Anda di halaman 1dari 17

PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PENERIMA HIBAH ATAS AKTA PPAT YANG DI

GUGAT OLEH SATU AHLI WARIS PEMBERI HIBAH

A. Latar Belakang

Peranan tanah dalam kehidupan masyarakat sangatlah penting hal tersebut


didasarkan pada kebutuhan masyarakat akan tanah yang semakin meningkat seiring
dengan bertambahnya jumlah penduduk, pertumbuhan industri, maupun kegiatan
ekonomi lainnya.1 Meskipun kepemilikan tanah telah diatur dalam UUPA dan
perangkat peraturan perundang-undangan lainnya sebagai pelaksana UUPA, namun
pada kenyataannya masih terdapat permasalahan dalam hal bukti kepemilikan
tanah. Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila dalam kehidupan masyarakat
sering terjadi permasalahan yang berkaitan dengan kepemilikan tanah.

Sehubungan dengan hal tersebut, untuk memperoleh jaminan kepastian


hukum dan perlindungan hukum berkaitan dengan bukti tanah, diperlukan adanya
kesadaran dari masyarakat, khususnya pemegang hak atas tanah untuk
mendaftarkan hak atas tanahnya pada Kantor Pertanahan setempat, hal ini
dilakukan karena "akal manusia yang tinggi dengan didasari kekuasaan, dapat saja
merugikan hak-hak yang sah, seperti misalnya pemalsuan surat hibah dan warisan,
pemalsuan surat-surat pemberian hak (sertipikat), penyerobotan hak orang lain,
perampasan hak oleh rentenir, serta pengambilalihan hak secara tidak sah atas
bagian-bagian tanah waris.

anak-anak oleh saudaranya yang lebih tua karena itikadnya yang tidak baik
dan lain sebagainya.2

Permasalahan tanah merupakan permasalahan yang sangat kompleks. yang


salah satunya berkaitan dengan peralihan kepemilikan hak atas tanah yang
dilakukan dengan cara hibah. Hibah pada prinsipnya mengandung fungsi sosial
yang dapat diberikan kepada siapa saja tanpa memandang suku, agama, ras,
maupun adat.

Pejabat Umum yang diberikan kewenangan oleh undang-undang dalam hal


membuat Akta Hibah adalah Pejabat pembuat Akta Tanah (PPAT) setelah lahirnya
1
Maria S.W. Sumardjono, Kebijakan Pertahana antara regulasi dan implementasi, Jakarta:
Kompas,2001,hlm.1.
2
G.Kartasapoetra,R.G.Kartasapoetra, A. Setiady,Hukum tanah Jaminan UUPA bagi keberhasilan
Pendayagunaan Tanah, Jakarta : Rineka Cipta,1991,hlm 135-136.
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, bahwa
tiap pemberian dalam bentuk hibah berupa tanah dan/atau bangunan harus
dibuatkan secara tertulis dengan suatu akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta
Tanah sebagaimana diatur pada pasal 37 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24
Tahun 1997 yang menyatakan bahwa Peralihan hak atas tanah dan hak milik atas
satuan rumah susun melalui jual beli, tukar menukar, hibah, pemasukan dalam
perusahaan dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya, kecuali pemindahan
hak melalui lelang hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang dibuat
oleh PPAT yang berwenang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.

Setiap perbuatan peralihan hak atas tanah tersebut harus didaftarkan ke


Kantor Pertanahan setempat dimana letak tanah berada dengan terlebih dahulu
dibuatkan akta PPAT. Hal ini perlu agar peralihan hak atas tanah tersebut
mempunyai kekuatan hukum yang kuat, sehingga bila terjadi sengketa pertanahan di
kemudian hari dan penerima peralihan hak atas tanah tersebut mempunyai bukti
autentik berupa sertipikat hak atas tanah, maka akan mendapat perlindungan secara
hukum. Salah satu bentuk sengketa pertanahan mengenai peralihan hak dapat
muncul karena adanya gugatan pembatalan peralihan hak. Suatu hibah pada
dasarnya tidak dapat dibatalkan, tetapi hanya dapat ditarik kembali atau dihapuskan
bilamana memenuhi ketentuan Pasal 1688 KUHPerdata.

