Anda di halaman 1dari 122

Isi

BAB I.......................................................................................................................................3
ARTIKEL TENTANG RECHTSVERWERKING DALUWARSA........................................3
1.1. LEMBAGA RECHTSVERWERKING DALAM SISTEM PENDAFTARAN
TANAH DI INDONESIA....................................................................................................3
1.2. PENERAPAN ASAS RECHTSVERWERKING DALAM PEROLEHAN HAK
ATAS TANAH MENURUT PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 24 TAHUN 1997
TENTANG PENDAFTARAN TANAH (Kajian Hukum Terhadap Putusan Peninjauan
Kembali Mahkamah Agung Nomor : 336 PK/Pdt/2015)....................................................12
1.3. EKSISTENSI LEMBAGA RECHTSVERWEKING DALAM SISTEM
PUBLIKASI PENDAFTARAN TANAH DI INDONESIA...............................................24
1.4. KONSEP RECHTSVERWERKING DALAM PUTUSAN PENGADILAN.........34
1.5. MEWUJUDKAN SISTEM PENDAFTARAN TANAH PUBLIKASI POSITIF...45
1.6. PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PEMEGANG HAK ATAS TANAH
TERHADAP PEMBERLAKUAN ASAS RECHTSVERWERKING (PELEPASAN HAK)
DI KABUPATEN BIAK NUMFOR..................................................................................55
1.7. KEBERLAKUAN ASAS LAMPAUNYA WAKTU (RECHTVERWERKING). .67
DALAM SENGKETA KEPEMILIKAN HAK ATAS TANAH........................................67
1.8. SERTIFIKAT HAK MILIK ATAS TANAH SEBAGAI ALAT BUKTI HAK
YANG KUAT....................................................................................................................79
1.9. JAMINAN KEPASTIAN KEPEMILIKAN BAGI PEMENANG HAK ATAS
TANAH DALAM PENDAFTARAN TANAH MENURUT UUPA.................................96
1.10. PENYELESAIAN HUKUM TERHADAP PENERBITAN SERTIFIKAT HAK
ATAS TANAH YANG CACAD HUKUM.....................................................................112
BAB II.................................................................................................................................121
RESUME.............................................................................................................................121
BAB III................................................................................................................................125
ANALISA............................................................................................................................125
BAB IV................................................................................................................................127
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................................127

1
BAB I

ARTIKEL TENTANG RECHTSVERWERKING DALUWARSA


1.1. LEMBAGA RECHTSVERWERKING DALAM SISTEM PENDAFTARAN
TANAH DI INDONESIA

LEMBAGA RECHTSVERWERKING DALAM SISTEM PENDAFTARAN


TANAH DI INDONESIA

Oleh

Arief Rahman
Fakultas Hukum Universitas mataram
ABSTRAK
Dasar hukum pendaftaran tanah di Indonesia diatur dalam pasal 19
UUPA. Untuk menindaklanjuti ketentuan pasal 19 UUPA dibuatlah PP No. 10
tahun 1961 tentang pendaftaran tanah. Dalam kedua peraturan perundang-
undangan itu, sistem publikasi yang digunakan dalam pendaftaran tanah
adalah sistem negatif. Hal ini merupakan salah satu kelemahan yang dimiliki
PP No. 10 tahun 1961 yang kemudian disempurnahkan oleh PP No. 24 tahun
1997. Sistem publikasi yang digunakan dalam pendaftaran tanah di Indonesia
berdasarkan PP No. 24 tahun 1997 adalah sistem negatif bertendens positif.
Pengertian sistem negatif bahwa keterangan-keterangan yang ada pada
sertifikat/ buku tanah jika tidak benar dapat diubah, oleh karena itu setiap
orang yang merasa berhak mempunyai peluang untuk mengajukan gugatan ke
pengadilan menuntut haknya sepanjang mampu membuktikan sebaliknya
sesuai hukum pembuktian. Hal itu hanya bisa dilakukan sebelum 5 tahun
pasca terbitnya sertipikat.
Sedangkan bertendensi positif berarti adanya peran aktif dari pelaksanaan
pendaftaran tanah. Pola pelaksanaan (petugas) tersebut harus mengadakan
penelitian terhadap riwayat bidang tanah dengan teliti . Sehingga untuk
pendaftaran tanah diperluakan pengumuman yang cukup lama (30 hari untuk
pendaftaran tanah secara sistematik dan 60 hari untuk pendaftaran tanah
secara sporadik.

2
A. PENDAHULUAN
Indonesia merupakan negara agraris dengan memanfaatkan kegunaan
tanah secara optimal berdasarkan fungsi sosial yang dapat memberikan
kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia. Bagi negara agraris, tanah
mempunyai fungsi yang amat penting bagi kemakmuran dan kesejahteraan
rakyat.
Manusia memiliki hubungan dengan tanah, baik dalam peruntukan
penggunaan tanah tersebut serta keuntungan yang didapatkan dengan
mengolah tanah tersebut. Namun berdasarkan UUPA bahwa terdapat beberapa
hak dalam penguasaan tanah yaitu terdapat dalam Pasal 16 ayat (1) UU No. 5
Tahun 1960 yaitu:
1. Hak milik
2. Hak guna usaha
3. Hak guna bangunan
4. Hak pakai
5. Hak sewa
6. Hak membuka tanah
7. Hak memungut hasil hutan
8. Hak-hak laian yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut diatas
yang akan ditetapkan dengan undang-undang serta hak-hak yang
sifatnya sementara sebagaimana yang disebutkan dalam pasal 53.
Setiap warga negara Indonesia berhak untuk memperoleh setiap hak-hak
atas tanah tersebut diatas dengan memenuhi beberapa persyaratan yang telah
ditentukan berdasarkan undang-undang. Oleh karena itu sejak berlakunya
UUPA, mengharuskan pemerintah untuk menyelenggarakan pendaftaran tanah
bagi setiap bidang tanah. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 19 UUPA yang
menentukan sebagai berikut:
1) Untuk menjamin kepastian hukum oleh pemerintah diadakan
pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia menurut
ketentuan- ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah
2) Pendaftaran tersebut dalam ayat 1 Pasal ini meliputi :
a. Pengukuran, perpetaan dan pembukuan tanah.
b. Pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak
tersebut.
c. Pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai

3
alat pembuktian yang kuat
3) Pendaftaran tanah diselenggarakan dengan mengingat keadaan
Negara dan masyarakat, keperluan lalu lintas sosial ekonomi serta
kemungkinan penyelenggaraannya, menurut pertimbangan Menteri
Agraria.
Ketentuan dalam Pasal 19 ayat (1) UUPA tersebut merupakan ketentuan
yang ditujukan kepada pemerintah untuk menyelenggarakan pendaftaran tanah
di seluruh Indonesia, yang sekaligus juga merupakan dasar hukum bagi
pelaksanaan pendaftaran tanah dalam rangka memperoleh surat tanda bukti
hak atas tanah yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat. Untuk
menindak lanjuti hal tersebut, telah dikeluarkan PeraturanPemerintah Nomor
24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, sebagai penyempurnaan dari
Peraturan Pemerintah sebelumnya.
Hasil akhir dari proses pendafataran tanah adalah diterbitkan sertifikat.
Kekuatan pembuktian sertifikat sangat tergantung dari sistem pendaftaran
tanah yang digunakan oleh setiap negara. Dalam menyelenggarakan
pendafataran tanah sebelum berlakunya PP NO 24 Tahun 1997 negara
Indonesia menggunakan sistem publikasi negatif, Dengan sistem ini
penyelenggaran pendaftaran tanah harus dilakukan dengan penuh ketelitian
dalam memberikan penilaian data tentang tanah yang akan didaftar.
Berdasarkan uraian pada latar belakang tersebut diatas, maka
permasalahan yang diangkat dalam tulisan ini adalah: bagaimana keterpautan
antara lembaga ‘rechtsverwerking’ dengan sistem pendafataran tanah menurut
PP No. 24 Tahun 1997?
B. PEMBAHASAN
A. PENDAFTARAAN TANAH DI INDONESIA PERIODE SESUDAH
BERLAKUNYA UUPA
Dengan diundangkannya UUPA pada tanggal 24 September 1960
seluruh tanah dikuasai langsung oleh negara, dalam arti negara sebagai
organisasi kekuasaan bangsa Indonesia pada tingkat yang tertinggi
mempunyai wewenang mengatur serta menyelenggarakan peruntukan,
penggunaan, persedia dan memelihara atas tanah-tanah di Indonesia.
Oleh karena itu Undang-Undang Pokok Agraria dalam Pasal 19
menginstruksikan kepada pemerintah agar diseluruh wilayah kekuasaan
Indonesia diadakan pendaftaran tanah yang bersifat reachts kadaster, yang
bertujuan menjamin kepastian hukum hak atas tanah. Penyelenggaran tugas

4
tersebut dibebankan kepada jawatan pendaftaran tanah dengan berpedoman
pada peraturan pemerintah No. 10 Tahun 1961 tentang pendaftaran tanah
sebagai landasan hukum pelaksanaan penyelengaraan pendaftaran tanah.
B. KETERPAUTAN LEMBAGA ‘RECHTSVERWERKING’ DENGAN
SISITEM PENDAFATARAN TANAH BERDASARKAN PP N0. 24
TAHUN 1997
Pembangunan hukum agraria nasional didasarkan pada hukum adat.
Hukum tanah adat tidak mengenal lembaga “acquisitieve verjraning”, yang
dikenal dalam hukum adat adalah lembaga rechtsverwerking yaitu
lampaunya waktu sebagai sebab kehilangan hak atas tanah, kalau tanah yang
bersangkutan dalam waktu yang lama tidak diusahakan oleh pemegang
haknya dan dikuasai pihak lain melalui peralihan hak dengan etikat baik
(Boedi Harsono, 1999, hal. 67).
Terkait dengan itu Iman Sudiyat menyebutkan untuk mendapatkan
hak milik warga persekutuan hukum bisa menempuh beberapa cara yaitu:
1. Membuka tanah hutan (belukar);

2. Mewarisi tanah;
3. Menerima tanah karena pembelian, penukaran, hadiah, dan
4. Daluarsa (verjaring) (Iman Sudiayat, 1981, hal. 8)
Apa yang dikatakan Iman Sudiyat diatas adalah menegaskan bahwa
lembaga daluarsa (rechtsverwerking) sebagai salah satu cara mendapatkan hak
milik atas tanah, meskipun hukum adat, ketentuan daluarsa itu tidak
ditentukan dalam batas waktu yang pasti tetapi dalam jumlah waktu yang
cukup lama berdasarkan penilaian pendapat umum pada masyarakat yang
bersangkutan, hal itu dapat dipahami karena hukum adat bersifat tidak tertulis.
Kelemahan itu lalu kemudian oleh UUPA disempurnakan dengan diadakan
ketentuan pendaftaran tanah.
Pendafataran tanah merupakan suatu upaya yang sangat penting karena
menyangkut segi hak keperdataan seseorang dan bukan sekedar tindakan
administrasi belaka. Pada saat dilakukan pendaftaraan tanah maka hubungan
pribadi antara seseorang (pemohon) dengan tanah diumumkan pada pihak
ketiga/masyarakat, sehingga pada saat itulah pihak ketiga/masyarakat umum
dianggap mengetahui adanya hubungan hukum antara pemohon dengan tanah
dan wajib menghormati hal tersebut. Jadi dalam penyelenggaraan pendaftaran

5
tanah perlu adanya suatu sistem yang dapat memberi jaminan kepastian
hukumnya.
Bagi banyak negara telah menyelenggarakan pendafataran tanah,
adanya beberapa sistem pendaftaran tanah yang senantiasa diterapkan yaitu:
a. Sistem Positif
Disebut sistem positif jika apa yang tercantum didalam buku
pendaftaran tanah dan surat-surat tanda bukti hak yang
dikelauarkan merupakan alat pembuktian yang mutlak. Pihak
ketiga (yang beritikad baik) yang bertindak atas dasar bukti-bukti
tersebut mendapat perlindungan mutlak, biarpun kemudian
ternyata bahwa keterangan- keterangan yang tercantum
didalamnya tidak benar.
b. Sistem Torrens
Sistem ini lebih dikenal dengan nama “The Real Property Act”
atau “Torrens Act” yang mulai berlaku di Australia Selatan tahun
1858. Sesuai dengan namanya sistem ini kemudian banyak dianut
oleh negara-negara lain namun disesuaikan dengan hukum
materialnya masing-masing negara tersebut tetapi tata dasarnya
masih sama.
Sertifikat tanah menurut Torrens merupakan alat bukti
pemegang hak atas tanah yang paling lengkap serta tidak dapat
diganggu-gugat. Ganti rugi terhadap pemilik sejati adalah melalui
dana asuransi karena untuk merubah buku tanah tidak
diperkenankan kecuali jika sertifikat hak atas tanah itu diperoleh
dengan jalan pemalsuan atau penipuan.
c. Sistem Negatif.
Dalam sistem negatif sertifikat yang dikeluarkan merupakan
tanda bukti hak atas tanah yang kuat, artinya semua keterangan-
keterangan yang terdapat dalam sertifikat mempunyai kekuatan
hukum dan harus diterima sebagai keterangan yang benar oleh
hakim, selama tidak dibuktikan sebaliknya dengan alat
pembuktian yang lain.
Dari ketiga sistem pendaftaran tersebut diiatas, Indonesia
dengan UUPA-nya merupakan sistem ketiga (sistem negatif)
meskipun secara eksplisit UUPA tidak menyebutkan seperti itu.

6
Tetapi Apabila kita mendasarkan pada ketentuan Pasal 19 ayat (2)
huruf c UUPA yang berbunyi:
“Pemberian surat-surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian
yang kuat. Kemudian ketentuan Pasal 19 ayat (2) sub c dipertegas lagi
didalam penjelasan umum angka 7 sub b PP Nomor 10 tahun 1961 yang
disempurnakan dengan PP Nomor 24 tahaun 1997 yang antara lain
menyatakan, bahwa pembukuan suatu hak dalam daftar buku tanah atas
nama seseorang tidak mengakibatkan bahwa orang yang sebenarnya berhak
atas tanah itu akan kehilangan haknya. Orang tersebut masih dapat
menggugat hak dari orang yang terdaftar dalam buku tanah sebagai orang
yang berhak.
Atas dasar ketentuan-ketentuan diatas, jelaslah kiranya bahwa dalam
penyelenggaraan pendaftaraan tanah UUPA mengguanakan sistem negatif.
Hal ini akan membawa konsekwensi bahwa, sertifikat sebagai produk akhir
dari proses pelaksanaan pendaftaran tanah bukan satu-satunya alat bukti
tetapi salah satu alat bukti yang sah menurut hukum. Dengan demikian, tentu
masih ada alat bukti lain selain bukti sertifikat. Kondisi ini nampaknya
memberi peluang pada orang yang merasa dirinya berhak untuk mengajukan
gugatan kepada orang yang namanya terdaftar dalam buku daftar tanah
(pemegang sertifikat) atas dasar bukti-bukti yang ada pada dirinya.
Apabila dikemudian hari orang yang merasa berhak mampu membuktikan
kebenaran haknya pada proses persidangan, maka berdasarkan keputusan
hakim pengadilan yang sudah berkekuatan hukum tetap, keterangan-
keterangan yang terdapat dalam sertifikat (buku tanah) oleh BPN akan
diadakan penyempurnaan- penyempurnaan atau perubahan-perubahan
seperlunya. Terhadap sistem pendaftaran tanah yang dianut oleh UUPA,
Boedi Harsono menyatakan bahwa dalam pendaftaran tanah UUPA dan PP
N0 10 tahun 1961 tidak mengandung sistem negatif murni, tetapi sistem
negatif yang bertendensi positif.
Pengertian sistem negatif bahwa keterangan-keterangan yang ada pada
sertifikat/ buku tanah jika tidak benar dapat diubah, sedangkan bertendensi
positif berarti adanya peran aktif dari pelaksanaan pendaftaran tanah
terutama harus mengadakan penelitian tentang riwayat bidang tanah yang
akan di daftar. Pola pelaksanaan (petugas) tersebut harus mengadakan
penelitian terhadap riwayat bidang tanah dengan teliti . Sehingga untuk
pendaftaran tanah diperluakan pengumuman yang cukup lama ( 3 bulan). Hal
yang sama juga diatur dalam PP No. 24 tahun 1997 Cuma saja tenggang

7
waktu pengumuman menurut PP ini berbeda yaitu 30 hari untuk pendaftaran
tanah secara sistematik dan 60 hari untuk pendaftaran tanah secara sporadik,
agar memberikan kesempatan kepada semua pihak untuk memberikan
sanggahan. Hal ini ditempuh untuk mencegah timbulnya kekeliruan dan
mendapatkan keadaan yang sesuai dengan yang sebenarnya. Selama PP No.
10 Tahun 1961 berlaku tidak ada pengaturan yang eksplisit mengenai makna
bertendens positif dalam pendaftaran tanah, sehingga meskipun suatu bidang
tanah telah didaftarkan (telah bersertipikat) masih membuka peluang kepada
siapa saja yang merasa berhak untuk mengajukan gugatan ke Pengadilan
tanpa ada batasan waktu yang pasti.Keadaan ini tentu kurang mendapat
kepastian hukum yang mampu memberikan perlindungan hukum kepada
pemegang hak.Hal tersebut merupakan salah satu kelemahan PP No. 10
Tahun 1961, kemudian disempurnahkan oleh PP No. 24 Tahun 1997 tentang
Pendaftaran Tanah. Dalam Peraturan Pemerintah yang baru ini (PP No. 24
tahun 1997), maksud bertendens positif telah dinyatakan secara eksplisit
dalam pasal 32 ayat 2 yang berbunyi:
“Dalam hal atas suatu bidang tanah sudah diterbitkan sertipikat secara sah
atas nama orang atau badan hukum yang memperoleh tanah tersebut dengan
iktikad baik dan secara nyata menguasainya maka pihak lain yang merasa
mempunyai hak atas tanah itu tidah dapat lagi menuntut pelaksanaan hak
tersebut apabila dalam wakti 5 ( lima ) tahun sejak diterbitkannya sertipikat
itu tidak mengajukan keberatan secara tertulis kepada pemegang sertipikat
dan Kepala Kantor Pertanahan yang bersangkutan.ataupun tidak mengajukan
gugatan ke pengadilan mengenai penguasaan tanah atau penerbitan sertipikat
tersebut”
Mencermati ketentuan pasal 32 ayat 2 di atas, memberikan suatu
penegasan bahwa pendaftaran tanah di Indonesia saat ini menggunakan
sistem negatif bertendens positif artinya sebelum lima tahun terhitung
terbitnya sertipikat terhadap suatu bidang tanah masih memungkinkan bagi
setiap orang yang merasa berhak untuk menggugat ke Pengadilan menuntut
haknya sepanjang yang bersangkutan bisa membuktikan sebaliknya sesuai
hukum pembuktian. Akan tetapi, jika sudah berlangsung 5 tahun sejak
terbitnya sertipikat secara sah atas nama orang atau badan hukum yang
memperoleh tanah tersebut dengan etikad baik dan secara nyata
menguasainya maka hak menuntut itu hilang (tidak berlaku) lagi maka
pemegang hak yang terdaftar pada sertipikat tidak dapat diganggu gugat dan
mendapatkan perlindungan sepenuhnya dari hukum. Sesungguhnya apa yang

8
merupakan substansi pasal 32 ayat 2 PP No. 24 Tahun 1997 itu adalah
refleksi diakomodirnya konsep lembaga “rechtsverwerking” yang dikenal
dalam hukum tanah adat
Realita yang ada menunjukkan bahwa ketentuan pasal 32 ayat 2 di atas
digunakan untuk mengatasi kelemahan sistem publikasi negatif yang
digunakan pasal 19 UUPA dan PP No. 10 tahun 1961. Pihak yang
mengerjakan tanah orang lain dan memperoleh hak dengan etikad baik,
menguasai dalam waktu yang lama dapat menjadi miliknya.Sedangkan
pemilik aslinya dianggap telah melepaskan haknya, karena itu secara hukum
tidak dibenarkan untuk meminta kembali haknya. Keberadaan lembaga
“rechtswerking” dalam PP No 24 tahun 1997 digunakan sebagai salah satu
sarana pelengkap untuk melengkapi kelemahan sistem publikasi negatif. Hal
demikian mencerminkan bahwa hukum tanah nasional Indonesia masih
menganut jiwa dan semangat hukum adat yang secara terang-terangan
disebutkan bahwa sumber utama UUPA No. 5 tahun1960 adalah hukum
adat.
Pernyataan tersebut di atas sama dengan bunyi ketentuan penjelasan
umum III angka (1) pasal 5 UUPA yang pada intinya menyatakan bahwa
terbentuknya kesatuan hukum adalah sesuai dengan keinginan rakyat sebagai
bangsa yang satu dan sesuai pula dengan kepentingan perekonomian. Oleh
karenanya dengan sendirinya hukum agraria baru itu harus sesuai dengan
kesadaran hukum dari pada rakyat banyak. Sebab rakyat Indonesia sebagian
besar tunduk pada hukum adat, maka hukum agraria yang baru tersebut akan
didasarkan pula pada ketentuan-ketentuan hukum adat itu sebagai hukum
yang asli, yang disempurnahkan dan disesuaikan dengan kepentingan
masyarakat.

C. KESIMPULAN
Sistem publikasi yang digunakan dalam pendaftaran tanah di Indonesia
berdasarkan PP No. 24 tahun 1997 adalah sistem negatif bertendens positif.
Pengertian sistem negatif bahwa keterangan-keterangan yang ada pada
sertifikat/ buku tanah jika tidak benar dapat diubah, oleh karena itu sertipikat
bukan satu-satunya alat bukti, dan kekuatan sertipikat bisa dilumpuhkan oleh
alat bukti lain sepanjang bisa dibuktikan sebaliknya di persidangan..Hal itu
hanya bisa dilakukan sebelum 5 tahun pasca terbitnya sertipikat.
Sedangkan bertendensi positif berarti adanya peran aktif dari pelaksanaan
pendaftaran tanah untuk secara saksama mengadakan penelitian terhadap

9
riwayat bidang tanahSehingga untuk pendaftaran tanah diperluakan
pengumuman yang cukup lama (30 hari untuk pendaftaran tanah secara
sistematik dan 60 hari untuk pendaftaran tanah secara sporadik, agar
memberikan kesempatan kepada semua pihak yang merasa berkepentingan
untuk memberikan sanggahan. Hal ini ditempuh untuk mencegah timbulnya
kekeliruan dan mendapatkan keadaan yang sesuai dengan yang sebenarnya.
Selain itu, pengertian bertendens positif juga terlihat secara eksplisitdalam
pasal 32 ayat 2 PP No. 24 tahun 1997 yaitu jika sudah berlangsung 5 tahun
sejak terbitnya sertipikat secara sah atas nama orang atau badan hukum yang
memperoleh tanah tersebut dengan etikad baik maka pemegang sertipikat
tidak dapat diganggu gugat. Ketentuan ini adalah perwujudan diakomodirnya
konsep lembaga “rechtsverwerking” yang dikenal dalam hukum tanah adat.

10
1.2. PENERAPAN ASAS RECHTSVERWERKING DALAM PEROLEHAN
HAK ATAS TANAH MENURUT PERATURAN PEMERINTAH NOMOR
24 TAHUN 1997 TENTANG PENDAFTARAN TANAH (Kajian Hukum
Terhadap Putusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung Nomor : 336
PK/Pdt/2015)

PENERAPAN ASAS RECHTSVERWERKING DALAM PEROLEHAN HAK


ATAS TANAH MENURUT PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 24 TAHUN
1997 TENTANG PENDAFTARAN TANAH
(Kajian Hukum Terhadap Putusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung Nomor :
336 PK/Pdt/2015)
Nober, Pasolang Pasapan, Lisma Lumentut
1 Magister Ilmu Hukum ProgramPascasarjana, Universitas Kristen Indonesia Paulus,
Indonesia. E-mail:
noberukip@gmail.com
2 Magister Ilmu Hukum ProgramPascasarjana, Universitas Kristen Indonesia Paulus,
Indonesia. E-mail: pasapan.tandirerung01@gmail.com

3 Magister Ilmu Hukum ProgramPascasarjana, Universitas Kristen Indonesia Paulus,

Indonesia

Abstract
Penerapan asas rechtsverwerking dalam memperoleh hak atas tanah dalam
sistem pendaftaran tanah nasional pada Pasal 32 ayat (2) Peraturan Pemerintah
Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah adalah merupakan pengadopsian
dari hukum adat. Jadi hukum yang tak tertulis itu tidak hanya meliputi yang hidup
dan di pertahankan sebagai peraturan adat di dalam masyarakat yang lazim disebut
hukum adat (dalam arti yang sempit) tetapi juga hukum kebiasaan dalam lapangan
ketatanegaraan dan kehakiman atau peradilan.Pertimbangan majelis hakim mengenai
lembaga rechtsverwerking yang dituangkan dalam Pasal 32 ayat (2) PP 24/1997
tentang pendaftaran tanah, di dalam putusan peninjauan kembali Mahkamah Agung
Nomor 336 PK/Pdt/2015, di mana dalam putusannya majelis hakim dalam tingkat

11
peninjauan kembali tidak menggunakan pasal tersebut sebagai dasar
pertimbangannya untuk menyelesaikan perkara tanah yang berkaitan dengan lembaga
rechtsverwerking. Dengan memutuskan perkara ini secara praktis berdasarkan
yurisprudensi.
Kata Kunci: Pendaftaran tanah; Rechtsverwerking.

Pendahuluan
Salah satu penyebab terjadinya sengketa pertanahan yang terjadi mengenai
siapa pemegang hak sesungguhnya, penerbitan sertifikat, alat-alat pembuktian,
adanya hak atau perbuatan hukum yang dilakukan guna mendapat hak atas
penguasaan atas tanah adalah terkait pelaksanaan pendaftaran tanah khususnya dalam
hal sistem publikasi negatif yang bertendensi positif yang dianut dalam Undang-
Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar PokokPokok Agraria (UUPA)
dan Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 Tentang Pendaftaran tanah
(selanjutnya disebut PP 24/1997) sebagai pengganti Peraturan Pemerintah Nomor 10
tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah (selanjutnya disebut PP 10/1961).
Dalam sistem publikasi negatif murni negara tidak menjamin kebenaran data
yang disajikan. Sedangkan dalam sistem publikasi negatif yang mengandung unsur
positif ini pemerintah sebagai penyelenggara pendaftaran tanah harus berusaha, agar
sejauh mungkin dapat disajikan data yang benar dalam buku tanah dan peta
pendaftaran. Sehingga selama tidak dapat dibuktikan sebaliknya, data yang ada dalam
tanda bukti hak harus dianggap sebagai data yang benar. Mengenai publikasi bukan
positif ini dinyatakan pula dalam Penjelasan Umum C/7 PP 10/1961 bahwa
pembukuan hak atas tidak mengakibatkan orang yang berhak atas tanah itu akan
kehilangan haknya, ia masih dapat mengugat pihak yang namanya dicantumkan
dalam buku tanah sebagai orang yang berhak, jadi cara peraturan ini tidak positif
melainkan negatif.
Hal tersebut mengakibatkan pihak yang telah mendaftarkan hak atas tanahnya
dan memiliki tanda bukti hak tersebut bisa kemudian kapan saja digugat oleh pihak
lain yang merasa pihak yang berhak atas tanah yang sudah ia kuasai dengan disertai
tanda bukti tersebut. Tentunya hal ini tidak memberikan jaminan kepastian yang
selaras dengan tujuan diselenggarakannya pendaftaran tanah yang juga selaras dengan
tujuan pokok dari pembentukan UUPA yaitu selain sebagai dasar bagi penyusunan
hukum agraria nasional guna menciptakan kemakmuran, kebahagiaan dan keadilan

12
bagi rakyat, juga untuk menciptakan kepastian hukum hak-hak atas tanah bagi
seluruh rakyat.
Kelemahan sistem publikasi negatif yang tidak memberikan kepastian hukum
tersebut kemudian dijawab dengan lahirnya PP 24/1997 yang dimulai berlakunya
pada tanggal 8 Oktober 1997 sebagai pengganti PP 10/1961. PP 24/1997 berusaha
mengatasi kelemahan sistem negatif ini dengan mengukuhkan lembaga
recthsverwerking yang dikenal dalam hukum adat yurisprudensi, yaitu dalam Pasal 32
ayat (2). Tetapi apakah lembaga rechtsverwerking ini bisa mengatasi
kelemahankelemahan sistem publikasi negatif dan bagaimana penerapannya oleh
hakim dalam menyelesaikan sengketa tanah terkait dengan adanya gugatan dari pihak
yang merasa berhak atas suatu tanah yang secara fisik telah dikuasai oleh pihak lain
dengan bukti yuridis berupa sertifikat hak atas tanah serta bagaimana penerapannya
dalam putusan pengadilan akan dibahas dalam penulisan pada Bab-Bab selanjutnya.
Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah
mengkaji itikad baik melalui lembaga rechtsverwerking dalam Pasal 32 ayat (2).
Demikian segala tuntutan hukum oleh siapa pun yang merasa berhak atas tanah
tersebut hapus karena daluwarsa atau hapus karena pelepasan hak rechtsverwerking.
Rechtsverwerking adalah suatu prinsip/asas dalam hukum agraria yang menyatakan
bahwa seorang pemilik tanah yang meninggalkan tanahnya terlantar dalam waktu
tertentu dan membiarkan orang lain menduduki dan mengambil manfaat akan
menyebabkan pemilik semula hak atas tanahnya.
Hal tersebut sangat jelas diatur, bahwa pihak lain tidak dapat lagi menuntut
pelaksanaan hak tersebut apabila dalam waktu 5 (lima) tahun atau lebih sejak
diterbitkannya sertifikat itu tidak mengajukan keberatan secara tertulis atau gugatan
ke pengadilan. Namun dalam prakteknya masih terdapat berbagai kasus dimana
seorang atau badan hukum yang telah mempunyai sertifikat lebih dari 5 (lima) tahun
masih di gugat di pengadilan yang seharusnya sertifikat tersebut tidak perlu lagi di
gugat yaitu antara Drs. Andi Jindar Pakki Cs/ahli waris dari Almarhum Haji Andi
Pakki (Para Penggugat) dengan PT.Telekomunikasi Indonesia Tbk (PT Telkom),
Pemerintah Propinsi Sulawesi Selatan, Pemerintah Kabupaten Gowa (para tergugat)
dan Kepala Kantor Pertanahan Kota Makassar (Turut Tergugat). Majelis
hakim pada tingkat peninjauan kembali mempunyai pertimbangannya sendiri untuk
mengadili perkara sebagaimana tersebut diatas bahwa tanah yang dikuasai oleh
tergugat dalam hal PT.Telkomsel Tbk, berpendapat bahwa penggugat sudah
mengetahui penguasaan atas peralihan objek sengketa terjadi sejak tahun 1976 dan
baru sekarang diajukan gugatan (2 kali gugatan).

13
Gugatan I diajukan tahun 2008 yaitu setelah 32 tahun penggugat baru
mengajukan gugatan dan dari fakta tersebut dapat dinyatakan bahwa dengan berdiam
dirinya penggugat (membiarkan/tidak berbuat) atas objek sengketa selama lebih 32
tahun penggugat dianggap telah melepaskan haknya karena telah lewat waktu dan
majelis hakim dalam memutuskan perkara tersebut tidak menerapkan Pasal 32 ayat
(2) PP 24/1997 tentang pendaftaran tanah terutama yang berkaitan dengan asas itikad
baik yang tidak di jadikan sebagai dasar dalam mengambil suatu keputusan,
penguasaan tanah secara terus menerus dan telah terbitnya sertifikat HGB. Majelis
hakim pada putusan peninjauan kembali hanya memutuskan perkara tersebut
berdasarkan yurisprudensi.
Metode
Penelitian ini dilakukan secara normatif (normative law research)
menggunakan pendekatan kasus normatif berupa produk perilaku hukum, misalnya
mengkaji undang-undang. Pokok kajiannya adalah hukum yang dikonsepkan sebagai
norma atau kaidah yang berlaku dalam masyarakat dan menjadi acuan perilaku setiap
orang. Sehingga penelitian hukum normatif berfokus pada inventarisasi hukum
positif, asas-asas dan doktrin hukum, penemuan hukum dalam perkara in concreto,
sistematik hukum, taraf sinkronisasi, perbandingan hukum dan sejarah hukum.
Berdasarkan penjelasan di atas, peneliti memutuskan menggunakan metode penelitian
hukum normatif untuk meneliti dan menulis pembahasan tesis ini sebagai metode
penelitian hukum. Penggunaan metode penelitian normatif dalam upaya penelitian
dan penulisan tesis ini dilatari kesesuaian teori dengan metode penelitian yang
dibutuhkan peneliti.
Penerapan Asas Rechtsverwerking Dalam Memperoleh Hak Atas Tanah Dalam
Sertifikasi Tanah
Rechtsverwerking merupakan suatu pelepasan hak, baik pelepasan hak yang
sebenarnya maupun pelepasan hak secara “diam-diam” karena pemilik semula
meninggalkan dan tidak menguasai tanahnya dalam jangka waktu tertentu atau
pemilik tidak mempergunakan hak yang sebenarnya ia miliki. Menurut Penjelasan
Pasal 32 ayat (2) PP Nomor 24 Tahun 1997 rechtsverwerking adalah lembaga hukum
adat yang digunakan untuk mengatasi kelemahan sistem publikasi negatif dalam
pendaftaran tanah. Sebagai ketentuan yang berasal dari hukum adat. Tentunya
ketentuan tersebut tidak tertulis, namun ketentuan dimaksud kelihatannya telah
diadopsi oleh UUPA (Pasal 27, 34, dan 40) dengan menegaskan bahwa hapusnya hak
atas tanah dapat terjadi karena diterlantarkan. Ketentuan ini tentunya merupakan

14
penerapan ketentuan hukum yang sudah ada dalam hukum adat (bukan menciptakan
hukum baru), yang dalam tata hukum sekarang ini merupakan bagian dari Hukum
Tanah Nasional Indonesia dan sekaligus memberikan wujud konkret dalam
penerapan ketentuan dalam UUPA terutama mengenai penelantaran tanah.
Konsep rechtsverwerking dalam hukum adat bukan merupakan suatu
lembaga hukum sebagaimana dalam hukum Belanda (BW) juga tidak sama dengan
konsep verjaring pada hukum Belanda (BW). Lembaga hukum pada BW adalah
tentang memperoleh hak kepemilikan atas tanah. Cara ini diatur dalam Pasal 584
BW. Pasal 584 BW merupakan salah satu cara dalam memperoleh hak milik karena
daluwarsa (verjaring), sehingga cara ini dapat dikategorikan sebagai ‘lembaga
hukum’ dan merupakan ‘alasan hukum’ bagi perolehan hak atas tanah. Sedangkan
rechtsverwerking hanya merupakan konsep yang dibahas dalam pandangannya
dengan verjaring, namun ia bukan merupakan suatu lembaga hukum.
Pada negara-negara yang menggunakan sistem publikasi negatif umumnya
dikenal lembaga acquisitieve verjaring (memperoleh hak milik dengan lampaunya
waktu) yaitu apabila penerima hak yang beritikad baik bertindak tegas selaku pemilik
dan yang bersangkutan menguasai tanah secara nyata dan terbuka selama beberapa
tahun, tanpa ada pihak lain yang menggugat. Oleh karena itu, ia oleh hukum
ditetapkan sebagai pemiliknya, yang hak kepemilikannya sudah tidak dapat diganggu
gugat lagi, dan juga tidak oleh pihak yang membuktikan sebagai pemilik hak yang
sebenarnya. Hal ini didasarkan pada Pasal 1955 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata, bahwa: Untuk memperoleh hak milik atas sesuatu diperlukan bahwa
seseorang menguasai terus-menerus, tak terputus-putus, tak terganggu, di muka
umum dan secara tegas sebagai pemilik. Pasal 1963 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata, bahwa: Siapa yang dengan itikad baik, dan berdasarkan suatu alas hak yang
sah oleh suatu benda tak bergerak, suatu bunga atau suatu piutang lain yang tidak
harus dibayar atas tunjuk, memperoleh hak milik atasnya dengan jalan daluwarsa,
dengan suatu penguasaan selama 20 tahun.
Siapa yang dengan itikad baik menguasainya selama 30 tahun, memperoleh
hak milik, dengan tidak dapat dipaksa untuk mempertunjukan alas haknya. Sebelum
UUPA berlaku, untuk menentukan kadar kepastian hukum sesuatu hak, digunakan
upaya ketentuan mengenai “Kadaluwarsa” sebagai upaya 74 untuk memperoleh hak
eigendom atas tanah (acquisitieve verjaring), yang terdapat dalam Pasal 1955 dan
Pasal 1963 KUHPerdata Buku IV. Kadaluwarsa sebagai upaya memperoleh hak
eigendom atas tanah diatur dalam Pasal 610, 1955 dan 1963 KUHPerdata. Dalam
Pasal 610 ditetapkan bahwa seorang bezitter dapat memperoleh hak eigendom atas

15
suatu benda karena verjaring. Adapun Pasal 1955 dan Pasal 1963 KUHPerdata
memuat syaratsyaratnya,yaitu bahwa penguasaannya harus terus- menerus, tidak
terputus, tidak terganggu, dapat diketahui umum, secara tegas bertindak sebagai
eigenaar dan harus dengan itikad baik. Jika berdasarkan suatu alas hak (title) yang sah
harus berlangsung 20 tahun perlu menunjukkan alas hak.
Dengan demikian, pada hakikatnya Pasal 1955 dan 1963 merupakan
pelaksanaan dari Pasal 610 KUHPerdata, yang terletak dalam Buku II. Sebagaimana
diketahui pasal-pasal agraria di dalam Buku II telah dicabut oleh UUPA. Pada saat
itu, Pasal 610 tidak khusus mengatur soal agraria. Oleh karena itu, pasal tersebut
masih tetap berlaku, tetapi tidak penuh, dalam arti bahwa ketentuan-ketentuannya
tidak berlaku lagi sepanjang mengenai agraria (tanah dan lain-lainnya), tetapi masih
berlaku sepanjang mengenai benda-benda lainnya bukan agraria. Oleh karena itu,
Pasal 1955 dan Pasal 1963 merupakan pelaksanaan dari Pasal 610, maka sungguh pun
letaknya tidak di dalam Buku II KUHPerdata, tetapi di dalam Buku IV, harus
dianggap pula sebagai tidak berlaku lagi mengenai tanah dan lain-lain objek agraria,
bagi penguasaan tanah baru dan penguasaan tanah yang mulai berlakunya UUPA
belum berlangsung 20 atau 30 tahun. Bagi penguasaan yang mulai berlakunya UUPA
sudah memenuhi persyaratan acquisitieve verjaring, Pasal-pasal tersebut dengan
sendirinya tetap berlaku, meskipun penegasannya baru dimintakan kemudian.
Berarti bahwa pada tanggal 24 September 1960 ia sudah memperoleh hak
yang bersangkutan karena verjaring. 75 Menurut Ter Haar (1994: 237-238), konsep
rechtsverwerking digunakan oleh hakim pada masa Kolonial Belanda dalam
menerapkan hukum belanda (BW) pada situasi bumi putera dengan hukum adatnya.
Sehingga dalam penerapan konsep rechtsverwerking para hakim harus
dipertimbangkan dengan cermat dan hati-hati. Penggunaan konsep rechtsverwerking,
menurut Ter Haar hendaknya digunakan oleh hakim gubernemen dalam tiga
kemungkinan pertimbangan atas kenyataan hukum, yaitu a. Bilamana menurut hukum
adat, hak-hak materiil atas tanah secara nyata memang diakui bisa lenyap dan bisa
pula lahir karena dikuasai secara nyata dalam jangka waktu yang lama, sehingga
rechtsverwerking bisa diterapkan karena lamanya waktu.
b. Bilamana ada bukti penyangkalan atas dugaan/anggapan terjadi atau lenyapnya
suatu peristiwa hukum atau suatu hak, maka hakim dapat mempertimbangkan.
c. Bahwa karena lamanya waktu telah melahirkan rechtsverwerking sehingga dapat
memutus lenyapnya suatu peristiwa hukum atau hak. Beberapa pendapat menganggap

16
Pasal 32 ayat (2) PP Nomor 24 Tahun 1997 merupakan pasal yang diterapkan untuk
mengatasi kelemahan dari sistem publikasi negatif yang dianut oleh UUPA.
Menurut Boedi Harsono (2008:502) penerapan pasal ini yang merupakan
penerapan dari lembaga rechtsverwerking untuk mengatasi sistem publikasi negatif
yang digunakan dalam penyelenggaraan pendaftaran tanah menurut UUPA. Dalam
Pasal 32 ayat (2) PP Nomor 24 tahun 1997 ini mengandung dua sisi sekaligus, yaitu
tidak terlepas dari sisi positif dan sisi negatif. Sisi positif Pasal 32 ayat (2) PP Nomor
24 Tahun 1997, antara lain :
a) Pasal 32 ayat (2) PP Nomor 24 Tahun 1997 dapat dikatakan melaksanakan pasal
yang ada dalam UUPA, yaitu pada Pasal 27, 34, dan 40 UUPA. Acuan yang dipakai
berdasarkan pasal ini adalah bahwa hak atas tanah dapat menjadi hapus karena
diterlantarkan oleh pemiliknya. Dengan diterapkannya Pasal 32 ayat (2) PP Nomor 24
76 Tahun 1997 maka bagi pemegang hak atas tanah wajib menguasai secara fisik
tanahnya dan melakukan suatu pendaftaran agar terhindar dari kemungkinan tanahnya
disertifikatkan atas nama orang lain.
b) Pasal 32 ayat (2) PP Nomor 24 Tahun 1997 dianggap dapat menutupi kekurangan
dari sistem pendaftaran negatif yang dipakai oleh Indonesia. Jika perbedaan sistem
terletak pada kekuatan antara sertifikat sebagai alat bukti yang kuat dan mutlak maka
pasal ini dapat dipakai bahwa sertifikat yang pada awalnya merupakan alat bukti yang
kuat dapat menjadi alat bukti yang mutlak, ketika sudah dimiliki selama lima tahun,
diperoleh dengan itikad baik dan dikuasai secara nyata dan terbuka.
c) Pasal 32 ayat (2) PP Nomor 24 Tahun 1997 merupakan langkah hukum yang maju
dalam aspek pemberian kepastian hukum bagi masyarakat, dalam hal ini terhadap hak
yang dimilikinya. Sehingga dengan adanya pasal ini masyarakat yang memiliki
sertifikat hak atas tanahnya merasa aman dan tidak perlu was-was bila terjadi
permasalahan terhadap kepemilikan tanahnya di kemudian hari.
d) Diterapkannya Pasal 32 ayat (2) PP Nomor 24 Tahun 1997 sekaligus menjadi
motivasi pemegang hak atas tanah untuk mendaftarkan tanahnya ke kantor
pertanahan. Kesadaran masyarakat dalam hal ini akan lebih meningkat karena mereka
dapat merasakan manfaat praktisnya bahwa hak mereka terhadap tanahnya tidak akan
dapat dipermasalahkan oleh pihak lain yang merasa memiliki tanah yang sama
dengan adanya sertifikat yang mereka peroleh dengan itikad baik, dimiliki selama
lebih dari lima tahun dan tanahnya dikusai secara nyata dan terbuka.

