Anda di halaman 1dari 10

KONFERENSI RIO DE JENAIRO

Oleh:

Elizabeth 1810412057
Richo Sunjaya 1810412132
Salsabilla Basuki 1810412152
Clariza Farell 1810412154
Kinanti Nur Putri Andina 1810412155
Retha Syalva 1810412162

Memenuhi tugas kelompok untuk E-learning mata kuliah Teori Hubungan Internasional II yang
diampu oleh Dosen Rizky Hikmawan.

Prodi Hubungan Internasional


Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
UPN “Veteran” Jakarta
2020
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


KTT Bumi atau yang juga dikenal dengan nama Konferensi PBB tentang
Lingkungan dan Pembangunan (UNCED), KTT Rio dan Konferensi Rio, merupakan
salah satu konferensi utama Perserikatan Bangsa-Bangsa yang diadakan di Rio de
Janeiro, Brasil dari tanggal 3 Juni sampai 14 Juni 1992. Konferensi ini yang bernama
konferensi PBB tentang lingkungan dan pembangunan (United Nations Conference on
Environtment and Deveploment) terkenal juga dengan nama KTT Bumi karena yang
hadir adalah para kepala Negara dan pemerintahan dan yang dibicarakan adalah masalah
keselamatan bumi.
KTT Bumi yang dihadiri oleh lebih dari 100 Kepala Negara dan kepala pemerintahan
telah menghasilkan (1) Deklarasi Rio, (2) Konvensi tentang Perubahan Iklim (The
Framework Convention on Climate Change), (3) Konvensi Keanekaragaman Hayati (The
Convention on Biological Diversity), (4) Prinsip tentang Hutan dan (5) Agenda 21.
Deklarasi Rio mengandung prinsip-prinsip kesepakatan. Dalam deklarasi dinyatakan
bahwa tujuan KTT Bumi ialah untuk mengembangkan kemitraan global baru yang adil.
Deklarasi itu menyatakan bahwa manusia adalah pusat perhatian pembangunan
berkelanjutan. Hal ini menunjukkan dengan jelas pandangan antroposentris (tinjauan
memusat pada manusia) Deklarasi Rio.
Prinsip tentang hutan mencakup semua jenis hutan, yaitu hutan boreal (hutan di
daerah utara), hutan iklim sedang, hutan tropik dan hutan austral (hutan di daerah
selatan). Dalam prinsip ini diakui fungsi ganda hutan, yaitu untuk memenuhi kebutuhan
sosial, ekonomi, ekologi, kultural dan spritual generasi sekarang maupun generasi yang
akan datang. Berdasarkan prinsip ini tidak dibenarkan untuk hanya menperhatikan hutan
tropic saja, baik yang berkaitan dengan pemanasan global maupun kepunahan jenis,
melainkan harus semua jenis hutan.
1.2. Tujuan
Tujuan dari KTT adalah untuk menghasilkan agenda lanjutan, sabagai sebuah
perencanaan bagi gerakan internasional dalam menghadapi isu-isu lingkungan hidup dan
pembangunan. Dan perencanaan tersebut akan membantu memberi arahan bagi suatu
kerja sama internasional serta kebijakan pembangunan ke depan.
Konferensi ini menyepakati bahwa konsep pembangunan berkelanjutan merupakan
tujuan setiap manusia. Karena bagaimana pun, untuk menyatukan dan menyeimbangkan
perhatian di bidang ekonomi, sosial, dan lingkungan membutuhkan cara pandang baru.
BAB II

PEMBAHASAN

2.1.Konferensi Tingkat Tinggi Bumi (KTT) Rio De Janeiro

Kota Rio de Janeiro di Brasil mencatat sejarah penting, karena pernah


menyelenggarakan KTT Bumi (Konferensi Tingkat Tinggi Bumi) yang dihadiri oleh utusan-
utusan dari 165 negara, pada bulan Juni 1992, atau hampir 19 tahun yang lalu.

172 negara yang berpartisipasi telah mengirimkan 108 kepala negara atau kepala


pemerintahannya. Disertai pula dengan kehadiran 2.400 perwakilan dari organisasi non-
pemerintah dan 17.000 orang lainnya pada kegiatan paralel organisasi non-pemerintah Forum
Global yang memiliki status konsultatif.