Akta hibah yang dibuat oleh PPAT dapat dijadikan bukti bahwa memang
benar terjadi pemindahan hak yaitu dengan perbuatan hukum hibah. Kekuatan
hukum akta hibah terletak pada fungsi autentik itu sendiri yakni sebagai alat bukti
yang sah menurut Undang-undang (Pasal 1682, 1867, dan Pasal 1868
KUHPerdata), sehingga hal ini merupakan akibat langsung yang merupakan
keharusan dari ketentuan perundang-undangan, bahwa harus ada akta autentik
sebagai alat pembuktian. Dasar hukum mengenai hibah diatur dalam Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata Bab X buku ke III tentang Perikatan yaitu pada Pasal 1666
sampai dengan Pasal 1693 KUHPerdata.3

Akta hibah yang di buat oleh PPAT dapat di jadikan bukti bahwa memang
benar terjadi pemindahan hak yaitu dengan pembuatan hokum hibah.Kekuatan
hukum akta hibah terletak pada fungsi autentik itu sendiri yakni sebagai alat bukti
3
Oemarsalim,Dasar-dasar Hukum Waris di Indonesia,Jakarata,Bina Aksara,2000,hlm.83.
yang sah menurut Undangan-undang (pasal 1682,1867,dan pasal1868
KUHPerdata),sehingga hal ini merupakan akibat langsung yang merupakan harusan
dari kententuan peraturan -undangan,bahwa harus ada akta autentik sebagai alat
pembuktian.dasar hokum mengenai hibah di atur dalam Kitab Undang-undang
Hukum Perdata Bab X buku ke III tentang perikatan yaitu pada pasal 1666 sampai
dengan pasal 1693 KUHPerdata. 4

Pembuatan akta hibah oleh PPAT sebagaimana dimaksud adalah sebagai


mana diatur dalam Pasal 27 Peraturan Pemerintah nomor 37 Tahun 1998 Tentang
Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah dan perbuatan hukum tersebut
haruslah dilakukan pendaftaran yang diatur pada Pasal 5 Peraturan Pemerintah
Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah yang mana penyelenggaraan
pendaftaran tanah dilakukan Badan Pertanahan Nasional, sedangkan terkait
pelaksanaan dalam pendaftaran tanah dilakukan Kepala Kantor Pertanahan yang
dibantu PPAT.

Sebagaimana disebutkan di atas bahwa PPAT sebagai profesi yang


mempunyai tugas pokok untuk membantu Kantor pertanahan dan Agraria
melakukan pendaftaran tanah dan pemutakhiran data yang terdapat pada Kantor
Pertanahan. Suatu perbuatan hukum tidak cukup hanya dengan membuat akta saja
khususnya terkait objek berupa tanah, namun harus juga dilakukan penyerahan
sebagai pelaksanaan atas perjanjian yang telah disepakati. Sebagaimana diatur
pada Pasal 1686 KUHPerdata yang menyatakan suatu hibah tidak beralih kepada
penerima hibah selain dilakukan dengan penyerahan meskipun hibah diterima
secara sah.

Dalam hal adanya gugatan terhadap sertipikat hak milik atas tanah, Negara
memberikan jaminan kepastian hukum terhadap hak atas tanah lain, 5 sehingga
seseorang dapat mempertahankan haknya terhadap gangguan pihak lain. Ketentuan
secara khusus yang mengatur mengenai pendaftaran tanah terdapat dalam
Peraturan Pemerintah No.10 Tahun 1961 sebagaimana telah diganti dengan
Perturan Pemerintah No.24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah Peraturan
Pemerintah No 24 Tahun 1997 merupakan penyempurnaan berbagai hal yang

4
Beodi Harsano, Hukum Agraria Indonesia Serjarah Pembentukan Undang-undang pokok Agraria,isi, dan
Pelaksanaanya),Djambatan,Jakarta,2003,hlm.333
5
Urip Santosa,Hukum Agraria: Kejian Komprehensif,Jakarta: Prenada Media Group,2012 hlm.283
belum jelas dalam peraturan lama, antara lain pengertian pendaftaran tanah, asas
dan tujuan penyelenggaraannya, yang disamping untuk memberi kepastian hukum,
juga dimaksudkan untuk menghimpun dan menyajikan informasi yang lengkap
mengenai data fisik dan data yuridis mengenai bidang tanah yang bersangkutan,
prosedur pengumpulan data penguasaan tanah dipersingkat dan disederhanakan. 6

