Latar Belakang
Tanah dalam ruang lingkup agraria merupakan bagian dari bumi yang disebut
permukaan bumi, namun yang dimaksud tanah disini bukan mengatur tanah dalam segala
aspeknya, melainkan hanya mengatur salah satu aspeknya, yaitu tanah dalam pengertian
yuridis yang disebut dengan hak. Tanah sebagai bagian dari bumi disebutkan dalam Pasal 4
ayat (1) UUPA, yang berbunyi: “Atas dasar hak menguasai dari Negara sebagai yang
dimaksud dalam Pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang
disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh masyarakat, baik sendiri
maupun bersama-sama dengan orang-orang lain serta badan-badan hukum”.
Dengan demikian, jelaslah bahwa tanah dalam pengertian yuridis adalah permukaan
bumi, sedangkan hak atas tanah adalah hak atas sebagian tertentu permukaan bumi, yang
berbatas, berdimensi dua dengan ukuran panjang dan lebar. Atas dasar dari ketentuan Pasal 4
ayat (2) UUPA kepada pemegang hak atas tanah diberi kewenangan untuk menggunakan
tanah yang bersangkutan, demikian pula tubuh bumi dan air serta ruang yang diatasnya
sekedar diperlukan untuk kepentingan langsung yang berhubungan dengan penggunaan tanah
itu dalam batar-batas menurut UUPA dan peraturan-peraturan hukum lainnya.1
Tanah merupakan salah satu kebutuhan dalam perkembangan masyarakat saat ini
yang mempunyai arti penting dalam pembangunan. Namun dalam kepemilikan suatu tanah
terdapat ketentuan yang mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang dengan tanah dan
juga mengatur serta menentukan hubungan hukum antara orang dengan perbuatan hukum
mengenai tanah.2 Pada pasal 20 ayat (2) UUPA menjelaskan bahwa hak milik dapat beralih
dan dialihkan kepada pihak lain. “Beralih” yang mempunyai arti terjadi bukan karena suatu
perbuatan hukum (kesengajaaan) melainkan karena peristiwa hukum (bukan kesengajaan),
misalnya adalah diwariskan.Sedangkan pengertian dari “dialihkan” adalah menunjukkan
adanya kesengajaan sehingga terdapat suatu perbuatan hukum terhadap hak milik tersebut.3
Salah satu perbuatan hukum dalam perihal peralihan hak milik atas tanah yaitu
dengan jual beli tanah. Pada saat ini praktik jual beli tanah diharapkan dapat memberi
1
Urip Santoso, Hukum Agraria Kajian Komprehensif (Jakarta: Prenadamedia Group, 2012), 9.
2
Indri Hadisiswati, “Kepastian Hukum Dan Perlindungan Hukum Hak Atas Tanah”, Jurnal Ahkam 2, no. 1
(2014): 119.
3
John Salindeho, Masalah Tanah Dalam Pembangunan (Jakarta: Sinar Grafika,1987), 38.
kepastian hukum yang dapat menjamin berlangsungnya kegiatan jual beli tanah tersebut
melalui pendaftaran tanah. Setiap perbuatan yang dimaksudkan untuk memindahkan Hak
Milik atas tanah di atur dengan Peraturan Pemerintah dan Pasal 26 UUPA. Sedangkan
ketentuan mengenai pendaftaran tanah di Indonesia diatur dalam UUPA Pasal 19 Jo Pasal 37
ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah yang
berbunyi: “Peralihan hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun melalui jual
beli, tukar menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan dan perbuatan hukum pemindahan
hak lainnya, kecuali pemindahan hak melalui lelang hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan
dengan akta yang dibuat Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang berwenang menurut
ketentuan peraturan perundang-undangan”.4
Salah satu contoh dialihkannya hak milik atas tanah karena adanya perbuatan hukum
yaitu jual beli tanah. Sesuai yang datur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997
tentang Pendaftaran Tanah bahwa pelaksanaan pendaftaran tanah adalah bertujuan
memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas tanah,
dengan alat bukti yang dihasilkan pada akhir proses pendaftaran tanah yaitu berupa sertifikat
tanah.
