Anda di halaman 1dari 8

PERTEMUAN 13

SEJARAH PERKEMBANGAN HUKUM PERDATA INTERNASIONAL


INDONESIA

A. IDENTITAS MATA KULIAH

1. PROGRAM STUDI : ILMU HUKUM

2. NAMA MATA KULIAH : HUKUM ANTAR TATA HUKUM

3. JUMLAH SKS : 2 SKS

4. MATA KULIAH PRASYARAT :

5. DESKRIPSI MATA KULIAH :

Mata Kuliah ini membahas tentang HATAH INTERN dan HATAH EXTERN
(Hukum Perdata Internasional), beserta dengan masing-masing kasus dan
penyelesainnya baik dalam maupun HATAH INTERN maupun Hukum Perdata
Internasional (HPI) / HATAH EXTERN.

6. CAPAIAN PEMBELAJARAN :

Setelah mahasiswa mempelajari mata kuliah HATAH, diharapkan dapat


memahami perumusan HATAH INTERN beserta bagian-bagaiannya, memahami
HPI bererta kasus-kasusnya, dan bagaimana cara memahami dalam penyelesaian
kasus-kasus yang berkaitan dengan HATAH INTERN dan HPI (Hukum Perdata
Internasional).

7. PENYUSUN : DADANG GANDHI. S.H.,M.H.

B. KATA PENGANTAR

Setiap mahasiswa Program Studi S1 Ilmu Hukum sebelum menyelesaikan


pendidikan S1 wajib menyelesaikan tugas penyusunan skripsi salah satu mata kuliah
pada Program Studi S1 Ilmu Hukum yaitu Hukum Antar Tata Hukum (HATAH) dan
Mata Kuliah HATAH ini merupakan salah satu makalah wajib yang diberikan atau
diajarkan pada mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Pamulang pada semester
ganjil yaitu semester V (Lima).

Mata Kuliah HATAH ini pembagiannya terdiri atas HATAH INTERN yang
berlaku secara intern dilingkungan hukum di Indonesia beserta contoh-contoh
kasusnya dan HATAH EXTERN atau lebih dikenal sebagai Hukum Perdata
Internaisonal (HPI) beserta contoh-contoh kasus-kasusnya dan HPI ini sebenarnya
merupakan hukum nasionalnya masing-masing Negara karena adanya titik pertalian
antara hukum nasionalnya masing-masing warga Negara ( ) dinamakan HPI. Semoga
mahasiswa dapat memahami Mata Kuliah Hukum Antar Tata Hukum ini.

Terima Kasih

Tangerang Selatan

Penyusun

Dadang Gandhi.
S.H.,M.H.

C. DAFTAR ISI

a. Identitas Mata Kuliah

b. Kata Pengantar

c. Daftar Isi

d. Pertemuan 1: Pengertian Hukum Antar Tata Hukum

a) Tujuan Pembelajaran
b) Uraian Materi
c) Latihan Soal/Tugas
d) Daftar Pustaka

PERTEMUAN 13
SEJARAH PERKEMBANGAN HUKUM PERDATA INTERNASIONAL
INDONESIA

A. TUJUAN PEMBELAJARAN

Dalam bab ini akan dijelaskan mengenai sejarah perkembangan HPI Indonesia,
sehingga mahasiswa mampu:
1. Memahami perkembangan HPI Indonesia dengan segala permasalahannya.
2. Memberikan Pemahaman dasar hukum dengan segala penyelesaiannya terkait
dengan HPI Indonesia.

B. URAIAN MATERI
B. URAIAN MATERI

Sekali lagi ditegaskan bahwa hukum perdata internasional merupakan bagian dari
hukum perselisihan dan hal yang menjadi pembeda utama HPI dibandingkan dengan
sub bidang hukum perselisihan lainnya adalah HPI ini memiliki titik taut berupa
adanya unsur asing di dalam peristiwa HPI. Pertumbuhan HPI Indonesia memiliki
sejarah yang unik. Pada dasarnya pemikiran HPI di Indonesia berkembang dari
konsepsi hukum perdata kuasi internasional, sebelumnya konsep yang diperkenalkan
oleh Andre de la Porte, ketika Indonesia masih merupakan negara jajahan Belanda
(Hindia Belanda). Konsep ini di perkenalkan oleh pemerintah Belanda dengan melalui
sistem yang dikenal dengan sebagai hukum antargolongan atau hukum antar
komunitas.
Setelah Indonesia merdeka pada tahun 1945 dan menjadi sebuah negara berdaulat,
relevasi dari hukum antargolongan sebenarnya menjadi berakhir dan digantikan
perannya oleh hukum perdata internasional dalam arti yang sempit (hanya mengatur
hubungan-hubungan hukum yang melibatkan WNI Indonesia dengan WNI asing).
Hubungan antar kelompok penduduk di Indonesia bukan lagi dibedakan karena
perbedaan golongan penduduk, melainkan karena pembedaan kewarganegaraan.
Artinya, hubungan ini berubah menjadi hubungan yang bersifat transnasional yang
mengandung unsur asing (foreign elment).