Sertipikat diterbitkan untuk kepentingan pemegang hal yang bersangkutan


sesuai dengan data fisik dan data yuridis yang telah didaftar dalam buku tanah. 7
Oleh karena itu sertipikat merupakan alat pembuktian yang kuat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 19 UUPA PP No. 24 Tahun 1997 juga memberikan
penegasan mengenai kekuatan pembuktian sertipikat. yang sebagai alat pembuktian
yang kuat oleh UUPA dalam rangka memberikan kepastian hukum kepada para
pemegang hak atas tanah. Olch karena itu, perolehan sertipikat bukan sekedar
fasilitas, melainkan merupakan hak pemegang hak atas tanah yang dijamin oleh
undang-undang.8

Pada dasarnya itu diselenggarakan untuk kepentingan masyarakat yaitu


untuk memperoleh pembuktian yang kuat tentang sahnya perbuatan hukum
mengenai tanah,9 sedangkan tujuan diadakannya pensertipikatan itu adalah:

1. Untuk adanya kepastian hukum tentang letak, luas dan batas tanah.
2. Untuk adanya kepastian mengenai status hukum tanah yang
bersangkutan, dengan pendaftaran tanah akan dapat diketahui dengan
pasti status hak yang didaftar, contoh hak milik, hak guna usaha, hak
guna bangunan
3. Untuk adanya kepastian tentang pemilikan tanah Mengenai
kepastimes tentang pemilikan tanah ini bertujuan agar dapat diketahui
dengan pasti pemegang haknya, apakah perseorangan atau badan
hukum.10

Mengenai fungsi atau kegunaan sertipikat hak atas tanah disebutkan dalam
pasal 19 ayat (2) huruf e UUPA, yakni dengan memiliki sertipikat berarti memberikan
kepastian hukum dan sebagai dasar pembuktian yang kuat kepada pemiliknya,
6
Ibid,hlm.284
7
Ibid,hlm.317
8
Ibid,hlm.292-293
9
Ibid,hlm. 317.
10
Ibid,hlm. 293
karena data fisik dan data yuridis yang terkandung dalam sertipikat dianggap benar
sepanjang tidak dibuktikan oleh alat bukti lain.

Berdasarkan urain di atas penelitian ini berjudul “PERLINDUNGAN HUKUM


BAGI PENERIMA HIBAH ATAS AKTA PPAT YANG DIGUGAT OLEH SALAH
SATU AHLI WARIS PEMBERI HIBAH”

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian tersebut maka rumusan masalah dalam penelitian ini


yaitu sebagai berikut:

1. Bagaimana perlindugan hukum bagi penerima hibah yang di buat


dihadapan PPAT atas gugatan salah satu ahli waris pemberi hibah ?
2. Bagaimana tanggung jawab PPAT atas akta hibah terait adanya
gugatan salah satu ahli waris pemberi hibah ?

C.Tujuan dan manfaat penelitian

Mengacu pada rumusan masalah di atas,maka tujuan dari penelitian ini yaitu
sebagai berikut:

1. Untuk menganalisis perlindungan hokum bagi penerima hibah yang di buat di


hadapan PPAT atas gugatan salah satu ahli waris pemberi hibah.
2. Untuk menganalisi tanggung jawab PPAT atas akta hibah terait adanya
gugatan salah satu ahli waris pemberi hibah.

D. Kegunaan Penelitian

Dalam penelitian ini selain memiliki tujuan yang jelas juga mempunyai
manfaat yang akan di pereoleh dari penelitian,adalah sebagai berikut:

1. Kegunaan teoritis
Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi sumbangan pemikiran bagi
ilmu pengetahuan dan wawasan yang luas bagi pengembangan ilmu hokum
tentang kekuatan pembuktian yang dilakukan oleh para pihak pada perkara
hak milik atas tanah yang di peoreleh karena hibah.
2. Kegunaan Praktis
Dari hasil penelitian ini diharapkan dam memberikan sumbanan
pemikiran,memberi pengetahuan kepada masyarakat yang luas dan
khusunya dapat memberi informasi serta pengetahuan hokum yang bias
dijadikan pedoman untuk masyarakat yang berperkara
dipersidangan,sehingga dapat mengetahui serta memahami dengan baik
mengenai proses persidangan dengan perkara sengketa tanah hibah.

E. Kerangka pemikiran

Dalam tesis ini menganalisis rumusan masalah di atas di gunakan teori


Perlindungan hukum dan Teori Tanggung Jawab.

