PENDAHULUAN
PEMBAHASAN
keperluan
lalu-lintas
sosial
ekonomi
serta
dalam ayat 1 merupakan alat pembuktian yang kuat mengenai hapusnya hak guna
bangunan serta sahnya peralihan tersebut, kecuali dalam hal hak itu hapus karena
jangka waktunya berakhirnya.
Sebagai implementasi dari Pasal 19 UUPA No. 5 Tahun 1960, maka diterbitkanlah beberapa
peraturan-peraturan diantaranya : Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1961 tentang
Pendaftaran Tanah. Peraturan ini diangap sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan dan
tuntutan
akan
kepastian
hukum
Hak
Atas
Tanah,
sehingga
diperbaharui
dengan ; Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah tertanggal 8
Oktober 1997, Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan NAsional No. 3
Tahun 1997.
Walaupun Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1961 sudah tidak berlaku lagi, namun
peraturan
pelaksanaan
yang
menyertainya
tetap
dinyatakan
berlaku
Tujuan Pendaftaran Tanah menurut Pasal 3 PP No. 24 Tahun 1997 yaitu ada 3 (tiga) :
1. Untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak
suatu bidang tanah, rumah susun atau hak lain yg terdaftar. Agar mudah membuktikan
dirinya sebagai pemegang hak
2. Untuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan termasuk
Pemerintah agar dengan mudah dapat memperoleh data yang diperlukan dalam
mengadakan perbuatan hukum mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan
rumah susun yang sudah terdaftar;
3. Untuk terselenggaranya tertib administrasi pertanahan.
Selain tujuan diatas, menurut Maria S.W.Sumardjono bahwa manfaat daripendaftaran tanah
dapat dipetik oleh 3 pihak yaitu :
1. Pemegang hak atas tanah itu sendiri, sebagai pembuktian atas haknya.
2. Pihak yang berkepentingan, misalnya calon pembeli tanah, atau kreditur untuk
memperoleh keterangan atas tanah yang menjadi objek perbuatan hukumnya.
3. Bagi Pemerintah yaitu dalam rangka mendukung kebijaksanaan pertanahannya.
2.1.4 Asas Pendaftaran Tanah
Asas pendaftaran tanah dapat dilihat dalam pasal 12 PP No. 24 Tahun 1997 meliputi ;
1. Sederhana, yaitu asas dimaksudkan agar ketentuan-ketentuan pokok dan tatacaranya
mudah dipahami oleh pihak-pihak yang berkepentingan, terutama hak atas tanah.
2. Aman, yaitu suatu asas yang dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa pendaftaran
tanah diselenggarakan secara teliti dan cermat sehingga dapat memberikan jaminan
kepastian hukum sesuai tujuan pendaftaran tanah itu sendiri.
3. Terjangkau, asas yg dimaksudkan bahwa keterjangkauan bagi pihak-pihak yg
memerlukan, dengan memperhatikan golongan ekonomi lemah.
4. Mutakhir, adanya kelengkapan data yg memadai dalam pelaksanaannya dan
keseimbangan dalam pemeliharaan datanya, sehingga data pendaftaran tanah harus
dipelihara. Data disimpan dalam bentuk buku tanah di kantor pertanahan dan harus
selalu diperbaharui jika ada perubahan.
5. Terbuka, masyarakat dapat memperoleh keterangan tentang data yang benar setiap
saat.
2.1.5 Objek Pendaftaran Tanah
Objek pendaftaran tanah terdapat dalam pasal 9 PP No. 24 Tahun 1997 meliputi :
1. bidang-bidang tanah yang dipunyai dengan hak milik, hak guna usaha, hak guna
bangunan dan hak pakai;
4
2.
3.
4.
5.
6.
Sistem Positif.
Sistem ini menunjukkan bahwa sertipikat tanah yang diberikan adalah berlaku sebagai tanda
bukti hak yang bersifat mutlak (absolute) serta sertipikat merupakan bentuk satu-satunya
tanda bukti hak atas tanah yang dimiliki oleh seseorang. Sistem publikasi positif selalu
menggunakan sistem pendaftaran hak, maka meski ada register atau buku tanah sebagai
bentuk penyimpanan dan penyajian data yuridis dan sertifikasi sebagai surat tanda bukti hak.
