PENDAFTARAN TANAH
DISUSUN OLEH
LUIS NAZARIO PUTRA MALAU (221081027)
BENEDICTUS EBEN (221081004)
LAZARUS REINALDI (221081023)
HUKUM AGRARIA
BAB I
PENDAHULUAN
Oleh karenanya pada tanggal 8 Juli 1997 pemerintah menetapkan dan mengundangkan
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (selanjutnya akan
disebut sebagai PP 24/1997) untuk menggantikan PP 10/1961 tersebut. PP ini berlaku tiga
bulan sejak tanggal diundangkannya (Pasal 66) yang berarti secara resmi mulai berlaku
diseluruh wilayah Indonesia sejak tanggal 8 Oktober 1997 dengan Peraturan Pelaksananya
adalah Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 3 Tahun 1997 (selanjutnya akan
disebut sebagai PerMen 3/1997). Sementara semua peraturan perundang-undangan sebagai
pelaksana dari PP 10/1961 yang telah ada masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan
atau diubah atau diganti berdasarkan PP 24/1997 ini (Pasal 64 ayat (1) ).
PP 24/1997 yang menggantikan PP 10/1961 ini merupakan peraturan pelaksana dari amanat
yang ditetapkan dalam Pasal 19 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan
Dasar Pokok-Pokok Agraria (yang selanjutnya akan disebut UUPA) yang mengatur:"Untuk
menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah diadakan pendaftaran tanah diseluruh wilayah
Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah".
Data fisik yang dimaksud adalah, mengenai letak, batas, luas bidang tanah dan satuan rumah
susun yang didaftar, termasuk mengenai adanya bangunan atau bagian bangunan di atasnya.
Data Yuridis adalah mengenai status hukum bidang tanah dan satuan rumah susun.
1. Pasal 23 UUPA Ayat 1 : Hak milik demikian pula setiap peralihan, hapusnya dan
pembebanannya dengan hak-hak lain harus didaftarkan menurut ketentuan ketentuan
yang dimaksud dalam Pasal 19 Ayat 2 : Pendaftaran termasuk dalam ayat 2 merupakan
alat pembuktian yang kuat mengenai hapusnya hak milik serta sahnya peralihan dan
pembebanan hak tersebut.
2. Pasal 32 UUPA, Ayat 1 : Hak guna usaha, termasuk syarat-syarat pemberiannya,
demikian juga setiap peralihan dan penghapusan hak tersebut, harus didaftarkan
menurut ketentuan-ketentuan yang dimaksud dalam Pasal 19. Ayat 2 : Pendaftaran
termasuk dalam ayat 1 merupakan alat pembuktian yang kuat mengenai peralihan serta
hapusnya hak guna usaha, kecuali dalam hak-hak itu hapus karena jangka waktunya
berakhir.
3. Pasal 38 UUPA Ayat 1 : Hak guna bangunan, termasuk syarat-syarat pemberiannya,
demikian juga setiap peralihan dan hapusnya dak tersebut harus didaftarkan menurut
ketentuan-ketentuan yang dimaksud dalam Pasal 19. Ayat 2 : Pendaftaran termaksud
dalam ayat 1 merupakan alat pembuktian yang kuat mengenai hapusnya hak guna
bangunan serta sahnya peralihan tersebut, kecuali dalam hal hak itu hapus karena
jangka waktunya berakhirnya.
Sebagai implementasi dari Pasal 19 UUPA No. 5 Tahun 1960, maka diterbitkanlah beberapa
peraturan-peraturan diantaranya : Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1961 tentang
Pendaftaran Tanah. Peraturan ini diangap sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan dan
tuntutan akan kepastian hukum Hak Atas Tanah, sehingga diperbaharui dengan
; Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah tertanggal 8 Oktober
1997, Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan NAsional No. 3 Tahun
1997.
Walaupun Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1961 sudah tidak berlaku lagi, namun
peraturan pelaksanaan yang menyertainya tetap dinyatakan berlaku
sepanjangtidak bertentangan, diubah atau diganti dalam PP 24 Tahun 1997.