1. Teori Perlindungan hukum

Manusia sebagai makhluk hidup yang diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa
mempunyai hak-hak yang melekat pada dirinya sejak manusia itu ada/lahir di muka
bumi ini. Bahkan ada yang mengatakan hak-hak tersebut telah ada sejak manusia
berada di dalam kandungan. Konsep mengenai hak dasar manusia atau hak-hak
yang melekat pada diri manusia terkenal dengan istilah Hak Asasi Manusia (HAM).
Seorang filsuf Inggris pada abad ke-17 bernama John Locke mengemukakan
pandangan bahwa setiap manusia adalah makhluk individual yang memiliki sejumlah
hak-hak alami yang terpisah dari hak-hak politik dan dijamin oleh negara. Locke
juga merumuskan adanya hak alamiah (natural rights) yang melekat pada setiap diri
manusia, yaitu hak atas hidup, hak kebebasan dan hak milik . Hak-hak alami
tersebut merupakan dasar terbentuknya masyarakat, karena menurut Locke, tujuan
utama dari penempatan kekuasaan politik dalam negara berdaulat adalah
penyaluran dan perlindungan hak dasar individu. Perlindungan dan promosi hak
dasar individu adalah satu-satunya pembenaran bagi terciptanya pemerintah.

Teori perlindungan muncul karena adanya gagasan mengenai HAM. Setiap


individu memiliki hak dasar yang melekat dan wajib dilindungi dari siapapun yang
dapat mengancam hak dasar individu tersebut. Negara merupakan implementasi
terbesar dari kepentingan perlindungan terhadap hak dasar individu. Negara sebagai
suatu kekuasaan tertinggi mempunyai kewenangan untuk melakukan berbagai
tindakan, baik untuk mengatur, memerintah, melarang dan melakukan tindakan-
tindakan hukum, semua itu dilakukan semata-mata untuk melindungi kepentingan
warga negaranya.
Secara historis, prinsip-prinsip HAM tidak bisa dilepaskan dari hukum dan
politik kenegaraan. Dokumen-dokumen HAM internasional selalu dapat ditemukan
persamaan-persamaannya dengan dokumen-dokumen HAM yang telah ada
sebelumnya. Keseluruhan isi dokumen-dokumen tersebut mengarah kepada
perlindungan HAM, karena pada masa peperangan, banyak kelompok-kelompok
manusia yang tertindas bahkan dibunuh secara massal. Oleh karena itu,
dokumendokumen HAM merupakan bukti perjuangan dari kaum yang tertindas dan
kaum yang peduli terhadap hak-hak dasar manusia.

Terkait teori perlindungan hukum, terdapat beberapa ahli yang menjelaskan


mengenai teori tersebut, antara lain Satjipto Raharjo dan Phillipus M Hanjon.
Menurut Satjipto Rahardjo, Perlindungan hukum ialah memberikan pengayoman
terhadap hak asasi manusia (HAM) yang dirugikan orang lain dan perlindungan itu
diberikan kepada masyarakat agar dapat menikmati semua hak-hak yang diberikan
oleh hukum.11

Selanjutnya menurut Phillipus M. Hadjon bahwa perlindungan hukum bagi


masyarakat sebagai tindakan pemerintah yang bersifat preventif dan resprentif.
Perlindungan Hukum yang preventif bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa,
yang mengarahkan tindakan pemerintah bersikap hati-hati dalam pengambilan
keputusan berdasarkan diskresi dan perlindungan yang resprensif bertujuan untuk
mencegah terjadinya sengketa, termasuk penanganannya di lembaga peradilan.

Dalam menjalankan dan memberikan perlindungan hukum dibutuhkannya


suatu tempat atau wadah dalam pelaksanaannya yang sering disebut dengan
sarana perlindungan hukum, sarana perlindungan hukum dibagi menjadi dua macam
yang dapat dipahami, sebagai berikut:

a. Sarana Perlindungan Hukum Preventif Pada perlindungan hukum


preventif ini, subyek hukum diberikan kesempatan untuk mengajukan
keberatan atau pendapatnya sebelum suatu keputusan pemerintah
mendapat bentuk yang definitif. Tujuannya adalah mencegah terjadinya
sengketa. Perlindungan hukum preventif sangat besar artinya bagi tindak
pemerintah yang didasarkan pada kebebasan bertindak karena dengan
adanya perlindungan hukum yang preventif pemerintah terdorong untuk