17
e) Pasal 32 ayat (2) PP Nomor 24 Tahun 1997 merupakan penerapan dari
yurisprudensi berdasarkan konsep rechtsverwerking yang sudah dipakai berkali-kali
oleh para hakim dalam menyelesaikan permasalahan sengketa tanah- tanah adat di
Indonesia. Sehingga Pasal 32 ayat (2) PP Nomor 24 Tahun 1997 hendaknya juga
dapat diterapkan 77 oleh para hakim dalam menyelesaikan permasalahan sengketa
pendaftaran tanah di Indonesia pada masa sekarang.
Sisi negatif dari penerapan Pasal 32 ayat (2) PP Nomor 24 Tahun 1997 ini,
antara lain: a) Bertentangan dengan Pasal 19 UUPA bahwa sertifikat merupakan alat
bukti yang kuat (bukan mutlak) sehingga terhadapnya masih dimungkinkan adanya
gugatan selama masih bisa dibuktikan oleh pihak Penggugat. Dalam Pasal 32 ayat (2)
PP Nomor 24 Tahun 1997 sertifikat akan menjadi alat bukti yang mutlak. Sehingga
dalam hal ini terjadi pertentangan antara undang-undang dan Peraturan Pemerintah
yang mana kedudukan undang-undang lebih tinggi dari peraturan pemerintah,
sehingga ada anggapan bahwa Pasal 32 ayat (2) PP Nomor 24 Tahun 1997 tidak
dapat diterapkan dalam menyelesaikan permasalahan sengketa tanah; b) Selain
bertentangan dengan sistem pendaftaran yang mempermasalahkan kekuatan
pembuktian sertifikat. Pasal 32 ayat (2) PP Nomor 24 Tahun 1997 juga bertentangan
dengan asas yang dipakai dalam sistem negatif, yaitu asas nemo plus yuris, padahal
Pasal 32 ayat (2) PP Nomor 24 Tahun 1997 mengacu kepada asas itikad baik, dimana
asas itikad baik ini dipakai dalam sistem pendaftaran positif. Sehingga dikuatirkan
akan terjadi tumpang tindih hukum.
c) Pasal 32 ayat (2) PP Nomor 24 Tahun 1997 akan membatasi hak seseorang
menuntut pelaksanaan haknya. Hal ini jelas merugikan pemilik tanah yang
sebenarnya karena mereka tidak punya hak lagi untuk menuntut tanahnya,misalnya
jika dipunyai bukti baru yang dapat diajukan dalam gugatannya padahal jangka waktu
lima tahun sudah terlewati. d) Dikwatirkan akan membawa ketidakadilan.
Diterapkannya Pasal 32 ayat (2) PP Nomor 24 Tahun 1997 akan merugikan pemilik
tanah apabila perolehan atas tanah tersebut tidak sah atau tidak dengan itikad baik,
apabila dalam pengadilan tidak dapat dibuktikan bahwa 78 perolehan tanah tersebut
tidak dengan itikad baik meskipun sebenarnya perolehan atas tanah tersebut tidak sah,
karena pembuktian itikad baik merupakan hal yang sulit. Sehingga jelas akan
merugikan pemilik hak yang sebenarnya, karena tidak ada ganti rugi bagi pihak
yang dirugikan. Pasal 32 ayat (2) PP Nomor 24 Tahun 1997 ini ada baiknya
diterapkan dengan catatan dalam penerbitan sertifikat hak atas tanah, pihak-pihak
yang terkait dengan penerbitan baik dalam pemberian petunjuk-petunjuk sebagai
syarat diterbitkannya sertifikat maupun dalam proses penerbitannya tersebut benar-
benar berlandaskan kejujuran dan ketelitian. Sehingga dalam penerbitan sertifikat,

18
mereka yang benar-benar mempunyai alas hak yang sahlah yang dapat mempunyai
sertifikat haknya bukan mereka yang menguasai tanah orang lain tanpa
sepengetahuan pemiliknya, karena pemiliknya pergi selama bertahun-tahun.
Pada dasarnya setuju dengan pasal ini karena dikembalikan lagi kepada tujuan
pendaftaran tanah pada UUPA dan kebutuhan masyarakat Indonesia, yaitu untuk
memberikan jaminan kepastian hukum di bidang pertanahan. Sesuai pula dengan
keinginan masyarakat yang melakukan pendaftaran tanah karena umumnya
masyarakat yang mendaftarkan tanahnya berharap dengan dilakukannya pendaftaran.
Maka kepemilikan mereka terhadap suatu bidang tanah tidak dapat diganggu lagi oleh
pihak lain yang merasa mempunyai tanah yang sama dengan yang dikuasainya. Jika
pelaksanaan pendaftaran tanah di Indonesia berjalan dengan baik. Dalam arti
masyarakat sadar betul bahwa tanah yang mereka miliki harus didaftarkan sehingga
akan diperoleh sertifikat hak atas tanah.
Pihak-pihak yang berkaitan dengan pelaksanaan pendaftaran tanah, baik pihak
kelurahan dalam hal penerbitan surat-surat/dokumen-dokumen sebagai syarat
pendaftaran tanah maupun kantor pertanahan. Dalam hal menerbitkan sertifikat
melalui proses yang semestinya dan dengan sebaik-baiknya sehingga tanah-tanah di
Indonesia memang terdaftar atas 79 nama orang yang benar-benar berhak maka
dengan ditingkatkannya Pasal 32 ayat (2) PP Nomor 24 tahun 1997 menjadi suatu
pasal dalam undang-undang. Karena dasarnya sesuai dengan tujuan dari
dilaksanakannya pendaftaran tanah yaitu untuk memberikan kepastian hukum dan
perlindungan hukum kepada pemegang hak atas tanah agar dengan mudah dapat
membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang bersangkutan. Praktik asas
rechverwerking lebih menekankan pada yurisprudensi yang di jadikan oleh majelis
hakim dalam mengambil keputusan.
Jadi walaupun ada Pasal 32 ayat (2) PP 24/1997 tentang pendaftaran tanah
yang mengatur tentang rechtsverwerking tetapi yurisprudensi yang menjadi pedoman
majelis hakim dalam mengambil keputusan karena pasal tersebut juga bukan
merupakan sesuatu yang baru. Di mana pasal tersebut merupakan pengadopsian dari
hukum adat yang di masukkan kedalam pasal tersebut. Peralihan hukum adat kedalam
UUPA yang tadinya sebagai hukum yang tidak tertulis menjadi hukum yang tertulis..
Adapun berapa kasus yang berkaitan dengan praktik asas rechtsverwerking adalah
sebagai berikut: a. Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 329 K/Sip/1958
tanggal 24 September 1958. “orang yang membiarkan saja tanah menjadi haknya
selama 18 tahun dikuasai oleh orang lain, dianggap telah melepaskan haknya atas
tanah tersebut”. b. Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No.200

19
K/Sip/1974 tanggal 11 Desember 1975. “keberatan yang telah diajukan tergugat
untuk kasasi bahwa hukum adat tidak mengenal kadaluwarsa dalam hal pewarisan,
tidak dapat dibenarkan karena gugatan telah di tolak bukan atas alasan
kadaluwarsanya gugatan, tetapi karena dengan berdiam diri selama 30 tahun lebih
para penggugat asal di anggap telah melepaskan haknya”.
Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No.783 K/Sip/1973 tanggal
29 Januari 1976. “pertimbangan pengadilan tinggi yang di benarkan oleh Mahkamah
Agung bahwa penggugat/terbanding telah menduduki tanah tersebut secara terus 80
menerus selama 27 tahun tanpa di gugat. Bahwa benar hukum adat yang berlaku bagi
kedua belah pihak tidak mengenai “verjaring” tetapi hukum adat mengenai lembaga
“pengaruh lampau waktu” bahwa seandainya memang penggugat atau terbanding
tidak berhak atas tanah tersebut, kenyataan bahwa tergugat-tergugat sampai sekian
lama menunggu untuk menuntut pengembalian tanah tersebut menimbulkan
anggapan hukum, bahwa mereka tidak melepaskan hak mereka”. d. Putusan
Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 783 K/Sip/1973 tanggal 29 Januari 1976.
“pertimbangan pengadilan tinggi yang di benarkan oleh Mahkamah Agung,
penggugat/terbanding yang telah menduduki tanah tersebut untuk waktu yang lama
tanpa gangguan dan bertindak sebagai pemilik yang jujur harus di lindungi”. Jadi
hukum yang tak tertulis itu tidak hanya meliputi yang hidup dan di pertahankan
sebagai peraturan adat di dalam masyarakat (customary law), yang lazim disebut
hukum adat (dalam arti yang sempit) tetapi juga hukum kebiasaan dalam lapangan
ketatanegaraan (convention) dan kehakiman atau peradilan (Judgemade law).
Penerapan Lembaga Rechtsverwerking Berdasarkan Putusan Pengadilan Dalam
Perkara Perdata Nomor: 336 PK/Pdt/2015
Pembahasan mengenai penerapan lembaga rechtsverwerking yang dituangkan
dalam Pasal 32 ayat (2) PP 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, dengan
pendekatan sengketa pertanahan yaitu Putusan Peninjauan Kembali Mahkamah
Agung Nomor 336 PK/Pdt/2015, tanggal 16 Desember 2015, antara Drs. Andi Jindar
Pakki Cs/Ahli Waris Almarhum Haji Andi Pakki (Para 81 Penggugat) dengan PT.
Telekomunikasi Indonesia Tbk (PT. Telkom), Pemerintah Propinsi Sulawesi Selatan,
Pemerintah Kabupaten Gowa (Para Tergugat) dan Kepala Kantor Pertanahan Kota
Makassar (Turut Tergugat).
Putusan sebagaimana dimaksud diatas, dimana dalam putusannya majelis
hakim dalam tingkat Peninjauan Kembali tidak menggunakan pasal tersebut sebagai
dasar pertimbangannya untuk menyelesaikan perkara tanah yang berkaitan dengan

20
lembaga rechtsverwerking. Dimana Para Tergugat telah menguasai tanah objek
perkara dengan disertai tanda bukti hak berupa Sertifikat Hak Guna Bangunan Nomor
3505/ Mangasa tertanggal 15 Februari 1993 seluas 184.651 M² atas nama PT. Telkom
Tbk, berdasarkan Surat Keputusan Pemberian Hak Guna Bangunan oleh Kepala
Badan Pertanahan Nasional Nomor 281/HGB/BPN/1992 tertanggal 4 Mei 1992.
Dengan lama hak selama 20 (dua puluh) tahun, yang menurut Tergugat
diperoleh berdasarkan Risalah Penaksiran Harga Tanah yang dilakukan oleh
Pemerintah Daerah Tingkat II Kabupaten Gowa yang telah diganti rugi pada tahun
1957, dan Penyerahan lahan oleh Gubernur Sulawesi Andi Pangerang Pettarani
tanggal 7 April 1960 sehubungan dengan pengambilan tanah PT. Telkom Tbk, yang
terletak di Jalan Kakatua untuk Stadion Mattoangin Makassar. Sementara dilain
pihak, para Penggugat meyakini bahwa pihaknyalah yang berhak atas tanah objek
perkara, karena sebagai Ahli Waris Almarhum Haji Andi Pakki yang semasa
hidupnya menguasai tanah tersebut yang diperoleh dari pemberian Raja Gowa Ke
XXXII yaitu Andi Idjo Daeng Mattawang Karaeng Lalolang Sultan Muhammad
Abdul Kadir Aididin karena kedekatan emosional dibuktikan dengan adanya Surat
Keterangan Raja Gowa Ke XXXII tertanggal 5 Januari 1965 dan Girik Tanah
(Simana Boetaja) Persil 2a SIII, Kohir 273 CI Kampung Mappala Nomor 9 atas nama
Pakki dengan luas keseluruhan 3.95 Ha, namun pada tahun 1974 telah dibebaskan
1.736 M² oleh Panitia Pembebasan Tanah Otorita Panakukkang Plan untuk Jalan
Panakukkang III.
KESIMPULAN
Penerapan asas rechtsverwerking dalam memperoleh hak atas tanah dalam sistem
pendaftaran tanah nasional pada Pasal 32 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 24
Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah adalah merupakan pengadopsian dari hukum
adat. Jadi hukum yang tak tertulis itu tidak hanya meliputi yang hidup dan di
pertahankan sebagai peraturan adat di dalam masyarakat yang lazim disebut hukum
adat (dalam arti yang sempit) tetapi juga hukum kebiasaan dalam lapangan
ketatanegaraan dan kehakiman atau peradilan. 2. Pertimbangan majelis hakim
mengenai lembaga rechtsverwerking yang dituangkan dalam Pasal 32 ayat (2) PP
24/1997 tentang pendaftaran tanah, di dalam putusan peninjauan kembali Mahkamah
Agung Nomor 336 PK/Pdt/2015, di mana dalam putusannya majelis hakim dalam
tingkat peninjauan kembali tidak menggunakan pasal tersebut sebagai dasar
pertimbangannya untuk menyelesaikan perkara tanah yang berkaitan dengan lembaga
rechtsverwerking. Dengan memutuskan perkara ini secara praktis berdasarkan
yurisprudensi.

21
22
1.3. EKSISTENSI LEMBAGA RECHTSVERWEKING DALAM SISTEM
PUBLIKASI PENDAFTARAN TANAH DI INDONESIA

MAGISTRA Law Review e-ISSN 2715-2502

Volume 02 Nomor 02, Juli 2021 | http://jurnal.untagsmg.ac.id/index.php/malrev


Penerbit : Program Studi Hukum Program Magister Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945 Semarang Indonesia
This article is published in a peer-reviewed section of the MAGISTRA Law Review

EKSISTENSI LEMBAGA RECHTSVERWEKING DALAM SISTEM PUBLIKASI


PENDAFTARAN TANAH DI INDONESIA
Widyarini Indriasti Wardani
Universitas 17 Agustus 1945 Semarang

ABSTRAK
Pendaftaran tanah sangat diperlukan bagi pemilik hak atas tanah untuk meberikan
kepastian hukum dan perlindungan hokum. Sistem Publikasi Pendaftaran tanah di
Indonesia berdasarkan PP No 10 tahun 1961 juncto PP No 24 tahun 1997 mengarah
pada Sistem Publikasi pendaftaran tanah Negative bertendens Positif. Lembaga
Rechtsverwerking yang tercantum dalam pasal 32 ayat (2) 1997 dimaksudkan untuk
menguatkan sistem negative. Daluarsa 5 (lima) tahun untuk mengajukan gugatan
dalam lembaga rechtsverwerking tidak mutlak. Itikad baik dalam memperoleh hak
milik atas tanah menjadi prinsip pertimbangan Hakim dalam membatalkan sertifikat
hak atas tanah.
Kata kunci : Eksistensi; Lembaga Rechtsverwerking; Pendaftaran tanah.
ABSTRACT
Land registration is very necessary for owners of land rights to provide legal
certainty and legal protection. The Publication System for Land Registration in
Indonesia based on Government Regulations No. 10 of 1961 juncto Government
Regulatoins No. 24 of 1997 leads to the Publication System of Negative Land
registration with Positive tendencies. The Rechtsverwerking Institution as stated in
Article 32 paragraph
(2) 1997 is intended to strengthen the negative system. The 5 (five) year expiration to
file a lawsuit in the rechtsverwerking institution is not absolute. Good faith in

23
obtaining ownership rights to land becomes the principle consideration of the judge
in canceling the certificate of land rights.
Keywords: Existence; Rechtsverwerking Institute; Land registration

PENDAHULUAN
Tanah merupakan berpijaknya makhluk hidup di bumi, demikian pentingnya
tanah bagi makhluk hidup khususnya manusia lahir hingga meninggal dunia
menimbulkan pepatah di masyarakat Jawa “ sadumuk bathuk sanyari bumi, den
lakoni taken pati” yang artinya bahwa sejengkal tanah akan dipertahankan hingga
kematian dIpertaruhkan. Pepatah tersebut menunjukkan bahwa sebidang tanah yang
telah dikuasai dan dimiliki seseorang akan sangat berarti bagi pemiliknya, hingga
kematian dipertaruhkan. Sejarah pertanahan di di Indonesia memberikan makna
bahwa bertapa sulit dan sangat berharganya sebidang tanah dapat dimiliki oleh rakyat
Indonesia. Pada masa zaman kerajaan yang dapat memiliki tanah adalah para raja,
sulit dan sangat berharganya sebidang tanah dapat dimiliki oleh rakyat Indonesia.
Pada masa zaman kerajaan yang dapat memiliki tanah adalah para raja, kaum
bangsawan dan mereka yang diberi hadiah oleh raja karena berjasa bagi kerajaan,
sedangkan pada zaman pendudukan Negara asing yang dapat memiliki sebidang
tanah secara yuridis adalah pihak penguasa asing . Penguasaan tanah bagi rakyat
Indonesia (golongan pribumi) secara perseorangan tidak kuat, dikarenakan tidak
memiliki bukti surat bukti kepemilikan hak atas tanah Adapun bagi golongan
Eropa memiliki bukti surat kepemilikan tanah sehingga tidak dapat diambil alih oleh
pihak lain. Adapun surat Letter C/D yang dapat dimiliki rakyat Indonesia sejak tahun
1811 adalah merupakan bukti pembayaran pajak bukan bukti kepemilikan, walaupun
pada saat sekarang menjadi bukti terkuat dalam proses kepemilikan tanah seseorang
untuk dapat memiliki Hak Milik.
Sejarah pendaftaran tanah di Indonesia baru dimulai setelah Negara Indonesia
merdeka dan dikeluarkannya Undang-Undang Pokok Pokok Agraria Nomor 5 tahun
1960 (UUPA). Pasal 19 UUPA ayat (1) menyatakan :
“Untuk menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah diadakan pendaftaran tanah
diseluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan yang diatur dengan
Peraturan Pemerintah”.

24
Berdasarkan pasal itu, kemudian muncul peraturan pelaksana yaitu Peraturan
Pemerntah No. 10 tahun 1961 tentang pendaftaran tanah yang kemudian dicabut dan
diganti Peraturan Pemerintah Nomer 24 tahun 1997 kemudian diperbaruhui dengan
Peraturan Pemerintah No 18 tahun 2021 terkait dengan sertifikat online . Hak atas
tanah yang wajib didaftarkan, menurut pasal 9 ayat (1) PP 24 tahun 1997 adalah :
Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, hak Pakai, disamping itu hak
tanah Pengelolaan, Wakaf, Hak milik atas satuan rumah susun, Hak Tanggungan dan
tanah Negara. Pendaftaran tanah memberikan kepastian hukum pemilik secara
yuridis, dengan bukti kepemilikan berwujud sertifikat, sehingga tidak mudah diambil
alih oleh pihak lain.
Rechtsverwerking adalah lembaga dalam hukum adat dan dimasukkan dalam
hukum tanah nasional yaitu lampaunya waktu yang mengakibatkan sesorang
kehilangan hak atas tanah yang sejak mulai dimiliki. Lembaga rechtsverwerking
diatur dalam pasal 32 ayat (1) PP 24 1997 menyebutkan : “Dalam hal atas suatu
bidang tanah sudah diterbitkan secara sah atas nama orang atau badan hukum yang
memperoleh tanah tersebut dengan itikat baik dan secara nyata menguasainya, maka
pihak lain yang merasa mempunyai hak atas tanah itu tidak dapat lagi menuntut
pelaksanaan hak tersebut apabila dalam waktu 5 (lima) tahun sejak diterbitkannya
sertifikat itu tidak mengajukan keberatan secara tertulis kepada pemegang sertivikat
dan Kepala Kantor Pertanahan yang bersangkutan ataupun tidak mengajukan gugatan
ke Pengadilan mengenai penguasaan tanah atau penerbitan sertifikat tersebut”. Pasal
32 ayat (2) PP24 tahun1997 tersebut memberikan makna bahwa apabila subyek
hukum dengan itikat baik menguasai, memiliki hak atas tanah beserta sertifikatnya
sudah selama 5 tahun maka sertifikat itu tidak dapat dirubah lagi oleh pihak ke-3.
Sertifikat tersebut dapat dirubah oleh pihak 3 yang merasa memiliki sertifikat tersebut
apabila belum 5 tahun sejak sertifikat diterbikan dari kepemilikan seseorang atau
badan hukum.

Namun dalam pelaksanaannya lembaga rechtsverweking tidak dilaksanakan


sesuai dengan Pasal 32, seperti yang terdapat kasus hukum berikut ini : Sertifikat Hak
Milik Nomor 568/Wonodri tercatat atas nama Gianiartiningsih yang berasal dari Hak
Guna Bangunan No 1170/Wonodri yang diterbitkan berdasarkan SK Kepala Kantor
Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi Jawa Tengah Nomer.
550.1/903.1.231/33/95 tanggal 01 September 1995 telah dibatalkan oleh melalui
Pengadilan Negeri Semarang No 170/Pdt.G/2011/PN.Smg tanggal 12 Desember 2011
Jo. Putusan Pengadilan Tinggi Jawa Tengah No 88/Pdt/2012/PPT. SMG tanggal 11
Juni 2012. Jo Putusan Kasasi Mahkamah Agung RI No.2874 K/PDT/2012 tanggal 12

25
November 2013 Jo. Putusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung RI No.159
PK/Pdt/2015 tanggal 27 Agustus 2015.

Berkaitan dengan kenyataan tersebut diatas menimbulkan pemahaman bahwa


batas 5 (lima) tahun suatu sertifikat tidak dapat dirubah/ dibatalkan seperti yang
tercantum dalam pasal 32 ayat (2) PP 24 tahun 1997, ternyata dapat dibatalkan
setelah lebih dari 5 (lima ) tahun yaitu 6 (enam) tahun dimiliki oleh pemilik hak atas
tanah.
METODE PENELITIAN

Pembahasan mengenai Eksistensi Lembaga Rechtsverwerking dalam Sistem


Publikasi Pendaftaran Tanah di Indonesia menggunakan methode pendekatan Yuridis
normative yaitu pembahasan yang diambil dari materi atau bahan-bahan dari
kepustakaan meliputi Tesis, Jurnal, literature yang terkait dan peraturan perundang-
undangan . Spesifikasi penulisan pembahasan adalah diskriptif analitis, sumber data
diambil dari data sekunder dengan analisis data secara kualitatif.
HASIL DAN PEMBAHASAN

Sistem Publikasi Pendaftaran Tanah di Indonesia.


Sejarah pendaftaran tanah di Indonesia telah dimulai sejak pendudukan
pemerintahan Belanda , dengan dikuasainya tanah-tanah di wilayah Indonesia melalui
penaklukan kerajaan- kerajaan nusantara. VOC (Verenigde Oost Indische
Compagnie) merupakan oragnisasi dagang selain berdagang juga mempunyai hak
untuk menguasai daerah2 yang ditaklukannya dengan senjata. Tanah yang terletak di
daerah kekuasaan VOC dibagikan pada para pegawai yang menetap di daerah
kekuasaannya selain dapat diberikan kepada pegawai-pegawai VOC yang menetap di
daerah-daerah kekuasaannya dan mereka yang didatangkan dari negeri Belanda.
Maklumat tanggal 18 Agustus 1620 menjadi peletak dasar pelaksanaan pendaftaran
tanah.Pendaftaran hak atas tanah untuk VOC tersebut kemudian dilanjutkan
pemerintahan Belanda bagi golongan Eropa yaitu Hak-hak Eigendom, Opstal,
Erfpacht oleh lembaga Kadaster yang diatur S. 1875. No.183 tentang
penyelenggaraan Kadaster dan pemetaan dan diperbaharui Ordonansi Balik Nama
dalam Staatsblad 1924 nomor 291 atau ordonantie op het recht van Overschrijving.
Pendaftaran tanah pada zaman pemerintah Belanda bersifat dualisme, dikarenakan
adanya tanah berdasarkan hukum adat setempat atau peraturan yang dibuat penguasa
setempat, dan barat. Tanah-tanah adat, misal:

26
tanah Subak di Bali; Kepulauan Lingga yang diselenggaran oleh Sultan Sulaiman
(pendaftaran ini dihapus pada tahun 1913) Yogyakarta berdasarkan peraturan Sultan
Yogyakarta (diumumkan dalam Rijksbald Kasultanan tahun 1926 No.13), Surakarta
berdasarkan peraturan Sunan Surakarta (diumumkan Rijksbald Kasunana tahun 1938
No .14). Pendaftaran tanah setelah Indonesia merdeka diatur dalam PP No. 10 tahun
1961 dan PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran tanah, dan tujuannya: a.
Memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas
tanah, satuan rumah susun, dan hak yang terdaftar, untuk membuktikan sebagai
pemegang hak; b. menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan ;
c. terselenggaranya tertib administrasi pertanahan. Berkaitan dengan pendaftaran
tanah terdapat 2 sistem publikasi pendaftaran tanah:
Sistem publikasi pendaftaran tanah positif
Pengertian sistem pendaftaran tanah yang positif yaitu bahwa ketentuan yang
tercantum dalam alat bukti hak/ sertifikat yang sudah terdaftar itu dijamin kebenaran
data, sehingga sebagai lata buktu mutlak. Ini memberikan jaminan mutlak terhadap
sertifikat, walaupun pemegang sertifikat hak atas tanah bukanlah pemegang/ pemilik
sebenarnya. Pihak ketiga yang beritikat baik yang mempunyai bukti memperoleh
jaminan mutlak neskipun ternyata segala keterangan yang tercantum dalam sertifikat
tidak benar. Berkaitan dengan jaminan kebenaran sertifikat yang dikeluarkan
pemerintah, maka dibutuhkan pemerintah untuk meneliti secara cermat tentang
keabsahan tiap warkah yang didaftarkan.
Sistem positif mengandung ketentuan yang merupakan perwujudan ungkapan :” title
by registration”, menciptakan “indefeasible title, dan “the register is everything”.
Sekali didaftar, dialah pemegang hak atas tanah. Pemegang hak dapat kehilangan hak
untuk menuntut kembali tanah, jika pendaftaran terjadi karena kesalahan pejabat
pendaftaran. Pemilik yang sebenarnya hanya dapat menuntut ganti kerugian. dan
Negara menyediakan suatu “ assurance fund”. Negara yang menggunakan sistem
publikasi pendaftaran tanah positif memberikan konsekwensi yang baik, walaupun
ada kelemahannya5 Kebaikannya adalah adanya kepastian hukum bagi pemegangnya,
peran aktif pejabat balik nama, dan mekanisme kerja penerbitan mudah dipahami.
Kelemahannya adalah memakan waktu lama, pemilik sebenarnya akan kehilangan
hak dan wewenang pengadilan dilepaskan dari aspek administrasi.
Negara yang menggunakan sistem publikasi pendaftaran tanah positif
biasanya menggunakan sistem yang diciptakan oleh Robert Richard Torrens, yaitu
pendaftaran hak yaitu bahwa dalam pendaftaran tanah (di Indonesia oleh BPN) untuk

27
setiap penciptaan hak baru dan perbuatan hokum yang menimbulkan perubahan hak
harus dibuktikan dengan akta. Namun dalam pelaksanaannya (oleh BPN) akta bukan
sebagai bukti tetapi hak yang diciptakan berdasarkan akta tersebut berkaitan dengan
perubahan-perubahan nya, sehingga disediakan daftar isian atau register. tersebut
sumber data yuridis. Ada perubahan akta tidak dibuat buku baru,tetapi dicatat diruang
mutasi di buku tanah yang disimpan di KPPT. Contoh Negara yang menggunakan
sistem publikasi pendaftaran ini yaitu Negara Singapura.
Sistem publikasi pendaftaran tanah negative.
Pengertiannya, yaitu ketentuan yang tercantum dalam sertifikat hak atas tanah
merupakan alat bukti yang kuat, pihak ketiga yang merasa dapat membuktikan
sebaliknya, maka sebab itu sertifikat tersebut dapat dirubah. Sistem Publikasi
pendaftaran tanah Negatif , merupakan azas nemo plus yuris yaitu melindungi
pemegang sebenarnya untuk pengalihan dari pihak lain. Asas ini selalu terbuka
kemungkinan adanya gugatan dari orang yang merasa sebagai pemilik sebenarnya .
Dalam hal in gugatan yang diajukan oleh pihak yang memiliki hak atas tanah
tersebut dapat memeporeleh kemenangan atau tidak bukan menjadi prinsip . Pada
dasarnya suatu Negara yang menggunakan prinsip prinsip publikasi negatif, daftar
umum yang dibuat oleh pemerintah tidak dilindungi oleh hukum dan tidak
mempunyai kekuatan bukti seseorang yang terdaftar dalam daftar umum sebagai
pemegang hak belum dapat membuktikan orang itu sebagai pemegang hak yang sah.
Pemerintah tidak menjamin kebenaran dari isi daftar umum yang diadakan dalam
pendaftaran hak dan tidak juga dinyatakan di dalam Undang- undang. 7 Pengadilan
akan memutuskan alat bukti yang mana yang benar, Pihak ketiga yang
berkepentingan harus berhati-hati tidak boleh percaya mutlak dengan apa yang
tercantum dalam surat tanda bukti hak.
Kebaikan dan kelemahan publikasi pendataran negative dikemukakan sebagai
berikut : Kebaikannya adalah adanya perlindungan hukum pada pemegang hak ,
sedangkan kelemahan dari sistem ini adalah peran pejabat menjadi tumpang tindihnya
sertifikat dan mekanisme kerja kurang dimengerti masyarakat umum. Negara dengan
sistem publikasi pendatran tanah negatif umumnya menggunakan sistetem
pendaftaran akta (registration of deeds) yaitu, pengumpulan data yuridis oleh Kantor
Pendaftaran tanah. Pengumpulan data yuridis , misalnya subyek perbuatan
hukumnya,apa yang dibebankan, peneima hak, itulah yang dimuat dalam akta, dapat
juga dikatakan bahwa akta tersebut memeuat data yuridis tanah, kemudian akta-akta

28
yang didaftar oleh penyelenggara dan dibukukan bahwa telah dilakukan pendaftaran
pada akta, akta yang telah dibubuhi catatan itu merupakan surat tanda bukti hak.
Eksistensi Lembaga Rechtverwerking dalam Sistem Publikasi Pendaftaran
Tanah Di Indonesia.
Setelah Indonesia merdeka dan disahkannya UUPA, maka disusul dengan
beberapa peraturan pelakana. Peraturan pelaksana tersebut antara lain, Peraturan
Pemerintah No 10 tahun 1961 dan Peraturan Pemerintah Nomer 24 tahun 1997
tentang Pendaftaran tanah yang merupakan peraturan pelaksana Pasal 19 UUPA
tentang pendaftaran tanah. Pasal 19 ayat (2) huruf c, pasal 23 ayat ( 2), pasal 32 ayat
(2) dan pasal 38 ayat (2) UUPA menyatakan: pemberian surat tanda bukti hak, yang
berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat, menunjukkan bahwa Hukum agrarian,
Agraraia Nasional menggunakan sistem publikasi pendaftaran negative yang
mengandung unsur positif. Hal ini dikarenakan menggunakan sistem pendaftaran hak
(sistem publikasi pendaftaran negative biasanya sistem pendaftarannya menggunakan
sistem pendaftaran akta), jadi bukan sistem pendaftaran negative yang
murni .Kemudian dipertegas dalam Peraturan pemerintah No. 10 tahun 1961 dalam
penjelasannya dinyatakan bahwa pembukuan suatu hak didalam daftar buku tanah
atas nama seseorang tidak mengakibatkan bahwa seseorang yang seharusnya berhak
atas tanah itu akan kehilangan haknya.
Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 1961 dicabut dan dikeluarkan Peraturan
pemerintah Nomer 24 tahun 1997 dan masih berlaku sampai saat ini, memberikan
perubahan terkait dengan pendaftaran tanah antara lain : Perubahan pada pelaksanaan
pendaftaran Tanah pertama kali , dengan memberikan penegasan pada pengertian
pokok-pokok pendaftaran tanah dengan menambahkan azas dan tujuannya; dalam
pasal 5, pasal6, pasal 7, pasal 8 PP No 24 tahun 1997 Penyederhanaan terkait
prosedur pengumpulan data dan pengumuman dengan jangka waktu yang lebih cepat.
Adanya lembaga pengumuman dan lembaga kesaksian yang memberikan sarana
kemudahan untuk penetapan tanah adat perseorangan yang tidak ada bukti
kepemilikannya untuk dapat disertifikatkan . Pemanfaatan teknologi baru (Global
Positioning System) / GPS, Data Elektronik/ Mikro film), .dalam pasal 35 PP 24
tahun 1997 Adanya Lembaga Ajudikasi dalam pendaftaran tanah sistematik, yang
telah diatur dalam pasal 24, pasal 25, pasal 26 ; Pembukuan tetap dilaksanakan meski
data belum lengkap atau masih dalam sengketa (Pasal 30). Diaturnya adanya lembaga
rchtsverwerking yang terdapat ( pasal 32) yang dalam PP No. 10 tahun 1961belum
diatur. Pengertian sertifikat yang berubah, dalam PP No 10 tahun 1961 sertifikat
diartikan sebagai : salinan surat ukur dan salainan buku tanah yang dijilid dan diberi

29
sampul. Sedangkan dalam PP 24 Tahun 1997, sertifikat adalah sebagai alat bukti ,
bentuk sertifikat tidak diartikan secara rigit sehingga dapat dirubah bentuk
sertifikatnya namun isinya sama dengan apa yang tercantum dalam buku tanah dan
surat ukur. Hal ini dibuktikan dengan 2 (dua) mengenai bentuk sertifikat berubah.
Perubahan pertama dengan bentuk yang lebih sederhana selembar sertifikat dan
sekarang sudah diatur mengenai sertifikat dengan on line dalan UU Nomer 11 tahun
2020 tentang Cipta Kerja. Lembaga rechtsverwerking telah dimaksukkan dalam pasal
32 ayat 2 yang sebelumnya tidak diatur. Lembaga rechsverwerking yaitu lampaunya
waktu sebab kehilangan hak atas tanah, jika tanah selama waktu yang lama tidak
diusahakan oleh pemegang haknya dan dikuasai pihak lain melalui perolehan hak
dengan itikat baik.

Lembaga rechtsverwerking adalah lembaga hukum adat yang sudah ada


sebelum UUPA Agraria ada. Menurut hukuma adat, seseorang dalam waktu yang
lama tidak menggaraptanah, kemudian tanah tersebut dimanfaatkan orang lain, maka
orang tersebut kehilangan haknya. Lembaga rechtsverwerking juga telah diterapkan
dalam beberapa putusan Mahkamah agung. Menurut penjelasan pasal 32 ayat (2),
penerapan lembaga rechtsverwerking untuk mengatasi kelemahan sistem publikasi
negative pada sistem publikasi pendaftaran tanah untuk memberikan kepastian
hukum kepada pemilik hak atas tanah. Lembaga rechtsverwerking dalam PP No.10
tahun 1961 bahwa sistem publikasi pendaftaran tanah di Indonesia adalah pendaftaran
negative yang bertendens positif.

Pemahaman tersebut diartikan dalam Pasal 32 ayat (2) bahwa sertifikat yang
telah dikeluarkan oleh Kepala Kantor Pertanahan kepada subyek hukum secara sah
dengan itikad baik serta nyata menguasai tanah itu selama lima tahun dan tidak ada
yang berkeberatan, maka sertifikat itu tidak dapat diubah lagi, meskipun penggungat
adalah pemegang hak yang sebenarnya. Dinyatakan dalam penjelasan ketentuan pasal
32 ayat (2), makna dari pernyataannya bahwa sertifikat merupakan alat pembuktian
yang kuat dan tujuan Pendaftaran Tanah adalah untuk memberikan kepastian hukum
dapat dirasakan arti praktisnya, sungguhpun sistem publikasi nya sistem negative.
Namun, dalam kenyataannya pembatalan sertifikat dikarenakan sertifikat yang
mengandung cacad hukum administrasi, seperti adanya kesalahan prosedur,
kesalahan dalam penerapan peraturan perundang- undangan, kesalahan subyek hak,
kesalahan obyak hak, kesalahan jenis hak, kesalahan perhitungan luas , tumpang
tindih hak, kesalahan data fisik, kesalahan data yuridis, maupun kesalahan
administrasi lainnya masih banyak terjadi. Beberapa pembatalan sertifikat dapat

30
dikemukakan sebagai berikut : Tanah yang merupakan tanah bekas obyek landreform
yang harusnya didistribusikan kepada petani penggarap ,namun kemudian diberikan
Sertifikat Hak Milik a/n Sabar Karo-Karo berdasarkan SK Gubernur Gubernur Kpl
Daerah Tk I Jawa barat cq Kepala Direktorat Agraria tgl 30 Agustus 1980 No.
SK.2897/DIT.PHT/HM/1980 didaftarkan dan terbit 246 (dua ratus empat puluh enam
) didaftarkan dan diterbitkan atas nama Moch Kemal Abidin ,dkk seluruhnya seluas
11, 7 ha terletak didaerah Sawangan depok Jawa barat..