Selain tujuan diatas, menurut Maria S.W.Sumardjono bahwa manfaat daripendaftaran tanah
dapat dipetik oleh 3 pihak yaitu :
1. Pemegang hak atas tanah itu sendiri, sebagai pembuktian atas haknya.
2. Pihak yang berkepentingan, misalnya calon pembeli tanah, atau kreditur untuk
memperoleh keterangan atas tanah yang menjadi objek perbuatan hukumnya.
3. Bagi Pemerintah yaitu dalam rangka mendukung kebijaksanaan pertanahannya.
Dengan lahirnya UUPA pada tanggal 24 september 1960 maka sistem pendaftaran tanah
berupa sistem pendaftaran hak (registration of title) dimana hal tersebut ditetapkan dalam Pasal
19 UUPA yang antara lain berbunyi:
Hak atas tanah, hak pengelolaan, tanah wakaf dan hak milik atas satuan rumah susun didaftar
dengan membukukannya dalam buku tanah, yang memuat data juridis dan data fisik bidang
tanah yang bersangkutan dan sepanjang ada surat ukurnya dicatat pula pada surat ukur tersebut.
Pembukuan dalam buku tanah serta pencatatannya pada surat ukur secara hukum telah didaftar
menurut PP 24 Tahun 1997. Sertifikat diterbitkan sesuai dengan data fisik yang ada dalam
surat ukur dan data yuridis yang telah didaftar dalam buku tanah untuk kepentingan pemegang
hak.
1. Sistem Positif.
Sistem ini menunjukkan bahwa sertipikat tanah yang diberikan adalah berlaku sebagai tanda
bukti hak yang bersifat mutlak (absolute) serta sertipikat merupakan bentuk satu-satunya tanda
bukti hak atas tanah yang dimiliki oleh seseorang. Sistem publikasi positif selalu menggunakan
sistem pendaftaran hak, maka meski ada register atau buku tanah sebagai bentuk penyimpanan
dan penyajian data yuridis dan sertifikasi sebagai surat tanda bukti hak. Pencatatan dan
pendaftaran nama seseorang dalam register sebagai pemegang haklah yang menjadi pemegang
hak atas tanah yang bersangkutan, bukan perbuatan hukum pemindahan hak yang dilakukan
(title by registration, the register is everything). Apa yang tercantum dalam buku pendaftaran
tanah dan surat tanda bukti hak yang dikeluarkan merupakan alat pembuktian yang mutlak.
Negara menjamin kebenaran data yang disajikan. Perolehan tanah dengan etikad baik melalui
cara sebagaimana diatur dalam undang-undang, memberikan kepada pihak yang
memperolehnya suatu hak yang “indefeasible” yang tidak dapat diganggu gugat oleh siapapun,
juga oleh pihak yang sebenarnya berhak sekalipun.
2. Sistem Negatif
Dalam sistem publikasi negatif, bukan pendaftaran tetapi sahnya perbuatan hukum yang
dilakukan yang menentukan berpindahnya hak kepada pembeli. Pendaftaran tidak membuat
orang yang memperoleh tanah dari pihak yang tidak berhak, menjadi pemegang haknya yang
baru. Sistem publikasi negatif, menunjukkan ciri bahwa apa yg tercantum didalam sertipikat
tanah adalah dianggap benar sampai dapat dibuktikan suatu keadaan yang sebaliknya (tidak
benar) dimuka pengadilan. Surat tanda bukti hak berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat,
yang berarti pula bahwa keterangan-keterangan yang tercantum di dalamnya mempunyai
kekuatan hukum danharus diterima (oleh hakim) sebagai keterangan yang benar, sepanjang
tidak ada alat pembuktian lain yang membuktikan sebaliknya.
Sistem publikasi menurut UUPA No. 5 Tahun 1960 adalah sistem publikasi
negatif bertendensi positif. Artinya sistem negatif yang mengandung unsur positif karena
akan menghasilkan surat-surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat,
seprti yang dinyatakan dalam pasal 19 ayat 2 huruf c, pasal 23 ayat 2, pasal 32 ayat2 dan pasal
38 ayat 2 UUPA. Sistem Publikasi yang dianut adalah bukan sistem negatif murni, karena
pejabat pendaftaran tanah dalam rangka pengumpulan data bersikap passif dan pada umumnya
menggunakan sistem pendaftaran akta yang memuat data itulah yang didaftar. Dalam akta
tersebut oleh pejabat pendaftaran dibubuhkan catatan bahwa telah dilakukan pendaftarannya.
