Anda di halaman 1dari 18

Melalui peresmian UU No 5 tahun 1960, terdapat dasar hukum kuat yang mengatur

tentang hal-hal pemanfaatan tanah. Hak-hak atas tanah yang diatur pada UU No 5
meliputi hak milik tanah, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak sewa,
hak pembukaan tanah, dan hak memungut hasil hutan.

Melalui aturan hak pemanfaatan tanah tersebut, seluruh tanah yang dimanfaatkan
wajib memiliki sertifikat sebagai bukti sah pemanfaatannya. Dalam proses
pendaftaran pemanfaatan atas tanah, secara umum harus melalui tiga proses.
Proses tersebut meliputi pengukuran dan pembukuan tanah, pendaftaran hak-hak,
dan pemberian bukti hak yang biasanya berbentuk sertifikat sebagai bukti sah.
Seluruh proses pengurusan pemanfaatan tanah sebagian besar dilakukan terpusat di
Badan Pertanahan Nasional (BPN).

Secara spesifik hak-hak atas tanah pada pasa 16 UU No 5 tahun 1960 meliputi :

A. hak milik,
B. hak guna-usaha,
C. hak guna-bangunan,
D. hak pakai,
E. hak sewa,
F. hak membuka tanah, dan hak memungut-hasil hutan,

A. Hak milik

Prof. Boedi Harsono dalam bukunya yang berjudul Hukum Agraria Indonesia
menjelaskan bahwa hak milik adalah hak yang turun-temurun, terkuat dan terpenuh
yang dapat dipunyai orang atas tanah dan memberikan kewenangan untuk
menggunakannya bagi segala macam keperluan selama waktu yang tidak terbatas,
sepanjang tidak ada larangan khusus untuk itu. Serta lebih jelasnya mengenai hak
milik ini telah diatur didalam UU No5 tahun 1960 Mengenai peraturan dasar pokok-
pokok agraria lebih tepatnya terdapat di dalam pasal 20-27 yang menjelaskan bahwa
pada dasarnya hak milik atas tanah ini adalah hak yang turun-temurun Kata-kata
turun–temurun berarti bahwa hak milik atas tanah tidak hanya berlangsung selama
hidup pemegang hak, akan tetapi apabila terjadi peristiwa hukum yaitu dengan
meninggalnya pemegang hak dapat dilanjutkan oleh ahli warisnya.

Pewarisan adalah tindakan pemindahan hak milik atas benda dari seseorang yang
telah meninggal dunia kepada orang lain yang ditunjuknya dan/atau ditunjuk
pengadilan sebagai ahli waris. Setelah berlakunya PP No. 24 Tahun 1997, maka
keterangan mengenai kewajiban mendaftarkan peralihan hak milik atas tanah karena
pewarisan diatur dalam Pasal 36 PP No. 24 Tahun 1997 dinyatakan bahwa :

a. Pemeliharaan data pendaftaran tanah dilakukan apabila terjadi perubahan


pada data fisik atau data yuridis obyek pendaftaran tanah yang telah
terdaftar.
b. Pemegang hak yang bersangkutan wajib mendaftarkan perubahan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Kantor Pertanahan.

selain itu juga hak milik ini juga dapa dialihkan yang artinya menunjuk pada
berpindahnya hak atas tanah melalui perbuatan hukum yang dilakukan pemiliknya,
misalnya melalui jual beli. Dalam KUHPerdata Pasal 1457, 1458 dan 1459
menyatakan bahwa jual beli tanah adalah suatu perjanjian dimana satu pihak
mengikatkan dirinya untuk menyerahkan tanah dan pihak lainnya untuk membayar
harga yang telah ditentukan. Pada saat kedua belah pihak telah mencapai kata
sepakat, maka jual beli dianggap telah terjadi, walaupun tanah belum diserahkan
dan harga belum dibayar. Akan tetapi, walaupun jual beli tersebut dianggap telah
terjadi, namun hak atas tanah belum beralih kepada pihak pembeli. Agar hak atas
tanah beralih dari pihak penjual kepada pihak pembeli, maka masih diperlukan suatu
perbuatan hukum lain, yaitu berupa penyerahan yuridis (balik nama). Penyerahan
yuridis (balik nama) ini bertujuan untuk mengukuhkan hak-hak si pembeli sebagai
pemilik tanah yang baru.

