologi informasi dan
komunikasi saat ini telah menuntut semua lapisan masyarakat mulai dari
pemerintah pusat sampai warga Negara untuk memiliki kapasitas dan
kapabilitas dalam melakukan hubungan luar negeri, tak terkecuali bagi
pemerintah di tingkat daerah. Semakin luas cakupan hubungan luar negeri,
ditambah dengan pemberlakuan otonomi daerah maka secara tidak
langsung akan berdampak pada semakin luasnya aktivitas pemerintah
daerah dalam mengembangkan daerahnya.

56

Dalam melakukan hubungan luar negeri, pemerintah daerah tidak


dapat bertindak diluar aturan mengingat adanya hal-hal yang menjadi
batasan bagi pelaksanaan hubungan luar negeri yang dilakukan oleh
pemerintah daerah, seperti regulasi, wewenang dan kemampuan masingmasing pemerintah daerah dalam melakukan hubungan luar negeri.
Memang kenyataannya masih banyak pemerintah daerah yang belum
mengetahui tentang batasan-batasan tersebut dan sering kali melangkahi
pemerintah pusat dalam melaksanakan aktivitas hubungan luar negeri,
sehingga dirasakan perlu adanya pemahaman mengenai mekanisme atau
tata cara pelaksanaan hubungan luar negeri yang dapat dilakukan oleh
pemerintah daerah, serta batasan dan akibat hukum yang muncul akibat
aktivitas tersebut.
Sebenarnya jika dicermati peran pemerintah daerah telah ditegaskan
di dalam Pasal 1 ayat (1) UU No. 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar
Negeri, yang berbunyi sebagai berikut:22
hubungan luar negari adalah setiap kegiatan yang menyangkut aspek
regional dan internasional yang dilakukan oleh Pemerintah di tingkat
pusat dan daerah, atau lembaga-lembaganya, lembaga Negara, badan
usaha, organisasi politik, organisasi masyarakat, lembaga swadaya
masyarakat, atau warga negara.
Sementara pengaturan terkait perjanjian internasional dalam UU No.
32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah tampak pada Pasal 42 ayat (1)
huruf (f), yang berbunyi:23
DPRD mempunyai tugas dan wewenang memberikan pendapat dan
pertimbangan kepada pemerintah daerah terhadap rencana perjanjian
internasional di daerah.

22
23

Lihat Pasal 1 ayat (1) UU No. 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri.
Lihat Pasal 42 ayat (1) huruf f UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah.
57

Penjelasan: yang dimaksud dengan perjanjian internasional dalam


ketentuan ini adalah perjanjian antar Pemerintah dengan pihak luar
negeri yang terkait dengan kepentingan daerah.
Penjelasan yang dimaksud dengan perjanjian internasional dalam
ketentuan ini adalah perjanjian antar Pemerintah dengan pihak luar negeri
yang terkait dengan kepentingan daerah, sementara dalam penjelasannya
hanya disebutkan sebagai perjanjian antar pemerintah yang terkait daerah.
Hal

inilah

yang

secara

tidak

langsung

menimbulkan

problematika,

mengingat perumusan pasal ini tidak didukung oleh konsepsi yang jelas
mengenai apa yang dimaksud dengan perjanjian internasional dalam
konteks

pemerintah

daerah

karena

di

dalam

penjelasannya

hanya

disebutkan sebagai perjanjian antar pemerintah yang terkait daerah. Secara


sederhana dapat dirinci permasalahan sebagai berikut:
- Apakah perjanjian yang dimaksud oleh undang-undang ini adalah
perjanjian internasional seperti yang didefinisikan oleh UU PI?
- Apakah pengertian perjanjian antar pemerintah dimaksudkan untuk
menjelaskan bahwa perjanjian yang dimaksud harus perjanjian antar
pemerintah (G to G) atau pemerintah dalam hal ini adalah pemerintah
pusat sesuai dengan definisi undang-undang ini?
- Apakah

perjanjian

yang

terkait

dengan

kepentingan

daerah

dimaksudkan sebagai perjanjian yang dibuat oleh pemerintah pusat


(Indonesia) namun materinya terkait kepentingan daerah?
Dalam

praktik

internasional,

kekuasaan

membuat

perjanjian

lazimnya berada di tangan pemerintah pusat dan tidak dikenal adanya


perjanjian internasional yang dilakukan oleh pemerintah daerah. Memang
jika dicermati dalam praktik Indonesia dikenal juga beberapa jenis
dokumen yang berkaitan dengan pemerintah daerah, seperti:
-

Dokumen yang ditandatangani antar pemerintah daerah, seperti MOU


sister city yang telah dibuat banyak oleh berbagai pemerintah daerah.

Dokumen yang dibuat oleh pemerintah pusat yang berkaitan dengan


kepentingan daerah, seperti perjanjian RI Singapura terkait
kawasan ekonomi khusus Batam, Bintan dan Karimun 2006.

58

Terkait dengan sister city maka perjanjian tersebut bukanlah


merupakan suatu bentuk perjanjian internasional karena dokumen ini
belum diakui memenuhi persyaratan sebagai suatu perjanjian internasional
oleh UU PI mengingat para pihak tidak dimaksudkan bertindak atas nama
Negara melainkan bertindak atas nama lembaganya. Materi yang tertuang
dalam perjanjian ini lebih bersifat administratiF sehingga tidak melahirkan
hak dan kewajiban Negara menurut hukum internasional. Hal ini semakin
diperkuat dimana PBB tidak pernah menerima pendaftaran (depository)
MoU semacam ini berdasarkan Pasal 102 Piagam PBB.24 Tidak hanya itu,
kenyataan di lapangan

25membuktikan

bahwa sister city lebih didasarkan

pada misi dagang, kerjasama budaya, pariwisata, hubungan etnisitas atau


emosional antara kota tersebut.
Namun sayangnya di lain pihak, seiring dengan pemahaman yang
distortif tentang perjanjian internasional, tidak dipungkiri bahwa di
kalangan pemerintah sendiri masih menganggap MOU seperti ini sebagai
perjanjian internasional dengan perimbangan bahwa karakternya adalah
antar pemerintah (daerah). Dengan demikian, jika bertolak dari definisi
perjanjian internasional maka lebih tepat jika yang dimaksudkan oleh UU
No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah ini adalah perjanjian yang
dibuat oleh pemerintah pusat yang berkaitan dengan kepentingan daerah.
Yang perlu untuk diperhatikan lebih jelas apabila konstruksi atau konsep
ini diadopsi maka secara tidak langsung akan memunculkan persoalan
yuridis lain bahwa perjanjian ini harus melalui pendapat dan pertimbangan
dari DPRD yang disampaikan kepada pemerintah daerah. Mekanisme
seperti ini akan memunculkan double ratification yang diratifikasi oleh
DPR dan DPRD, mengingat di Indonesia mekanisme seperti ini tidak pernah
dilakukan.
Praktik di Indonesia selama ini masih diarahkan kepada pembuatan
MOU sister city antara pemerintah daerah dengan pemerintah daerah
Negara asing, yang ditandatangani oleh masing-masing kepala daerah.
24

Lihat Pasal 102 Piagam PBB.


Pengumpulan data yang dilakukan oleh tim asistensi terkait penyusunan naskah akademik dan draft RUU
Perubahan atas UU No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional di Provinsi Kalimantan Barat
(Pontianak).
25

59

Dengan

demikian

maka

praktik

tersebut

bukanlah

dalam

rangka

pembuatan perjanjian internasional seperti yang dimaksud Pasal 42 ayat (1)


huruf (f) UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, akan tetapi
semata-mata pelaksanaan dari Pasal 42 ayat (1) huruf (g), yang berbunyi:
DPRD mempunyai tugas dan wewenang memberikan persetujuan
terhadap rencana kerja sama internasional yang dilakukan oleh pemerintah
daerah.
Berdasarkan pengertian pasal tersebut maka MOU sister city lebih
tepat untuk diartikan sebagai kerjasama internasional daripada perjanjian
internasional. Dalam praktiknya, sebelum membuat MOU ini Pemerintah
daerah harus mendapatkan persetujuan dari DPRD, namun kadang kala
peraturan normative yang seharusnya dilakukan sering terbentur pada
kenyataan atau realita di lapangan, dimana tidak adanya kesepahaman
dalam mekanisme antara Pemerintah daerah dan DPRD itu sendiri.
Jika dicermati untuk membuat perjanjian internasional, seluruh
lembaga

(termasuk

Pemerintah

Daerah)

apabila

ingin

mengadakan

kerjasama dengan pihak dari luar negeri harus melewati proses yang
panjang agar aman dari segi politik, yuridis, security dan teknis. Adapaun
proses pengajuan rencana kerjasama luar negeri oleh Pemerintah Daerah
adalah sebagai berikut:
Pemerintah daerah mengajukan rencana kerjasama luar negeri kepada
DPRD untuk dipertimbangkan dan disetujui.
1. Pemerintah

daerah

berkonsultasi

dan

berkoordinasi

dengan

Kementeriaan Luar Negeri dan lembaga/departemen terkait tentang


isi perjanjian;
2. Pengajuan full power oleh pimpinan daerah atau pejabat daerah yang
berwenang (jika diperlukan);
Menurut Pasal 6 UU No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian
Internasional dijelaskan bahwa pembuatan perjanjian internasional harus
melewati 5 tahapan yaitu:
1. Penjajakan, dalam proses ini dilakukan tukar-menukar draft yang
ingin diajukan melalui jalur diplomatik.