Pencatatan dan pendaftaran nama seseorang dalam register sebagai pemegang haklah
yang menjadi pemegang hak atas tanah yang bersangkutan, bukan perbuatan hukum
pemindahan hak yang dilakukan (title by registration, the register is everything). Apa yang
tercantum dalam buku pendaftaran tanah dan surat tanda bukti hak yang dikeluarkan
merupakan alat pembuktian yang mutlak. Negara menjamin kebenaran data yang disajikan.
Perolehan tanah dengan etikad baik melalui cara sebagaimana diatur dalam undang-undang,
memberikan kepada pihak yang memperolehnya suatu hak yang indefeasible yang tidak
dapat diganggu gugat oleh siapapun, juga oleh pihak yang sebenarnya berhak sekalipun.
2.
Sistem Negatif
Dalam sistem publikasi negatif, bukan pendaftaran tetapi sahnya perbuatan hukum yang
dilakukan yang menentukan berpindahnya hak kepada pembeli. Pendaftaran tidak membuat
orang yang memperoleh tanah dari pihak yang tidak berhak, menjadi pemegang haknya yang
baru. Sistem publikasi negatif, menunjukkan ciri bahwa apa yg tercantum didalam sertipikat
tanah adalah dianggap benar sampai dapat dibuktikan suatu keadaan yang sebaliknya (tidak
benar) dimuka pengadilan. Surat tanda bukti hak berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat,
yang berarti pula bahwa keterangan-keterangan yang tercantum di dalamnya mempunyai
kekuatan hukum danharus diterima (oleh hakim) sebagai keterangan yang benar, sepanjang
tidak ada alat pembuktian lain yang membuktikan sebaliknya.
Sistem
publikasi
menurut
UUPA No.
Tahun
1960
adalah
sistem
publikasi
negatif bertendensi positif. Artinya sistem negatif yang mengandung unsur positif karena
akan menghasilkan surat-surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang
kuat, seprti yang dinyatakan dalam pasal 19 ayat 2 huruf c, pasal 23 ayat 2, pasal 32 ayat2
dan pasal 38 ayat 2 UUPA. Sistem Publikasi yang dianut adalah bukan sistem negatif murni,
6
karena pejabat pendaftaran tanah dalam rangka pengumpulan data bersikap passif dan pada
umumnya menggunakan sistem pendaftaran akta yang memuat data itulah yang didaftar.
Dalam akta tersebut oleh pejabat pendaftaran dibubuhkan catatan bahwa telah dilakukan
pendaftarannya. Akta itulah yang merupakan tanda bukti hak.
Bahwa pendaftaran tanah yang diselenggarakan atas perintah Pasal 19 UUPA, menghasilkan
alat pembuktian yang kuat (bukan mutlak = positif), menurut para pejabat pendaftaran tanah
dalam mengumpulkan data fisik dan data yuridis, sejauh mungkin berusaha memperoleh data
yang benar. Data pada pendaftaran tanah meliputi: Data fisik, kegiatan pengumpulan data
fisik meliputi penetapan batas, pengukuran dan pemetaan tanah yang bersangkutan (diatur
dalam pasal 17,18,19 dan 20 PP 24/1997). Pengumpulan data yuridis diatur dalam pasal
23,24 dan 25 PP 24/1997. Dibedakan antara hak baru dan hak lama.
sertipikat dan kepala kantor pertanahan atau tidak mengajukan gugatan di Pengadilan,
sedangkan tanah tersebut diperoleh orang atau badan hukum lain tersebut dengan
itikad baik dan secara fisik dikuasai olehnya atau oleh orang badan hukum lain yang
mendapat persetujuannya(pasal 32(2) PP No. 24 Tahun 1997).
terdapat dalam Pasal 107 Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional
Nomor 9 tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah dan Hak
Pengelolaan, Sertifikat Hak Atas Tanah yang cacad hukum administratif adalah sertifikat Hak
Atas Tanah yang mengandung kesalahan antara lain sebagai berikut :
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
Kesalahan prosedur
Kesalahan penerapan peraturan perundang-undangan
Kesalahan subjek hak
Kesalahan objek hak
Kesalahan jenis hak
kesalahan perhitungan luas
terdapat tumpang tindih hak atas tanah
data yuridis atau data data fisik tidak benar;atau
10
Kemudian pada 1984 keluar Surat Keputusan KSAL No Skep/675/1984 tanggal 28 Maret
1984 yang menunjuk Puskopal dalam hal ini Yasbhum (Yayasan Sosial Bhumyamca) untuk
memanfaatkan lahan tersebut sebagai lahan perkebunan produktif, dengan memanfaatkan
penduduk setempat sebagai pekerja.