Dijelaskan juga bahwa bahwa hanya seorang warga negara indonesia lah yang bisa
memiliki hak atas tanah dan atas dasar itulah warga negara asing tidak boleh miliki
hak atas tanah yang ada di indonesia dan juga Oleh Pemerintah ditetapkan badan-
badan hukum yang dapat mempunyai hak milik dan syarat-syaratnya. Di sebutkan
pada PP No38 TAHUN 1963 tentang penunjukan badan-badan hukum yang dapat
mempunyai hak milik atas tanah yaitu terdapat pada pasal satu Badan-badan hukum
yang disebut dibawah ini dapat mempunyai hak milik atas tanah, diantaranya :

1. Bank-bank yang didirikan oleh Negara (selanjutnya disebut Bank Negara);


2. Perkumpulan-perkumpulan Koperasi Pertanian yang didirikan berdasar atas
Undang-undang No. 79 tahun 1958 (Lembaran- Negara tahun 1958 No. 139);
3. Badan-badan keagamaan, yang ditunjuk oleh Menteri Pertanian/Agraria,
setelah mendengar Menteri Agama;
4. Badan-badan sosial, yang ditunjuk oleh Menteri Pertanian/ Agraria, setelah
mendengar Menteri Kesejahteraan Sosial.

mengenai warga negara asing yang tidak boleh memiliki hak milik atas tanah di
Indonesia dikatakan dalam UU No 5 tahun 1960 menjelaskan bahwa salnya "Orang
asing yang sesudah berlakunya undang-undang ini memperoleh hak milik karena
pewarisan tanpa waktu atau percampuran harta karena perkawinan, demikian pula
warga negara Indonesia yang mempunyai hak milik dan setelah berlakunya undang
undang ini kehilangan kewarganegaraanya, wajib melepaskan hak itu dalam jangka
waktu satu tahun sejak diperolehnya hak tersebut atau hilangnya kewarganegaraan
itu. Jika sesudah jangka waktu tersebut lampau hak milik itu dilepaskan, maka hak
tersebut hapus karena hukum dan tanahnya jatuh pada Negara, dengan ketentuan
bahwa hak-hak pihak lain yang membebaninya tetap berlangsung.

Terjadinya hak milik atas tanah ada beberapa salah satunya juga terjadi dengan
jalan pembukaan tanah (pembukaan hutan) atau terjadi karena timbulnya lidah
tanah (Aanslibing).Yang dimaksud dengan pembukaan tanah adalah pembukaan
tanah (pembukaan hutan) yang dilakukan secara bersama-sama dengan masyarakat
Hukum Adat yang dipimpin oleh ketua adat melalui tiga system penggarapan, yaitu
matok sirah matok galeng, matok sirah gilir galeng, dan system bluburan.

Hak Milik atas tanah yang terjadi disini dapat didaftarkan pada Kantor Pertanahan
Kabupaten/Kota setempat untuk mendapatkan Sertipikat Hak Milik atas tanah.Hak
Milik atas tanah yang terjadi menurut Hukum Adat akan diatur dengan peraturan
pemerintah. Peraturan pemerintah yang diperintahkan disini sampai sekarang belum
terbentuk. Dan juga terjadi nya hak milik itu terjadi karena penetapan pemerintah
Hak Milik atas tanah terjadi karena penetapan pemerintah.Hak Milik atas tanah yang
terjadi di sini semula berasal dari tanah Negara. Hak Milik atas tanah ini terjadi
karena permohonan pemberian Hak Milik atas tanah oleh pemohon dengan
memenuhi prosedur dan persyaratan yang telah ditentukan oleh Badan Pertanahan
Nasional Republik Indonesia (BPNRI). Apabila semua persyaratan yang telah
ditentukan dipenuhi oleh pemohon, maka Kepala Badan Pertanahan Nasional
Republik Indonesia atau pejabat dari Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia
yang diberi pelimpahan kewenangan menerbitkan Surat Keputusan Pemberian Hak
(SKPH). SKPH ini wajib didaftarkan oleh pemohon kepada Kepala Kantor Pertanahan
Kabupaten/Kota setempat untuk dicatat dalam Buku Tanah dan diterbitkan
Sertipikat Hak Milik sebagai tanda bukti hak. Pendaftaran SKPH menandai lahirnya
Hak Milik atas tanah.

Pejabat Badan Pertanahan Nasional yang berwenang menerbitkan SKPH diatur


dalam Pasal 3 dan Pasal 7 Permen Agraria/Kepala BPN No.3 Tahun 1999 tentang
Pelimpahan Kewenangan Pemberian dan Pembatalan Keputusan Pemberian Hak
Atas Tanah Negara. Permen Agraria/Kepala BPN No.3 Tahun 1999 dinyatakan tidak
berlaku lagi oleh Peraturan Kepala Badan PertanahanNasional No.1 Tahun 2011
tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian Hak Atas Tanah dan Kegiatan
Pendaftaran Tanah Tertentu.