Berbagai isu yang dibahas dalam konferensi ini adalah:

● Pengawasan sistematis pada pola produksi, khususnya pada produksi


komponen beracun seperti timbal dalam bensin atau limbah radioaktif.
● Sumber-sumber energi alternatif yang menggantikan penggunaan bahan bakar
fosil yang terkait dengan perubahan iklim global.
● Ketergantungan baru pada sistem transportasi publik untuk mengurangi emisi
gas buang kendaraan, kemacetan di kota-kota dan masalah kesehatan yang
disebabkan oleh polusi udara dan asap.
● Kelangkaan air

Sejumlah kota juga dianugerahi dengan Penghargaan Pemerintah Lokal atas program


lingkungan yang inovatif. Beberapa kota tersebut adalah Sudbury di Kanada yang terkenal
dengan program ambisius mereka untuk merehabilitasi kerusakan lingkungan akibat industri
pertambangan lokal. Kota lainnya adalah Austin di Amerika Serikat atas idenya membuat
strategi bangunan hijau, serta Kitakyushu di Jepang atas idenya dalam menggabungkan
pendidikan internasional dan komponen pelatihan ke dalam program kontrol polusi.

Dari berbagai perundingan dan persidangan, dihasilkan berbagai konvensi


menyangkut lingkungan hidup. Sebagian besar negara ikut menandatangani untuk segera
diratifikasi di negara masing-masing. Namun ternyata ada juga negara yang terang-terangan
menolak salah satu konvensi, misalnya Amerika Serikat dengan tegas menolak
penandatanganan konvensi mengenai keanekaragaman hayati (convention on biodiversity).

Sikap AS yang sangat disayangkan oleh berbagai pihak hanyalah untuk membela
kepentingan ekonominya yang antara lain tergantung pada industri bioteknologi. Dalam
perundingan tingkat internasional peranan AS begitu eksis dan dominan, terlebih setelah
bubarnya Uni Soviet menjadi sebelas republik, maka tak ada lagi negara yang mampu
menyaingi dominasi AS. Begitu pula dalam KTT Bumi tersebut, sikap lunak AS sangat
diperlukan.

Namun ternyata sikap AS jauh dari apa yang diharapkan, tak heran jika citra AS
sebagai “pemimpin dunia” langsung merosot turun. Kenyataannya AS lebih mementingkan
persoalan lokal daripada persoalan global. Kepentingan global diabaikan hanya karena
kekhawatiran akan merosotnya perkembangan ekonomi lokal. Jika sikap AS mengecewakan
negara-negara lainnya, berbeda dengan Jepang. Dalam pertemuan tersebut delegasi Jepang
mengumumkan akan memberikan bantuan dana sebesar 7,7 miliar dollar AS untuk
kepentingan lingkungan dan pembangunan di negara-negara yang sedang berkembang.

Jepang selama ini merupakan salah satu negara yang dapat dikatakan “merusak”
lingkungan global. Selain produksi emisi karbonnya yang cukup besar, juga merupakan
konsumen kayu tropis nomor satu. Memang sudah sewajarnya Jepang berpartisipasi aktif
dalam program pemeliharaan lingkungan global. Tahun 1990 tim penasehat urusan hutan
tropis yang diketuai oleh mantan Menlu Saburo Okita, berhasil mengajukan proposal Global
Green Conservation yang berjangka sepuluh tahun. Proposal tersebut mencangkup tiga jenis
aksi yang perlu di tempuh Pemerintah Jepang:

1. Memulihkan kembali kondisi hutan tropis yang terlanjur rusak,


2. Membantu Negara penghasil kayu tropis agar mengusahakan hutan tanpa merusak,
3. Menjaga agar keragaman spesies pepohonan hutan tropis tidak menyusut.

Sikap Negara-negara industri maju lainnya ternyata cukup melegakan, yaitu dengan
adanya kesediaan untuk memberikan bantuan sekitar 7 persen dari GDP-nya untuk kegiatan
pembangunan dan lingkungan di negara-negara sedang berkembang. Untuk mengendalikan
degredasi kualitas lingkungan planet bumi diperlukan adanya kemitraan global (global
partnership).

Kerusakan lingkungan di negara-negara sedang berkembang memang erat kaitannya


dengan tingkat kesejahteraan penduduk yang belum begitu baik. Dengan demikian salah satu
langkah untuk memelihara lingkungan ialah dengan memberantas kemiskinan. Selain itu,
langkah-langkah seperti perbaikan sistem ekonomi dan perdagangan internasional, serta
menurunkan tingkat konsumsi sumber daya alam, juga amat menunjang. Kota Rio de Jeneiro
yang sempat menghangat karena menjadi focus of interest, kondisinya kembali seperti
semula, berbagai pesan dan kesepakatan yang dihasilkan tidak lantas menjadi “dingin” dan
“terpendam”.