Upaya-upaya penyelesaian sertifikasi tanah yang dilaksanakan Lantamal III Surabaya sejak
20 Januari 1986 dapat terealisir BPN pada 1993 dengan terbitnya sertifikat sebanyak 14
bidang dengan luas 3.676 hektare. Meski demikian masih ada penduduk yang belum
melaksanakan pindah dari tanah yang telah dibebaskan TNI AL. Pada 20 November 1993
Bupati Pasuruan mengirimkan surat kepada Komandan Lantamal III Surabaya perihal usulan
pemukiman kembali nonpemukim TNI AL di daerah Prokimal Grati. Kemudian Bupati
Pasuruan mengajukan surat kepada KSAL pada 3 Januari 1998 untuk mengusulkan bahwa
tanah relokasi untuk penduduk nonpemukim TNI AL agar diberikan seluas 500 meter persegi
per KK.
Pembahasan Kasus
Tap MPR No. IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam telah
mengamatkan bahwa menghormati dan menjunjung tinggi hak asasi manusia adalah salah
satu prinsip yang wajib ditegakkan oleh (aparat) negara dalam penanganan sengketa agraria.
Dengan merujuk pada Tap MPR ini saja, cara-cara yang ditempuh oleh (aparat) negara itu
tentu saja menjadi tindakan yang tragis-ironis. Sekali lagi hal itu pun bisa menunjukkan,
betapa bobroknya implementasi hukum kita, dan betapa masyarakat yang semestinya
dilindungi selalu berada dalam posisi tidak berdaya, selalu dipersalahkan, dan menjadi
korban. Malangnya, hampir dalam setiap kasus sengketa tanah, posisi masyarakat selalu
lemah atau dilemahkan. Masyarakat sering tidak memiliki dokumen-dokumen legal yang bisa
membuktikan kepemilikan tanahnya. Mereka bisanya hanya bersandar pada kepemilikan
historis dimana tanah yang mereka miliki telah ditempati dan digarap secara turun-temurun.
Didalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok Agraria (UUPA) sebenarnya
termaktub satu ketentuan akan adanya jaminan bagi setiap warga negara untuk memiliki
tanah serta mendapat manfaat dari hasilnya (pasal 9 ayat 2). Jika mengacu pada ketentuan itu
dan juga merujuk pada PP No. 24/1997 tentang Pendaftaran Tanah (terutama pasal 2) Badan
Pertanahan Nasional (BPN) semestinya dapat menerbitkan dokumen legal (sertifikat) yang
dibutuhkan oleh setiap warga negara dengan mekanisme yang mudah, terlebih lagi jika warga
negara yang bersangkutan sebelumnya telah memiliki bukti lama atas hak tanah mereka.
11
Namun sangat disayangkan pembuktian dokumen legal melalui sertifikasi pun ternyata bukan
solusi jitu dalam kasus sengketa tanah. Seringkali sebidang tanah bersertifikat lebih dari satu,
pada kasus Meruya yang belakangan sedang mencuat, misalnya. Bahkan, pada beberapa
kasus, sertifikat yang telah diterbitkan pun kemudian bisa dianggap aspro (asli tapi salah
prosedur).
Dari hal tersebut setidaknya ada 3 (tiga) faktor penyebab sering munculnya masalah sengketa
tanah, diantaranya yaitu :
1. Sistem administrasi pertanahan, terutama dalam hal sertifikasi tanah, yang tidak beres.
Masalah ini muncul boleh jadi karena sistem administrasi yang lemah dan mungkin
pula karena banyaknya oknum yang pandai memainkan celah-celah hukum yang
lemah.
2. Distribusi kepemilikan tanah yang tidak merata. Ketidakseimbangan dalam distribusi
kepemilikan tanah ini baik untuk tanah pertanian maupun bukan pertanian telah
menimbulkan ketimpangan baik secara ekonomi, politis maupun sosiologis. Dalam
hal ini, masyarakat bawah, khususnya petani atau penggarap tanah memikul beban
paling berat. Ketimpangan distribusi tanah ini tidak terlepas dari kebijakan ekonomi
yang cenderung kapitalistik dan liberalistik.