Pensertikatan tersebut kemudian dipermasalahkan oleh PT KPI Supradikto ,


yang pada akhirnya melalui proses panjang melalui Keputusan Kepala Kantor
Wilayah Badan Pertanahan NasionalProvinsi Jawa BaratNO.03/Pdt/BPN.32/2015
tentang pembatalan 246 sertifikat hak milik tercatat atas naman KS. Moch Kemal
Abidin, Surat keputusan tersebut menunjukan telah terjadi pembatalan sertvikat yang
sudah dimiliki lebih dari 5 (lima) tahun.
Pembatalan sertifikat tersebut merpakan salah satu contoh kasus dari banyak
kasus yang terjadi di Indonesia. Beberapa kasus terjadi di Indonesia, dapat
dikemukakan pembatalan sertifikat hak atas tanah di kota Semarang dari tahun 2017
sampai dengan 2020 terdapat 19 (Sembilan belas) sertifikat hak atas tanah yang
dibatalkan12, hal ini menunjukan bahwa ketentuan lembaga rechtsvewerking yang
tercantum dalam pasal 32 ayat (2) tidak mutlak . Dapat ditegaskan bahwa selama
suatu sertifikat hak atas tanah bisa dibuktikan bahwa perolehan tanah tersebut
dilakukan dengan itikad tidak baik maka sertifikat dapat dirubah atau dibatalkan
tanpa memperhatikan jangka waktu kepemilikan hak atas tanah.
Eksistensi lembaga rechtsverwerking dalam Sistem publikasi negative di Indonesia
tidak dapat dilaksanakan secara mutlak sebagai dasar kepastian hukum kepemilikan
hak atas tanah, namun penekanannya adalah pada dasar itikad baik dalam perolehan
hak atas tanah. Jadi selama dapat dibuktikan oleh pengadilan bahwa cara perolehan
hak tidak dengan itikad baik, maka sertifikat tersebut dapat dibatalkan
D.PENUTUP
Lembaga rechtsverwerking adalah lembaga hukum adat yang sudah ada
sebelum UUPA Agraria ada. Tanah yang dalam waktu yang lama tidak dikerjakan da
nada orang lain yang mengerjakan dan memanfaatkannya, maka hak untuk menuntut
kembali tanah akan hilang. Lembaga rechtsverwerking juga sudah diterapkan dalam
beberapa putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia .

31
32
1.4. KONSEP RECHTSVERWERKING DALAM PUTUSAN PENGADILAN

KONSEP RECHTSVERWERKING DALAM PUTUSAN PENGADILAN


Tri Prastyo Wahyu Santoso
Mahasiswa Magister Kenotariatan Universitas Sebelas Maret Surakarta Email:
triprastyows@gmail.com
Dr. Lego Karjoko, S.H., M.H
Dosen Magister Kenotariatan Universitas Sebelas Maret Surakarta Email:
legokarjoko@staff.uns.ac.id
Dr. Hari Purwadi, S.H., M.Hum
Dosen Magister Kenotariatan Universitas Sebelas Maret Surakarta Email:
hpurwadie@staff.uns.ac.id
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk memahami konsep Rechtsverwerking dalam hal
memperoleh hak atas tanah dalam system pertanahan nasional serta menganalisis
pelaksanaan konsep Rechtsverwerking berdasarkan putusan pengadilan. Penelitian ini
merupakan penelitian doktrinal dengan mengunakan setudi kepustakaan, dan bahan
hokum primer bahan hokum sekunder. Konsep rechtsverwerking tidak dapat
diterapkan meskipun pemilik sertifikat baru sudah memenuhi unsur-unsur yang
terdapat pada pasal 32 ayat 2 PP 24/1997 seperti sertipikat tanah diperoleh dengan
itikad baik, pemegang hak atas tanah harus menguasai secara fisik tanahnya selama
jangka waktu tertentu yaitu sejak lima tahun diterbitkannya sertipikat tanah tersebut,
sejak lima tahun diterimanya sertipikat hak atas tanah bila tidak adanya keberatan
dari pihak lain maka keberadaan sertipikat tanah tersebut tidak dapat diganggu gugat
lagi. Pihak lain dapat membatalkan sertifikat baru tersebut melalui gugatan
pengadilan. Namun sebaliknya dipihak lain warga masyarakat yang telah
memperoleh tanah secara itikad baik dan memanfaatkan tanah tersebut justru
dinafikkan atau tidak diakui haknya karena setiap warga masyarakat yang ingin
membangun hubungan hukum dengan tanah tidak secara otomatis dan langsung
memperoleh hak atas tanah. Konsep Rechtsverwerking pasl 32 ayat (2) menghasilkan
alat bukti kepemilikan tanah yaitu sertifikat yang mempunyai kekuatan hokum
mutlak. Penerpan Rechtsverwerking tidak dilaksanakan secara baik berdasarkan

33
putusan pengadilan dalam perkara Nomor : 52/Pdt.G/2004/PN.BDG, Majelis Hakim
memutuskan perkara ini secara praktis dengan tidak mempertimbangkan putusan
yurisprudensi yang mengakui Rechtsverwerking serta tanpa melihat perolehan hak
atas tanah berdasarkan asas itikad baik dan jangka waktu sesuai peraturan perundang-
undangan.

Kata Kunci: Rechtsverwerking, Putusan Pengadilan, Hukum Agraria.

PENDAHULUAN
Kebutuhan akan tanah dari tahun ketahun semakin meningkat hal ini sejalan
dengan semakin meningkatnya jumlah penduduk, yang mana pada tahun 2000 jumlah
penduduk Indonesia tercata sebanyak 206,264,595 jiwa, tahun 2015 menurut sensus
penduduk tercatat sebanyak 255,587,900 jiwa, dan tahun 2019 angka sementara
penduduk Indonesia adalah sebanyak 266,911,900 jiwa. Ketimpangan niscaya akan
terjadi antara ketersediaan akan tanah dengan kebutuhannya sebagai dampak dari
pertumbuhan penduduk yang akan terus meningkat. Kebutuhan akan dapat
dipastikan, dikarenakan tanah merupakan salah satu sumber daya yang utama dalam
menopang berlangsungnya kehidupan manusia khususnya bangsa Indonesia,
setidaknya untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan tempat tinggal lebih jauh
lagi tanah merupakan sumber daya alam yang berniali ekonomis dan sebagai
penunjang pembangunan. Mengingat peran tanah sebagai sumber daya yang memiliki
nilai ekonomis, maka penyediaan, penggunaan, dan peruntukannya perlu diatur demi
menjamin kepastian dan perlindungan hokum bagi seluruh masyarakat.

Salah satu tujuan dari pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria adalah


meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian dan perlindungan hukum
mengenai hak atas tanah bagi rakyat Indonesia seluruhnya. Oleh karena itu, untuk
dapat mewujudkan hal tersebut diselenggarakan pendaftaran tanah. Pendaftaran tanah
dalam Undang-Undang Pokok Agraria diatur dalam Pasal 19 ayat (1) dan (2) :
Untuk menjamin kepastian hukum oleh pemerintah diadakan pendaftaran tanah di
seluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dalam
Peraturan Pemerintah.
Pendaftaran tanah dalam ayat 1 pasal ini meliputi :

34
Pengukuran, perpetaan dan pembukuan tanah;
Pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut;
Pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat bukti yang kuat.
Hasil dari proses pendaftaran tanah, kepada pemegang hak atas tanah yang
didaftar diberikan surat tanda bukti hak yang disebut sertipikat. Sertipikat menurut PP
Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah adalah berupa satu lembar
dokumen yang memuat data yuridis dan data fisik yang diperlukan dari suatu bidang
tanah yang didaftar. PP Nomor 24 Tahun 1997 tetap mempertahankan tujuan dan
sistem yang digunakan dalam Pasal 19 UUPA jo PP Nomor 10 Tahun 1961. PP
Nomor 24 Tahun 1997 merupakan penyempurnaan dari peraturan sebelumnya
sehingga banyak terdapat tambahan, hal ini terlihat dari jumlah pasal yang lebih
banyak dan substansi lebih memberikan jaminan kepastian hukum dalam hal
kepemilikan tanah. Salah satunya terdapat dalam Pasal 32 yang mengatur bahwa :
Sertipikat merupakan surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian
yang kuat mengenai data fisik dan data yuridis yang termuat di dalamnya, sepanjang
data fisik dan data yuridis tersebut sesuai dengan data yang ada dalam surat ukur
dan buku tanah hak yang bersangkutan.
Dalam hal suatu bidang tanah sudah diterbitkan sertipikat secara sah atas nama
orang atau badan hukum yang memperoleh tanah tersebut dengan itikad baik dan
secara nyata menguasainya, maka pihak lain yang merasa mempunyai hak atas
tanah itu tidak dapat lagi menuntut pelaksanaan hak tersebut apabila dalam jangka
waktu
(5) lima tahun sejak diterbitkannya sertipikat itu tidak mengajukan keberatan secara
tertulis kepada pemegang sertipikat dan kepala Kantor Pertanahan yang
bersangkutan ataupun tidak mengajukan gugatan ke Pengadilan mengenai
penguasaan tanah atau penerbitan sertipikat tersebut.
Pada ayat 1 (pertama) pasal ini mengandung makna bahwa sertipikat
merupakan alat pembuktian yang kuat dan selama tidak dapat dibuktikan sebaliknya
maka data fisik dan data yuridis yang tercantum dalam sertipikat harus diterima
sebagai data yang benar. Sedangkan ayat 2 (kedua) pasal ini secara afirmasi
memberikan jaminan kepastian dan perlindungan hukum bagi pemegang sertipikat
tanah, dimana mengandung beberapa syarat, diantaranya : Sertipikat tanah diperoleh
dengan itikad baik; Pemegang hak atas tanah harus menguasai secara fisik tanahnya
selama jangka waktu tertentu yaitu sejak lima tahun diterbitkannya sertipikat tanah

35
tersebut; Sejak lima tahun diterimanya sertipikat hak atas tanah bila tidak adanya
keberatan dari pihak lain maka keberadaan sertipikat tanah tersebut tidak dapat
diganggu gugat lagi; Ketentuan dalam Pasal 32 ayat (2) tersebut sebenarnya bukan
merupakan suatu ketentuan baru, karena konsep dari pasal ini merupakan konsep
yang dipakai dalam menyelesaikan sengketa tanah pada hukum adat sebelum
berlakunya PP Nomor 24 tahun 1997. Konsep yang digunakan dalam pasal ini adalah
merelakan hak (rechtsverwerking) yang sudah diterapakan jauh sebelum PP 24 tahun
1997 berlaku bahkan jauh sebelum UUPA ada.

Meskipun kepemilikan tanah telah diatur sedemikian rupa, namun masih saja
terdapat permasalahan dalam hal kepemilikan sebidang tanah, misalnya saja terhadap
sebidang tanah yang sudah dikuasai oleh subjek hukum selama bertahun-tahun dan
telah dilengkapi dengan sertipikat. Terhadap tanah itu masih ada pihak lain yang
menuntut hak atas tanah tersebut, permasalahan ini sering terjadi di berbagai daerah
di Indonesia. Menurut Prof Boedi Harsono, memperinci masalah tanah yang bisa
menjadi sengketa adalah mengenai bidang tanah yang mana dimaksudkan, batas-
batas bidang tanah, luas bidang tanah, status tanahnya apakah tanah Negara atau
tanah hak, pemegang haknya, hak yang membebaninya, pemindahan haknya,
petunjuk lokasi, dan penetapan luasannya untuk proyek pemerintahan atau swasta,
pemberian ganti rugi, pembatalan haknya, pencabutan haknya, penerbitan
sertifikatnya, alat-alat pembuktian adanya hak atau perbuatan hokum yang dilakukan.

Dalam system publikasi negaif terdapat kekurangan dan kelemahan mengenai


tidak adanya kepastian hokum. Untuk itu lahirnya PP 24/1997 yang mulai berlaku
pada tanggal 8 Oktober 1997 sebagai pengganti PP 10/1961 berusaha mengatasi dan
menutupi kekurangan system publikasi negative dengan cara memunculkan
Rechtsverwerking yang dikenal dalam hokum adat dan Yurisprudensi, yaitu dalam
Pasal 32 ayat (2). Muncullah pertanyaan di benak kita, apakah Rechtsverwerking ini
bisa menanggulangi kelemahan dan kekurangan pada system publikasi negatif dan
bagaimana eksistensi penerapan konsep tersebut oleh Hakim dalam menyelesaikan
sengketa tanah terkait dengan adanya gugatan dari pihak lain yang merasa berhak atas
suatu tanah yang secara fisik dikuasai oleh pihak lain dan perolehannya secara itikad
baik.

Pembahasan mengenai konsep Rechtsverwerking ini akan dilakukan penulis


dengan menganalisa putusan hakim tingkat pertama. Salah satu contoh kasus pada
perkara nomor 52/Pdt.G/2004/PN.BDG.

36
Metode Penelitian
Penelitian ini juga menggunakan metode pengumpulan data berupa setudi
kepustakaan, dengan membaca dan mempelajari bahan hokum primer yaitu peraturan
perundang-undangan dan bahan hokum sekunder yaitu dari beberapa literatur, buku,
maupun dokumen-dokumen lainnya guna mengkaji permasalahan dalam penelitian
ini.

PEMBAHASAN
Pengertian Rechtsverwerking
Istilah rechtsverwerking diartikan sebagai hilangnya hak seseorang dan
timbulnya hak pada orang lain karena lampaunya waktu karena tidak melakukan suatu
perbuatan hukum yang merupakan kewajiban yang harus dilakukan seseorang.
Menurut J. Satrio rechtsverwerking diartikan merelakan hak dan merupakan suatu
pernyataan bahwa yang bersangkutan tidak mau lagi menggunakan hak yang
dipunyainya. Di dalam Hukum Adat dikenal adanya lembaga “kehilangan hak untuk
menuntut” atau “rechtsverwerking”, yaitu apabila seseorang mempunyai tanah tetapi
selama jangka waktu tertentu membiarkan tanahnya tidak terurus, dan tanah itu
dipergunakan oleh orang lain dengan itikad baik, dia tidak dapat menuntut lagi
pengembalian tanah dari orang yang menguasainya tersebut, yang mana tanah
merupakan milik bersama masyarakat adat dan harus dipergunakan untuk
kepentingan masyarakat/anggotanya, dan tidak boleh sekedar dimiliki akan tetapi
dipergunakan sesuai dengan peruntukannya.
Dalam hukum adat yang disebut sebagai lembaga rechtsverwerking dimana
hilangnya hak bukan karena lewatnya waktu tetapi karena sikap atau tindakan
seseorang yang menunjukan bahwa ia sudah tidak akan mempergunakan suatu hak.
Jika seseorang selama sekian waktu membiarkan tanahnya tidak dikerjakan,
kemudian tanah itu dikerjakan orang lain yang memperolehnya dengan itikad baik,
maka hilanglah haknya untuk menuntut kembali tanah tersebut.
Berikut ini terdapat beberapa contoh putusan hakim (Mahkamah Agung) yang
mengakui eksistensi adanya lembaga rechtsverwerking, antara lain sebagai berikut :
Putusan Mahkamah Agung tanggal 10 Januari 1957 Nomor210/K/Sip/1955 (Kasus di
kabupaten Pandeglang, Jawa Barat); Gugatan tidak dapat diterima, oleh karena para
penggugat dengan mendiamkan selama 25 tahun dianggap telah menghilangkan
haknya (rechtsverwerking); Putusan Mahkamah Agung tanggal 24 Mei 1958
Nomor329/K/Sip/1957 (Kasus di Tapanuli Selatan); Pelepasan Hak

37
(rechtsverwerking) di Tapanuli Selatan apabila sebidang tanah yang diperoleh secara
merimba selama 5 (lima) tahunberturut-turut dibiarkan saja oleh yang bersangkutan,
maka hak atas tanah itu dianggap telah dilepaskan. Putusan Mahkamah Agung
tanggal 7 Maret 1959 Nomor 70/K/Sip/1955 (Kasus di Kota Praja Malang); Hak
kadaluarsa dalam perkara perdata tentang tanah, ditolak dengan alasan bahwa
penggugat telah berulang minta dari tergugat untuk menyerahkan tanah itu kepada
penggugat. Putusan Mahkamah Agung tanggal 26 Nopember 1958 Nomor
361/K.Sip/1958 Pengadilan Tinggi yang mempergunakan alat hukum pelepasan hak
(rechtsverwerking) tanpa semau dari pihak tergugat adalah melanggar tata tertib dari
hukum acara, maka putusannya yang berdasar pada pelepasan hak itu harus
dibatalkan.
Menurut Maria S. W. Sumardjono, tujuan dari penerapan Pasal 32 ayat
(2)Nomor 24 Tahun 1997 yang berasal dari Konsep “rechtverwerking” ini dalam
pendaftaran tanah adalah untuk memberikan afirmasi kepada 2 pihak, yaitu : Bagi
pemegang sertipikat, jika telah lewat waktu lima tahun tidak ada gugatan/keberatan,
maka ia terbebas dari gangguan pihak lain yang merasa sebagai pemegang hak atas
tanah tersebut; Pemegang hak atas tanah, ia wajib menguasai secara fisik tanahnya
dan melakukan suatu pendaftaran agar terhindar dari kemungkinan tanahnya
disertipikatkan atas nama orang lain.
Unsur-unsur yang ada dalam Pasal 32 ayat (2) PP 24 Tahun 1997 . yaitu :

 Sertipikat hak atas tanah diperoleh dengan itikad baik.


 Pemegang hak atas tanah harus menguasai secara nyata tanahnya.
 Sertipikat hak atas tanah telah diterbitkan lebih dari (5) lima tahun.
 Sejak (5) lima tahun diterbitkannya sertipikat hak atas tanah bila tidak ada
keberatan dari pihak lain maka sertipikat hak atas tanah tidak dapat diganggu
gugat lagi. (rechtsverwerking).

Dalam uraian dan penjelasan di atas penulis, memahami bahwa PP 24 Tahun


1997 melalu pasal 32 (2) sertifikat tanah mempunyai tanda bukti yang mutlak
dikarenakan merelakan hak (rechtsverwerking), bukan sertifikat tanda bukti yang
kuat seperti pada pasal 19 UUPA.

Penerapan Rechtsverwerking dalam Putusan Pengadilan


Permasalahan ini ada pada perkara nomor 52/Pdt.G/2004/PN.BDG antara E.
Rahmat Karma Bin Unus selaku Penggugat dengan Liana Sulistia selaku Tergugat.

38
Objek sengketa dalam perkara ini adalah tanah di Blok Babakan Djayanti Kohir 1239,
persil Nomor 15 S.II, dengan luas sebagian dari lebih kurang 5000 m2 (meter
persegi). Liana Sulistia selaku Tergugat telah memiliki sertipikat-sertipikat atas tanah
tesebut, yaitu Sertipikat Hak Milik Nomor 183/Lingkar Selatan, Gambar Situasi
tanggal 22 Nopember 1994 Nomor 12313/1994, luas 60 m2 (meter persegi), tercatat
atas nama nyonya Liana Sulistia. Pada awalnya sertipikat ini atas nama pertama
Karna Unus dan berdasarkan Surat Keterangan Ahli Waris nomor 474.3/150/Pem
tanggal 6 April 1989 dijual kepada Encep Rakmat K, kemudian berdasarkan Akta
Jual Beli Nomor 37/PPAT/VI/94, tanggal 21 Juni 1994, yang dibuat oleh dan
dihadapan Bambang Hartono, BA dahulu selaku Pejabat Pembuat Akta Tanah di
Kota Bandung dijual kepada Ahmad Pudoli dan berdasarkan Akta Jual Beli tanggal
28 Januari 1995 Nomor 28/03/13/025/JB/95, yang dibuat oleh dan dihadapan
Leontine Angga Surya, SH Notaris/Pejabat Pembuat Akta tanah di Bandung dijual
kepada nyonya Liana Sulistia, yang kemudian dijaminkan ke PT. Bank Export Import
Jakarta Hak Tanggungan Pertama, Akta tertanggal 4 Agustus 1998 Nomor
40/HT/12/VIII/1998.
Sertipikat Hak Milik Nomor 184/Lingkar Selatan, Gambar Situasi tanggal 24
Nopember 1994 Nomor 12311/1994, luas 68 m2, tercatat atas nama nyonya Liana
Sulistia. Pada awalnya sertipikat ini atas nama pertama Rd. Karna Unus dan
berdasarkan Akta Jual Beli tanggal 15 Oktober 1963 Nomor 623/1963, yang dibuat
oleh dan dihadapan Djuhadi Somawiria (alm) dahulu selaku Pejabat Pembuat Akta
Tanah di Bandung dibalik namakan kepada Uki, kemudian dijual kepada nyonya
Liana Sulistia berdasarkan Akta Jual Beli 16 Januari 1995 Nomor 12/02/13/02/JB/95,
yang dibuat oleh dan dihadapan Leontine Angga Surya, SH, Pejabat Pembuat Akta
Tanah di Bandung yang kemudian dijaminkan kepada PT. Bank Export Import
Jakarta, berdasarkan Hak Tanggungan Pertama, Akta tertanggal 4 Agustus 1998
Nomor 40/HT/14/VIII/1998.
Sertipikat Hak Milik Nomor 136/Lingkar Selatan, Gambar Situasi tanggal 9
Juni 1994 Nomor 7457/1994, luas 102 m2 (meter persegi), tercatat atas nama nyonya
Liana Sulistia. Pada awalnya sertipikat ini atas nama pertama Rd. Karna Unus dan
berdasarkan Akta Jual Beli tanggal 14 Oktober 1963, yang dibuat oleh dan dihadapan
Djuhadi Somawiria (alm) dahulu selaku Pejabat Pembuat Akta Tanah di Bandung
dijual kepada Djatma, kemudian berdasarkan Akta Jual Beli 7 Juni 1994 Nomor
342/9/13/02/JB/94, yang dibuat oleh dan dihadapan Wiratni Ahmadi, SH, Pejabat
Pembuat Akta Tanah di Bandung, dijual kepada nyonya Liana Sulistia yang
kemudian dijaminkan kepada PT.Bank BCA Jakarta, berdasarkan Hak Tanggungan

39
Pertama, Akta tertanggal 21 Mei 1996 Nomor 107/8/Lengkong dan Hak Tanggungan
Kedua, akta tertanggal 29 April 1997 Nomor 169/Lengkong 1997.
Sertipikat Hak Milik Nomor 192/Lingkar Selatan, Gambar Situasi tanggal 10
April 1994 Nomor 7720/1994, luas 40 m2 (meter persegi), tercatat atas nama Nyonya
Liana Sulistia. Pada awalnya sertipikat ini atas nama pertama Nyonya Oming alias
Oneng dan berdasarkan Akta Jual Beli tanggal 18 Januari 1990 nomor
04/PPAT/I/1990, yang dibuat oleh dan dihadapan Amas Somadireja, SH. dahulu
selaku Pejabat Pembuat Akta Tanah di Bandung dijual kepada Anie Sumarni,
kemudian dijual kembali kepada nyonya Liana Sulistia berdasarkan Akta Jual Beli 16
Januari 1995 Nomor 356/10/13/02/JB/95, yang dibuat oleh dan dihadapan Leontine
Angga Surya, SH, Pejabat Pembuat Akta Tanah di Bandung yang kemudian
dijaminkan kepada PT.Bank BCA-Jakarta, berdasarkan Hak Tanggungan Pertama,
Akta tertanggal 21 Mei 1996 Nomor 107/8/Lengkong dan hak tanggungan kedua,
Akta tertanggal 29 April 1997 Nomor 169/Lengkong/97, yang sekarang di bawah
penguasaan Arwen.
Sertipikat Hak Milik Nomor 176/Lingkar Selatan, Gambar Situasi tanggal 23
Nopember 1994 Nomor 5861/1994, luas 126 m2 (meter persegi), tercatat atas nama
Nyonya Liana Sulistia. Diperoleh oleh nyonya Liana Sulistia karena jual beli
berdasarkan Akta Jual Beli tanggal 21 Pebruari 1995 Nomor 95/6/13/02/JB/1995
dengan Oma, dibuat dihadapan Wiratni Ahmadi, SH., selaku Pejabat pembuat Akta
Tanah di Bandung.
Sertipikat Hak Milik Nomor 225/Lingkar Selatan, Gambar Situasi tanggal 19
Agustus 1996 Nomor 7083/1996, luas 72 m2 (meter persegi), tercatat atas nama
Nyonya Liana Sulistia. Diperoleh oleh nyonya Liana Sulistia karena jual beli
berdasarkan Akta Jual Beli tanggal 6 Nopember 1996 Nomor 303/16/Lengkong/1996
dengan Dipati Awan Gunawan, dibuat dihadapan Leontine Angga Surya, SH. selaku
Pejabat Pembuat Akta Tanah di Bandung. Pada gugatannya, E. Karna Bin Unus
selaku Penggugat tidak pernah mengalihkan, menjual, menghibahkan, menggadaikan
dan/atau melakukan segala perbuatan hukum lainnya atas tanah milik Penggugat
kepada siapapun/pihak lainnya. Tetapi dalam hal ini Penggugat telah mendiamkan
tanahnya dikuasai/disertipikatkan atas nama orang lain lebih dari lima tahun.
Menurut Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1230 K/Sip/1980
tanggal 29 Maret 1982 dan Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia tanggal 26
Desember 1958 Nomor 251 K/Sip/1958 “Pembeli yang beritikad baik wajib
dilindungi oleh hukum”, Surat Edaran Mahkamah Agung No. 4 Tahun 2016 tentang

40
pemberlakuan rumusan hasil rapat pleno kamar Mahkamah Agung Rahun 2016 jo
SEMA No. 7 tahun 2012 dan Tergugat merupakan pembeli yang beritikad baik yang
wajib dilindungi oleh hukum. Unsur-unsur yang ada dalam Pasal 32 ayat (2) PP 24
Tahun 1997. yaitu :

 Sertipikat hak atas tanah diperoleh dengan itikad baik.


 Pemegang hak atas tanah harus menguasai secara nyata tanahnya.
 Sertipikat hak atas tanah telah diterbitkan lebih dari 5 (lima) tahun.
 Sejak 5 (lima) tahun diterbitkannya sertipikat hak atas tanah bila tidak ada
keberatan dari pihak ketiga maka sertipikat hak atas tanah tidak dapat
diganggu gugat lagi.

Unsur-unsur pada Pasal 32 ayat (2) PP Nomor 24 tahun 1997 dalam hal ini telah
dipenuhi oleh pemegang sertipikat (nyonya Liana Sulistia), yaitu perbuatan hukum
(jual beli) yang dilakukan terhadap tanah-tanah tersebut adalah dengan itikad baik
sehingga Tergugat (nyonya Liana Sulistia) dapat memperoleh sertipikat tersebut
sesuai dengan prosudur yang berlaku. Tergugat (nyonya Liana Sulistia) memiliki
sertipikat terhadap hak atas tanahnya selama lebih dari 5 tahun dan menguasai
tanahnya secara nyata dan terbuka. Dan sebelum diajukan gugatan ini (tanggal 17
Pebruari 2004) selama lebih dari lima tahun tidak ada yang mengajukan
keberatan/gugatan terhadap sertipikat hak atas tanah yang Tergugat (nyonya Liana
Sulistia) miliki.
Dalam perkara ini, hakim mengabulkan gugatan dari E. Karna Bin Unus selaku
Penggugat. Menyatakan bahwa objek sengketa yang dikuasai tergugat yaitu sebagian
dari lebih kurang 5000 m2 (meter persegi) asal Kohir Nomor 1239 Persil 15. S.II
terletak di Blok Babakan Djayanti, Kelurahan Lingkar Selatan, Kecamatan Lengkong
Kota Bandung adalah milik Penggugat. Menyatakan batal dan tidak mempunyai
kekuatan hukum setiap peralihan hak atas objek sengketa sebagian dari lebih kurang
5000 m2 (meter persegi) berdasarkan Akta Jual Beli maupun peralihan hak lainnya
yang dibuat. Menyatakan tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum tetap
sertipikat-sertipikat Hak Milik yang telah diurai dan disebutkan dalam gugatan
penggugat. Menyatakan tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum segala
bentuk peralihan dan mutasi Kohir 1239 Persil 15. S.II terletak di Blok Babakan
Djayanti, Kelurahan Lingkar Selatan, Kecamatan Lengkong Kota Bandung atas nama
R. Karna Unus/E. Rahmat Karna bin Unus (Penggugat) pada buku C dan buku B eks
Kelurahan Lingkar Selatan Kecamatan Lengkong, Kota Bandung.

41
Putusan dalam perkara ini menunjukkan tidak diterapkannya Pasal 32 ayat 2 PP
24 tahun 1997 dalam proses penyelesaian sengketa tanah oleh hakim dengan
mengabulkan gugatan penggugat. Yang dimana unsur-unsur pada pasal 32 ayat (2)
sudah terpenuhi dalam perkara ini, yaitu :
Perbuatan hukum pembelian oleh Tergugat (nyonya Liana Sulistia) terhadap tanah-
tanah yang dipermasalahkan tersebut dilakukan dengan itikad baik.
Tergugat (nyonya Liana Sulistia) telah menguasai tanah-tanah yang dipermasalahkan
tersebut secara nyata. Tergugat telah memiliki sertipikat hak atas tanah yang telah
terbit selama lebih dari lima tahun terhadap tanah-tanah yang dipermasalahakan
tersebut.
Tidak ada pihak yang pernah mengajukan keberatan secara tertulis kepada Tergugat
(nyonya Liana Sulistia) sebagai pemegang sertipikat dan Kepala Kantor Pertanahan
tempat diterbitkannya sertipikat maupun tidak pernah ada gugatan ke Pengadilan
mengenai penguasaan tanah atau penerbitan sertipikat tersebut dalam jangka waktu
lima tahun setelah diterbitkannya sertipikat. Pasal 32 ayat (2) PP Nomor 24 tahun
1997 ini telah diajukan oleh pihak Tergugat (nyonya Liana Sulistia) dalam
pembelaannya sehingga sesuai dengan Putusan Mahkamah Agung tanggal 26
Nopember 1968 Nomor 361/K.Sip/1958 bahwa alat hukum pelepasan hak
(rechtsverwerking) harus diajukan semau oleh pihak Tergugat.

PENUTUP
Kesimpulan :
Menurut peneliti konsep Rechtsverwerking dalam pasal 32 ayat (2) PP
27/1997 menghasilkan alat bukti kepemilikan tanah yaitu sertifikat yang mempunyai
kekuatan hokum mutlak.
Penerpan pasal 32 ayat (2) PP 27/1997 konsep Rechtsverwerking tidak dilaksanakan
secara baik berdasarkan putusan pengadilan dalam perkara
Nomor: 52/Pdt.G/2004/PN.BDG, Majelis Hakim memutuskan perkara ini
secara praktis dengan tidak mempertimbangkan putusan yurisprudensi yang
mengakui eksistensi Rechtsverwerking serta tanpa melihat perolehan hak atas tanah
berdasarkan asas itikad baik dan dengan jangka waktu sesuai peraturan perundang-
undangan.
Saran

42
Seyogyanya ada sebuah aturan tegas mengenai konsep Rechtsverwerking
dalam usaha untuk penguasaan atas bidang tanah.
Diharapkan ada persepsi yang sama dari para ahli hukum tentang kapan harus
menerapkan rechtsverwerking, dan kapan harus mengenyampingkan
Rechtsverwerking sehingga terwujud kepastian hukum terhadap pihak yang memiliki
hak menguasai tanah yang memperoleh hak atas tanah berdasarkan asas itikad baik
dan dengan jangka waktu.

1.5. MEWUJUDKAN SISTEM PENDAFTARAN TANAH PUBLIKASI POSITIF

Fakultas Hukum Universitas Riau, Jalan Pattimura Nomor 9 Gobah, Kel. Cinta
Raja, Kec. Sail, Pekanbaru, Riau, Kode Pos 28127. Telp: (+62761)-22539, Fax :
(+62761)-21695
E-mail: riaulawjournal@gmail.com /
riaulawjournal@unri.ac.id Website:
https://rlj.ejournal.unri.ac.id

Mewujudkan Sistem Pendaftaran Tanah Publikasi Positif


Harvini Wulansari, Rochmat Junarto, Dian Aries Mujiburohman Sekolah Tinggi
Pertanahan Nasional Yogyakarta, Email: harvini@stpn.ac.id
Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional Yogyakarta, Email: rohmat.junarto@gmail.com
Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional Yogyakarta, Email: esamujiburohman@
stpn.ac.id
PENDAHULUAN
Kebutuhan memiliki tanah merupakan keniscayaan, baik sebagai tempat
bermukim maupun untuk kegiatan usaha, permasalahan apapun yang muncul terkait
tanah akan berimplikasi dengan seluruh aspek kehidupan. Di sisi lain tanah tidak

43
bertambah luas memyebabkan tekanan terhadap tanah semakin berat, jumlah
penduduk yang terus bertambah, kebutuhan akan tanah untuk perumahan, prasarana
dan industri telah mendesak tanah-tanah pertanian dan hutan. Perubahan-perubahan
ini menjadi salah satu masalah utama yang dihadapi bangsa Indonesia.
Menurut Ismail tanah keterkaitan nilai sosial, nilai ekonomi, nilai politik dan
sebagai nilai sakral-budaya. Tidak mempunyai tanah berarti kehilangan harga diri,
sumber hidup, kekuasan dan tempat penghubung antara manusia dengan Sang
Pencipta. Senada yang dinyatakan oleh Tauchid permasalahan tanah adalah soal
hidup dan penghidupan manusia, karena tanah adalah asal dan sumber makanan bagi
manusia. Perebutan tanah berarti perebutan makanan, perebutan tiang hidup manusia.
Untuk ini, orang rela menumpahkan darah, mengorbankan segala yang ada demi
mempertahankan hidup selanjutnya.

Permasalahan apapun yang muncul terkait pertanahan akan berimplikasi


dengan seluruh aspek kehidupan yang saling berkaitan, karena tanah bagi masyarakat
memiliki makna multidimensional. Dari sisi ekonomi, sebagai sarana produksi yang
dapat mendatangkan kesejahteraan. Secara politis tanah dapat menentukan posisi
seseorang dalam pengambilan keputusan masyarakat dan sebagai budaya yang dapat
menentukan tinggi rendahnya status sosial pemiliknya. Masalah tanah merupakan
masalah yang rumit dan komplek, banyak kasus sengketa, konflik dan perkara
pertanahan seakan-akan tidak pernah surut, semakin hari semakin meningkat baik
dari segi jumlah maupun kualitasnya. Demikian juga perkara pertanahan di
pengadilan yang cukup tinggi, fakta lain beberapa jenis pengadilan memutus perkara
yang sama dengan keputusan yang berbeda pula, hal ini menunjukan bahwa lembaga
pengadilan sendiri tidak dapat menjamin kepastian hukum masyarakat terhadap hak
atas tanah.
Salah satu permasalahan mendasar terjadinya sengketa tanah adalah sistem
publikasi negatif bertendensi positif dalam pendaftaran tanah yang dianut Indonesia.
Artinya negara tidak menjamin kebenaran data dalam sertipikat tanah meskipun
perolehan tanahnya dilakukan dengan itikad baik. Sistem publikasi yang dianut
sekarang sewaktu-waktu dapat digugat pihak lain, karena merasa lebih berhak atau
memiliki bukti yang lebih kuat dari tanah tersebut. Berbeda dengan sistem publikasi
positif, dapat menjamin kepastian hukum hak atas tanah, karena negara menjamin
kebenaran data/informasi yang terdapat pada sertifikat hak atas tanah dan apabila ada
kerugian dari pemegang hak karena cacat administrasi dalam penerbitannya atau

44
disebabkan karena menjalankan putusan pengadilan maka negara mengganti kerugian
kesalahan satu pihak yang dirugikan.
Upaya membangun sistem pendaftaran tanah publikasi positif harus
memenuhi beberapa persyaratan diantaranya cakupan peta dasar pertanahan (bidang
tanah bersertipikat) sekurang-kurang mencapai 80 persen dari wilayah Indonesia dan
mempercepat penetapan batas kawasan hutan pada skala kadastral, serta percepatan
penetapan batas tanah adat/ulayat. Pemerintah saat ini telah berbagai upaya
melakukan percepatan pendaftaran tanah melalui Pendaftaran Tanah Sistematis
Lengkap (PTSL) dan ditargetkan pada tahun 2025 tanah-tanah di wilayah Indonesia
keseluruhan terdaftar. Sehingga implementasi publikasi positif pendaftaran tanah
dapat terwujud pada tahun 2025.
Berbagai upaya untuk mencapai target PTSL diantaranya dengan pelibatan
masyarakat melalui mekanisme Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap Berbasis
Partisipasi Masyarakat (PTSL+PM). Partisipasi masyarakat dalam peta dasar
pendaftaran dapat jadi acuan pembuatan Peta Kerja PTSL dan pengumpulan data fisik
dan identifikasi bidang-bidang tanah dapat mengoptimalkan partisipasi masyarakat.
Serta sebagian pengukuran dilakukan sebagian oleh pihak ketiga. Upaya ini dilakukan
untuk dapat menerapkan asas publikasi positif pendaftaran tanah.
Kajian terkait dengan publikasi positif jarang dilakukan oleh peneliti
sebelumnya. Penelitian terdahulu kebanyakan mengkaji sistem publikasi negatif
bertendensi positif, misalnya penelitian yang dilakukan oleh Surawirawan dan
Roestamy menyatakan bahwa tidak memberikan kepastian hukum jika menggunakan
sistem publikasi negatif karena tidak dapat dipercaya kebenarannya. Hutagalung
berpendapat lembaga "rechtsverwerking” menimbulkan pergeseran dari publikasi
negatif ke sistem publikasi positif. Senada penelitian yang dilakukan Budhayati
bahwa lembaga rechtsverwerking memberikan kepastian hukum dan perlindungan
hukum kepada pihak yang beritikad baik dalam memperoleh hak atas tanah, menurut
Safitri dkk bahwa publikasi negatif kurang menjamin kepastian hukum hak atas
tanah.
Berdasarkan penelitian sebelumnya, maka penelitian ini berbeda karena
mengkhususkan pada penerapan sistem publikasi positif di Indonesia yang hanya
dapat dilakukan apabila tanah-tanah secara keseluruhan telah terdaftar minimal
delapan puluh persen dan dengan syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi, serta
mengkaji persiapan penerapan sistem publikasi positif di Indonesia.