60

2. Perundingan, dalam proses ini kedua belah pihak berunding untuk


menentukan pasal-pasal dalam perjanjian.
3. Perumusan naskah, merupakan hasil kesepakatan perundingan yang
berisi pasal-pasal.
4. Penerimaan, pemberian paraf terhadap naskah perjanjian yang siap
untuk ditandatangani.
5. Penandatanganan, pemberian tanda tangan oleh para pihak yang
melakukan perjanjian melalui presiden, menteri luar negeri, atau
pejabat yang memperoleh full power.
Perjanjian internasional yang telah ditandatangani oleh pimpinan
daerah perlu disahkan agar dapat berlaku di daerahnya. Menurut Pasal 9
UU No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional terdapat 2 macam
cara untu mengesahkan perjanjian yang dibuat oleh Pemernitah Daerah,
yaitu:
1. pengesahan dengan undang-undang, jika menyangkut hal-hal yang
tercantum dalam Pasal 10 ayat (3) UU No. 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintah Daerah dan Pasal 10 UU No. 24 Tahun 2000 tentang
Perjanjian Internasional, mekanismenya adalah sebagai berikut:
- pemerintah daerah menagjukan ijin prakarsa kepada Presiden melalui
menteri luar negeri;
- pemerintah daerah membentuk panitia antar kementeriaan yang
terdiri dari kementeriaan terkait untuk menyiapkan rancangan
undang-undang pengesahan;
- pemerintah daerah menyerahkan berkas-berkas perjanjian kepada
kementeriaan luar negeri;
-

kementeriaan luar negeri mengajukan permohonan amanat presiden;

- Presiden menunjuk menteri atau kepala instansi terkait sebagai


perwakilan pemerintah dalam pembahasan dengan DPR;
- Jika disetujui, rancangan undang-undang berubah menjadi undangundang dan diterbitkan dalam lembar negara;
- Menteri luar negeri menerbitkan instrumen pengesahan.

61

2. Pengesahan dengan peraturan presiden (Perpres), jika menyangkut halhal di luar Pasal 10 ayat (3) UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah
Daerah dan Pasal 10 UU No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian
Internasional, adapun mekanismenya adalah sebagai berikut:
- Pemerintah

Daerah

mengkoordinasikan

rapat

interkementeriaan

untuk mempersiapkan pengesahan perjanjian internasional;


- Pemerintah Daerah menyerahkan berkas-berkas perjanjian kepada
kementeriaan luar negeri;
- Menteri luar negeri mengajukan surat permohonan kepada presiden;
- Jika disetujui, rencana peraturan presiden berubah menjadi peraturan
presiden (Perpres);
- Menteri luar negeri menerbitkan instrumen pengesahan.
Selain itu sebagai daerah otonom, daerah mempunyai kewenangan
dan tanggungjawab untuk menyelenggarakan pemenuhan kebutuhan atau
kepentingan masyarakat. Berkaitan dengan hal tersebut maka daerah perlu
mengembangkan potensi daerahnya guna mmpercepat laju pembangunan,
sehingga diperlukan adanya kreatifitas daerah untuk meningkatkan
pendapatan daerahnyab guna membiayai pembangunan yang dimaksud,
salah satunya melalui pinjaman daerah.
Pinjaman luar negeri merupakan salah satu bentuk dari dana luar
negeri. Dana luar negeri itu dapat berbentuk hibah, bantuan program,
bantuan proyek, bantuan teknik dan pinjaman dimana unsur penting
dalam pinjaman ini adalah bahwa pinajman itu harus dibayar kembali
dengan waktu dan persyaratan yang telah disetujui para pihak, yaitu
antara yang meminjam dan pihak yang memberikan pinjaman. Pengertian
pinjaman ini secara tidak langsung membawa kewajiban bagi yang
meminjam

untuk

mengembalikan

uang

yang

dipinjamnya

dengan

memenuhi persyaratan yang telah disetujui oleh kedua pihak, yaitu tentang
besaranya bunga dan waktu pengembaliannya, dan lain-lain.
Terdapat beberapa unsur yang harus dipenuhi dalam pinjaman uang
pada umumnya sebagai berikut:
- Ada unsur kepercayaan;

62

- Ada perjanjian pinjam uang;


- Tujuannya

bebas,

artinya

penggunaannya

diserahkan

kepada

keinginan pihak yang meminjam (kreditur);


- Mengandung kewajiban untuk mengembalikan.
Yang dimaksud dengan pinjaman luar negeri menurut Pasal 1a
Keppres No. 59 Tahun 1972 adalah
Kredit luar negeri adalah pinjaman yang diterima dari luar negeri, yang
pemasukannya ke Indonesia bukan dalam rangka penerimaan kredit dari
badan-badan

internasional

dam

pemerintahan

negara-negara

yang

tergabung dalam Inter-Government Group of Indonesia (IGGI).


Sementara peraturan pelaksana dari ketentuan tersebut yakni SK
Mneteri Keuangan Republik Indonesia No. Kep-261/MK/IV/5/73 Pasal 1
berbunyi:
yang dimaksud dengan kredit luar negeri adalah
a. Semua pinjaman yang menimbulkan kewajiban membayar kembali
terhadap luar negeri, baik dalam valuta asing maupun dalam rupiah.
b. Semua pinjaman dalam negeri yang dapat menimbulkan kewajiban
membayar kembali terhadap luar negeri, baik valuta asing maupun
dalam rupiah, baik brdasarkan perjanjian kredit maupun berdasarkan
pengeluaran obligasi, garansi, proses aksep, serta bentuk pinjaman
dan kewajiban pembayaran lainnya yang lazim digunakan termasuk
antara lain charter purchase, elease purchase, deffered payment
purchase arrangement dan sebagainya.
Selanjutnya dalam ayat (4) ditentukan:
Terhadap kredit luar negeri yang berasal dari lembaga-lembaga
internasional

seperti

IMF

(International

Bank

for

(International Monetary Funds),


Recontruction

and

Development),

IBRD
IDA

(International Development Agency) dan ADB (Asian Development Bank)


serta negara-negara yang

tergabung dalam

IGGI,

tidak

berlaku

63

ketentuan-ketentuan dalam surat kepeutusan ini sepanjang kredit


tersebut diberikan dalam rangka IGGI.
Berkaitan dengan pinjaman daerah dalam Pasal 56 ayat (2) UU No. 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah mengatakan bahwa pinjaman ini
dapat dilakukan dengan perantara pemerintah pusat, diwakili oleh Menteri
Keuangan

(Menkeu)

melalui

perjanjian

penerusan

pinjaman

kepada

pemerintah daerah. Selain itu di dalam Peraturan Pemerintah No. 107


Tahun 2000 tentang Pinjaman Daerah telah diatur bahwa pinjaman daerah
harus terlebih dahulu disetujui oleh Pemerintah Pusat.
Sebenarnya

berdasarkan

peraturan

yang

mengatur

mengenai

perjanjian internasional khususnya terkait dengan pinjaman luar ngeri


untuk pemerintah daerah, maka pemerintah daerah diperbolehkan untuk
meminjam dana dari luar negeri. Ketentuan dapat dilihat melalui UU No. 22
Tahun 1948 tentang Pemerintah Daerah, dimana pemerintah daerah dapat
melakukan pinjaman atas persetujuan presiden atau Dewan Pemerintah
Daerah setingkat lebih diatasnya. Ketentuan ini dapat dilihat juga pada
Pasal 72 UU No. 18 Tahun 1965 dan Pasal 61 UU No. 5 Tahun 1974, yang
menyatakan

Pemeintah

Daerah

dapat

melakukan

pinjaman

dengan

persetujuan Menteri Dalam Negeri atau Kepala Daerah setingkat diatasnya.