3. Legalitas kepemilikan tanah yang semata-mata didasarkan pada bukti formal
(sertifikat), tanpa memperhatikan produktivitas tanah. Akibatnya, secara legal (de
jure), boleh jadi banyak tanah bersertifikat dimiliki oleh perusahaan atau para
pemodal besar, karena mereka telah membelinya dari para petani atau pemilik tanah,
tetapi tanah tersebut lama ditelantarkan begitu saja.Ironisnya ketika masyarakt miskin
mencoba memanfaatkan lahan terlantar tersebut dengan menggarapnya, bahkan ada
yang sampai puluhan tahun, dengan gampanya mereka dikalahkan haknya di
pengadilan tatkala muncul sengketa.
2.2.2 Sengketa Tanah Muhammadiyah
Sengketa tanah antara Yayasan Al Kautzar Bumiayu dan Muhammadiyah cabang Bumiayu
bermula pada tahun 2001 lalu ketika Muhammadiyah cabang Bimiayu menerima surat ikrar
wakaf dari dr. Lisa Maulida, warga asal Bumiayu yang tinggal di Bekasi. Dalam surat
tersebut, Lisa mewakafkan tanah hak milik nomor 229 seluas 12.000 m 2 di Desa Adisana
kepada Muhammadiyah Bumiayu. Upaya sertifikasi pembagian tanah ternyata mengalami
hambatan di Badan Pertanahan Nasional ( BPN ) Brebes. Karena merasa dipersulit, pengurus
muhammadiyah, H. Abdul Karim Nagib, menyampaikan masalah tersebut kepada Lisa.
12
Dalam sebuah pengajian akbar di Bumiayu pada 2002 lalu, Lisa lalu memberikan seluruh
tanah wakaf kepada Muhammdiyah. Selang beberapa bulan berdirilah Pondok Pesantren Al
Kautzar. Melalui rapat organisasi, Ketua Cabang Muhammdiyah, H. Sudarmo, memberikan
wewenang kepada H. Abdul Kodir untuk megelola pondok tersebut. Pada perkembangan
selanjutnya, pengurus Muhammadiyah menilai bahwa Kodir telah melampaui batas
wewenang. Dia yang mendirikan Yayasan Al Kautzar mengklaim sebagai pemilik pesantren.
Atas hal itu, Muhammadiyah mengirimkan surat peringatan. Dalam waktu enam bulan
terakhir, Muhammdiyah melayangkan tiga kali surat peringatan. Namun, hingga tiga kali
peringatan itu dilayangkan, Kodir tidak juga mengindahkan peringatan tersebut. Malahan ia
melaporkan kasus tersebut ke polisi. Pengurus Muhammdiyah cabang Bumiayu, Fahrudin
Abdul Kafi, membantah tindak pemalsuan tanda tangan dalam surat ikrar wakaf tersebut. Dia
mengatakan surat itu sah dan diketahui pemilik tanah, Lisa, dan orang tuanya, Hj. Afifah.
Pemberian wakaf bahkan dilakukan di depan khalayak ramai dan diadakan pada pengajian
akbar. Sebaliknya, ia telah menuduh Abdul Kodir telah menyerobot hak tanah wakaf milik
muhammadiyah. Dia memberi bukti pendirian Yayasan Al Kautzar tanpa sepengetahuan
Muhammadiyah
Pembahasan Kasus
Kasus diatas ialah mengenai permasalahan Pewakafan Hak Milik yang lalu timbul sengketa
karena telah terjadi penyalah gunaan dan pengambil-ahlihan hak milik atas tanah wakaf tadi.
Wakaf adalah
menyerahkan sebagian dari harta miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka
waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan
umum menurut syariah. (ps. 1 ayat (1) PP No. 28/1977).
Jadi, dalam kasus, terdapat suatu perbuatan hukum seorang yaitu dr. Lisa Maulida untuk
menyerahkan sebagian harta miliknya yaitu pada tahun 2000 berupa tanah hak milik nomor
229 seluas 12.000 m2 di Desa Adisana kepada Muhammadiyah Bumiayu dan pada tahun
2001 memberikan tanah wakaf sepenuhnya dengan keperluan ibadah atau kesejahteraan
umum.
