Peralihan hak atas tanah adalah perbuatan hukum pemindahan hak atas tanah yang dilakukan
dengan sengaja supaya hak tersebut terlepas dari pemegangnya semula dan menjadi hak pihak lain.
Sejak berlakunya UUPA, peralihan hak atas tanah dapat dilakukan melalui jual beli, penukaran,
penghibahan, pemberian dengan wasiat, pemberian menurut adat dan perbuatan-perbuatan lain yang
Menurut Pasal 37 ayat 1 Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997, ditegaskan bahwa:
Peralihan hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun melalui jual beli, tukar menukar, hibah,
pemasukan data perusahaan dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya, kecuali pemindahan hak
melalui lelang hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang
berwenang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pembuktian bahwa hak atas tanah tersebut dialihkan, maka harus dibuktikan dengan suatu akta
yang dibuat oleh dan dihadapan PPAT yaitu akta jual beli yang kemudian akan dijadikan dasar
pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 95 ayat 1
huruf a Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997. Akta Jual
Beli yang dibuat dihadapan PPAT tersebut bertujuan untuk memberikan kepastian hukum kepada
Tanah sebagai benda penting bagi manusia, memegang peranan yang sangat penting bagi
pemenuhan kebutuhan manusia sebagai tempat bermukim maupun sebagai tempat untuk melakukan
kegiatan usaha. Kepemilikan hak atas tanah yang sangat penting untuk menjamin hak seseorang atau
Sejak berlakunya UUPA pada tanggal 24 September 1960, ada hal-hal yang merupakan
pembaharuan hukum di Indonesia bukan saja di bidang pertanahan tetapi di lain-lain bidang hukum
positip. UUPA diumumkan didalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 104, yang
penjelasannya dimuat didalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia nomor 2043.
kolonial yang sejak Indonesia merdeka masih tetap berlaku karena Indonesia belum mempunyai hukum
agraria nasional, dan juga dualisme hak atas tanah dihapuskan menjadi satu sistem hukum, yaitu sistem
hukum hak atas tanah di Indonesia berdasarkan hukum adat, sehingga tidak lagi diadakan perbedaan
atas tanah-tanah hak adat seperti tanah hak ulayat, gogolan, bengkok dan lain-lain, maupun tanah-tanah
hak barat, seperti tanah hak Eigendom, Erfpachtt, Opstal dan lain-lain, dimana tanah hak barat tersebut
harus dikonversi menjadi hak-hak bentuk baru yang diatur dalam UUPA. Diketahui tanah-tanah hak barat
tersebut terdaftar pada Kantor Pendaftaran Tanah menurut Overschrijvingsordonnantie (Ordonantie Balik
Untuk merealisasikan tujuan tersebut, kegiatan pendaftaran tanah menjadi sangat penting dan
mutlak untuk dilaksanakan, hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 19 UUPA yang menghendaki
diselenggarakannya pendaftaran hak atas tanah di Indonesia. Pengaturan mengenai pendaftaran tanah
Dalam pelaksanaan administrasi pertanahan, data pendaftaran tanah yang tercatat di Kantor
Pertanahan harus sesuai dengan keadaaan bidang tanah yang bersangkutan baik yang menyangkut data
fisik maupun data yuridis tanah. Dalam pencatatan data yuridis ini khususnya pencatatan perubahan data
PPAT sebagai pejabat umum yang diberi wewenang untuk membuat akta-akta dalam peralihan
hak atas tanah, akta pembebanan serta surat kuasa pembebanan hak tanggungan, juga bertugas
membantu Kepala Kantor Pertanahan Nasional dalam melaksanakan pendaftaran tanah dengan
membuat akta-akta tertentu sebagai bukti telah dilakukannya perbuatan hukum tertentu mengenai hak
atas tanah dan atau bangunan yang akan dijadikan dasar bagi bukti pendaftaran tanah.
Akta PPAT merupakan salah satu sumber utama dalam rangka pemeliharaan pendaftaran tanah
di Indonesia. PPAT sudah dikenal sejak berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang
Mengingat pentingnya fungsi PPAT perlu kiranya diadakan peraturan tersendiri yang mengatur
tentang PPAT sebagaimana yang ditetapkan dalam Pasal 7 ayat 3 Peraturan Pemerintah Nomor 24
Tahun 1997, demikian juga setelah dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang
Peraturan Pejabat Pembuat Akta Tanah. Berdasarkan Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah Nomor 37
Tahun 1998 dikatakan PPAT adalah “pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta
otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau hak atas satuan rumah
susun”.
Berdasarkan pasal tersebut diatas, maka pada dasarnya kewenangan PPAT berkaitan erat
dengan perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun.
Untuk membuktikan adanya perbuatan hukum pengalihan hak atas tanah dan atau bangunan haruslah
dibuat akta otentik. Tanpa adanya akta otentik maka secara hukum perbuatan hukum untuk mengalihkan
Mengenai fungsi akta PPAT dalam jual beli, Mahkamah Agung dalam Putusannya No.
1363/K/Sip/1997 berpendapat bahwa Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 secara jelas
menentukan bahwa akta PPAT hanyalah suatu alat bukti dan tidak menyebut bahwa akta itu adalah
Menurut Boedi Harsono, akta PPAT berfungsi sebagai alat pembuktian mengenai benar sudah
dilakukannya jual beli. Jual beli tersebut masih dapat dibuktikan dengan alat pembuktian yang lain. Akan
tetapi, dalam sistem pendaftaran tanah menurut peraturan yang telah disempurnakan yaitu Peraturan
Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, pendaftaran jual beli hanya dapat dilakukan dengan akta PPAT
sebagai alat bukti yang sah. Orang yang melakukan jual beli tanpa dibuktikan dengan akta PPAT tidak
akan dapat memperoleh sertifikat, biarpun jual belinya sah menurut hukum.
Dalam memberi pelayanan kepada masyarakat seorang PPAT bertugas untuk melayani
permohonan-permohonan untuk membuat akta-akta tanah tertentu yang disebut dalam peraturan-
peraturan berkenaan dengan pendaftaran tanah serta peraturan Jabatan PPAT. Dalam menghadapi
permohonan-permohonan tersebut PPAT wajib mengambil keputusan untuk menolak atau mengabulkan
PPAT sebagai pejabat umum, maka akta yang dibuatnya diberi kedudukan sebagai akta otentik,
yaitu akta yang dibuat untuk membuktikan adanya perbuatan hukum tertentu yang mengakibatkan
Berkaitan dengan kepastian pemilikan hak atas tanah dan bangunan, setiap perolehan hak yang
terjadi dari suatu perbuatan hukum harus dibuat dengan akta otentik. Hal ini penting untuk memberi
kepastian hukum bagi pihak yang memperoleh hak tersebut sehingga ia dapat mempertahankan haknya
tersebut dari gugatan pihak manapun. Tanpa adanya akta otentik maka secara hukum perolehan hak
tersebut belum diakui dan sebenarnya hak atas tanah dan bangunan masih ada pada pihak yang
mengalihkan hak tersebut. Untuk melindungi pihak yang memperoleh hak, maka akta otentik yang dibuat
pada saat perolehan hak dilakukan merupakan alat pembuktian yang kuat yang menyatakan adanya
perbuatan hukum peralihan hak atas tanah dan bangunan yang dimaksud kepada pihak yang dinyatakan
Adanya akta PPAT yang bermaksud membuat akta perjanjian pengalihan hak atas tanah dan hak
milik atas satuan rumah susun melalui jual beli, penukaran, hibah, pemasukan dalam perusahaan dan
perbuatan hukum pemindahan hak lainnya, kecuali pemindahan hak karena lelang yang hanya dapat
didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang berwenang dan jika akta peralihan
hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun tersebut sudah didaftarkan oleh Kepala Kantor
Pertanahan dalam daftar buku tanah, maka kepala Kantor Pertanahan memberikan sertipikat hak atas
tanah atau hak milik atas satuan rumah susun yang bersangkutan kepada pembeli.
Keberadaan pejabat dalam suatu tatanan ketatanegaraan sangat dibutuhkan, karena pejabat
merupakan pengejawantahan dari personifikasi Negara. Negara dalam suatu konsep ketatanegaraan
dalam menjalankan fungsinya diwakili oleh Pemerintah. Pemerintah dalam menjalankan fungsinya dan
tugasnya dalam merealisasikan tujuan Negara diwakili oleh pejabat. Oleh karena itu, sukses tidaknya
sebuah lembaga negara ditentukan oleh kemampuan pejabatnya dalam menjalankan roda
Pemerintahan. Salah satu tugas pejabat, khususnya PPAT, keberadaannya diakui oleh peraturan
perundang-undangan yang berlaku, yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang
Pendaftaran Tanah jo Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat
Pembuat Akta Tanah. Hal ini merupakan konsekuensi ketentuan Pasal 1 ayat 3 Undang-Undang Dasar
1945, amandemen ke tiga 3, yang menentukan secara tegas bahwa Negara Indonesia adalah Negara
hukum.
Prinsip Negara hukum menjamin kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum yang berintikan
kebenaran dan keadilan. Kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum menuntut bahwa lalu lintas
hukum dalam kehidupan masyarakat memerlukan adanya alat bukti yang menentukan dengan jelas hak
Perbuatan hukum yang dilakukan dihadapan PPAT maka akan lahir akta otentik yang akan
dijadikan sebagai alat bukti bagi para pihak telah dilakukan perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas
tanah atau hak milik atas satuan rumah susun, yang akan dijadikan sebagai dasar bagi pendaftaran
perubahan data pendaftaran tanah yang diakibatkan oleh perbuatan hukum dimaksud.
Selain dibuat dihadapan pejabat umum, untuk dapat memperoleh otentisitasnya maka akta yang
bersangkutan harus dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh peraturan perundang-undang dan pejabat
umum dihadapan siapa akta itu dibuat harus mempunyai wewenang untuk membuat akta itu, ditempat
Pembuatan akta PPAT menurut Pasal 24 Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998,
ditegaskan bahwa: “ketentuan-ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembuatan akta PPAT diatur
Pasal 96 Peraturan Menteri Agraria Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997,
disebutkan bahwa akta PPAT harus mempergunakan formulir atau blanko sesuai dengan bentuk yang
telah disediakan dan cara pengisiannya adalah sebagaimana tercantum dalam lampiran 16 sampai
Mengenai syarat bahwa akta itu harus dibuat oleh pejabat umum yang mempunyai kewenangan
untuk membuat akta, ditegaskan dalam Pasal 4 ayat 1 Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 1998 yang
menyatakan: “PPAT hanya berwenang membuat akta mengenai hak atas tanah atau hak milik atas
Pada saat penandatanganan akta jual beli dilakukan, terlebih dahulu blanko akta jual beli
tersebut diisi dengan nama PPAT berikut dengan saksi-saksi dari PPAT yang daerah kerjanya meliputi
daerah di mana obyek hak atas tanah tersebut berada, serta telah nama para pihak, objek jual belinya
berdasarkan dokumen-dokumen dan data-data yang telah disampaikan oleh para pihak. Akta tersebut
kemudian oleh PPAT dibacakan kepada para pihak dan selanjutnya setelah para pihak telah mengerti
akan isi dalam akta jual beli tersebut, maka para pihak menandatangani akte jual beli tersebut, kemudian
Dalam proses pembuatan akta jual beli yang dibuat dihadapan PPAT, dibutuhkan langkah-
langkah yang harus dilalui oleh PPAT sebelum dilakukan penandatanganan akta jual belinya oleh para
1. Sebelum melaksanakan pembuatan akta mengenai pemindahan atau pembebanan hak atas tanah atau
Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun, PPAT wajib terlebih dahulu melakukan pemeriksaan pada Kantor
Pertanahan mengenai kesesuaian sertipikat hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun
yang bersangkutan dengan daftar-daftar yang ada di Kantor Pertanahan setempat dengan
3. Dalam hal diperlukan izin untuk peralihan hak tersebut, maka izin tersebut harus sudah diperoleh
4. Sebelum dibuat akta mengenai pemindahan hak atas tanah, calon penerima hak harus membuat
a. Bahwa yang bersangkutan dengan pemindahan hak tersebut tidak menjadi pemegang hak atas tanah
yang melebihi ketentuan maksimum penguasaan tanah menurut ketentuan peraturan perundang-
b. Bahwa yang bersangkutan dengan pemindahan hak tersebut tidak menjadi pemegang hak atas tanah
b tersebut tidak benar maka tanah kelebihan atau tanah absentee tersebut menjadi obyek landreform;
d. Bahwa yang bersangkutan bersedia menanggung semua akibat hukumnya, apabila pernyataan
5. Pembuatan akta PPAT harus dihadiri oleh para pihak yang melakukan perbuatan hukum atau orang yang
dikuasakan olehnya dengan surat kuasa tertulis sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
6. Pembuatan akta PPAT harus disaksikan oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi yang menurut
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku memenuhi syarat untuk bertindak sebagai saksi
dalam suatu perbuatan hukum, yang memberi kesaksian antara lain mengenai kehadiran para pihak atau
kuasanya, keberadaan dokumen-dokumen yang ditunjukkan dalam pembuatan akta, dan telah
mengenai isi dan maksud pembuatan akta, dan prosedur pendaftaran yang harus dilaksanakan
8. Akta PPAT harus dibacakan/dijelaskan isinya kepada para pihak dengan dihadiri oleh sekurang-
kurangnya 2 (dua) orang saksi sebelum ditandatangani seketika itu juga oleh para pihak, saksi-saksi dan
PPAT.
9. Selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak tanggal ditandatanganinya akta yang bersangkutan, PPAT
wajib menyampaikan akta yang dibuatkannya berikut dokumen-dokumen yang bersangkutan kepada
Terhadap perbuatan hukum pengalihan hak tersebut, maka “PPAT wajib menyampaikan
pemberitahuan tertulis mengenai telah disampaikannya akta sebagai mana dimaksud di atas kepada
Sebelum dilakukannya penandatanganan akta jual beli, PPAT harus terlebih dahulu meminta bukti
pembayaran pajak, hal ini sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 91 ayat 1 Undang-Undang Nomor 28
Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah, secara tegas menyatakan: “Pejabat Pembuat
Akta Tanah/Notaris hanya dapat menandatangani akta pemindahan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan
Konsekuensi yang akan diterima oleh PPAT, terhadap pelanggaran sebagaimana yang
ditentukan dalam Pasal 91 ayat (1) akan dikenakan sanksi administratif berupa denda sebesar
Rp.7.500.000,00 (tujuh juta lima ratus ribu rupiah) untuk setiap pelanggaran.