Perumusan tentang perjanjian internasional juga dilakukan dalam
UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua yang memuat
rumusan sebagai berikut:26
perjanjian internasional yang dibuat oleh pemerintah yang hanya terkait
dengan kepentingan provinsi papua dilaksanakan setelah mendapat
pertimbangan

gubernur

dan

sesuai

dengan

pertauran

perundang-

undangan.
Sementara itu UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh
juga ikut menyinggung mengenai treaty making power, yang memuat
rumusan sebagai berikut:27
26
27

Lihat Pasal 4 angka 6 UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua.
Lihat Pasal 8 UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh.
64

Rencana persetujuan internasional yang berkaitan langsung dengan


Pemerintah

Aceh

yang

dibuat

oleh

pemerintah

dilakukan

dengan

konsultasi dan pertimbangan DPR Aceh .


H. Undang-Undang No. 7 Tahun 1994 Tentang Pengesahan Agreement
Establishing

The

World

Trade

Organization

(Persetujuan

Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia)


Perjanjian internasional yang dibuat oleh Indonesia, yang telah
semakin meningkat jumlahnya dewasa ini, pada hakikatnya bersifat lintas
sektor dan menjamah beberapa disiplin ilmu hukum di Indonesia seperti
Hukum Tata Negara, Hukum Administrasi Negara, Hukum Ekonomi dan
bahkan hukum perdata. Dengan demikian maka pada hakekatnya semua
pemangku kebijakan di pemerintahan baik legislatif, eksekutif maupun
yudikatif memiliki keterlibatan yang cukup kental terhadap perjanjian
internasional. Hukum perjanjian internasional dewasa ini dirasakan telah
mengalami pergeseran yang radikal seiring dengan perkembangan hukum
internasional. Hubungan internasional akibat globalisasi telah ditandai
dengan

banyaknya

perubahan-perubahan

mendasar,

antara

lain

munculnya subyek-subyek baru non-negara disertai dengan meningkatnya


interaksi intensif antara subyek-subyek baru tersebut. Indonesia sendiri
juga mengalami fenomena ini, khususnya otonomi daerah dan lembaga non
pemerintah yang interaksinya dengan elemen asing sudah semakin
meningkat.
Globalisasi yang mewarnai sistem internasional saat ini telah pula
menciptakan interaksi yang intensif antara Indonesia dengan masyarakat
internasional bukan hanya antar pemerintah namun juga antar individu.
Interaksi ini akan mengakibatkan meningkatnya persentuhan-persentuhan
hukum antara Indonesia dengan negara-negara lain bahkan dalam tingkat
tertentu akan menimbulkan tumpang tindih antara hukum internasional
termasuk

perjanjian

internasional

dengan

hukum

nasional.

Dengan

fenomena ini, maka cepat atau lambat, publik hukum Indonesia di semua
lini harus bersentuhan dengan perjanjian internasional dan akan semakin

65

menepis anggapan bahwa hukum perjanjian internasional hanya milik


diplomat saja.
Memang

tidak

dapat

dipungkiri

bahwa

globalisasi

di

bidang

perdagangan dan investasi serta lahirnya pasar bebas telah melahirkan pola
hubungan lintas batas yang mengharuskan adanya pemahaman terhadap
hukum

perjanjian

internasional.

Perjanjian-perjanjian

dewasa

ini

khususnya di bidang ekonomi, investasi dan perdagangan telah banyak


menyentuh bukan hanya kepentingan negara sebagai pihak perjanjian
melainkan juga melahirkan hak dan kewajiban terhadap individu-individu
di negara pihak. Praktik di negara-negara yang telah mengalami pasar
bebas menunjukkan bahwa pemahaman hukum perjanjian internasional
oleh para praktisi hukum termasuk Law Firm menjadi mutlak karena
perjanjian internasional telah menjadi kepentingan bagi para pelaku pasar,
investor serta pedagang.
Perjanjian internasional yang dibuat oleh Indonesia pasca reformasi
pada umumnya mengatur mengenai masalah ekonomi, investasi dan
perdagangan yang baik secara langsung maupun tidak langsung akan
bersentuhan dengan kepentingan para warga negara Indonesia. Sejak
tahun 2000, indonesia telah membuat perjanjian internasional rata-rata
100 perjanjian yang didominasi oleh perjanjian ekonomi, investasi dan
perdagangan. Oleh sebab itu, pemahaman tentang perjanjian internasional
telah menjadi kebutuhan mutlak bagi para pelaku ekonomi di Indonesia.
Dengan demikian, sebagai konsekuensi logis akan menjadi kebutuhan bagi
aparat penegak hukum di Indonesia.
Jika dicermati Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik
Indonesia Nomor II/MPR/1993 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara
antara lain menegaskan prinsip politik luar negeri yang bebas aktif yang
makin mampu menunjang kepentingan nasional dan diarahkan untuk
turut

mewujudkan

tatanan

dunia

baru

berdasarkan

kemerdekaan,

perdamaian abadi dan keadilan sosial, serta ditujukan untuk lebih


meningkatkan kerjasama internasional, dengan lebih memantapkan dan
meningkatkan peranan Gerakan Non-Blok. Garis-Garis Besar Haluan

66

Negara juga menggariskan bahwa perkembangan dunia yang mengandung


peluang yang menunjang dan mempercepat pelaksanaan pembangunan
nasional perlu dimanfaatkan sebaik-baiknya dengan mendorong ekspor,
khususnya komoditi non-migas, peningkatan daya saing dan penerobosan
serta perluasan pasar luar negeri.
Bertolak dari prinsip-prinsip tersebut, adalah semestinya apabila
segala perkembangan, perubahan dan kecenderungan global lainnya yang
diperkirakan

akan

dapat

mempengaruhi

stabilitas

nasional

serta

pencapaian tujuan nasional, perlu diikuti dengan seksama sehingga secara


dini

dapat

diambil

langkah-langkah

yang

tepat

dan

cepat

dalam

mengatasinya. Dengan sikap seperti itu, kebijakan pembangunan nasional


yang

bertumpu

pada

pemerataan

pembangunan

dan

hasil-hasilnya,

pertumbuhan ekonomi, dan stabilitas nasional, dapat tetap dipelihara.


Dalam

rangka

menghadapi

perkembangan

dan

perubahan,

serta

memanfaatkan peluang yang ada tersebut, Indonesia terus berusaha ikut


serta dalam upaya meningkatkan kerjasama antar negara, terutama untuk
mempercepat terwujudnya sistem perdagangan internasional yang terbuka,
adil, dan tertib serta bebas dari hambatan serta pembatasan yang selama
ini dinilai tidak menguntungkan perkembangan perdagangan internasional
tersebut.
Dalam skala nasional, masalah yang timbul di bidang ekonomi
ternyata tidaklah sederhana. Perubahan orientasi perekonomian nasional
ke arah pasar ekspor, membawa berbagai konsekuensi termasuk di
dalamnya kebutuhan peningkatan kegiatan perdagangan luar negeri,
khususnya di bidang produk non-migas. Tidak kalah pentingnya adalah
kebutuhan untuk makin mamantapkan berbagai sarana dan prasarana
penunjang ekspor, serta keterkaitan yang saling menguntungkan antara
produsen dan konsumen. Sementara itu, kebijaksanaan peningkatan
ekspor

non-migas

pembangunan

yang

nasional

diarahkan
pada

untuk

dasarnya

menunjang

juga

pelaksanaan

menghadapi

berbagai

hambatan dan tantangan yang memerlukan perhatian secara menyeluruh.


Hambatan dan tantangan tersebut dapat berupa ketidakpastian pasar
maupun persaingan antar negara yang semakin meningkat tajam. Secara

67

umum, ketidakpastian perkembangan ekonomi dunia juga dilatarbelakangi


oleh perubahan-perubahan yang terus terjadi secara cepat, baik dalam
kehidupan politik, ekonomi, sosial budaya, maupun pertahanan keamanan.
Dalam kerangka hubungan ekonomi dan perdagangan internasional,
keberhasilan Indonesia meningkatkan ekspor dan pembangunan nasional
juga akan tergantung pada perkembangan tatanan ekonomi dunia serta
kemantapan sistem perdagangan internasional di samping kemampuan
penyesuaian ekonomi nasional terhadap perkembangan yang ada. Salah
satu faktor yang sangat mempengaruhi perekonomian dunia, adalah
tatanan atau sistem yang merupakan dasar dalam hubungan perdagangan
antar negara. Tatanan dimaksud adalah General Agreement on Tariffs and
Trade/GATT

(Persetujuan

Umum

mengenai

Tarif

dan

Perdagangan).