ASAS-ASAS UMUM HPI DI INDONESIA

Sampai dengan tulisan ini diterbitkan, belum ada peraturan perundang-undangan


nasional Indonesia secara khusus menghimpun dan mengatur asas dan kaidah HPI
secara lengkap, komprehensif, dan terintregrasi. Kaidah dan asas HPI terbesar di
berbagai peraturan substansif yang trpisah-pisah. Kaidah HPI umum (general choice
of law rules) yang ada dan merupakan peninggalan sistem hukum Hindia Belanda,
termuat di dalam pasal 16, 17, 18, Algemeene Bepalingen van Wetgeving (voor
Indonesi). Peraturan tersebut isinya adalah sebagai berikut:

Pasal 16

Ketentuan-ketentuan dalam undang-undang mengenai status wewenang


seseorang tetap berlaku bagi kaula negara Belanda, apabila ia berada di luar
negeri. Akan tetapi, apabila ia menetap di negara Belanda atau di salah satu
daerah koloni Belanda, selama ia mempunyai tempat tinggal di situ,
berlakulah mengenai bagian tersebut dan hukum perdata yang berlaku di
sana.
Pasal ini mengatur tentang status dan kewenangan personal dari seseorang.
Asas yang dipergunakan dalam pasal ini adalah AsasDomicilium organis.
Artinya, untuk menentukan apakah seseorang cakap/berwenang untuk
melakukan suatu perbuatan hukum tertentu, ukuran yang dipergunakan adalah
ukuran yang berlaku di dalam hukum tempat orang itu berasal.
Contoh:
Dalam situasi dewasa ini, apabila orang Indonesia pergi ke Amerika Serikat dan
melakukan perbuatan hukum di Amerika Serikat, untuk menentukan apakah dia
cakap atau tidak dalam melakukan perbuatan hukum itu, ukuran yang harus
dipergunakan (misalnya, tentang usia dewasa) tetaplah hukum Indonesia.
Pasal 17
Terhadap barang-barang yang tidak bergerak berlakulah undang-undang
dari negeri atau tempat di mana barang barang itu berada.

Pasal ini mengatur tentang status kebendaan dari benda tetap. Asas yang
dipergunakan di dalam pasal ini adalah Asas lexsitus atau lex rei sitae. Artinya
ukuran-ukuran untuk menentukan apa saja yang dapat dikategorikan sebagai
benda tetap, hak kebendaan atas benda tetap, serta akibat-akibat hukumnya,
harus ditetapkan berdasarkan sistem hukum dari tempat benda berada/terletak.
Contoh:
Seorang warga negara Inggris akan terikat pada undang-undang Pokok
Agraria Indonesia dan segala peraturan pelaksanaannya apabila ia ingin
menguasai atau memiliki hak tertentu atas tanah di Indonesia. Dengan
demikian, ia tidak dapat menguasai tanah hak milik, misalnya, karena hukum
Indonesia tentang hak milik atas tanah melarang pemilikan tanah oleh orang
asing dengan alasan hak milik.

Pasal 18

Bentuk tiap tindakan hukum akan diputus oleh pengadilan menurut


perundang-undangan dari negeri atau tempat, di mana tindakan hukum itu
dilakukan.

