Mata Kuliah ini membahas tentang HATAH INTERN dan HATAH EXTERN
(Hukum Perdata Internasional), beserta dengan masing-masing kasus dan
penyelesainnya baik dalam maupun HATAH INTERN maupun Hukum Perdata
Internasional (HPI) / HATAH EXTERN.
6. CAPAIAN PEMBELAJARAN :
B. KATA PENGANTAR
Mata Kuliah HATAH ini pembagiannya terdiri atas HATAH INTERN yang
berlaku secara intern dilingkungan hukum di Indonesia beserta contoh-contoh
kasusnya dan HATAH EXTERN atau lebih dikenal sebagai Hukum Perdata
Internaisonal (HPI) beserta contoh-contoh kasus-kasusnya dan HPI ini sebenarnya
merupakan hukum nasionalnya masing-masing Negara karena adanya titik pertalian
antara hukum nasionalnya masing-masing warga Negara ( ) dinamakan HPI. Semoga
mahasiswa dapat memahami Mata Kuliah Hukum Antar Tata Hukum ini.
Terima Kasih
Tangerang Selatan
Penyusun
Dadang Gandhi.
S.H.,M.H.
C. DAFTAR ISI
b. Kata Pengantar
c. Daftar Isi
a) Tujuan Pembelajaran
b) Uraian Materi
c) Latihan Soal/Tugas
d) Daftar Pustaka
PERTEMUAN 13
SEJARAH PERKEMBANGAN HUKUM PERDATA INTERNASIONAL
INDONESIA
A. TUJUAN PEMBELAJARAN
Dalam bab ini akan dijelaskan mengenai sejarah perkembangan HPI Indonesia,
sehingga mahasiswa mampu:
1. Memahami perkembangan HPI Indonesia dengan segala permasalahannya.
2. Memberikan Pemahaman dasar hukum dengan segala penyelesaiannya terkait
dengan HPI Indonesia.
B. URAIAN MATERI
B. URAIAN MATERI
Sekali lagi ditegaskan bahwa hukum perdata internasional merupakan bagian dari
hukum perselisihan dan hal yang menjadi pembeda utama HPI dibandingkan dengan
sub bidang hukum perselisihan lainnya adalah HPI ini memiliki titik taut berupa
adanya unsur asing di dalam peristiwa HPI. Pertumbuhan HPI Indonesia memiliki
sejarah yang unik. Pada dasarnya pemikiran HPI di Indonesia berkembang dari
konsepsi hukum perdata kuasi internasional, sebelumnya konsep yang diperkenalkan
oleh Andre de la Porte, ketika Indonesia masih merupakan negara jajahan Belanda
(Hindia Belanda). Konsep ini di perkenalkan oleh pemerintah Belanda dengan melalui
sistem yang dikenal dengan sebagai hukum antargolongan atau hukum antar
komunitas.
Setelah Indonesia merdeka pada tahun 1945 dan menjadi sebuah negara berdaulat,
relevasi dari hukum antargolongan sebenarnya menjadi berakhir dan digantikan
perannya oleh hukum perdata internasional dalam arti yang sempit (hanya mengatur
hubungan-hubungan hukum yang melibatkan WNI Indonesia dengan WNI asing).
Hubungan antar kelompok penduduk di Indonesia bukan lagi dibedakan karena
perbedaan golongan penduduk, melainkan karena pembedaan kewarganegaraan.
Artinya, hubungan ini berubah menjadi hubungan yang bersifat transnasional yang
mengandung unsur asing (foreign elment).
Pasal 16
Pasal ini mengatur tentang status kebendaan dari benda tetap. Asas yang
dipergunakan di dalam pasal ini adalah Asas lexsitus atau lex rei sitae. Artinya
ukuran-ukuran untuk menentukan apa saja yang dapat dikategorikan sebagai
benda tetap, hak kebendaan atas benda tetap, serta akibat-akibat hukumnya,
harus ditetapkan berdasarkan sistem hukum dari tempat benda berada/terletak.
Contoh:
Seorang warga negara Inggris akan terikat pada undang-undang Pokok
Agraria Indonesia dan segala peraturan pelaksanaannya apabila ia ingin
menguasai atau memiliki hak tertentu atas tanah di Indonesia. Dengan
demikian, ia tidak dapat menguasai tanah hak milik, misalnya, karena hukum
Indonesia tentang hak milik atas tanah melarang pemilikan tanah oleh orang
asing dengan alasan hak milik.