SISTEM PUBLIKASI PENDAFTARAN TANAH

45
Pendaftaran tanah merupakan kewajiban pemerintah dan pemegang hak,
sebagai wujud jaminan kepastian hukum dan perlindungan hukum hak atas tanah.
Proses akhir dari pendaftaran tanah adalah sertipikat tanah, yang diterbitkan oleh
otoritas pertanahan sebagai surat tanda bukti hak yang kuat namun tidak
mutlak/sempurna, yang menerangkan data fisik dan data yuridis. Menurut
Hutagalung dalam praktik pendaftaran tanah yang menjadi masalah adalah
kebenaran data fisik dan yuridis yang disajikan, apabila dikemudian hari
dinyatakan tidak benar, maka tergantung dengan sistem publikasi yang dianut.
Sistem publikasi dalam pendaftaran tanah terbagi menjadi sistem publikasi
positif dan sistem publikasi negatif, masing-masing mempunyai karakteristik
berbeda-beda dan berimplikasi hukum terhadap kekuatan hukum sertipikat hak atas
tanah. apabila pemerintah menjamin kebenaran data (fisik dan yuridis) yang
disajikan disebut sistem publikasi positif, demikian juga sebaliknya dalam sistem
publikasi negatif pemerintah tidak menjamin kebenaran data yang disajikan,
artinya tidak memberikan kepastian hukum kepada orang yang terdaftar sebagai
pemegang hak. Harsono menyatakan bahwa sertipikat selama tidak dibuktikan
sebaliknya, data fisik dan data yuridis yang tercantum di dalamnya harus diterima
sebagai data yang benar, baik dalam melakukan perbuatan hukum sehari-hari
maupun dalam berperkara di pengadilan. Ciri pokok sistem publikasi negatif
adalah bahwa pendaftaran tidak menjamin bahwa nama yang terdaftar dalam buku
tanah tidak dapat dibantah walaupun ia beritikad baik. Artinya publikasi negatif
memberi kesempatan kepada orang lain untuk mengklaim dengan mengajukan
kepada pengadilan dengan bukti-bukti yang lebih kuat, maka pengadilan dapat
menyatakan bahwa sertifikat itu batal, dan menyatakan orang yang mengajukan
perkara lebih berhak.

Indonesia tidak mengatur secara tegas sistem publikasi pendaftaran tanah


yang dianutnya. Ketentuan dalam UUPA dan PP No. 24 Tahun 1997 hanya
menyebutkan pendaftaran tanah meliputi pemberian surat-surat tanda bukti hak
yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat. Sertipikat hak atas tanah hanya
merupakan tanda bukti yang kuat dan bukan merupakan tanda bukti yang mutlak
atau sempurna, karena keterangan-keterangan dalam sertipikat dianggap benar
sepanjang tidak ada alat pembuktian yang membuktikan sebaliknya. Ketentuan
dalam Pasal 32 ayat (2) PP No. 24 Tahun 1997 dimaknai sebagai sistem publikasi
negatif yang mengandung unsur positif, yang menyatakan bahwa:
“Dalam hal atas suatu bidang tanah sudah diterbitkan sertipikat secara sah
atas nama orang atau badan hukum yang memperoleh tanah tersebut dengan

46
itikad baik dan secara nyata menguasainya, maka pihak lain yang merasa
mempunyai hak atas tanah itu tidak dapat lagi menuntut pelaksanaan hak
tersebut apabila dalam waktu 5 (lima) tahun sejak diterbitkannya sertipikat
itu telah tidak mengajukan keberatan secara tertulis kepada pemegang
sertipikat dan Kepala Kantor Pertanahan yang bersangkutan ataupun tidak
mengajukan gugatan ke Pengadilan mengenai penguasaan tanah atau
penerbitan sertipikat tersebut”.
Keberadaan lembaga rechtsverwerking diakui dalam yurisprudensi
Mahkamah Agung tentang kasus-kasus lampaunya waktu sebagai sebab kehilangan
hak atas tanah, jika tanah yang bersangkutan selama waktu yang lama tidak
diusahakan oleh pemegang haknya dan dikuasai pihak lain melalui perolehan
dengan itikad baik. Kelemahan sistem publikasi negatif akan menghadapi
kemungkinan gugatan dari pihak lain yang merasa memiliki tanah tersebut.
kelemahan ini bisa diatasi dengan lembaga acquisitieve verjaring atau adverse
possession (prinsip yang diatur dalam KUH Perdata), namun lembaga tersebut
tidak dapat digunakan karena hukum tanah menganut dasar hukum adat tidak
mengenalnya. Dalam hukum adat dikenal dengan lembaga rechtsverwerking, bila
seseorang selama sekian waktu membiarkan tanahnya tidak dikerjakan atau
ditelantarkan, kemudian tanah tersebut dikuasai pihak lain, yang memperolehnya
dengan itikad baik, maka akan hilanglah haknya.

Keberlakuan lembaga rechtsverwerking dalam pendaftaran tanah,


menentukan beberapa syarat pelaksanaannya yaitu: a) berlaku terhadap bidang
tanah yang sudah diterbitkan sertipikatnya; b) adanya penguasaan fisik bidang
tanah secara nyata; c) adanya unsur itikad baik; d) terlewatinya jangka waktu lima
tahun sejak sertipikat diterbitkan secara sah; e) orang yang merasa mempunyai hak
tidak menuntut haknya. lembaga rechtsverwerking bertujuan untuk mengatasi
kelemahan sistem publikasi negatif dan menjamin kepastian hukum hak atas tanah.
Namun menurut Hutagalung ada kelebihan sistem publikasi negatif adalah: a)
Pemegang hak yang sesungguhnya terlindungi dari pihak lain yang tidak berhak
atas tanahnya; b) Adanya penyelidikan riwayat tanah sebelum penerbitan sertifikat;
c) Tidak adanya batas waktu bagi pemilik tanah yang sesungguhnya untuk
menuntut haknya yang telah disertifikatkan oleh pihak lain.

Lembaga rechtsverwerking merupakan asas yang mengandung hilangnya


atau hapusnya hak atas tanah setelah terlampauinya waktu tertentu tidak terdapat
intensitas hubungan hukum yang secara fisik alamiah ditandai dengan tidak

47
dirawatnya tanah tersebut. ketentuan itu diatur dalam Pasal 27, 34 dan 40 UUPA
dan Pasal 32 ayat (2) PP No. 24 Tahun 1997, yang menegaskan dengan lewatnya
jangka waktu 5 (lima) tahun sejak diterbitkannya sertipikat hak atas tanah maka
sesudah itu sertipikat tersebut tidak dapat diganggu gugat lagi. Penerapan lembaga
ini menjadi suatu norma hukum positif membawa dampak adanya suatu pergeseran
dari sistem publikasi negatif ke arah sistem publikasi positif walaupun masih
bersifat semu atau quasi, pengangkatan lembaga rechtsverwerking dalam sistem
publikasi sejalan dengan tujuan dari pendaftaran tanah itu sendiri yaitu untuk
mencapai kepastian hukum dan kepastian haknya. Pemegang sertipikat hak atas
tanah dijamin kepastian hukumnya sepanjang: diterbitkan atas nama yang berhak,
hak atas tanahnya diperoleh dengan itikat baik, dikuasai secara fisik, dan tidak ada
yang membuktikan sebaliknya. Pendaftaran tanah menciptakan kepastian hukum,
kepastian hak serta tertib administrasi pertanahan, baik untuk pemegang sertipikat
tanah, pihak ketiga yang memperoleh hak atas tanah maupun pemerintah.

PERSIAPAN PERUBAHAN SISTEM PENDAFTARAN TANAH


PUBLIKASI POSITIF
Tanah-tanah yang belum terdaftar dan bersertipikat menyebabkan tingginya
kasus pertanahan. Dengan program PTSL bidang tanah-tanah di wilayah pada
tahun 2025 ditargetkan seluruh bidang tanah di Indonesia terdaftar. Terdaftarnya
bidang tanah seluruh Indonesia setidaknya akan dapat mengurangi kasus-kasus
pertanahan. Jumlah bidang tanah di seluruh Indonesia diperkirakan 126.000.000
(seratus dua puluh enam juta) bidang tanah dan akan terus bertambah setiap
tahunnya jika ada perubahan data pendaftaran tanah. Dalam laporan Kinerja
Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (Kementerian
ATR/BPN) pada tahun 2019, bidang tanah sudah terdaftar mencapai 67.345.894
bidang (53,45%). Sedangkan cakupan peta dasar pertanahan mencapai
±33.972.698,12 Ha (52,81%).24 Ketersediaan Peta Dasar Pertanahan masih separuh
luas wilayah Indonesia dengan status areal penggunaan lain (APL). Bidang tanah
terdaftar dan cakupan peta dasar pertanahan yang lengkap merupakan dasar atau
prasyarat bagi pelaksanaan sistem publikasi positif pendaftaran tanah.
Pada sistem pendaftaran tanah positif, sertipikat tanah yang telah diterbitkan
mempunyai kebenaran mutlak dan sempurna. Sertifikat sebagai alat bukti yang
mutlak dalam pemilikan hak atas tanah dan sertipikat yang telah diterbitkan tidak
dapat dibatalkan, bila itu terjadi negara akan memberikan ganti kerugian pada
pihak yang tercantum dalam sertipikat. Menurut Bachtiar Effendie sisi positif dari
publikasi positif adalah: 1) Adanya kepastian dari buku tanah; 2) peranan aktif dari

48
pejabat balik nama tanah; 3) mekanisme kerja dalam penerbitan sertipikat tanah
mudah di mengerti oleh orang awam.
Ciri pokok sistem publikasi positif adalah “bahwa pendaftaran menjamin
dengan sempurna bahwa yang terdaftar dalam buku tanah tidak dapat dibantah
walaupun ia ternyata bukan pemilik yang berhak. Stelsel ini memberikan
kepercayaan yang mutlak kepada buku tanah. Pejabat-pejabat balik nama di sini
memainkan peranan yang sangat aktif, mereka menyelidiki apakah hak yang
dipindahkan itu bisa didaftar, menyelidiki identitas pihak-pihak, wewenang-
wewenangnya, dan apakah formalitas-formalitas yang disahkan telah terpenuhi
atau tidak”. Sedangkan kelemahannya yaitu: “Peranan aktif pejabat-pejabat balik
nama ini memakan waktu yang lama; Pemilik yang berhak dapat kehilangan
haknya di luar perbuatannya dan di luar kesalahannya; Apa yang menjadi
wewenang Pengadilan diletakkan di bawah kekuasaan administratif”.
Untuk mewujudkan publikasi positif pemerintah telah berupaya melakukan
berbagai program pendaftaran tanah.Saat ini pemerintah melakukan percepatan
pendaftaran tanah melalui PTSL, meliputi seluruh objek pendaftaran tanah di
seluruh wilayah Republik Indonesia. Seluruh bidang tanah tanpa terkecuali, baik
bidang tanah yang belum ada hak atas tanahnya maupun bidang tanah hak yang
memiliki hak dalam rangka memperbaiki kualitas data pendaftaran tanah, baik
bidang tanah yang sudah ada tanda batasnya maupun yang akan ditetapkan tanda
batasnya dalam pelaksanaan kegiatan PTSL.
Permen ATR/BPN No. 6 Tahun 2018 mengatur mengkategorisasi cara
penyelesain PTSL berdasarkan 4 (empat) kluster, untuk mempermudah
pendaftarannya meliputi: a) Kluster 1, yaitu bidang tanah yang data fisik dan data
yuridisnya memenuhi syarat untuk diterbitkan Sertipikat Hak atas Tanah; b)
Kluster 2, yaitu bidang tanah yang data fisik dan data yuridisnya memenuhi syarat
untuk diterbitkan Sertipikat Hak atas Tanahnya namun terdapat perkara di
Pengadilan dan/atau sengketa; c) Kluster 3, yaitu bidang tanah yang data fisik dan
data yuridisnya tidak dapat dibukukan dan diterbitkan Sertipikat Hak atas Tanah
karena subjek dan/atau objek haknya belum memenuhi persyaratan tertentu yang
ditetapkan dalam Peraturan Menteri ini; dan d) Kluster 4, yaitu bidang tanah yang
objek dan subjeknya sudah terdaftar dan sudah bersertipikat hak atas tanah, baik
yang belum dipetakan maupun yang sudah dipetakan namun tidak sesuai dengan
kondisi lapangan atau terdapat perubahan data fisik, wajib dilakukan pemetaannya
ke dalam Peta Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap.
Disamping itu untuk mempercepat program PTSL dilakukan beberapa
terobosan di antaranya: (a) melibatkan pihak swasta dalam proses pengukuran dan

49
pemetaan bidang tanah;
(b) mengatasi kekurangan petugas ukur Kementerian ATR/BPN; (c) mengundang
partisipasi perusahaan swasta; (d) mempersingkat masa pengumuman dari 1 bulan
menjadi 14 hari, (e) menyediakan mekanisme BPHTB terhutang bagi masyarakat
berpenghasilan rendah; (f) Surat keputusan bersama (SKB) Menteri ATR/Ka. BPN,
Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan
Transmigrasi tentang pembiayaan persiapan PTSL.Bahkan di sebagian Desa
menerbitkan Peraturan Desa untuk sebagai instrumen pendukung pelaksanaan
PTSL.
Banyak manfaat program PTSL yang telah dan sedang dilaksanakan oleh
pemerintah saat ini diantaranya: a) mempersiapkan sistem publikasi positif; b)
menjamin kepastian dan perlindungan hukum hak atas tanah; c) mengurangi
jumlah sengketa dan perkara pertanahan;
d) mempersiapkan pendaftaran tanah secara elektronik. Bahkan program PTSL
memiliki dampak sosial dan ekonomi bagi masyarakat, seperti kemudahan akses
dalam Perbankan, rasa aman, harga tanah akan tinggi bila memiliki sertipikat
tanah, dengan demikian kesejahteraan masyarakat akan meningkat dengan
diberikannya aset dan akses terhadap tanah oleh pemerintah. Menurut peneltian
Kurniawan et.al (2018) terdapat hubungan yang signifikan antara faktor sosial dan
faktor ekonomi dengan ekspektasi terhadap PTSL
PTSL merupakan pekerjaan besar yang membutuhkan Sumber daya yang
besar baik SDM maupun peralatan, strategi, kreatifitas dan komitmen dari berbagai
pihak agar target dapat tercapai.Adapun target pendaftaran tanah yaitu 5 juta
sertipikat pada tahun 2017, dan 7 juta sertipikat tahun 2018, serta 9 juta bidang
pada tahun 2019, pada tahun 2020 berjumlah
10 juta bidang dan tahun 2025 penerapan stelsel positif. Berikut disajikan dalam
tabel program pendaftaran tanah sampai tahun 2024.
Dalam upaya melakukan kebijakan perubahan sistem pendaftaran tanah
publikasi positif terdapat empat kondisi prasyarat yang harus dipenuhi, antara lain:
(i) percepatan cakupan wilayah bersertifikat; (ii) percepatan penyediaan cakupan
peta dasar pertanahan; (iii) publikasi tata batas kawasan hutan dengan peta skala
kadastral; dan (iv) sosialisasi peraturan perundangan terkait tanah adat/tanah
ulayat. Untuk cakupan peta dasar pertanahan dan cakupan peta bidang tanah
bersertifikat, RPJMN 2015-2019 menetapkan bahwa cakupan peta dasar
pertanahan harus dapat mencapai 80 persen dan cakupan wilayah nasional yang
telah bersertifikat harus dapat mencapai 70 persen dari wilayah nasional daratan
non hutan.

50
Berdasarkan program dan capaian PTSL yang telah dilakukan, maka pada
tahun 2024 dapat diterapkan sistem publikasi pendaftaran tanah positif telah
memenuhi prasyarat, cakupan peta dasar pertanahan melebihi 80 persen dan
cakupan peta bidang tanah bersertipikat lebih dari 70 persen. Maka kepastian hak
atas tanah yang mutlak dan sempurna dapat terwujud. Pemerintah menjamin
kebenaran semua informasi yang tertulis dalam sertipikat hak atas tanah. Apabila
terjadi kesalahan administrasi oleh pemerintah akan memberikan dana kompensasi
atau ganti kerugian atas kesalahan administrasi tersebut. otomatis akan mengurangi
sengketa, konflik dan perkara pertanahan di kemudian hari.
Guna merealisasikan penerapan sistem publikasi positif, sangat diperlukan,
antara lain: (1) belum kuatnya jaminan kepastian hukum hak atas tanah yang
menimbulkan ketidakamanan dan ketidakpastian hak kepemilikan tanah; (2)
terdapat perkembangan awal dari pasar tanah; (3) terdapat permasalahan
sengketa tanah yang cukup tinggi dan berlarut- larut; (3) terdapat kebutuhan
untuk menyediakan dasar kredit, terutama bagi para petani; (4) terdapat upaya
melakukan perumusan pelaksanaan redistribusi tanah dengan cara legalisasi
dan redistribusi tanah.

KESIMPULAN
Berdasarkan hasil dan pembahasan yang telah disampaikan dapat ditarik beberapa
kesimpulan sebagai berikut. Pertama, sistem pendaftaran tanah publikasi positif
dapat mengurangi jumlah sengketa, konflik dan perkara pertanahan dan memperkuat
kepastian hukum hak atas tanah sehingga kepemilikannya tidak dapat diganggu
gugat. Kedua, perubahan sistem pendaftaran tanah publikasi positif dapat dilakukan
pada tahun 2024 apabila cakupan peta dasar pertanahan dan peta bidang tanah
bersertifikat mendekati dari 100%. Penerapan sistem publikasi positif dilakukan
secara parsial di setiap provinsi ataupun serentak, karena capaian cakupan peta dasar
pertanahan maupun peta bidang tanah bersertifikat yang terdigitasi sudah memenuhi
prasyarat.

51
1.6. PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PEMEGANG HAK ATAS TANAH
TERHADAP PEMBERLAKUAN ASAS RECHTSVERWERKING
(PELEPASAN HAK) DI KABUPATEN BIAK NUMFOR

PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PEMEGANG HAK ATAS TANAH TERHADAP


PEMBERLAKUAN ASAS RECHTSVERWERKING (PELEPASAN HAK) DI
KABUPATEN BIAK NUMFOR
YOHANIS ANTON RAHARUSUN
YohanisRaharusn@sttihbiak.co.id
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Bagaimanakah penerapan atau
implementasi asas rechtsverwerking (pelepasan hak) di Kabupaten Biak Numfor dan
untuk mengetahui Bagaimanakah bentuk perlindungan hukum terhadap pemegang hak atas
tanah atas keberlakuan asas rechtsverwerking (pelepasan hak) di Kabupaten Biak
Numfor.

Penelitian ini menggunakan metode kepustakaan (library research) dan metode


penelitian lapangan (field research) yang dilaksanakan di Badan Pertanahan Biak dan
Pengadilan Negeri Biak serta Dewan Adat Byak. Selain itu, penulis juga menyebarkan
kuesioner responden ke beberapa responden dan mewawancarai pihak-pihak yang
berkaitan langsung dengan masalah yang dibahas.
Hasil yang diperoleh penulis dari penelitian ini, antara lain: 1. Pemerintah Kabupaten Biak
Numfor dalam hal ini Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Biak belum sepenuhnya
merealisasikan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-
Pokok Agraria dan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran
Tanah, sehingga banyak tanah yang masih tumpang tindih hak penguasaannya. Banyak
tanah-tanah yang hanya digarap tanpa adanya surat-surat yang berkekuatan hukum yang
bisa menjamin bahwa tanah tersebut adalah milik para pihak yang menggarap tanah
tersebut. Pihak yang menggarap tanah hanya berpegang pada kepercayaan pada orang-
orang terdahulunya yang telah memberi tanah tersebut kepada mereka dan
menggarapnya dengan itikad baik. ampai saat ini masalah sengketa tanah yang terdapat
didalamnya unsur Rechtsverwerking, masih dimenangkan oleh penggugat sebagai pemilik
tanah. Sedangkan pihak tergugat yang telah menguasai tanah dengan itikad baik,
menguasai secara nyata dalam jangka waktu yang lama, harus terusir dari tanah tersebut.

52
2. Sebagian masalah sengketa tanah yang objek tanah sengketanya adalah tanah adat
diselesaikan dengan cara adat yaitu dengan mengadakan ritual-ritual adat untuk
menghormati para leluhur yang telah mewariskan tanahnya pada anak cucunya.
Sengketa yang diselesaikan secara adat inilah yang menerapkan konsep Rechtsverwerking
dalam menyelesaikan perkara sengketa tanah.

Kata Kunci: Perlindungan Hukum, Asas Rechtsverwerking.

PENDAHULUAN
Tanah sebagai salah satu kebutuhan dalam penyelenggaraan hidup manusia
memiliki peranan yang sangat vital. Masyarakat Indonesia yang bercorak hidup agraris
menggantungkan hidup sepenuhnya pada tanah. Tanah sebagai objek utama yang harus
dimiliki dalam penyelenggaraan kehidupan agraria baik yang berbentuk pengadaan lahan
pertanian maupun perkebunan. Tanah juga menjadi landasan tolak ukur kesejahteraan
dan kemapanaan bagi masyarakat yang berdomisili di daerah pedesaan. Dalam lingkup
daerah perkotaan tanah memiliki peranan utama sebagai lahan perkantoran dan
pemukiman. Sehingga tanah tidak dapat lepas dari kehidupan manusia sebab semua
manusia butuh terhadap tanah dan tanah juga merupakan kebutuhan pokok dan
mendasar bagi manusia dan menjadi tempat hidup bagi manusia serta memperoleh sumber
untuk melanjutkan hidupnya (Siahaan. 2005).

Tanah dalam kehidupan manusia tidak saja mempunyai nilai ekonomis dan
kesejahteraan semata, akan tetapi menyangkut masalah-masalah sosial, politik, budaya,
dan juga terkandung aspek pertahanan dan keamanan. Berdasarkan asumsi tersebut,
maka dalam suasana pembangunan yang semakin marak, kebutuhan akan tanah semakin
meningkat sehingga dalam pemecahan masalahnya seharusnya memperhatikan dan
mengacuh pada aturan perundang-undangan yang berlaku. Hal tersebut disebabkan
karena jumlah penduduk Indonesia yang semakin hari semakin bertambah sehingga
semakin hari lahan semakin berkurang.

Undang-Undang yang mengatur terkait dengan tanah adalah Undang-Undang


Nomor
5 Tahun 1960 dikenal dengan Undang- Undang Pokok Agraria (UUPA) yang mana
dalam Pasal 19 Ayat (1) menjelaskan tentang pentingnya pendaftaran tanah guna
mendapatkan kepaastian hukum. Sejatinya pemerintah mengatur pemberian hak milik

53
atas tanah dengan melalui prosedur pendaftaran tanah yang bertujuan agar tidak
menimbulkan kepemilikan ganda atau meminimalisir kepemilikan yang tidak jelas yang
berdampak menimbulkan sengketa sebab tidak adanya bukti otentik yang menjadi alas
an hak milik. Selain mendapatkan kepastian hukum pendaftaran tanah yang
dikonversi dalam bentuk sertifikat merupakan sebagai bukti otentik kepemilikan yang
mana memiliki nilai ekonomis yang besar dalam masyarakat.

Berkurangnya jumlah tanah disebabkan Karena jumlah penduduk yang


bertambah menyebabkan ketidakseimbangan dan menimbulkan banyak persoalan
sehingga semakin meningkatnya kebutuhan manusia akan tanah, masalah tanah bukan
saja masalah yuridis, tetapi menyangkut masalah ekonomi, sosial dan politik. Hal ini
disebabkan karena tanah merupakan kebutuhan yang sangat mendasar dan menempati
kedudukan (Florianus. 2007). Pentingnya pendaftaran tanah ialah guna menjamin
kepastian hukum yang bersifat rechtscadaster artinya untuk kepentingan pendaftaran tanah
saja dan hanya mempermasalahkan haknya apa dan siapa pemiliknya, bukan untuk
kepentingan lain seperti halnya perpajakan (Parlindungan. 1994), sehingga dari
pendaftaran tersebut dapat diketahui pemilik, batas, serta luas tanah tersebut. Namun
kasus yang pernah terjadi di Biak Numfor adalah tanah yang telah ditinggalkan
pemiliknya dalam hal ini orang atau pihak yang mempunyai sertifikat hak milik atas tanah,
menggugat kembali atau ingin menguasai kembali tanahnya yang telah ditinggalkan selama
bertahun-tahun. Disamping itu, orang yang tidak memegang sertifikat hak milik atas tanah
tersebut menyatakan dia lebih berhak atas tanah yang telah dikelolah dan dipergunakan
selama bertahun-tahun karena menganggap tanah tersebut telah ditelantarkan oleh
pemiliknya. Lahan yang ditelantarkan oleh pemiliknya tersebut disebabkan karena
seringnya pemilik tanah pergi ke luar pulau berbulan- bulan bahkan bertahun-tahun.

Oleh karena itu perlunya perlindungan hukum bagi pemegang hak atas tanah
terhadap pemberlakuan asas rechtsverwerking (pelepasan hak) Khususnya di
kabupaten Biak. Pendaftaran tanah perlu disertai pula dengan pelaksanaan administrasi
yang baik, yaitu meliputi pencatatan secara sistematis dan berkesinambungan baik
mengenai subjek maupun objek dari hak atas tanahnya tersebut. Hal ini sangat
diperlukan untuk memberikan informasi dari keadaan yang sebenarnya, karena semua itu
berkaitan dengan tujuan pemerintah untuk mewujudkan catur tertib pertanahan,
administrasi pertanahan, penggunaan tanah, pemeliharaan data pertanahan dan
lingkungan hidup.

RUMUSAN MASALAH

54

Bagaimanakah penerapan atau implementasi asas rechtsverwerking (pelepasan
hak) di Kabupaten Biak Numfor?
 Bagaimanakah bentuk perlindungan hukum terhadap pemegang hak atas tanah
atas keberlakuan asas rechtsverwerking (pelepasan hak) di Kabupaten Biak
Numfor ?
TUJUAN PENELITIAN

 Untuk mengetahui penerapan atau implementasi asas rechtsverwerking (pelepasan


hak) di Kabupaten Biak Numfor.
 Untuk mengetahui bentuk perlindungan hukum terhadap pemegang hak atas
tanah atas keberlakuan asas rechtsverwerking (pelepasan hak) di Kabupaten
Biak Numfor.

METODE PENELITIAN
Jenis dari penelitian ini adalah penelitian yuridis normative dan empiris.
Penelitian yuridis normative ialah penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan
pustaka atau data sekunder. Dalam penelitian yuridis normative mencakup terahdap asas-
asas hukum, sistematik hukum taraf sinkronisasi vertical dan horizontal, perbandingan
hukum dan sejarah hukum (Soekanto. 2011). Penelitian hukum empiris adalah penelitian
hukum yang menggunakan data primer yang diperoleh secara langsung dari hasil
wawancara dengan informan atau responden. Penelitian yuridis normative menggunakan
data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer yakni bahan-bahan hukum yang
mengikat terdiri dari peraturan perundang- undangan, yurisprudensi dan sebagainya.
Data sekunder adalah data yang terdiri dari bahan hukum sekunder yang memberi
penjelasan mengenai bahan hukum primer sperti dokumen dan pendapat para sarjana
hukum.
HASIL PENELITIAN & PEMBAHASAN
Penerapan atau implementasi asas rechtsverwerking (pelepasan hak) di
Kabupaten Biak Numfor.Tanah sebagaimana diguanakan dalam arti yuridis dalam
undang-Undang Pokok Agraria adalah ”atas dasar hak menguasai dari Negara
sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 2, ditentukan adanya macam-macam hak atas
permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh
orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang-orang lain serta badan-
badan hukum”. Hukum tanah di Indonesia mengalami perombakan pada saat
diberlakukannya UUPA pada tanggal 24 September 1960, sehingga dapat dikatakan

55
bahwa pada tanggal tersebut muncul pembaharuan Hukum Tanah yang berlaku di
Indonesia (Aminuddin. 2010). Hukum tanah yang berlaku di Indonesia sebelum UUPA
adalah Hukum Tanah Lama yang bersifat pluralistis karena terdiri dari Hukum Tanah
Adat, Hukum Tanah Barat, Hukum Tanah Antar Golongan, Hukum Tanah Swapraja dan
Hukum Tanah Administrasi. Ketentuan-ketentuan pokok dari hukum tanah tersebut
adalah hukum tanah bara dan hukum tanah adat sedang yang lainnya merupakan suatu
pelengkap. Maka terdapat terdapat dua konsekuensi tanah hak di Indonesia. Tanah Hak
Indonesia, yang diatur menurut Hukum Tanah Adat dalam arti luas, dimana kaidah-
kaidahnya sebagian besar tidak tertulis, yang diciptakan oleh pemerintah Hindia Belanda
dan pemerintah swapraja, yang semula berlaku bagi orang- orang Indonesia. Tanah
Hak Barat konsepsinya adalah tanah milik masyarakat, maka norma atau kaedah pengatur
hak barat ini bersifat individualistis. Hukum Tanah yang baru atau Hukum Tanah
Nasional mulai berlaku sejak 24 September 1960, yaitu sejak diundangkannya
Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria atau lebih dikenal dengan sebutan Undang-Undang Pokok
Agraria (UUPA). UUPA mengakhiri berlakunya peraturan- peraturan hukum tanah
kolonial dan sekaligus mengakhiri dualisme atau pluralisme hukum tanah di Indonesia
serta menciptakan dasar-dasar bagi pembangunan hukum tanah nasional yang tunggal,
berdasarkan Hukum Adat sebagai hukum nasional Indonesia yang asli. Terdapat berbagai
macam hak atas tanahyang diberikan pada masyarakat baik secra individu maupun
bersama-sama. Dalam pasal 4 ayat 1 UUPA ha katas tanah dibedakan menjadi 2
yakni ha katas tanah yang besifat primer, dan hak atas tanah yang bersifat sekunder.
Sebagaimana disebutkan bahwa pendaftaran tanah merupakan hal yang sangat
penting agar masyarakat mendapatkan perlindungan hukum atas tanah yang dimilikinya.
Pendaftaran berasal dari kata cadaster (Bahasa Belanda). Suatu istilah teknis untuk suatu
record (Rekaman) menunjukan kepada luas, nilai dan kepemilikan terahdap suatu bidang
tanah. Pendaftaran tanah merupakan Suatu rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh
Negara/Pemerintah secara terus menerus dan teratur, berupa pengumpulan keterangan
atau data tertentu mengenai tanah-tanah tertentu yang ada di wilayah- wilayah tertentu,
pengolahan, penyimpanan, dan penyajiannya bagi kepentingan rakyat, dalam rangka
memberikan jaminan kepastian hukum di bidang pertanahan, termasuk penerbitan tanda
buktinya dan pemeliharaannya (Boedi Harsono. 2003). Di dalam Pasal 1angka 1 PP
Nomor 24 Tahun 1997 pendaftaran tanah adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh
Pemerintah secara terus-menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi pengumpulan,
pengolahan, pembukuan dan penyajian, serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis,
dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah
susun, termasuk pemberian sertifikat sebagai surat tanda bukti haknya bagi bidang-

56
bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta hak-hak
tertentu yang membebaninya.
Permasalahan yang timbul dalam hal ini yang terjadi di Kabupaten Biak Numfor
adalah tanah yang telah dimiliki oleh seseorang namun orang tersebut pergi selama
berbulan- bulan bahkan bertahun-tahun tanpa adanya kabar sehingga tanah tersebut
menjadi terbangkalai. Dalam tinjauan hukum adat bilamana seseorang selama sekian
waktu membiarkan tanahnya tidak dikerjakan kemudian tanah itu dikerjakan orang lain
yang memperolehnya dengan itikat baik, maka hilanglah haknya untuk menuntut
kembali tanah tersebut. Dalam hal ini disebut lembaga rechtsverwerking dalam hukum
adat. Rechtsverwerking dapat diartikan sebagai akibat yang timbul dari suatu pelepasan
hak atau akibat yang timbul karena tidak melakukan suatu perbuatan hukum yang
merupakan kewajiban yang harus dilakukan seseorang oleh hukum, sehingga sesuatu hak
menjadi hilang. Perbedaan antara Rechtverwwerking dan verjaring (daluwarsa)
adalah bilamana daluwarsa berkaitan dengan adanya jangka waktu tertentu yang dapat
mengakibatkan seseorang mendapatkan suatu hamilik (acquisitive verjaring) atau juga
karena lewat waktu menyebabkan seseorang dibebaskan dari suatu penagihan atau
tuntutan hukum (inquisitive verjaring). Sementara rechtsverwerking (pelepasan hak), yaitu
hilangnya hak bukan karena lewatnya waktu tetapi karena sikap atau tindakan seseorang
yang menunjukan bahwa ia sudah tidak akan mempergunakan suatu hak.
Secara kelembagaan lembaga rechtsverwerking merupakan lembaga rekognisi
(pengakuan) hak akibat pengaruh lampaunya waktu yang tidak berdiri sendiri, melainkan
menjadi satu kesatuan konsep dengan lembaga “adverse possession” atau “verjaring” dan
lembaga “title insurance”. Bahkan secara subtansi lembaga rechtsverwerking adalah sama
dengan lembaga adverse possession atau lembaga perolehan hak karena daluwarsa
meskipun dalam konotasi dengan itikad baik (Nasution. 2002). Pada kasusnya yang terjadi
di Biak Numfor banyak yang terjadi sengketa tanah. Ada yang diseselesaikan melalui
pengadilan serta ada pula yang secara hukum adat. Berdasarkan data yang diperoleh
pada Pengadilan Negeri Biak terdapat 169 kasus sengketa tanah yang terjadi dari tahun
2014- 2016 dari semua jumlah kasus yang masuk pada Pengadilan Negeri yaitu sebanyak
341 kasus. Selebihnya merupakan kasus pembunuhan, pencuriaan, perjudian dan lain- lain.
Ini menunjukkan bahwa dari total kasus yang masuk Pengadilan Negeri, kasus sengketa
tanah yang terjadi di Kabupaten Biak Numfor sebesar 49,56 %. Persengketaan tanah
yang terjadi di Kabupaten Biak Numor cukup tinggi dibanding kasus-kasus yang lain
karena minimnya pengetahuan masyarakat akan pentingnya pendaftaran tanah.
Sedangkan pada sengketa tanah yang melibatkan tokoh- tokoh adat dan diselesaikan
dengan jalan damai sebenarnya banyak terdapat di daerah ini. Salah satu yang penulis

57
peroleh pada Kabupaten Biak, tepatnya di Distrik Biak Barat ada kasus sengketa tanah
yang Penyelesaiannya dilakukan dengan mengadakan ritual-ritual adat. Salah satunya
adalah kasus yang terjadi di Distrik Biak Barat Kabupaten Biak Numfor yang mana tanah
tersebut di klaim milik Martinus Aprombis (penggugat) sebagai tanah warisan dari Alm.
Stefanus Aprombis (kakek penggugat). tapi dalam persidangan yang digugat hanya
beberapa meter persegi saja yang dimana telah didiami oleh beberapa orang. Namun
melihat terhadap sejarah tanah tersebut ternyata bidang tanah tersebut bukanlah milik
pribadi Alm. Stefanus Aprombis, melainkan milik keret Kaisepo yang mendapat
pembagian tanah bersama Keret Aprombis yang memenangi perang. Dimana keret
Aprombis mendapat hak dalam pembagian tersebut untuk menguasai dan memiliki
bidang-bidang tanah yang terletak di wilayah Apumbukor darat dan sekitarnya,
sedangkan keret Kaisepo mendapat hak menguasai dan memiliki bidang-bidang tanah
di wilayah pantai (Swandiwe dan sekitarnya), termasuk dengan tanah yang di
persengketakan sekarang ini. Selanjutnya untuk mengabadikan hubungan antara keret
Kaisepo dan Keret Aprombis yang memiliki sejarah perjuangan yang bersama-sama
memenangkan perang untuk mendapatkan bidang-bidang tanah tersebut, maka terjadilah
pertukaran silang salah seorang anak dari keret Kaisepo berpindah menjadi Keret
Aprombis untuk menjaga dan mengawasi bidang-bidang tanah di Keret Kaisepo, dan
sebaliknya salah seorang anak dari Keret Aprombis berpindah menjadi Keret Kaisepo
untuk menjaga dan mengawasi bidang-bidang tanah milik Keret Aprombis. Wujud nyata
dari pertukaran silang ini adalah Alm. Stefanus Aprombis adalah anak laki-laki Keret
Aprombis yang berpindah menjadi anggota Keret Kaisepo dan berhak menguasai dan
menjaga harta warisan milik Keret Kaisepo. Proses pertukaran silang ini secara historis
tetap diakui oleh mereka sampai sekarang ini. Dalam hal sejarah adat ini, Martinus
Aprombis selaku penggugat tidak mengetahui hal tersebut.
Namun bilamana melihat terhadap proses awal kepemilikan tanah yang
mulanya dimiliki oleh Keret Kaisepo mengutus Alm Stefanus Aprombis ebagai orang
yang menjaga dan mengawasi tanah tersebut. Lalu kemudian Stefanus dan Keret sama-
sama menggarap tanah tersebut selama kurang lebih 21 tahun (1979-2000) dalam
penggarapan tersebut pihak penggarap sama- sama tidak ada rasa memiliki tanah secara
mutlak. Dan apada tahun 1979 Stefanus meninggal dan yang mengurus ialah Keret
Kaisepo. Tanah ini mulai dikuasai secara nyata oleh Drs. Albert Kaisepo dari tahun
1980, yaitu setahun setelah pemilik lahan meninggal dunia. Karena pada tahun 1980an
masih minimnya SDM di Kabupaten Biak Numfor menyebabkan banyak sekali tanah-
tanah yang tak memiliki surat-surat kepemilikan yang resmi. Hal ini memberi dampak
pada tanah yang dikuasai oleh Drs. Albert Kaisepo tidak memiliki sertifikat pula. Setelah
otonomi daerah pada tahun 1999, Kabupaten Biak mengalami pembenahan di segala

58
aspek, salah satunya di aspek pertanahan. Tanah-tanah mulai di data termasuk tanah Drs.
Albert Kaisepo. sang pemilik tanah merasa perlu mematenkan hak milik atas tanah
tersebut agar dikemudian hari tidak terjadi sengketa. Pada tanggal 03 Juni 2003 Drs.
Albert Kaisepo melakukan permohonan pengukuran tanah. Dan di tahun yang sama
sertifikatnya terbit atas nama Drs. Albert Kaisepo. Jadi tanah ini telah dikuasai secara
nyata dan bersertifikat atas nama Drs. Albert Kaisepo mulai dari tahun 2003 hingga pada
saat tanah digugat yaitu tahun 2011. Beberapa tahun kemudian tepatnya tanggal 02 Mei
2011 cucu dari Alm. Stefanus Aprombis, yaitu Martinus Aprombis menggugat tanah
tersebut dengan dalil bahwa tanah tersebut adalah tanah warisan dari kakeknya yang
telah diwariskan padanya. Para penggarap merasa tidak adil jika tanah yang selama
berpuluh-puluh tahun mereka garap dan memperolehnya dengan itikat baik diambil begitu
saja oleh cucu dari pemilik tanah sebelumnya. Para penggarap tanah juga merasa heran
kenapa baru digugat sekarang tanah mereka karena pada saat menantu dari pemilik tanah
yaitu Paskalis R. Kmur (ayah penggugat) meninggal dunia, si penggugat datang dan
meminta ijin pada tergugat agar jasad ayahnya dikuburkan ditanah tersebut. Dengan
demikian, penggugat tahu dan secara sadar mengakui bahwa tanah tersebuh telah menjadi
milik Drs. Albert Kaisepo (tergugat 1).
Melihat pada konsep Rechtsverwerking bahwa jika seorang sekian waktu
tanahnya tidak dikerjakan, kemudian tanah itu dikerjakan orang lain yang
memperolehnya dengan itikad baik, maka hilanglah hak pemilik semula untuk menuntut
kembali tanah itu. Dalam hal ini cucu pemilik tanah tidak bisa menggugat tanah
tersebut kembali menjadi hak miliknya karena telah digarap oleh beberapa pihak selama
sekian tahun dan para penggarap tersebut memperolehnya dengan itikat baik. Melihat
pada hukum waris, penggugat disini bisa menjadi ahli waris dari sang pemilik tanah.
Namun pada kenyataannya bahwa hal tersebut bertentangan dengan hukum adat yang
ada di wilayah penggugat dan dilihat dari tanah yang disengketakan tidak pernah
dikelolah atau digarap oleh penggugat selama berpuluh-puluh tahun sehingga tanah
tersebut menjadi berpindah kepemilikannya kepada orang-orang yang telah menggarap
tanah dengan itikad baik. Disamping itu tergugat juga telah memiliki sertifikat atas tanah
yang ia tempati dan lamanya sertifikat itu sudah lebih dari 5 tahun sejak diterbitkannya,
yaitu terbit pada tahun 2003. Dalam Pasal 32 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 24
Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah juga dikemukakan bahwa: Dalam hal atas
suatu bidang tanah sudah diterbitkan sertifikat secara sah atas nama orang atau badan
hukum yang memperoleh tanah tersebut dengan itikad baik dan secara nyata
menguasainya, maka pihak lain yang merasa mempunyai hak atas tanah itu tidak dapat lagi
menuntut pelaksanaan hak tersebut apabila dalam waktu 5 (lima) tahun sejak
diterbitkannya sertifikat itu tidak mengajukan keberatan ssecara tertulis kepada pemegang

59
sertifikat dan Kepala Kantor Pertanahan yang bersangkutan ataupun tidak mengajukan
gugatan ke Pengadilan mengenai penguasaan tanah atau penerbitan sertifikat tersebut.
Unsur-unsur yang ada dalam Pasal 32 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun
1997

 Sertifikat ha katas tanah diperoleh dengan itikad baik


 Pemegang hak atas tanah harus menguasai secara nyata tanahnya
 Sertfifiakt hak atas tanah telah diterbitkan lebih dari lima tahun
 Sejak lima tahun diterbitkannya sertifikat hak atas tanah bila tidak ada keberatan
dari pihak ketiga maka sertifkat tanah tidak dapat diganggu gugat lagi.
Dengan melihat unsur-unsur tersebut para tergugat sebenarnya telah memenuhinya dan
dapat menjadi pemilik dari tanah tersebut. Namun pada Pengadilan Negeri Kabupaten
Biak memberi keputusan Putusan dalam perkara ini menunjukkan tidak diterapkannya
Pasal 32 ayat (2) Peraturan Pemerintah Tahun 1997 dalam proses penyelesaian
sengketa oleh hakim dengan mengabulkan permintaan penggugat.
Konsep rechtsverwerking yang terdapat dalam Pasal ini pun telah diabaikan. Padahal
unsur-unsur Pasal 32 ayat (2) Peraturan Pemerintah Tahun 1997 ada dalam perkara ini,
yaitu :

 para tergugat harus keluar dari tanah tersebut.