Persetujuan tersebut terwujud dalam tahun 1947, dan Indonesia telah ikut
serta dalam persetujuan tersebut sejak tanggal 24 Pebruari 1950.
General Agreement on Tariffs and Trade/GATT (Persetujuan Umum
mengenai Tarif dan Perdagangan) merupakan perjanjian perdagangan
multilateral dengan tujuan menciptakan perdagangan bebas, adil, dan
membantu menciptakan pertumbuhan ekonomi dan pembangunan guna
mewujudkan kesejahteraan umat manusia. Hingga saat ini Persetujuan
tersebut telah diikuti oleh lebih dari 125 negara. Dari segi tujuan, GATT
dimaksudkan
perdagangan

sebagai

upaya

bebas,

adil

untuk

dan

memperjuangkan

menstabilkan

sistem

terciptanya
perdagangan

internasional, dan memperjuangkan penurunan tarif bea masuk serta


meniadakan hambatan-hambatan perdagangan lainnya.
Sebagai

tatanan

multilateral

yang

memuat

prinsip-prinsip

perdagangan internasional, GATT menetapkan kaidah bahwa hubungan


perdagangan

antar

negara

dilakukan

tanpa

diskriminasi

(non

discrimination). Hal ini berarti, suatu negara yang tergabung dalam GATT
tidak diperkenankan untuk memberikan perlakuan khusus bagi negara
tertentu. Setiap negara harus memberikan perlakuan yang sama dan timbal
balik dalam hubungan perdagangan internasional. GATT berfungsi sebagai
forum

konsultasi

negara-negara

anggota

dalam

membahas

dan

menyelesaikan masalah-masalah yang timbul di bidang perdagangan

68

internasional, GATT juga berfungsi sebagai forum penyelesaian sengketa di


bidang perdagangan antara negara-negara peserta.
GATT juga merupakan forum untuk mengajukan keberatan dari
suatu negara yang merasa dirugikan atau mendapat perlakuan yang tidak
adil dari negara peserta yang lain di bidang perdagangan. Prinsipnya,
masalah-masalah yang timbul diselesaikan secara bilateral antara negaranegara yang terlibat dalam persengketaan dagang melalui konsultasi dan
konsiliasi, serta hasilnya dibertahukan kepada GATT. Untuk mewujudkan
jaminan agar perdagangan antar negara dapat berjalan baik, GATT
mengatur ketentuan mengenai pengikatan tarif bea masuk (tariff binding)
yang diberlakukan negara-negara peserta. Di samping itu, GATT juga
menetapkan ketentuan-ketentuan untuk mendorong kegiatan perdagangan
berdasarkan prinsip persaingan yang jujur, dan menolak beberapa praktek
seperti dumping dan pemberian subsidi terhadap produk ekspor.
Prinsip-prinsip yang tertuang dalam GATT tidak melarang tindakan
proteksi terhadap industri domestik, tetapi proteksi demikian hanya boleh
dilakukan melalui proteksi tarif dan bukan melalui tindakan seperti
larangan impor atau kuota impor. GATT melarang pembatasan perdagangan
yang bersifat kuantitatif, seperti misalnya penerapan kuota impor maupun
ekspor.

Meskipun

dimungkinkan

demikian,

sepanjang

pengecualian

pembatasan

atas

tersebut

larangan

tersebut

merupakan

tindakan

pengamanan guna mengatasi antara lain kesulitan neraca pembayaran.


Dalam pelaksanaannya, pembatasan tersebut hanya dapat berlangsung
dalam waktu yang terbatas, dan secara progresif harus dikurangi atau
dihapuskan setelah teratasinya kesulitan dalam neraca pembayaran.
GATT memungkinkan negara-negara peserta untuk memperoleh
pengecualian

dari

suatu

bersangkutan

mengalami

perdagangan.

Untuk

kewajiban

tertentu

permasalahan

melindungi

dalam

industri

yang

apabila

negara

yang

bidang

ekonomi

dan

masih

dalam

tahap

pertumbuhan, GATT mengijinkan suatu negara untuk melarang impor atau


tidak memberlakukan konsesi tarif yang diberikannya dalam kerangka
GATT untuk selama jangka waktu tertentu. Tindakan tersebut dapat
dilakukan apabila negara yang bersangkutan tidak mempunyai pilihan lain

69

dalam menghadapi lonjakan produk impor sehingga mengakibatkan


kesulitan terhadap industri dalam negeri.
Pengelompokan sejumlah negara dalam kerjasama regional guna
menghapuskan

hambatan

perdagangan

di

antara

mereka

juga

diperbolehkan, sepanjang masih sesuai dengan ketentuan GATT. Ketentuan


GATT menyebutkan bahwa keberadaan kelompok regional diperbolehkan
untuk meningkatkan perdagangan di antara negara-negara dalam kelompok
tersebut, sejauh hal itu tidak menimbulkan hambatan perdaganagan bagi
negara-negara di luar kelompok regional tersebut.
Dengan menyadari adanya perbedaan tingkat sosial ekonomi negaranegara peserta GATT yang tidak memungkinkan terlaksananya berbagai
ketentuan dan disiplin yang telah diatur, GATT mengakui perlunya
perlakuan khusus dan berbeda bagi negara-negara berkembang. Ketentuan
GATT yang mengatur perlakuan khusus ini mengakui adanya negara
berkembang yang memperoleh kondisi lebih menguntungkan dalam upaya
mereka memasuki pasar dunia bagi produk-produknya. Negara-negara
maju tidak boleh menerapkan hambatan terhadap ekspor komoditi primer
dan produk lain yang merupakan kepentingan khusus negara-negara
berkembang, dan khususnya negara-negara yang paling terbelakang.
Negara-negara maju juga tidak boleh mengharapkan tindakan timbal balik
dari negara-negara berkembang untuk mengurangi atau menghapuskan
hambatan yang berupa tarif atau non-tarif.
Selain itu ditegaskan pula prinsip mengenai perlakuan yang berbeda
dan lebih menguntungkan, timbal balik serta keikutsertaan penuh negara
berkembang, yang selanjutnya menjadi dasar bagi pemberian perlakuan
khusus

melalui

Sistem

Preferensi

Umum

(Generalized

System

of

Preferences/GSP) oleh negara maju kepada negara berkembang, serta


diperbolehkannya perlakuan perdagangan yang khusus bagi negara-negara
berkembang yang paling terkebelakang.
Perdagangan internasional sendiri merujuk pada kebijakan-kebijakan
yang dibuat oleh berbagai pemerintah di bidang perdagangan. Pemerintah
sebagai regulator memiliki kewenangan untuk membuat kebijakan tidak

70

saja bagi pelaku usaha yang melakukan kegiatan di wilayahnya tetapi juga
kewenangan untuk membuat kebijakan atas barang atau jasa asal negara
lain yang akan masuk ke negaranya. Oleh karena itu adalah kurang tepat
apabila

mempresepsikan

perdagnagn

internasional

sebagai

transaksi

perdagangan (bisnis) dimana pelakunya adalah negara. Sebagai contoh ada


yang beragurmen bahwa negara dengan negara dapat melakukan transaksi
di

bidang

perdagangan,

seperti

pemerintah

Indonesia

melakukan

kesepakatan dengan pemerintah thailand untuk melakukan imbal beli


pesawat yang diproduksi oleh indonesia dengan 110.000 ton beras ketan
yang diproduksi di thailand. Namun setelah diperdalam hal tersebut
bukanlah transaksi perdagangan antarnegara.
Pertama, pesawat yang diproduksi di Indonesia bukan hasil produksi
dari pemerintah Indonesia melainkan hasil produksi badan hukum yang
dimiliki

oleh

pemerintah

Indonesia

(PT.

Industri

Pesawat

Terbang

Nusantara/IPTN). Sementara beras ketan tidak diproduksi oleh pemerintah


Indonesia melainkan oleh para pelaku usaha di Thailand. Sama halnya jika
contoh yang diberikan adalah pengadaan pesawat tempur oleh pemerintah
Indonesia yang diwakili oleh Departemen Pertahanan dari Amerika Serikat.
Adalah benar bahwa Departemen Pertahanan merupakan representasi dari
negara, namun pihak yang memproduksi pesawat tempur bukanlah
pemerintah Amerika Serikat melainkan badan usaha yang berada di
Amerika.
Perjanjian seperti ini disebut sebagai government contract dimana
salah satu pihaknya negara atau pemerintah. Negara disini harus dianggap
sebagai subyek hukum perdata bukan sebagai subyek hukum dalam
hukum publik. Hukum internasional sendiri memiliki subyek hukum
sendiri

antara

lain

negara,

organisasi

internasional,

palang

merah

internasional dan sebagainya. Sementara dalam konteks perdagangan


internasional

yang

mengatur

aturan-aturan

bagi

pemerintah

dalam

membuat kebijakan bidang perdagangan yang menjadi subyek hukum


adalah

subyek

hukum

internasional.

Dalam

hukum

perdagangan

internasional, orang dan badan hukum bukanlah subyek hukumnya. Disini


harus dipahami bahwa perdagangan internasional masuk dalam kategori

71

hukum internasional (publik), dan sama sekali bukan termasuk hukum


perdata internasional. Hubungan WTO dengan perjanjian internasional
merupakan

satu

kesatuan

khususnya

berkaitan

dengan

hukum

internasional mengingat peranannya semakin lama semakin meningkat


terlebih lagi di era globalisasi ekonomi seperti ini.
I. Peraturan Pemerintah No. 54 tahun 2005 tentang Pinjaman Daerah
Sebagai petunjuk teknis berenaan dengan pinjaman daerah, dalam
Pasal 3 ayat (1) dinyatakan pemerintah daerah dilarang melakukan
pinjaman

langsung

kepada

pihak

luar

negeri.