Selain itu, berdasarkan ketentuan dalam Pasal 39 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997
tentang Pendaftaran Tanah, PPAT harus menolak untuk membuat akta apabila:
1. Mengenai bidang tanah yang sudah terdaftar atau hak milik atas satuan rumah susun, kepadanya tidak
disampaikan sertipikat asli hak yang bersangkutan atau sertipikat yang diserahkan tidak sesuai dengan
daftar-daftar yang ada di Kantor Pertanahan.
2. Mengenai bidang tanah yang belum terdaftar, kepadanya tidak disampaikan:
a. Surat bukti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) atau surat keterangan Kepala
Desa/Kelurahan yang menyatakan bahwa yang bersangkutan menguasai bidang tanah tersebut
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2); dan
b. Surat keterangan yang menyatakan bahwa bidang tanah yang bersangkutan belum bersertipikat dari
Kantor Pertanahan, atau untuk tanah yang terletak di daerah yang jauh dari kedudukan Kantor
Pertanahan, dari pemegang hak yang bersangkutan dengan dikuatkan oleh Kepala Desa/Kelurahan.
c. Salah satu atau para pihak yang akan melakukan perbuatan hukum yang bersangkutan atau salah satu
saksi, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran
Tanah, tidak berhak atau tidak memenuhi syarat untuk bertindak demikian; atau
d. Salah satu pihak atau para pihak bertindak atas dasar suatu surat kuasa mutlak yang pada hakikatnya
berisikan perbuatan hukum pemindahan hak; atau
e. Untuk perbuatan hukum yang akan dilakukan belum diperoleh izin Pejabat atau instansi yang berwenang,
apabila izin tersebut diperlukan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku; atau
f. Obyek perbuatan hukum yang bersangkutan sedang dalam sengketa mengenai data fisik dan atau data
yuridisnya; atau
g. Tidak dipenuhi syarat lain atau dilanggar larangan yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan
yang bersangkutan.
Selanjutnya dalam penjelasan pada Pasal 39 ayat 1 Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997,
menyebutkan contoh syarat yang dimaksudkan dalam huruf g adalah misalnya larangan yang diadakan
oleh Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 tentang Pembayaran Pajak Penghasilan Atas
Penghasilan Dari Pengalihan Hak Atas Tanah dan Bangunan jo Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun
1996 tentang perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 tentang Pembayaran Pajak
Penghasilan Atas Penghasilan Dari Pengalihan Hak Atas Tanah Dan Bangunan untuk membuat akta, jika
kepadanya tidak diserahkan fotocopy surat setoran pajak penghasilan yang bersangkutan.
Selain hal-hal tersebut di atas, dalam menjalankan tugasnya jabatannya sebagai pembuat akta
dibidang pertanahan, PPAT harus memiliki kecermatan dan ketelitian dalam memeriksa kelengkapan
berkas-berkas dalam pembuatan akta jual beli. Hal-hal yang harus diperhatikan oleh PPAT yaitu:
1. Identitas dari para pihak. PPAT harus memeriksa kebenaran formil dari identitas para pihak serta dasar
2. Jangka waktu berakhirnya hak atas tanah yang diperjualbelikan (karena jika jangka waktunya berakhir,
3. Harga jual beli harus sudah dibayar lunas sebelum akta ditandatangani.
4. Tidak terdapat tunggakan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB).
5. Tanah yang diperjualbelikan harus berada dalam wilayah kerja PPAT yang bersangkutan.
Diposting oleh myrizal-76 di 11.24
2) Pembinaan dan pengawasan terhadap PPAT yang dilakukan oleh Kepala Kantor sebagai berikut:
3) Pembinaan dan pengawasan terhadap PPAT yang dilakukan oleh Kepala Kantor Pertanahan
sebagai berikut:
DAFTAR PUSTAKA
AP.Parlindung, Pendaftaran Tanah dan Konfersi Hak Milik Atas Tanah menurut UUPA,
Alumni, Bandung, 1988.
Boedi Harsono, Himpunan Peraturan-Peraturan Hukum Tanah, Djambatan, Jakarta, 2000.
____________, Hukum Agraria Indonesia, SejarahPembentukan UUPA, Isi dan Pelaksanaanya,
Djambatan, Jakarta, 2005.
Effendi Perangin-Angin, Hukum Agrarian di Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1994.
Hasan Wargakusuma, Hukum Agraria I, PT.Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Maria dan Sumardjono, Kebijakan Pertanahan, Buku Kompas, Jakarta, 2007.
Poerwodharminto, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1999.
Peraturan Perundang-undangan :
Kode Etik Ikatan Pejabat Pembuat Akta Tanah.
Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta
Tanah : Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional No.1 Tahun 2006.
Undang-Undang Pokok Agraria.
Search Engine :
http://www.hukumonline.com
TUGAS DAN WEWENANG PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH DAN
KEDUDUKAN HUKUM AKTA PPAT
TUGAS DAN WEWENANG PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Baru pertama kali semenjak diterbitkannya Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 Peraturan Dasar Pokok-
Pokok Agraria (selanjutnya disebut UUPA) diterbitkan suatu Peraturan Pemerintah tentang Pejabat Pembuat
Akta Tanah (selanjutnya disebut PPAT) dengan Peraturan Pemerintah nomor 37 Tahun 1998 (selanjutnya
disebut PP No. 37/1998), sebagai pelengkap dari Peraturan Pemerintah tentang Pendaftaran Tanah dan
telah dijanjikan pada Pasal 7 PP 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah (selanjutnya disebut PP No.
24/1997).
Menurut Prof. Dr A. P. Parlindungan, hal ini merupakan hal yang positif dalam pembangunan hukum
keagrarian, karena keragu-raguan dan tidak teraturnya dengan peraturan hukum tertentu telah banyak
menimbulkan khaos . Dalam kurun waktu 1961 hingga diterbitkannya PP No. 37/1998 ini telah banyak
sekali kekacuan dan kesalahan-kesalahan dalam pelaksanaan pembuatan akta PPAT.
Dalam kurun waktu 1961 hingga diterbitkannya PP No.37/1998 ini telah banyak sekali kekacauan dan
kesalahan-kesalahan dalam pelaksanaan pembuatan akta PPAT, karena pelaksanaan tugas dari PPAT tidak
tertuang dalam PMA No.18 Tahun 1961. PMA No.10 Tahun 1961 yang terdiri atas 10 Pasal hanya mengatur
tentang daerah kerja PPAT, tentang kewenangan membuat akta tanah dalam daerah kerjanya dan
keharusan meminta izin jika melakukan pembuatan akta tanah di lain daerah kerjanya dan berkantor di
daerah kerjanya, kemudian siapa yang dapat diangkat sebagai PPAT. Setelah dikeluarkannya PP
No.37/1998, tugas dan ruang lingkup jabatan PPAT lebih jelas dan rinci meskipun dikalangan akademisi
masih mempertanyakan keabsahan atau keotentikan dari akta yang dibuat PPAT.
B. Rumusan Masalah
Dari uraian singkat diatas dapat diajukan permasalahan, yaitu bagaimanakah tugas dan kewenangan
jabatan PPAT sebagaimana diatur dalam PP No.37/1998 dan peraturan perundangan lainnya ?
BAB II
GAMBARAN UMUM KASUS
PP No.37/1998 ini telah dikeluarkan oleh pemerintah sudah 10 tahun lamanya, namun dalam
pelaksanaannya masih banyak mahasiswa dan masyarakat belum mengetahui dan memahami secara
seksama apa dan bagaimana isi PP No.37/1998 yang mengatur tentang jabatan PPAT tersebut. Seringkali
pula ditemui adanya tumpang tindih pengetahuan antara jabatan Notaris dan PPAT. Padahal seperti
diketahui keduanya merupakan 2 (dua) jabatan yang berbeda tugas dan kewenangannya.
Oleh sebab itu kami mencoba untuk menguraikan ruang lingkup pengangkatan, pemberhentian, daerah
kerja, tugas dan kewenangan PPAT dalam menjalankan jabatannya dalam laporan ini.
BAB III
PEMBAHASAN
A. Pengertian PPAT
Apa yang diuraikan pada Pasal 1 ini, telah memperjelas tentang perngertian PPAT tersebut, sehingga kita
mengenal beberapa PPAT. Disamping itu ada yang disebut protokol PPAT yang terdiri dari daftar akta, akta-
akta asli yang harus dijilid, warkah pendukung data, arsip laporan, agenda dan surat-surat lainnya. Berbeda
dengan protokol Notaris masih ada yang tidak termasuk yaitu buku klapper yang berisikan nama, alamat,
pekerjaan, akta tentang apa dan singkatan isi akta, nomor dan tanggal akta dibuat.
Formasi dari PPAT di sesuatu wilayah adalah maksimum boleh di tempatkannya PPAT di sesuatu wilayah dan
ini telah diatur oleh Pasal 14 PP No.24/1997 dan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan
Pertanahan Nasional No.1 Tahun 1996 dan Surat Edaran Menteri Negara Agraria/Kepala BPN No.640-679
tanggal 11 maret 1996.
Pasal 1 :
Formasi PPAT di Kabupaten/Kota daerah tingkat II ditetapkan berdasarkan rumus sebagaimana tersebut
dalam ayat (2) pasal ini.
Formasi tersebut pada ayat (1) ditetapkan sebagai berikut :
y = a1×1 + a2×2 + b.
y = formasi PPAT di daerah tingkat II.
x1 = jumlah kecamatan dalam daerah tingkat II.
x2 = jumlah sertipikat non-proyek (sporadis) di daerah tingkat II rata-rata tiga tahun terakhir.
a1 = 4 untuk Kota di DKI Jakarta.
a1 = 3 untuk daerah tingkat II lainnya atau yang disamakan.
a2 = 1/1000
b = angka pembulatan ke atas sampai lipatan lima.
Formasi PPAT daerah tingkat II berdasarkan Peraturan ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dan berakhir
pada tanggal 24 september tahun ketiga sejak tahun penetapannya, dan ditetapkan kembali dengan
mengikuti kemungkinan adanya perubahan pada rumus dimaksud pada diktum pertama ayat (2) untuk
selama tiga tahun berikutnya dengan catatan apbila tidak ada perubahan maka rumus ini tetap
dipergunakan. Formasi PPAT dalam peraturan ini berlaku pula untuk PPAT Sementara yang dijabat oleh
Camat selama masih diangkat sebagai PPAT.
Pada Pasal 2 ayat (2), menyebutkan Kabupaten/Kota tingkat II yang jumlah PPAT-nya telah mencapai
jumlah sama atau lebih dari formasi yang ditetapkan dengan rumus dimaksud pada pasal 1 di atas
dinyatakan tertutup untuk pengangkatan PPAT baru maupun pindahan dari daerah lain.
Daerah kerja suatu PPAT adalah yang menunjukan kewenangan dari PPAT tersebut membuat akta-akta
PPAT. Daerah ini pada umumnya meliputi satu kantor pertanahan tertentu, namun tidak tertutup
kemungkinan PPAT ini mempunyai daerah kerja lainnya. Banyak protes dari para Notaris maupun dari ikatan
PPAT tentang wilayah para PPAT, seperti di daerah Jakarta Raya, karena ada Notaris-PPAT yang mempunyai
wilayah se-Jakarta Raya, tetapi ada juga PPAT yang baru dilantik hanya daerah tingkat II di daerah Jakarta
Raya.
Dengan adanya persyaratan dari Pasal 6 ini, maka sudah jelas siapa yang dapat diangkat sebagai PPAT,
yaitu telah mendapat pendidikan khusus spesialis notariat atau program pendidikan khusus PPAT yang
diadakan oleh lembaga pendidikan tinggi di samping harus pula lulus dari ujian yang diadakan oleh Kantor
Menteri Negara Agraria/Kantor Pertanahan Nasional.
Dengan demikian kemungkinan diangkat sebagai PPAT tanpa ujian ataupun yang belum pernah
mendapatkan pendidikan khusus tentang PPAT tidak akan mungkin. Kalaupun ada PPAT sementara Camat
atau Kepala Desa maka tentunya pemerintah perlu mengatur dengan suatu Peraturan Menteri atas
dispensasi tersebut.
(2) Ayat 1 huruf c merupakan suatu penyelesaian dari ada seseorang diangkat sebagai PPAT, tetapi
kemudian diangkat sebagai notaris di kota lain, sehingga menurut ketentuan ini yang bersangkutan berhenti
sebagai PPAT, sungguh pun kalau masih ada lowongan di kota yang bersangkutan diangkat kembali sebagai
PPAT di tempat yang bersangkutan sebagai notaris.
(3) Hal ini sebagai solusi seseorang yang diangkat sebagai PPAT dan kemudian sebagai notaris di kota lain
tetap memegang kedua jabatan tersebut dan tetap melakukan tugas-tugas PPAT dan notarisnya dan
usahanya untuk diangkat sebagai PPAT di tempat yang bersangkutan sebagai notaris tidak dikabulkan oleh
Kepala BPN hanya disuruh berhenti saja sebagai PPAT atau dia diangkat saja sebagai notaris di tempat
ditunjuk sebagai PPAT.
Sedangkan ayat (2) merupakan ketegasan dari PPAT sementara ataupun PPAT khusus yang tidak mungkin
melanjutkan tugas-tugasnya kalau mereka dipindahkan ataupun berhenti sebagai pejabat di daerah itu baik
sebagai camat atau kepala desa dan demikian pula PPAT khusus itu dipindah ke lain jabatan ataupun
berhenti ataupun pensiun sebagai pegawai negeri.
Sementara Daerah kerja PPAT diatur dalam Pasal 12 PP No.37/1998, sebagai berikut:
(1) Daerah kerja PPAT adalah satu wilayah kerja Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota.
(2) Daerah kerja PPAT Sementara dan PPAT Khusus meliputi wilayah kerjanya sebagai pejabat pemerintah
yang menjadi dasar penunjukannya.
Untuk daerah yang terjadi pemekaran atau pemecahan menjadi 2 (dua) atau lebih tentunya dapat
mengakibatkan perubahan daerah kerja PPAT didaerah yang terjadi pemekaran atau pemecahan tersebut.
Hal ini telah diatur dalam Pasal 13 PP No.37/1998, sebagai berikut :
(1)Apabila suatu wilayah Kabupaten/Kota dipecah menjadi 2 (dua) atau lebih wilayah Kabupaten/Kota,
maka dalam waktu 1 (satu) tahun sejak diundangkannya Undang-Undang tentang pembentukan
Kabupaten/Kota Daerah tingkat II yang baru PPAT yang daerah kerjanya adalah Kabupaten/Kota semua
harus memilih salah satu wilayah Kabupaten/Kota sebagai daerah kerjanya, dengan ketentuan bahwa
apabila pemilihan tersebut tidak dilakukan pada waktunya, maka mulai 1 (satu) tahun sejak
diundangkannya Undang-Undang pembentukan Kabupaten/Kota Daerah Tingkat II yang baru tersebut
daerah kerja PPAT yang bersangkutan hanya meliputi wilayah Kabupaten/Kota letak kantor PPAT yang
bersangkutan.