11
Satjipto Raharjo,Ilmu Hukum,Bandung: PT. Citra Aditya Bakti,2000,hlm.53
bersifat hati-hati dalam mengambil keputusan yang didasarkan pada
diskresi. Di Indonesia belum ada pengaturan khusus mengenai
perlindungan hukum preventif.
b. Sarana Perlindungan Hukum Represif
Perlindungan hukum yang represif bertujuan untuk menyelesaikan
sengketa. Penanganan perlindungan hukum oleh Pengadilan Umum dan
Pengadilan Administrasi di Indonesia termasuk kategori perlindungan
hukum ini Prinsip perlindungan hukum terhadap tindakan pemerintah
betumpu dan bersumber dari konsep tentang pengakuan dan
perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia karena menurut sejarah
dari barat, lahirnya konsep-konsep tentang pengakuan dan perlindungan
terhadap hak-hak asasi manusia diarahkan kepada pembatasan-
pembatasan dan peletakankewajiban masyarakat dan pemerintah Prinsip
kedua yang mendasari perlindungan hukum terhadap tindak pemerintahan
adalah prinsip Negara hukum. Dikaitkan dengan pengakuan dan
perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia, pengakuan dan
perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia mendapat tempat utama
dan dapat dikaitkan dengan tujuan dari Negara hukum.

Berdasarkan uraian para ahli tersebut memberikan pemahaman bahwa


perlindungan hukum merupakan gambaran dari bekerjanya fungsi hukum dalam
mewujudkan tujuan-tujuan hukum, yakni keadilan, kemanfaatan dan kepastian
hukum Perlindungan hukum itu sendiri adalah suatu perlindungan yang diberikan
kepada subyek hukum berdasarkan aturan hukum yang berlaku, baik yang bersifat
preventif maupun dalamı bentuk yang bersifat reprentif, baik yang secara tertulis
maupun tidak tertulis dalam rangka menegakkan peraturan hukum.

Berdasarkan usian terseut maka dapat diketahui bahwa ketentuan Pasal


1666 KUHPerdata dan Pasal 212 KHI yang menyatakan bahwa hibah tidak dapat
ditarik kembali, maka terdapat pertentangan antara ketentuan peraturan Pasal 1666
KUHPerdata dan Pasal 212 KHI dengan Putusan Pengadilan sebagaimana telah
uraiankan sebelumnya, untuk itu maka peneliti akan mengaitkan teori perlindungan
hukum dengan pembatalan akta hibah dalam pembagian warisan yang dibatalkan
oleh ahli waris.
Pasal 1682 KUHPerdata menyebutkan bahwa pelaksanaan hibah dilakukan
dengan menggunakan akta autentik Akta autentik merupakan akta yang bentuknya
telah ditentukan dalam undang-undang yang dibuat oleh dan/atau dihadapan
pejabat-pejabat umum yang dalam kedudukannya diberi wewenang dalam hal
dimana akta itu dibuat Akta autentik memberikan kekuatan pembuktian yang
sempurna terhadap para pihak, para ahli waris maupun orang-orang yang
mendapatkan hak. Akta Hibah merupakan akta autentik karena bentuknya telah
ditentukan dalam suatu peraturan perundangan, dibuat Pejabat Umum yang
berwenang, dan dilakukan di wilayah kerja dari Pejabat Umum yang berwenang
tersebut serta bentuk yang diatur sedemikian oleh undang-undang.

2. Teori Tanggung Jawab

Teori Tanggung Jawab Menurut Hans Kelsen dalam teorinya tentang

tanggung jawab hukum menyatakan bahwa: “seseorang bertanggung jawab

secara hukum atas suatu perbuatan tertentu atau bahwa dia memikul tanggung

jawab hukum, subyek berarti bahwa dia bertanggung jawab atas suatu sanksi

dalam hal perbuatan yang bertentangan. 12 Lebih lanjut Hans Kelsen menyatakan

bahwa:

“Kegagalan untuk melakukan kehati-hatian yang diharuskan oleh hukum disebut

kekhilafan (negligence); dan kekhilafan biasanya dipandang sebagai satu jenis

laindari kesalahan (culpa), walaupun tidak sekeras kesalahan yang terpenuhi

karena mengantisipasi dan menghendaki, dengan atau tanpa maksud jahat,

akibat yang membahayakan.”