Sertifikat tanah terdiri dari salinan buku tanah dan surat ukur. Sertifikat hak atas tanah
tersebut merupakan alat pembuktian yang kuat. Pasal 32 ayat (2) dan Pasal 38 ayat (2) UUPA
menyatakan bahwa sertifikat tanah merupakan suatu tanda bukti yang kuat dan bukan
merupakan tanda bukti yang mutlak. Maksudnya bahwa walaupun kepemilikan seseorang
telah dibuktikan dengan sertifikat tanah, tidak menutup kemungkinan adanya gugatan dari
pihak lain yang merasa haknya dilanggar terhadap terbitnya sertifikat hak atas tanah.
Namun pada kenyataannya, masih sering terjadi jual beli tanah yang belum
bersertifikat yang mana hanya didasarkan pada rasa saling percaya maupun dengan akta
dibawah tangan. Padahal dalam hal ini akan memicu terjadinya suatu sengketa yang
dikarenakan kekuatan hukum yang lemah. Praktik ini dapat dilihat pada kebiasaan
masyarakat yang hanya dengan melakukan kesepakatan lisan saja antara penjual dan pembeli
tanpa bukti berupa dokumen yang dapat menguatkan kepemilikan seseorang, dalam hal ini
ada pada praktik jual beli tanah yang belum bersertifikat.
Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis tertarik untuk mengkaji mengenai:
a. Bagaimana prosedur peralihan hak atas tanah yang belum bersertifikat?
b. Bagaimana akibat hukum peralihan hak milik atas tanah yang belum bersertifikat?
4
Christiana Sri Murni, “Peralihan Hak Atas Tanah Tanpa Sertifikat”, Lex Librum : Jurnal Ilmu Hukum 4, no. 2
(2018): 681.
Adapun tujuan dari rumusan masalah diatas adalah sebagai berikut:
a. Untuk mengetahui prosedur peralihan hak atas tanah yang belum bersertifikat?
b. Untuk mengetahui akibat hukum peralihan hak milik atas tanah yang belum bersertifikat?
Metode Penelitian
Dalam penelitian ini penulis menggunakan jenis penelitian normatif dengan pendekatan
perundang-undangan dan pendekatan konseptual. Serta berdasarkan sifat penelitian deskriptif
analisis yang bertujuan untuk mendapat pemahaman mengenai akibat hukum peralihan hak
milik atas tanah tanpa sertifikat.
8
Christiana Sri Murni, “Peralihan Hak Atas Tanah Tanpa Sertifikat”, 689.
9
M. Adib Luthfi dan Akhmad Khisni, “Akibat Hukum Terhadap Peralihan Hak Milik Atas Tanah Yang Belum
Lunas Pembayarannya”, Jurnal Akta 5, no. 1 (2018): 71.
tidak sedang dalam sengketa. Setelah semuanya terpenuhi maka akta jual beli akan
dibuatkan oleh PPAT.10
Sistem pendaftaran tanah secara sporadik ialah prosedur pendaftaran pada tanah
belum besertifikat yakni tindakan didaftarkannya tanah pada pertama kalinya mengenai
satu ataupun beberapa obyek pendaftaran pada wilayah ataupun bagian wilayah pada desa
ataupun kelurahan. Peralihan hak atas tanah yakni perbuatan hukum dipindahkannya hak
atas tanah diberlakukan secara sengaja guna hak terkait lepas dari sipemegang pada awal
serta menjadi hak pihak lainnya. Tindakan pendaftaran tanah pada pertama kalinya
terdapat pada Pasal 12 ayat (1) PP No. 24 Tahun 1997 yakni berupa pengumpulannya
serta pengolahannya data fisik; pembuktian hak serta pembukuannya; terbitnya sertifikat;
disajikan data fisik serta yuridis; dan disimpannya daftar umum serta dokumen.