(2) Pemilihan daerah kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku dengan sendirinya mulai 1 (satu)
tahun sejak diundangkannya Undang-Undang pembentukan Kabupaten/Kota daerah Tingkat II yang baru.
Dari rumusan diatas dapat dipahami bahwa dalam ayat (1) memberikan suatu kemudahan kepada PPAT
untuk memilih salah satu wilayah kerjanya, dan jika ada kantor pertanahannya disitulah dianggap sebagai
tempat kedudukannya dan disamping itu diberi dia tenggang waktu satu tahun untuk memilih, dan jika dia
tidak memilih salah satu dari daerah tersebut, maka dianggap dia telah memilih kantor pertanahan di
daerah kerjanya dan atas daerah kerja lainnya setelah satu tahun tidak lagi berwenang. Sedangkan dalam
masa peralihan yang lamanya 1 (satu) tahun PPAT yang bersangkutan berwenang membuat akta mengenai
hak atas tanah atau Hak Milik Atas satuan rumah Susun yang terletak di wilayah Daerah Tingkat II yang
baru maupun yang lama.
(2) Perbuatan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebagai berikut :
a. jual beli;
b. tukar-menukar;
c. hibah;
d. pemasukan dalam perusahaan (inbreng);
e. pembagian harta bersama;
f. pemberian Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas tanah Hak Milik;
g. pemberian Hak Tanggungan
h. pemberian kuasa membebankan Hak Tanggungan.
Sementara Pasal 101 Peraturan Menagria/KBPN No.3 Tahun 1997, menyebutkan sebagai berikut :
1. pembuatan akta PPAT harus dihadiri oleh para pihak yang melakukan perbuatan hukum yang
bersangkutan atau orang yang dikuasakan olehnya dengan surat kuasa tertulis sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
2. Pembuatan akta PPAT harus disaksikan oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi yang memuat
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku memenuhi syarat untuk bertindak sebagai saksi
dalam suatu perbuatan hukum, yang memberi kesaksian antara lain mengenai kehadiran para pihak atau
kuasanya, keberadaan dokumen-dokumen yang ditunjukan dalam pembuatan akta, dan telah
dilaksanakannya perbuatan hukum yang bersangkutan.
3. PPAT wajib membacakan akta kepada para pihak yang bersangkutan dan memberi penjelasan mengenai
isi dan maksud pembuatan akta, dan prosedur pendaftaran yang harus dilaksanakan selanjutnya sesuai
dengan ketentuan yang berlaku.
Atas ayat (1) maka tugas dari PPAT adalah melakukan perekaman perbuatan hukum (recording of deeds of
conveyance) sebagaimana diatur dalam ayat (2).
(2) PPAT khusus hanya berwenang membuat akta mengenai perbuatan hukum yang disebut secara khusus
dalam penunjukannya.
Demikian PPAT hanya berwenang untuk membuat akta-akta PPAT berdasarkan penunjukannya sebagai
PPAT, di sesuatu wilayah dan perbuatan-perbuatan hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (2) PP
No.37/1998 tersebut. Sedangkan kewenangan PPAT khusus tersebut adalah pembuatan akta PPAT yang
secara khusus ditentukan.
Mengenai bentuk akta PPAT ditetapkan oleh Menteri sebagaimana dalam Pasal 21 PP No.37/1998, sebagai
berikut :
(1) Akta PPAT dibuat dengan bentuk yang ditetapkan oleh Menteri.
(2) Semua jenis akta PPAT diberi satu nomor urut yang berulang pada tahun takwin.
(3) Akta PPAT dibuat dalam bentuk asli dalam 2 (dua) lembar, yaitu :
a. lembar pertama sebanyak 1 (satu) rangkap disimpan oleh PPAT bersangkutan, dan
b. lembar kedua sebanyak 1 (satu) rangkap atau lebih menurut banyaknya hak atas tanah atau Hak Milik
Atas Satuan Rumah Susun yang menjasi obyek perbuatan hukum dalam akta yang disampaikan kepada
Kantor Pertanahan untuk keperluan pendaftaran, atau dalam hal akta tersebut mengenai pemberian kuasa
membebankan Hak Tanggungan, disampaikan kepada pemegang kuasa untuk dasar pembuatan akta
Pemberian Hak Tanggungan, dan kepada pihak-pihak yang berkepentingan dapat diberikan salinannya.
Yang mengherankan dalam penjelasan ayat (1) pasal diatas, bahwa untuk memenuhi syarat otentiknya
suatu akta, maka akta PPAT wajib ditentukan bentuknya oleh Menteri. Penulis tidak sependapat dengan
penjelasan tersebut, karena yang menentukan keotentikan suatu akta yaitu kewenangan pejabat yang
membuatnya, komparisi, nama-nama dan tanggal akta dibuat sesuai dengan ketentuan yang ada, hal itulah
yang membuat akta itu otentik.
BAB IV
PENUTUP
a. Kesimpulan
1. Dikenalnya beberapa PPAT yaitu Notaris atau yang khusus menempuh ujian PPAT, ada pula PPAT
sementara yaitu Camat atau Kepala Desa tertentu untuk melaksanakan tugas PPAT, karena di suatu daerah
belum cukup PPAT.
2. PPAT diangkat dan diberhentikan oleh Menteri untuk suatu daerah kerja tertentu yang meliputi wilayah
kerja Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota.
3. PPAT bertugas pokok melaksanakan sebagian kegiatan pendaftaran tanah dengan membuat akta sebagai
bukti telah dilakukannya perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan
Rumah Susun, perbuatan hukum dimaksud sebagai berikut :
a. jual beli;
b. tukar menukar;
c. hibah;
d. pemasukan ke dalam perusahaan (inbreng);
e. pembagian hak bersama;
f. pemberian Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas tanah Hak Milik;
g. pemberian Hak Tanggungan;
h. pemberian kuasa membebankan Hak Tangungan.
b. Saran
Mengingat masih adanya perbedaan pendapat di kalangan akedemisi mengenai keotentikan akta PPAT yang
selama ini diatur melalui Peraturan Pemerintah maka sebaiknya Pemerintah beserta DPR segera membuat
Undang-Undang mengenai PPAT.
Bimtek Pertanahan Keberadaan PPAT sebagai Pejabat Umum dipertegas juga dalam peraturan
perundang undangan lainnya yaitu : 1) PP Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah,
yang merupakan penyempurnaan dari PP Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah.
2) PP Nomor 24 Tahun 1997, Pasal 6 ayat (2) menyatakan bahwa dalam melaksanakan
Pendaftaran Tanah, Kepala Kantor Pertanahan dibantu oleh PPAT dan pejabat lain yang
ditugaskan untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan tertentu menurut PP ini dan peraturan
perundang-undangan yang bersangkutan 3) PP Nomor 37 Tahun 1998, Pasal 1 ayat (1)
menyatakan bahwa PPAT adalah pejabat umum yang diberikan kewenangan untuk membuat
akta otentik mengenai perbuatan hukum tersebut mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai
hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun. 4) PP Nomor 37 Tahun 1998 , Pasal 4
ayat (1) mengatakan bahwa PPAT hanya berwenang membuat akta mengenai hak atas tanah
atau hak milik atas satuan rumah susun yang terletak di dalam daerah kerjanya. 5) PP Nomor
37 Tahun 1998, Pasal 2 ayat (2) mengatakan bahwa perbuatan hukum yang menjadi kewenangan
PPAT meliputi: a. Jual beli b. Tukar menukar c. Hibah d. Pemasukan ke Dalam
Perusahaan e. Pembagian Hak Bersama f. Pemberian Hak Guna Bangunan / Hak Pakai Atas
Tanah Hak Milik g. Pemberian Hak Tanggungan h. Pemberian Kuasa Membebankan Hak.
Berdasarkan PP Nomor 24 Tahun 1997 juncto PP Nomor 37 Tahun 1998, kedudukan PPAT
secara tegas dicantumkan sebagai Pejabat Umum dan akta-akta yang dibuatnya merupakan
akta otentik. Di sisi lain kehadiran PPAT harus dipandang sebagai bagian dari keseluruhan
sistem pendaftaran tanah, dimana BPN, PPAT, Panitia adjudikasi dan Pejabat lainnya
menjalankan kegiatan pendaftaran tanah sesuai dengan kewenangannya masing-masing dimana
adanya saling mendukung antar kewenangannya itu. Bimtek Pertanahan ini diselenggarakan
pada :
BAB I
PENDAHULUAN
1. A. Latar Belakang
Pasal 1 Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 2006
menyebutkan bahwa PPAT adalah pejabat umum yang diberi kewenangan untuk
membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas
tanah dan satuan rumah susun. Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) memang pejabat
umum yang berwenang untuk membuat akta otentik sejauh pembuatan akta tertentu
tidak dikhususkan bagi pejabat umum lainnya. Pembuatan akta otentik ada yang
diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dalam rangka menciptakan kepastian,
ketertiban, dan perlndungan hukum. Selain akta otentik yang dibuat oleh atau di
hadapan PPAT, bukan saja karena diharuskan oleh peraturan perundang-undangan,
tetapi juga karena dikehendaki oleh pihak yang berkepentingan untuk memastikan hak
dan kewajiban para pihak demi kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum bagi
pihak yang berkepentingan sekaligus bagi masyarakat secara keseluruhan.
Akta otentik sebagai alat bukti terkuat dan terpenuh mempunyai peranan penting dalam
setiap hubungan hukum dalam kehidupan masyarakat. Dalam berbagai hubungan
bisnis, kegiatan di bidang perbankan, pensertipikatan tanah, kegiatan sosial, dan lain-
lain
kebutuhan akan pembuktian tertulis berupa akta otentik makin meningkat sejalan
dengan berkembangnya tuntutan akan kepastian hukum dalam berbagai hubungan
ekonomi dan sosial, baik pada tingkat nasional, regional maupun global. Melalui akta
otentik yang menentukan secara jelas hak dan kewajiban, menjamin kepastian hukum,
dan sekaligus diharapkan pula dapat dihindari terjadinya sengketa. Walaupun sengketa
tersebut tidak
dapat dihindari, dalam proses penyelesaian sengketa tersebut akta otentik akan
merupakan alat bukti tertulis yang kuat dan memberikan sumbangan nyata bagi
penyelesaian perkara secara murah dan cepat.
Akta otentik pada hakikatnya memuat kebenaran formal sesuai dengan apa yang
diberitahukan para pihak kepada PPAT. Namun PPAT mempunyai kewajiban untuk
memastikan bahwa apa yang termuat dalam Akta PPAT sungguh-sungguh telah
dimengerti dan sesuai dengan kehendak para pihak, yakni dengan cara
membacakannya sehingga menjadi jelas isi Akta PPAT, serta memberikan akses
terhadap informasi, termasuk akses terhadap peraturan perundang-undangan yang
terkait bagi para pihak penandatangan akta. Dengan demikian, para pihak dapat
menentukan dengan bebas untuk menyetujui atau tidak menyetujui isi Akta PPAT yang
akan ditandatanganinya.
Oleh karena hal tersebut diatas Penulis merasa tertarik dan perlu membahas
permasalahan yang ada dengan mengambil judul sebagai berikut : PERANAN
PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH DALAM PENSERTIFIKATAN TANAH (sesuai
dengan Kode Etik Ikatan Pejabat Pembuat Akta Tanah dan Peraturan
Perundangan Lainnya).
1. B. Identifikasi Masalah
Berdaarkan uraian tersebut diatas,maka permasalah yang akan dibahas yaitu :
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Dalam pengelolaan bidang pertanahan di Indonesia, terutama dalam kegiatan pendaftaran tanah,
Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), merupakan pejabat umum yang menjadi mitra instansi
BPN guna membantu menguatkan/mengukuhkan setiap perbuatan hukum atas bidang tanah yang
dilakukan oleh subyek hak yang bersangkutan yang dituangkan dalam suatu akta otentik.
“Segala Warga Negara bersama kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib
menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”
Ungkapan kalimat tersebut mengandung pengertian bahwa semua Warga Negara Indonesia
mempunyai kedudukan yang sama di muka hukum, dan berkewajiban tunduk pada hukum yang
berlaku.
Dalam ketentuan Hukum Tanah Nasional yaitu Undang-Undang Pokok Agraria No.5 Tahun
1960 mengatur bahwa semua Peralihan Hak Atas Tanah dan Hak Milik Atas Satuan Rumah
Susun melalui jual beli, tukar menukar, hibah, pemasukan dan perbuatan hukum pemindahan hak
lainnya, kecuali pemindahan hak melalui lelang hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan
akta yang dibuat oleh PPAT yang berwenang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
Pejabat Pembuat Akta Tanah yang kemudian disingkat PPAT sebagai Warga Negara sekaligus
Pejabat yang berwenang membuat akta otentik mengenai segala sesuatu perbuatan hukum
berkaitan dengan peralihan Hak Atas Tanah,
Menurut Pasal 1 ayat (3) kode etik Ikatan Pejabat Pembuat Akta Tanah yang disebut dengan
Pejabat Pembuat Akta Tanah atau PPAT adalah setiap orang yang menjalankan tugas jabatannya
yang menjalankan fungsi sebagai pejabat umum.
Sedangkan Pasal 1 Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 2006
menyebutkan bahwa PPAT adalah pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-
akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau hak milik atas
satuan rumah susun.[1] Dalam PP No. 37/1998 ini juga memuat PPAT sementara dan PPAT
khusus. Selain itu wajib membantu kliennya apabila ingin melakukan peralihan hak atas tanah
dengan tidak menyimpang dari peraturan jabatannya sebagai Pejabat pembuat Akta Tanah.
Effendi Perangin-angin menyebutkan bahwa PPAT adalah pejabat yang berwenang membuat
akta daripada perjanjian-perjanjian yang bermaksud memindahkan hak atas tanah, memberikan
sesuatu hak baru atas tanah, menggadaikan tanah atau meminjamkan uang dengan hak atas tanah
sebagai tanggungan.[2]
Macam-macam PPAT menurut ketentuan dari Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun
1998 adalah terdiri dari :
a) Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) adalah pejabat umum yang diberi kewenangan untuk
membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah dan hak
milik atas satuan rumah susun.
b) PPAT sementara adalah Pejabat pemerintah yang ditunjuk karena jabatannya untuk
melaksanakan tugas PPAT dengan membuat akta PPAT di daerah yang belum cukup terdapat
PPAT.
c) PPAT khusus adalah Pejabat Badan Pertanahan Nasional yang ditunjuk karena jabatannya
untuk melaksanakan tugas PPAT dengan membuat akta PPAT tertentu khusus dalam rangka
pelaksanaan program atau tugas pemerintah tertentu.