Yang menjadi Unsur-Unsur Wakaf dan syarat-syarat wakaf (ps. 3 6 PP No.28/1977)
1. Wakif : Pihak yang mewakafkan tanah miliknya.
2. Harta benda wakaf
13
3. Ikrar :Pernyataan kehendak dari wakif untuk mewakafkan tanah miliknya (sighat).
4. Nadzir : Kelompok orang/badan hukum yang diserahi tugas pemeliharaan dan
pengurusan benda wakaf. Perseorangan, syaratnya WNI, Islam, dewasa, amanah,
mampu secara rohani dan jasmani dan tidak terhalang melakukan perbuatan hukum;
Organisasi; dan Badan hokum
5. Peruntukan Harta Benda Wakaf
6. Jangka waktu wakaf
Tata Cara Wakaf (ps. 9 PP No.28/1977)
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Diperlukan ikrar;
Ditujukan kepada Nadzir;
Dihadapan Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW);
Disaksikan 2 orang saksi;
Harus dibuat secara tertulis;
Harus didaftarkan di Kantor Pertanahan setempat dalam jangka waktu maksimum 3
2.2.3
Sengketa tanah antara pengelola Senayan City dengan ahli waris Alm Toyib bin Kiming terus
berkepanjangan. Bahkan persoalan ini membuat Pusat Pengelolaan Kompleks Gelora Bung
Karno (PPK GBK) turut gerah. Mereka tidak terima jika lahan yang dikelolanya itu tidak
memiliki surat-surat tanah. Bahkan PPK GBK menantang di peradilan jika ahli waris Alm
Toyib bin Kiming itu memiliki bukti otentik atas lahan yang diperebutkan itu. Wakil Ketua
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DKI Jakarta meminta pemerintah DKI Jakarta segera
menutup pusat belanja dan perkantoran Senayan City. Menurutnya, langkah itu perlu
ditempuh agar penyelesaian sengketa tidak berlarut-larut.
15
Pengelola komplek Gelora Bung karno (GBK) atau Badan Layanan Umum (BLU) Pusat
Pengelolaan Komplek Gelanggang Olahraga Bung Karno (PPKGBK) menyatakan kerja sama
dengan
proyek
Senayan
City
sudah
sesuai
aturan.
Pada
saat
ini,
eksekutif,
Pembahasan Kasus
Pada hakikatnya, kasus pertanahan merupakan benturan kepentingan (conflict of interest) di
bidang pertanahan antara siapa dengan siapa, sebagai contoh konkret antara perorangan
dengan perorangan; perorangan dengan badan hukum; badan hukum dengan badan hukum
dan lain sebagainya.Sehubungan dengan hal tersebut di atas, guna kepastian hukum yang
diamanatkan UUPA, maka terhadap kasus pertanahan dimaksud antara lain dapat diberikan
respons/reaksi/penyelesaian kepada yang berkepentingan (masyarakat dan pemerintah),
berupa solusi melalui Badan Pertanahan Nasional dan solusi melalui Badan Peradilan.
Melalui BPN, seringkali Badan Pertanahan Nasional diminta sebagai mediator di dalam
menyelesaikan sengketa hak atas tanah secara damai saling menghormati pihak-pihak yang
bersengketa. Berkenaan dengan itu, bilamana penyelesaian secara musyawarah mencapai
kata mufakat, maka harus pula disertai dengan bukti tertulis, yaitu dari surat pemberitahuan
untuk para pihak, berita acara rapat dan selanjutnya sebagai bukti adanya
perdamaian
dituangkan dalam akta yang bila perlu dibuat di hadapan notaris sehingga mempunyai
kekuatan pembuktian yang sempurna.Pembatalan keputusan tata usaha negara di bidang
pertanahan
oleh
Kepala
Badan
Pertanahan
Nasional
berdasarkan
adanya
cacat
sah walaupun ada pihak lain yang mengajukan ke pengadilan setempat. Sementara menunggu
putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, dilarang bagi Pejabat Tata Usaha Negara
yang terkait mengadakan mutasi atas tanah yang bersangkutan (status quo). Oleh karena itu
untuk menghindari terjadinya masalah di kemudian hari yang menimbulkan kerugian bagi
pihak-pihak yang berperkara maupun pihak ketiga, maka kepada Pejabat Tata Usaha Negara
di bidang Pertanahan yang terkait harus menerapkan asas-asas umum pemerintahan yang
baik, yaitu untuk melindungi semua pihak yang berkepentingan sambil menunggu adanya
putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde)
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Salah satu tujuan dari Pendaftaran Tanah yaitu untuk memberikan kepastian hukum hak