Akta itulah yang merupakan tanda bukti hak.
Bahwa pendaftaran tanah yang diselenggarakan atas perintah Pasal 19 UUPA, menghasilkan
alat pembuktian yang kuat (bukan mutlak = positif), menurut para pejabat pendaftaran tanah
dalam mengumpulkan data fisik dan data yuridis, sejauh mungkin berusaha memperoleh data
yang benar. Data pada pendaftaran tanah meliputi: Data fisik, kegiatan pengumpulan data fisik
meliputi penetapan batas, pengukuran dan pemetaan tanah yang bersangkutan (diatur dalam
pasal 17,18,19 dan 20 PP 24/1997). Pengumpulan data yuridis diatur dalam pasal 23,24 dan 25
PP 24/1997. Dibedakan antara hak baru dan hak lama.
Alat bukti pemilikan tanah menurut pasal 24(1) bisa berupa alat-alat tertulis, keterangan saksi
dan atau pernyataan yangbersangkutan yang kadar kebenarannya dianggap cukup untuk
mendaftar hak, pemegang hak dan hak-hak pihak lain yang membebaninya. Ada 3 (tiga)
kemungkinan alat pembuktiannya ;
1. Bukti tertulisnya lengkap, tidak memerlukan bukti lain.
2. Bukti tertulisnya sebagian tidak ada lagi ; diperkuat keterangan saksi dan/atau
pernyataan yang bersangkutan
3. Bukti tertulisnya semuanya tidak ada lagi, diganti keterangan saksi dan/atau pernyataan
yang bersangkutan.
Sengketa tanah Prokimal (proyek pemukiman TNI AL) meletus tahun 1998. Warga di sekitar
Prokimal sering menggelar unjuk rasa dengan cara memblokade jalur pantura (pantai utara)
untuk menuntut pembebasan lahan yang dianggap miliknya. Di lain pihak, menurut keterangan
TNI AL, lahan yang diinginkan warga itu merupakan milik TNI AL yang diperoleh dengan
pembelian yang sah tahun 1960 seluas 3.569,205 hektare yang tersebar di dua kecamatan, yakni
Nguling dan Lekok, serta di 11 desa, yakni Desa Sumberanyar, Sumberagung, Semedusari,
Wates, Jatirejo, Pasinan, Balunganyar, Brang, Gejugjati, Tamping, dan Alas Telogo.
Saat itu tanah tersebut dibeli seharga Rp 77,66 juta dan rencananya digunakan untuk pusat
pendidikan dan latihan TNI AL yang terlengkap dan terbesar. Karena belum memiliki dana,
agar tidak telantar, tanah tersebut dijadikan area perkebunan dengan menempatkan 185
keluarga prajurit.
Kemudian pada 1984 keluar Surat Keputusan KSAL No Skep/675/1984 tanggal 28 Maret 1984
yang menunjuk Puskopal dalam hal ini Yasbhum (Yayasan Sosial Bhumyamca) untuk
memanfaatkan lahan tersebut sebagai lahan perkebunan produktif, dengan memanfaatkan
penduduk setempat sebagai pekerja.
Upaya-upaya penyelesaian sertifikasi tanah yang dilaksanakan Lantamal III Surabaya sejak 20
Januari 1986 dapat terealisir BPN pada 1993 dengan terbitnya sertifikat sebanyak 14 bidang
dengan luas 3.676 hektare. Meski demikian masih ada penduduk yang belum melaksanakan
pindah dari tanah yang telah dibebaskan TNI AL. Pada 20 November 1993 Bupati Pasuruan
mengirimkan surat kepada Komandan Lantamal III Surabaya perihal usulan pemukiman
kembali nonpemukim TNI AL di daerah Prokimal Grati. Kemudian Bupati Pasuruan
mengajukan surat kepada KSAL pada 3 Januari 1998 untuk mengusulkan bahwa tanah relokasi
untuk penduduk nonpemukim TNI AL agar diberikan seluas 500 meter persegi per KK.
Pembahasan Kasus
Tap MPR No. IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam telah
mengamatkan bahwa “menghormati dan menjunjung tinggi hak asasi manusia” adalah salah
satu prinsip yang wajib ditegakkan oleh (aparat) negara dalam penanganan sengketa agraria.