 Tanah yang digarap para tergugat diperoleh dengan itikad baik.
 Para tergugat telah menguasai tanah tersebut secara nyata dan selama berpuluh-
puluh tahun.
 Para tergugat mempunyai sertifikat yang terbit dan selama lima tahun penerbitan
sertifikat tersebut tidak ada yang menggugat.
 Penggugat selama ini tahu dan sadar tanah tersebut dikuasai oleh tergugat namun
baru memperkarakannya sekarang ini.
Bagaimanakah bentuk perlindungan hukum terhadap pemegang hak atas tanah
atas keberlakuan asas rechtsverwerking (pelepasan hak) di Kabupaten Biak
Numfor ?
Sistem pendaftaran tanah menurut UUPA adalah sistem pendaftaran tanah negatif
yang mengandung unsur-unsur positif. Keberadaan Pasal 32 ayat (2) Peraturan
Pemerintah Tahun 1997 dapat diterapkan dengan pemikiran bahwa jika sertifikat
dimiliki dalam jangka waktu sebelum lima tahun, maka sertifikat merupakan alat
bukti yang kuat sesuai dengan Pasal 19 UUPA (pendaftaran tanah dengan sistem negatif).

60
Tetapi jika jika sertifikat tanah telah dimiliki dalam jangka waktu lebih dari lima tahun,
diperoleh dengan itikjad baik, dikuasai secara nyata dan tidak ada yang mengajukan
keberatan serta gugatan sesuai dengan Pasal 32 ayat (2) Peraturan Pemerintah Tahun
1997, maka dapat menjadi alat bukti yang sangat kuat (pendaftaran tanah dengan sistem
positif). penerapan dari Pasal 32 ayat (2) Peraturan Pemerintah Tahun 1997 tergantung
dari pertimbangan hakim apakah Pasal ini akan memberikan keadilan jika diterapkan
dalam suatu permasalahan atau sengketa terhadap tanah. Karena inti permasalahan dalam
penerapan Pasal ini adalah jika penggugat benar-benar pemilik hak atas tanah yang
sebenarnya dan tergugat benar-benar memperoleh hak atas tanahnya dengan itikad baik
sehingga diterapkan atau tidaknya Pasal 32 ayat (2) Peraturan Pemerintah Tahun 1997
ini pada penyelesaian sengketa tanah ada pada kewenangan hakim yang mengadili
perkaranya. Hakimlah yang menimbang berat ringannya kepentingan para pihak yang
bersengketa. Dilihat dari kasus sengketa tanah yang penulis teliti, Pengadilan Negeri
Kabupaten Biak Numfor belum menerapkan Pasal 32 ayat (2) Peraturan Pemerintah
Tahun 1997 yang didalamnya terkandung konsep rechtsverwerking.
Bentuk perlindungan hukum terhadap pemegang hak atas tanah sampai sekarang
masih dianggap kurang adil dan masih sepihak. Pada Kabupaten Biak Numfor
banyaknya tanah yang ditelantarkan atau tidak dikelolah sebagaimana fungsinya
dikarenakan oleh faktor iklim yang cukup gersang (struktur tanah kebanyakan karang).
Disamping itu, masyarakat pada umumnya lebih tertarik untuk mencari penghasilan di
luar kota dibanding mengelolah tanah warisan nenek moyangnya. Dari sinilah bermula
sengketa-sengketa tanah yang disatu pihak mengklaim bahwa tanah tersebut adalah
warisan dari leluhur, dan dipihak lain menganggap bahwa tanah yang telah dikelolah
selama berpuluh-puluh tahun itu adalah miliknya.

KESIMPULAN DAN SARAN


Pada kasus pertama sengketa tanah yang terjadi di Kabupaten Biak Numfor
diselesaikan dengan jalur hukum dan dimenangkan oleh pihak penggugat selaku pemilik
sah sertifikat. Dimana pihak tergugat merasa sangat dirugikan karena telah bertahun-tahun
menggarap tanah tersebut. Pada kasus kedua sengketa tanah yang diselesaikan dengan
cara musyawarah adat, diperoleh kesepakatan bahwa tanah yang disengketakan akan
tetap dimiliki oleh pihak yang menggarapnya selama ini dengan syarat dilakukan ritual adat
untuk menghormati para leluhur dan agar terhindar dari sakit yang berkepanjangan.
Sampai saat ini pemerintah Kabupaten Biak Numfor, yaitu Badan Pertanahan Nasional
Kabupaten Biak belum sepenuhnya merealisasikan Undang-Undang Nomor 5 Tahun

61
1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria dan Peraturan Pemerintah Nomor
24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, sehingga banyak tanah yang masih tumpang
tindih hak penguasaannya. Dampak dari ketidaktahuan masyarakat akan pentingnya
pendaftaran tanah adalah kebanyakan masyarakat tidak atau belum mendaftarkan
tanahnya sehingga sering terjadi pengklaiman tanah. Banyak tanah-tanah yang hanya
digarap tanpa adanya surat-surat yang berkekuatan hukum yang bisa menjamin bahwa
tanah tersebut adalah milik mereka. Mereka hanya berpegang pada kepercayaan pada
orang-orang terdahulunya yang telah memberi tanah tersebut kepada mereka dan
merekapun menggarapnya dengan itikad baik. Beberapa masyarakat yang sudah
paham mengenai rechtsverwerking (pelepasan hak) terkait dengan sengketa tanah
yang di dalamnya mengandung unsur rechtsverwerking. Dalam hal ini masih dimenangkan
oleh penggugat sebagai pemilik tanah. Sedangkan pihak tergugat yang telah menguasai
tanah dengan itikad baik, menguasai secara nyata dalam jangka waktu yang lama, harus
terusir dari tanah mereka sendiri.
Saran Pemerintah Kabupaten Biak Numfor harus lebih mensosialisasikan aturan-
aturan tentang pendaftaran tanah, yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997
tentang Pendaftaran Tanah kepada masyarakat agar masyarakat lebih mengerti dan mau
mendaftarkan tanahnya sehingga masyarakat tersebut mempunyai sertifikat terhadap hak
atas tanahnya. Pemerintah juga diminta untuk melaksanakan setiap pendaftaran tanah
mengikuti aturan-aturan yang berlaku sehingga pemegang sertifikat yang telah diterbitkan
adalah benar-benar milik pemegang hak yang sebenarnya. Dalam hal ini pihak-pihak
yang berkepentingan untuk melakukan pendaftaran dan penerbitan sertifikat sehingga
dapat diketahui hak sebanrnya pemilik tanah.

62
1.7. KEBERLAKUAN ASAS LAMPAUNYA WAKTU
(RECHTVERWERKING)
DALAM SENGKETA KEPEMILIKAN HAK ATAS TANAH

KEBERLAKUAN ASAS LAMPAUNYA WAKTU (RECHTVERWERKING)


DALAM SENGKETA KEPEMILIKAN HAK ATAS TANAH

Muhammad Irfan, Marilang


Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar
iciola1996@gmail.com
Abstrak
Penelitian ini bertujuan mengetahui keberlakukan asas lampaunya
waktu (Rechtverwerking) dalam sistem hukum pertanahan di Indonesia serta
untuk mengetahui hal-hal yang memengaruhi pertimbangan hukum hakim
dalam menerapkan rechtverwerking terhadap kasus sengketa kepemilikan
tanah berdasarkan Putusan Mahkamah Agung Nomor 1083/K/Pdt/2016.
Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif yang pengumpulan
bahan hukum dilakukan dengan cara menerapkan studi kepustakaan. Bahan-
bahan yang telah diperoleh, baik berupa bahan hukum primer, sekunder,
maupun tersier akan dianalisis dengan metode deksriptif kualitatif. Hasil
penelitian menemukan bahwa keberlakuan rechtverwerking dalam hukum
pertanahan di Indonesia telah ada sejak zaman kolonial dan diterapkan dalam
berbagai yurisprudensi pengadilan sehingga dalam penerapannya
rechtverwerking sangat digantungkan pada putusan hakim yang mengadili
perkara. Keberadaan rechtverwerking saat ini telah diwujudkan dalam Pasal
32 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran
Tanah yang tujuannya adalah untuk mengatasi kelemahan dari sistem
publikasi negatif pendaftaran dan sebagai bentuk jaminan kepastian dan
perlindungan hukum kepada pemegang sertipikat hak atas tanah sebagaimana
diwujudkan dalam Putusan Mahkamah Agung No. 1083K/PDT/2016. Hal-
hal yang mempengaruhi pertimbangan hukum hakim dalam mengadili
perkara dalam Putusan Mahkamah Mahkamah Agung No. 1083K/PDT/ 2016
adalah hakim melihat pada unsur/syarat rechtverwerking sebagaimana

63
dikemukakan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang
Pendaftaran Tanah, yakni telah diterbitkan sertipikat, lewat waktu 5 (lima)
tahun, dikuasai oleh pemegang sertipikat, dan tidak adanya protes atas
gugatan dalam waktu yang ditentukan. Namun, dalam pertimbangan
hukumnya, hakim kurang mempertimbangkan mengenai unsur itikad baik
Penggugat maupun Tergugat dalam perolehan tanah yang menjadi objek
sengketa.
Kata Kunci : Hak, Tanah, Rechtverwerking.
PENDAHULUAN
Perkembangan pesat yang terjadi dalam pembangunan di Indonesia tidak bisa
dilepaskan begitu saja dengan hubungannya dengan tanah. Tanah merupakan suatu
hal yang berperan penting dalam kehidupan manusia. Penggunaan tanah hampir
meliputi seluruh aspek kehidupan, seperti tanah dibutuhkan sebagai sarana untuk
mendirikan hunian di atasnya, dijadikan sebagai sumber penghasilan di sektor
pertanian, perkebunan dan peternakan, bahkan dibutuhkan untuk keperluan
perkuburan. Menyadari hampir seluruh kebutuhan manusia digantungkan pada tanah,
maka dapat dikatakan bahwa tanah sangat berperan dalam kehidupan manusia.
Pasar 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 (selanjutnya disingkat UUD NRI Tahun 1945), bahwa “Bumi dan air beserta
seluruh kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besar kemamakmuran rakyat.” Hal ini memberikan
isyarat dan pemahaman, bahwa tanah air Indonesia berupa bumi, air, dan kekayaan
alam yang terkandung di dalamnya tersebut, haruslah menjadi alat perekat Negara
Kesatuan Repubik Indonesia dan pengelolaannya diserahkan kepada negara untuk
sebesar-besar kemakmuran rakyat. Pasal 33 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 tersebut
merupakan landasan konstitusional, sebagai pembentukan politik dan hukum agraria
nasional yang berisi perintah kepada Negara dan pengelola oleh negra, agar bumi,
air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya yang berada dalam penguasaan
Negara itu digunakan untuk mewujudkan kemakmuran seluruh rakyat Indonesia.
Berpangkal dari amanat dalam Pasal 33 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945
tersebut, maka pada tanggal 24 September 1960 telah diundangkan Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, yang populer
dengan sebutan Undang-Undang Pokok Agraria (disingkat UUPA) sebagai
kebijakan di bidang pengelolaan bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya (sumber daya agraria), kemudian ditindaklanjuti dengan

64
peraturan pelaksanaan dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang bersifat
organik, baik dalam bentuk undang-undang, peraturan pemerintah, keputusan
presiden, peraturan menteri, dan lain-lain.
Sebagai wujud pengaturan atas penguasaan, pemilikan dan penggunaan tanah,
pada Tahun 1960 Pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960
tentang Peraturan Dasar dan Pokok-Pokok Agraria (UUPA). Tujuan pembentukan
UUPA, yaitu :
1. Meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria Nasional, yang
merupakan alat untuk membawa kemakmuran, kebahagiaan, dan keadilan
bagi negara dan rakyat, terutama rakyat tani dalam rangka masyarakat adil
dan makmur.
2. Meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan
dalam hukum pertanahan.
3. Meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai
hak-hak atas tanah bagi rakyat seluruhnya.
Berdasarkan tujuan utama pembentukan UUPA di atas terlihat bahwa UUPA
berlaku sebagai alat untuk mencapai kemakmuran, kebahagiaan, dan keadilan,
menghilangkan dualisme hukum pertanahan dan mewujudkan kepastian hukum
kepada masyarakat Indonesia akan hak- hak atas tanah. Kepastian hukum terhadap
hak-hak atas tanah menyangkut kepemilikan tanah dan penguasaannya akan
memberikan kejelasan mengenai orang atau badan hukum yang menjadi pemegang
hak atas tanah maupun kepastian mengenai letak, batas-batas, luasnya dan
sebagainya. Mengenai kepastian tersebut sangat besar artinya terutama kaitannya
dalam perencanaan pembangunan suatu daerah maupun pengawasan pemilikan
tanah dan penggunaan tanah.
Kepastian hukum terhadap hak-hak atas tanah sebagaimana ditegaskan dalam
ketentuan Pasal 19 ayat (1) UUPA menentukan bahwa “untuk menjamin kepastian
hukum pemerintah diadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik
Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah.”
Kegiatan pendaftaran tanah yang dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) UUPA meliputi
kegiatan pengukuran, perpetaan, dan pembukuan tanah; pendaftaran hak atas tanah
dan pemeliharaan hak-hak tersebut; dan pemberian surat-surat tanda bukti hak yang
berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat (Pasal 19 ayat (2) UUPA).
Selanjutnya, sebagai wujud dari ketentuan Pasal 19 UUPA tersebut,
diterbitkanlah Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran
Tanah. Pemberian surat-surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian
yang kuat yang dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997

65
disebut dengan sertipikat hak atas tanah. Berdasarkan Pasal 4 ayat (1) Peraturan
Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 menentukan bahwa kegiatan pendaftaran tanah
dilakukan untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum, dimana
dari hasil kegiatan pendaftaran tanah diterbitkan sertipikat hak atas tanah sebagai
bukti kepemilikan dari pemegang hak atas yang dinyatakan berhak.
Sertipikat tersebut berfungsi sebagai surat tanda bukti hak yang berlaku
sebagai alat pembuktian yang kuat, dengan syarat sesuai dengan data fisik dan data
yuridis yang terdapat dalam buku tanah dan surat ukur yang bersangkutan. Kekuatan
pembuktian sertipikat hak atas tanah sebagai alat bukti yang kuat (tetapi tidak
mutlak) didasarkan pada sistem pendaftaran tanah stelsel negatif yang dianut di
Indonesia, sehingga meskipun sertipikat hak atas tanah telah didaftarkan tetapi
masih dapat digugat keabsahannya, yakni tidak lewat dari 5 (lima) tahun sejak
sertifikat diterbitkan.
Hal tersebut sebagaimana telah diatur dalam Pasal 32 ayat (2) Peraturan
Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 yang menyatakan bahwa dalam hal atas suatu
bidang tanah sudah diterbitkan sertipikat secara sah atas nama orang atau badan
hukum yang memperoleh tanah tersebut dengan itikad baik dan secara nyata
menguasainya, maka pihak lain yang merasa mempunyai hak atas tanah itu tidak
dapat lagi menuntut pelaksanaan hak tersebut apabila dalam waktu 5 (lima) tahun
sejak diterbitkannya sertipikat itu telah tidak mengajukan keberatan secara tertulis
kepada pemegang sertipikat dan Kepala Kantor Pertanahan yang bersangkutan
ataupun tidak mengajukan gugatan ke Pengadilan mengenai penguasaan tanah atau
penerbitan sertipikat tersebut.
Berdasarkan Pasal 32 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997
merupakan jelmahan dari lembaga rechtverwerking yang telah dikenal di dalam
hukum adat, yang keberadaannya untuk menutupi kelemahan dari sistem publikasi
pendaftaran tanah di Indonesia serta memberikan kepastian hukum bagi pemegang
sertifikat. Hal ini dapat dilihat pada salah satu kasus yang terjadi, yaitu pada
Putusan Mahkamah Agung Nomor 1083/K/Pdt/2016, yakni antara Ahmad Faisal
Harahap (Termohon Kasasi dahulu Penggugat/Pembanding) melawan Drs. Yopie
S. Batubara (Pemohon Kasasi dahulu Tergugat/Terbanding). Lahirnya gugatan
disebabkan karena Ahmad Faisal merasa bahwa dirinya adalah pemilik atas sebuah
tanah seluas 6.720 m² (enam ribu tujuh ratus dua puluh meter persegi) berdasarkan
alas hak kepemilikan berupa Surat Keterangan Tanah Nomor 54/3/MT/78 tanggal
15 Maret 1978 yang dikuatkan dan dibenarkan oleh Kepala Lorong Kampung
Namo Gajah dan Kepala Kampung Namo Gajah yang dikeluarkan oleh Camat
Medan Tuntungan.

66
Terhadap tanah objek perkara saat ini tanpa sepengetahuan dan tanpa seizin
Ahmad Faizal (Penggugat) telah dikuasai oleh Yopie S. Batubara (Tergugat) bahkan
saat ini telah dipagari dengan pagar kawat dan telah berhasil diterbitkan Sertipikat
Hak Guna Bangunan No. 50 atas nama Yopie S. Batubara. Adapun Putusan Hakim
dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 1083/K/Pdt/2016, Majelis Hakim
menyatakan mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi Drs. YOPIE S.
BATUBARA tersebut dimana dalam pertimbangannya telah menerapkan asas
rechtverwerking sebagaimana ketentuan Pasal 32 ayat (2) Peraturan Pemerintah
Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, dimana rechtverwerking
merupakan suatu sarana pelengkap untuk mengatasi kelemahan sistem publikasi
negatif yang dianut di Indonesia. Namun, di sisi lain, kedudukan pihak yang
sebelumnya dinyatakan berhak akan kehilangan haknya atas tanah yang
bersangkutan dan tidak mendapatkan ganti kerugian.

METODE PENELITIAN
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum
normatif Penelitian hukum normatif adalah penelitian yang bertujuan untuk melihat
kesesuaian antara aturan hukum dengan norma hukum dan menemukan kebenaran
koherensi; kesesuaian antara perintah atau larangan dengan prinsip hukum; serta
melihat kesesuaian antara tindakan seseorang dengan norma hukum (bukan hanya
sesuai dengan perintah hukum) atau prinsip hukum.

HASIL DAN PEMBAHASAN


A. Putusan Mahkamah Agung Nomor 1083/K/Pdt/2016
Di dalam menelaah dan mengkaji lebih jauh mengenai keberlakuan asas
lampau waktu (rechtverwerking) terlebih dahulu dibutuhkan pemaparan contoh
kasus/sengketa pertanahan yang di dalamnya terdapat 2 (dua) subjek hukum atau
lebih yang merasa berhak atas tanah yang menjadi objek sengketa. Berdasarkan hasil
penelusuran, ditemukan suatu putusan yang bekenaan dengan lampau waktu atas
kepemilikan tanah (rectverwerking), yakni Putusan Mahkamah Agung Nomor
1083/K/Pdt.2016.
1. Posisi Kasus
Berdasarkan putusan Mahkamah Agung Nomor 1083/K/Pdt/2016 yang
berkedudukan sebagai penggugat adalah AHMAD FAISAL HARAHAP melawan
DRS. YOPIE S. BATUBARA sebagai tergugat. Berdasarkan surat-surat maupun

67
bekas perkara yang ajukan dimuka persidangan, Penggugat sebelumnya telah
mengajukan gugatan pada Pengadilan Negeri Medan yang tercatat dalam Putusan
Nomor 561/Pdt.G/2013/PN.Mdn tanggal 24 April 2014, yang kemudian dilanjutkan
dengan banding pada Pengadilan Tinggi Medan yang tercatat dalam Putusan Nomor
335/Pdt/2014/PT. Mdn tanggal 17 Desember 2014, serta kasasi pada Mahkamah
Agung sebagaimana tercatat dalam Nomor 1083/K/Pdt/2016. Adapun pokok
permasalahan diuraikan berdasarkan dalil-dalil sebagai berikut :
1) Penggugat merupakan salah seorang ahli waris dari pasangan almarhum M.
Rasul Harahap yang telah meninggal dunia pada tanggal 3 Januari 1984 dan
almarhumah Robiah Nasution yang meninggal dunia pada tanggal 9 Januari
1979 sesuai dengan Surat Keterangan Ahli Waris tanggal 1 Juni 2012 yang
eluarkan Tembung dan diketahui Camat Medan
diketahui oleh Kepala Kelurahan
Tembung;
2) Semasa hidup orang tua penggugat (i.c. M. Rasul Harahap) pada tanggal 20
Maret 1977 telah membeli sebidang tanah seluas 6.720 m² (enam ribu tujuh
ratus dua puluh meter persegi) dari Nembai Br. Ginting yang terletak di
Kampung Namo Gajah, Kecamatan Medan Tuntungan, Kota Medan, sesuai
dengan Surat Penyerahan dengan Ganti Rugi tanggal 20 Maret 1977 Nomor 12
C/N.G./1977 yang diketahui oleh Kepala Kampung Namo Gajah Kecamatan
Medan Tuntungan, dengan batas-batas sebagai berikut :
- Sebelah utara berbatasan dengan tanah M. Rasul Harahap (d/h. tanah
Benamuli Sitepu);
- Sebelah timur berbatasan dengan Jalan Serimpi (d/h. tanah Jendam Sitepu);
- Sebelah selatan berbatasan dengan Jalan Serimpi (d/h. tanah Kumpul
Sembiring);
- Sebelah selatan berbatasan dengan Jalan Serimpi Raya (d/h. Sei Belawan);
3) Tanah objek perkara tersebut telah dikuatkan atas hak kepemilikan sebagai
berikut :
a. Surat Keterangan Tanah Nomor 54/3/MT/78 tanggal 15 Maret 1978 yang
dikuatkan dan dibenarkan oleh Kepala Lorong Kampung Namo Gajah dan
Kepala Kampung Namo Gajah yang dikeluarkan oleh Camat Medan
Tuntungan;
b. Surat Keterangan Nomor 169/N.G/1980 tanggal 15 Januari 1980 yang
dikeluarkan oleh Kepala Kampung Namo Gajah dan diketahui oleh Camat
Medan Tuntungan;

68
c. Akta Keterangan Nomor 80 tanggal 29 Februari 1980 yang diperbuat
dihadapan Barnang Armino Poeloengan, S.H., Notaris di Medan;
4) Pada sekitar tahun 1983, orang tua Penggugat telah mengagunkan tanah objek
perkara pada PT Bank Sumut Cabang Utama Medan (d/h. Bank Pembangunan
Daerah Sumatera Utara/BPDSU). Setelah orang tua Penggugat meninggal
dunia tahun 1984, terhadap tanah objek perkara telah Penggugat lunasi pada
tahun 2003 dan terhadap tanah perkara yang merupakan objek jaminan telah
diserahkan kepada Penggugat sesuai Surat Serah Terima Jaminan tersebut pada
tanggal 27 Maret 2003;
5) Akan tetapi, terhadap tanah objek perkara saat ini tanpa sepengetahuan dan
tanpa seizin Penggugat telah dikuasai oleh Tergugat bahkan saat ini telah
dipagari dengan pagar kawat;
6) Penggugat telah berulang kali menegur baik secara lisan maupun tertulis
terhadap Tergugat agar menyerahkan tanah objek perkara tersebut kepada
Penggugat, akan tetapi Tergugat tidak pernah mematuhi segala teguran dan
permintaan Penggugat tersebut, bahkan Tergugat tetap bertahan dan tidak
bersedia mengosongkan/menyerahkan tanah tersebut kepada Penggugat hingga
saat gugatan ini diajukan;
7) Pada tahun 2006, atas tanah yang diklaim sebagai milik Penggugat kemudian
terbit Sertipikat Hak Guna Bangunan (SHGB) Nomor 50 tanggal 24 November
tahun 2006 atas nama Tergugat.
Penggugat mengklaim bahwa perbuatan Tergugat yang tanpa hak menguasai
tanah milik Penggugat merupakan perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad)
yang merugikan Penggugat, karena Penggugat tidak dapat menempati dan
menguasai tanah terperkara serta tidak dapat mengambil manfaat ekonomis atas
tanah terperkara yang telah Penggugat peroleh dengan itikad baik.
1. Keberlakuan Asas Lampaunya Waktu Dalam Sistem Hukum Pertanahan
di Indonesia

Di dalam sistem pertanahan dikenal adanya lampau waktu (rechtverwerking)


yang menunjuk pada istilah daluwarsa, namun berbeda dengan konsepsi daluwarsa
menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Melihat pada permasalahan yang
di kaji, penerapan asas rechtverwerking dalam putusan Mahkamah Agung Nomor
1083/K/Pdt/2016 sebelumnya telah diterapkan pada berbagai putusan pengadilan
dalam mengadili kasus-kasus serupa. Menurut J. Satrio, rechtverwerking telah
dipakai sebagai dasar pertimbangan yang ada sejak masa kolonial bahkan sampai
Indonesia merdeka, termasuk para pihak dalam perkara adalah orang-orang yang

69
tunduk pada hukum adat. Dengan rechtverwerking, pihak yang mempunyai tanah
karena lampaunya waktu kehilangan haknya untuk memperoleh kembali tanah
tersebut. Terkait dengan berbagai sumber yurisprudensi yang menjadi landasan
hukum diberlakukannya rechtverwerking oleh hakim dalam mengadili kasus
serupa, putusan Mahkamah Agung Nomor 1083/K/Pdt/2016 yang membahas
mengenai gugatan kepemilikan tanah berdasarkan bukti kepemilikan berupa Surat
Keterangan Tanah melawan Sertipikat Hak Guna Bangunan, dimana dengan
melihat waktu penerbitan Sertipikat Hak Guna Bangunan, hakim memutuskan
perkara tersebut dengan menyatakan berlakunya rechtwerwerking atas tanah yang
menjadi objek sengketa. Putusan tersebut selanjutnya akan digunakan sebagai
bahan analisis dalam melihat keberlakuan rechtverwerking dalam sistem hukum
pertanahan di Indonesia.
Adapun sebagai pihak yang berperkara adalah Ahmad Faisal Harahap
(Penggugat) yang mengajukan gugatan terhadap Yopie S. Batubara pada Pengadilan
Negeri Medan yang kemudian dilanjutkan dengan upaya banding pada Pengadilan
Tinggi Medan dan pada akhirnya berujung pada upaya kasasi melalui Mahkamah
Agung. Mengenai dasar gugatan diajukan oleh Ahmad Faisal Harahap adalah
terhadap sebidang tanah yang terletak di Kampung Namo Gajah, Kecamatan Medan
Tuntungan, Kota Medan yang diklaim sebagai miliknya, dimana tanah tersebut
merupakan warisan dari orang tua Penggugat (Alm. Rasul Harahap) yang
sebelumnya dibeli dari Nembai Br. Ginting pada tahun 1977.
Gugatan kepemilikan tanah yang dilakukan oleh Ahmad Faisal Harahap
dilakukan berdasarkan pada bukti berupa Surat Keterangan Tanah Nomor
54/3/MT/78 tanggal 15 Maret 1978 yang dikuatkan dan dibenarkan oleh Kepala
Lorong Kampung Namo Gajah dan Kepala Kampung Namo Gajah yang
dikeluarkan oleh Camat Medan Tuntungan; Surat Keterangan Nomor
169/N.G/1980 tanggal 15 Januari 1980 yang dikeluarkan oleh Kepala Kampung
Namo Gajah dan diketahui oleh Camat medan tuntungan; dan Akta Keterangan
Nomor 80 tanggal 29 Februari 1980 yang diperbuat di hadapan Barnang Armino
Poeloengan, S.H., Notaris di Medan. Ketiga surat tersebut dijadikan sebagai dasar
penguatan oleh Ahmad Faisal Harahap bahwa tanah yang menjadi objek sengketa
benar merupakan miliknya yang telah diperoleh berdasarkan kewarisan dari orang
tua Penggugat.
Adapun dasar digunakannya Surat Keterangan Tanah sebagai bukti
kepemilikan tanah oleh Penggugat adalah karena pada saat transaksi jual beli tanah
pada tahun 1977 yang dilakukan oleh Alm. Rasul Harahap (orang tua Penggugat)
dengan Nembai Br. Ginting belum ada alas hak atas tanah sehingga alas hak

70
kepemilkannya baru dikeluarkan pada tahun 1978 dan tahun 1980. Sedangkan,
terhadap Tergugat Yopie S. Batubara, berdasarkan sertipikat Hak Guna Bangunan
Nomor 50 yang menunjuk pada letak bidang tanah sebagaimana dimaksud dalam
Surat Keterangan Tanah Nomor 54/3/MT/78 tanggal 15 Maret 1978 juga
menyatakan bahwa dirinyalah sebagai pihak yang berhak atas tanah yang menjadi
objek sengketa.
Surat Keterangan Tanah pada dasarnya merupakan surat keterangan yang
menyatakan seseorang menggarap tanah Negara yang dikeluarkan oleh pejabat
daerah dan bukan merupakan kepemilikan hak menurut Undang-Undang Pokok
Agraria (UUPA), sedangkan menurut UUPA bukti kepemilikan atas tanah hanya
dibuktikan dengan adanya sertipikat hak atas tanah (Pasal 19 UUPA jo. Pasal 4
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah). Surat
keterangan tanah berisikan riwayat tanah yang menjadi dasar yang digunakan oleh
Kantor Pertanahan dalam melakukan pendaftaran tanah sebagaimana ditegaskan
dalam Pasal 24 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang
Pendaftaran Tanah (selanjutnya disingkat PP 24/1997) bahwa :
Untuk keperluan pendaftaran hak, hak atas tanah yang berasal dari konversi
hak-hak lama dibuktikan dengan alat-alat bukti mengenai adanya hak tersebut
berupa bukti-bukti tertulis, keterangan saksi dan atau pernyataan yang
bersangkutan yang kadar kebenarannya oleh Panitia Ajudikasi dalam pendaftaran
tanah secara sistematik atau oleh Kepala Kantor Pertanahan dalam pendaftaran
tanah secara sporadik, dianggap cukup untuk mendaftar hak, pemegang hak dan
hak-hak pihak lain yang membebaninya.
Dari penjelasan di atas, seyogyanya dapat dipahami bahwa ketentuan Pasal
24 ayat (1) PP No. 24/1997 telah menentukan kedudukan Surat Keterangan tanah
sebagai bukti tertulis pembuktian hak-hak lama yang diperlukan untuk keperluan
pendaftaran hak. Dengan demikian, Surat Keterangan tanah merupakan alas hak
yang digunakan untuk mengajukan permohonan penerbitan sertipikat hak atas
tanah kepada kantor pertanahan dan bukan merupakan bukti kepemikan tanah yang
sah.
Terkait dengan penjelasan tersebut, melihat dari segi alat bukti yang
ditunjukkan oleh Penggugat maupun Tergugat dalam Putusan Mahkamah Agung
Nomor 1083/K/Pdt/2016, Penulis berpendapat bahwa keberadaan sertipikat Hak
Guna Bangunan Nomor 50 yang ditunjukkan oleh Tergugat Yopie S. Batubara
memiliki kedudukan yang lebih kuat jika dibandingkan dengan Surat Keterangan
Tanah yang ditunjukkan oleh Penggugat Ahmad Faisal Harahap. Hal ini didasarkan
karena mengingat Surat Keterangan Tanah hanyalah surat yang berisikan keterangan

71
riwayat tanah dan bukan sebagai bukti kepemilikan yang sah. Oleh sebab itu,
seharusnya setelah penerbitan Surat Keterangan Tanah Nomor 54/3/MT/78 tanggal
15 Maret 1978 oleh Kepala Lorong Kampung Namo Gajah dan Kepala Kampung
Namo Gajah yang dikeluarkan oleh Camat Medan Tuntungan pada tahun 1978, serta
surat keterangan lainnya yang dapat menguatkan kepemilikan tanah dari Alm. Rasul
Harahap (orang tua Penggugat) segera dilanjutkan dengan permohonan sertipikat
hak atas tanah pada Kantor Pertanahan guna untuk memberikan jaminan kepastian
dan perlindungan hukum kepada pihak yang berhak.
1) Hal-Hal yang Mempengaruhi Pertimbangan Hukum Hakim Dalam
Menerapkan Rechtverwerking Terhadap Kasus Sengketa Kepemilikan
Hak Atas Tanah Berdasarkan Putusan Mahkamah Agung Nomor
1083/K/Pdt/2016
Sebagai lembaga hukum yang tidak tertulis, penerapan dan pertimbangan
mengenai terpenuhinya persyaratan mengenai rechtverwerking, dalam kasus-kasus
konkrit ada di tangan hakim yang mengadili sengketa, namun hakim tidak
dibenarkan menerapkannya apabila tidak diajukan sendiri oleh yang berperkara.
Yang menarik adalah di dalam keputusan-keputusan pengadilan di Indonesia sejak
masa kolonial sudah banyak dipakai lembaga rechtverwerking termasuk kalau para
pihaknya dalam berperkara adalah orang-orang yang tunduk pada hukum adat.
Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya bahwa keberadaan
rechtverwerking adalah sebagai lembaga untuk menutup kelemahan dari sistem
publikasi negatif yang kemudian diatur dalam Pasal 32 ayat (2) PP 24/1997 yang
menegaskan bahwa :
a. Sudah di terbitkan sertifikat.
b. Lewat waktu 5 tahun
c. Dikuasai oleh pemegang sertifikat
d. Tidak mengajukan protes atau gugatan
e. Itikad baik

KESIMPULAN
1. Keberlakuan rechtverwerking dalam hukum pertanahan di Indonesia telah
ada sejak zaman kolonial dan diterapkan dalam berbagai yurisprudensi
pengadilan sehingga dalam penerapannya rechtverwerking sangat
digantungkan pada putusan hakim yang mengadili perkara. Keberadaan
rechtverwerking saat ini telah diwujudkan dalam Pasal 32 ayat (2) Peraturan
Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah yang
tujuannya adalah untuk mengatasi kelemahan dari sistem publikasi negatif

72
pendaftaran dan sebagai bentuk jaminan kepastian dan perlindungan hukum
kepada pemegang sertipikat hak atas tanah sebagaimana diwujudkan dalam
Putusan Mahkamah Agung No. 1083K/PDT/2016.
2. Hal-hal yang mempengaruhi pertimbangan hukum hakim dalam mengadili
perkara dalam Putusan Mahkamah Mahkamah Agung No. 1083K/PDT/ 2016
adalah hakim melihat pada unsur/syarat rechtverwerking sebagaimana
dikemukakan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang
Pendaftaran Tanah, yakni telah diterbitkan sertipikat, lewat waktu 5 (lima)
tahun, dikuasai oleh pemegang sertipikat, dan tidak adanya protes atas
gugatan dalam waktu yang ditentukan. Namun, dalam pertimbangan
hukumnya, hakim kurang mempertimbangkan mengenai unsur itikad baik
Penggugat maupun Tergugat dalam perolehan tanah yang menjadi objek
sengketa.

73
1.8. SERTIFIKAT HAK MILIK ATAS TANAH SEBAGAI ALAT BUKTI HAK
YANG KUAT

SERTIFIKAT HAK MILIK ATAS TANAH SEBAGAI ALAT BUKTI


HAK YANG KUAT
CERTIFICATE OF THE PROPERTY RIGHT AS AN EVIDENCE OF
POWERFULL RIGHT
Dadi Arja Kusuma, Rodliyah, Sahnan

Magister Kenotariatan Universitas Mataram

Email: arjadadi@gmail.com

Naskah diterima : 17/06/2017; revisi : 25/07/2017; disetujui : 25/08/2017


Abstrak
Salah satu tujuan dari pendaftaran tanah adalah memberikan kepastian
hukum dan perlindungan hukum bagi pemegang sertifikat hak milik atas
tanah yang beriktikad baik. Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk
mengkaji dan menganalisis kriteria-kriteria sertifikat sebagai alat bukti yang
kuat, dan perlindungan hukum bagi pemegang sertifikat yang beriktikad baik.
Tipe penelitian hukum ini adalah penelitian normatif. Teori yang digunakan
dalam penelitian ini adalah teori kepastian hukum, teori penegakkan hukum,
teori kewenangan dan teori perlindungan hukum. Metode pendekatan yang
digunakan adalah pendekatan perundang–undangan, konseptual dan
pendekatan kasus. Berdasarkan hasil penelitian bahwa kriteria-kriteria
sertifkat sebagai alat bukti hak yang kuat yakni penerbitan sertifikat hak
milik atas tanah harus melalui prosedur peraturan yang berlaku, Sertifikat di
buat oleh Pemegang Hak yang beriktikad baik, diterbitkan instansi yang
berwenang dan obyek tanah dikuasai secara nyata selama lebih dari 5 (lima)
tahun. Perlindungan hukum bagi pemegang sertifikat yang beriktikad baik
yaitu secara preventif berdasarkan ketentuan pasal 32 ayat 1 dan 2 PP No 24

74
tahun 1997 dan represif dengan adanya lembaga recstverwerking, dan
khususnya pada perkara perdata nomor :10/Pdt.G/2010/PN.SBB diberikan
perlindungan hukum secara represif bagi pemegang sertifikat yang beriktikad
baik.
Kata Kunci : Sertifikat, Alat Bukti Kuat, Perlindungan
PENDAHULUAN
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah mengatur
bahwa pendaftaran tanah adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Pemerintah
secara terus-menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi pengumpulan,
pengolahan, pembukuan dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis
dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan
rumah susun, termasuk pemberian surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah
yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta hak-hak tertentu
yang membebaninya.. Adapun pentingnya pendaftaran tanah tersebut menurut Pasal
3 PP No.24 Tahun 1997, disebutkan sebagai berikut:
1. Untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang
hakatassuatubidangtanah.Satuanrumah susun dan hak-hak lain yang terdaftar agar
dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang bersangkutan.
2. Untuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan termasuk
pemerintahan agar dengan mudah dapat memperoleh data yang diperlukan dalam
mengadakan perbuatan hukummengenaibidang-bidangtanahdan satuan-satuan rumah
susun yang sudah terdaftar.
3. Untuk terselenggaranya tertib adminis-trasi.