milik atas tanah terhadap masyarakat sesuai pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun
1997 , namun seutuhnya belum terlaksana dengan baik sebagai bukti bahwa peringkat
pertama di setiap pengadilan Negeri di Indonesia masih ditempati oleh konflik-konflik
sengketa pertanahan dan terkait dengan pasal 32 ayat (2) PP Nomor 24 Tahun 1997 bahwa
pihak yang merasa mempunyai sesuatu kepentingan terkait hak atas tanah yang didaftarkan
oleh seseorang, dibatasi hanya dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sejak diterbitkannya
sertifikat tanah, dapat melakukan gugatan dalam rangka mempertahankan haknya, kecuali
dapat dibuktikan tidak adanya itikad baik dalam perolehan sertifikat tersebut. Sesuai dengan
pasal ini secara jelas dan tegas pembentuk UU bersifat mendua. Disatu sisi mempunyai
keinginan untuk memberikan kepastian hukum bagi pemilik tanah yang sudah bersertifikat,
tetapi di sisi lain juga tidak mempunyai keyakinan atas kebenaran data fisik maupun data
yuridis yang digunakan untuk melakukan pendaftaran tanah hingga terbitnya sertifikat. Oleh
karena itu sampai saat ini janji untuk memberikan kepastian hukum atas kepemilikan tanah
belum dirasakan oleh masyarakat. Sertifikat berlaku hanya sebagai alat pembuktian yang
kuat, artinya selama tidak dapat dibuktikan sebaliknya, data fisik dan data yuridis yang
tercantum di dalam sertipikat harus diterima sebagai data yang benar baik dalam perbuatan
hukum sehari-hari maupun dalam berperkara di pengadilan.
18
Penyebab terjadinya sertipikat ganda disebabkan oleh kesalahan dari Pemilik tanah/pemohon
itu sendiri dan oleh pihak Badan Pertanahan Nasional selaku instansi yang menerbitkan
sertipikat. Secara garis besar penyebabnya adalah :
1. Pemohon dengan sengaja atau tidak dengan sengaja menunjuk letak tanah dengan
batas-batas yang salah.
2. Adanya surat, alat bukti, atau pengakuan haknya dibelakang hari terbukti
mengandung ketidak benaran, kepalsuan atau tidak berlaku lagi.
3. Tidak dilaksanakannya UUPA dan peraturan-peraturannya secara konsekwen dan
bertanggung jawab, dan Kurang berfungsinya aparat pengawas.
4. Ketidaktelitian pejabat kantor Pertanahan dalam menerbitkan sertifikat.
5. Ketergantungan BPN pada instansi Pemerintah lainnya, seperti kantor desa/camat dan
kantor perpajakan dan keterlibatan Pejabat Umum.
6. Masyarakat kurang memahami mengenai peraturan perundangan menganai prosedur
pembuatan sertifikat tanah.
7. Pembeli tidak pernah melihat batas-batas tanahnya.
8. Pengukuran yang tidak tertib bahkan tidak professional.
9. Adanya alas hak yang tidak benar atau dipalsukan.
3.2 Saran
Dengan harapan terciptanya kepastian hukum hak atas tanah, serta tidak terjadinya tumpang
tindih overlapping atau sertipikat ganda, maka berdasarkan kesimpulan sebelumnya
direkomendasikan beberapa saran, yaitu;
1. Pelaksanaan
pendaftaran
tanah
hendaknya memanfaatkan
teknologi
tinggi,
komputerisasidi bidang pengukuran dan pemetaan yang akurat dan cepat, dan
ditunjung oleh sumber daya manusia yang berkwalitas dan handal dibidangnya.
2. Melaksanakan pendaftaran tanah sesuai dengan koridor hukum dan prosedur yang
telah ditetapkan disetiap unit kerja dan dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab.
3. Meningkatkan pengawasan terhadap kinerja dan tanggung jawab aparat pelaksana
pendaftaran tanah diseluruh wilayah Indonesia, serta selalu memberikan binaan moral
dan etika secara kontinyu, sehingga kolusi yang terjadi dapat diminimalisir.
19
DAFTAR PUSTAKA
Literatur Buku
Boedi Harsono. 2008. Hukum Agraria Indonesia : Sejarah Pembentukan Undang-undang
Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya. Jakarta : Djambatan
Boedi Harsono. 2008. Hukum Agraria Indonesia : Himpunan Peraturan-Peraturan Hukum
Tanah. Jakarta : Djambatan
Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.
Situs Internet
www.academia.edu, Pendaftaran dan Peralihan Hak atas Tanah, diakses pada bulan
November 2015.
20