Dengan merujuk pada Tap MPR ini saja, cara-cara yang ditempuh oleh (aparat) negara itu tentu
saja menjadi tindakan yang tragis-ironis. Sekali lagi hal itu pun bisa menunjukkan, betapa
bobroknya implementasi hukum kita, dan betapa masyarakat yang semestinya dilindungi selalu
berada dalam posisi tidak berdaya, selalu dipersalahkan, dan menjadi korban. Malangnya,
hampir dalam setiap kasus sengketa tanah, posisi masyarakat selalu lemah atau dilemahkan.
Masyarakat sering tidak memiliki dokumen-dokumen legal yang bisa membuktikan
kepemilikan tanahnya. Mereka bisanya hanya bersandar pada “kepemilikan historis” dimana
tanah yang mereka miliki telah ditempati dan digarap secara turun-temurun.
Didalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok Agraria (UUPA) sebenarnya
termaktub satu ketentuan akan adanya jaminan bagi setiap warga negara untuk memiliki tanah
serta mendapat manfaat dari hasilnya (pasal 9 ayat 2). Jika mengacu pada ketentuan itu dan
juga merujuk pada PP No. 24/1997 tentang Pendaftaran Tanah (terutama pasal 2) Badan
Pertanahan Nasional (BPN) semestinya dapat menerbitkan dokumen legal (sertifikat) yang
dibutuhkan oleh setiap warga negara dengan mekanisme yang mudah, terlebih lagi jika warga
negara yang bersangkutan sebelumnya telah memiliki bukti lama atas hak tanah mereka.
Namun sangat disayangkan pembuktian dokumen legal melalui sertifikasi pun ternyata bukan
solusi jitu dalam kasus sengketa tanah. Seringkali sebidang tanah bersertifikat lebih dari satu,
pada kasus Meruya yang belakangan sedang mencuat, misalnya. Bahkan, pada beberapa kasus,
sertifikat yang telah diterbitkan pun kemudian bisa dianggap aspro (asli tapi salah prosedur).
Dari hal tersebut setidaknya ada 3 (tiga) faktor penyebab sering munculnya masalah sengketa
tanah, diantaranya yaitu :
1. Sistem administrasi pertanahan, terutama dalam hal sertifikasi tanah, yang tidak beres.
Masalah ini muncul boleh jadi karena sistem administrasi yang lemah dan mungkin
pula karena banyaknya oknum yang pandai memainkan celah-celah hukum yang lemah.
2. Distribusi kepemilikan tanah yang tidak merata. Ketidakseimbangan dalam distribusi
kepemilikan tanah ini baik untuk tanah pertanian maupun bukan pertanian telah
menimbulkan ketimpangan baik secara ekonomi, politis maupun sosiologis. Dalam hal
ini, masyarakat bawah, khususnya petani atau penggarap tanah memikul beban paling
berat. Ketimpangan distribusi tanah ini tidak terlepas dari kebijakan ekonomi yang
cenderung kapitalistik dan liberalistik.
3. Legalitas kepemilikan tanah yang semata-mata didasarkan pada bukti formal
(sertifikat), tanpa memperhatikan produktivitas tanah. Akibatnya, secara legal (de jure),
boleh jadi banyak tanah bersertifikat dimiliki oleh perusahaan atau para pemodal besar,
karena mereka telah membelinya dari para petani atau pemilik tanah, tetapi tanah
tersebut lama ditelantarkan begitu saja.Ironisnya ketika masyarakt miskin mencoba
memanfaatkan lahan terlantar tersebut dengan menggarapnya, bahkan ada yang sampai
puluhan tahun, dengan gampanya mereka dikalahkan haknya di pengadilan tatkala
muncul sengketa.
Jadi, dalam kasus, terdapat suatu perbuatan hukum seorang yaitu dr. Lisa Maulida untuk
menyerahkan sebagian harta miliknya yaitu pada tahun 2000 berupa tanah hak milik nomor
229 seluas 12.000 m2 di Desa Adisana kepada Muhammadiyah Bumiayu dan pada tahun 2001
memberikan tanah wakaf sepenuhnya dengan keperluan ibadah atau kesejahteraan umum.