Hans Kelsen selanjutnya membagi mengenai tanggungjawab terdiri dari:

1. Pertanggungjawaban individu yaitu seorang individu bertanggung jawab

terhadap pelanggaran yang dilakukannya sendiri;

12
Hans kelsen,Sebagimana diterjamahkan oleh somardi,general theory of low state,teori umum Hukum dan
Negara,Dasar-dasar Ilmu Mormatif Sebagai Ilmu Hukum
2. Pertanggungjawaban kolektif berarti bahwa seorang individu bertanggung

jawab atas suatu pelanggaran yang dilakukan oleh orang lain;

3. Pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan yang berarti bahwa seorang

individu bertanggung jawab atas pelanggaran yang dilakukannya karena

sengaja dan diperkirakan dengan tujuan menimbulkan kerugian;

4. Pertanggungjawaban mutlak yang berarti bahwa seorang individu bertanggung

jawab atas pelanggaran yang dilakukannya karena tidak sengaja dan tidak

diperkirakan.

Tanggung jawab dalam kamus hukum dapat diistilahkan sebagai liability dan

responsibility,istilah liability menunjuk pada pertanggungjawaban hukum yaitu

tanggung gugat akibat kesalahan yang dilakukan oleh subjek hukum, sedangkan

istilah responsibility menunjuk pada pertanggungjawaban politik.

Teori tanggung jawab lebih menekankan pada makna tanggung jawab yang

lahir dari ketentuan Peraturan Perundang-Undangan sehingga teori

tanggungjawab dimaknai dalam arti liabilty,sebagai suatu konsep yang terkait

dengan kewajiban hukum seseorang yang bertanggung jawab secara hukum atas

perbuatan tertentu bahwa dia dapat dikenakan suatu sanksi dalam kasus

perbuatannya bertentangan dengan hukum.

Dalam penyelenggaraan suatu Negara dan pemerintahan,

pertanggungjawaban itu melekat pada jabatan yang juga telah dilekati dengan

kewenangan, dalam perspektif hukum publik, adanya kewenangan inilah yang

memunculkan adanya pertanggungjawaban, sejalan dengan prinsip umum;

“geenbevegdedheid zonder
verantwoordelijkheid; thereis no authority without responsibility; la sulthota bila

mas-uliyat”(tidak ada kewenangan tanpa pertanggungjawaban).

Menurut Abdulkadir Muhammad teori tanggung jawab dalam perbuatan

melanggar hukum (tort liability) dibagi menjadi beberapa teori, yaitu :

a. Tanggung jawab akibat perbuatan melanggar hukum yang dilakukan

dengan sengaja (intertional tort liability), tergugat harus sudah melakukan

perbuatan sedemikian rupa sehingga merugikan penggugat atau

mengetahui bahwa apa yang dilakukan tergugat akan mengakibatkan

kerugian.

b. Tanggung jawab akibat perbuatanmelanggar hukum yang dilakukan

karena kelalaian (negligence tort lilability), didasarkan pada konsep

kesalahan (concept of fault) yang berkaitan dengan moral dan hukum

yang sudah bercampur baur (interminglend).

c. Tanggung jawab mutlak akibat perbuatan melanggar hukum tanpa

mempersoalkan kesalahan (stirck liability), didasarkan pada perbuatannya

baik secara sengaja maupun tidak sengaja.

Pertanggungjawaban atas kesalahan (based on fault) adalah prinsip yang

cukup umum berlaku dalam Hukum Pidana dan Hukum Perdata. Dalam Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata, khususnya pada Pasal 1365, Pasal 1366 dan

Pasal 1367, prinsip ini dipegang teguh Prinsip ini

menyatakan seseorang baru dapat dimintakan untuk bertanggungjawab

secara hukum apabila unsur terdapat unsur kesalahan yang dilakukannya. Pasal

1365 KUHPerdata yang dikenal sebagai pasal perbuatan melawan hukum

mengharuskan empal unsur pokok yang harus dipenuhi yaitu adanya perbuatan,
adanya unsur kesalahan, adanya kerugian yang diderita, dan adanya bubungan

kausalitas antara kesalahan dan kerugian.

Pertanggungjawaban mutlak (absolute responsibility), prinsip tanggung jawab

mutlak adalah suatu tanggung jawab hukum yang dibebankan kepada pelaku

perbuatan melawan hukum tanpa melibat apakah yang bersangkutan dalam

melakukan perbuatannya itu mempunyai unsur kesalahan atau tidak, dalam hal ini

pelakunya dapat dimintakan tanggung jawab secara hukum, meskipun dalam

melakukan perbuatannya itu pelaku tidak melakukannya dengan sengaja dan tidak

pula mengandung unsur kelalaian, kekurang hati-hatian atau ketidakpatutan.