Pasal 18
C. KESIMPULAN
1. Hukum perdata internasional merupakan bagian dari hukum perselisihan. inti dari
hukum perselisihan adalah serangkaian asas hukum, kaidah hukum, atau peraturan
yang berfungsi untuk menentukan hukum yang seharusnya berlaku untuk
menyelesaikan perkara jika di dalam perkara tersebut ternyata terkait pada lebih
dari satu sistem hukum/kaidah hukum/peraturan. Sedangkan HPI adalah bagian
dari hukum perselisihan yang memiliki kekhasan (titik taut primer) berupa adanya
unsur asing (Foreign Element) di dalam masalah hukum yang dihadapinya.
2. Penyelesaian perkara hukum perselisihan (termasuk juga penyelesaian perkara
HPI) harus dilakukan dengan menggunakan metode hukum perselisihan. Metode
ini melibatkan Pranata hukum yang digunakan sebagai titik taut dan kualifikasi.
tujuan dari penggunaan metode ini adalah untuk menentukan hukum yang
seharusnya berlaku (the power law/ the governing law/ lex causae) dari perkara.
3. Hukum perdata internasional di Indonesia tumbuh sejak masa pemerintahan Hindia
Belanda. Cikal bakal HPI dalam konteks negara jajahan adalah bentuk hukum
antargolongan. Lahirnya hukum antar Golongan ini adalah karena adanya Pasal
131 AB Indonesia yang membagi penduduk di Hindia Belanda ke dalam tiga
golongan penduduk, yakni Eropa atau yang disamakan Timur Asing dan Bumi
Putra. Masing-masing golongan penduduk itu tunduk pada sistem hukum yang
berbeda. Golongan penduduk Eropa atau yang disamakan tunduk pada hukum
perdata barat; golongan penduduk Timur asing tunduk pada hukum adat masing-
masing (dan sejak tahun 1925 ditundukan pada hukum perdata barat dengan
beberapa pengecualian); dan golongan penduduk Bumi Putera tunduk pada hukum
adat masing-masing. Hubungan antargolongan penduduk itu melahirkan peristiwa
hukum antargolongan. Sejak Indonesia merdeka, pengelompokan berdasarkan
golongan penduduk ini menjadi tidak relevan, mengingat Indonesia dan Belanda
kemudian sama-sama berkedudukan sebagai negara merdeka yang berkedaulatan.
Oleh karena itu, hubungan hukum antara orang-orang Belanda dan Indonesia itu
(dan hubungan hukum lain yang memiliki sifat transnasional) diatur dengan
hukum perdata internasional.
4. Indonesia tidak memiliki peraturan yang secara komprehensif mengatur kaidah
HPI. Hingga saat ini, peraturan utama yang dipergunakan untuk menyelesaikan
perkara HPI termuat di dalam Pasal 16-18 Algemene bepalingen Van Wetgeving
Voor Indonesi. Ketiga pasal tersebut mengatur tentang hukum yang dipergunakan
untuk menyelesaikan masalah status dan kewenangan personal (berdasarkan asas
kewarganegaraan); status hukum benda terhadap (berdasarkan asas Lex Situs); dan
status hukum dari suatu perbuatan hukum/hubungan hukum (berdasarkan asas Lex
Loci Actus). Ketiga pasal itulah yang hingga saat ini menjadi dasar-dasar untuk
menyelesaikan masalah-masalah HPI. Sedangkan kaidah HPI dari beberapa
masalah transnasional yang bersifat khusus (misalnya, perkawinan di luar negeri)
diatur secara khusus di dalam peraturan-peraturan teknis terkait (misalnya
undang-undang perkawinan).
D. SOAL LATIHAN/TUGAS
1. Menurut pendapat anda saudara kenapa sampai sekarang ini belum ada suatu peraturan
perundang-undangan di Indonesia yang mengatur bagaimana penyelesaian terkait
dengan KPI di Indonesia?
2. coba saudara berikan analisisnya dari pasal 16 sampai dengan pasal 18 AB, terkait
dengan hukum perselisihan !
E. DAFTAR PUSTAKA
13