Dalam proses pewakafan, disebutkan dalam kasus bahwa dengan berdasar pada ikrar wakaf
yang ditujukan kepada Nadzir yaitu Muhammadiyah Bumiayu dr. Lisa Maulida menyerahkan
sebagian harta miliknya yaitu pada tahun 2000 berupa tanah hak milik nomor 229 seluas 12.000
m2 di Desa Adisana dan pada tahun 2001 memberikan tanah wakaf sepenuhnya. Walau tidak
dijelaskan mengenai apakah prosesnya disaksikan 2 orang saksi, dihadapanan PPAIW atau
tidak. Pada prinsipnya, proses pewakafan ini yelah sesuai. Tetapi terdapat permasalahan disini
ialah pada proses pendaftaran Tanah wakaf tersebut.
Disini terdapat beberapa kejanggalan dan permasalahan yang mengakibatkan sengketa dari
pewakafan tanah tersebut. Sebelumnya, telah disebutkan bahwa dalam ikrar wakaf yang
menjadi Nadir (penerima tugas pemeliharaan dan pengurusan benda wakaf) yaitu
Muhammadiah Bumiayu (kelompok/badan hukum), tetapi pada pendaftaran tanah yang
diupayakan Kodir, yang menjadi Nadir ialah pengurus muhammadiyah, H. Abdul Kodir
(perorangan). Maka terdapat pengingkaran terhadap ikrar wakaf.
Catatan:
Masalah wakaf diselesaikan oleh Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri sesuai dengan
hubungan antara masalah dengan yurisdiksi masing-masing pengadilan (pasal 12 PP No.
28/1977).
DASAR HUKUM
Pasal 49 ayat 3 UUPA;
PP No. 28/1977 tentang Perwakafan Hak Milik;
PMDN No. 6/1977 tentang Pendaftaran Perwakafan Tanah Hak Milik;
Pengelola komplek Gelora Bung karno (GBK) atau Badan Layanan Umum (BLU) Pusat
Pengelolaan Komplek Gelanggang Olahraga Bung Karno (PPKGBK) menyatakan kerja sama
dengan proyek Senayan City sudah sesuai aturan. Pada saat ini, eksekutif,
termasuk Government Public Relations diharapkan dapat membantu mengambil tindakan
tegas. Kasus sengketa lahan Senayan City, Jakarta, muncul karena adanya pengaduan atau
klaim atas tanah yang digunakan untuk Senayan City oleh orang yang mengaku ahli waris Alm
Toyib bin Kiming. Sengketa lahan yang ditempati Senayan City mencuat setelah ahli waris
Toyib bin Kiming mengklaim tanah seluas 6,2 hektare di Jalan Asia Afrika itu sebagai
miliknya.
Pengelola GBK yang ada di bawah Sekretariat Negara (Setneg) membantah klaim bahwa tanah
tempat Senayan City adalah lahan sengketa. Tanah yang digunakan oleh PT Manggala Gelora
Perkasa untuk proyek Senayan City adalah tanah milik negara atau PPK GBK atau Setneg dan
apabila ada pihak-pihak lain yang mengaku mempunyai hak kepemilikan atas tanah tersebut
tentunya dapat melakukan upaya hukum. Sebab tanah GBK adalah tanah eks Asian Games IV
tahun 1962 yang kepemilikannya adalah milik negara. Namun, menurut Government Public
Relations Senayan City, sengketa itu adalah masalah antara pihak Gelora Bung Karno dan
keluarga ahli waris. Kepastian dari Sekretariat Negara sangat dibutuhkan, karena ini tanah
negara. Hak kepemilikan tanah berada di tangan Sekretaris Negara dan pengelolaannya
dipercayakan kepada Gelora Bung Karno. Sebagai penyewa, Senayan City mengajukan
permohonan kepada pengelola Gelora Bung Karno mengenai perjanjian sewa-menyewa akan
penggunaan lahan itu selama 35 tahun, terhitung sejak 2006.
