Oleh:
Elizabeth 1810412057
Richo Sunjaya 1810412132
Salsabilla Basuki 1810412152
Clariza Farell 1810412154
Kinanti Nur Putri Andina 1810412155
Retha Syalva 1810412162
Memenuhi tugas kelompok untuk E-learning mata kuliah Teori Hubungan Internasional II yang
diampu oleh Dosen Rizky Hikmawan.
PENDAHULUAN
PEMBAHASAN
Sikap AS yang sangat disayangkan oleh berbagai pihak hanyalah untuk membela
kepentingan ekonominya yang antara lain tergantung pada industri bioteknologi. Dalam
perundingan tingkat internasional peranan AS begitu eksis dan dominan, terlebih setelah
bubarnya Uni Soviet menjadi sebelas republik, maka tak ada lagi negara yang mampu
menyaingi dominasi AS. Begitu pula dalam KTT Bumi tersebut, sikap lunak AS sangat
diperlukan.
Namun ternyata sikap AS jauh dari apa yang diharapkan, tak heran jika citra AS
sebagai “pemimpin dunia” langsung merosot turun. Kenyataannya AS lebih mementingkan
persoalan lokal daripada persoalan global. Kepentingan global diabaikan hanya karena
kekhawatiran akan merosotnya perkembangan ekonomi lokal. Jika sikap AS mengecewakan
negara-negara lainnya, berbeda dengan Jepang. Dalam pertemuan tersebut delegasi Jepang
mengumumkan akan memberikan bantuan dana sebesar 7,7 miliar dollar AS untuk
kepentingan lingkungan dan pembangunan di negara-negara yang sedang berkembang.
Jepang selama ini merupakan salah satu negara yang dapat dikatakan “merusak”
lingkungan global. Selain produksi emisi karbonnya yang cukup besar, juga merupakan
konsumen kayu tropis nomor satu. Memang sudah sewajarnya Jepang berpartisipasi aktif
dalam program pemeliharaan lingkungan global. Tahun 1990 tim penasehat urusan hutan
tropis yang diketuai oleh mantan Menlu Saburo Okita, berhasil mengajukan proposal Global
Green Conservation yang berjangka sepuluh tahun. Proposal tersebut mencangkup tiga jenis
aksi yang perlu di tempuh Pemerintah Jepang:
Sikap Negara-negara industri maju lainnya ternyata cukup melegakan, yaitu dengan
adanya kesediaan untuk memberikan bantuan sekitar 7 persen dari GDP-nya untuk kegiatan
pembangunan dan lingkungan di negara-negara sedang berkembang. Untuk mengendalikan
degredasi kualitas lingkungan planet bumi diperlukan adanya kemitraan global (global
partnership).
Bagaimanapun KTT bumi perlu diikuti berbagai aksi, jangan sekedar menjadi arena
adu slogan dan hal-hal yang bersifat lips-service. KTT bumi merupakan langkah awal untuk
secara bersama-sama mengamankan kondisi planet bumi. Dalam hal ini patut di garis bawahi
salah satu bagian pidato Presiden Soeharto dalam sidang pleno KTT bumi tahun 1992, yang
menyebutkan bahwa kelangsungan hidup bumi memerlukan upaya global, karena semua
negara, tanpa kecuali terancam malapetaka lingkungan.
Konsumen terbesar kayu tropis adalah negara-negara industri maju. Begitu pula yang
mengkonsumsi bahan bakar fosil (minyak bumi, gas dan batubara), yaitu sekita 70 persen
dari konsumsi dunia. Selama ini negara-negara sedang berkembang hanya dijadikan
“kambing hitam” berbagai kerusakan lingkungan. Padahal yang rakus dalam mengeksploitasi
sumber daya alam dan lingkungan tersebut, tak lain negara-negara maju, dan sudah
dilakukannya sejak ratusan tahun yang lalu. Negara-negara industri maju sudah “kenyang”
dalam mengkonsumsi sumberdaya alam, sudah selayaknya bisa memikul tanggung jawab
yang lebih besar terhadap upaya pemeliharaan dan perbaikan kualitas lingkungan.
Negara-negara industri maju memiliki dana, teknologi dan kelembagaan yang cukup
memadai. Sidang-sidang dalam KTT bumi yang berlangsung hampir 19 tahun yang lalu
tersebut, diwarnai perdebatan yang sengit, terutama antara delegasi negara-negara sedang
berkembang dan delegasi negara-negara industri maju. Perdebatan yang memakan waktu
ratusan jam itu, menghasilkan kesepakatan yang dihimpun dalam Agenda 21, yang
diharapkan diwujudkan oleh masing-masing negara. Agenda 21 mencangkup Principles of
Forestry (Prinsip-prinsip Kehutanan), yang berkaitan erat dengan kepentingan negara kita.
Dalam KTT bumi, hutan tropis banyak dibicarakan, karena fungsinya sebagai “paru-
paru” bumi. Untuk merealisasikan berbagai program yang tercantum dalam Agenda 21,
diperlukan dana yang harus tersedia secara konstan. Sewajarnya negara-negara industri maju
memprakarsai pengumpulan dana lingkungan global tersebut. Kini, hampir 19 tahun
kemudian, kerusakan hutan tropis nyaris tak terkendali, kondisi lingkungan hidup semakin
merana, dan bumi pun makin tak nyaman.
Selain itu terdapat dua perjanjian yang diperkenalkan dan dibuka untuk
ditandatangani oleh para negara peserta:
● Konvensi Keaneka Ragaman Hayati
▪ Konvensi ini berisi tentang kesepakatan negara-negara tentang pentingnya
menjaga keanekaragaman hayati. Konservasi dan pemanfaatan sumber daya
hayati secara lestari menjadi tanggung jawab negara, walaupun negara
memiliki hak berdaulat atas sumber daya hayati yang dimiliki.
▪ Kesadaran negara-negara tentang pentingnya konservasi dan pemanfaatan
sumber daya secara lestari mampu menekan dampak terhadap perubahan
iklim atau isu-isu lingkungan lainnya karena fungsi dari keanekaragaman
hayati adalah untuk memelihara sistem-sistem kehidupan biosfer.
PENUTUP
3.1.Kesimpulan
3.2.Saran
Pembuatan makalah ini merupakan makalah yang mengangkat suatu isu yang
mungkin tidak jarang masyarakat pernah ketahui. Informasi-informasi yang kongkrit dan
kompleks untuk mendukung makalah ini terbentuk dari berbagai aspek juga cukup sulit
ditemukan. Maka dari itu kami penulis mengharapkan semoga makalah ini dapat menjadi
suatu pedoman atau bantuan untuk penulisan makalah terkait selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
1. Lisbet. 2012. "Green Economy dan konferensi tingkat tinggi Rio +20".
http://berkas.dpr.go.id/puslit/files/info_singkat/Info%20Singkat-IV-12-II-P3DI-Juni-2012-69.pdf