Selain itu juga Hak Milik atas tanah ini terjadi karena undang-undanglah yang
menciptakannya, sebagaimana yang diatur dalam Pasal I, Pasal II, dan Pasal IV ayat
(1) Ketentuan-ketentuan Konversi UUPA.Terjadinya Hak Milik atas tanah ini atas
dasar ketentuan-ketentuan konversi (perubahan) menurut UUPA. Sejak berlakunya
UUPA pada tanggal 24 september 1960, semua ha katas tanah yang ada harus
diubah menjadi salah satu ha katas tanah yang diatur dalam UUPA.Yang dimaksud
dengan konversi adalah perubahan hak atas tanah sehubungan dengan berlakunya
UUPA. Hak-hak atas tanah yang ada sebelum berlakunya UUPA diubah menjadi hak-
hak atas tanah atas yang ditetapkan dalam UUPA diubah menjadi hak-hak atas tanah
yang ditetapkan dalam UUPA (Pasal 16 UUPA). Konversi adalah perubahan status ha
katas tanah dari hak atas tanah menurut hokum yang lama sebelum berlakunya
UUPA menjadi hak atas tanah menurut UUPA.

Hak milik atas tanah juga dapat dihapuskan apabila tanahnya jatuh kepada negara
UUPA mendasarkan diri pada sifat khakikat kodrat manusia sebagai individu dan
mahkluk sosial seperti dimaksud oleh sila kedua pancasila, karena itu di samping hak
kolektif, yaitu hak menguasai dari negara yang merupakan hak yang tertinggi yang
meliputi seluruh bumi air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya, dikenal juga hak-hak perorangan (privat) atas tanah seperti tersebut
dalam pasal 16 UUPA.6Sesuai dengan uraian tersebut maka dapat dipahami
hapusnya hak milik atas tanah dapat terjadi karena tanah tersebut diperlukan untuk
pembangunan bagi kepentingan umum.Pelaksanannya tentu dilakukan dengan
memberikan ganti kerugian yang layak sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku. Adanya pengaturan mengenai hapusnya hak milik atas
tanah, menunjukkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria, telah menjadi landasan hukum bagi pemerintah untuk
mengatur penggunaan atas tanah.

Selain itu juga hak milik dapat dihapus karena tanah yang dimiliki itu telah musnah
menurut peraturan menteri dan tata ruang/kepala Badan pertanian nasional No. 17
tahun 2021 pasal 2 poin 2 Tanah musnah sebagaimana dimaksud meliputi Bidang
Tanah yang:

a. sudah berubah dari bentuk asalnya karena peristiwa alam;


b. tidak dapat diidentifikasi lagi; dan
c. tidak dapat difungsikan,digunakan, dan dimanfaatkan sebagaimana mestinya.

B. Hak guna-usaha

Hak Guna Usaha, atau HGU dalam pasal 28 UUPA adalah hak untuk mengusahakan
tanah yang dikuasai oleh Negara, dalam jangka waktu sebagaimana dalam pasal 29,
guna perusahaan, pertanian, perikanan atau peternakan. Dengan kata lain, HGU
terikat oleh jangka waktu tertentu. Menurut pasal 29 pada undang-undang yang
sama HGU diberikan waktu paling lama 25 tahun atau untuk perusahaan tertentu
dapat diberikan HGU untuk waktu paling lama 35 tahun. Luas tanah HGU adalah
untuk perseorangan luas minimalnya 5 hektar dan maksimalnya 25 hektar.
Sedangkan untuk badan hukum, luas minimalnya 5 hektar dam maksimalnya
ditetapkan oleh kepala Badan Pertanahan Nasional (Pasal 28 ayat (2) UUPA . Pasal 5
PP No. 40 Tahun 1996).

Pemberian hak atas tanah berkaitan dengan subjek dan objek serta proses yang
terjadi dalam pemberian hak tersebut, termasuk pula pemberian HGU. Menyangkut
subjek HGU diatur dalam Pasal 2 PP 40 Tahun 1996, dinyatakan bahwa yang dapat
mempunyai Hak Guna Usaha adalah.

a. Warga Negara Indonesia


b. Badan Hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di
Indonesia.

Orang atau badan hukum yang mempunyai hak guna-usaha dan tidak lagi memenuhi
syarat-syarat dalam jangka waktu satu tahun wajib melepaskan atau mengalihkan
hak itu kepada pihak lain yang memenuhi syarat. Ketentuan ini berlaku juga
terhadap pihak yang memperoleh hak guna-usaha, jika ia tidak memenuhi syarat
tersebut. Jika hak guna-usaha, yang bersangkutan tidak dilepaskan atau dialihkan
dalam jangka waktu tersebut maka hak itu hapus karena hukum, dengan ketentuan
bahwa hak-hak pihak lain akan diindahkan, menurut ketentuan-ketentuan yang
ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