Bagaimanapun KTT bumi perlu diikuti berbagai aksi, jangan sekedar menjadi arena
adu slogan dan hal-hal yang bersifat lips-service. KTT bumi merupakan langkah awal untuk
secara bersama-sama mengamankan kondisi planet bumi. Dalam hal ini patut di garis bawahi
salah satu bagian pidato Presiden Soeharto dalam sidang pleno KTT bumi tahun 1992, yang
menyebutkan bahwa kelangsungan hidup bumi memerlukan upaya global, karena semua
negara, tanpa kecuali terancam malapetaka lingkungan.

Selanjutnya Presiden Soeharto menyatakan, bahwa negara industri maju tetap


bersikeras memaksa syarat-syaratnya, meski kenyataan menunjukkan bahwa pola konsumsi
mereka berlipat, lebih boros dan lebih banyak membuang limbah dari pada negara
berkembang. Penduduk negara-negara industri maju rata-rata mengkonsumsi sumberdaya
alam sekitar 40 kali lipat tingkat konsumsi penduduk negara-negara sedang berkembang.

Konsumen terbesar kayu tropis adalah negara-negara industri maju. Begitu pula yang
mengkonsumsi bahan bakar fosil (minyak bumi, gas dan batubara), yaitu sekita 70 persen
dari konsumsi dunia. Selama ini negara-negara sedang berkembang hanya dijadikan
“kambing hitam” berbagai kerusakan lingkungan. Padahal yang rakus dalam mengeksploitasi
sumber daya alam dan lingkungan tersebut, tak lain negara-negara maju, dan sudah
dilakukannya sejak ratusan tahun yang lalu. Negara-negara industri maju sudah “kenyang”
dalam mengkonsumsi sumberdaya alam, sudah selayaknya bisa memikul tanggung jawab
yang lebih besar terhadap upaya pemeliharaan dan perbaikan kualitas lingkungan.

Negara-negara industri maju memiliki dana, teknologi dan kelembagaan yang cukup
memadai. Sidang-sidang dalam KTT bumi yang berlangsung hampir 19 tahun yang lalu
tersebut, diwarnai perdebatan yang sengit, terutama antara delegasi negara-negara sedang
berkembang dan delegasi negara-negara industri maju. Perdebatan yang memakan waktu
ratusan jam itu, menghasilkan kesepakatan yang dihimpun dalam Agenda 21, yang
diharapkan diwujudkan oleh masing-masing negara. Agenda 21 mencangkup Principles of
Forestry (Prinsip-prinsip Kehutanan), yang berkaitan erat dengan kepentingan negara kita.
Dalam KTT bumi, hutan tropis banyak dibicarakan, karena fungsinya sebagai “paru-
paru” bumi. Untuk merealisasikan berbagai program yang tercantum dalam Agenda 21,
diperlukan dana yang harus tersedia secara konstan. Sewajarnya negara-negara industri maju
memprakarsai pengumpulan dana lingkungan global tersebut. Kini, hampir 19 tahun
kemudian, kerusakan hutan tropis nyaris tak terkendali, kondisi lingkungan hidup semakin
merana, dan bumi pun makin tak nyaman.

Hasil Dari Konferensi Rio de Janeiro

Konvensi Keanekaragaman Hayati diperkenalkan di KTT Bumi, serta menjadi awal


dari pendefinisian kembali berbagai tindakan yang mampu mencegah kerusakan wilayah-
wilayah alam dan pertumbuhan yang tidak ekonomis.

Konferensi Rio de Janeiro menghasilkan lima dokumen, yaitu :

a) Deklarasi Rio de Janeiro, tentang Lingkungan Hidup dan Pembangunan (The


Rio de Janeiro Declaration on Environment and Development )  juga dikenal
dengan “Earth Chapter” terdiri atas 27 prinsip yang memacu dan
memprakarsai kerja sama internasional, perlunya pembangunan dilanjutkan
dengan prinsip perlindungan lingkungan, dan perlu adanya analisis mengenai
dampak lingkungan.
b) Konvensi Perubahan Iklim / “The Framework Convention on Climate Change
(FCCC)”: Yang memuat kesediaan negara-negara maju untuk membatasi
emisi gas rumah kaca dan melaporkan secara terbuka mengenai kemajuan
yang diperolehnya dalam hubungan tersebut.
c) Konvensi Keanekaragaman Hayati / “The Convention on Biological
Diversity”: yang memberikan landasan untuk kerjasama internasional dalam
rangka konservasi spesies dan habitat.
d) Pernyataan Prinsip-Prinsip Kehutanan: Prinsip-prinsip yang telah mengatur
kebijakan nasional dan internasional dalam bidang kehutanan.
e) “Agenda 21” atau Komisi Pembangunan Berkelanjutan/Commission on
Sustanable Development (CSD): Komisi ini di bentuk pada bulan Desember
1992. Tujuan CSD adalah untuk memastikan keefektifan tindak lanjut KTT
Bumi.