Sedangkan menurut Undang-Undang Nomor 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah
Beserta Benda-Benda yang Berkaitan Dengan tanah. Yang disebut dengan PPAT adalah pejabat
umum yang diberikan wewenang untuk membuat akta pemindahan hak atas tanah, akta
pembebanan hak atas tanah dan akta pemberi kuasa pembebanan hak Tanggungan menurut
Peraturan Perundang-undangan yang berlaku.
Dalam pelaksanaan administrasi pensertipikatan tanah, data pendaftaran tanah yang tercatat di
Kantor Pertanahan harus selalu sesuai dengan keadaaan atau status sebenarnya mengenai bidang
tanah yang bersangkutan, baik yang menyangkut data fisik bidang tanah tesebut maupun
hubungan hukum yang menyangkut bidang tanah itu atau data yuridisnya.
Dalam hubungan dengan tindak lanjut terhadap pencatatan data yuridis ini, diperlukan Petugas
Pembuat Akta Tanah atau PPAT yang akan menerbitkan akta tanah. Dengan demikian, peran
PPAT sangat penting dalam hubungannya dengan maksud memudahkan pendataan, pendaftaran,
memberikan hak baru, dan/atau membebankan hak atas tanah.
Dari pengertian PPAT di atas, maka dapat dilihat betapa pentingnya fungsi dan peranan PPAT
dalam melayani kebutuhan masyarakat dalam hal pertanahan baik pemindahan hak atas tanah,
pemberian hak baru atau hak lainnya yang berhubungan dengan hak atas tanah.
Ketentuan hukum tentang PPAT yang diatur dalam UUPA yaitu Pasal 19 UUPA yang
menyatakan bahwa :
(1) Untuk menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah diadakan Pendaftaran Tanah di seluruh
wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
c. Pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat.
(3) Pendaftaran tanah diselenggarakan dengan mengingat keadaan Negara dan Masyarakat,
keperluan lalu-lintas sosial ekonomis serta kemungkinan penyelenggaraannya, menurut
pertimbangan Menteri Agraria.
(4) Dalam Peraturan pemerintah diatur biaya-biaya yang bersangkutan dengan yang tidak
mampu dibebaskan dari pembayaran biaya-biaya tersebut.
Dalam Peraturan tersebut PPAT berfungsi sebagai pembuat akta yang bermaksud memindahkan
hak atas tanah, memberikan hak baru atau membebankan hak atas tanah, dalam rangka
pendaftarannya.
Pada tanggal 18 Maret 1996, DPR RI telah menyetujui Rancangan Undang-Undang tentang Hak
Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-benda yang Berkaitan dengan Tanah untuk disahkan
menjadi undang-undang. Terbitnya Undang-Undang Hak Tanggungan atas Tanah (UUHT) yang
merupakan perwujudan amanat Pasal 51 UUPA itu, sudah sepantasnya disambut dengan
perasaan lega. Namun, yang lebih penting adalah antisipasi pelaksanaannya.[3]
PPAT sebagai pejabat umum yang ditegaskan dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun
1996 tentang Hak Tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah
disebutkan bahwa : “PPAT yang selanjutnya disebut PPAT, adalah pejabat umum yang diberi
wewenang untuk membuat akta pemindahan hak atas tanah, akta pembebanan hak atas tanah,
dan akta pemberian kuasa pembebanan Hak Tanggungan “menurut peraturan perundang-
undangan yang berlaku”.
Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 disebut memberikan ketegasan bahwa PPAT adalah
pejabat umum dan berwenang membuat akta otentik. Akta otentik. Akta otentik yang dimaksud
menurut Pasal 1868 KUHPerdata adalah : “suatu akta otentik ialah suatu akta yang di dalam
bentuk yang ditetapkan oleh Undang-Undang, dibuat oleh atau dihadapkan pejabat umum yang
berkuasa untuk di tempat di mana akta dibuatnya”.
Pengaturan tentang PPAT dalam PP Nomor 24 Tahun 1997 dituangkan dalam Pasal 37
menegaskan bahwa peralihan hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun melalui jual-
beli, tukar-menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan dan perbuatan hukum pemindahan hak
lainnya, kecuali pemindahan hak melalui lelang hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan
akta yang dibuat oleh PPAT yang berwenang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
Lebih lanjut dalam Penjelasan Umum PP Nomor 37 Tahun 1998 menentukan fungsi PPAT yang
cukup besar dalam bidang pelayanan masyarakat dan peningkatan sumber penerimaan Negara
yang kemudian akan merupakan pendorong untuk peningkatan pembangunan nasional.
d. Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Pejabat Pembuat Akta Tanah
Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Pejabat Pembuat Akta Tanah, ini
merupakan landasan yuridis pengaturan tentang PPAT di Indonesia. Dalam Pasal1 disebutkan
bahwa :
“PPAT adalah pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta otentik
mengenai perbuatan hokum tertentu mengenai Hak Atas Tanah atau Hak Milik Atas Satuan
Rumah Susun”.
PPAT sebagai pejabat yang berwenang membuat akta otentik peralihan hak atas tanah diangkat
dan diberhentikan oleh menteri yang bertanggung jawab di bidang agrarian/pertanahan. Segala
hal yang menyangkut tugas dan wewenang PPAT ditegaskan dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pembuat Akta Tanah yang dituangkan pada
tanggal 5 Maret 1998 (lembaga Negara Tahun 1998 Nomor 52, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3746).
PPAT mempunyai tugas yang penting dan strategis dalam penyelenggaraan pendaftaran tanah
yaitu membuat akta peralihan hak atas tanah. Tanpa bukti berupa akta PPAT, para Kepala Kantor
Pertanahan dilarang mendaftar perbuatan hukum yang bersangkutan.
Akta yang dibuat PPAT sebagai pejabat umum merupakan akta otentik. PPAT sebagai pejabat
yang bertugas khusus di bidang pelaksanaan sebagian kegiatan pendaftaran tanah, yang
dimaksud adalah :
1) Notaris;
e. Peraturan Kepala BPN No. 1 Tahun 2006 tentang Ketentuan Pelaksana Peraturan
Pemerintah No. 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah
Peraturan Kepala BPN Nomor 1 Tahun 2006 tentang Ketentuan Pelaksana PP No. 37 Tahun
1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah adalah sebagai pengganti dari
Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala BPN Nomor 4 Tahun 1999 tentang Pelaksanaan PP
Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah.
Mengenai penunjukan PPAT sementara diatur dalam Pasal 19 Peraturan Kepala BPN Nomor 1
Tahun 2006 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998, yaitu
“Penunjukan Camat sebagai PPAT sementara dilakukan dalam hal di daerah kabupaten/kota
sebagai wilayah kerjanya masih tersedia formasi PPAT”. Keputusan penunjukan camat sebagai
PPAT sementara oleh Kepala Badan yang pelaksanaannnya didelegasikan kepada Kepala Kantor
Pertanahan Kabupaten/Kota.
Mengingat pentingnya tugas dan fungsi Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dalam kehidupan
masyarakat di Indonesia sekarang ini maka pemerintah menetapkan juga kriteria-kriteria dan
syarat-syarat dari Pejabat Pembuat Akta Tanah.
Pengangkatan dan penunjukan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) diatur dalam dalam Pasal
11 dan Pasal 12 Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 2006.
(2) Untuk dapat diangkat sebagai PPAT, yang bersangkutan harus lulus ujian PPAT yang
diselenggarakan oleh Badan Pertanhsn Nasional Republik Indonesia
(3) Ujian PPAT sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diselenggarakan untuk mengisi formasi
PPAT di kabupaten/kota yang formasi PPAT nya belum terpenuhi.[4]
(1) Sebelum mengikuti ujian PPAT, yang bersangkutan wajib mengikuti pendidikan dan
pelatihan PPAT yang diselenggarakan oleh Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia yang
penyelenggaraannya dapat bekerja sama dengan organisasi profesi PPAT.
(2) Pendidikan dan pelatihan PPAT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dimaksudkan untuk
mendapatkan calon PPAT yang profesional dan memiliki kemampuan dalam melaksanakan
tugas jabatannya.
(3) Materi ujian PPAT terdiri dari: (1) Hukum Pensertipikatan tanah Nasional; (2)
Organisasi dan Kelembagaan Pensertipikatan tanah; (3) Pendaftaran Tanah; (4) Peraturan
Jabatan PPAT; (5) Pembuatan Akta PPAT; dan (6) Etika Profesi.[5]
Untuk dapat mengikuti ujian PPAT yang tercantum dalam Pasal 14 Peraturan Kepala BPN
Nomor : 1/2006 bahwa yang bersangkutan berusia paling kurang 30 (tiga puluh) tahun dan wajib
mendaftar pada panitia pelaksana ujian Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia.
Calon PPAT yang telah lulus ujian PPAT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 mengajukan
permohonan pengangkatan sebagai PPAT kepada Kepala Badan Pertanahan Nasional,
selanjutnya Kepala Badan Pertanahan Nasional menerbitkan keputusan pengangkatan PPAT.
Selain PPAT sebagaimana dimaksudkan di atas, Camat maupun Kepala Desa dapat pula menjadi
PPAT di wilayahnya. Hal ini disebabkan suatu keadaan tertentu (kondisi geodrafis, kondisi
masyarakat setempat, atau jumlah PPAT-nya belum cukup, dan lain-lain) sehingga Camat
maupun Kepala Desa ditunjuk menjadi PPAT. Seperti disebutkan pada Pasal 18 Peraturan
Kepala Badan Pertanahan Nasional bahwa:
(1) Dalam hal tertentu Kepala Badan dapat menunjuk Camat dan/atau Kepala Desa karena
jabatannya sebagai PPAT Sementara;
(2) Sebelum Camat dan/atau Keepala Desa ditunjuk sebagai PPAT Sementara, yang
bersangkutan wajib mengikuti pendidikan dan pelatihan PPAT yang diselenggarakan oleh Badan
Petanahan Nasional Republik Indonesia yang penyelenggaraannya dapat bekerja sama dengan
organisasi profesi PPAT.
(3) Kewajiban mengikuti pendidikan dan pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dikecualikan bagi Camat dan/atau Kepala Desa yang akan ditunjuk sebagai PPAT Sementara,
apabila di daerah kabupaten/kota yang bersangkutan belum ada PPAT.
(5) Pendidikan dan Pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dimaksudkan untuk
menambah kemampuan PPAT Sementara dalam melaksanakan tugas jabatannya.[6]
Dari beberapa penjelasan yang disampaikan melalui pasal-pasal tersebut di atas, jelaslah bahwa
PPAT adalah pejabat yang tugasnya berkaitan dengan pendaftaran dan pembuatan akta tanah
yang dipersiapkan dengan persyaratan sedemikian rupa agar dapat melaksanakan tugas
jabatannya. Di samping PPAT umum, juga ada PPAT Sementara dan PPAT Khusus yang
mempunyai tugas pokok dan kewenangan sendiri-sendiri.
Hal yang penting untuk dipahami pula mengenai PPAT, bahwa sebagai pejabat yang
melaksanakan tugas berkaitan dengan bidang pendaftaran dan pembuatan akta tanah, jabatan
PPAT selalu dikaitkan dengan wilayah tertentu yang menjadi daerah kerjanya. Pasal 5 Peraturan
Kepala Badan Petanahan Nasional Nomor 1 Tahun 2006 mengatur tentang wilayah atau daerah
kerja PPAT, bahwa:
(1) Daerah kerja PPAT adalah suatu wilayah kerja Kantor Pertanahan;
(2) Daerah kerja PPAT Sementara dan PPAT Khusus meliputi wilayah kerjanya sebagai pejabat
pemerintah yang menjadi dasar penunjukannya.[7]
Karena fungsinya yang penting berkaitan dengan bidang pendaftaran dan pembuatan akta tanah
bagi masyarakat yang memerlukan, maka fungsi tersebut harus dilaksanakan di seluruh wilayah
negara. Karena itu di wilayah yang belum cukup terdapat PPAT, Camat perlu ditunjuk sebagai
pejabat yang melaksanakan fungsi tersebut.
Adapun yang dimaksud dengan daerah yang belum cukup terdapat PPAT adalah daerah yang
jumlah PPAT nya belum memenuhi jumlah formasi yang ditetapkan oleh Menteri sesuai dengan
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 (tentang formasi PPAT). Di daerah yang sudah
cukup terdapat PPAT dan merupakan daerah tertutup untuk pengangkatan PPAT baru, Camat
yang baru tidak lagi ditunjuk sebagai PPAT Sementara. Berdasarkan pertimbangan untuk
memenuhi pelayanan kepada masyarakat di daerah-daerah terpencil, yang masyarakat akan
merasakan kesulitan apabila harus pergi ke Kantor Kecamatan untuk melaksanakan transaksi
mengenai tanahnya. Menteri juga dapat menunjuk Kepala Desa untuk melaksanakan tugas
PPAT.
Menurut Boedi Harsono bahwa tugas PPAT yaitu Membantu pihak-pihak yang melakukan
perbuatan hukum untuk mengajukan permohonan ijin pemindahan hak dan permohonan
penegasan konversi serta pendaftaran hak atas tanah.[8]
Tugas pokok dan kewenangan PPAT diatur dalam Pasal 2 Peraturan Kepala Badan Pertanahan
Nasional Nomor 1 Tahun 2006, bahwa:
(1) PPAT bertugas pokok melaksanakan sebagian kegiatan pendaftaran tanah dengan membuat
akta sebagai bukti telah dilaksanakannya perbuatan hokum tertentu mengenai hak atas tanah atau
Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang akan dijadikan dasar bagi pendaftaran perubahan data
pendaftaran tanah yang diakibatkan oleh perbuatan hukum itu.
(2) Perbuatan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebagai berikut:
(c) hibah;
(f) pemberian Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas Tanah Hak Milik;
PPAT adalah pejabat umum, maka akta yang dibuatnya diberi kedudukan sebagai akta otentik.
PPAT dapat melaksanakan tugas pembuatan akta tanah baik di dalam maupun di luar kantornya.
Hal ini diatur dalam Pasal 52 Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun
2006, bahwa:
(1) PPAT melaksanakan tugas pembuatan akta PPATdi kantornya dengan dihadiri oleh para
pihak dalam perbuatan hukum yang bersangkutan atau kuasanya sesuai peraturan perundang-
undangan.