Kuasa hukum ahli waris Toyib bin Kiming, Tony Arif, mengatakan, lahan yang di klaim
kliennya berada di luar lahan yang dikuasai Sekretariat Negara. Kesimpulan itu sudah
diverfikasi Badan Pertanahan Nasional, P2U, pajak, camat, dan lurah setempat. Di sisi lain,
Public Relations Manager Senayan City membantah anggapan bahwa pihaknya menganggap
remeh persoalan sengketa tanah itu. Ia menjelaskan, Senayan City sebagai pihak ketiga harus
menyerahkan persoalan kepemilikan lahan kepada pemerintah. Menurut pendapatnya, mereka
hanya penyewa, tidak berwenang menentukan siapa pemilik tanah, Government Public
Relations Senayan City berkomentar bahwa mereka hanya sebagai pihak ketiga dan penyewa
tanah. Kasus ini dapat diselesaikan melalui jalur hukum, karena sengketa lahan itu tidak akan
menemui jalan keluar dan tidak menemukan kepastian jika pihak yang bersengketa tetap
berkukuh dengan pendirian mereka.
Pembahasan Kasus
Pada hakikatnya, kasus pertanahan merupakan benturan kepentingan (conflict of interest) di
bidang pertanahan antara siapa dengan siapa, sebagai contoh konkret antara perorangan dengan
perorangan; perorangan dengan badan hukum; badan hukum dengan badan hukum dan lain
sebagainya.Sehubungan dengan hal tersebut di atas, guna kepastian hukum yang diamanatkan
UUPA, maka terhadap kasus pertanahan dimaksud antara lain dapat diberikan
respons/reaksi/penyelesaian kepada yang berkepentingan (masyarakat dan pemerintah), berupa
solusi melalui Badan Pertanahan Nasional dan solusi melalui Badan Peradilan.
Melalui BPN, seringkali Badan Pertanahan Nasional diminta sebagai mediator di dalam
menyelesaikan sengketa hak atas tanah secara damai saling menghormati pihak-pihak yang
bersengketa. Berkenaan dengan itu, bilamana penyelesaian secara musyawarah mencapai kata
mufakat, maka harus pula disertai dengan bukti tertulis, yaitu dari surat pemberitahuan untuk
para pihak, berita acara rapat dan selanjutnya sebagai bukti adanya perdamaian dituangkan
dalam akta yang bila perlu dibuat di hadapan notaris sehingga mempunyai kekuatan
pembuktian yang sempurna.Pembatalan keputusan tata usaha negara di bidang pertanahan oleh
Kepala Badan Pertanahan Nasional berdasarkan adanya cacat hukum/administrasi di dalam
penerbitannya.
Yang menjadi dasar hukum kewenangan pembatalan keputusan tersebut antara lain :
1. Undang-Undang No 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.
2. Peraturan Pemerintah No 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
3. Keputusan Presiden No 34 Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional Di Bidang
Pertanahan.
4. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No 3 Tahun
1999.
Melalui Badan Peradilan, setelah melalui penelitian ternyata Keputusan Tata Usaha Negara
yang diterbitkan oleh Pejabat Badan Pertanahan Nasional sudah benar menurut hukum dan
sesuai dengan prosedur yang berlaku, maka Kepala BPNdapat juga mengeluarkan suatu
keputusan yang berisi menolak tuntutan pihak ketiga yang berkeberatan atas Keputusan TUN
yang telah dikeluarkan oleh Pejabat BPN tersebut. Sebagai konsekuensi dari penolakan
tersebut berarti Keputusan Tata Usaha Negara yang telah dikeluarkan tersebut tetap benar dan
sah walaupun ada pihak lain yang mengajukan ke pengadilan setempat. Sementara menunggu
putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, dilarang bagi Pejabat Tata Usaha Negara
yang terkait mengadakan mutasi atas tanah yang bersangkutan (status quo). Oleh karena itu
untuk menghindari terjadinya masalah di kemudian hari yang menimbulkan kerugian bagi
pihak-pihak yang berperkara maupun pihak ketiga, maka kepada Pejabat Tata Usaha Negara
di bidang Pertanahan yang terkait harus menerapkan asas-asas umum pemerintahan yang baik,
yaitu untuk melindungi semua pihak yang berkepentingan sambil menunggu adanya putusan
yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde)
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Salah satu tujuan dari Pendaftaran Tanah yaitu untuk memberikan kepastian hukum hak milik