Selain itu terdapat dua perjanjian yang diperkenalkan dan dibuka untuk
ditandatangani oleh para negara peserta:
● Konvensi Keaneka Ragaman Hayati
▪ Konvensi ini berisi tentang kesepakatan negara-negara tentang pentingnya
menjaga keanekaragaman hayati. Konservasi dan pemanfaatan sumber daya
hayati secara lestari menjadi tanggung jawab negara, walaupun negara
memiliki hak berdaulat atas sumber daya hayati yang dimiliki.
▪ Kesadaran negara-negara tentang pentingnya konservasi dan pemanfaatan
sumber daya secara lestari mampu menekan dampak terhadap perubahan
iklim atau isu-isu lingkungan lainnya karena fungsi dari keanekaragaman
hayati adalah untuk memelihara sistem-sistem kehidupan biosfer.

● Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC)

Namun terdapat banyak kritik yang menyatakan bahwa berbagai hal


fundamental dalam perjanjian tersebut seperti mengentaskan kemiskinan dan
membersihkan lingkungan belum benar-benar direalisasikan.

Pada bulan Juni 2012, diadakan Konferensi PBB tentang Pembangunan


Berkelanjutan juga di Rio de Janeiro, untuk menindaklanjuti KTT Bumi setelah dua
puluh tahun. Kesepakatan yang telah disepakati didalam KTT Bumi harus terus
dikawal oleh seluruh negara di dunia agar kelestarian lingkungan dapat terjaga dan
masa depan manusia dapat terjamin. Selain itu, diperlukan juga peningkatan
kesadaran tiap individu untuk berperan aktif menjaga lingkungan.
BAB III

PENUTUP

3.1.Kesimpulan

KTT Bumi atau Konferensi PBB tentang Lingkungan dan Pembangunan


(UNCED), atau Konferensi Rio de Janeiro, merupakan salah satu konferensi
utama PBB yang diadakan di Rio de Janeiro, Brasil dari tanggal 3 - 14 Juni 1992. Konferensi
ini terkenal juga dengan nama KTT Bumi karena yang hadir adalah para kepala Negara dan
pemerintahan dan yang dibicarakan adalah masalah keselamatan bumi.
Konferensi ini banyak berbicara mengenai isu-isu lingkungan di dunia internasional
seperti pengawasan pada pola produksi, khususnya pada produksi komponen beracun
seperti limbah radioaktif, mengenai sumber-sumber energi alternatif yang menggantikan
penggunaan bahan bakar fosil yang terkait dengan perubahan iklim global, ketergantungan
baru pada sistem transportasi publik untuk mengurangi emisi gas buang kendaraan,
kemacetan di kota-kota dan masalah kesehatan yang disebabkan oleh polusi udara dan asap,
kelangkaan air, serta mendiskusikan bagaimana pembangunan berkelanjutan secara global
dengan memperhitungkan kondisi lingkungan.
Konferensi ini, serta menghadapi perdebatan sengit, akhirnya menghasilkan (1)
Deklarasi Rio, (2) Konvensi tentang Perubahan Iklim (The Framework Convention on
Climate Change), (3) Konvensi Keanekaragaman Hayati (The Convention on Biological
Diversity), (4) Prinsip Kehutanan dan (5) Agenda 21.

3.2.Saran

Pembuatan makalah ini merupakan makalah yang mengangkat suatu isu yang
mungkin tidak jarang masyarakat pernah ketahui. Informasi-informasi yang kongkrit dan
kompleks untuk mendukung makalah ini terbentuk dari berbagai aspek juga cukup sulit
ditemukan. Maka dari itu kami penulis mengharapkan semoga makalah ini dapat menjadi
suatu pedoman atau bantuan untuk penulisan makalah terkait selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA

1. Lisbet. 2012. "Green Economy dan konferensi tingkat tinggi Rio +20".
http://berkas.dpr.go.id/puslit/files/info_singkat/Info%20Singkat-IV-12-II-P3DI-Juni-2012-69.pdf

2. Tadaru, Karenina. 2014. "KTT Bumi Rio De Janeiro".


https://www.academia.edu/10294698/KTT_Bumi_Rio_de_Janeiro

Anda mungkin juga menyukai