Menyangkut tanah yang dapat diberikan dengan hak guna usaha yang telahdiatur
dalam Pasal 4 PP Nomor 40 Tahun 1996 sebagai berikut:

a. Tanah yang dapat diberikan hak guna usaha adalah tanah Negara.
b. Dalam hal tanah yang akan diberikan HGU itu adalah tanah Negara yang
merupakan kawasan hutan, maka pemberian HGU dapat dilakukan setelah
tanah yang bersangkutan dikeluarkan statusnya sebagaikawasan hutan.
c. Pemberian HGU atas tanah yang telah dikuasai dengan hak tertentu sesuai
ketentuan yang berlaku, pelaksanaanya baru dapat dilaksanakan setelah
selesainya pelepasan hak tersebut.
d. Dalam hal diatas tanah yang akan diberikan dengan HGU itu terdapat
tanaman atau bangunan milik pihak lain yang keberadaanya berdasarkan atas
hak yang sah, pemilik bangunan dan tanaman tersebut harus diberi ganti rugi
yang dibebankan kepada pemegang HGU baru.

Terjadinya hak guna-usaha adalah karena adanya Konversi Yang dimaksudkan


dengan konversi adalah perubahan hak atas tanah sehubungan dengan berlakunya
UUPA. Hak-hak atas tanah yang ada sebelum berlakunya UUPA diubah menjadi hak-
hak atas tanah yang ditetapkan dalam UUPA, (Pasal 16 UUPA) dan juga Karena
Penetapan Pemerintah Hak Guna Usaha terjadi dengan penetapan pemerintah. HGU
ini terjadi melalui permohonan pemberian HGU oleh pemohon kepada Badan
Pertanahan Nasional. Apabila semua persyaratan tersebut terpenuhi, maka BPN
menerbitkan Surat Keputusan Pemberian Hak (SKPH) dan wajib didaftarkan ke
Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat untuk dicatat dalam Buku Tanah dan
diterbitkan sertifikat sebagai tanda bukti haknya.

Kewajiban Pemegang Hak Guna Usaha Sesuai dengan ketentuan Pasal 12 PP Nomor
40 Tahun 1996 bahwa pemegang hak berkewajiban:

a. Membayar uang pemasukan kepada Negara


b. Melaksanakan usaha pertanian, perkebunan,perikanan, dan atau
c. peternakan sesuai peruntukan dan persyaratan sebagaimana
ditetapkandalam keputusan pemberian hak
d. Mengusahakan sendiri tanah hak guna usaha dengan baik
e. Membangun dan memelihara prasarana lingkungan dan fasilitas tanah yang
ada dalam lingkungan areal HGU
f. Memelihara kesuburan tanah, mencegah kerusakan SDA dam menjaga
kelestarian lingkungan
g. Menyampaikan laporan tertulis setiap ahir tahun mengenai penggunaan HGU
h. Menyerahkan kembali tanah yang diberikan dengan HGU kepada Negara
setelah HGU tersebut hapus
i. Menyerahkan sertifikat HGU yang telah hapus kepada kepala kantor
pertanahan

Hapusnya Hak Guna Usaha Sebagaimana yang terdapat pada hak milik sebagai hak
primer utama tetap mempunyai batas waktu atau hapus. Hal ini juga berlaku pada
Hak Gunal/saha. Sesuai ketentuan yang berlaku dalam Pasal 34 UUPA Tahun 1960
dinyatakan bahwa hak guna usaha hapus karena.:

a. Jangka waktunya berakhir


b. Dihentikan sebelum jangka waktunya berakhir karena sesuai syarat tidak
dipenuhi
c. Dilepaskan oleh pemegang haknya sebelum jangka waktu berakhir
d. Dicabut untuk kepentingan umum
e. Ditelantarkan
f. Tanahnya musnah
g. Ketentuan dalam pasal 30 ayat (2)

C. Hak guna bangunan

Hak guna-bangunan adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-


bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri, dengan jangka waktu paling lama
30 tahun. Dan atas permintaan pemegang hak dan dengan mengingat keperluan
serta keadaan bangunan-bangunannya, jangka waktu tersebut dapat diperpanjang
dengan waktu paling lama 20 tahun. Penggunaan Hak Guna Bangunan juga diatur
dalam Peraturan Pemerintah (PP) no. 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak
Guna Bangunan, dan Hak Pakai atas Tanah. Pada pasal 32 dinyatakan bahwa
pemegang HGB berhak untuk menguasai dan mempergunakan tanah yang diberikan
dengan HGB, selama jangka waktu tertentu untuk mendirikan dan mempunyai
bangunan untuk keperluan pribadi atau usahanya, serta untuk mengalihkan hak
tersebut kepada pihak lain dan membebaninya. Permohonan perpanjangan jangka
waktu atau pembaharuan hak guna bangunan ini diajukan selambat-lambatnya dua
tahun. sebelum berakhirnya jangka waktu Hak Guna Bangunan tersebut atau
perpanjangannya. Perpanjangan jangka waktu atau pembaharuan Hak Guna
Bangunan dicatat dalam Buku Tanah pada Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota
Setempat.