Pasal ini mengatur tentang hukum yang seharusnya diberlakukan dalam


penetapkan status dan keabsahan dari perbuatan-perbuatan atau hubungan-
hubungan hukum (yang mengandung unsur asing). Asas HPI yang
digunakan di dalam pasal ini adalah Asas Lex Loci Actus artinya bentuk dari
sebuah perbuatan hukum atau hubungan hukum serta keabsahsannya akan
ditentukan berdasarkan hukum dari tempat perbuatan hukum dilakukan atau
hubungan hukum dibuat. Asas ini menjadi sangat penting untuk menentukan
kualifikasi hukum dari sebuah perbuatan hukum.
Contoh:
Orang tua berkewarganegaraan Inggris meminta orang Belanda untuk
mengelola hartanya senilai 2 juta Poundsterling. Hasil pengolahan tersebut
harus dimanfaatkan untuk kesejahteraan dan pendidikan anak-anak kandung
orang Inggris tersebut sampai mereka mencapai usia dewasa. Apabila anak
anak tersebut mencapai usia 25 tahun barulah harta tersebut dapat diserahkan
atau diwariskan kepada mereka. Untuk melaksanakan perjanjian tersebut,
orang Belanda itu diberikan hak untuk menikmati 20% dari keuntungan
pengelolaan harta itu sebagai kompensasi atas jerih payahnya. Perjanjian itu
dibuat dan disepakati di Inggris. Jika kita menggunakan hukum Inggris,
perjanjian seperti ini dikategorikan sebagai sebuahtrust inter vivos, dan belum
terlalu jelas apakah lembaga ini harus di kualifikasi sebagai hubungan masuk
di dalam kelompok hukum kontrak (law of contracts) atau hukum Belanda.
Sedangkan jika perjanjian itu dikualifikasikan berdasarkan hukum Belanda,
timbul masalah apakah lembaga ini akan dikualifikasikan sebagai persoalan
perwalian dan masuk ke dalam bagian hukum keluarga (familierecht)atau
hukum kontrak. Dalam kasus ini, karena perjanjian ini dibuat Inggris, maka
hukum Inggrislah yang harus dipergunakan mengualifikasikan hubungan
hukum tersebut sehingga hubungan hukum itu akan dikategorikan sebagai
perjanjian trust menurut hukum Inggris. Persoalan-persoalan lain akan muncul
apabila orang berurusan dengan lembaga-lembaga hukum yang hanya dikenal
di suatu sistem atau tradisi hukum tertentu, tetapi tidak dikenal di dalam
sistem hukum atau tradisi hukum lain.
Sekalipun AB voor Indonesi diundangkan lebih dari dua abad yang lalu dan sekalipun
Indonesia saat ini adalah negara berdaulat, ternyata peraturan ini sampai saat ini masih
berlaku di Indonesia. Hal ini bisa dijustifikasi oleh pasal 1 Aturan Peralihan dari
Amandemen Ke-4 UUD 1945, yang menyatakan:
Segala peraturan perundang-undangan yang ada masih tetap berlaku selama belum diadakan
yang baru menurut undang-undang dasar ini.
Mengingat hingga saat ini Indonesia belum memiliki peraturan berisi asas HPI yang dapat
menggantikan ketiga pasal AB tersebut, maka AB hingga saat ini masih berlaku dan menjadi
acuan penting untuk menentukan hukum yang berlaku (lex causael/the governing law/ the
proper law) untuk menyelesaikan perkara HPI. Penjabaran lebih jauh dari ketiga Asas
tersebut akan dibahas pada bagian di bawah ini.
1. Status Personal dan Kecakapan Hukum: Hukum dari Tempat
Berkewarganegaraan
Pada dasarnya pasal 16 AB diatur dalam konteks penjajahan Belanda karena
peraturan ini ditunjukkan untuk menentukan status personal dari Kaula negara
Belanda (para warga di wilayah terjajah), yang tetap tunduk pada sistem hukum dari
wilayahnya berasal, kecuali jika ia tinggal di Belanda atau di salah satu wilayah
koloni Belanda (pada waktu itu beberapa negara jajahan Belanda lainnya adalah
Suriname, Netherlands Antilles, curacao). mereka akan tunduk dari hukum Belanda
atau hukum negara terjajah lainnya di mana kaula negara itu berada. Jadi, jika seorang
bumiputera pada 1921 tinggal di Amerika Serikat, penentuan status personalnya akan
tunduk pada hukum adatnya sendiri. Namun jika bumiputera tersebut tinggal di
Curacao, status personalnya akan diatur dengan hukum Curacao. Dalam konteks
negara Indonesia yang telah merdeka, asas yang dapat disimpulkan dari Pasal 16 AB
adalah status personal dan kecakapan bertindak dari seorang WNI akan tunduk pada
hukum Indonesia; visa versa, status personal dan kecakapan bertindak dari setiap
warga negara asing akan tunduk pada hukum dari tempat mereka berasal (asas
country of origin atau domicilium originis). Mengadopsi dari sistem yang berlaku di
Belanda, di Indonesia domicilium organis diterapkan dengan menggunakan patokan
hukum dari tempat orang tersebut berkewarganegaraan (nationality principle).
Di dalam interprestasi terhadap Pasal 16 AB, kollewijn menolak penerapan prinsip
kewarganegaraan di dalam hukum antargolongan. Sebagai contoh, ia merujuk pada
status personal dari seorang Hindia Belanda (yang tunduk pada hukum adat-penulis)
yang pindah ke Belanda. Dalam situasi ini, hukum adatnya akan tetap berlaku,
sepanjang status kependudukannya di Hindia Belanda tidak terputus. Namun, dengan
kepindahannya ke Belanda, jika ia bukan lagi penduduk Hindia Belanda, hukum
Belanda akan berlaku baginya. Hal ini menunjukkan bahwa di dalam hukum
antargolongan, yang berlaku adalah prinsip domisili dan bukan prinsip
kewarganegaraan.Kollewijnmembedakan penerapan dari prinsip nasionalitas dalam
negara merdeka dan dalam situasi antargolongan, yang secara faktual dapat
ditemukan di dalam Pasal 6 Algemene Bepalingen der Wetgeving van het koninkrijk
dan pasal 16 AB Voor Indonesi. Pasal 6 AB Belanda berisi satu asas utama, yaitu
prinsip nasionalitas sementara pada Pasal 16 AB Indonesia menerapkan asas
nasionalitas dengan pengecualian, yaitu jika kita negara (BP) hidup di wilayah
Belanda atau negara jajahan Belanda lainnya, prinsip domisili yang berlaku. Dalam
konteks Indonesia merdeka saat ini, pengecualian tersebut menjadi tidak relevan.
berarti berdasarkan Pasal 16 AB Indonesia, maka prinsip nasionalitas berlaku tanpa
pengecualian.