(2) PPAT dapat membuat akta di luar kantornya hanya apabila salah satu pihak dalam perbuatan
hukum atau kuasanya tidak dapat datang di kantor PPAT karena alasan yang sah, dengan
ketentuan pada saat pembuatan aktanya para pihak harus hadir di hadapan PPAT di tempat
pembuatan akta yang disepakati.[10]
Agar para PPAT mempunyai wawasan yang luas berkaitan dengan jabatannya sehingga dapat
menjalankan tugas dengan baik, maka perlu ada pembinaan dan pengawasan terhadap mereka.
Hal itu telah diatur dalam Pasal 65 sampai dengan Pasal 68 Peraturan Kepala Badan Pertanahan
Nasional Nomor 1 Tahun 2006, yakni sebagai berikut:
(1) Pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan tugas PPAT dilakukan oleh Kepala
Badan.
(2) Pembinaan dan pengawasan PPAT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam
pelaksanaannya oleh kepala Badan, Kepala Kantor Wilayah dan Kepala Kantor Pertanahan.[11]
(1) Pembinaan dan pengawasan terhadap PPAT yang dilakukan oleh Kepala Badan sebagai
berikut:
(2) Pembinaan dan pengawasan terhadap PPAT yang dilakukan oleh Kepala Kantor sebagai
berikut:
Menyampaikan dan menjelaskan kebijakan dan peraturan pensertipikatan tanah serta petunjuk
teknis pelaksanaan tugas PPAT yang telah ditetapkan oleh Kepala Badan dan peraturan
perundang-undangan yang berlaku;
membantu melakukan sosialisasi, diseminasi kebijakan dan peraturan pensertipikatan tanah
serta petunjuk teknis;
secara periodik melakukan pengawasan Kantor PPAT guna memastikan ketertiban administrasi,
pelaksanaan tugas dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan ke-
PPAT-an.
(3) Pembinaan dan pengawasan terhadap PPAT yang dilakukan oleh Kepala Kantor Pertanahan
sebagai berikut:
membantu menyampaikan dan menjelaskan mkebijakan dan peraturan pensertipikatan tanah
serta petunjuk teknis pelaksanaan tugas PPAT yang telah ditetapkan oleh Kepala Badan dan
peraturan perundang-undangan;
memeriksa akta yang dibuat PPAT dan memberitahukan secara tertulis kepada PPAT yang
bersangkutan apabila ditemukan akta yang tidak memenuhi syarat untuk digunakan sebagai
dasar pendaftaran haknya;
melakukan pemeriksaan mengenai pelaksanaan kewajiban operasional PPAT.[12]
Sedangkan berdasarkan Pasal 7 Kode Etik IPPAT menyebutkan bahwa pengawasan atas
pelaksanaan kode etik ini dilakukan dengan cara sebagai berikut :
1. Pada tingkat pertama oleh Pengurus Daerah IPPAT dan Majelis Kehormatan Daerah bersama-
sama dengan pengurus cabang dan seluruh anggota;
2. Pada tingkat terakhir oleh Pengurus Pusat IPPAT dan Majelis Kehormatan Pusat.
Pasal 6 ayat (1) Kode Etik IPPAT menjelaskan bahwa sanksi yang dikenakan terhadap anggota
yang melakukan pelanggaran kode etik dapat berupa : teguran, peringatan, schorsing (pemecatan
sementara dari keanggotaan IPPAT, Onzetting (pemecatan dari keanggotaan IPPAT),
pemberhentian dengan tidak hormat dari keanggotaan IPPAT.
Pasal 6 ayat (2) menjelaskan penjatuhan sanksi-sanksi sebagaimana terurai diatas terhadap
anggota yang melakukan pelanggaran kode etik disesuaikan dengan kuantitias dan kualitas
pelanggaran yang dilakukan anggota tersebut.
Sedangkan Perihal sanksi hukum terhadap PPAT lebih tegas digambarkan dalam Pasal 28 Ayat
(1) huruf c Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 2006, bahwa PPAT
diberhentikan dengan hormat dari jabatannya karena melakukan pelanggaran ringan terhadap
larangan atau kewajiban sebagai PPAT. Kemudian Pasal 28 Ayat (2)menyebutkan bahwa PPAT
diberhentikan dengan tidak hormat dari jabatannya karena: (a) melakukan pelanggaran berat
terhadap larangan atau kewajiban sebagai PPAT; (b) dijatuhi hukuman kurungan penjara karena
melakukan kejahatan perbuatan pidana yang diancam dengan hukuman kurungan atau penjara
selama-lamanya 5 (lima) tahun atau lebih berat berdasarkan putusan pengadilan yang sudah
memperoleh kekuatan hukum tetap; dan (c) melanggar Kode Etik Profesi.
b. Kewenangan PPAT
“Untuk melaksanakan tugas pokok tersebut Pejabat Pembuat Akta Tanah mempunyai
kewenangan membuat akta otentik mengenai semua perbuatan hukumsebagaimana telah
disebutkan di atas, mengenai hak atas tanah dan Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang
terletak di dalam daerah kerjanya. Pejabat Pembuat Akta Tanah Khusus hanya berwenang
membuat Akta mengenai perbuatan hukum yang disebut secara khusus penunjukannya”
Sehubungan dengan tugas dan wewenang PPAT membantu Kepala Kantor pertanahan dalam
melaksanakan sebagian kegiatan pendaftaran tanah dengan membuat akta-akta yang akan
dijadikan dasar pendaftaran perubahan data tanah, dan sesuai dengan jabatan PPAT sebagai
Pejabat Umum, maka akta yang dibuatnya diberi kedudukan sebagai akat otentik.
Akta PPAT dibuat sebagai tanda bukti yang berfungsi untuk memastikan suatu peristiwa hukum
dengan tujuan menghindarkan sengketa. Oleh karena itu pembuatan akta harus sedemikian rupa,
artinya jangan memuat hal-hal yang tidak jelas agar tidak menumbulkan sengketa dikemudian
hari.
Pasal 4 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 menegaskan bahwa PPAT hanya
berwenang membuat akta mengenai hak atas tanah atau Hak Milik atas satuan Rumah Susun
yang terletak di wilayah kerjanya. Pengecualian dari Pasal 4 ayat (1) ditentukan dalam ayat (2),
yaitu untuk akta tukar menukar, akta pemasukan dalam perusahaan (inbreng) dan akta
pembagian hak bersama mengenai beberapa hak atas tanah dan Hak Milik Atas Satuan Rumah
Susun yang tidak semuanya terletak di dalam daerah kerja seseorang PPAT, dapat dibuat oleh
PPAT yang daerah kerjanya meliputi salah satu bidang tanah atau satuan rumah susun yang
haknya menjadi obyek perbuatan hukum.
Pasal 3 Peraturan Kepala BPN Nomor 1 Tahun 2006, menyatakan kewenangan PPAT adalah :
Ayat (1) menyatakan “PPAT mempunyai kewenangan membuat akta tanah yang merupakan akta
otentik mengenai semua perbuatan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2)
mengenai hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun yang terletak dalam daerah
kerjanya”. Ayat (2) menyatakan “PPAT Sementara mempunyai kewenangan membuat akta tanah
yang merupakan akta otentik mengenai semua perbuatan hukum sebagaimana dimaksud Pasal 2
ayat (2) mengenai hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun dengan daerah kerja di
dalam wilayah kerja jabatannya”. Ayat (3) menyatakan “PPAT khusus hanya berwenang
membuat akta mengenai perbuatan hukum yang disebut secara khusus dalam penunjukannya”.
Kewajiban PPAT sebagaimana yang diatur dalam Pasal 45 Peraturan Kepala BPN Nomor 1
Tahun 2006 adalah :
(1) Menjunjung tinggi Pancasila, UUD 1945 dan Negara Republik Indonesia.
(3) Menyampaikan laporan bulanan kepada Kepala Kantor Pertanahan, Kepala Kantor Wilayah
dan Kepala Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan.
(4) Menyerahkan Protokol PPAT dalam hal berhenti dari jabatannya atau melaksanakan cuti.
(6) Membuka kantor setiap hari kerja kecuali cuti atau hari libur resmi.
(7) Berkantor hanya di 1 kantor dalam daerah kerja sesuai dengan keputusan pengangkatan
PPAT.
(8) Menyampaikan alamat kantor, contoh tanda tangan, contoh paraf dan eraan cap/stempel
jabatannya kepada Kepala Kantor Wilayah, Bupati/Walikota, Ketua Pengadilan Negeri dan
Kepala Kantor Pertanahan yang wilayahnya meliputi daerah kerja PPAT.
(10)Memasang papan nama dan menggunakan stempel yang bentuk dan ukurannya ditetapkan
oleh Kepala Badan.
(11) Lain-lain sesuai peraturan perundang-undangan. Kewajiban lain yang harus dilaksanakan
oleh PPAT, satu bulan setelah pengambilan sumpah jabatan ditentukan dalam Pasal 19 Peraturan
Pemerintah No.37 Tahun 1998 yaitu :
(a) Menyampaikan alamat kantornya, contoh tanda tangan, contoh paraf, dan cap/stempel
jabatannya kepada Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Propinsi,
Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II, Ketua Pengadilan Negeri, dan Kepala Kantor
Pertanahan yang wilayahnya meliputi daerah kerja PPAT yang bersangkutan.
(b) Melaksanakan jabatannya secara nyata. PPAT harus berkantor di satu suatu kantor dalam
daerah kerjanya dan wajib memasang papan nama serta menggunakan stempel yang bentuk dan
ukurannya ditetapkan oleh Kepala Badan. Selanjutnya akta PPAT dibuat dengan bentuk yang
ditetapkan oleh Kepala Badan, serta semua jenis akta diberi satu nomor urut yang berulang pada
permukaan tahun takwim.
Akta PPAT dibuat dalam bentuk asli sebanyak 2 (dua) lembar, yaitu:
a) Lembar pertama sebanyak 1 (satu) rangkap disimpan oleh PPAT yang bersangkutan.
b) Lembar kedua sebanyak 1 (satu) rangkap atau lebih menurut banyaknya hak atas tanah atau
satuan rumah susun yang menjadi obyek perbuatan hukum dalam akta, yang disampaikan kepada
Kantor Pertanahan untuk keperluan pendaftaran, atau dalam hal akta tersebut mengenai
pemberian kuasa membebankan hak tanggungan, disampaikan kepada pemegang kuasa untuk
dasar pembuatan akta pemberian hak tanggungan, dan kepada pihak yang berkepentingan dapat
diberikan salinannya.
Setiap lembar akta PPAT asli yang disimpan oleh PPAT harus dijilid sebulan sekali dan setiap
jilid terdiri dari 50 lembar akta dengan jilid terakhir dalam setiap bulan memuat lembar-lembar
akta sisanya. Pada sampul buku akta asli penjilidan akta-akta itu dicantumkan daftar akta
didalamnya yang memuat nomor akta, tanggal pembuatan akta dan jenis akta.
Berdasarkan Pasal 26 ditegaskan bahwa PPAT harus membuat satu daftar untuk semua akta yang
dibuatnya. Buku daftar akta PPAT diisi setiap akhir hari kerja dengan garis tinta yang diparaf
oleh PPAT yang bersangkutan.
PPAT berkewajiban mengirim laporan bulanan mengenai akta yang dibuatnya, yang diambil dari
buku daftar akta PPAT kepada Kepala Kantor Pertanahan dan kantor-kantor lain sesuai
ketentuan Undang-Undang atau Peraturan Pemerintah yang berlaku selambat-lambatnya tanggal
10 bulan berikutnya. PPAT harus dapat melaksanakan tugas
yang diembannya dengan sebaik-baiknya. Karena dalam Pasal 62 PP Nomor 24 Tahun 1997
telah ditetapkan sanksi bagi PPAT yang dalam melaksanakan tugasnya mengabaikan ketentuan-
ketentuan yang berlaku serta petunjuk dari Menteri atau Pejabat yang ditunjuk.
Sanksi yang dikenakan berupa tindakan administratif, berupa teguran tertulis sampai
pemberhentian dari jabatannya dengan tidak mengurangi kemungkinan dituntut ganti rugi oleh
pihak-pihak yang menderita kerugian yang diakibatkan oleh diabaikannya ketentuan tersebut.
Berdasarkan Pasal 40 ayat (1) dan (2) Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1997 tentang
Pendaftaran Tanah menegaskan bahwa :
“PPAT wajib menyampaikan pemberitahuan secara tertulis mengenai telah disampaikannya akta
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada para pihak yang bersangkutan”.
3) Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga ataupun keputusan-keputusan lain yang telah
ditetapkan oleh perkumpulan IPPAT, misalnya :
– Membayar iuran, uang duka manakala ada seorang PPAT atau mantan PPAT yang
meninggal dunia;
– Mentaati ketentuan tentang tariff serta kesepakatan yang di buat oleh dan mengikat setiap
anggota perkumpulan.
Hal tersebut jelas bahwa kewajiban yang harus dilaksanakan oleh PPAT dan tidak boleh
dilalaikan guna membantu kelancaran proses pendaftaran tanah di Kantor Pertanahan.
1) menerima uang jasa (honorarium) termasuk uang jasa (honorarium) saksi tidak melebihi 1%
(satu persen) dari harga transaksi;
2) memperoleh cuti.
a. membuat akta untuk dirinya sendiri, suami atau istrinya, keluarga sedarah dalam garis lurus
vertikal tanpa pembatasan derajat dan dalam garis ke samping derajat kedua, menjadi para pihak
atau kuasa (psl 23 PP 37 Thn. 1998);
b. membuat akta PPAT terhadap tanah yang dalam sengketa (psl 38 ayat 1 PP 37 Thn 1998).
Fungsi dan tanggung jawab PPAT serta tanggung jawab pertanahan beranjak dari sistem
publikasi negatif dan kewajiban menilai dokumen, maka sebaiknya terdapat pembagian fungsi
dan tanggung jawab antar PPAT dan petugas pendaftaran PPAT berfungsi dan bertanggung
jawab :
1. Membuat akta yang dapat dipakai sebagai dasar yang kuat bagi pelaksanaan pendaftaran
peralihan hak atau pembebanan hak pelaksanaan pendaftaran peralihan hak atau pembebanan
hak.
2. PPAT bertanggung jawab terhadap terpenuhinya unsur kecakapan dan kewenangan penghadap
dalam akta dan keabsahan perbuatan haknya sesuai data dan keterangan yang disampaikan
kepada para penghadap yang dikenal atau diperkenalkan.
3. PPAT bertanggung jawab dokumen yang dipakai dasar melakukan tindakan hukum kekuatan
dan pembuktiannya telah memenuhi jaminan kepastian untuk ditindaklanjuti dalam akta otentik
dan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
4. PPAT bertanggung jawab sahnya perbuatan hukum sesuai data keterangan para penghadap
serta menjamin otensitas akta dan bertanggung jawab bahwa perbuatannya sesuai prosedur.