Untuk menjamin kepastian hukum hak-hak atas tanah, maka pendaftaran tanah
harus meliputi:
a. Kadaster hak yaitu kegiatan pengukuran dan pemetaan bidang-bidang tanah hak
dan pendaftaran bidang-bidang tersebut dalam daftar-daftar tanah. Bidang-bidang
tanah hak adalah bidang-bidang yang dimiliki orang atau badan hukum dengan suatu
hak.
b. Pendaftaranhakyaitukegiatanpendaftaran hak-hak dalam daftar buku tanah atas
pemegang haknya.

75
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah tetap
mempertahankan tujuan dan sistem yang digunakan dalam Pasal 19 UUPA jo PP
Nomor 10 Tahun 1961. PP Nomor 24 Tahun 1997 merupakan penyempurnaan
dari peraturan sebelumnya. Salah satunya terdapat dalam Pasal 32 yang mengatur
bahwa:
(1) Sertifikat merupakan surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian
yang kuat mengenai data fisik dan data yuridis yang termuat di
dalamnya,sepanjangdatafisikdandata yuridistersebutsesuaidengandatayang ada dalam
surat ukur dan buku tanah hak yang bersangkutan.
(2) Dalam hal suatu bidang tanah sudah diterbitkan sertifikat secara sah atas nama
orang atau badan hukum yang memperoleh tanah tersebut dengan itikad baik dan
secara nyata menguasainya, maka pihak lain yang merasa mempunyai hak atas tanah
itu tidak dapat lagi menuntut pelaksanaan hak tersebut apabila dalam jangka waktu
(5) lima tahun sejak diterbitkannya sertifikat itu tidak mengajukan keberatan secara
tertulis kepada pemegang sertifikat dan kepala Kantor Pertanahan yang bersangkutan
ataupun tidak mengajukan gugatan ke Pengadilan mengenai penguasaan tanah atau
penerbitan sertifikat tersebut.

Meskipun kepemilikan tanah telah diatur sedemikian rupa, namun masih saja
terdapat permasalahan dalam hal kepemilikan sebidang tanah, misalnya saja terhadap
sebidang tanah yang sudah dikuasai oleh subjek hukum selama bertahun-tahun dan
telah dilengkapi dengan sertifikat. Terhadap tanah itu masih ada pihak luar yang
menuntut hak atas tanah tersebut.
Maka dari itu, sangat pentingnya diberikan suatu perlindungan hukum bagi
pemegang sertifikat ham milik atas tanah yang beritikad baik yang telah menguasai
tanah secara nyata selama bertahun-tahun terhadap tanah yang dikelola dan
dikuasainya dari keberatan-keberatan dan upaya-upaya yang dilakukan oleh pihak
luar.
Rumusan masalah yang digunakan; Pertama, Apa kriteria-kriteria sertifikat hak
milik atas Tanah sebagai alat bukti hak yang kuat ? dan kedua, Bagaimana
perlindungan hukum bagi pemegang sertifikat yang beritikad baik?.
Bertitik tolak dari rumusan masalah yang telah dipaparkan, maka tujuan penelitian
ini adalah ; Pertama, Untuk mengkaji dan kriteria-kriteria sertifikat hak milik atas
Tanah sebagai alat bukti hak yang kuat. Kedua, Untuk mengkaji dan menganalisis
perlindungan hukum bagi pemegang sertifikat yang beritikad baik ?

76
Penelitian Tesis ini menggunakan penelitian Hukum Normatif menggunakan
pendekatan Perundang-Undangan, pendekatan konseptual dan Pendekatan Kasus.
tekhnik pengumpulan bahan hukum menggunakan tekhnik studi kasus dengan
menggunakan analisis penafsiran Ekstensif sebagai analisis bahan hukum.
PEMBAHASAN
Kriteria-Kriteria Sertifikat Hak Milik Atas Tanah Sebagai Alat Bukti Hak
Yang Kuat
Sistem publikasi yang dianut dalam pendaftaran tanah di Indonesia adalah sistem
publikasi negatif bertendensi positif. Sistem ini dipilih karena karakter hukum tanah
Indonesia yang bersifat komunal dalam arti tanah selain dapat dimiliki secara
perseorangan namun peruntukannya tetap harus berfungsi sosial dalam arti seseorang
harus benar-benar mengusahakan tanahnya sesuai dengan peruntukan dan
pengusahaan tersebut tidak boleh merugikan orang lain.
pemerintah melalui Pasal 32 PP Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah
mulai menerapkan bahwa sertifikat tanah yang telah terbit selama 5 tahun merupakan
alat pembuktian yang kuat.
Adapun Sertifikat tanah yang telah diterbitkan mempunyai kekuatan pembuktian
yang kuat sebagaimana tercantum dalam Pasal 19 UUPA jika memenuhi Kriteria-
Kriteria tertentu, adapun Kriteria-Kriteria tersebut adalah :
a. Sertifikat hak atas tanah diperoleh dengan itikad baik;
b. Pemeganghakatastanahharus menguasai secara nyata tanahnya;
Sejalan dengan itu, menurut Urip Santoso, bahwa sertifikat hak milik atas tanah
dapat dijadikan sebagai alat bukti hak yang kuat bahkan mutlak jika telah memenuhi
kriteria berikut :
1. Sertifikat hak milik atas tanah tersebut diterbitkan secara sah atas nama orang atau
badan hukum;
2. Bahwa tanah tersebut diperoleh dengan itikad baik;
3. Bahwa tanah tersebut dikerjakan secara nyata; dan
4. Bahwa dalam waktu 5 (lima) tahun sejak diterbitkannya sertifikat tersebut tidak
ada yang mengajukan keberatan secara tertulis kepada pemegang sertifikat dan
kepala kantor pertanahan kabupaten/ kota setempat maupun tidak mengajukan
gugatan kepengadilan mengenai penguasaan atau penerbitan sertifikat.

77
Dalam hal ini, menurut penulis bahwa kriteria-kriteria yang harus di penuhi agar
sertifikat hak milik atas tanah dapat dijadikan sebagai alat bukti hak yang kuat selain
sebagaimana yang telah di uraikan diatas adalah bahwa dalam proses penerbitan
sertifikat tersebut harus melalui prosedur ketentuan peraturan perundang-
perundangan yang berlaku. Ketentuan peraturan-peraturan perundangan yang di
maksud yakni Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 tentang pendaftaran tanah
dan Peraturan menteri Agraria / Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun
1997 tentang pelaksanaan peraturan pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang
Pendaftaran Tanah. Sertifikat hak milik atas tanah dibuat oleh pemegang hak yang
beritikad baik, sertifikat hak milik atas tanah diterbitkan oleh pejabat yang berwenang
dan obyek tanah dikuasai serta dikerjakan secara nyata secara terus menerus lebih
dari 5 tahun.
Tentunya dalam hal ini penulis akan menjabarkan kriteria-kriteria sertifikat
hak milik atas tanah sebagai alat bukti hak yang kuat sebagai berikut :
1. Proses penerbitan sertifikat hak milik atas tanah harus melalui prosedur-
prosedur atau mekanisme ketentuan peraturan perundang-pe-rundangan
yang berlaku

Sertifikat hak milik atas tanah merupakan produk hukum yang di buat dan
diterbitkan oleh instansi Kementerian Agraria dan Tata Ruang/ Badan Pertanahan
Nasional. pengertian sertifikat hak milik atas tanah menurut Pasal 1 angka 20
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah adalah surat
tanda bukti hak sebagaimana dimaksud pada pasal 19 ayat (2) huruf c Undang-
Undang Pokok Agraria untuk hak atas tanah, hak pengelolaan, tanah wakaf, hak
milik atas satuan rumah susun dan hak tanggungan yang masing-masing sudah
dibukukan dalam buku tanah yang bersangkutan.
Menurut Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang
Pendaftaran Tanah menyatakan bahwa pendaftaran tanah merupakan “rangkaian
kegiatan yang dilaksanakan oleh Pemerintah yang meliputi, pengumpulan,
pengolahan, pembukuan, dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis
dalam bentuk peta dan daftar mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan
rumah susun, termasuk pemberian surat tanda bukti haknya sebagai bidang-bidang
tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta hak-hak
tertentu yang membebaninya”.

78
Agar subyek hukum pemohon hak milik atas tanah dapat memperoleh kepastian
hukum kepemilikan hak atas tanah yakni berupa sertifikat, maka harus dilalui melalui
berbagai tahapan yang telah di tetapkan oleh pemerintah berdasarkan Peraturan
Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 tentang pendaftaran tanah dan Peraturan menteri
Agraria Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah
Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
2. Sertifikat Hak Milik Atas Tanah di Buat Oleh Pemegang Hak Yang
beriktikad baik

Sertifikat hak milik atas tanah diterbitkan oleh instansi kementerian Agraria dan
Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional atas dasar permohonan Pemegang
Hak yang beritikad baik atas obyek tanah. dalam hal pengajuan permohonan
penerbitan sertifikat hak milik atas tanah, maka permohonan tersebut di mohonkan
oleh pemegang hak atas tanah yang di dasari dengan itikad baik.
Kamus Besar Bahasa Indonesia memberikan pengertian itikad baik dengan
kepercayaan, keyakinan yang teguh, maksud, kemauan yang baik.
Wirjono Prodjodikoro memberikan batasan itikad baik dengan istilah “dengan
jujur” atau “secara jujur”.
Itikad baik juga dibedakan dalam sifatnya yang subjektif dan objektif. Pada itikad
baik yang subjektif, orang memperhatikan sikap dan tingkah laku yang nyata dari
subjek. Pada itikad baik yang objektif atau hal yang sesuai dengan akal sehat dan
keadilan, dibuat ukuran objektif untuk menilai keadaan sekitar perbuatan hukumnya
(penilaian menurut norma-norma yang objektif).
Wirjono Prodjodikoro membagi itikad baik menjadi dua macam, yaitu:
a. Itikad baik pada waktu mulai berlakunya suatu hubungan hukum. Itikad baik
disini biasanya berupa perkiraan atau anggapan seseorang bahwa syarat-syarat
yang diperlukan bagi dimulai hubungan hukum telah terpenuhi.Dalam konteksini
hukum memberikan perlindungan kepada pihak yang beritikad baik, sedang bagi
yang beritikad tidak baik (te kwader trouw) harus bertanggungjawab dan
menanggung risiko. Itikad baik semacam ini dapat disimak dari ketentuan Pasal
1977 ayat (1) KUH Perdata dan Pasal 1963 KUH Perdata, dimana terkait dengan
salah satu syarat untuk memperoleh hak milik atas barang melalui daluwarsa.
Itikad baik ini bersifat subjektif dan statis.

79
b. Itikad baik pada waktu pelaksanaan hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang
termaktub dalam hubungan hukum itu. Pengertian itikad baik semacam ini
sebagaimana diatur dalam Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata adalah bersifat
objektif dan dinamis mengikuti situasi sekitar perbuatan hukumnya. Titik berat
itikad baik disini terletak pada tindakan yang akan dilakukan oleh kedua belah
pihak,yaitutindakansebagaipelaksanaan sesuatu hal.

Tentunya setelah sertifikat hak milik atas tanah di buat oleh pemegang hak atas
tanah yang didasari dengan Itikad baik di dalam permohonan penerbitan sertifikat
hak milik tersebut, maka secara hukum, sertifikat tersebut dapat dijadikan sebagai
alat bukti hak yang kuat terhadap kepemilikan terhadap suatu obyek tanah.

3. Sertifikat Hak Milik Atas Tanah Diterbitkan Oleh Instansi Yang Ber-wenang

Suatu sertifikat hak milik atas tanah agar dapat memiliki kekuatan pembuktian
yang kuat harus memenuhi salah satu kriteria dalam penerbitannya dilakukan oleh
Instansi yang berwenang dalam menerbitkan sertifikat hak milik atas tanah. Pejabat
yang berwenang dalam hal menerbitkan suatu sertifikat hak milik atas tanah adalah
Kepala Kantor Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional.
Kewenangan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional
dalam menerbitkan sertifikat diatur di dalam Peraturan Kepala Badan Pertanahan
Nasional Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2013 tentang Pelimpahan Kewenangan
Pemberian Hak Atas Tanah Dan Kegiatan Pendaftaran Tanah. Hal tersebut tepatnya
di atur pada bagian III pasal 12 dan Pasal 13 serta Bab IV tentang kewenangan
kegiatan pendaftaran tanah Pasal 14 dan Pasal Kewenangan yang diperoleh
Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional dalam menerbitkan
sertifikat hak milik atas tanah merupakan kewenangan yang bersumber secara
atributif yakni pemberian wewenang pemerintahan oleh pembuat undang-undang
kepada organ pemerintahan.
4. Obyek tanah dikuasai serta dik-erjakan secara nyata secara terus menerus
lebih dari 5 tahun

Kriteria yang terakhir agar sertifikat hak milik atas tanah yang dimohonkan oleh
pemegang hak atas tanah memiliki kekuatan pembuktian yang kuat, yakni bahwa

80
obyek tanah yang dikuasainya harus dikerjakan secara nyata dan secara terus
menerus selama lebih dari 5 tahun.
Jika kita merujuk pada Pasal 24 ayat 2 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun
1997 tentang pendaftaran tanah yang menyatakan bahwa :
“Dalam hal tidak atau tidak lagi tersedia secara lengkap alat-alat pembuktian
seba-gaimana dimaksud pada ayat (1), pem-bukuan hak dapat dilakukan
berdasarkan kenyataan penguasaan fisik bidang tanah yang bersangkutan selama 20
(dua puluh) tahun atau lebih secara berturut-turut oleh pemohon pendaftaran dan
pendahulu-pendahulunya, dengan syarat :
a. Penguasaan tersebut dilakukan den-gan itikad baik dan secara terbuka oleh
yang bersangkutan sebagai yang ber-hak atas tanah, serta diperkuat oleh ke-
saksian orang yang dipercaya;
b. Penguasaan tersebut baik sebelum maupun selama pengumuman sebagai
mana dimaksud dalam pasal 26 tidak dipermasalahkan oleh masyarakat hu-
kum adat atau desa kelurahan yang bersangkutan ataupun pihak lainnya.
Pendaftaran Tanah diatas menekankan bahwa subyek hukum yang hendak
melakukan penerbitan sertifikat hak atas tanah harus secara nyata menguasai tanah
secara fisik selama 20 (dua puluh) tahun atau lebih secara berturut-turut oleh
pemohon pendaftaran ataupun pendahulu-pendahulunya.
Jika kriteria-kriteria sertifikat sebagai alat bukti hak yang kuat telah terpenuhi
sebagaimana yang telah dikemuakan di atas, maka secara pasti dan nyata, akan
memberikan kepastian hukum bagi pemegang sertifikat hak milik atas tanah, jika
pada suatu saat nanti adanya gangguan atau gugatan dari pihak lainnya. Tentunya hal
ini sejalan dengan teori kepastian hukum yang dikemukakan oleh J.M. Otto yang
dikutip oleh Sri Djatmiati, kepastian hukum (rechtszekerheid) memiliki unsur-unsur
sebagai berikut :
a) Adanya aturan yang konsisten dan dapat diterapkan yang ditetapkan negara.
b) Aparat pemerintah menerapkan aturan hukum tersebut secara konsisten dan
berpegang pada aturan hukum tersebut.
c) Rakyat pada dasarnya tunduk pada hukum.
d) Hakim yang bebas dan tidak memihak secara konsisten menerapkan aturan hukum
tersebut.
e) Putusan hakim dilaksanakan secara nyata.

81
Sehingga, ketika kriteria-kriteria sertifikat sebagai alat bukti hak yang kuat telah
terpenuhi, maka pemegang sertifikat hak milik atas tanah dapat mempertahankan hak
kepemilikannya dengan alat pembuktian berupa sertifikat hak milik atas tanah yang
subyek hukum miliki dan kuasai.

Perlindungan Hukum Bagi Pemegang Sertifikat Hak Milik Atas Tanah Yang
Beriktikad Baik
Secara kosepsional, perlidungan hukum terhadap hak-hak individu dan masyarakat
adalah merupakan salah satu hak assasi bagi idividu dan masyarakat, dapat berupa
perlindungan hukum secara preventif dan perlindungan hukum secara represif.
Menurut pendapat Lili Rasjidi dan B. Arief Sidharta tentang fungsi hukum untuk
memberiperlindunganadalahbahwahukum itu ditumbuhkan dan dibutuhkan manusia
justru berdasarkan produk penilaian manusia untuk menciptakan kondisi yang
melindungi dan memajukan martabat manusia serta untuk memungkinkan manusia
menjalani kehidupan yang wajar sesuai dengan martabatnya.
1. Perlindungan Hukum Secara Pre-ventif Bagi Pemegang Sertifikat Hak Milik
Atas Tanah Yang Berik-tikad Baik

Perlindungan hukum preventif yang diberikan bagi Pemegang Sertifikat Hak Milik
Atas Tanah yang beriktikad baik yakni telah di atur di dalam ketentuan Pasal 32 ayat
1 dan ayat 2 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah
yang menyatakan bahwa:
Ayat 1 : “ sertifikat merupakan surat tan-da bukti hak yang berlaku sebagai alat
pembuktian yang kuat mengenai data fisik dan data yuridis yang termuat di
dalamnya, sepanjang data fisik dan data yuridis tersebut sesuai dengan data
yang ada dalam surat ukur dan buku tanah yang bersangkutan”.
Ayat 2 : “ Dalam hal suatu bidang tanah sudah diterbitkan sertifikat secara sah
atas nama orang atau badan hu-kum yang memperoleh tanah tersebut dengan
iktikad baik dan secara nyata menguasainya, maka pihak lain yang merasa
mempunyai hak atas tanah itu tidak dapat lagi menuntut pelaksan-aan hak
tersebut apabila dalam jangka waktu (5) lima tahun sejak diterbit-kannya
sertifikat itu tidak mengajukan keberatan secara tertulis kepada pemeg-ang
sertifikat dan kepala Kantor Per-tanahan yang bersangkutan ataupun tidak

82
mengajukan gugatan ke Pengadi-lan mengenai penguasaan tanah atau
penerbitan sertifikat tersebut.”
Ayat (1) pasal ini mengandung makna bahwa sertifikat merupakan alat
pembuktian yang kuat dan selama tidak dapat dibuktikan sebaliknya maka data fisik
dan data yuridis yang tercantum dalam sertifikat harus diterima sebagai data yang
benar. Sedangkan ayat (2) pasal ini lebih menegaskan lagi jaminan kepastian dan
perlindungan hukum bagi pemegang sertifikat hak milik atas tanah yang beriktikad
baik.
Dalam hal ini juga penulis mengacu Pada Surat Edaran Mahkamah Agung
Nomor : 07 tahun 2012 tentang Rumusan Hukum Hasil Rapat Pleno Kamar
Mahkamah Agung sebagai pedoman pelaksanaan tugas bagi pengadilan khususnya
pada poin ke IX yang menyatakan bahwa “ Perlindungan harus diberikan kepada
pembeli yang beriktikad baik sekalipun kemudian penjual diketahui bahwa penjual
adalah orang yang tidak berhak (obyek jual beli tanah), pemilik asal hanya dapat
mengajukan gugatan ganti kerugian kepada penjual yang tidak berhak.
Jika melihat ketentuan rumusan yang tercantum pada point IX SEMA Nomor :07
tahun 2012 maka, perlindungan hukum secara nyata di lindungi bagi pembeli yang
beriktikad baik, meskipun pembeli tersebut meperoleh obyek tanahnya dari penjual
yang tidak berhak untuk menjualnya, sedangkan pemilik aslinya hanya dapat
menuntut ganti kerugiannya saja. Jika unsur ketentuan diatas dikaitkan dengan
perlindungan hukum yang diberikan kepada pemegang sertifikat hak milik atas tanah
yang beriktikad baik, maka pemegang sertifikat yang beriktikad baik memperoleh
tanah dengan cara menguasai secara nyata dan terus menerus selama bertahun-tahun
tanpa adanya keberatan atau gugatan-gugatan yang diajukan ke pengadilan oleh
pihak lain meskipun dikemudian hari objek tanah yang digugat merupakan tanah
milik pihak lain, maka pemegang sertifikat yang beriktikad baik secara hukum harus
dilindungi terhadap kepemilikan dan penguasaannya terhadap obyek tanah yang telah
dikuasai oleh pemegang sertifikat yang beritikad baik, sedangkan pemilik asal tanah
yang melakukan gugatan ke pengadilan hanya diberikan ganti kerugian terhadap
objek tanah yang telah di sertifikatkan oleh pemegang sertifikat yang beriktikad baik.
2. Perlindungan Hukum Secara Repre-sif Bagi Pemegang Sertifikat Hak Milik
Atas Tanah Yang Beritikad Baik

Perlindungan hukum secara Represif bertujuan untuk mencegah terjadinya


sengketa, yang mengarahkan tindakan pemerintah bersikap hati-hati dalam

83
pengambilan keputusan berdasarkan diskresi. Perlindungan hukum yang Represif
bertujuan untuk menyelesaikan terjadinya sengketa, termasuk penanganannya di
lembaga peradilan.
Perlindungan Represif yang diberikan bagi pemegang sertifikat hak milik atas
tanah yang beritikad baik dari adanya gugatan-gugatan pihak lain di pengadilan,
yakni dengan Lembaga Reschstverwerking dalam penyelesaian sengketa perebutan
penguasaan hak milik atas tanah bagi pemegang sertifikat hak milik atas tanah yang
beriktikad baik.
Akan tetapi, istilah rechtverwerking masih belum terdapat persamaan persepsi.
Boedi Harsono mengartikan rechtverwerking sebagai kehilangan hak. Menurut
Kamus Hukum Belanda-Indonesia yang digunakan dalam konteks Bahasa Indonesia
saat ini rechtverwerking adalah pelepasan hak.Ter Haar mengartikan dengan makna
melepaskan sendiri haknya oleh seorang subjek pemegang hak. Soebekti Poesponoto
mengartikan rechtverwerking sebagai penghilangan hak sendiri. A.P.Parlindungan
mengartikan rechtverwerking sebagai lepasnya hak yang sudah dipunyainya.
Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Sumbawa Besar Nomor :
10/Pdt.G/2010/ PN. Sumbawa Besar.
1. Para Pihak Yang Berperkara
Para pihak yang berperkara dalam kasus perdata di Pengadilan Negeri Sumbawa
Besar Nomor: 10/Pdt.G/2010/PN. Sumbawa Besar adalah sebagai berikut:
Pihak-pihak yang berperkara :SAIDIN, Umur 55Tahun, Jenis kelamin laki-laki,
Agama Islam, Pekerjaan Tani, bertempat tinggal di Desa Langam,Kecamatan
Lopok,Kabupaten Sumbawa Besar;

1. MASTARI, Umur 70 Tahun, Jenis kelamin perempuan, Agama Islam,


Pekerjaan Tani, bertempat tinggal di dusun maronge bawah desa maronge,
kecamatan maronge, Kabupaten Sumbawa Besar.

selanjutnya disebut sebagai PARA PENGGUGAT;


Melawan

84
MARZUKi MUSA, Jenis kelamin Laki-laki, Agama Islam, Pekerjaan Tani,
bertempat tinggal di dusun penam raya Desa Langam, Kecamatan Lopok,
Kabupaten Sumbawa Besar; selanjutnya disebut sebagai TERGUGAT.
Adapun kronologis perkara yang terjadi pada Pengadilan Negeri Sumbawa Besar
dengan Nomor Putusan : 10/Pdt.G/2010/ PN.SBB adalah adanya pengakuan dari para
penggugat yakni saudara Saidin dan Mastari yang mengklaim bahwa objek tanah
yang dikuasai oleh pihak Tergugat Marzuki Musa adalah Tanah pusaka milik
peninggalan paman para penggugat yang telah meninggal dunia. Akan tetapi, pihak
tergugat Marzuki Musa yang telah menguasai tanah selama lebih 52 tahun sejak
tahun 1958 dan diterbitkan sertifikat hak milik atas tanah oleh instansi Badan
Pertanahan Nasional Kabupaten Sumbawa Besar pada tahun 1982 dan gugatan dari
para pengggugat terjadi pada tahun 2010, jika di lihat dari rentang waktu penerbitan
sertifikat, maka tergugat menguasai tanah sejak diterbitkan sertifikat hak milik atas
tanah yakni selama 28 tahun.
2. Analisis Penulis dalam Putu-san Perkara Perdata Nomor 10/
Pdt.G/2010/PN.Sumbawa Besar

Dalam hal ini, penulis ingin mengemukakan mengenai putusan pengadilan negeri
Sumbawa Besar yang menyatakan bahwa sertifikat hak milik atas tanah yang di
miliki oleh pihak tergugat telah tidak memiliki kekuatan hukum lagi atau di batalkan.
Kewenangan untuk melakukan pembatalan atau menyatakan sertifikat hak milik atas
tanah tidak memiliki kekuatan hukum mengikat atau batal merupakan Beschikking
(keputusan atau penetapan) yang merupakan tindakan hukum Publik Tata Usaha
Negara dibagi lagi yaitu Interne Beschikking dan Eksterne Beschikking. Interne
Beschikking atau disebut dengan keputusan intern merupakan keputusan yang dibuat
untuk menyelenggarakan atau mengatur hubungan antar organ pemerintah,
sedangkan Eksterne Beschikking atau keputusan ekstern merupakan keputusan yang
dibuat untuk menyelenggarakan atau mengatur hubungan hukum antara pemerintah
dengan pihak lain atau antara dua atau lebih alat negara.
Menurut Pasal 1 ayat 9 Undang-Undang No. 51 tahun 2009 tentang Perubahan
kedua atas Undang-Undang No. 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara
tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Beschikking (keputusan atau penetapan)
merupakan suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata
Usaha Negara yang berisikan tindakan hukum Tata Usaha Negara yang berdasarkan

85
Peraturan Perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkrit, individu, dan
final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seorang atau badan hukum perdata.
Sertifikat hak milik atas tanah yang merupakan KTUN dikarenakan diterbitkan
oleh Instansi Badan Pertanahan Nasional, maka secara legalitas yang berwenang
untuk menyatakan pembatalan terhadap sertifikat hak milik atas tanah adalah
Lembaga Peradilan Tata Usaha Negara atau PTUN.
Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) memiliki kewenangan/kompetensi absolut
di dalam melakukan pembatalan sertifikat hak milik atas tanah. Kompetensi absolut
suatu badan pengadilan adalah kewenangan yang berkaitan untuk mengadili suatu
perkara menurut obyek atau materi atau pokok sengketa. Adapun yang menjadi
obyek sengketa di Pengadilan Tata Usaha Negara adalah Keputusan Tata Usaha
Negara (Beschikking) Yang diterbitkan oleh Badan/Pejabat TUN. Sebagaimana
disebutkan dalam pasal 1 angka 9 UU No. 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua
UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Sedangkan perbuatan
Badan/Pejabat TUN lainnya baik perbuatan materiil (material daad) maupun
penerbitan peraturan (regeling) masing-masing merupakan kewenangan Peradilan
Umum dan Mahkamah Agung.
Kompetensi absolut Pengadilan TUN diatur dalam pasal 1 angka 10 UU No. 51
tahun 2009 tentang Perubahan Kedua UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata
Usaha Negara, yang menyebutkan:
“Sengketa tata usaha Negara adalah seng-keta yang timbul dalam bidang Tata
Usa-ha Negara antara orang atau Badan Hu-kum Perdata dengan Badan atau
Pejabat tata usaha negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat
dikeluarkannya Keputusan tata usaha negara, termasuk sengketa kepegawaian
berdasarkan pera-turan perundang-undangan yang ber-laku”.

Maka Pengadilan Negeri Sumbawa Besar yang telah mengeluarkan Putusan


Nomor:10/Pdt.G/2010/PN.Sumbawa Besar tidak memiliki kewenangan secara
absolut untuk membatalkan sertifikat hak milik atas tanah yang dimiliki oleh pihak
tergugat.
Kemudian yang menjadi pertimbangan majelis hakim pada Pengadilan Negeri
Sumbawa Besar dengan putusan Nomor :10/Pdt.G/2010/PN.Sumbawa Besar yakni
adanya Dokumen/ buku letter c dari surat keterangan Desa.

86
Dalam Pengadilan, bahwa dokumen Letter C juga tidak diterima sebagai tanda
bukti pemilikan tanah yang dikenakan pajak, dinyatakan dalam Putusan Mahkamah
Agung tanggal 10 Februari 1960 nomor 34/K/Sip/1960, bahwa:
“Surat pethuk pajak bumi/ dokumen Letter C bukan merupakan suatu alat bukti
mutlak, bahwa sawah sengketa adalah milik orang yang namanya tercantum dalam
dokumen Letter C tersebut, akan tetapi dokumen itu hanya merupakan suatu tanda
siapakah yang harus membayar pajak dari sawah yang bersangkutan”.
Itu artinya bahwa majelis hakim Pengadilan Negeri Sumbawa Besar yang
memutus perkara perdata dengan putusan Nomor : 10/Pdt.G/2010/PN.Sumbawa
Besar yang dalam amar putusannya menyatakan tergugat merupakan pihak yang
kalah dalam penguasaan dan pemilikan terhadap obyek tanah yang telah bersertifikat
dan dikuasai secara bertahun-tahun merupakan suatu kekeliruan hukum, yang
dikarenakan hakim telah salah menerapkan hukum yang mempertimbangkan surat
keterangan desa berupa dokumen buku letter c huruf f sebagai alat bukti kepemilikan
tanah mengalahkan kekuatan sertifikat yang dikeluarkan oleh instansi Badan
Pertanahan Nasional yang telah di peroleh dengan itikad baik dan dikuasai secara
nyata selama bertahun-tahun tanpa ada gugatan atau keberatan dari pihak manapun.
Begitu pun juga dalam hukum tanah nasional kita, yakni Undang-Undang nomor 5
Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria menganut sistem hukum
adat yang tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat.
Dalam hukum adat jika seseorang selama sekian waktu membiarkan tanahnya
tidak dikerjakan, kemudian tanah itu dikerjakan orang lain yang memperolehnya
dengan itikad baik, maka hilanglah haknya untuk menuntut kembali tanah tersebut.
Hal inilah yang dalam hukum adat disebut sebagai lembaga rechtsverwerking.
Adapun syarat penerapan lembaga rechtsverwerking adalah sebagai berikut :
a. Mendudukitanahyangsemulamilikorang lain dengan itikad baik;
b. Berlangsung selama sekian waktu; dan
c. Secara terus menerus dan tidak terputus

Namun dengan demikian bila berdasarkan pada teori perlindungan hukum yang di
kemukakan oleh Philipus M. Hadjon yakni perlindungan hukum represif, yaitu
perlindungan yang arahnya lebih kepada upaya untuk menyelesaikan sengketa,
seperti contohnya adalah penyelesaian sengketa di Pengadilan. Bilamana
perlindungan hukum represif tersebut dikaitkan dengan teori Penegakkan Hukum

87
yang memiliki Tujuan untuk mencapai hasil-hasil tertentu yang diinginkan dan tujuan
hukum merupakan upaya mewujudkan tercapainya ketertiban dan keadilan, serta
sejalan dengan Teori Kepastian Hukum yang dikemukakan J.M. Otto yang dikutip
oleh Sri Djatmiati, kepastian hukum (rechtszekerheid) yang memiliki unsur-unsur
sebagai berikut :
a) Adanya aturan yang konsisten dan dapat diterapkan yang ditetapkan negara.
b) Aparat pemerintah menerapkan aturan hukum tersebut secara konsisten dan
berpegang pada aturan hukum tersebut.
c) Rakyatpadadasarnyatundukpadahukum.
d) Hakim yang bebas dan tidak memihak secara konsisten menerapkan aturan hukum
tersebut.
e) Putusan hakim dilaksanakan secara nyata.

Maka Jika kita melihat berdasarkan putu-san perkara perdata dengan putusan
nomor: 10/Pdt.G/2010/PN.Sumbawa Besar, yang memutuskan bahwa “ pihak
tergugat yang telah menguasai tanah secara nyata den-gan iktikad baik selama lebih
dari 5 (lima) tahun dan telah diterbitkan sertifikat oleh instansi Badan Pertanahan
Nasional Kabu-paten Sumbawa Besar dinyatakan sebagai pihak yang kalah, maka
dalam hal ini maje-lis hakim pada Pengadilan Negeri Sumbawa Besar yang
memeriksa dan mengadili perk-ara tersebut sama sekali tidak mempertim-bangkan
ketentuan pasal 32 ayat 2 Peratur-an Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 ten-tang
pendaftaran tanah dan tidak menerap-kan Hukum secara konsisten yang telah di
tetapkan oleh negara serta konsep-konsep lembaga rechstverwerking bagi pemegang
sertifikat yang beriktikad baik yang telah menguasai tanah secara nyata lebih dari 5
tahun, padahal tergugat selaku pemegang sertifikat yang beriktikad baik telah men-
guasai obyek tanah selama kurang lebih 52 Tahun yang perolehan tanah tersebut
mer-upakan warisan yang diberikan oleh almar-hum orang tua Tergugat, maka sudah
sepan-tasnya tergugat selaku pemegang sertifikat yang beriktikad baik dan telah
menguasai tanah selama berpuluh-puluh tahun harus mendapatkan perlindungan
hukum secara pasti terhadap kepemilikan dan penguasaan tanah yang dikuasai dan
dikelolanya.

SIMPULAN
Bahwa kriteria-kriteria sertifikat hak milik atas tanah sebagai alat bukti hak yang
kuat yakni meliputi :

88
- Proses penerbitan sertifikat hak milik atas tanah harus melalui prosedur
ketentuan peraturan perundang-perundangan yang berlaku;
- Sertifikat Hak Milik atas tanah di buat oleh pemegang hak yang beriktikad baik;
- Sertifikat Hak Milik atas tanah diterbitkan oleh Instansi yang berwenang; dan
- Obyek tanah dikuasai dan dikerjakan secara nyata serta terus menerus selama
lebih dari 5 tahun

Bahwa perlindungan hukum yang diber-ikan bagi pemegang sertifikat yang


berikti-kad baik yakni perlindungan hukum secara preventif yakni telah di atur dalam
keten-tuan pasal 32 ayat 1 dan ayat 2 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997
tentang Pendaftaran Tanah dan perlindungan hu-kum secara represif yakni dengan
adanya lembaga Rechstverwerking serta khususnya perlindungan hukum yang
diberikan dalam perkara perdata dengan Putusan Nomor
10/Pdt.G/2010/PN.Sumbawa Besar yakni pemegang sertifikat yang beriktikad baik
memiliki kepastian hukum kepemilikan terhadap obyek tanah yang dikuasainya
berdasarkan ketentuan pasal 32 ayat 2 Pera-turan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997
tentang pendaftaran tanah yang mana da-lam pasal 32 ayat 2 tersebut mengenal Kon-
sep Lembaga Rechstverwerking yang artinya jika terjadi sengketa tentang
kepemilikan dan penguasaan obyek tanah yang mana jika seseorang selama sekian
waktu mem-biarkan tanahnya tidak dikerjakan, kemu-dian tanah itu dikerjakan oleh
orang lain yang memperolehnya dengan iktikad baik serta menguasai tanah tersebut
selama ber-tahun-tahun yakni 5 tahun lebih. maka hi-langlah haknya untuk menuntut
kembali tanah tersebut.