Menurut PP No 40 tahun 1996 Yang dapat menjadi pemegang Hak Guna Bangunan
adalah :

a. Warga Negara Indonesia;


b. Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di
Indonesia.

Pemegang Hak Guna Bangunan yang tidak lagi memenuhi syarat maka dalam jangka
waktu satu tahun wajib melepaskan atau mengalihkan hak atas tanah tersebut
kepada pihak lain yang memenuhi syarat. Ketentuan ini berlaku juga terhadap pihak
yang memperoleh hak guna-bangunan, jika ia tidak memenuhi syarat-syarat
tersebut. Jika hak gunabangunan yang bersangkutan tidak dilepaskan atau dialihkan
dalam jangka waktu tersebut, maka hak itu hapus karena hukum, dengan ketentuan,
bahwa hak-hak pihak lain akan diindahkan, menurut ketentuan-ketentuan yang
ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

Terjadinya Hak Guna Bangunan berdasarkan asal tanahnya terbagi menjadi tiga yaitu
hak guna Bangunan atas tanah negara, hak guna bangunan atas tanah hak
pengelolaan dan Hak Guna Bangunan atas tanah hak milik.

a. Hak Guna Bangunan Atas Tanah Negara, Hak Guna Bangunan atas tanah
negara terjadi dengan keputusan pemberian hak yang diterbitkan oleh Badan
Pertanahian Nasional. Hak Guna Bangunan ini terjadi sejak keputusan
pemberian Hak Guna Bangunan tersebut di daftarkan oleh pemohon kepada
Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat unutk dicatat dalam buku
tanah dan sebagai tanda bukti haknya diterbitkan sertipikat.
b. Hak Guna Bangunan Atas Tanah Hak Pengelolaan , Hak Guna Bangunan atas
tanah hak pengelolaan terjadi dengan keputusan pemberian hak atas usul
pemegang hak pengelolaan, yang diterbitkan oleh Badan Pertanahan
Nasional. Hak Guna Bangunan ini terjadi sejak keputusan pemberian Hak
Guna Bangunan tersebut didaftarkan oleh pemohon kepada Kantor
Pertanahan Kabupaten/Kota setempat unutk dicatat dalam buku tanah dan
sebagai tanda bukti haknya diterbitkan sertipikat.
c. Hak Guna Bangunan Atas Tanah Hak Milik, Hak Guna Bangunan atas tanah
Hak Milik, terjadi dengan pemberian oleh pemegang Hak Milik dengan akta
yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Akta PPAT ini wajib
didaftarkan kepada Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat
untuk dicatat dalam Buku Tanah.

Hak Guna Bangunan dapat juga dapat dialihkan haknya kepada pihak lain. Bentuk-
bentuk pengalihan tersebut dapat berupa jual beli, penukaran, penyertaan modal,
penghibahan, dan pewarisan. Pengalihan tersebut dibuktikan dengan akta PPAT dan
dengan catatan bahwa Peralihan tersebut harus didaftarkan di kantor pertanahan
agar peralihan tersebut sah.

Dalam Peralihan Hak Guna bangunan ada ketentuan khusus, yaitu peralihan Hak
Guna Bangunan atas tanah Hak Pengelolaan harus dengan persetujuan tertulis
terlebih dahulu dari pemegang hak Pengelolaan. Demikian pula dengan Hak Guna
Bangunan atas tanah milik harus dengan persetujuan tertulis terlebih dahulu dari
pemilik tanah yang bersangkutan.

Selain itu Ada sejumlah kewajiban pemegang hak guna bangunan di antaranya:

1. Membayar uang pemasukan yang jumlah dan cara pembayarannya


ditetapkan dalam keputusan pemberian haknya:
2. Menggunakan tanah sesuai dengan peruntukannnya danpersyaratan
sebagaimana ditetapkan dalam keputusan dan perjanjian pemberiannya;
3. Memelihara dengan baik tanah dan bangunan yang ada di atasnya serta
menjaga kelestarian lingkungan hidup:
4. Menyerahkan kembali tanah yang diberikan dengan hak guna bangunan
kepada negara, pemegang hak pengelolaan, atau pemegan hak milik sesudah
hak guna bangunan itu dihapus;
5. Menyerahkan sertipikat hak guna bangunan yang telah hapus kepada Kepala
kantor Pertanahan:
6. Memberikan jalan keluar atau jalan air atau kemudahan lain bagi pekarangan
atau bidang tanah yang terkurung oleh tanah Hak Guna Bangunan tersebut.