Berdasarkan Pasal 5 PP No. 37/1998 dapat penulis jelaskan bahwa wilayah kerja PPAT adalah
satu wilayah kerja kantor Pertanahan Kabupaten/Kota. Sedangkan untuk wilayah kerja PPAT
Sementara dan PPAT Khusus meliputi wilayah kerjanya sebagai Pejabat Pemerintah yang
menjadi dasar penunjukkannya. Apabila sebelum berlakunya PP No. 37/1998 ini, seseorang
PPAT mempunyai wilayah kerja yang tidak sesuai dengan ketentuan yang ada pada PP No.
37/1998 (wilayah kerjanya melebihi satu wilayah kerja kantor pertanahan), maka PPAT tersebut
harus memilih salah satu dari wilayah kerja tersebut atau setelah 1 (satu) tahun wilayah kerja
PPAT tersebut sesuai denah tempat kantor PPAT tersebut berada.
Di dalam Pasal 5 ayat (1) disebutkan bahwa daerah kerja PPAT adalah satu wilayah kerja kantor
Pertanahan Kabupaten/Kota. Selain itu juga diatur dalam Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2) PP No.
37/1998 adalah sebagai berikut :
1. Pasal 6 ayat (1) : apabila suatu wilayah Kabupaten/Kota dipecah menjadi dua atau lebih
wilayah Kabupaten/Kota, maka dalam waktu 1 (satu) tahun sejak diundangkannya Undang-
undang tentang pembentukan Kabupaten/Kota sebagai daerah kerja dengan ketentuan bahwa
apabila pemilihan tersebut tidak dilakukan pada waktunya, maka mulai 1 (satu) tahun sejak
diundangkannya undang-undang pembentukan Kabupaten/Kota baru tersebut daerah kerja PPAT
yang bersangkutan hanya meliputi wilayah Kabupaten/Kota letak kantor PPAT yang
bersangkutan.
2. Pasal 6 ayat (2) : Pemilihan Daerah kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlakunya
dengan sendirinya mulai 1 (satu) tahun sejak di undang-undangkannya undang-undang
pembentukan Kabupaten/Kota Daerah Tingkat I yang baru.
1. B. Tinjauan Umum tentang Camat sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah Sementara
Dengan dimungkinkannya Camat dapat diangkat untuk menjabat sebagai PPAT, maka
kedudukan Camat, selain sebagai perangkat daerah juga diberikan kewenangan sebagai PPAT
yang sifatnya sementara atau disebut PPAT-Sementara. Disebut sementara karena posisi jabatan
tersebut tidak dipangku untuk selamanya tetapi hanya semasa camat yang bersangkutan
memegang jabatan Camat di tempat tugas kecamatannya, apabila yang bersangkutan pindah
tugas baik masih sebagai camat di daerah lain maupun sebagai pejabat di instansi lain, maka
jabatan PPAT-nya juga lepas dengan sendirinya dengan kata lain putus hubungan hukum dengan
tugas-tugasnya selaku PPAT.
Disebut jabatan sementara juga dimaksudkan apabila di daerah kecamatannya telah cukup
pejabat umum (Notaris) sekalipun yang bersangkutan tetap memegang jabatan sebagai camat,
maka dengan sendirinya jabatan PPAT-nya dapat diberhentikan.
Sekalipun disebut Sementara, namun ruang lingkup tugasnya demikian juga hak dan
kewajibannya sama dengan PPAT yang diangkat dari pejabat umum, yakni berkewajiban
membuat akta perbuatan hukum tertentu atas tanah apabila dimintakan bantuannya oleh warga
pemilik tanah dan atas jasa pembuatan akta tersebut, maka yang bersangkutan berhak atas honor
yang besarnya telah ditentukan oleh peraturan perundangan yang berlaku.
Luasnya wilayah Republik Indonesia dengan jumlah penduduk yang sangat banyak dan karena
adanya tuntutan terlaksananya pembinaan masyarakat diberbagai sektor, maka Menteri Dalam
negeri atas nama Pemerintah Pusat melimpahkan wewenangnya kepada pejabat-pejabat yang ada
di daerah untuk melakukan pembinaan.
Para pejabat yang dimaksud adalah Kepala Wilayah yang merupakan penguasa tunggal
wilayahnya. Mereka merupakan kepanjangan tangan pemerintah pusat dan bukan hasil pilihan
rakyat melalui pemilu. Pengertian Camat ini dapat di lihat dalam Kamus Umum Bahasa
Indonesia, yaitu
1. 2. Dasar Hukum Camat Sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) Sementara
Dasar hukumnya dapat di lihat dalam Pasal 5 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor : 37 Tahun
1998, yaitu:
“ Untuk melayani masyarakat dalam pembuatan akta PPAT di daerah yang belum cukup terdapat
PPAT, atau untuk melayani golongan masyarakat tertentu dalam pembuatan akta PPAT tertentu.
Menteri dapat menunjuk pejabat-pejabat dibawah ini sebagai PPAT Sementara atau PPAT
Khusus: Camat atau Kepala Desa untuk melayani pembuatan akta di daerah yang belum cukup
terdapat PPAT, sebagai PPAT Sementara Peraturan Menteri Agraria / Kepala Badan Pertanahan
Nasional Nomor 1 Tahun 2006 Pasal 18 ayat (1) disebutkan bahwa dalam hal tertentu kepala
Badan dapat menunjuk camat dan/atau Kepala Desa karena jabatannya sebagai PPAT Sementara.
Camat sebagai PPAT Sementara, tugasnya sama dengan yang dilakukan oleh PPAT antara lain :
untuk menyelenggarakan suatu daftar dari akta-akta yang dibuatnya antara lain reportorium
( daftar dari akta-akta yang telah dibuat), yang berisikan nama dari penghadap, sifat aktanya, jual
beli, hibah , tanggal akta dibuatnya dan nomornya, identitas dari tanahnya/surat ukur dan luas
tanahnya beserta bangunan yang termasuk permanen, semi permanen, darurat ) dan tanaman
yang ada dan lain-lain keterangan.
Camat sebagai PPAT Sementara mempunyai kewajiban untuk mengirimkan daftar laporan akta-
akta PPAT Sementara setiap awal bulan dari bulan yang sudah berjalan kepada Badan
Pertanahan Nasional Propinsi/Daerah, kepala Perpajakan, dan Kepala Kantor Pajak Bumi dan
Bangunan. Selain itu PPAT Sementara juga mempunyai kewajiban membuat papan nama, buku
daftar akta , dan menjilid akta serta warkah pendukung akta.
Bagaimana dengan Camat tanpa PPAT, apakah berhak membuat akta tanah?, Pertanyaan itu
layak dilontarkan, karena dalam praktek selama ini banyak ditemukan akta-akta camat yang
bukan PPAT yang seolah-olah mengesahkan dan menguatkan perbuatan hukum tersebut dan
menyebut dalam aktanya perbuatan hukum tersebut dilakukan di hadapannya dan dengan akta
Camat tersebutlah sebagai bukti otentiknya, baik terhadap tanah dengan status tanah Negara,
tanah milik adat maupun tanah yang sudah bersertipikat. Terhadap tanah Negara atau tanah yang
belum bersertipikat, hal itu sesungguhnya tidak diperbolehkan dan merupakan perbuatan
melawan hukum atau perbuatan yang melampaui kewenangannya.
Akta Camat tersebut selanjutnya dijadikan alas hak dalam mengurus pendaftaran tanahnya. Oleh
karena instansi BPN tidak ingin mempersulit masyarakat pemohon, maka Akta Camat tersebut
tetap dijadikan sebagai lampiran permohonannnya dan sebenarnya bukan dipandang sebagai alas
hak, karena itu instansi BPN selalu meminta bukti tambahan berupa Surat Pernyataan
Penguasaan Fisik Bidang Tanah dari yang bersangkutan yang cukup diketahui oleh Kepala
Desa/Lurah setempat. Inilah yang dianggap sebagai alas haknya, bukan Akta Camat yang tidak
punya dasar hukum tersebut.
Dalam tataran yuridis, baik diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 10 tahun 1961 yang telah
diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, Camat
dan Kepala Desa/Lurah bukan bertindak untuk membuat akta tanah, tetapi Camat dan
Kades/Lurah hanya dapat bertindak selaku wasit/pengawas, maksudnya apabila ada warganya
yang melakukan perikatan/perjanjian jual beli tanah secara di bawah tangan, maka Camat dan
Kepala Desa/Lurah hanya sebatas mengetahui,dalam kedudukannya selaku pejabat perangkat
pemerintah daerah yang bertanggung jawab atas pelaksanaan tugas pemerintahan dan
kemasyarakatan di daerahnya.
Bila Camat dan Kepala Desa/Lurah bertindak menguatkan perikatan/perjanjian jual beli tanah
tersebut dengan membuatkan akta jual belinya, hal itu sangat salah besar. Silahkan warga
masyarakat membuat perikatan jual beli dalam bentuk akta di bawah tangan misalnya untuk
tanah garapan atau tanah Negara yang dikuasainya dan silahkan Camat dan Kepala Desa/Lurah
membubuhkan tanda tangannya selaku pihak yang mengetahui saja, namun jangan sekali-kali
membuat aktanya dengan alasan apapun.
Keterlibatan Camat lainnya dalam kedudukan bukan sebagai PPAT adalah dalam hal pembuatan
Surat Keterangan Ahli Waris sebagai salah satu persyaratan dilakukannya peralihan/balik nama
atas hak tanah karena warisan.
Dasar hukum pendaftaran tanah tercantum dalam Pasal 19 Undang-Undang Pokok Agraria. Inti
dari ketentuan tersebut menentukan bahwa pemerintah berkewajiban untuk mengatur dan
menyelenggarakan pendaftaran tanah yang bersifat rechtskadaster di seluruh wilayah Indonesia
yang diatur pelaksanaannya dengan Peraturan Pemerintah. Untuk melaksanakan Pasal 19 ayat (1)
Undang-Undang Pokok Agraria tersebut maka oleh Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 yang
kemudian disempurnakan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang
Pendaftaran Tanah. Penyelenggaraan pendaftaran tanah tersebut diatur dalam Pasal 19 ayat (2)
meliputi :
3) Pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat.
Sesuai dengan tujuan pendaftaran tanah yaitu akan memberikan kepastian hukum maka
pemerintah juga diwajibkan bagi pemegang hak yang bersangkutan untuk mendaftarkan setiap
ada peralihan, hapus dan pembebanan hak-hak atas tanah seperti yang diatur dalam Pasal 23,
Pasal 32 dan Pasal 38 Undang-Undang Pokok Agraria.
Pendaftaran tanah berasal dari kata Cadaster atau dalam bahasa Belanda merupakan suatu istilah
teknis untuk suatu record (rekaman) yang menerapkan mengenai luas, nilai dan kepemilikan
terhadap suatu bidang tanah.[14]
Menurut Pasal 1 Peraturan Pemeintah Nomor 24 Tahun 1997 disebutkan bahwa :
“Pendaftaran tanah adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah secara terus
menerus, berkesinambungan, dan teratur meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan dan
penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar, mengenai
bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun, termasuk pemberian sertipikat sebagai surat
tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan
rumah susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya”.
Boedi Harsono merumuskan pengertian pendaftaran tanah sebagai suatu rangkaian kegiatan yang
dilakukan secara teratur dan terus menerus untuk mengumpulkan, mengolah, menyimpan dan
menyajikan data tertentu mengenai bidang-bidang atau tanah-tanah tertentu yang ada di suatu
wilayah tertentu dengan tujuan tertentu.[15]
Tujuan diselenggarakannya pendaftaran tanah pada hakekatnya sudah ditetapkan dalam Pasal 19
Undang-Undang Pokok Agraria yaitu bahwa pendaftaran tanah merupakan tugas pemerintah
yang diselenggarakan dalam rangka menjamin kepastian hukum di bidang pertanahan (recht
cadaster atau legal cadaster). Selain rechtcadaster, dikenal juga pendaftaran tanah untuk
keperluan penetapan klasifikasi dan besarnya pajak (fiscal cadaster).
Di bawah ini dikutip selengkapnya ketentuan Pasal 19 Undang-Undang Pokok Agraria yaitu :
1) “Untuk menjamin kepastian hukum oleh pemerintah diadakan pendaftaran tanah diseluruh
wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
(c) Pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat”.
1) Kepastian mengenai orang/badan hukum yang menjadi pemegang hak atas tanah tersebut.
Kepastian berkenaan dengan siapakah pemegang hak atas tanah itu disebut dengan kepastian
mengenai subyek hak atas tanah.
2) Kepastian mengenai letak tanah, batas-batas tanah, panjang dan lebar tanah. Kepastian
berkenaan dengan letak, batas- batas dan panjang serta lebar tanah itu disebut dengan kepastian
mengenai obyek hak atas tanah.
Berdasarkan Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 disebutkan bahwa pendaftaran
tanah dilaksanakan berdasarkan 5 asas yaitu :
1) Asas Sederhana
2) Asas Aman
Asas aman dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa pendaftaran tanah perlu diselenggarakan
secara teliti dan cermat sehingga hasilnya dapat memberikan jaminan kepastian hukum sesuai
tujuan pendaftaran tanah itu sendiri.
3) Asas Terjangkau
4) Azas Mutakhir
5) Azas Terbuka
Dengan berlakunya azas terbuka maka data yang tersimpan di kantor pertanahan harus selalu
sesuai dengan keadaan nyata lapangan dan masyarakat dapat memperoleh keterangan mengenai
data yang benar setiap saat.
Dalam sistem pendaftaran akta, akta-akta itulah yang didaftar oleh pejabat pendaftaran tanah
(PPT). pejabat pendaftaran tanah bersifat passif. Ia tidak melakukan pengujian kebenaran data
yang disebut dalam akta yang didaftar. Tiap kali terjadi perubahan wajib dibuatkan akta sebagai
buktinya. Maka dalam sistem ini, data yuridis yang diperlukan harus dicari dalam akta-akta yang
bersangkutan.
Dalam sistem pendaftaran hak setiap penciptaan hak baru dan perbuatan-perbuatan hukum yang
menimbulkan perubahan kemudian, juga harus dibuktikan dengan suatu akta. Tetapi dalam
penyelenggaraan pendaftarannya, bukan aktanya yang didaftar melainkan haknya yang
diciptakan dan perubahan-perubahnnya yang terjadi tersebut disediakan suatu daftar isian yang
disebut register atau buku tanah.