Jelas

bahwa

dalam

melakukan kejasama internasional terkait pinjaman, pemerintah daerah


harus

berkonsultasi

dan

berkoordinasi

dengan

pemerintah

pusat.

Selanjutnya ayat (2) menyatakan ketentuan tersebut tidak berlaku dalam


hal pinjaman langsung kepada pihak luar negeri yang terjadi karena
kegiatan transaksi Obligasi Daerah sesuai peraturan perundang-undangan
di bidang pasar modal. Artinya terdapat pengecualian bagi daerah untuk
melakukan pinjaman langsung kepada luar negeri, namun jangan sampai
merugikan kepentingan Negara.
Selanjutnya dalam Pasal 42 dinyatakan bahwa dalam hal Pemerintah
Daerah tidak menyampaikan perjanjian pinjaman yang telah dilakukan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (7) dan/atau Pemerintah
daerah

membuat

perjanjian

pinjaman

yang

tidak

sesuai

dengan

pertimbangan Menteri Dalam Negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19


ayat (2) maka Pemerintah Daerah yang bersangkutan dilarang melakukan
Pinjaman Daerah selama 3 (tiga) tahun berturut-turut.
J. Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 2006

tentang Tata Cara

Pengadaan Pinjaman Dan/Atau Penerimaan Hibah Serta Penerusan


Pinjaman Dan/Atau Hibah Luar Negeri
Berkenaan dengan peran Kementerian Negara/Lembaga/Pemerintah
daerah untuk melakukan pembuatan perjanjian internasional, dalam Pasal
3

Peraturan

Pemerintah

ini

dibatasi

yaitu:

Kementerian

72

Negara/Lembaga/Pemerintah daerah dilarang melakukan perikatan dalam


bentuk apapun yang dapat menimbulkan kewajiban untuk melakukan
pinjaman luar negeri.
Dalam Pasal 7 dinyatakan bahwa Kementerian Negara/Lembaga
mengajukan usulan kegiatan prioritas yang dibiayai dengan pinjaman
dan/atau hibah luar negeri kepada Menteri Perencanaan. Dalam hal ini
harus diajukan usulan kegiatan termasuk kegiatan yang pembiayaannya
akan diterushibahkan kepada Pemerintah Daerah atau sebagai penyertaan
modal negara kepada BUMN. Untuk kegiatan investasi, Pemerintah Daerah
mengajukan usulan kegiatan investasi untuk mendapatkan penerusan
pinjaman luar negeri dari Pemerintah kepada Menteri Perencanaan.
Pengaturan

mengenai

pinjaman

dan/atau

hibah

luar

negeri

tercantum dalam Pasal 19 ayat (1) yang berbunyi Menteri/Pimpinan


Lembaga/Kepala Daerah/Pimpinan BUMN pelaksana kegiatan yang dibiayai
dengan pinjaman dan/atau hibah luar negeri dapat mengajukan usulan
perubahan NPPLN/NPHLN kepada Menteri. Selanjutnya dalam penetapan
pinjaman dan/atau hibah luar negeri, Pasal 20 menyatakan Menteri
menetapkan pinjaman dan/atau hibah luar negeri Pemerintah yang akan
diteruspinjamkan atau diterushibahkan kepada Pemerintah Daerah dan
diteruspinjamkan

atau

dijadikan

penyertaan

modal

kepada

BUMN.

Penetapan Menteri dilaksanakan sebelum dilakukan negosiasi dengan


PPLN/PHLN. Sedangkan dalam menentukan penerusan pinjaman kepada
Daerah dalam bentuk pinjaman atau hibah, Menteri memperhatikan
kemampuan membayar kembali daerah dan kapasitas fiskal daerah serta
pertimbangan dari Menteri Dalam Negeri.
K. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor

11

Tahun 2010

tentang Kerja Sama Pemerintah Aceh Dengan Lembaga Atau Badan


Di Luar Negeri
Dalam Peraturan Presiden
kerjsama,

tata

cara

kerjasama,

ini diatur secara jelas tentang prinsip


pendanaan

kerjasama,

pembinaan,

pengawasan, dan pelaporan, serta penyelelesaian perselisihan. Di provinsi

73

Aceh, kerja sama Pemerintah Aceh dengan lembaga atau badan di luar
negeri adalah bentuk hubungan antara Pemerintah Aceh sebagai bagian
dari Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan lembaga atau badan di
luar negeri.
Rencana kerja sama merupakan ide atau gagasan dan rancangan
naskah kerja sama yang dibuat Pemerintah Aceh mengenai kerja sama
Pemerintah Aceh dengan lembaga atau badan di luar negeri, yang memuat
pokok pikiran, ruang lingkup, dan tujuan yang akan dicapai. Lembaga atau
badan di luar negeri adalah pemerintah negara bagian/pemerintah daerah,
kementerian/lembaga

pemerintah

non

kementerian,

lembaga

non

pemerintah, dan badan usaha milik negara atau swasta.


Dalam melakukan kerja sama, dituangkan dalam bentuk naskah
kerja sama yang merupakan kesepakatan tertulis dalam bentuk dan nama
tertentu, yang ditandatangani oleh Pemerintah Aceh dengan lembaga atau
badan di luar negeri. Hal pokok yang menjadi batasan umum bagi Pemda
Aceh untuk kerjasama luar negeri yang diatur dalam Peraturan Presiden 11
Tahun 2010 adalah:
a. Kerja sama dilaksanakan dengan berpedoman pada standar dan
prosedur yang berlaku secara nasional sesuai dengan bidang kerja
sama.
b. Kerja sama dengan lembaga atau badan di luar negeri, dilakukan oleh
Pemerintah Aceh dengan lembaga atau badan di luar negeri dari
negara

yang

telah

mempunyai

hubungan

diplomatik

dengan

Indonesia.
c. Kerja sama Pemerintah Aceh dengan lembaga atau badan di luar
negeri hanya meliputi bidang urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangan

Pemerintah

Aceh

sesuai

dengan

peraturan

perundangundangan.
Dalam tahapannya, setiap kerjasama luar negeri yang dilakukan oleh
Pemda Aceh harus melalui tahapan berikut:

terlebih dahulu menyusun rencana kerja sama;

rencana kerja sama tersebut harus mendapat persetujuan dari DPRA;

74

setelah disetujui rencana kerja sama tersebut disampaikan kepada


Menteri untuk mendapat pertimbangan;

sebelum memberikan pertimbangan, Menteri melakukan koordinasi


dengan Pemerintah Aceh dan instansi terkait.

75

BAB IV
LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS, DAN YURIDIS
A. Landasan Filosofis
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD
1945)

memuat

baik

cita-cita,

dasar-dasar,

maupun

prinsip-prinsip

penyelenggaraan negara. Cita-cita pembentukan negara dengan istilah tujuan


nasional, tertuang dalam alinea keempat, yaitu (a) melindungi segenap
bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia ; (b) memajukan
kesejahteraan umum; (c) mencerdaskan kehidupan bangsa; (d) ikut
melaksanakan
perdamaian

ketertiban

abadi,

dan

dunia

yang

keadilan

berdasarkan

sosial.

Cita-cita

kemerdekaan,
tersebut

akan

dilaksanakan dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berdiri


diatas lima dasar, yaitu Pancasila sebagaimana juga dicantumkan dalam
alinea keempat Pembukaan UUD 1945.
Untuk

mencapai

penyelenggaraan

negara

cita-cita
berdasarkan

tersebut

dan

Pancasila,

UUD

melaksanakan
1945

telah

memberikan kerangka susunan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan


bernegara. Norma dalam UUD 1945 tidak hanya mengatur kehidupan
politik tetapi juga kehidupan ekonomi dan sosial. Hal ini karena para
pendiri bangsa menghendaki bahwa rakyat Indonesia berdaulat secara
penuh, bukan hanya kedaulatan politik.
UUD 1945 merupakan konstitusi politik, ekonomi, dan sosial yang
harus menjadi acuan dan landasan secara politik, ekonomi, dan sosial, baik
oleh negara (state), masyarakat (civil society), ataupun pasar (market).
Sebagai konsekuensi dari supremasi konstitusi dan hierarki peraturan
perundang-undangan dalam suatu sistem hukum, maka perubahan
konstitusi mengharuskan adanya perubahan sistem dan kelembagaan,
serta pelaksanaannya oleh pihak yang berwenang. Oleh karena itu upaya
membangun sistem kelembagaan harus dilakukan berdasarkan nilai-nilai
dan prinsip-prinsip yang terkandung dalam UUD 1945.
Pembangunan nasional bertujuan untuk mewujudkan manusia
Indonesia seutuhnya dan masyarakat Indonesia seluruhnya yang adil,

76

makmur, sejahtera, dan tertib berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.


Untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil, makmur, dan sejahtera
tersebut, perlu secara terus-menerus ditingkatkan kerjasama Bangsa
Indonesia dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Secara filosofis, dalam
rangka

mencapai

tujuan

Negara

Republik

Indonesia

sebagaimana

tercantum di dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yaitu


melindungi

segenap

bangsa

Indonesia

dan

seluruh

tumpah

darah

Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan


bangsa serta ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial, Pemerintah Negara
Republik

Indonesia,

sebagai

bagian

dari

masyarakat

internasional,

melakukan hubungan dan kerja sama internasional yang mewujudkan


dalam perjanjian internasional. Berdasarkan amandemen keempat UUD
1945 pada tanggal 10 Agustus 2002 khususnya Pasal 11 ayat (2) dan ayat
(3) yang berbunyi:
(2) Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang
menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan
rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara, dan/atau
mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang
harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
(3)

Ketentuan lebih lanjut tentang perjanjian internasional diatur


dengan undang-undang.

Kerjasama internasional yang dilakukan antar negara, antara negara


dengan organisasi internasional ataupun antar negara dengan subyek
hukum internasional lainnya semakin gencar dilakukan dan dunia semakin
sempit seiring perkembagan teknologi informasi. Akan tetapi sebagai negara
berkembang, Indonesia terkadang dirugikan oleh perjanjian internasional
yang dilakukan dengan negara maju. Sebagai contoh adalah perjanjian
Sosek Malindo dan perjanjian ASEAN dengan Negara China yang disebut
ACFTA.

Saat

ini

perjanjian

Sosek

Malindo

dirasakan

masyarakat

Kalimantan sangat merugikan karena Warga Negara Indonesia dibatasi

77

hanya bisa melakukan transaksi pembelian produk Malaysia sampai


dengan 400 ringgit Malaysia, sedangkan Warga Negara Malaysia tidak
dibatasi nominal untuk melakukan pembelian produk Indonesia. Perjanjian
ACFTA antara ASEAN dengan Cina dirasakan sangat merugikan Indonesia
karena produk-produk China membanjiri pasar Indonesia dan mengambil
pasar produk-produk domestik dikarenakan secara harga lebih murah dan
tampilan lebih memikat daripada produk domestik Negara Indonesia.
Landasan untuk mengadakan kerjasama dengan negara lain adalah adanya
hak dari setiap negara untuk mendapatkan kedudukan hukum yang sama
dengan negara-negara lain sebagaimana diatur dalam Pasal 5 Komisi
Hukum Internasional/ International Law Commission PBB Tahun 1949.
Selain itu juga dilandaskan pada Kewajiban Negara yang juga diatur dalam
Komisi Hukum Internasional/ International Law Commission PBB Tahun
1949, yaitu:
Kewajiban untuk melaksanakan kewajiban internasional dengan
itikad baik (Pasal 13); dan
Kewajiban untuk mengadakan hubungan dengan negara-negara
lain sesuai dengan hukum internasional (Pasal 14).28
Praktik negatif pelaksanaan perjanjian internasional yang terjadi saat
ini adalah banyaknya perjanjian antara pihak Indonesia, baik Pemerintah
Indonesia

maupun

lembaga

pemerintah

dengan

subyek

hukum

internasional asing yang selalu merugikan pihak Indonesia. Sebagai contoh


pertambangan

Freeport di Papua dimana pihak asing telah mengambil

lebih dari 80 % dari hasil keuntungan , sementara pihak Indonesia hanya


bisa menikmati kurang dari 20 % dari hasil keuntungan. Adanya
pemberlakuan otonomi daerah juga belum diantisipasi UU No. 24 Tahun
2000 tentang Perjanjian Internasional dimana Kabupaten/ Kota yang sudah
diperbolehkan untuk melakukan perjanjian internasional subyek hukum
internasional asing tidak melakukan koordinasi dengan pemerintah daerah
provinsi yang merupakan kepanjangan tangan pemerintah pusat. Oleh
28

Parry and Grant, et.al., Encyclopaedic Dictionary of International Law, New York: Oceana Publications inc.,
1986, hlm. 374.
78

karena beberapa alasan tersebut di atas maka sangat diperlukan adanya


penggantian UU No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional.
B.

Landasan Sosiologis
Adanya ketimpangan dimana dalam perjanjian internasional yang

dilakukan oleh Indonesia dengan pihak asing selalu merugikan rakyat dan
Bangsa Indonesia sangat mengganggu rasa keadilan masyarakat. Rasa
keadilan

masyarakat

terhadap

perbaikan

pengaturan

hukum

dalam

perjanjian internasional tidak terlepas dari keinginan adanya perlindungan


hukum dan pemenuhan rasa keadilan bagi rakyat Indonesia. Perbaikan
pengaturan hukum dalam pembuatan perjanjian internasional akan
membentuk budaya hukum (legal culture) baru yaitu apakah telah terdapat
sistem birokrasi yang tidak berbelit-belit, koruptif, dan lebih memberi
perlindungan hukum bagi masyarakat Indonesia yang hendak melakukan
perjanjian internasional dengan pihak asing sehingga membuat masyarakat
ingin melakukan perjanjian internasional sesuai peraturan perundangundangan yang berlaku.
Oleh karena sering tidak terpenuhinya rasa keadilan masyarakat
dalam

implementasi

UU

No.

24

Tahun

2000

tentang

Perjanjian

Internasional sebagaimana terjadi dalam perjanjian Freeport dan Newmont


dimana hasil kekayaan alam Indonesia sudah dieksploitasi oleh pihak asing
dengan pembagian hasil yang sangat sedikit bagi pihak Indonesia maka
muncul

keinginan

masyarakat

yang

diwakili

oleh

anggota

Dewan

Perwakilan Rakyat Indonesia untuk melakukan penggantian atas UU No. 24


Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional dengan salah satunya
menambahkan masalah ekonomi dan keuangan sebagai hal-hal yang
memerlukan pengesahan perjanjian internasional yang dilakukan dengan
undang-undang sebagaimana diatur dalam Pasal 10 undang-undang
tersebut.
C.

Landasan Yuridis
Berdasarkan Lampiran I Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011

tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, landasan yuridis

79

merupakan pertimbangan atau alasan yang menggambarkan bahwa


peraturan yang dibentuk untuk mengatasi permasalahan hukum atau
mengisi kekosongan hukum dengan mempertimbangkan aturan yang telah
ada, yang akan diubah, atau yang akan dicabut guna menjamin kepastian
hukum dan rasa keadilan masyarakat. Landasan yuridis menyangkut
persoalan hukum yang berkaitan dengan substansi atau materi yang diatur
sehingga perlu dibentuk peraturan perundang-undangan yang baru.
Adapun persoalan hukum tersebut antara lain peraturan yang sudah
ketinggalan, peraturan yang tidak harmonis atau tumpang tindih, jenis
peraturan

yang

lebih

rendah

dari

undang-undang

sehingga

daya

berlakunya lemah, peraturannya sudah ada tetapi tidak memadai, atau


peraturannya memang sama sekali belum ada.
Jika pengertian mengenai landasan yuridis tersebut dikaitkan dengan
Rancangan Undang-Undang tentang Penggantian Undang-Undang Nomor
24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, maka terdapat beberapa
ketentuan mengenai Perjanjian Internasional yang sudah tidak sesuai lagi
dengan perkembangan kebutuhan hukum masyarakat dan kehidupan
ketatanegaraan, sebagai contoh dengan adanya dorongan dari masyarakat
untuk menambahkan masalah ekonomi dan keuangan sebagai hal-hal yang
memerlukan pengesahan perjanjian internasional untuk dilakukan dengan
undang-undang. Selain itu, dengan adanya UU No. 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah, kabupaten/ kota mulai melakukan perjanjian
internasional secara mandiri, akan tetapi tidak ada koordinasi dengan
pemerintah daerah provinsi sebagai kepanjangan tangan pemerintah pusat.
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut maka perlu dibentuk
Undang-Undang tentang Penggantian atas Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2002 tentang Perjanjian Internasional.