atas tanah terhadap masyarakat sesuai pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 ,
namun seutuhnya belum terlaksana dengan baik sebagai bukti bahwa peringkat pertama di
setiap pengadilan Negeri di Indonesia masih ditempati oleh konflik-konflik sengketa
pertanahan dan terkait dengan pasal 32 ayat (2) PP Nomor 24 Tahun 1997 bahwa pihak yang
merasa mempunyai sesuatu kepentingan terkait hak atas tanah yang didaftarkan oleh seseorang,
dibatasi hanya dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sejak diterbitkannya sertifikat tanah, dapat
melakukan gugatan dalam rangka mempertahankan haknya, kecuali dapat dibuktikan tidak
adanya itikad baik dalam perolehan sertifikat tersebut. Sesuai dengan pasal ini secara jelas dan
tegas pembentuk UU bersifat mendua. Disatu sisi mempunyai keinginan untuk memberikan
kepastian hukum bagi pemilik tanah yang sudah bersertifikat, tetapi di sisi lain juga tidak
mempunyai keyakinan atas kebenaran data fisik maupun data yuridis yang digunakan untuk
melakukan pendaftaran tanah hingga terbitnya sertifikat. Oleh karena itu sampai saat ini janji
untuk memberikan kepastian hukum atas kepemilikan tanah belum dirasakan oleh
masyarakat. Sertifikat berlaku hanya sebagai alat pembuktian yang kuat, artinya selama tidak
dapat dibuktikan sebaliknya, data fisik dan data yuridis yang tercantum di dalam sertipikat
harus diterima sebagai data yang benar baik dalam perbuatan hukum sehari-hari maupun dalam
berperkara di pengadilan.
Penyebab terjadinya sertipikat ganda disebabkan oleh kesalahan dari Pemilik tanah/pemohon
itu sendiri dan oleh pihak Badan Pertanahan Nasional selaku instansi yang menerbitkan
sertipikat. Secara garis besar penyebabnya adalah :
1. Pemohon dengan sengaja atau tidak dengan sengaja menunjuk letak tanah dengan
batas-batas yang salah.
2. Adanya surat, alat bukti, atau pengakuan haknya dibelakang hari terbukti mengandung
ketidak benaran, kepalsuan atau tidak berlaku lagi.
3. Tidak dilaksanakannya UUPA dan peraturan-peraturannya secara konsekwen dan
bertanggung jawab, dan Kurang berfungsinya aparat pengawas.
4. Ketidaktelitian pejabat kantor Pertanahan dalam menerbitkan sertifikat.
5. Ketergantungan BPN pada instansi Pemerintah lainnya, seperti kantor desa/camat dan
kantor perpajakan dan keterlibatan Pejabat Umum.
6. Masyarakat kurang memahami mengenai peraturan perundangan menganai prosedur
pembuatan sertifikat tanah.
7. Pembeli tidak pernah melihat batas-batas tanahnya.
8. Pengukuran yang tidak tertib bahkan tidak professional.
9. Adanya alas hak yang tidak benar atau dipalsukan.
3.2 Saran
Dengan harapan terciptanya kepastian hukum hak atas tanah, serta tidak terjadinya tumpang
tindih overlapping atau sertipikat ganda, maka berdasarkan kesimpulan sebelumnya
direkomendasikan beberapa saran, yaitu;
1. Pelaksanaan pendaftaran tanah hendaknya memanfaatkan teknologi tinggi,
komputerisasidi bidang pengukuran dan pemetaan yang akurat dan cepat, dan ditunjung
oleh sumber daya manusia yang berkwalitas dan handal dibidangnya.
2. Melaksanakan pendaftaran tanah sesuai dengan koridor hukum dan prosedur yang telah
ditetapkan disetiap unit kerja dan dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab.
3. Meningkatkan pengawasan terhadap kinerja dan tanggung jawab aparat pelaksana
pendaftaran tanah diseluruh wilayah Indonesia, serta selalu memberikan binaan moral
dan etika secara kontinyu, sehingga kolusi yang terjadi dapat diminimalisir.
DAFTAR PUSTAKA
Literatur Buku
Boedi Harsono. 2008. Hukum Agraria Indonesia : Sejarah Pembentukan Undang-undang
Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya. Jakarta : Djambatan
Boedi Harsono. 2008. Hukum Agraria Indonesia : Himpunan Peraturan-Peraturan Hukum
Tanah. Jakarta : Djambatan
Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.
Situs Internet
www.academia.edu, Pendaftaran dan Peralihan Hak atas Tanah, diakses pada bulan
November 2015.