Hak Guna Bangunan juga dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani hak
tanggungan. Ada tiga prosedur hak tanggungan atas hak guna bangunan yaitu:

1. Adanya Perjanjian utang piutang yang dibuat dengan akta notarial atau akta
di bawah tangan sbeagai perjanjian pokoknya;
2. Adanya penyerahan Hak Guna Bangunan sebagai jaminan utang yang
dibuktikan dengan akta pemberian Hak Tanggungan oleh Pejabat Pembuat
Akta Tanah (PPAT) sebagai perjanjian ikutan;
3. Adanya pendaftaran akta Pemberian hak Tanggungan kepada Kepala Kantor
Pertanahan Kabupaten/Kota setempat untuk dicatat dalam Buku Tanah dan
diterbitkan sertipikat HakTanggungan.
Terdapat beberapa alasan sehingga HGB yang diberikan kepada pemegang HGB
dapat dihapuskan, yaitu:

1. Berakhirnya jangka waktu sebagaimana ditetapkan dalam keputusan


pemberian atau perpanjangannya atau dalam perjanjian pemberiannya;
2. Dibatalkan oleh pejabat yang berwenang, pemegang Hak Pengelolaan atau
pemegang Hak Milik sebelum jangka waktunya berakhir, karena:
a. Tidak dipenuhinya kewajiban-kewajiban pemegang hak dan/atau
dilanggarnya ketentuanketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30,
Pasal 31 dan Pasal 32; atau
b. Tidak dipenuhinya syarat-syarat atau kewajiban-kewajiban yang tertuang
dalam perjanjian pemberian Hak Guna Bangunan antara pemegang Hak
Guna Bangunan dan pemegang Hak Milik atau perjanjian penggunaan
tanah Hak Pengelolaan; atau
c. Putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap;

3. Dilepaskan secara sukarela oleh pemegang haknya sebelum jangka waktu


berakhir;
4. Dicabut berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961;
5. Ditelantarkan;
6. Tanahnya musnah;
7. Apabila dalam jangka waktu ditentukan HGB-nya diwajibkan untuk diahlikan
atau dilepaskan karena sudah tidak memenuhi persyaratan yang diatur dalam
peraturan perundang-undangan sedangkan diketahui hak tersebut
seharusnya dilepaskan atau diahlikan, maka apabila HGB tersebut tidak
dialihkan atau dilepaskan, hak tersebut hapus karena hukum.

D. Hak pakai

Hak pakai adalah hak untuk menggunakan dan/atau memungut hasil dari tanah yang
dikuasai langsung oleh Negara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang
dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang
berwenang memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang
bukan perjanjian sewa-menyewa atau perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu
asal tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuanketentuan Undang-undang ini.
Pemberian Hak Pakai atas tanah terhadap pemegang Hak Pakai tidak sama dengan
pemberian hak atas tanah bagi Hak Guna Usaha dan Hak Guna Bangunan. Pemberian
Hak Pakai atas tanah memiliki ciri tersendiri yang tidak akan dijumpai pada hak-hak
selain Hak Pakai tersebut. Hal ini sesuai Pasal 39 Peraturan Pemerintah Nomor 40
Tahun 1996 diatur mengenai subjek yang dapat mempunyai Hak Pakai atas tanah
yaitu:

a. Warga Negara Indonesia.


b. Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di
Indonesia.
c. Departemen, Lembaga Pemerintah non-Departemen dan Pemerintah
Daerah.
d. Badan-badan keagamaan dan sosial.
e. Orang-orang asing yang berkedudukan di Indonesia.
f. Badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia.
g. Perwakilan negara asing dan perwakilan badan Internasional.

Sejalan dengan pemberian kepada orang atau badan hukum yang dapat menguasai
tanah dengan Hak Pakai, adalah apabila pemegang Hak Pakai tidak lagi memenuhi
syarat sebagaimana diatur dala Pasal 39 ayat 1 di atas, wajib dalam satu tahun
pemegang hak melepaskan atau mengalihkan hak itu pada pihak lain yang
memenuhi syarat Pasal 40 (ayat 1). Oleh karena itu, apabila satu tahun Hak Pakai itu
tidak dilepaskan atau dialihkan, hak tersebut hapus karena hukum dengan ketentuan
hak-hak pihak lain yang terkait di atas tanah tersebut tetap diperhatikan (Pasal 48
ayat 2).

Jangka waktu yang terdapat pada Hak Pakai atas tanah, baik yang dikuasai oleh
pemegang Hak Pakai yang terjadi atas tanah negara atau Hak Milik berbeda dengan
jangka waktu pada Hak Guna Usaha dan Hak Guna Bangunan. Dalam Pasal 45
Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 dinyatakan bahwa Hak Pakai diberikan
untuk waktu paling lama dua puluh tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka
waktu paling lama dua puluh tahun atau diberikan untuk jangka waktu yang tidak
ditentukan selama tanahnya dipergunakan untuk keperluan tertentu. sesudah jangka
waktu pakai atau perpanjangannya habis, kepada pemegang hak dapat diberikan
pembaruan Haka Pakai atas tanah yang sama (ayat 1 dan 2).