2. Benda Tetap: Asas Lex Situs


Pasal 17 AB Indonesia menentukan status benda tetap diatur dengan menggunakan
asas Lex situs atau Lex Rei Sitae, yang artinya hukum dari tempat benda tersebut
beradalah yang akan dipergunakan untuk menentukan status benda tetap. Asas ini
adalah asas yang sangat tepat, mengingat dengan ditundukannya status benda pada
hukum dari tempat benda tersebut berada akan membuat eksekusi atau penegakan atas
hak atas benda itu menjadi lebih mudah dilaksanakan karena telah sesuai dengan
hukum yang berlaku di wilayah tersebut.
Harus ditegaskan kembali bahwa pasal 17 ini hanya berlakukan untuk menentukan
status benda tetap (inmmovables, onroerendgoederen). Akibatnya, hingga saat ini
Indonesia tidak memiliki kaidah HPI yang mengatur hukum tentang seharusnya
berlaku terhadap status benda bergerak (inmmovables, onroerendgoederen). Secara
doktrinal dan juga dalam praktik, asas yang dipergunakan untuk menentukan status
hukum dari benda bergerak adalah asas mobilia sequuntur personam, yang
menentukan keberlakuan hukum personal pemilik/ penguasa benda bergerak tersebut
untuk mengatur status hukum dari benda-benda tersebut. Penerapan asas mobilia
sequuntur personam dalam menentukan status dari benda bergerak dapat lebih
memberikan kepastian hukum daripada penerapan asas Lex situs yang justru dapat
menimbulkan ketidakpastian hukum.