Pada garis besarnya dikenal dua sistem publikasi yaitu sistem publikasi positif dan sistem
publikasi negatif. Sistem publikasi positif selalu menggunakan sistem pendaftaran hak, maka
harus ada buku tanah sebagai bentuk penyimpanan dan penyajian data yuridis, selain itu juga ada
sertififkat hak sebagai surat tanda bukti hak.
Sistem publikasi negatif bukan pendaftarannya yang diperhatikan, tetapi sahnya perbuatan
hukum yang dilakukan yang menentukan berpindahnya hak kepada pembeli, dimana pendaftaran
tidak membuat orang yang memperoleh tanah dari pihak yang tidak berhak menjadi pemegang
haknya yang baru.
Sistem publikasi yang digunakan dalam PP 24/1997 adalah sistem publikasi negatif yang
mengandung unsur positif. Hal ini dapat dilihat dari ketentuan PP 24/ 1997 Pasal 32 ayat (1) dan
Penjelasannya. Dalam Pasal 32 ayat (1) disebutkan mengenai sertifikat sebagai alat pembuktian
yang kuat yang berarti merupakan sistem publikasi positif karena melihat pada pendaftaran
sebagai bukti hak.
Sementara dalam Penjelasan Pasal 32 disebutkan sertifikat tersebut sebagai tanda bukti yang kuat
dalam arti bila tidak dapat dibuktikan sebaliknya, sehingga hak dari sertifikat tersebut menjadi
tidak mutlak, bila dapat dibuktikan bahwa sertifikat tersebut didapatkan dengan melakukan
perbuatan hukum yang tidak sah dalam jangka waktu 5 tahun. Disinilah unsur sistem publikasi
negatif tersebut ada.
1. 7. Tata Cara Pendaftaran Tanah
Tata cara Pendaftaran Tanah sebenarnya tidak serumit yang dibayangkan oleh masyarakat awam.
Prosedur Pendaftaran Tanah dibedakan berdasarkan cara memperoleh hak atas tanah tersebut,
yaitu :
a. Pendaftaran hak atas tanah yang belum pernah didaftarkan Kepemilikan hak atas tanah yang
belum dikonversikan ke dalam hak atas tanah menurut UUPA.
b. Kepemilikan hak atas tanah berdasarkan peralihan hak yang disebabkan adanya perbuatan
hukum/peristiwa hukum sehingga hak atas tanah berpindah seperti jual beli, waris, tukar-
menukar, wakaf.
c. Pemberian hak
Untuk proses pendaftaran tanah bekas hak adat dibedakan menjadi dua, yaitu :
a. Dapat dilakukan dengan konversi langsung apabila hak atas tanah mempunyai :
2) Surat keterangan kepemilikan yang dibuat oleh Kepala Desa yang dikuatkan oleh camat
setempat.
3) Surat bukti kewarganegaraan/ganti nama atau KTP bagi WNI keturunan (non pribumi).
5) Salinan buku C desa yang dibuat oleh Kepala Desa yang dikuatkan oleh camat setempat.
Adapun tata cara pendaftaran tanahnya adalah dengan melakukan hal-hal sebagai berikut :
2) Pemilik hak (pemohon) setelah melengkapi persyaratan yang disebutkan di atas pendaftaran
dan biaya pengukuran. Untuk biaya pengukuran sebesar 2,5% dari harga atas tanah yang
didaftarkan.
3) Setelah biaya yang diperlukan dilunasi maka kegiatan selanjutnya adalah dilakukan
pengukuran dan disaksikan oleh pemilik tanah yang berbatasan dengan obyek pendaftaran tanah.
4) Kemudian oleh Kantor Pertanahan diterbitkan pengumuman tentang permohonan hak atas
tanah tersebut selama dua (2) bulan berturut-turut.
5) Setelah pengumuman berakhir dan tidakada pihak yang berkeberatan atas permohonan hak
atas tanah tersebut, maka Kantor Pertanahan menerbitkan sertipikat tanah sebagai bukti
kepemilikan atas tanah.
1) Alasan kepemilikan hak tidak asli tetapi pemegang hak atas tanah tetap seperti pada tahun
1960.
2) Surat ketrangan Kepemilikan tanahdibuat oleh Kepala Desa yang dikuatkan oleh camat
setempat.
3) Salinan buku C desa yang dibuat oleh Kepala Desa yang dikuatkan oleh camat setempat
4) Pelunasan Pajak
2) Permohonan diajukan kepada Panitia A pada Kantor Pertanahan dengan membayar biaya
pendaftaran dan biaya pengukuran kepada panitia A.
4) Kemudian oleh Kantor Pertanahan diterbitkan pengumuman tentang permohonan hak atas
tanah tersebut selama (2) bulan berturut-turut.
6) Kantor wilayah BPN Propinsi Jawa Tengah menerbitkan surat keputusan penegasan /
pengakuan hak yang salinannya diberikan kepada pemohon untuk didaftarkan ke Kantor
Pertanahan setempat dengan prosedur seperti pendaftaran di atas.
Untuk pendaftaran tanah yang hak kuasa tanahnya berdasarkan peralihan hak, maka persyaratan
yang harus dipenuhi adalah sebagai berikut :
1) Akta tentang peralihan hak yang dibuat oleh PPAT atau pejabat lain yang berwenang.
2) Sertipikat dari tanah yang bersangkutan dan jika tanah tersebut belum bersertipikat maka
harus melalui konversi hak seperti yang dijelaskan di atas.
Untuk pembagian harta warisan ada persyaratan lain yang harus dipenuhi, yaitu : Keterangan
pelunasan pajak tanah sampai dengan saat meninggalnya pewaris. Sedangkan pendaftaran hak
atas tanah yang dikarenakan lelang persyaratan lainnya yang harus dipenuhi adalah :
1) Kutipan otentik berita acara lelang yang dibuat oleh kantor lelang.
4) Turunan surat kewarganegaraan Indonesia (suami-istri) yang disahkan oleh yang berwenang
Untuk pendaftaran tanah yang kepemilikan tanahnya berdasarkan pemberian hak, dalam
pendaftaran hak atas tanah melampirkan :
2) Tanda bukti lunas pembayaran sebagaimana ditentukan dalam surat keputusan pemberian hak
atas tanah tersebut. Uang yang dimaksudkan ini adalah uang pemasukan atau biaya administrasi
dengan perincian sebagai berikut :
1) Dibayarkan pada Kantor Bendahara Negara untuk membayar uang pemasukkan kepada
koperasi atau biaya administrasi.
2) Dibayar pada Bank untuk uang pemasukkan bagi yayasan dana Landreform.
Untuk sertipikat tanah yang hilang atau rusak maka pemilik hak atas tanah dapat meminta ganti
sertipikat (sertipikat II) dengan melengkapi surat-surat sebagai berikut :
b. Surat pernyataan dari kepolisian tentang hilangnya sertipikat hak atas tanah yang
bersangkutan.
1. D. Peranan PPAT dalam Pelaksanaan Pensertifikatan Tanah Hak Milik
Berkenaan dengan peranan PPAT dalam pelaksanaan Pensertipikatan Tanah Hak Milik , bahwa
PPAT sangat berperan dalam memberikan kepastian hukum terhadap proses pensertipikatan
tanah. Misalnya apabila terjadi peralihan hak atas tanah bekas milik adat (letter C/D) baik jual
beli maupun hibah, maka terhadap tanah tersebut harus dibuatkan akta jual beli/hibah. peranan
PPAT dalam pelaksanaan Pensertipikatan Tanah Hak Milik adalah memberikan kepastian dan
perlindungan hukum.
Akta otentik sebagai alat bukti terkuat dan terpenuh mempunyai peranan penting dalam setiap
hubungan hukum dalam kehidupan masyarakat. Dalam berbagai hubungan bisnis, kegiatan di
bidang perbankan, pensertipikatan tanah, kegiatan sosial, dan lain-lain kebutuhan akan
pembuktian tertulis berupa akta otentik makin meningkat sejalan dengan berkembangnya
tuntutan akan kepastian hukum dalam berbagai hubungan ekonomi dan sosial, baik pada tingkat
nasional, regional maupun global. Melalui akta otentik yang menentukan secara jelas hak dan
kewajiban, menjamin kepastian hukum, dan sekaligus diharapkan pula dapat dihindari terjadinya
sengketa. Walaupun sengketa tersebut tidak dapat dihindari, dalam proses penyelesaian sengketa
tersebut akta otentik akan merupakan alat bukti tertulis yang kuat dan memberikan sumbangan
nyata bagi penyelesaian perkara secara murah dan cepat.
Akta otentik pada hakikatnya memuat kebenaran formal sesuai dengan apa yang diberitahukan
para pihak kepada PPAT. Namun PPAT mempunyai kewajiban untuk memastikan bahwa apa
yang termuat dalam Akta PPAT sungguh-sungguh telah dimengerti dan sesuai dengan kehendak
para pihak, yakni dengan cara membacakannya sehingga menjadi jelas isi Akta PPAT, serta
memberikan akses terhadap informasi, termasuk akses terhadap peraturan perundang-undangan
yang terkait bagi para pihak penandatangan akta. Dengan demikian, para pihak dapat
menentukan dengan bebas untuk menyetujui atau tidak menyetujui isi Akta PPAT yang akan
ditandatanganinya.
Faktor-faktor yang menjadi penghambat dalam proses Pensertipikatan Tanah Hak Milik, antara
lain adalah:
(1) Surat-surat tanah yang tidak lengkap sehingga memerlukan surat keterangan dari Lurah atau
Kepala Desa;
(2) Saksi yang menguatkan batas-batas tanah dalam menentukan obyek hak milik tidak ada,
sehingga tidak bisa dipertanggungjawabkab secara hukum atas tanah hak milik tersebut;
(3) Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP) tidak jelas sehingga tida bisa ditentukan besarnya pajak
BPHTB.
(4) Bukti pembayaran atas pembelian tanah tersebut belum memenuhi syarat untuk
pensertipikatan karena pembayarannya belum lunas. Sudah barang tentu, bukti pembayaran
seperti itu belum dapat digunakan sebagai syarat pensertipikatan karena akan menimbulkan
permasalahan berbagai pihak, yakni penjual, pembeli, Notaris dan PPAT
Peranan PPAT dalam memberikan perlindungan dan kepastian hukum terhadap pensertipikatan
tanah tentunya adalah dengan memeriksa secara seksama berkas yang diajukan pemohon dan
mengembalikannya bila kurang lengkap atau kurang kuat secara hukum tesebut yang dapat
merugikan berbagai pihak. Tindakan itu akan lebih tepat bila disertai dengan penjelasan yang
logis dan jelas sehingga dapat diterima oleh pihak pemohon.
Berdasarkan faktor-faktor yang menjadi kendala dalam Pensertipikatan Tanah Hak Milik PPAT
meminta pihak yang bersangkutan agar:
a. Melengkapi berkas dengan surat keterangan tanah yang akan dibuatkan sertifikatnya.
Sebagaimana telah dijelaskan bahwa syarat untuk mengajukan permohonan pendaftaran tanah
adalah:
1) Surat permohonan dari pemilik tanah untuk melakukan pensertipikatan tanah miliknya;
3) Identitas diri pemilik tanah (pemohon), yang dilegalisir oleh pejabat umum yang berwenang
dan atau kuasanya;
4) Bukti hak atas tanah yang dimohonkan, yakni: (1) surat tanda bukti hak milik yang
diterbitkan berdasarkan peraturan swapraja yang bersangkutan, (2) sertifikat hak milik yang
diterbitkan berdasarkan PMA No. 9/1959, (3) surat keputusan pemberian hak milik dari pejabat
yang berwenang, baik sebelum ataupun sejak berlakunya UUPA yang tidak disertai kewajiban
untuk mendaftarkan hak yang diberikan tetapi telah dipenuhi semua kewajiban yang disebut di
dalamnya; (4) Akta pemindahan hak atas tanah yang dibuat PPAT yang tanahnya belum
dibukukan disertai atas hak yang dialihkan, dan lain-lain.
5) Bukti lainnya apabila tidak ada surat bukti kepemilikan, berupa Surat Pernyataan Penguasaan
Fisik lebih dari 20 tahun secara terus menmerus dan surat keterangan Kepala
Desa/Lurahdisaksikan 2 orang tetua adat/penduduk setempat;
Petugas Pembuat Akta Tanah atau PPAT dapat saja terseret ke dalam kasuskasus hukum
manakala terdapat hal-hal yang tidak sesuai dengan apa yang tercantum dalam akta, seperti: (1)
tanggal di dalam akta tidak sesuai dengan kehadiran para pihak; (2) para pihak tidak hadir, tetapi
ditulis hadir; (3) para pihak tidak membubuhi tanda tangan tetapi ditulis atau ada tanda
tangannya; (4) akta sebenarnya tidak dibacakan tetapi diterangkan telah dibacakan; (5) luas tanah
berbeda dengan yang diterangkan oleh para pihak, (6) PPAT ikut campur tangan terhadap syarat-
syarat perjanjian; (7) pencantuman dalam akta bahwa pihak-pihak sudah membayar lunas apa
yang diperjanjikan padahal sebenarnya belum lunas atau bahkan belum ada pembayaran secara
riil; (8) pencantuman pembacaan akta yang harus dilakukan oleh PPAT sendiri, padahal tidak
dilakukan; (9) pencantuman mengenal orang yang menghadap padahal sebenarnya tidak
mengenalnya. Hal-hal yang menyimpang dari tanggung jawab moral PPAT ini perlu dihindari
sehingga PPAT benar-benar dapat melakukan tugasnya dengan baik.
1. Dasar Hukum :
PPAT : Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 : tentang Peraturan Jabatan PPAT
(PJPPAT), Kode Etik Ikatan Pejabat Pembuat Akta Tanah.
2. Pengangkatan :
Notaris : oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia.
3. Definisi :
Notaris : Pasal 1 UUJN : Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta
otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini.
PPAT : Pasal 1 PJPPAT : Pejabat Pembuat Akta Tanah, selanjutnya disebut PPAT, adalah
pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan
hukum tertentu mengenai Hak Atas Tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun.
4. Wewenang :
Notaris : Pasal 15 UUJN : Notaris berwenang membuat akta otentik mengenai semua
perbuatan,perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundangundangan
dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik,
menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan
kutipan akta.
a. mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di bawah tangan dengan
mendaftar dalam buku khusus;
c. membuat kopi dari asli surat-surat di bawah tangan berupa salinan yang memuat uraian
sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang bersangkutan;
PPAT : Pasal 2 PJPPAT : PPAT bertugas pokok melaksanakan sebagian kegiatan pendaftaran
tanah dengan membuat Akta sebagai bukti telah dilakukannya perbuatan hukum tertentu
mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun, yang akan dijadikan dasar
bagi pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah yang diakibatkan oleh perbuatan hukum itu.
a. jual beli;
b. tukar menukar;
c. hibah;
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas jelas terdapat perbedaan kewenangan antara Notaris dengan
PPAT. Seorang Notaris memiliki kewenangan lebih luas dibanding seorang PPAT.