Tanggung jawab mutlak sering juga disebut dengan tanggung jawab tanpa

kesalahan. Menurut Hans Kelsen di dalam teorinya tentang tanggung jawab hukum

menyatakan bahwa "seseorang bertanggung jawab secara hukum atas suatu

perbuatan tertentu atau bahwa dia memikul tanggung jawab atas suatu sanksi dalam

hal perbuatan yang bertentangan.

Disamping pandangan di atas, teori tentang tanggung jawab hukum juga

dikembangkan oleh Wright, yang disebut dengan interactive justice, yang berbicara

tentang kebebasan negatif seseorang kepada orang lain. dalam hubungan

interaksinya satu sama lain. Esensi dari interactive justice adalah adanya

kompensasi sebagai perangkat yang melindungi setiap orang dan interaksi yang

merugikan (harmful interaction), yang umum diterapkan dalam perbuatan melawan

hukum (tort line), hukum kontrak dan hukum pidana Menurut Wright, limitasi

pertanggungjawaban hukum perdata ditentukan dari ada atau tidaknya suatu

standar obyektif tertentu (specified standard of conduct) untuk menjadi dasar

penilaian yang terdiri dari (1) no worseofflimitation, (2) superseding cause limitation,

(3) ruk play-out limitation


Berdasarkan standar pertama, yakni no worse off limitation, tidak ada

pembatasan tanggung jawab terhadap suatu perbuatan melawan hukum, jika jelas

adanya suatu kesalahan dan yang mempunyai kontribusi langsung berdasarkan

asas kausalitas terhadap kerugian Standar kedua, superseding cause limitation,

harus dilihat terlebih dahulu apakah tindakan yang menjadi penyebab terjadinya

kerugian itu bersifat dependent ataukah independent Jika bersifat dependent, maka

pertanggungjawaban hukum tersebut tidak dapat dikecualikan ataupun dibatasi"

Pendekatan ketiga, risk play out limitation yaitu adanya hubungan antara bagaimana

suatu kerusakan yang terjadi merupakan akibat dari suatu resiko yang dapat

diprediksi sebelumnya.

Mengenai persoalan pertanggung jawaban pejabat menurut Kranenburg dan

Vegtig ada dua teori yang melandasinya yaitu:

a. Testi fantes personalles yaitu teori yang menyatakan bahwa kerugian

terhadap pihak ketiga dibebankan kepada pejabat yang karena tindakannya

itu telah menimbulkan kerugian Dalam teori ini beban tanggung jawab

ditujukan pada manusia selaku pribadi

b. Teori fautes de service yaitu teori yang menyatakan bahwa kerugian terhadap

pihak ketiga dibebankan pada instansi dari pejabat yang bersangkutan

Menurut teori ini tanggung jawab dibebankan kepada Jabatan.

Hubungan antara teori pertanggungjawaban ini dengan permasalahan yang

penulis angkat adalah walaupun PPAT dalam menjalankan kewenangannya sebagai

pejabat unum telah membuat akta autentik yang baik dan benar serta sesuai dengan

ketentuan-ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, tetapi tidak


dipungkiri di dalam menjalankan tugamya tersebut seorang PPAT bisa saja

melakukan kesalahan-kesalahan didalam pembuatan akta yang akan menimbulkan

akibat hukum pada para pihaknya. PPAT apabila melakukan kesalahan- kesalahan

yang dapat merugikan para pihak, maka PPAT tersebut dapat dimintakan

pertanggungjawabannya atas kesalahannya tersebut. Teori pertanggungjawaban ini

digunakan untuk menganalisis pertanggungjawaban apa saja yang dapat

dibebankan kepada PPAT dalam melaksanakan tugas dan jabatannya atas akta

hibah terait adanya gugatan salah satu ahli waris pemberi hibah.

F. Metode penelitian

Penelitian hukum ini dilakukan melalui serangkain langkah ilmiah yang sistematis dan

teruku. Adapun metode yang di gunakan adalah sebagai berikut:

1. Jenis Penelitian

Penelitian hukum ini menggunakan jenis penelitian hkum yuridis normatif yaitu

penelitian hokum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka.

2. Pendekatan Penelitian

Penelitian hokum ini menggunkan pendekatan perundang-undang ( statute approach)

yaitu pendekatan yang di lakukan dengan melalaah semua peraturan perundang-

undangan dan regulasi yang bersangkutan dengan permasalahan yang diteliti.