89
1.9. JAMINAN KEPASTIAN KEPEMILIKAN BAGI PEMENANG HAK
ATAS TANAH DALAM PENDAFTARAN TANAH MENURUT UUPA

JAMINAN KEPASTIAN KEPEMILIKAN BAGI PEMEGANG HAK ATAS


TANAH DALAM PENDAFTARAN TANAH MENURUT UUPA
Christiana Tri Budhayati

Fakultas Hukum Universitas Kristen Satya Wacana


Korespondensi: tri.budhayati@staff.uksw.edu

Abstrak
Tulisan ini hendak membahas tentang jaminan kepastian hukum bagi pemegang hak
atas tanah yang namanya telah tertera dalam sertifikat. Tujuan dari pendaftaran tanah
adalah untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum bagi pemilik
hak atas tanah baik kepastian mengenai subyek, obyek maupun hukumnya. Pasal 32
ayat (2) PP Nomor 24 Tahun 1997 telah memberikan jaminan kepastian tersebut
kepada pemegang hak atas tanah, yakni dengan adanya lembaga Rechtsverwerking.
Bahwa terhadap pemegang hak atas tanah yang sertifikatnya telah diterbitkan 5
(lima) tahun atau lebih, tidak dapat diganggu gugat lagi oleh pihak lain yang merasa
memilikinya. Pada faktanya ada beberapa gugatan melalui Pengadilan Tata Usaha
Negara dalam putusannya menyatakan sertifikat batal atau tidak sah, sekalipun usia
sertifikat sudah lebih dari 5 (lima) tahun, karena bertentangan dengan undang undang
atau salah dalam prosedur penerbitannya. Putusan tersebut tentu akan memberikan
rasa “was-was” kepada pihak yang namanya tercantum dalam sertifikat karena setiap
saat dapat dilakukan pembatalan sertifikat.
PENDAHULUAN
Salah satu pertimbangan Pemerintah Indonesia mengganti hukum agraria
kolonial (hukum agraria jaman Hindia Belanda) dengan hukum agraria nasional yang
kemudian dituangkan dalam Undang Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan
Dasar Pokok Pokok Agraria (selanjutnya disebut UUPA) adalah adanya ketidak
pastian hukum bagi pemegang hak atas tanah khususnya untuk hak-hak adat. Hal ini
terjadi karena hak adat tidak didaftarkan secara Rechts Cadaster seperti halnya hak

90
barat, akan tetapi dilakukan pendaftaran tanah secara Fiscaal Cadaster. Pendaftaran
tanah secara Rechts Cadaster akan memberikan kepastian hukum baik terhadap
subyek, obyek maupun hukumnya, dengan product/keluaran dari pendaftaran tanah
secara Rechts Cadaster adalah sertifikat sebagai alat bukti pemilikan hak atas tanah.
Sedangkan untuk hak adat dilakukan pendaftaran tanah secara Fiscaal Cadaster,
yakni pendaftaran tanah yang bertujuan untuk menentukan besarnya pajak yang harus
dibayar, product/keluaran dari pendaftaran tanah secara Fiscaal Cadaster adalah
bukti pembayaran pajak, yang bukan merupakan bukti pemilikan hak atas tanah.
Pendaftaran tanah secara Fiscaal Cadaster akan memberikan dampak persengketaan
tanah mengenai luas, batas, dan pemilikan hak atas tanah tidak dapat dihindari.
Mempertimbangkan kenyataan tersebut, untuk menjamin kepastian hukum
bagi pemegang hak atas tanah, UUPA mengamanatkan pada pemerintah untuk
melakukan pendaftaran tanah sebagaimana dituangkan dalam Pasal 19 UUPA,
kemudian ditindaklanjuti dengan diundangkannya Peraturan Pemerintah Nomor 10
Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah (selanjutnya disebut PP Nomor 10 Tahun
1961) yang menjadi dasar pelaksanaan pendaftaran tanah di Indonesia. Walaupun
telah diundangkan PP Nomor 10 Tahun 1961 tersebut, nampaknya belum memenuhi
harapan Pemerintah, oleh karena itu pada tanggal 8 Juli 1997 ditetapkan Peraturan
Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah ( selanjutnya disebut
PP Nomor 24 Tahun 1977). Sebagaimana dalam Penjelasan Umum PP Nomor 24
Tahun 1997, dikemukakan bahwa untuk memberikan kepastian hukum dibidang
pertanahan perlu untuk mengadakan penyempurnaan ketentuan yang mengatur
pendaftaran tanah. Maknanya adalah bahwa PP Nomor 10 Tahun 1961 belum
memberikan jaminan kepastian hukum kepada pemegang hak atas tanah.
Salah satu hal baru yang ada dalam PP Nomor 24 Tahun 1997 adalah
diaturnya lembaga Rechtsverwerking, yang tidak dikenal dalam PP No 10 Tahun
1961. Jika dalam PP Nomor 10 Tahun 1961, sepanjang waktu pemegang hak atas
tanah yang telah mempunyai sertifikat dapat digugat atas kepemilikan tanahnya, akan
tetapi dalam PP Nomor 24 Tahun 1997, gugatan demikian ada batas waktunya yakni
maksimal 5 (lima) tahun sejak diterbitkanya sertifikat. Hal ini nampak dalam Pasal 32
ayat (2) PP Nomor 24 Tahun 1997 yang menyatakan:
Dalam hal atas suatu bidang tanah sudah diterbitkan sertifikat secara sah atas
nama orang atau badan hukum yang memperoleh tanah tersebut dengan itikad baik
dan secara nyata menguasainya, maka pihak lain yang merasa mempunyai hak atas
tanah itu tidak dapat lagi menuntut pelaksanaan hak tersebut apabila dalam waktu 5
(lima) tahun sejak diterbitkannya sertifikat itu telah tidak mengajukan keberatan

91
secara tertulis kepada pemegang sertifikat dan Kepala Kantor Pertanahan yang
bersangkutan ataupun tidak mengajukan gugatan ke Pengadilan mengenai
penguasaan tanah atau penerbitan sertifikat tersebut.
Dari Pasal 32 ayat (2) PP Nomor 24 Tahun 1997 tersebut, dapat ditarik
pemahaman bahwa pihak lain yang merasa berhak dan keberatan atas diterbitkannya
sertifikat tersebut mempunyai hak untuk melakukan gugatan guna pembatalan sertikat
dalam rentangan waktu 5 (lima) tahun saja. Artinya bahwa hak menuntut akan hilang
jika dalam rentang waktu lima tahun tidak dimanfaatkan.
Namun dalam faktanya ada beberapa putusan Pengadilan Tata Usaha Negara
(selanjutnya disebut PTUN) yang telah membatalkan sertifikat yang berusia lebih dari
5 (lima) tahun. Ini menunjukkan bahwa apa yang diinginkan oleh Pasal 3 huruf a PP
Nomor 24 Tahun 1997 yang menyatakan bahwa tujuan pendaftaran tanah adalah
untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak
atas tanah dapat saja tidak terwujud. Tulisan ini hendak membahas tentang hal
tersebut, apakah ada landasan yuridis pembatalan sertifikat yang berusia lebih dari
lima tahun sah secara hukum, sehingga kepastian hukum dan perlindungan hukum
pada pemegang sertifikat menjadi tidak terjamin.
PEMBAHASAN
Pada bagian ini akan dipaparkan secara berturut-turut tentang sistem
pendaftaran tanah menurut UUPA, lembaga Rechtsverwerking sebagai sarana
pemberian kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas
tanah yang telah 5 (lima) tahun atau lebih namanya tercantum dalam sertifikat serta
substansi tentang ketidak absahan putusan pejabat tata usaha Negara (Kantor
Pertanahan) sebagai dasar pembatalan sertifikat. Dengan demikian akan nampak
bahwa pembatalan sertifikat yang dilakukan melalui gugatan berdasarkan ketidak
absahan putusan pejabat tata usaha Negara (dalam hal ini Kantor Pertanahan) dalam
penerbitan sertifikat melalui PTUN, akan mengakibatkan adanya ketidak pastian
hukum bagi pemegang hak atas tanah, yang telah mempunyai sertifikat yang berusia
5 (lima) tahun atau lebih.
Sistem Pendaftaran Tanah Menurut UUPA.
Sebagaimana telah dikemukakan diatas, Pendaftaran tanah yang tertuang
dalam Pasal 19 UUPA ditujukan untuk menjamin kepastian hukum dan perlindungan
hukum kepada pemegang hak atas tanah telah ditindak lanjuti dengan
diundangkannya peraturan pelaksana yakni PP No 10 Tahun 1960 yang telah dicabut

92
dengan PP Nomor 24 Tahun 1997. Sebagai peraturan pelaksana PP 24 Tahun 1997
tersebut adalah Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor
3 Tahun 1997.
Pendaftaran tanah sebagaimana dirumuskan pada Pasal 1 angka 1 PP Nomor
24 Tahun 1997 merupakan kegiatan yang dilakukan oleh Pemerintah secara terus
menerus, berkesinambungan, tidak hanya pada saat pertama kali pendaftaran tanah
akan tetapi secara terus menerus sepanjang ada perubahan baik obyek maupun
subyeknya. Dengan demikian kegiatan pendaftaran tanah dapat dilakukan pada saat
pemegang hak mengajukan permohonan pendaftaran tanah untuk yang pertama
kalinya maupun kegiatan pendaftaran tanah yang merupakan kegiatan pemeliharaan
karena ada perubahan terhadap obyek dan subyeknya, sebagaimana dituangkan dalam
Pasal 11 PP Nomor 24 Tahun 1997. Pelaksaaan pendaftaran tanah tidak hanya
kewajiban dari Pemerintah, sebagaimana dituangkan dalam Pasal 5 PP Nomor 24
Tahun 1997, akan tetapi juga merupakan kewajiban pemegang hak atas tanah
sebagaimana diatur dalam Pasal 23 ayat (1); Pasal 32 ayat (1); Pasal 38 ayat (1)
UUPA. Pemegang hak atas tanah mempunyai kewajiban untuk aktif melakukan
pendaftaran tanah, jika ada perubahan baik fisik maupun yuridis berkaitan dengan
hak atas tanah yang dimilikinya, agar dapat melindungi dirinya atas kepemilikan hak
atas tanahnya.
Disamping untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum
kepada pemegang hak atas tanah, pendaftaran tanah juga dimaksudkan untuk
menciptakan tertib administrasi pertanahan, sebagaimana dituangkan dalam Pasal 19
ayat (1) UUPA yo Pasal 3 PP Nomor 24 Tahun 1997. Pasal 19 ayat (2) huruf c yo
Pasal 4 ayat (1) PP Nomor 24 Tahun 1997, kegiatan pendaftaran tanah meliputi
pemberian sertifikat sebagai alat pembuktian yang kuat. Sertifikat merupakan alat
bukti yang kuat dimaksudkan adalah bahwa apa yang dituangkan dalam sertifikat
dianggap benar sepanjang tidak ada alat bukti yang membuktikan sebaliknya. Ini
berarti bahwa sertifikat bukan satu-satunya alat bukti pemilikan hak atas tanah
menurut UUPA. Sertifikat sebagai alat bukti yang kuat merupakan ciri dari
pendaftaran tanah negatif. Dalam sistem pendaftaran tanah negatif, sertifikat sebagai
alat bukti yang kuat, apa yang tercantum dalam sertifikat akan dianggap benar
sepanjang tidak dibuktikan sebaliknya, sehingga sertifikat bukan satu-satunya alat
bukti pemilikan tanah. Petugas pendaftaran tanah akan menerima begitu saja
keterangan yang diberikan oeleh pemohon. Dalam sistem pendaftaran tanah negatif
ini, pemegang hak yang namanya tercantum dalam sertifikat perlu “was-was”, karena
setiap saat sertifikat hak atas tanahnya dapat dinyatakan tidak sah, karena didasarkan

93
pada keterangan yang tidak benar. Dasar dari sistem ini adalah asas nemo plus yuris,
yakni bahwa orang tidak dapat mengalihkan hak melebihi hak yang ada padanya.
Disamping itu, dikenal sistem pendaftaran tanah positif. Pada sistem
pendaftaran tanah positif, keterangan yang tercantum dalam buku pendaftaran tanah
dan dalam sertifikat adalah mutlak kebenarannya. Sertifikat sebagai alat bukti yang
mutlak dalam pemilikan hak atas tanah. Konsekwensinya adalah bahwa petugas
pendaftaran tanah dalam sistem positif harus aktif dalam mengumpulkan bukti
kepemilikan tanah tersebut, karena untuk membuktikan pemilikan hak atas tanah
hanya dapat dibuktikan dengan sertifikat saja. Kelebihan dari sistem pendaftaran
tanah positif adalah adanya kepastian hukum bagi pemegang hak atas tanah, dimana
tidak dapat dilakukan pembatalan sertifikat atas pemegang yang namanya tercantum
dalam sertifikat. Sistem pendaftaran tanah ini mendasarkan pada asas itikad baik,
orang yang mendapat hak atas tanah dengan itikad baik, akan tetap menjadi
pemegang hak atas tanah yang sah menurut hukum.
Dengan berpedoman pada karakter pendaftaran tanah tersebut diatas,
pendaftaran tanah di Indonesia menganut sistem negatif. Akan tetapi bukan sistem
pendaftaran negatif murni, hal ini nampak dalam Pasal 19 ayat (2) huruf c UUPA jo
Pasal 17 ayat (1) PP Nomor 24 Tahun 1997, dimana dalam melakukan pendaftaran
tanah petugas pendaftaran tanah (Kantor Pertanahan), akan melakukan pengukuran
petugas akan mencari informasi baik tentang subyek maupun obyek yang didaftarkan.
Ini artinya bahwa petugas pendaftaran tanah bersikap aktif, tidak hanya mempercayai
informasi dari para pemohon sertifikat. Budi Harsono menyebutnya sebagai sistem
pendaftran tanah negatif bertendens positif.
Sementara itu jika dilihat dari obyek yang didaftarkan, ada dua sistem buku
tanah/pendaftaran hak (registration of titles) dan sistem perbuatan hukum
(registration of deeds). Dalam sistem buku tanah, hak atas tanah yang didaftarkan,
sedangkan dalam sistem perbuatan hukum, maka perbuatan hukumnya yang
didaftarkan. Dengan mengacu pada batasan tersebut diatas, menurut penulis, UUPA
menganut sistem buku tanah, yakni hak atas tanahnya yang didaftarkan. Hal ini
nampak dalam Pasal 23, Pasal 32 UUPA maupun dalam Pasal 9 PP Nomor 24 Tahun
1997, dinyatakan bahwa semua hak atas tanah maupun hak jaminan, pendaftrannya
diwajibkan, dibukukan dalam buku tanah. Demikian juga dalam pendaftaran tanah
menurut UUPA dan peraturan pelaksananya, adanya buku tanah yang memuat data
yuridis maupun data fisik setiap pemegang hak atas tanah.

94
Dengan berpedoman pada sistem pendaftaran tanah yang dianut oleh UUPA
sebagaimana dijelaskan diatas, maka setiap pemilik hak atas tanah yang sebenarnya
dapat memperoleh kesempatan untuk mendapatkan tanahnya kembali.

95
Jaminan Kepastian Hukum Pemilikan Hak Atas Tanah.
Tujuan dari pendaftaran tanah sebagaimana dituangkan dalam Pasal 19
ayat (1) UUPA yo Pasal 3 PP Nomor 24 Tahun 1997 adalah untuk memberikan
kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas tanah.
Konstruksi hukum berkaitan dengan kepastian hukum disini dimaksudkan adalah
kepastian hukum yang berkaitan dengan obyek, subyek dan hukumnya. Untuk
memberikan jaminan kepastian hukum tentang obyeknya, diperlukan data fisik
dari tanah yang dimohonkan pendaftarannya. Oleh karena itu dilakukan
pengukuran, penentuan batas-batas dari tanah yang bersangkutan dan
kemudian ditempatkan “pathok” disetiap sudut bidang tanah tersebut. Penentuan
batas dan penempatan pathok tanah batas berdasarkan kesepakatan pihak yang
berkepentingan, dalam hal ini adalah pemegang hak atas tanah yang berbatasan
dengan bidang tanah yang dimohonkan sertifikatnya. Setelah ditentukan batas-
batasnya, maka dilakukan pengukuran dan selanjutnya dipetakan dalam peta dasar
pendaftaran tanah. Peta dasar ini akan menggambarkan kondisi fisik dari tanah
yang dimohonkan pendaftarannya, yang meliputi bentuk, luas, batas dan letak
tanah yang bersangkutan. Dengan demikian ada jaminan kepastian hukum dari sisi
obyeknya. Kebutuhan peta pendaftaran tanah yang menggambarkan tentang obyek
tanah yang bersangkutan sangat penting untuk menghindari ada tumpang tindih
suatu lokasi bidang tanah. Kepastian hukum terhadap subyeknya akan sangat
berpengaruh terhadap keabsahan pemilikan tanah yang bersangkutan. Kepastian
subyek pemilik hak atas tanah mempunyai makna penting untuk dapat mengetahui
dengan siapa seseorang akan melakukan suatu perbuatan hukum dengan obyek
tanah tersebut, atau menentukan siapa yang mempunyai wewenang dan kewajiban
terhadap tanah tersebut. Untuk dapat memenuhi kepastian subyek pemilik hak atas
tanah yang bersangkutan, sejarah perolehan hak tersebut menjadi hal yang sangat
diperlukan. Melalui bukti perolehan tanah akan sangat penting untuk menetapkan
kepemilikan tanah tersebut. Oleh karena itu faktor perolehan dengan itikad baik
perlu diperhatikan dalam menentukan subyek pemegang hak atas tanah.
Lembaga Rechtsverwerking sebagai sarana pemberian kepastian hukum dan
perlindungan hukum kepada pemegang hak atas tanah.
Dengan adanya kelemahan sistem pendaftaran tanah yang negatif, yakni
bahwa apa yang tertuang dalam sertifikat dianggap benar sampai adanya yang
menyatakan sebaliknya, tidak akan memberikan kepastian hukum dan
perlindungan hukum kepada pemegang hak atas tanah yang namanya tertulis
dalam sertifikat. Setiap saat pihak yang merasa berhak dan dapat membuktikan
kepemilikannya, dapat mengajukan permohonan pembatalan sertifikat tersebut.

96
Dalam Penjelasan Umum PP Nomor 24 Tahun 1997, dinyatakan bahwa
untuk memberikan kepastian hukum kepada pemegang hak atas tanah, maka
diberi penegasan sejauh mana kekuatan pembuktian sertifikat, yang dinyatakan
sebagai alat pembuktian yang kuat oleh UUPA. Untuk itu diberikan ketentuan
bahwa selama belum dibuktikan sebaliknya, data fisik dan data yuridis yang
tercantum dalam sertifikat harus diterima sebagai data yang benar. Orang tidak
dapat menuntut tanah yang sudah bersertifikat atas nama pihak lain, jika selama 5
(lima) tahun sejak dikeluarkannya sertifikat itu, tidak mengajukan gugatan ke
Pengadilan, sedangkan pihak lain tersebut memperoleh dengan itikad baik dan
menguasai tanah yang bersangkutan.Hal ini juga diatur dalam Pasal 32 PP Nomor
24 Tahun 1977 yang menyatakan:
1) Sertifikat merupakan tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat
pembuktian yang kuat mengenai data fisik dan data yuridis yang
termuat di dalamnya, sepanjang data fisik dan data yuridis tersebut
sesuai dengan data yang ada dalam surat ukur dan buku tanah yang
bersangkutan.
2) Dalam hal atas suatu bidang tanah sudah diterbitkan sertifikat
secara sah atas nama orang atau badan hukum yang memperoleh
tanah tersebut dengan itikad baik dan secara nyata menguasainya,
maka pihak lain yang merasa mempunyai hak atas tanah itu tidak
dapat lagi menuntut pelaksanaan hak tersebut apabila dalam waktu
5 (lima) tahun sejak diterbitkannya sertifikat itu telah tidak
mengajukan keberatan secara tertulis kepada pemegang sertifikat
dan Kepala Kantor Pertanahan yang bersangkutan ataupun tidak
mengajukan gugatan ke Pengadilan mengenai penguasaan tanah
atau penerbitan sertifikat tersebut.
Pada penjelasan Pasal 32 ayat (2) PP Nomor 24 Tahun 1997, dinyatakan
bahwa kelemahan pendaftaran tanah negatif adalah kemungkian gugatan oleh
pihak yang merasa mempunyai hak atas tanah kepada pihak yang namanya telah
tercantum dalam sertifikat. Karena Hukum Tanah Nasional mendasarkan pada
hukum adat, maka untuk mengatasi kelemahan tersebut digunakan lembaga
Rechtsverwerking, suatu lembaga pelepasan hak yang dikenal dalam hukum adat.
Dalamhukum adat jika seorang selama sekian waktu tertentu membiarkan
tanahnya tidak dikerjakan, kemudian tanah dikerjakan orang lain, yang
memperolehnya dengan itikad baik, maka hilanglah hak-nya untuk menuntut
kembali tanah tersebut, dalam hukum adat dikenal dengan Rechtsverwerking.
Berkaitan dengan Rechtsverwerking, Kartini Mulyadi menyatakan bahwa lembaga
yang dengan lampaunya waktu:

97
a. Orang yang telah memegang hak atas tanahnya menjadi kehilangan
haknya karena selama waktu tertentu tidak mengusahakan hak atas tanah
tersebut.
b. Orang yang dengan itikad baik telah menguasai dan memanfaatkan bidang
tanah tersebut, berhak untuk memperoleh hak atas tanah yang telah
dimanfaatkan olehnya tersebut.
Dengan mengacu pendapat Kartini Mulyadi tersebut diatas, ada dua hal yang
penting untuk dicermati berkaitan dengan lembaga Rechtsverwerking, pertama:
bahwa jika tanah tidak dikelola dengan baik, dalam waktu tertentu, pemilik akan
kehilangan haknya, kedua jika seorang telah menguasai dan mengelola tanah yang
telah diperolehnya dengan itikad baik, akan memperoleh tanah tersebut.
Konsep Rechtsverwerking ini dikenal dalam hukum adat sebagai konsekwensi
dari adanya pola hidup nomanden dari masyarakat adat, selalu berpindah-pindah
tempat tinggal dengan jalan membuka hutan dan meninggalkannya jika dirasa
tidak memberikan hasil dan tidak dapat dimanfaatkannya. Dalam hukum di
Indonesia, Lembaga Rechtsverwerking ini telah diakui keberadaannya dalam
hukum nasional, terbukti dengan adanya beberapa putusan Mahkamah Agung
yang mendasarkan putusannya pada Rechtsverwerking ini.
Dengan mendasarkan pada Penjelasan Umum dan bunyi Pasal 32 ayat (2) PP
Nomor 24 Tahun 1997 tersebut dapat disimpulkan bahwa seorang yang telah
mempunyai sertifikat hak atas tanah dapat terlepas dari gugatan kepemilikan tanah
jika memenuhi persyaratan yakni:
1) Tanah diperoleh dengan itikad baik.
2) Secara fisik pihak yang namanya tercantum dalam sertifikat atau
orang lain dengan persetujuannya menguasai tanah tersebut.
3) Tidak ada gugatan dalam rentangan waktu 5 (lima) tahun sejak
dikeluarkannya sertifikat.
Syarat tersebut diatas bersifat komulatif.
Dengan adanya persyaratan tersebut akan memberikan kepastian hukum dan
perlindungan hukum kepada pemegang hak atas tanah yang namanya tercantum
dalam sertifikat. Pemegang sertifikat yang memenuhi syarat sebagaimana
ditentukan Pasal 32 ayat (2) PP Nomor 24 Tahun 1997 tersebut diatas, dapat
merasa aman akan kepemilikan tanahnya jika telah lewat 5 (lima) tahun sejak
penerbitan sertifikat. Bahwa dengan lewatnya waktu 5 (lima) tahun tersebut,
pemegang sertifikat tidak dapat digugat kepemilikan tanahnya, karena pihak lain
yang merasa memiliki tanah dianggap tidak menggunakan haknya untuk
menggugat pihak yang namanya tertera dalam sertifikat guna mempertahankan
kepemilikannya. Walaupun demikia secara norma masih dimungkinkan pemegang

98
hak sebenarnya menggugat kepemilikan tanahnya melalui gugatan kepemilikan
lewat Pengadilan Negeri, jika kepemilikan tanah oleh pihak yang namanya tertera
dalam sertifikat tidak didasarkan pada itikad baik. Dengan adanya Pasal 32 ayat
(2) PP Nomor 24 Tahun 1997 tersebut, telah ada keinginan pemerintah untuk
tetap melindungi setiap pemegang hak atas tanah yang merupakan pemilik
sebenarnya.
Jika mengacu pada uraian diatas, nampak bahwa UUPA dan PP Nomor 24
Tahun 1997 tetap memperhatikan dua asas hukum yang penting yakni asas nemo
plus yuris dan asas itikad baik guna memberikan perlindungan hukum kepada
pemilik tanah. Asas nemo plus yuris dan asas itikad baik dapat dipakai sebagai
dasar untuk memberikan perlindungan hukum kepada pemegang hak yang
sebenarnya. Asas nemo plus yuris menyatakan bahwa orang tidak dapat
mengalihkan hak melebihi hak yang ada padanya. Ini berarti bahwa pengalihan
hak oleh orang yang tidak berhak adalah batal. Dengan demikian asas ini
membertikan perlindungan hukum kepada pemegang hak yang sebenarnya. Asas
itikad baik menyatakan bahwa orang yang memperoleh sesuatu hak dengan itikad
baik, akan tetap menjadi pemegang hak yang sah menurut hukum. Dengan
demikian nyata bahwa asas itikad baik bertujuan untuk melindungi orang yang
beritikad baik.
Jika terjadi pembatalan sertifikat dengan dasar hak kepemilikan, menurut
penulis sekalipun sertifikat sudah diterbitkan lebih dari 5 (lima) tahun, pemegang
hak sebenarnya masih dimungkinkan untuk melakukan pembatalan sertifikat
sepanjang dapat membuktikan bahwa perolehan hak keatas tanah oleh pemegang
hak yang namanya tertera dalam sertifikat tidak memeperoleh hak tersebut dengan
itikad baik. Oleh karena itu dapat tegas dikatakan bahwa UUPA maupun PP
Nomor 24 TAahun 1997 telah memberikan jaminan perlindungan hukum dan
kepastian hukum kepada pemegang hak yang sebenarnya yang secara itikad baik
memperoleh hak atas tanah tersebut.
Dengan menggunakan lembaga Rechtsverwerking, seorang pemilik sebenarnya
dapat mengajukan gugatan untuk mempertahankan haknya tersebut. Gugatan
berdasarkan hak kepemilikan ini diajukan ke Pengadilan Negeri.

Keputusan Tata Usaha Negara sebagai Dasar Pembatalan Sertifikat.


Dimaksud dengan sub judul diatas ialah bahwa dengan adanya putusan
penerbitan sertifikat oleh pihak yang berwenang (dhi Kantor Pertanahan), yang
tidak sah secara hukum, dapat dipakai sebagai dasar pihak lain yang merasa
memiliki hak atas tanah untuk mohon pembatalan sertifikat.

99
Sebagaimana telah diuraikan diatas, bahwa orang yang merasa memiliki hak
atas tanah yang telah diterbitkan sertifikatnya, dapat mengajukan gugatan
kepemilikan hak atas tanah hanya dalam rentangan waktu 5 (lima) tahun sejak
diterbitkannya sertifikat. Namun dalam kenyatannya ada sertifikat yang telah
diterbitkan 5 (lima) tahun atau lebih dinyatakan batal atau tidak sah oleh
Pengadilan Tata Usaha Negara. Ada beberapa contoh putusan Pengadilan yang
menyatakan batal atau tidak sah sertifikat yang telah dikeluarkan oleh pejabat
yang berwenang dengan usia sertifikat lebih dari 5 (lima) tahun:
a) Putusan Nomor 18/G/2014/PTUN BJM
Perkara antara Eddi Zein (penggugat) melawan Kantor
Pertanahan Kabupaten Tanah Laut dan DRA Damiana Maria, sebagai
tergugat intervensi. Menjadi pokok gugatan adalah penerbitan
sertifikat SHM No. 607 atas nama DRA Damiana Maria oleh Kantor
Pertanahan Kabupaten Tanah Laut. Gugatan diajukan pada tahun
2014. Dengan demikian usia sertifikat HM atas nama DRA Damana
lebih dari 5 (lima) tahun. Keputusan PTUN Banjarmasin menyatakan
bahwa sertifikat SHM No. 607 atas nama DRA Damiana Maria adalah
batal atau tidak sah, karena tidak sesuai dengan prosedur dan
bertentangan dengan peraturan perundangan.
b) Putusan Nomor 34/G/2014/PTUN.SBY
Perkara antara PT Pilarmutiara sebagai penggugat melawan
Kantor Pertanahan Surabaya I dan Drg Varina Santoso, sebagai
tergugat intervensi. Pokok gugatannya adalah penerbitan sertifikat
SHM No 91/Kelurahan Lontar pada tanggal 14 November 1995.
Dengan demikian Nampak bahwa usia sertifikat SHM No
91/Kelurahan Lontar lebih dari 5 (lima) tahun. Keputusan PTUN
Surabaya menyatakan batal sertifikat SHM No 91/Kelurahan Lontar.

c) Putusan Nomor 55/G/2001/PTUN.BDG


Perkara antara Tresna Hidayat sebagai penggugat melawan
Kantor Pertanahan Kabupaten Tangerang,sebagai tergugat dan PT
Lippo KawaraciTbk, sebagai tergugat intervensi. Pokok perkaranya
adalah penerbitan sertifikat HGB No 6953/Bencongan atas nama PT
Tunggal Reksa Kencana (sekarang PT Lippo Kawaraci Tbk).
Dari ketiga putusan tersebut yang ternyata semua sertifikat berusia lebih dari
5 (lima) tahun sejak diterbitkannya, dinyatakan batal atau tidak sah. Ini berarti
bahwa sekalipun usia sertifikat telah lebih dari 5 ( lima) tahun, pemegang hak atas
tanah yang namanya tercantum dalam sertfikat perlu “was2”, bahwa pada suatu

100
saat sertifikat hak atas tanahnya dapat dibatalkan. Jika dicermati gugatan tersebut,
maka dasar gugatannya adalah Keputusan Tata Usaha Negara (selanjutnya disebut
KPTUN). Dimaksud dengan Keputusan Tata Usaha Negara sebagaimana dalam
Pasal 1 angka 3 Undang Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata
Usaha Negara (selanjutnya disebut UU PTUN) menyatakan: Keputusan Tata
Usaha Negara adalah penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat
Tata Usaha Negara berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku
bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi
sesorang atau badan hukum perdata.
Penerbitan sertifikat oleh Kepala Kantor Pendaftaran Tanah merupakan
KTUN. Seorang yang merasa dirugikan dengan diterbitkannya sertifikat yang
merupakan KTUN dapat mengajukan gugatan melalui Pengadilan Tata Usaha
Negara (selanjutnya disebut PTUN), sebagaimana tersebut dalam Pasal 53 ayat (1)
UU PTUN, dimana penggugat dapat menggugat KPTUN dapat dibatalkan atau
dinyatakan tidak sah. Dengan mengacu pada Pasal 53 ayat (1) UU PTUN tersebut,
adalah sah-sah saja jika para penggugat yang merasa dirugikan dengan terbitnya
sertifikat yang dikeluarkan oleh Kantor Pertanahan yang merupakan KPTUN,
mengajukan gugatan untuk mohon agar sertifikat dinyatakan batal atau tidak sah.
Dalam gugatan ini tidak didasarkan pada hak kepemilikan akan tetapi didasarkan
pada KPTUN yang:

a. Bertentangan dengan peraturan perundangan yang berlalu.


b. Dikeluarkan dengan menggunakan wewenang untuk tujuan lain
dari maksud diberikannya wewenang tersebut.
c. Setelah mempertimbangkan semua kepentingan yang tersangkut
dengan keputusan itu seharusnya tidak sampai pada pengambilan
atau tidak pengambilan putusan tersebut.
Dalam melaksanakan pengujian terhadap KPTUN, hakim PTUN tidak terikat
pada alasan yang diajukan oleh penggugat, dapat saja penggungat menggunakan
alasan bertentangan dengan undang-undang, hakim mendasarkan pengujiannya
pada penyalahgunaan wewenang. Bahkan hakim dapat mendasarkan
keputusannya pada Asas Asas Umum Pemerintahan Yang Baik (AAUPB), yang
berada diluar ketentuan Pasal 53 ayat (2) UUPTUN, sekalipun tidak menjadi
dasar dalam gugatan pemohon. Bahkan dikatakan oleh Suparto Wijoyo, alasan
penggugat yang merupakan dasar pengujian keabsahan KPTUN bagi hakim,
cukup dua saja secara alternative maupun komulatif, yakni:

101
1. KTUN tersebut bertentangan dengan peraturan perundangan
2. KTUN tersebut bertentangan dengan AUPB.

Dengan demikian adalah sah saja jika ada sertifikat yang telah berusia 5
(lima) tahun atau lebih dinyatakan batal atau tidak sah oleh hakim PTUN, karena
dasar gugatannya adalah ketidak absahan KPTUN, sepanjang penggugat
mendasarkan pada syarat tersebut diatas.

Dari uraian diatas, maka pembatalan sertifikat hak atas tanah yang
merupakan salah satu cara yang dapat ditempuh untuk mempertahankan hak atas
tanahnya, dapat dilakukan melalui dua cara yakni: pertama dengan gugatan
perdata yang diajukan melalui Pengadilan Negeri yang mendasarkan pada hak
kepemilikan atas tanah. Gugatan kepemilikan ini mendasarkan pada lembaga
Rechtsverwerking yang diatur dalam Pasal 32 ayat (2) PP Nomor 24 Tahun 1997,
dan kedua, gugatan atas KTUN yang diajukan melalui Pengadilan Tata Usaha
Negara, dengan menggugat KTUN, yang mendasarkan pada Pasal 53 ayat (2) UU
PTUN. Melalui asas Rechtsverwerking ini akan memberikan kepastian hukum
kepada pihak yang namanya telah tercantum dalam sertifikat dan telah memnuhi
syarat sebagaimana tertuang dalam Pasal 32 ayat (2) PP Nomor 24 Tahun 1997.
Dimaksudkan dengan itu adalah bahwa pihak yang namanya tercantum dalam
sertifikat, akan aman atas kepemilikan tanahnya setelah 5 (lima) tahun. Sehingga
akan menimbulkan kepastian hukum. Dengan dimungkinkannya gugatan tentang
keabsahan sertifikat yang diterbitkan oleh Kantor Pertanahan, melalui gugatan
tentang KTUN, akaN mengakibatkan tujuan Pasal 32 ayat (2) PP Nomor 24
Tahun 1997 untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada
pemegang hak yang namanya tersebut dalam sertifikat tidak akan tercapai. Kedua
dasar pembatalan sertifikat tersebut sebenarnya memberikan perlindungan hukum
kepada pihak yang dengan itikad baik memeproleh hak atas tanah. Tentu saja
pembatalan sertifikat yang usianya lebih dari 5 (lima) tahun dengan mendasarkan
pada KTUN, tidak mendukung terpenuhinya maksud Pasal 32 ayat (2) PP Nomor
24 Tahun 1997, berkaitan dengan kepastian hukum dan perlindungan hukum
kepada pemegang hak yang tertera namanya dalam sertifikat, akan tetapi
memberikan perlindungan hukum kepada pemegang hak sebenarnya.

Oleh karena itu, jika dua jalur upaya hukum yudisial tersebut dikaitkan
dengan upaya memberikan kepastian hukum terkait dengan pendaftran tanah,
maka pengadilan, apakah peradilan umum maupun peradilan TUN, harus
berpegang pada lembaga Rechtsverwerking sebagaimana diatur dalam Pasal 32
ayat (2) PP Nomor 24 Tahun 1997. Itu artinya, pengadilan harus memberikan
keuntungan kepada pemegang sertifikat hak atas tanah yang memenuhi syarat

102
berdasarkan Pasal 32 ayat (2) PP Nomor 24 Tahun 1997 ketimbang penggungat,
sehingga kepastian hukum sebagai ideal atau cita hukum dalam pendaftaran hak
atas tanah dapat terwujud.

Ada pembedaan jenis putusan hakim yang berkaitan dengan pembatalan


sertifikat yang diputuskan oleh hakim Pengadilan Umum dan hakim PTUN.
Hakim Pengadilan Umum, dapat saja memutuskan dengan batal demi hukum
(nietig) atau dapat dibatalkan (vernietigbaar). Putusan batal demi hukum (nietig),
akan mengakibatkan bahwa sejak semula dianggap tidak terjadi hubungan hukum
sebagaimana dipakai sebagai dasar kepemilikan hak atas tanah. Hal ini akan
terjadi jika dalam gugatan terbukti bahwa perolehan tanah oleh pihak yang
namanya tercantum dalam sertifikat, karena bertentangan dengan undang-undang,
atau dapat dikatakan bahwa alas hak untuk memproleh hak atas tanah tersebut
didasarkan pada causa yang tidak halal. Putusan hakim yang menyatakan dapat
dibatalkan (vernietigbaar), akan berakibat bahwa hubungan hukum antara
pemegang hak yang namanya tercantum dalam sertifikat akan dinyatakan tidak
sah sebagai pemegang hak atas tanah, sejak putusan hakim dijatuhkan. Artinya
bahwa perbuatan apapun yang dilakukan sebelum putusan diakui oleh hukum.
Putusan hakim berlaku surut terhadap perbutan yang dilakukan sebelumnya.
Kondisi demikian akan terjadi jika alas hak yang mendasari kepemilkan tanah
tersebut terjadi dengan tidak memenuhi Pasal 1320 KUH Perdata. Dengan
demikian alas hak yang menjadi dasar kepemilkan hak atas tanah oleh pihak yang
namanya tercantum dalam sertifikat menjadi sangat penting dalam pembatalan
sertifikat karena kepemilikan. Perlu dipahami bahwa putusan Pengadilan
berkaitan dengan kepemilikan sertifikat tidak secara otomatis akan membatalkan
sertifikat yang telah diterbitkan. Ada langkah hukum yang perlu dilakukan yakni
dengan mengajukan permohonan pembatalansertifikat kepada pejabat yang
menerbitkannya (dhi Kepala Kantor Pertanahan). Dalam putusan PTUN, hanya
akan mengenal satu putusan saja yaitu putusan yang menyatakan perbuatan
hukum pejabat yang berwenang dalam menerbitkan sertifikat melawan hukum
atau tidah sah. Putusan hakim PTUN tidak akan berlaku surut.

PENUTUP
Berdasarkan apa yang telah dipaparkan diatas, dapat disimpulkan ada
beberapa hal yang dapat dikemukakan dalam kesimpulan, yakni: pertama bahwa
dengan adanya lembaga Rechtsverwerking akan memberikan kepastian hukum
dan perlindungan hukum kepada pihak yang beritikad baik dalam memperoleh
hak atas tanah, apakah pihak yang namanya tercantum dalam sertifikat maupun
pemilik sebenarnya. Kedua; perlindungan hukum diberikan kepada pihak yang

103
namanya tercantum dalam sertifikat, apabila yang bersangkutan memenuhi syarat
yang tersebut dalam Pasal 32 ayat (2) PP Nomor 24 Tahun 1997, sedangkan untuk
pemilik hak atas tanah yang benar, akan dilindungi hak kepemilikannya oleh asas
itikad baik. Pembatalan sertifikat karena melanggar itikad baik dalam
kepemilikannya akan dapat dilakukan kapapun juga. Keempat; Ada perbedaan
sebagai dasar gugatan pembatalan sertifikat melalui Pengadilan Negeri dengan
menggunakan lembaga Rechtsverwerking dan asas itikad baik dengan gugatan
melalui PTUN. Dasar gugatan Rechtsverwerking dan itikad baik adalah berkaitan
dengan kepemilikan hak atas tanah, sehingga hak keperdataan yang menjadi
dasarnya, sedangkan gugatan melalui PTUN dasar gugatannya adalah KTUN,
yakni penerbitan sertifikat oleh Kantor Pertanahan yang cacat secara prosedural,
sehingga tidak sah karena bertentangan dengan peraturan yang berlaku.

104
1.10.PENYELESAIAN HUKUM TERHADAP PENERBITAN
SERTIFIKAT HAK ATAS TANAH YANG CACAD HUKUM

PENYELESAIAN HUKUM TERHADAP PENERBITAN SERTIFIKAT


HAK ATAS TANAH YANG CACAD HUKUM
( Studi di Kantor Pertanahan Kota Surakarta )
Oleh :

DANANG WIRAHUTAMA

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA


2015
ABSTRAK
Sertifikat merupakan surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat
pembuktian yang kuat mengenai data fisik dan data yuridis tersebut sesuai
dengan data yang ada dalam surat ukur dan buku tanah yang
bersangkutan. Sertifikat yang cacad hukum adalah sertifikat yang
mengandung kesalahan prosedur, kesalahan penerapan peraturan
perundang-undangan, kesalahan subyek hak, kesalahan obyek hak,
kesalahan jenis hak, kesalahan perhitungan luas, terdapat tumpang tindih
hak atas tanah, data yuridis atau data data fisik tidak benar atau kesalahan
lainnya yang bersifat administratif. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui penyelesaian hukum terhadap penerbitan Sertifikat Hak Atas
Tanah yang cacad hukum di Kantor Pertanahan Kota Surakarta dan untuk
mengetahui perlindungan hukum bagi pemegang Sertifikat Hak Atas
Tanah yang mengalami cacad hukum.