3. Perbuatan Hukum atau Hubungan Hukum: Asas Lex Loci Actus


Di dalam hukum Indonesia, bentuk, formalitas, dan keabsahan dari sebuah perbuatan
hukum ditentukan berdasarkan hukum dari tempat terlaksana/dilaksanakannya
perbuatan hukum (asas Lex Loci Actus). Asas ini diturunkan dari asas Locus Regit
Actum, yang memberi kualifikasi atas bentuk perbuatan hukum tertentu atau atas
masalah hukum tertentu berdasarkan sistem hukum di mana perbuatan hukum atau
masalah hukum itu terjadi. Apakah sebuah perbuatan hukum adalah perbuatan yang
sah atau tidak sah, apakah formalitas dari sebuah perbuatan hukum telah terpenuhi,
apakah akibat hukum dari sebuah perbuatan hukum tertentu, semuanya akan
ditentukan berdasarkan hukum dari tempat perbuatan tersebut dianggap terjadi.
Prinsip ini dapat diterapkan untuk menentukan hukum yang berlaku terhadap
masalah-masalah hukum perikatan di dalam hukum perjanjian (contract) maupun di
dalam perbuatan-perbuatan hukum karena undang-undang, baik yang sesuai
hukum(mis. zaakwarneming atau negotiorum gestio) atau yang melawan hukum
(onrechtmatige daad atau torts).
Selanjutnya, ada sekurang-kurangnya dua asas HPI tentang hukum kontrak yang
diturunkan dari asas Locus Regit Actum yaitu:
Berkaitan dengan keabsahan dari perbuatan perjanjian, yang didasarkan pada
hukum dari tempat perjanjian tersebut disepakati dan dibuat (asas Lex loci
Contractus); dan
Berkaitan dengan pelaksanaan perjanjian, yang harus tunduk pada hukum dari
tempat dimana perjanjian tersebut dilaksanakan (asas Lex Loci Solutionis).
Untuk menempatkan status dan tanggung jawab yang terbit dari perbuatan hukum
sesuai undang-undang umumnya digunakan asas Lex Loci Actus. Sementara itu,
terhadap perbuatan melawan hukum sekurang-kurangnya dapat diturunkan dua
asas penting, yaitu:
Bentuk atau kategori hukum dari sebuah perbuatan melawan hukum harus
ditentukan berdasarkan hukum di mana perbuatan melawan hukum itu
dilakukan (asas Lex Loci Delicti Commissi); dan
Hukum dari tempat munculnya kerugian langsung di perbuatan melawan
hukum tersebut (asas Lex Loci Damni).
Walau demikian, Indonesia masih belum memiliki kaidah HPI khusus berkaitan
dengan perjanjian perbuatan melawan hukum sebagaimana yang dijabarkan di
atas. Dengan demikian, Pasal 18 AB ini adalah satu-satunya asas umum yang
memayungi juga kaidah HPI untuk kontrak dan perbuatan hukum.
Di dalam praktik hukum di Indonesia terkait masalah kontraktual, asas Lex Loci
Contractus telah diaplikasikan oleh pengadilan negeri Medan untuk menentukan
hak dan kewajiban dari pihak-pihak dalam perjanjian utang piutang yang
disepakati di Cina. Asas ini juga diterapkan untuk menentukan akibat hukum dari
perjanjian menghibahkan yang dilakukan secara sepihak, yang dibuat di Saudi
Arabia, walaupun objek dari perjanjian tersebut adalah sebidang tanah yang
terletak di Jakarta. Di dalam kasus lain, asasLex Loci Solutionis telah diterapkan
untuk menentukan akibat hukum dari sebuah perjanjian ekspor impor karena
penarikan dan persetujuan pembayaran telah dilakukan di London. Mengingat,
baik asas Lex Loci Contractus maupun Lex loci Solutionis telah digunakan di
dalam putusan-putusan hakim di Indonesia (meskipun kedua asas tersebut tidak
dimuat secara tegas di dalam perundang-undangan), pernyataannya adalah
sebagaimana hakim Indonesia mempertimbangkan untuk menerapkan asas Lex
Loci Contractus atau asas Lex Loci Solutionis di dalam menentukan hukum yang
seharusnya berlaku terhadap sebuah kontrak? Mereka menerapkan Subjective
Test terhadap isi perjanjian, melalui analisis dan penyimpulan mengenai
kehendak tersirat para pihak (intentions of the parties)di dalam perjanjian
mengenai hukum yang hendak diberlakukan atas kontrak mereka yang harus
didasarkan pada pengujian kasus demi kasus.
Berkaitan dengan perbuatan melawan hukum, asas Lex Loci Delicti commissi
telah diterapkan di dalam kasus kelalaian dari seorang pekerja golongan
penduduk Eropa yang bekerja di Hindia Belanda untuk meneliti aturan-aturan
keamanan kerja. Walaupun korban dari kelalaian tersebut adalah sebuah
perusahaan Eropa, kasus tersebut diputus berdasarkan hukum dari negara dimana
kelalaian tersebut terjadi. Oleh karena itu, kasus ini kemudian diputus dengan
menggunakan hukum adat. Harus diperhatikan bahwa asas Lex Loci
DelictiCommissi dan asas Lex Loci Dumni dalam praktik telah di kecualikan oleh
hukum dari pihak yang mengalami kerugian (the law of the injuring party).
Contoh di atas menggambarkan bahwa tanggung jawab dari seorang supir
Bumiputera yang menyebabkan orang lain mengalami kerugian telah diselesaikan
dengan menggunakan hukum adat sekalipun kerugian diderita oleh perusahaan
Eropa.