80

BAB V
JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN, DAN RUANG LINGKUP
MATERI MUATAN UNDANG-UNDANG

A. JANGKAUAN DAN ARAH PENGATURAN


Berdasarkan kajian sebagaimana diuraikan sebelumnya, tentu ke
depan perjanjian internasional harus mengarah dan menjangkau beberapa
hal yang perlu diimplementasikan yang sekarang ini belum dilaksanakan
sesuai dengan semangat konstitusi.
Perjanjian internasional harus senantiasa berpijak pada asas negara
hukum yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, serta
sebagai bagian dari upaya untuk mencapai tujuan bernegara Indonesia
sebagaimana termaktub dalam Alinea Keempat Pembukaan UUD 1945,
yaitu mewujudkan kehidupan bangsa yang sejahtera, aman, tenteram dan
tertib.
Sebagai bagian dari masyarakat internasional, maka negara Indonesia
akan senantiasa mengadakan perbuatan-perbuatan hukum dengan subjek
hukum internasional lainnya, antara lain dengan mengadakan perjanjian
internasional. Oleh karena itu, perjanjian internasional yang dibuat
tersebut juga harus senantiasa memperhatikan kepentingan nasional atau
kepentingan masyarakat, bahkan termasuk kepentingan masyarakat dari
suatu daerah manakala perjanjian internasional yang dibuat berimplikasi
kepada daerah.
Sebagaimana diketahui bahwa Indonesia sebagai salah satu negara
demokrasi, menerapkan sistem demokrasi perwakilan sehingga dalam
sistem ketatanegaraan Indonesia terdapat lembaga perwakilan, yaitu Dewan
Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Dalam Pasal 20 ayat (1) UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945)
ditentukan bahwa Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan
membentuk undang-undang. Selanjutnya dalam Pasal 20A ayat (1) UUD
1945 ditentukan bahwa Dewan Perwakilan Rakyat memiliki fungsi
legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan. Berdasarkan aturan

81

konstitusi tersebut dapat dipahami bahwa peran Dewan dalam sistem


ketatanegaraan Indonesia cukup penting dan strategis, yakni sebagai
lembaga perwakilan rakyat yang akan bertindak dalam tiga fungsi
sekaligus, yaitu pembentukan undang-undang, anggaran, dan pengawasan.
Dalam hal ini jelas memiliki hubungan atau kaitan yang erat dengan
perjanjian internasional. Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya
bahwa perjanjian internasional itu adalah sebuah dokumen hukum yang
juga mempunyai implikasi yang luas dan strategis bagi kepentingan
nasional, kepentingan rakyat, atau kepentingan negara. Bahkan tidak
jarang sebuah perjanjian internasional diratifikasi dengan undang-undang
sehingga kekuatan hukumnya menjadi sama dengan undang-undang
sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945.
Berdasarkan pertimbangan di atas, maka penguatan peran Dewan
Perwakilan

rakyat

dalam

kaitannya

dengan

perjanjian

internasional

menjadi sangat penting dalam sistem yang akan dibangun dalam UndangUndang Perjanjian Internasional. Penguatan peran Dewan Perwakilan
Rakyat dimaksudkan untuk diwujudkan dengan sebuat klausul, bahwa
setiap perjanjian internasional yang dibuat oleh Pemerintah harus disertai
dengan pemberitahuan dan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
Khusus perjanjian internasional di bidang atau yang menyangkut
dengan

pengelolaan

memberikan

sebuah

diperhatikan

oleh

sumber
garis

daya
acuan

Pemerintah

alam,
atau

Undang-Undang
rambu-rambu

manakala

melakukan

ini

yang

juga
perlu

perjanjian

internasional, khususnya menyangkut bidang pengelolaan sumber daya


alam, antara lain aspek ketersediaan kebutuhan nasional yang terkait
dengan ketahanan dan kedaulatan energi nasional serta yang menyangkut
kepentingan nasional lainnya.
Undang-Undang

Perjanjian

Internasional

ke

depan

juga

ingin

membuat aturan yang harus dipedomani oleh Pemerintah, yakni terkait


dengan keterlibatan daerah dalam suatu perjanjian internasional. Dalam
hal ini, manakala perjanjian internasional terkait atau menyangkut dengan
kepentingan

daerah

yang

bersangkutan,

maka

Pemerintah

harus

82

memberitahukan

dan

mengikutsertakan

daerah

dalam

pembuatan

perjanjian internasional.
Perjanjian internasional sebagai sebuah dokumen hukum perlu
memiliki sistem penyimpanan yang memadai dan mudah diakses oleh
setiap

orang

yang

memerlukan

internasional.

Oleh

karenanya,

naskah

atau

penyimpanan

dokumen

perjanjian

dokumen

perjanjian

internasional ke depan ditangani oleh lembaga arsip nasional.


Sebagaimana

telah

diuraikan

sebelumnya,

bahwa

perjanjian

internasional adalah sebuah instrumen hukum yang berdampak atau


berimplikasi kepada kepentingan masyarakat, maka perlu kiranya diatur
mengenai partisipasi masyarakat sehingga ke depan setiap perjanjian
internasional yang dibuat oleh Pemerintah perlu membuka atau memberi
ruang bagi adanya partisipasi masyarakat.
B. RUANG LINGKUP MATERI
Sebagaimana

diketahui

sitematika

undang-undang

penggantian

terdiri atas dua bagian, yaitu Pasal I yang berisi materi pokok dan Pasal II
sebagai penutup. Oleh karenanya, ruang lingkup materi Undang-Undang
Penggantian

Atas

Undang-Undang

Nomor

24

Tahun

2000

tentang

Perjanjian Internasional adalah sebagai berikut:


1. Pasal I: Materi Pokok Penggantian
a. Ketentuan Pasal 1 angka 1 diubah dengan rumusan: Perjanjian
Internasional adalah perjanjian dalam bentuk dan nama tertentu,
yang diatur dalam hukum internasional yang dibuat secara tertulis
oleh Pemerintah Republik Indonesia dengan satu atau lebih negara,
organisasi internasional, atau subyek hukum internasional lainnya
yang menimbulkan hak dan kewajiban di bidang hukum publik.
Selanjutnya juga ditambahkan 1 (satu) angka, yaitu angka 10 dengan
rumusan: Dewan Perwakilan Rakyat yang selanjutnya disingkat DPR

83

adalah Dewan Perwakilan Rakyat sebagaimana dimaksud dalam


Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
b. Di antara Pasal 1 dan Pasal 2 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal
1A: yakni mengenai asas atau prinsip dalam pembuatan perjanjian
internasional, yaitu
1) Itikad baik;
2) persamaan kedudukan;
3) saling menguntungkan;
4) kemanfaatan;
5) saling menghormati;
6) berkedaulatan; dan
7) berkeadilan.
c. Ketentuan Pasal 4 ayat (2) diubah dengan rumusan sebagai berikut:
(1) Pemerintah Republik Indonesia membuat perjanjian internasional
dengan satu negara atau lebih, organisasi internasional, atau
subjek hukum internasional lain berdasarkan kesepakatan, dan
para pihak berkewajiban untuk melaksanakan perjanjian tersebut
dengan itikad baik.
(2) Dalam pembuatan perjanjian internasional, Pemerintah Republik
Indonesia

berpedoman

memperhatikan

baik

pada

kepentingan

hukum

nasional

nasional,
maupun

dan

hukum

internasional.
d. Ketentuan Pasal 5 diubah dengan rumusan sebagai berikut:
(1) Lembaga negara, lembaga pemerintah baik kementerian maupun
nonkementerian,

dan

pemerintah

daerah,

yang

mempunyai

rencana untuk membuat Perjanjian Internasional, terlebih dahulu


melakukan konsultasi dan koordinasi dengan Menteri.
(2) Pemerintah

Republik

pembuatan

Perjanjian

Indonesia
Internasional,

dalam
terlebih

mempersiapkan
dahulu

harus

84

menetapkan

posisi

Pemerintah

Republik

Indonesia

yang

dituangkan dalam suatu pedoman delegasi Republik Indonesia.


(3) Pedoman delegasi Republik Indonesia, yang perlu mendapat
persetujuan Menteri, memuat hal-hal sebagai berikut :
a. latar belakang permasalahan;
b. analisis permasalahan, yang ditinjau dari aspek politis dan
yuridis

serta

aspek

lain

yang

dapat

mempengaruhi

kepentingan nasional Indonesia; dan


c. posisi Indonesia, saran, dan penyesuaian yang dapat dilakukan
untuk mencapai kesepakatan.
(4) Perundingan rancangan suatu Perjanjian Internasional dilakukan
oleh Delegasi Republik Indonesia yang dipimpin oleh Menteri atau
pejabat lain sesuai dengan materi perjanjian dan lingkup
kewenangan masing masing.
(5) Dalam hal Perjanjian Internasional berdampak pada kepentingan
daerah maka Pemerintah Daerah harus diikutsertakan dalam
keanggotaan delegasi Republik Indonesia.
e. Ketentuan Pasal 7 ditambahkan 1 (satu) ayat, yakni ayat (6), sehingga
Pasal 7 dirumuskan sebagai berikut:
(1) Seseorang yang mewakili Pemerintah Republik Indonesia, dengan
tujuan

menerimaan

atau

menandatangani

naskah

suatu

perjanjian atau mengikatkan diri pada Perjanjian Internasional,


memerlukan Surat Kuasa.
(2) Pejabat

yang

tidak

memerlukan

Surat

Kuasa

sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 1 angka 3 adalah:


a. Presiden; dan
b. Menteri.
(3) Satu atau beberapa orang yang menghadiri, merundingkan,
dan/atau menerima hasil akhir suatu Perjanjian Internasional,
memerlukan Surat Kepercayaan.
(4) Surat Kuasa dapat diberikan secara terpisah atau disatukan
dengan Surat Kepercayaan, sepanjang dimungkinkan, menurut

85

ketentuan dalam suatu Perjanjian Internasional atau pertemuan


internasional.
(5) Penandatangan suatu Perjanjian Internasional yang menyangkut
kerja sama teknis sebagai pelaksanaan dari perjanjian yang
sudah berlaku dan materinya berada dalam lingkup kewenangan
suatu

lembaga

kementerian

negara

atau

maupun

lembaga

nonkementerian,

pemerintah,

baik

dilakukan

tanpa

memerlukan Surat Kuasa.