Sporadik dilakukan melalui cara menyesuaikan atara yang diminta sipihak
berkepentingan. Satuan wilayah guna pendaftaran tanah umumnya adalah desa/
kelurahan, tapi dikecualikan pada pendaftaran tanah hak guna usaha, hak pengelolaan,
hak tanggungan dan tanah Negara, memanfaatkan satuan wilayah kabupaten/ kota.
Adapun tahapan prosedur pendaftaran tanah secara sporadik adalah sebagai berikut :
1. Mengajukan permohonan pendaftaran tanah secara sporadis kepada Kepala Kantor
Pertanahan
2. Membayar biaya pendaftaran. Biaya pendaftaran ini telah ditetapkan dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 46 Tahun 2002 Tentang Tarif atas jenis penerimaan negara bukan
pajak yang berlaku pada Badan Pertanahan Nasional.
3. Setelah dilakukan pembayaran biaya pendaftaran, maka kemudian dilakukan
pengukuran tanah oleh petugas ukur dari Kantor Pertanahan
4. Pengumpulan dan penelitian data yuridis bidang tanah dan penetapan batas
5. Pengumuman data fisik dan data yuridis serta pengesahannya. Pengumuman
dilakukan dalam waktu selama 60 hari, setelah jangka waktu pengumuman berakhir
maka kemudian dilakukan pengesa han oleh Kepala Kantor Pertanahan
6. Pembukuan hak, setelah dilakukan pengakuan dan pengesahan hak pasca
diumumkan, maka kemudian dibuat buku tanah hak atas tanah tersebut yang
ditandatangani oleh Kepala Kantor Pertanahan.
7. Penertiban sertifikat, yang dilakukan setelah dibuatkan buku tanah hak atas tanah
bersangkutan, dimana kutipan data yuridis dan data fisik tanah yang tercantum dalam
buku tanah kemudian ditulis dalam sertifikat hak atas tanah tersebut.
10
Christiana Sri Murni, “Peralihan Hak Atas Tanah Tanpa Sertifikat”, 690.
8. Penyerahan sertifikat, yang dilakukan setelah sertifikat selesai dibuat dan
ditandatangani oleh Kepala Kantor Pertanahan.
B. Akibat Hukum Peralihan Hak Milik Atas Tanah Yang Belum Bersertifikat
Dalam peralihan hak milik atas tanah yang belum bersertifikat yang dilakukan
dengan jual beli sangat memungkinkan adanya akibat hukum yang ditimbulkan yakni
terjadinya ketidakpastian peralihan hak atas tanahnya, serta tak terjaminnya kepastian
hukum dan perlindungan hukumnya. Untuk bisa mendapatkan kepastian hukum,
masyarakat yang melakukan tindakan hukum ini bersamaan dengan peralihan hak atas
tanah yaitu jual beli, wajib melangsungkan pendaftaran peralihan hak atas tanah. Hal itu
dilakukan karena pada jual beli tanah tak bisa terselesaikan begitu saja pada seluruh pihak
yang terkait, namun agar jual beli tersebut sah menurut hukum. Maka, perlunya campur
tangan pejabat berwenang dalam hal ini PPAT guna terselesaikannya serta seluruh
peralihan hak milik atas tanah karena jual beli wajib menuruti aturan serta prosedur yang
diatur dalam undang-undang yaitu yang termuat dalam Pasal 19 dan Pasal 23 ayat (1)
UUPA, dan juga Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran
Tanah.11
Beralihnya hak atas tanah pada jual beli tanah yang belum terdaftarkan
mengakibatkan timbulnya akibat hukum yakni ruginya kepada pihak pemegang hak atas
tanah sebab tiadanya penjaminan kepastian hukum sama seperti kegunaan pendaftaran
tanah yakni sebagai penjaminnya kepastian hukum dan kepastian hak atas tanah, dimana
bisa menguasai selaku fisik, namun tak terbuktinya kepemilikan terkait selaku yuridis
seperti tercantumkan pada ketentuan Pasal 19 UUPA dan sesuai pada Peraturan
Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
Selain itu juga pada Pasal 37 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997
mengenai Pendaftaran Tanah, banyak ditemukan tanah objek jual beli yang belum
didaftarkan. Hal tersebut mengakibatkan timbulnya suatu peralihan hak atas tanah karena
jual beli tanah yang belum didaftarkan tidak bisa didaftarkan yang membuat tidak
diperolehnya tanda bukti hak berupa sertifikat sebagai alat pembuktian terkuat,
sebagaimana termaksud pada Pasal 19 UUPA dan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun
1997 tentang Pendaftaran Tanah.