Salah satu yang mendapat perhatian serius dari pemberian Hak Pakai atas tanah
adalah terpenuhi kewajiban yang harus dilaksanakan oleh pemegang Hak Pakai atas
tanah yang diberikan kepadanya. Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 50
Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 dinyatakan bahwa pemegang Hak
Pakai berkewajiban:

a. Membayar uang pemasukan yang jumlah dan cara pembayarannya


ditetapkan dalam keputusan pemberian haknya, perjanjian penggunaan
tanah Hak Pengolaan atas tanah dalam perjanjian pemberian Hak Pakai.
b. Menggunakan tanah sesuai dengan peruntukannya dan persyaratan
sebagaiman ditetapkan dalam keputusan pemberiannya, atau perjanjian
penggunaan tanah Hak Pengelolaan atau perjanjian Hak Pakai atas tanah Hak
Milik;
c. Memelihara dengan baik tanah dan bangunan yang ada di atasnya serta
menjaga kelestarian lingkungan hidup.
d. Menyerahkan kembali tanah yang diberikan dengan Hak Pakai kepada
negara, pemegang Hak Pengelolaan atau Pemegang Hak Milik sesudah Hak
Pakai tesebut hapus.
e. Menyerahkan sertifikat Hak Pakai yang telah hapus kepada Kepala Kantor
Pertanahan.

Dalam hal pengaturan mengenai peralihan Hak Pakai yang diberikan atas tanah
negara untuk jangka waktu tertentu dan Hak Pakai Pengelolaan dapat beralih dan
dialihkan apabila hak tersebut dimungkinkan dalam perjanjian Hak Pakai tanah Hak
Milik yang bersangkutan. Sehubungan dengan peralihan Hak Pakai tersebut, dalam
Pasal 54 ayat (3) dinyatakan bahwa: peralihan Hak Pakai terjadi karena:

a) jualbeli
b) tukar-menukar
c) penyertaan modal
d) hibah
e) pewarisan.

Oleh karena itu, peralihan Hak Pakai wajib didaftarkan pada Kantor Pertahanan,
sedangkan peralihan Hak Pakai karena jual-beli kecuali jualbeli lelang, tukar
menukar, penyertaan modal, dan hibah harus dilakukan dengan akta yang dibuat
oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah Pasal 54 ayat (4) dan (5)

Hak Pakai juga dapat hapus karena:

a) berakhirnya jangka waktu sebagaimana ditetapkan dalam keputusan


pemberian atau perpanjangannya atau dalam perjanjian pemberiannya;
b) dibatalkan oleh pejabat yang berwenang, pemegang Hak Pengelolaan atau
pemegang Hak Milik sebelum jangka waktunya berakhir karena:
1) tidak dipenuhinya kewajiban-kewajiban pemegang hak dan/atau
dilanggarnya ketentuan-ketentuan sebagaiman dimaksud Pasal 50, Pasal
51, dan Pasal 52; atau
2) tidak dipenuhi syarat-syarat atau kewajiban-kewajiban yang terutang
dalam perjanjian pemberian Hak Pakai antara pemegang Hak Pakai dan
pemegang Hak Milik atau perjanjian penggunaan Hak Pengelolaan; atau
3) putusan pengadilan yang telah mempunyai ketentuan hukum tetap.
c) Dilepaskan secara sukarela oleh pemegang haknya sebelum jangka waktu
berakhir;
d) dicabut berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961;
e) ditelantarkan;
f) tanahnya musnah

E. Hak sewa
Dalam Undang-Undang nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria (UUPA) diatur hak atas tanah dengan peruntukan yang bersifat sementara
yaitu hak sewa untuk bangunan. Ada pun yang dimaksud dengan hak sewa untuk
bangunan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 44 ayat (1) UUPA yaitu "Seseorang
atau suatu badan hukum mempunyai hak sewa atas tanah, apabila ia berhak
mempergunakan tanag milik orang lain untuk keperluan bangunan dengan
membayar kepada pemiliknya sejumlah uang sebagai sewa."

Menurut Urip Santoso hak sewa untuk bangunan adalali hak yang dimiliki seseorang
atau badan hukum untuk mendirikan dan mempunyai bangunan di atas tanah Hak
Milik orang lain dengan membayar sejumlah uang sewa tertentu dan dalam jangka
waktu tertentu yang disepakati oleh pemilik tanah dengan pemegang hak sewa
untuk bangunan.