C. KESIMPULAN
1. Hukum perdata internasional merupakan bagian dari hukum perselisihan. inti dari
hukum perselisihan adalah serangkaian asas hukum, kaidah hukum, atau peraturan
yang berfungsi untuk menentukan hukum yang seharusnya berlaku untuk
menyelesaikan perkara jika di dalam perkara tersebut ternyata terkait pada lebih
dari satu sistem hukum/kaidah hukum/peraturan. Sedangkan HPI adalah bagian
dari hukum perselisihan yang memiliki kekhasan (titik taut primer) berupa adanya
unsur asing (Foreign Element) di dalam masalah hukum yang dihadapinya.
2. Penyelesaian perkara hukum perselisihan (termasuk juga penyelesaian perkara
HPI) harus dilakukan dengan menggunakan metode hukum perselisihan. Metode
ini melibatkan Pranata hukum yang digunakan sebagai titik taut dan kualifikasi.
tujuan dari penggunaan metode ini adalah untuk menentukan hukum yang
seharusnya berlaku (the power law/ the governing law/ lex causae) dari perkara.
3. Hukum perdata internasional di Indonesia tumbuh sejak masa pemerintahan Hindia
Belanda. Cikal bakal HPI dalam konteks negara jajahan adalah bentuk hukum
antargolongan. Lahirnya hukum antar Golongan ini adalah karena adanya Pasal
131 AB Indonesia yang membagi penduduk di Hindia Belanda ke dalam tiga
golongan penduduk, yakni Eropa atau yang disamakan Timur Asing dan Bumi
Putra. Masing-masing golongan penduduk itu tunduk pada sistem hukum yang
berbeda. Golongan penduduk Eropa atau yang disamakan tunduk pada hukum
perdata barat; golongan penduduk Timur asing tunduk pada hukum adat masing-
masing (dan sejak tahun 1925 ditundukan pada hukum perdata barat dengan
beberapa pengecualian); dan golongan penduduk Bumi Putera tunduk pada hukum
adat masing-masing. Hubungan antargolongan penduduk itu melahirkan peristiwa
hukum antargolongan. Sejak Indonesia merdeka, pengelompokan berdasarkan
golongan penduduk ini menjadi tidak relevan, mengingat Indonesia dan Belanda
kemudian sama-sama berkedudukan sebagai negara merdeka yang berkedaulatan.
Oleh karena itu, hubungan hukum antara orang-orang Belanda dan Indonesia itu
(dan hubungan hukum lain yang memiliki sifat transnasional) diatur dengan
hukum perdata internasional.
4. Indonesia tidak memiliki peraturan yang secara komprehensif mengatur kaidah
HPI. Hingga saat ini, peraturan utama yang dipergunakan untuk menyelesaikan
perkara HPI termuat di dalam Pasal 16-18 Algemene bepalingen Van Wetgeving
Voor Indonesi. Ketiga pasal tersebut mengatur tentang hukum yang dipergunakan
untuk menyelesaikan masalah status dan kewenangan personal (berdasarkan asas
kewarganegaraan); status hukum benda terhadap (berdasarkan asas Lex Situs); dan
status hukum dari suatu perbuatan hukum/hubungan hukum (berdasarkan asas Lex
Loci Actus). Ketiga pasal itulah yang hingga saat ini menjadi dasar-dasar untuk
menyelesaikan masalah-masalah HPI. Sedangkan kaidah HPI dari beberapa
masalah transnasional yang bersifat khusus (misalnya, perkawinan di luar negeri)
diatur secara khusus di dalam peraturan-peraturan teknis terkait (misalnya
undang-undang perkawinan).

D. SOAL LATIHAN/TUGAS

1. Menurut pendapat anda saudara kenapa sampai sekarang ini belum ada suatu peraturan
perundang-undangan di Indonesia yang mengatur bagaimana penyelesaian terkait
dengan KPI di Indonesia?

2. coba saudara berikan analisisnya dari pasal 16 sampai dengan pasal 18 AB, terkait
dengan hukum perselisihan !

E. DAFTAR PUSTAKA

Bayu Seto Hardjowahono. Dasar-dasar Hukum Perdata Internasional. Edisi


Kelima.Citra Aditya Bukti, Bandung. 2013.

13

Anda mungkin juga menyukai