3. Sumber Bahan hukum

a.Bahan hukum Primer

Yaitu bahan hukum yang mengikat dan diperoleh dari peraturan perundang-

undangan yang belaku.

b.Bahan Hukum Sekunder


Yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum

primer,seperti buku-buku,hasil penelitian atau pendapat para pakar hukum dan lain

sebagainya.

c. Bahan Hukum Tersier

Yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan

hokum sekunder,seperti kamus hukum,Kamus Besar Bahasa Indonesia dan lain

sebagainya.

4. Teknik Pengumpulan Bahn Hukum

Pengumpulan bahan-bahan hukum dilakukan dengan cara mengidintifikasi dan

menginventasasikan aturan hukum positif,meneliti bahan pustaka ( buku,jurnal

ilmiah,laporan hasil penelitian ) dan sumber-sumber bahan hukum lainya yang releva

dengan permaslahan hukum yang dikaji. Bahan-bahan hukum yang sudah

terkumpul,selanjutnya klasifikasi,diseleksi dan dipastikan tidak bertentangan satu

sama lain,untuk memudahkan analisis dan konstruksi.

5. Teknik Analisis Bahan Hukum

Pengelolahan analisis dan konstrusi data penelitian hukum normatif dapat dilakukan

dengan cara melakukan analisis terhadap kaidah hukum dan kemudian konstruksi dilakukan

dengan cara memasukkan pasal-pasal ke dalam kategori-kategori atas dasar pengertian-

pengertian dari sistem hukum tersebut. Data yang telah dikumpulkan selanjutnya akan

dianalisis dengan pendekatan kualitatif,yaitu:

a. Mengumpulkan bahan hukum berupa peraturan perundang-undang terkait dengan topik

penelitian penulis.

b. Memilih bahan hukum Memilih bahan hukum selanjutnya melakukan sistematisasi bahan

hukum sesuai dengan permasalahannya.

c. Menganalisis bahan hukum dengan membaca dan menafsirkannya untuk menemukan

kaida, asas dan konsep yang terkandung di dalam bahan hukum tersebut.
d. Menemukan hubungan konsep, asas dan kaidah tersebut dengan menggunakan teori

sebagai pisau analisis. Penarikan kesimpulan untuk menjawab permasalahan dilakukan

dengan menggunakan metode deduktif. Metode deduktif dilakukan dengan membaca,

menafsirkan dan membandingkan hubungan-hubungan konsep, asas dan kaidah yang

terkait sehingga memperoleh kesimpulan yang sesuai dengan tujuan Penulisan yang

dirumuskan sebagaimana dimaksud di atas.

G. Sistematika Penulisan

Dalam penyusan Proposal Tesis ini,penulis membagi menjadi 5 bab pembahasan sesuai

dengan Buku Pedoman Sistematika Penulisan Tesis Magister Kenotariatan Program pascasarjana

Universitas Jayabaya Jakarta tahun 2023.

BAB I PENDAHULUAN

Bab ini membahas mengenai Latar Belakang Masalah, Rumusan Masalah,Tujuan

dan manfaat penelitian, Kegunaan Penelitian, Kerangka pemikiran, Metode

penelitian, Sistematika Penulisan.

BAB II KAJIAN PUSTAKA/ TEORI

Bab ini dikemukakan dengan jelas, ringkas dan padat bab ini dikemukakan dengan

jelas, ringkas dan padat tentang hasil kajian kepustakaan tentang sumber hukum

atau teori hukum terkait dengan amsalah yang akan diteliti. Judul bab ini ditulis

sesuai dengan masalah yang diteliti, dan dapat dibuat dengan penguraian sub bab

dan anak sub bab.

BAB III OBYEK PENELITIAN

Bab ini menguraikan atau menjelaskan masalah atau obyek penelitian, termasuk

sengketa atau kasus yang menjadi obyek penelitian. Judul bab ini ditulis sesuai

dengan obyek yang penelitian. Judul bab ini ditulis sesuai dengan obyek yang bab

BAB IV PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PENERIMA HIBAH ATAS AKTA PPAT YANG

DIGUGAT OLEH SALAH SATU AHLI WARIS PEMBERI HIBAH


Bab ini membahas tentang analisis perlindungan hukum bagi pernerimah hibah atas
akta ppat yang di gugat oleh satu ahli waris penerimah hibah.

BAB V PENUTUP

Bab ini berisi Kesimpulan dan saran dari apa yang di bab-bab sebelumnya.

Anda mungkin juga menyukai