Kewajiban Membayar Sewa Bangunan pembayaran uang sewa tersebut dapat


dilakukan satu kali atau tiap waktu-waktu tertentu atau sebelum atau sesudah
tanahnya dipergunakan. Namun demikian perlu ditegaskan bahwa perjanjian sewa
tanah ini tidak boleh disertai dengan unsur-unsur pemerasan. Apabila melihat Pasal
368 ayat (1) KUHP maka unsur unsur pemerasan (Afpersing) tersebut dapat berupa
menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, memaksa
seseorang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk memberikan sesuatu
barang atau supaya membuat utang atau menghapus piutang.

Pemegang Hak Sewa selanjutnya ada pun yang dapat menjadi pemegang hak sewa
ialah:

a. warga negara Indonesia;


b. orang asing yang berkedudukan di Indonesia;
c. badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di
Indonesia;
d. badan hukum asing yang mempunya perwakilan di Indonesia.
Hak sewa bangunan pada dasarnya merupakan semacam hak pakai yang bersifat
khusus. Hak sewa tersebut hanya boleh diadakan untuk mendirikan bangunan.
Tanah untuk pertanian tidak boleh disewakan karena bertentangan dengan Pasal 10
ayat (1) UUPA yang menegaskan bawha berdasarkan prinsip land reform telah
mewajibkan seorang pemilik tanah pertanian untuk mengerjakannya sendiri. Selain
tanah pertanian, Tanah yang dikuasai oleh negara pun tidak dapat disewakan
berdasarkan ketentuan Pasal 44 ayat (1) UUPA karena negara bukan pemilik tanah.

Hak sewa untuk bangunan terjadi dengan perjanjian persewaan tanah yang tertulis
antara pemilik tanah dengan pemegang hak sewa untuk bangunan. Untuk menjamin
kekuatan hukum perjanjian tersebut dapat dibuat akta dari PPAT dan didaftarkan
kepada Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat.

Pemegang lak sewa untuk bangunan tidak diperbolehkan mengalihkan hak sewa
kepada pihak lain tanpa izin dari pemilik tanah. Pelanggaran terhadap larangan ini
dapat berakibat terputusnya hubungan sewa menyewa antara pemegang hak sewa
untuk bangunan dengan pemilik tanah.
Hapus nya hak sewa terjadi Jika si penyewa sampai berbuat apa yang
dilarang, maka pihak yang menyewakan dapat meminta
pembatalan perjanjian sewanya dengan disertai pembayaran
kerugian. Setelah dilakukan pembatalan tersebut pihak yang
menyewakan tidak wajib mentaati perjanjian ulang sewa dengan
pihak lainnya/pihak ketiga
F. Hak membuka tanah dan memungut hasil hutan

Hak membuka tanah adalah hak yang dimiliki oleh warga negara indonesia untuk
membuka lahan tanah yang diatur berdasarkan peraturan pemerintah. Menurut
Boedi Harsono hak membuka tanah dan hak memungut hasil hutan sebenarnya
bukan hak atas tanah dalam arti yang sesungguhnya. Dikatakan demikian karena
kedua hak tersebut tidak memberi wewenang untuk menggunakan tanah. Tujuan
dari dimasukkannya kedua hak ini ke dalam UUPA adalah semata-mata untuk
menselaraskan UUPA dengan hukum adat. Dasar hukumnya yaitu pasal 46 UUPA
menjelaskan bahwa, hak membuka tanah dan memungut hasil hutan hanya dapat
dipunyai oleh warga negara Indonesia yang telah diatur dengan Peraturan
Pemerintah. Akan tetapi dengan mempergunakan hak memungut hasil hutan secara
sah, tidak secara otomatis dengan sendirinya hak milik atas tanah tersebut
diperoleh.

Hak memungut hasil hutan adalah hak yang dimiliki oleh warga atau anggota dalam
masyarakat hukum tertentu untuk memungut hasil hutan yang termasuk wilayah
masyarakat hukum tersebut. Orang yang akan memungut hasil hutan harus
mendapat izin terlebih dahulu dari kepala persekutuan hukum yang bersangkutan
atau kepala adat dan luas tanah tidak lebihdari 2 Hektar. Jika luas tanahnya
mencapai 5 Hektar, harus ada izin dari Bupati setempat. Izin ini penting kerena
pengaturan mengenai larangannya sudah jelas di dalam Undang-Undang Nomor 41
Tahun 1999 tentang kehutanan dalam pasal 50 ayat (3) huruf e yang melarang setiap
orang yang menebang pohon atau memanen atau memungut hasil hutan dalam
hutan di dalam hutan tanpa memiliki hak atau ijin dari pejabat yang berwenang. Jadi
setiap warga negara Indonesia memiliki hak atas pemungutan hasil hutan. Tapi perlu
di ingat, pemungutan hasil hutan ini ada mekanismenya atau prosedurnya. Yang
tujuannya agar masyarakat memiliki rasa tanggungjawab dalam rangka memilihara
dan menjaga kelestarian hutan.

Anda mungkin juga menyukai