(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian Surat Kuasa
dan Surat Kepercayaan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
f. Ketentuan Pasal 9 diubah dengan rumusan sebagai berikut:
(1) Pengesahan

Perjanjian

Internasional

dilakukan

sepanjang

dipersyaratkan oleh Perjanjian Internasional tersebut.


(2) Pengesahan Perjanjian Internasional sebagaimana dimaksud pada
ayat

(1)

dilakukan

dengan

Undang-Undang

atau

Peraturan

Presiden.
g. Diantara Pasal 9 dan Pasal 10 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal
9A dengan rumusan sebagai berikut:
Pengesahan

Perjanjian

Internasional

dengan

undang-undang

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) dilakukan terhadap


Perjanjian Internasional yang menimbulkan akibat yang luas dan
mendasar

bagi

kehidupan

keuangan

negara,

rakyat

dan/atau

yang

terkait

mengharuskan

dengan

penggantian

beban
atau

pembentukan undang-undang.
h. Ketentuan Pasal 10 ayat (1) diubah dan ditambah 2 (dua) huruf,
yakni huruf g dan huruf h dengan rumusan sebagai berikut:
Pengesahan Perjanjian Internasional dilakukan dengan undangundang apabila materi Perjanjian Internasional berkenaan dengan :
a. masalah politik, perdamaian, pertahanan, dan keamanan
negara;

86

b. perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah negara


Republik Indonesia;
c. kedaulatan atau hak berdaulat negara;
d. hak asasi manusia dan lingkungan hidup;
e. pembentukan kaidah hukum baru;
f. pinjaman dan/atau hibah luar negeri;
g. perdagangan; dan
h. pengelolaan sumber daya alam.
i. Diantara Pasal 10 dan Pasal 11 disisipkan 3 (tiga) pasal, yakni Pasal
10A, Pasal 10B, dan Pasal 10C dengan rumusan sebagai berikut:
Pasal 10A
(1) Pengesahan Perjanjian Internasional mengenai pinjaman luar
negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) huruf f,
meliputi substansi perjanjian antara lain nominal pinjaman, bunga
pinjaman, jangka waktu pinjaman dan pengakhiran pinjaman.
(2) Perjanjian

Internasional

mengenai

hibah

luar

negeri

yang

dimintakan persetujuan kepada DPR sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 10 ayat (1) huruf f, meliputi antara lain substansi
perjanjian, jenis, dan jumlah hibah luar negeri.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pinjaman dan/atau hibah luar
negeri diatur dengan Undang-Undang.
Pasal 10B
(1) Dalam

pembahasan

Rancangan

Undang-Undang

tentang

Pengesahan Perjanjian Internasional bersama dengan Pemerintah,


DPR dapat mengajukan usul Pensyaratan, dan Pernyataan
terhadap materi Perjanjian Internasional sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 10 ayat (1).
(2) Usul Pensyaratan dan Pernyataan sebagaimana dimaksud pada
ayat

(1)

dapat

diajukan

terhadap

substansi

Perjanjian

Internasional yang tidak sejalan dengan kepentingan nasional.

87

Pasal 10C
DPR berhak tidak memberikan persetujuan terhadap rancangan
undang-undang

tentang

pengesahan

Perjanjian

Internasional

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) jika merugikan


kepentingan nasional.
j. Ketentuan Pasal 12 ayat (1) dan ayat (2) diubah, sehingga Pasal 12
dirumuskan sebagai berikut:
(1) Dalam mengesahkan suatu perjanjian internasional, lembaga
pemrakarsa yang terdiri atas lembaga negara dan lembaga
pemerintah,

baik

kementerian

maupun

nonkementerian,

menyiapkan salinan naskah perjanjian, terjemahan, rancangan


undang-undang, naskah akademik atau rancangan peraturan
presiden tentang pengesahan perjanjian internasional dimaksud
serta dokumen-dokumen lain yang diperlukan.
(2) Lembaga pemrakarsa, yang terdiri atas lembaga negara dan
lembaga pemerintah, baik kementerian maupun nonkementerian,
mengoordinasikan

pembahasan

rancangan

dan/atau

materi

permasalahan dimaksud dalam ayat (1) yang pelaksanaannya


dilakukan bersamaan dengan pihak-pihak terkait.
(3) Prosedur

pengajuan

pengesahan

perjanjian

internasional

dilakukan melalui Menteri untuk disampaikan kepada Presiden.


k. Ketentuan Pasal 13 diubah dengan rumusan sebagai berikut:
Setiap undang-undang atau peraturan presiden tentang pengesahan
perjanjian

internasional

ditempatkan

dalam

Lembaga

Negara

Republik Indonesia.
l. Di antara Pasal 17 dan Pasal 18 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal
17A dengan rumusan sebagai berikut:
(1) Lembaga

negara,

nonkementerian,

dan

kementerian
pemerintah

maupun
daerah

yang

lembaga
membuat

88

Perjanjian Internasional menyerahkan naskah asli Perjanjian


Internasional kepada Menteri.
(2) Naskah asli Perjanjian Internasional sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) harus diserahkan paling lambat 30 (tiga puluh)
hari kerja setelah penandatanganan Perjanjian Internasional.
2. Pasal II Penutup
Sebagai konsekuensi dari penggantian norma Undang-Undang Nomor
24 Tahun 2000, maka dalam penutup penggantian undang-undang
tersebut dirumuskan dua hal, yaitu:
a. Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
b. Agar

setiap

orang

mengetahuinya,

memerintahkan

pengundangan

Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara


Republik Indonesia.

89

BAB VI
PENUTUP
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD
1945)

memuat

baik

cita-cita,

dasar-dasar,

maupun

prinsip-prinsip

penyelenggaraan negara. Cita-cita pembentukan negara dengan istilah


tujuan nasional, tertuang dalam alinea keempat, yaitu (a) melindungi
segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia; (b)
memajukan kesejahteraan umum; (c) mencerdaskan kehidupan bangsa;
dan

(d)

ikut

melaksanakan

ketertiban

dunia

yang

berdasarkan

kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Untuk mencapai citacita tersebut Pemerintah Negara Republik Indonesia sebagai bagian dari
masyarakat

internasional

melakukan

hubungan

dan

kerja

sama

internasional yang mewujudkan dalam bentuk perjanjian internasional.


Beberapa konsepsi dasar yang perlu menjadi pertimbangan untuk
penyelenggaran perjanjian internasional adalah sebagai berikut :
a. memperjelas dan mempertegas asas dan prinsip negara dalam
melakukan perjanjian internasional.
b. mempertegas keterlibatan DPR tersebut dalam pembuatan perjanjian
internasional;
c. membuat batasan dan acuan yang tegas dalam pembuatan setiap
perjanjian internasional di bidang-bidang tertentu, terutama di
bidang

perdagangan dan sumber daya alam, yang selama ini

dianggap kurang menguntungkan negara;


d. membuat batasan dan acuan tegas dalam pembuatan perjanjian
internasional

yang

terkait

dengan

pinjaman

yang

dilakukan

pemerintah dan hibah yang diterima pemerintah.


e. melibatkan

pemerintah

daerah

dan

masyarakat

daerah

dalam

pembuatan perjanjian internasional yang memiliki implikasi langsung


maupun tidak langsung terhadap daerah yang bersangkutan;
f. mempertegas partisipasi masyarakat dalam pembuatan perjanjian
internasional; dan

90

g. membuka

akses

bagi

publik

mengenai

dokumen

perjanjian

internasional.
Dengan dibuatnya penggantian atas undang-undang ini diharapkan
bahwa perjanjian internasional dapat dilaksanakan untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat, dan melindungi segenap bangsa dari segala bentuk
penjajahan dalam bentuk apapun dan keterpurukan.

91

Anda mungkin juga menyukai