BAB III
ANALISIS KASUS
Pada tahun 1983 Kepala Desa Hargobinangun pernah mengirimkan Putusan Desa tentang jual
beli tanah pekarangan antara Raden Sukardjiyo sebagai kuasa Sukarno (sebagai penjual) dengan
Sri Amindayah sebagai pembeli, kemudian setelah diteliti putusan memenuhui syarat secara
formal maupun materiil, lalu disahkan oleh camat, kemudian diteruskan ke kabupaten untuk
pengesahan.
Bahwa di lain waktu Kepala Desa Hargobinangun mengirimkan pula putusan desa yang isinya
jual beli tanah pekarangan yang sama, tetapi luasnya berbeda, antara R.Sukardjiyo sebagai kuasa
Sukarno (sebagai penjual) dengan Siswatuti sebagai pembeli. Tanah yang telah dijual kepada
seseorang kemudian dijual kembali kepada orang lain, artinya tanah tersebut telah dijual dua
kali oleh pemilik tanah tersebut.
Salah satu penyebab terjadinya sengketa tanah yang berakta jual beli ganda adalah pemberian
kuasa kepada penerima kuasa yang tidak bertanggung jawab, penerima kuasa akan melakukan
berbagai cara untuk mendapatkan keuntungan salah satunya dengan pemalsuan tanda tangan,
pemberian kuasa sebaiknya harus memuat wewenang apa saja yang diberikan kepada penerima
kuasa.
Analisis :
Dengan adanya kasus diatas, dimana telah terbitnya sebuah sertifikat tanah ganda maka dalam
hal ini camat yang mengesahkan putusan tersebut harus dapat membuktikan manakah sertifikat
tanah dan pembeli tanah yang asli. Karena jelas bahwa adanya unsure pemalsuan tandatangan
dari pihak penerima kuasa yang ingin mencari keuntungan.
Juga harus dipertanyakan bagaimana kinerja camat disini dalam mengesahkan putusan
tersebut,juga apakah camat ini merupakan camat dengan PPAT atau camat tanpa PPAT.
Karena disebutkan bahwa camat hanya mengesahkan saja berarti ini merupakan camat tanpa
PPAT. Maka jelas adanya keterlibatan PPAT dalam penerbitan sertifikat ganda ini,sehingga
dengan sendirinya telah melanggar kode etik IPPAT dan peraturan perundangan yang berlaku.
Dalam memastikan manakah sertifikat tanah yang asli, bisa dengan cara dilihat tanggal
penerbitan sertifikat yang terlebih dahulu di terbitkan.
BAB IV
PENUTUP
1. A. Kesimpulan
Dari pembahasan pada bab sebelumnya maka kesimpulan yang dapat diambil sebagai berikut :
1. Fungsi dan Tugas Pejabat Pembuat Akta Tanah dalam Pendaftaran Tanah adalah : Pejabat
Pembuat Akta Tanah mempunyai peranan selaku pejabat yang mempunyai fungsi dan tugas
untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan tertentu menurut peraturan perundang-undangan yang
bersangkutan (pembuatan akta jual beli, tukar menukar, hibah, pemasukan kedalam perusahaan
(inbreng), pembagian hak bersama, pemberian hak guna bangunan / hak pakai atas tanah, hak
milik pemberian hak tanggungan);
2. Pada kenyataannya meskipun seorang PPAT telah membuat akta yang didasarkan atas undang-
undang dan ketentuan hukum yang berlaku, namun masih sering terjadi adanya ketidak puasan
atas akta PPAT tersebut. Dimana ketidak puasan tersebut berlanjut dengan diajukannya gugatan
ke Pengadilan Negeri dengan tujuan agar akta yang dibuat PPAT tersebut dibatalkan atau
dinyatakan tidak sah.
1. B. Saran
1. Karena peranan PPAT sangat berperan dalam pelaksanaan Pensertipikatan Tanah Hak
Milik, diharapkan dapat mempertahankan peran tesebut dengan melaksanakan tugas
dan kewenangannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2. Untuk memperkecil hambatan yang terjadi dalam pelaksanaan Pensertipikatan Tanah
Hak Milik, penting sekali adanya sosialisasi secara periodik dari pihak Badan Pertanahan
Nasional.
DAFTAR PUSTAKA
Buku-Buku :
AP.Parlindung, Pendaftaran Tanah dan Konfersi Hak Milik Atas Tanah menurut UUPA,
Alumni, Bandung, 1988.
Effendi Perangin-Angin, Hukum Agrarian di Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1994.
Peraturan Perundang-undangan :
Kode Etik Ikatan Pejabat Pembuat Akta Tanah.
Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta
Tanah : Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional No.1 Tahun 2006.
Search Engine :
http://www.hukumonline.com
Peraturan Kepala BPN No. 1 Tahun 2006. Media Makmur Majumandiri, Jakarta, 2007 , hlm . 3.
[2] Effendi Perangin-angin, Hukum Agraria di Indonesia , Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1994,
hlm. 3.
[3] Maria & Sumardjono, Kebijakan Pertanahan, Buku Kompas, Jakarta, 2007, hlm. 145.
Peraturan Kepala BPN No. 1 Tahun 2006. Media Makmur Majumandiri, Jakarta, 2007 , Op.
Cit., hlm. 9.
[6] Ibid.
[8] Boedi Harsono, Himpunan Peraturan-peraturan Hukum Tanah, Djambatan, Jakarta, 2000,
hlm. 52.
[13] Poerwodharminto, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1999, hlm. 181.
[14] AP. Parlindungan, Pendaftaran Tanah dan Konfersi Hak Milik Atas Tanah menurut UUPA,
[15] Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan UUPA, Isi dan
[16] Hasan Wargakusumah, Hukum Agraria I, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1995, hlm.
76-78.
– Membayar iuran, uang duka manakala ada seorang PPAT atau mantan PPAT
yang meninggal dunia;
– Mentaati ketentuan tentang tariff serta kesepakatan yang di buat oleh dan
mengikat setiap anggota perkumpulan.
Hal tersebut jelas bahwa kewajiban yang harus dilaksanakan oleh PPAT dan tidak
boleh dilalaikan guna membantu kelancaran proses pendaftaran tanah di Kantor
Pertanahan.
2) memperoleh cuti.
b. membuat akta PPAT terhadap tanah yang dalam sengketa (psl 38 ayat 1 PP 37 Thn
1998).
1. 8. Fungsi dan Tanggungjawab PPAT
Fungsi dan tanggung jawab PPAT serta tanggung jawab pertanahan beranjak dari
sistem publikasi negatif dan kewajiban menilai dokumen, maka sebaiknya terdapat
pembagian fungsi dan tanggung jawab antar PPAT dan petugas pendaftaran PPAT
berfungsi dan bertanggung jawab :
1. Membuat akta yang dapat dipakai sebagai dasar yang kuat bagi pelaksanaan
pendaftaran peralihan hak atau pembebanan hak pelaksanaan pendaftaran peralihan
hak atau pembebanan hak.
3. PPAT bertanggung jawab dokumen yang dipakai dasar melakukan tindakan hukum
kekuatan dan pembuktiannya telah memenuhi jaminan kepastian untuk ditindaklanjuti
dalam akta otentik dan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
4. PPAT bertanggung jawab sahnya perbuatan hukum sesuai data keterangan para
penghadap serta menjamin otensitas akta dan bertanggung jawab bahwa perbuatannya
sesuai prosedur.
Sanksi hukum terhadap PPAT lebih tegas ditetapkan dalam Peraturan Kepala
Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 2006, Pasal 28 Ayat (1) huruf c bahwa
PPAT diberhentikan dengan hormat dari jabatannya karena melakukan pelanggaran
ringan terhadap larangan atau kewajiban sebagai PPAT.
Pasal 28 Ayat (2)
PPAT diberhentikan dengan tidak hormat dari jabatannya karena:
(a) melakukan pelanggaran berat terhadap larangan atau kewajiban sebagai
PPAT;
(b) dijatuhi hukuman kurungan penjara karena melakukan kejahatan perbuatan
pidana yang diancam dengan hukuman kurungan atau penjara selama-lamanya 5
(lima) tahun atau lebih berat berdasarkan putusan pengadilan yang sudah memperoleh
kekuatan hukum tetap; dan
(c) melanggar Kode Etik Profesi.
Kewajiban lain yang harus dilaksanakan oleh PPAT, satu bulan setelah
pengambilan sumpah jabatan ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah No.37 Tahun
1998 Pasal 19 yaitu:
1. Menyampaikan alamat kantornya, contoh tanda tangan, contoh paraf, dan
cap/stempel jabatannya kepada Kepala Kantor Wilayah Badan
Pertanahan Nasional Propinsi, Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah
Tingkat II, Ketua Pengadilan Negeri, dan Kepala Kantor Pertanahan yang
wilayahnya meliputi daerah kerja PPAT yang bersangkutan.
2. Melaksanakan jabatannya secara nyata.
PPAT harus berkantor di satu suatu kantor dalam daerah kerjanya dan wajib
memasang papan nama serta menggunakan stempel yang bentuk dan ukurannya
ditetapkan oleh Kepala Badan. Selanjutnya akta PPAT dibuat dengan bentuk yang
ditetapkan oleh Kepala Badan, serta semua jenis akta diberi satu nomor urut yang
berulang pada permukaan tahun takwim.
Berdasarkan Pasal 26 ditegaskan bahwa PPAT harus membuat satu daftar
untuk semua akta yang dibuatnya. Buku daftar akta PPAT diisi setiap akhir hari kerja
dengan garis tinta yang diparaf oleh PPAT yang bersangkutan. PPAT berkewajiban
mengirim laporan bulanan mengenai akta yang dibuatnya, yang diambil dari buku daftar
akta PPAT kepada Kepala Kantor Pertanahan dan kantor-kantor lain sesuai ketentuan
Undang-Undang atau Peraturan Pemerintah yang berlaku selambat-lambatnya tanggal
10 bulan berikutnya. PPAT harus dapat melaksanakan tugas yang diembannya dengan
sebaik-baiknya. Karena dalam Pasal 62 PP Nomor 24 Tahun 1997 telah ditetapkan
sanksi bagi PPAT yang dalam melaksanakan tugasnya mengabaikan ketentuan-
ketentuan yang berlaku serta petunjuk dari Menteri atau Pejabat yang ditunjuk.
Kewajiban PPAT yang tertuang dalam Kode Etik IPPAT yaitu :
14. Berkepribadian baik dan menjunjung tinggi martabat dan kehormatan PPAT;
15. Senantiasa menjunjung tinggi dasar Negara dan hokum yang berlaku serta
bertindak sesuai dengan makna jabatan, kode etik dan berbahasa Indonesia
secara baik dan benar;
16. Mengutamakan penganbida kepada kepentingan masyarakat dan Negara;
17. Memiliki perilaku professional dan ikut berpartisipasi dalam pembangunan
nasional khususnya di bidang hokum;
18. Bekerja dengan penuh rasa tanggung jawab, mandiri, jujur, dan tidak
berpihak;
19. Memberikan pelayanan dengan sebaik-baiknya kepada masyarakat yang
memerlukan jasanya;
20. Memberikan penyuluhan hokum kepada masyarakat yang memerlukan
jasanya dengan maksud agar masyarakat menyadari dan menghayati hak
dan kewajibannya sebagai warga Negara dan anggota masyarakay;
21. Memberikan jasanya kepada anggota masyarakat yang tidak atau kurang
mampu secara Cuma-Cuma;
22. Bersikap saling menghormati, menghargai serta mempercayai dalam
suasana kekeluargaan dengan sesame rekan sejawat;
23. Menjaga dan membela kehormatan serta nama baik KORP PPAT atas dasar
solidaritas dan sikap tolong menolong secara konstruktif;
24. Bersikap ramah kepada setiap pejabat dan mereka yang ada hubungannya
dengan pelaksanaan tugas jabatannya;
25. Menetapkan suatu kantor dan kantor tersebut merupakan satu-satunya
kantor bagi PPAT yang bersangkutan dalam melaksanakan tugas
jabatannya sehari-hari;
26. Melakukan perbuatan-perbuatan lain yang secara umum disebut sebagai
kewajiban untuk ditaati dan dilaksanakan antara lain namun tidak terbatas
pada ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam :
Hal tersebut jelas bahwa kewajiban yang harus dilaksanakan oleh PPAT dan
tidak boleh dilalaikan guna membantu kelancaran proses pendaftaran tanah di Kantor
Pertanahan.
d. Hak PPAT
1) menerima uang jasa (honorarium) termasuk uang jasa (honorarium) saksi
tidak melebihi 1% (satu persen) dari harga transaksi;
2) memperoleh cuti
e. Larangan PPAT
membuat akta untuk dirinya sendiri, suami atau istrinya, keluarga sedarah
dalam garis lurus vertikal tanpa pembatasan derajat dan dalam garis ke
samping derajat kedua, menjadi para pihak atau kuasa (psl 23 PP 37 Thn.
1998);
membuat akta PPAT terhadap tanah yang dalam sengketa (psl 38 ayat 1 PP
37 Thn 1998).
f. Fungsi dan Tanggungjawab PPAT
Fungsi dan tanggung jawab PPAT serta tanggung jawab pertanahan beranjak
dari sistem publikasi negatif dan kewajiban menilai dokumen, maka sebaiknya terdapat
pembagian fungsi dan tanggung jawab antar PPAT dan petugas pendaftaran PPAT
berfungsi dan bertanggung jawab :
1) Membuat akta yang dapat dipakai sebagai dasar yang kuat bagi pelaksanaan
pendaftaran peralihan hak atau pembebanan hak pelaksanaan pendaftaran
peralihan hak atau pembebanan hak.
2) PPAT bertanggung jawab terhadap terpenuhinya unsur kecakapan dan
kewenangan penghadap dalam akta dan keabsahan perbuatan haknya
sesuai data dan keterangan yang disampaikan kepada para penghadap yang
dikenal atau diperkenalkan.
3) PPAT bertanggung jawab dokumen yang dipakai dasar melakukan tindakan
hukum kekuatan dan pembuktiannya telah memenuhi jaminan kepastian
untuk ditindaklanjuti dalam akta otentik dan sesuai dengan ketentuan yang
berlaku.
4) PPAT bertanggung jawab sahnya perbuatan hukum sesuai data keterangan
para penghadap serta menjamin otensitas akta dan bertanggung jawab
bahwa perbuatannya sesuai prosedur.