PENDAHULUAN
Dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan
Dasar Pokok-Pokok Agraria, Pasal 4 ayat (1) dan (2) dinyatakan bahwa:
atas dasar hak menguasai dari negara ditentukan adanya macam-macam
hak atas tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai baik secara
sendirian maupun secara bersama-sama dengan orang lain serta badan-
badan hukum, dimana hak atas tanah ini memberi wewenang untuk
mempergunakan tanah yang bersangkutan sedemikian rupa, begitu pula
bumi dan air serta ruang udara di atasnya sekedar diperlukan untuk
kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu,

105
dalam batas-batas menurut UUPA dan peraturan-peraturan hukum lain
yang lebih tinggi. Undang-undang Pokok Agraria dengan seperangkat
peraturan pelaksaannya bertujuan untuk terwujudnya jaminan kepastian
hukum terhadap hak-hak atas tanah di seluruh wilayah Indonesia. Jika kita
hubungkan dengan usaha-usaha Pemerintah dalam rangka penataan
kembali penggunaan, penguasaan dan pemilikan tanah, maka pendaftaran
tanah/pendaftaran hak atas tanah adalah merupakan suatu sarana penting
untuk terwujudnya kepastian hukum di seluruh wilayah Republik
Indonesia dan sekaligus turut serta dalam penataan kembali penggunaan,
penguasaan dan pemilikan tanah. Pendaftaran tanah akan membawa
kepastian hukum, hal ini karena dengan pendaftaran tanah/pendaftaran
hak atas tanah tersebut akan membawa akibat diberikannya surat tanda
bukti hak atas tanah yang lazim disebut dengan sertifikat tanah kepada
pihak yang bersangkutan yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat
terhadap hak atas tanah yang dipegangnya itu. Di sinilah letak hubungan
antara maksud dan tujuan pendaftaran tanah dengan maksud dan tujuan
pembuat UUPA yaitu menuju cita-cita adanya kepastian hukum berkenaan
dengan hak-hak atas tanah yang umumnya dipegang oleh sebagian besar
rakyat asli.
Bagi pemegang hak, sertifikat hak atas tanah berfungsi sebagai alat
bukti yang kuat dan dengan mudah untuk membuktikan bahwa tanah
adalah miliknya, maka ia dengan bebas untuk memindahkan haknya dan
memberikan beban hak atau memperoleh manfaat dari pihak ketiga yang
menggunakannya. Demikian pula bagi pihak ketiga atau yang akan
berkepentingan terhadap tanah yang bersangkutan akan lebih mudah
memperoleh keterangan yang dapat dipercaya. Menurut Pasal 1 butir 20
Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran tanah,
sertifikat adalah surat tanda bukti hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal
19 ayat (2) huruf (c) Undang-undang Pokok Agraria untuk hak atas tanah,
hak pengelolaan, tanah wakaf, hak milik atas satuan rumah susun dan hak
tanggungan yang masing-masing sudah dibukukan dalam buku tanah yang
bersangkutan. Sertifikat tanah sebagai produk pendaftaran yang
memenuhi aturan hukum normatif , belum menjamin kepastian hukum
dari sudut pandang sosiologi hukum. Yang dimaksud oleh beliau
kepastian hukum dari sudut pandang sosiologi hukum itu adalah realitas
sosial yang terjadi di masyarakat.
Masalah yang dikaji dalam penelitian ini adalah pertama,
penyelesaian hukum terhadap penerbitan sertifikat yang cacad hukum dan
kedua, perlindungan hukum terhadap pemegang bagi pemegang sertifikat
hak atas tanah yang cacad hukum.

106
Tujuan Penelitian ini adalah pertama, untuk mengetahui
penyelesaian hukum atas penerbitan sertifikat hak atas tanah yang cacad
hukum di Kantor Pertanahan Kota Surakarta dan kedua, untuk mengetahui
perlindungan hukum bagi pemegang Sertifikat Hak Atas Tanah yang
mengalami cacad hukum .
Manfaat penelitian ini adalah pertama, melalui penelitian ini
diharapkan dapat berguna untuk menjadi bahan sumbangan pemikiran
bagi perkembangan pengetahuan dan keilmuan mengenai hukum,
khususnya khususnya Hukum Agraria tentang penyelesaian hukum atas
penerbitan sertifikat hak atas tanah yang cacad hukum; kedua, untuk
memberikan masukan kepada pihak-pihak pengambil kebijakan agar
Sertifikat Hak Atas Tanah lebih mendapat kepastian hukum.
Penelitian ini mendasarkan pada penelitian hukum yang dilakukan
dengan pendekatan yuridis empiris yaitu menggunakan norma-norma
hukum yang bersifat menjelaskan dengan cara meneliti dan membahas
peraturan-peraturan hukum yang berlaku saat ini. Penelitian yuridis
dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka yang merupakan data
sekunder dan juga disebut penelitian kepustakaan. Penelitian hukum
empiris dilakukan dengan cara meneliti dilapangan yang merupakan data
primer.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Penyelesaian Hukum Terhadap Penerbitan Sertifikat Hak Atas Tanah
Yang Cacad Hukum
Berdasarkan Pasal 107 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan
Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian
dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan, mengatur
mengenai hal-hal yang dikategorikan sebagai cacad hukum administrasi
atas suatu produk pelayanan Badan Pertanahan Nasional (BPN). Produk
pelayanan BPN dinyatakan cacad apabila terdapat: (1) Kesalahan
prosedur; (2) Kesalahan penerapan peraturan perundang-undangan; (3)
Kesalahan subyek hak; (4) Kesalahan obyek hak; (5) Kesalahan jenis hak;
(6) Kesalahan perhitungan luas; (7) Tumpang tindih hak atas tanah; (8)
Ketidakbenaran pada data fisik dan/atau data yuridis; (9) Kesalahan
lainnya yang bersifat hukum administratif. Terjadinya sertifikat cacad
hukum seperti sertifikat palsu dan sertifikat ganda dipengaruhi oleh
faktor-faktor intern dan ekstern. Faktor intern yaitu tidak dilaksanakannya
Undang-undang Pokok Agraria dan peraturan pelaksanaannya secara
konsekuen dan bertanggung jawab disamping masih adanya orang yang
berbuat untuk memperoleh keuntungan pribadi, kurang berfungsinya

107
aparat pengawasan sehingga memberikan peluang kepada aparat
bawahannya untuk bertindak menyeleweng dalam arti tidak melaksanakan
tugas dan tanggung jawab sesuai sumpah jabatannya serta ketidaktelitian
pejabat Kantor Pertanahan dalam menerbitkan sertifikat tanah yaitu
dokumen-dokumen yang menjadi dasar bagi penerbitan sertifikat tidak
teliti dengan seksama yang mungkin saja dokumen-dokumen tersebut
belum memenuhi persyaratan sebagaimana ditentukan oleh ketentuan
perundang-undangan yang berlaku. Sedangkan faktor ekstern yaitu
masyarakat masih kurang mengetahui undang-undang dan peraturan
tentang pertanahan khususnya tentang prosedur pembuatan sertifikat
tanah, Ketersediaan tanah tidak seimbang dengan jumlah peminat yang
memerlukan tanah serta pembangunan mengakibatkan kebutuhan akan
tanah semakin meningkat sedangkan persediaan tanah sangat terbatas
sehingga mendorong peralihan fungsi tanag dari tanah pertanian ke non
pertanian, mengakibatkan harga tanah melonjak.
Kronologi dalam kasus ini adalah Bahwa pada tahun 1991- 1992 , melalui
proses jual beli yang sah di PPAT Surakarta Drs.Wongsoatmojo dan
Kantor Pertanahan Kota Surakarta Agustinus Parso Subroto telah membeli
5 ( lima ) bidang tanah , terletak di Kismorejo RT 01 RW 10, Mojosongo,
Surakarta yang kelimanya kemudian digabung menjadi 1 ( satu ) bidang.
Adapun kelima tanah tersebut masing-masing adalah Tanah Sertifikat Hak
Milik No.2891 / Mojosongo, seluas 450 M2 Akta jual beli tanggal 6-7-
1992 No. 404 / Jebres / 1992 atas nama Agustinus Parso Subroto suami
Ny.Maria Lena Susanti. Tanah Sertifikat Hak Milik No.2892 /
Mojosongo, seluas 637 M2 Akta jual beli tanggal 3-6-1991 No.279 /
Jebres / 1991 atas nama Agustinus Parso Subroto suami Ny.Susanti.
Tanah Sertifikat Hak Milik No.2916 / Mojosongo, seluas 320 M2 Akta
jual beli tanggal 6-7-1992 No. 403/ Jebres / 1992 atas nama Agustinus
Parso Subroto suami Ny.Maria Lena Susanti. Tanah Sertifikat Hak Milik
No.2941 / Mojosongo, seluas 360 M2 Akta jual beli tanggal 20-5-1992
No. 282/ Jebres / 1992 atas nama Agustinus Parso Subroto suami
Ny.Maria Lena Susanti, dan Tanah Sertifikat Hak Milik No.2935 /
Mojosongo, seluas 400 M2 Akta jual beli tanggal 20-5- 1992 No.281 /
Jebres / 1992 atas nama Agustinus Parso Subroto suami Ny. Maria Lena
Susanti. Bahwa oleh karena Agustinus Parso Subroto berada di luar kota
untuk waktu yang lama, pelaksanaan jual beli dan balik nama kelima
sertifikat Hak Milik tersebut diatas kepengurusannya di serahkan kepada
Bapak Reso dan Bapak Suparno ( Lurah Mojosongo ) untuk mengurusnya
sampai dengan selesai balik nama Sertifikat Hak Milik atas nama
Agustinus Parso Subroto, ternyata di dalam mengurus jual beli dan balik

108
nama tersebut telah dibuat identitas KTP Penggugat oleh Petugas
Kelurahan Mojosongo secara keliru yaitu menyebut bahwa Agustinus
Parso Subroto telah kawin padahal Agustinus Parso Subroto adalah
seorang Rohaniwan Katholik yang tidak kawin jadi tidak punya istri.
Bahwa dengan identitas yang keliru tersebut PPAT Drs.Wongsoatmojo
maupun Kantor Pertanahan memprosesnya dengan menganggap bahwa
Agustinus Parso Subroto telah kawin dengan seseorang yang bernama
Ny.Maria Lena Susanti padahal sesungguhnya Agustinus Parso Subroto
tidak punya istri. Bahwa selanjutnya diproseslah jual beli dan balik nama
serta terbitlah 5 buah SHM, terdiri dari 4 (empat) sertifikat Hak Milik
yang tertulis atas nama : AGUSTINUS PARSO SUBROTO suami
Nyonya MARIA LENA SUSANTI dan 1 buah SHM tertulis atas nama
AGUSTINUS PARSO SUBROTO suami Ny. SUSANTI yang tidak benar
sebagaimana telah Agustinus Parso Subroto sebutkan di atas. Sudah
barang tentu ke lima buah sertifikat Hak Milik tersebut dalam menyebut
kepemilikan (atas nama) adalah keliru dan haruslah dinyatakan cacad atau
melawan hukum. Untuk itu harus lah diperbaiki atau dibetulkan.
Dalam proses penyelesaiannya, selama itu datanya sudah dibetulkan atau
aktanya dibetulkan, langsung saja datang ke kantor pertanahan
mengajukan permohonan untuk pembetulan nama atau subyek tersebut
sesuai dengan data yang benar. Tidak perlu langsung mengajukan gugatan
ke pengadilan, untuk tanah tanah yang sudah terdaftar dimana kantor
pertanahan mempunyai data sebagai sumber atau alasan terbitnya suatu
sertifikat, maka kalau memang terjadi sengketa antara orang yang satu
dengan orang yang lain, kantor pertanahan menghimbau sebelum
mengajukan gugatan ke pengadilan dimana hal tersebut adalah jalan
terakhir silahkan datang ke kantor pertanahan kemudian sampaikan
permasalahannya, ajukan permohonan mediasi untuk mendapatkan
penyelesaian secara win-win solution.
Perlindungan Hukum Bagi Pemegang Sertifikat Hak Atas Tanah yang
Mengalami Cacad Hukum
Indonesia menggunakan sistem publikasi negatif bahwa pihak
yang namanya tercantum sebagai pemegang hak dalam buku tanah dan
sertipikat selalu menghadapi kemungkinan gugatan dari pihak lain yang
merasa mempunyai tanah. Untuk mengatasi kelemahan sistem publikasi
negatif dalam pendaftaran tanah terdapat lembaga rechtsverwerking.
Meskipun prinsip rechtsverwerking diterapkan dengan tujuan untuk
memberikan kepastian hukum kepada pihak yang dengan itikad baik
menguasai tanah sebagai pemegang hak dengan sertipikat tanah sebagai
tanda bukti pemilikannya, namun prinsip rechtsverwerking tidak

109
memberikan perlindungan hukum serta dapat merugikan bagi pihak yang
memiliki tanah namun tidak dapat membuktikan dengan alat bukti
sertipikat tanah. Perlindungan hukum juga sulit diberikan kepada
pemegang hak atas tanah yang memperoleh hak atas tanah hanya dengan
berdasarkan asas itikad baik.
Sertifikat tanah yang dipunyai seseorang belum menunjukan orang
tersebut sebagai pemegang hak yang sebenarnya, karena sertipikat hak
atas tanah setiap waktu dapat dibatalkan apabila ternyata ada pihak lain
yang dapat membuktikan secara hukum bahwa ia adalah pemilik yang
sebenarnya. Hal ini berbeda dengansistem publikasi positif, yaitu tanda
bukti hak seseorang atas tanah adalah mutlak dan tidak dapat diganggu
gugat. Apabila ternyata terdapat bukti yang cacad, menunjukan cacad
hukum dari perolehan hak tersebut, maka ia tidak dapat menuntut
pembatalan, kecuali tuntutan pembayaran ganti kerugian.
Dalam kepustakaan hukum dikenal dua jenis sarana perlindungan
hukum bagi pemegang hak atas tanah yang sifatnya preventif dan represif.
Menurut Hadjon pada perlindungan hukum yang preventif kepada rakyat
diberikan kesempatan untuk mengajukan keberatan atau pendapat
sebelum suatu keputusan pemerintah mendapat bentuk yang definitive
(sudah pasti). Dengan demikian perlindungan hukum yang preventif
bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa, sedangkan sebaliknya
perlindungan hukum yang represif bertujuan untuk menyelesaikan
sengketa, Perlindungan hukum preventif sangat signifikan bagi tindakan
pemerintah yang tidak didasarkan pada ketentuan aturan yang berlaku.
dengan adanya perlindungan hukum yang preventif pemerintah terdorong
untuk bersikap hati-hati dalam mengambil keputusan yang didasarkan
pada suatu kebijakan yang diambil.
Dalam kasus ini telah terbit suatu putusan yang menyatakan bahwa
mohon kepada kantor pertanahan untuk mengubah penulisan subyek
pemegang hak milik sertifikat dengan benar yaitu atas nama Agustinus
Parso Subroto. Perlindungan pemegang hak dapat dilakukan dengan
menempuh jalur pengadilan, tetapi sebelumnnya juga bisa penyelesaian
melalui kantor pertanahan setempat untuk pembetulan sertifikat. Jadi
sertifikat yang telah dibenarkan dengan adanya putusan pengadilan
tersebut akan menjamin kepastian hukum dari pemegang sertifikat Hak
Milik tanah tersebut. Kekuatan berlakunya sertifikat telah ditegaskan
dalam Pasal 19 ayat (2) huruf c dan Pasal 32 ayat (1) Peraturan
Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, yakni
sertifikat merupakan tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat
pembuktian yang kuat mengenai data fisik dan data yuridis yang termuat

110
di dalamnya sepanjang data fisik dan data yuridis sesuai dengan data yang
ada dalam surat ukur dan buku tanah hak yang bersangkutan.
PENUTUP
Simpulan
Pertama, yang dimaksud dengan sertifikat cacad hukum dalam
penelitian ini adalah sertifikat yang mengandung kesalahan subyek hak
karena data fisik dalam sertifikat tidak sesuai dengan identitas pemegang
hak atas tanah tersebut.
Kedua, penyelesaian hukum terhadap penerbitan sertifikat Hak
Atas Tanah yang cacad hukum. yaitu kesalahan penulisan subyek hak
adalah mengajukan permohonan untuk pembetulan nama atau subyek
tersebut dengan data yang benar. Jika terjadi sengketa antara orang yang
satu dengan orang yang lain, kantor pertanahan menghimbau sebelum
mengajukan gugatan ke pengadilan dimana hal tersebut adalah jalan
terakhir dalam penyelesaiannya, sebelumnya bisa melalui Kantor
Pertanahan kemudian sampaikan permasalahannya dan ajukan
permohonan mediasi untuk mendapatkan penyelesaian secara win-win
solution.
Ketiga, Perlindungan hukum pemegang bagi pemegang Sertifikat
Hak Atas Tanah yang mengalami cacad hukum adalah tidak mendapat
perlindungan karena nama yang tercantum dalam sertifikat tidak sesuai
dengan nama yang ada di Kartu Identitas Penduduk yang dimiliki si
pemegang hak tersebut. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun
1997 tentang Pendaftaran Tanah, telah memberikan perlindungan di mana
seseorang yang tercantum namanya dalam sertifikat tidak dapat diajukan
gugatan oleh pihak lain yang mempunyai hak atas tanah setelah lewat
waktu 5 (lima) tahun dan statusnya sebagai pemilik hak atas tanah akan
terus dilindungi sepanjang tanah itu diperoleh dengan itikad baik dan
dikuasai secara nyata oleh pemegang hak yang bersangkutan.
Keempat, sesuai dengan asasnya, sertifikat tanah itu adalah alat
bukti yang kuat, maka perlindungan hukum yang diberikan kepada
seorang pemegang hak yang namanya tertulis dalam sertifikat, orang
tersebut tidak perlu membuktikan lain daripada apa yang telah dipunyai
yaitu sertifikat. Beban pembuktian bahwa itu bukan hak seseorang, maka
menjadi beban orang yang menyangga akan sertifikat tersebut.
Kelima, perlindungan pemegang hak dapat dilakukan dengan
menempuh jalur pengadilan, tetapi sebelumnnya juga bisa penyelesaian
melalui kantor pertanahan setempat untuk pembetulan sertifikat. Sertifikat
yang telah dibenarkan dengan adanya putusan pengadilan tersebut akan

111
menjamin kepastian hukum dari pemegang sertifikat hak milik tanah
tersebut.

Saran
Pertama, ditujukan kepada Kantor Pertanahan Surakarta perlu
adanya
kegiatan mengenai pengecekan data maupun akta-akta secara mendasar
sebelum diterbitkan suatu Sertifikat Hak Milik agar tidak terjadi Sertifikat
Hak milik yang cacad hukum.
Kedua, ditujukan kepada para pemilik sertifikat Hak Milik Atas
Tanah yang cacad hukum agar supaya mengajukan permohonan
pembetulan ke Kantor Pertanahan setempat sebelum mengajukan gugatan
ke Pengadilan.

112
BAB II

RESUME
A. PENDAHULUAN
Indonesia merupakan negara agraris dengan memanfaatkan kegunaan
tanah secara optimal berdasarkan fungsi sosial yang dapat memberikan
kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia. Bagi negara agraris, tanah
mempunyai fungsi yang amat penting bagi kemakmuran dan kesejahteraan
rakyat. Manusia memiliki hubungan dengan tanah, baik dalam peruntukan
penggunaan tanah tersebut serta keuntungan yang didapatkan dengan
mengolah tanah tersebut.

Mengingat peran tanah sebagai sumber daya yang memiliki nilai


ekonomis, maka penyediaan, penggunaan, dan peruntukannya perlu diatur
demi menjamin kepastian dan perlindungan hukum bagi seluruh
masyarakat. Oleh karena itu, untuk dapat mewujudkan hal tersebut
diselenggarakan pendaftaran tanah khususnya dalam hal sistem publikasi
negatif yang bertendensi positif yang dianut dalam Undang-Undang
Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria
(UUPA) dan Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 Tentang
Pendaftaran tanah (selanjutnya disebut PP 24/1997) sebagai pengganti
Peraturan Pemerintah Nomor 10 tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah
(selanjutnya disebut PP 10/1961).

Dalam sistem publikasi negatif yang mengandung unsur positif ini


pemerintah sebagai penyelenggara pendaftaran tanah harus berusaha, agar
sejauh mungkin dapat disajikan data yang benar dalam buku tanah dan peta
pendaftaran. Sehingga selama tidak dapat dibuktikan sebaliknya, data yang
ada dalam tanda bukti hak harus dianggap sebagai data yang benar. Hal
tersebut mengakibatkan pihak yang telah mendaftarkan hak atas tanahnya
dan memiliki tanda bukti hak tersebut bisa kemudian kapan saja digugat
oleh pihak lain yang merasa pihak yang berhak atas tanah yang sudah ia
kuasai dengan disertai tanda bukti tersebut. Tentunya hal ini tidak
memberikan jaminan kepastian yang selaras dengan tujuan
diselenggarakannya pendaftaran tanah yang juga selaras dengan tujuan
pokok dari pembentukan UUPA.

Kelemahan sistem publikasi negatif yang tidak memberikan kepastian


hukum tersebut kemudian dijawab dengan lahirnya PP 24/1997 sebagai
pengganti PP 10/1961. PP 24/1997 berusaha mengatasi kelemahan sistem

113
negatif ini dengan mengukuhkan lembaga recthsverwerking yang dikenal
dalam hukum adat yurisprudensi, yaitu dalam Pasal 32 ayat (2).
Rechtsverwerking adalah lembaga dalam hukum adat dan dimasukkan
dalam hukum tanah nasional yaitu lampaunya waktu yang mengakibatkan
sesorang kehilangan hak atas tanah yang sejak mulai dimiliki.

Berdasarkan uraian pada latar belakang tersebut diatas, maka


permasalahan yang diangkat dalam tulisan ini adalah: bagaimana
keterpautan antara lembaga ‘rechtsverwerking’ dengan sistem pendafataran
tanah menurut PP No. 24 Tahun 1997?
B. PEMBAHASAN
PENGERTIAN RECHTSVERWERKING

Istilah rechtsverwerking diartikan sebagai hilangnya hak seseorang dan


timbulnya hak pada orang lain karena lampaunya waktu karena tidak melakukan
suatu perbuatan hukum yang merupakan kewajiban yang harus dilakukan
seseorang. Di dalam Hukum Adat dikenal adanya lembaga “kehilangan hak untuk
menuntut” atau “rechtsverwerking”, yaitu apabila seseorang mempunyai tanah
tetapi selama jangka waktu tertentu membiarkan tanahnya tidak terurus, dan
tanah itu dipergunakan oleh orang lain dengan itikad baik, dia tidak dapat
menuntut lagi pengembalian tanah dari orang yang menguasainya tersebut, yang
mana tanah merupakan milik bersama masyarakat adat dan harus dipergunakan
untuk kepentingan masyarakat/anggotanya, dan tidak boleh sekedar dimiliki
akan tetapi dipergunakan sesuai dengan peruntukannya.

KETERPAUTAN LEMBAGA ‘RECHTSVERWERKING’ DENGAN SISITEM


PENDAFATARAN TANAH BERDASARKAN PP N0. 24 TAHUN 1997
Lembaga daluarsa (rechtsverwerking) sebagai salah satu cara mendapatkan
hak milik atas tanah, ketentuan daluarsa itu tidak ditentukan dalam batas waktu
yang pasti tetapi dalam jumlah waktu yang cukup lama berdasarkan penilaian
pendapat umum pada masyarakat yang bersangkutan, hal itu dapat dipahami
karena hukum adat bersifat tidak tertulis. Kelemahan itu lalu kemudian oleh
UUPA disempurnakan dengan diadakan ketentuan pendaftaran tanah.
Pendafataran tanah merupakan suatu upaya yang sangat penting karena
menyangkut segi hak keperdataan seseorang dan bukan sekedar tindakan
administrasi belaka. Pada saat dilakukan pendaftaraan tanah maka hubungan
pribadi antara seseorang (pemohon) dengan tanah diumumkan pada pihak
ketiga/masyarakat, sehingga pada saat itulah pihak ketiga/masyarakat umum
dianggap mengetahui adanya hubungan hukum antara pemohon dengan tanah
dan wajib menghormati hal tersebut.

114
Indonesia dengan UUPA-nya merupakan sistem negatif meskipun secara eksplisit
UUPA tidak menyebutkan seperti itu. Hal ini akan membawa konsekwensi bahwa,
sertifikat sebagai produk akhir dari proses pelaksanaan pendaftaran tanah bukan satu-
satunya alat bukti tetapi salah satu alat bukti yang sah menurut hukum. Kondisi ini
nampaknya memberi peluang pada orang yang merasa dirinya berhak untuk
mengajukan gugatan kepada orang yang namanya terdaftar dalam buku daftar tanah
(pemegang sertifikat) atas dasar bukti-bukti yang ada pada dirinya. Pendaftaran tanah
UUPA dan PP N0 10 tahun 1961 tidak mengandung sistem negatif murni, tetapi sistem
negatif yang bertendensi positif.
Sistem negatif bertendens positif artinya sebelum lima tahun terhitung terbitnya
sertipikat terhadap suatu bidang tanah masih memungkinkan bagi setiap orang yang
merasa berhak untuk menggugat ke Pengadilan menuntut haknya sepanjang yang
bersangkutan bisa membuktikan sebaliknya sesuai hukum pembuktian. Akan tetapi, jika
sudah berlangsung 5 tahun sejak terbitnya sertipikat secara sah atas nama orang atau
badan hukum yang memperoleh tanah tersebut dengan etikad baik dan secara nyata
menguasainya maka hak menuntut itu hilang (tidak berlaku) lagi maka pemegang hak
yang terdaftar pada sertipikat tidak dapat diganggu gugat dan mendapatkan
perlindungan sepenuhnya dari hukum.
Keberadaan lembaga “rechtswerking” dalam PP No 24 tahun 1997 digunakan
sebagai salah satu sarana pelengkap untuk melengkapi kelemahan sistem publikasi
negatif. Hal demikian mencerminkan bahwa hukum tanah nasional Indonesia masih
menganut jiwa dan semangat hukum adat yang secara terang-terangan disebutkan
bahwa sumber utama UUPA No. 5 tahun1960 adalah hukum adat.
Pernyataan tersebut di atas sama dengan bunyi ketentuan penjelasan umum III
angka (1) pasal 5 UUPA yang pada intinya menyatakan bahwa terbentuknya kesatuan
hukum adalah sesuai dengan keinginan rakyat sebagai bangsa yang satu dan sesuai pula
dengan kepentingan perekonomian. Oleh karenanya dengan sendirinya hukum agraria
baru itu harus sesuai dengan kesadaran hukum dari pada rakyat banyak. Sebab rakyat
Indonesia sebagian besar tunduk pada hukum adat, maka hukum agraria yang baru
tersebut akan didasarkan pula pada ketentuan-ketentuan hukum adat itu sebagai
hukum yang asli, yang disempurnahkan dan disesuaikan dengan kepentingan
masyarakat.
C. KESIMPULAN

Sistem publikasi yang digunakan dalam pendaftaran tanah di Indonesia


berdasarkan PP No. 24 tahun 1997 adalah sistem negatif bertendens
positif.
Pengertian sistem negatif bahwa keterangan-keterangan yang ada pada
sertifikat/ buku tanah jika tidak benar dapat diubah, oleh karena itu
sertipikat bukan satu-satunya alat bukti, dan kekuatan sertipikat bisa
dilumpuhkan oleh alat bukti lain sepanjang bisa dibuktikan sebaliknya di

115
persidangan..Hal itu hanya bisa dilakukan sebelum 5 tahun pasca
terbitnya sertipikat.
Sedangkan bertendensi positif berarti adanya peran aktif dari
pelaksanaan pendaftaran tanah untuk secara saksama mengadakan
penelitian terhadap riwayat bidang tanah. Sehingga untuk pendaftaran
tanah diperluakan pengumuman yang cukup lama (30 hari untuk
pendaftaran tanah secara sistematik dan 60 hari untuk pendaftaran tanah
secara sporadik, agar memberikan kesempatan kepada semua pihak yang
merasa berkepentingan untuk memberikan sanggahan. Hal ini ditempuh
untuk mencegah timbulnya kekeliruan dan mendapatkan keadaan yang
sesuai dengan yang sebenarnya.
Selain itu, pengertian bertendens positif juga terlihat secara
eksplisitdalam pasal 32 ayat 2 PP No. 24 tahun 1997 yaitu jika sudah
berlangsung 5 tahun sejak terbitnya sertipikat secara sah atas nama orang
atau badan hukum yang memperoleh tanah tersebut dengan etikad baik
maka pemegang sertipikat tidak dapat diganggu gugat. Ketentuan ini
adalah perwujudan diakomodirnya konsep lembaga “rechtsverwerking”
yang dikenal dalam hukum tanah adat.

116
BAB III

ANALISA
UUPA mengatur bahwa hukum tanah di Indonesia berlandaskan pada
hukum adat. Selanjutnya dalam UUPA khususnya Pasal 5 ditegaskan kembali
bahwa: “Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah
hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan
negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan Sosialisme Indonesia
serta peraturan-peraturan yang tercantum dalam undang-undang ini dan peraturan-
perundangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang
bersandar pada hukum agama”.
Salah satu lembaga yang ada dalam hukum adat dan diangkat dalam
hukum tanah nasional adalah rechtsverwerking yaitu lampaunya waktu
menyebabkan orang menjadi kehilangan haknya atas tanah yang semula
dimilikinya. Seperti yang telah diuraikan dalam tulisan sebelumnya, meskipun
juga menjelaskan tentang daluarsa, namun lembaga ini sangat bertolak belakang
dengan lembaga acquisitive verjaring. Lembaga acquisitive verjaring dikenal
dalam hukum tanah barat yang diatur dalam KUH Perdata yang berkaitan dengan
cara pemilikan hak kebendaan berdasarkan lampaunya waktu. Dengan berlakunya
UUPA maka acquisitive verjaring akhirnya juga tidak dapat diberlakukan.
Untuk lebih mendapat gambaran berlakunya rechtsverwerking, salah satu
rujukannya adalah Putusan Mahkamah Agung No. 979/K/Sip/1971. Pada kasus
tersebut MA memenangkan pihak tergugat yang telah sekian waktu (lebih dari 30
tahun) dengan itikad baik bertindak sebagai pemilik. Pihak pengugat tidak
dimenangkan karena berlandaskan pada hukum adat yaitu apabila seseorang
membiarkan tanah berada dalam keadaan tidak diusahakan maka bertentangan
dengan tujuan fungsi sosial atas tanah. Kasus di atas mengajarkan bahwa jika
seseorang menelantarkan tanahnya selama waktu tertentu dan tanah yang
ditelantarkan itu ditempati oleh orang lain dengan itikad baik, maka si pemilik
tanah bisa kehilangan hak atas tanahnya.
Dalam hal menguatkan lembaga rechtsverwerking, pengaturannya ada
pada pasal 32 (2) PP No. 24 Tahun 1997, yaitu:“Dalam hal atas suatu bidang
tanah sudah diterbitkan sertifikat secara sah atas nama orang atau badan hukum
yang memperoleh tanah tersebut dengan itikad baik dan secara nyata
menguasainya, maka pihak lain yang merasa mempunyai hak atas tanah itu tidak
dapat lagi menuntut pelaksanaan hak tersebut apabila dalam waktu 5 (lima) tahun
sejak diterbitkannya sertifikat itu tidak mengajukan keberatan secara tertulis
kepada pemegang sertifikat dan Kepala Kantor Pertanahan yang bersangkutan

117
ataupun tidak mengajukan gugatan ke Pengadilan mengenai penguasaan tanah
atau penerbitan sertifikat tersebut”.
Kelalaian pemilik tanah untuk memelihara dan memanfaatkan tanahnya
tidak sejalan dengan tujuan tanah sebagai karunia Tuhan YME, yang maka
keberadaan tanah diperuntukkan untuk membawa kesejahteraan masyarakat
Indonesia. Dengan demikian, maka PP No. 11 Tahun 2010 tentang Penertiban dan
Pendayagunaan Tanah Terlantar pada prinsipnya ditujukan untuk mengatur tanah
terlantar yang disinyalir masih banyak terjadi (lihat bagian penjelasan). Kondisi
penelantaran tanah ini telah dikuasai dan/atau dimiliki, baik yang sudah ada hak
atas tanahnya maupun yang baru berdasar perolehan tanah. Dengan demikian
maka kedudukan PP No. 11 Tahun 2010 berupaya untuk mewujudkan cita-cita
luhur kemakmuran rakyat melalui pemanfaatan hak atas tanah. Selain itu,
optimalisasi pengusahaan, penggunaan, dan pemanfaatan semua tanah di wilayah
Indonesia juga dirasakan penting untuk meningkatkan kualitas lingkungan hidup,
mengurangi kemiskinan dan menciptakan lapangan kerja, serta untuk
meningkatkan ketahanan pangan dan energi. Oleh sebab itu yang perlu dipahami
dari penjelasan di atas, pemilik hak atas tanah memiliki kewajiban untuk
menggunakan tanahnya sehingga tidak hanya sekedar untuk dikuasai dan/atau
dimiliki.

118
BAB IV

DAFTAR PUSTAKA
Achmad Sodiki dan Yanis Maladi.2009.Politik Hukum Agraria Cet. Pertama.
Yogyakarta: Mahkota Kata
Adrian Sutedi. 2011.Sertifikat Hak Atas Tanah Cet. Pertama. Jakarta: Sinar
Grafika
Bambang Triono.1978.Pengembanagan Pendaftaran Tanah (Kadaster) di
Indonesia. Jakarta: Yayasan Karya Darma IKIP Jakarta
Boedi Harsono. 1999.Hukum Agraria Nasional, Sejarah Pembentukan Undang-
Undang Pokok Agararia, Isi, dan Pelaksanaannya. Jakarta: Djambatan.
Iman Soetiknjo.Politik Agraria dan Pembangunan Negara, Pidato Pengukukhan
Jabatan Guru Besar dalam Politik Agraria pada Fakultas sosial dan Politik UGM,
19 Juni 1974, Jogjakarta, Seri Penerbitan Pidato Pengukuhan.
Iman Sudiyat. 1981.Hukum Adat Sketsa Asas. Yogyakarta: Liberty
Urip Santoso. 2005. Hukum Agraria dan Hak-Hak Atas Tanah. Jakarta: Pernada
Media
Abdulkadir, Muhammad. Hukum dan Penelitian. Cet 1. Bandung: Citra Aditya.
2004.
Adrian, Sutedi. Peralihan Hak Atas Tanah dan Pendaftarannya. Cet IV. Jakarta: Sinar
Grafika. 2010.
Abdurrahman. Kedudukan Hukum Adat Dalam Peraturan Perundang-Undangan
Agraria Indonesia. Jakarta: CV Radar Jaya Offset.1984.
Ali, Chaidir. Yurisprudensi Indonesia Tentang Hukum Agraria. Jakarta: Bina
Cipta.1985.
Effendi, Bactiar Pendaftaran Tanah Di Indonesia. Bandung Alumni. 1983
Hutagalung. S. Arif. Tebaran Pemikiran Seputar Masalah Hukum Tanah. Jakarta:
Lembaga Pemberdayaan Hukum Indonesia. 2005.
Hermanses,R. Pendaftaran Tanah Di Indonesia, Jakarta: Direktorat Jenderal
Agraria.1981
Kartasapoetra, G. Masalah Pertanahan Di Indonesia. Cet 2.Jakarta: Rineka Cipta .
Lubis, Yamin, M. dan Lubis, Rahim, Abdullah. Hukum Pendaftaran Tanah.
Jakarta:Mandar Madju.2010.

119
Majchoen, Sri, Soedewi. Hukum Perdata, Hukum Kebendaan. Yogyakarta:
Liberty.1975.
Muhammad, Bushar. Asas-asas Hukum Adat, Suatu Pengantar.Cet.XI.Jakarta:
PT.Pradnya Paramita. 2002. 102
Marzuki, Mahmud, Peter. Penelitian Hukum. Cet 2.Jakarta. Kencana. 2008.
Nurdewata, Fajar, Mukti. Penelitian Hukum Normatif dan Empiris.
Yogyakarta:Pustaka Pelajar.2010.
Nurus, Zaman. Politik Hukum Pengadaan Tanah Antara Kepentingan Umum
dan Perlindungan Hak Asasi Manusia. Bandung : Refika Aditama. 2016.
Parlindungan, A.P.Pendaftaran Tanah Di Indonesia. Cet. 1.Bandung: Kencana. 1999.
Pendaftaran Tanah di Indonesia (Berdasarkan Peraturan Perundang- undangan
No.24/1997). Bandung: Mandar Maju.1999.
Raharjo, Satjipto. Ilmu Hukum. Bandung: Citra Aditya Bakti. 2010.
Agustyarsyah, “Strategi Percepatan Pelaksanaan Pendaftaran Tanah Sistematis
Lengkap Kantor Pertanahan Kabupaten Bogor Tahun 2017, Prosiding Seminar
Nasional Percepatan Pendaftaran Tanah di Indonesia: Tantangan Pelaksanaan
PTSL dan Respon Solusinya, Yogyakarta: Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional,
2017.
Budhayati, Christina Tri, “Jaminan Kepastian Kepemilikan Bagi Pemegang Hak
Atas Tanah dalam Pendaftaran Tanah Menurut UUPA”, Refleksi Hukum: Jurnal
Ilmu Hukum, Vol. 2, No.2, (2018): 125-138.
Bur, Arifin & Desi Apriani, “Sertifikat Sebagai Alat Pembuktian yang Kuat dalam
Hubungannya dengan Sistem Publikasi Pendaftaran Tanah”, UIR Law Review,
Vol. 1, No. 2, (2017): 127-136.
Effendi, Bachtiar. Pendaftaran Tanah di Indonesia dan Peraturan-peraturan
Pelaksanaannya. Bandung: Alumni, 1983.
Hadisiswati, Indri, “Kepastian Hukum dan perlindungan hukum hak atas tanah”,
Jurnal Ahkam, Vo. 2, No.1, (2014): 118-147.
Harsono, Boedi, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-
Undang Pokok Agraria Isi dan Pelaksanaannya. Jakarta: Djambatan, 2003.
Hutagalung, Arie Sukanti, et al, Hukum Pertanahan di Belanda dan Indonesia.
Jakarta: Universitas Indonesia, 2012.

120
Ismail, Nurhasan, “Arah Politik Hukum Pertanahan dan Perlindungan
Kepemilikan Tanah Masyarakat”, Jurnal Rechtsvinding: Media Pembinaan
Hukum Nasional, Vol. 1, No. 1 (2012): 33-51.
Soekanto, Soerjono dkk. 2011. Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan
Singkat. Jakarta. PT. Raja Grafindo Persada
Florianus SP. Sangsun. 2007 Tata Cara Mengurus Sertipikat Tanah. Jakarta.
Visimedia.
Parlindungan, 1994. Pendaftaran Tanah Di Indonesia. Bandung. Mandar Madju,
Bandung
Perundang-Undangan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan
Dasar Pokok-pokok Agraria
Peraturan Pemerintah PP Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
Sutedi, Adrian. Peralihan Hak Atas Tanah dan Pendaftarannya, Jakarta: Sinar
Grafika, 2018 Sumardjono, Maria S.W. Tanah Dalam Perspektif Hak Ekonomi,
Sosial, dan Budaya, Jakarta : Kompas, 2008
Usman, Rachmadi. Pilihan Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan. Bandung :
PT. Citra Aditya Bakti, 2003
Arie S. Hutagalung. Penerapan Lembaga Rechtverwerking Untuk Mengatasi
Kelemahan Sistem Publikasi Negatif Dalam Pendaftaran Tanah (Suatu Kajian
Sosioyuridis), Jurnal Hukum dan Pembangunan. Universitas Indonesia. Oktober-
Desember, 2000.
Dono Doto Wasono, Kekuatan Hukum Surat Keterangan Penguasaan Tanah
(SKPT) Sebagai Bukti Hukum Penguasaan Atas Sebidang Tanah (Studi di Kota
Pontianak). Jurnal Nestor Magister Hukum Vol. 1 No. 1, Universitas
Tanjungpura, Pontianak, 2017.
Elyana. Peranan Pengadilan Dalam Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor
24 Tahun 1997. Makalah dalam Seminar Kebijakan Baru di Bidang Pertanahan,
Dampak dan Peluang Bisnis Properti dan Perbankan, 1997.
Firtoh Oelem. Jaminan Kepastian Hukum Hak Atas Tanah Dalam Sistim
Pendaftaran Tanah Negatif Bertendensi Positif. Universitas Brawijaya, Malang,
2015.
Irene Eka Sihombing. Lembaga Rechtverwerking dalam Mengatasi Sengketa
Tanah. Jurnal Prioritis, Volume 2 Nomor 1, September 2008.

121
Nurhasan Ismail. Rechtsverwerking dan Pengadopsiannya Dalam Hukum Tanah
Nasional. Mimbar Hukum Volume 19 Nomor 2 Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta, Juni 2007.Dewi,

122

Anda mungkin juga menyukai