Akibat hukum yang sangat banyak ditemukan seperti terjadinya sengketa
kepemilikan hak atas tanah, kurangnya bukti yang menunjukan objek tanah itu membuat
11
I Made Handika Putra, I Ketut Sukadana dan Luh Putu Suryani, “Jual Beli Hak Milik Atas Tanah Yang
Belum Bersertifikat”, 375.
objek tanah tersebut tidak memiliki kepastian hukum sehingga keabsahan kepemilikannya
tidak bisa ditentukan, yang sangat dirugikan dari jual beli hak milik atas tanah yang
belum bersertifikat biasanya sangat merugikan pihak pembeli karena ketika terjadi suatu
sengketa dari tanah yang dibeli itu, pembeli tidak bisa menunjukan alat pembuktian yang
kuat berupa sertifikat. Akibat hukum Jual beli ini juga bisa saja merugikan pemilik tanah
atau penjual yang mana harga jual tanahnya akan lebih murah dari harga tanah yang
sudah disertifikatkan, atau bisa saja jual beli ini dapat dibatalkan atau tidak terjadi sama
sekali karena tidak adanya alat pembuktian yang kuat.
Kesimpulan
1. Peralihan hak atas tanah yang belum bersertifikat yang dilakukan sebelum berlakunya
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, alat bukti
peralihan haknya dapat berupa akta otentik yang dibuat oleh PPAT, namun apabila
dilakukan dengan akta di bawah tangan yang dibuat oleh para pihak (penjual dan
pembeli) dengan disaksikan oleh Kepala Desa atau Lurah, maka akta tersebut dapat
dijadikan bukti perolehan hak atas tanah dan dapat didaftarkan ke Kantor Pertanahan.
Sedangkan jual beli hak atas tanah yang belum bersertifikat tersebut dilakukan setelah
berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah,
maka harus dibuktikan dengan akta jual beli yang dibuat oleh atau dihadapan PPAT.
Apabila tidak dibuat dengan akta jual beli yang dibuat oleh PPAT, maka proses jual beli
tersebut harus diulang dengan jual beli yang dibuat oleh PPAT. Hal ini untuk memenuhi
syarat dan ketentuan peralihan hak atas tanah tersebut dapat didaftarkan dan hasil akhir
pendaftaran tanah berupa alat bukti yang kuat yaitu sertifikat.
2. Akibat hukum yang sangat dirugikan dari peralihan hak milik atas tanah yang belum
bersertifikat dengan jual beli dapat merugikan pihak pembeli begitupun pemilik tanah.
Kerugian untuk pihak pembeli adalah ketika terjadi suatu sengketa dari tanah yang dibeli
itu, pembeli tidak bisa menunjukan alat pembuktian yang kuat berupa sertifikat.
Sedangkan kerugian untuk pemilik tanah atau penjual yaitu harga jual tanahnya akan
lebih murah dari harga tanah yang sudah disertifikatkan, atau bisa saja jual beli ini dapat
dibatalkan atau tidak terjadi sama sekali karena tidak adanya alat pembuktian yang kuat.
Daftar Pustaka
Christiana Sri Murni, “Peralihan Hak Atas Tanah Tanpa Sertifikat”. Lex Librum : Jurnal Ilmu
Hukum 4, no. 2 (2018): 681.
Hadisiswati, Indri. “Kepastian Hukum Dan Perlindungan Hukum Hak Atas Tanah”. Jurnal
Ahkam 2, no. 1 (2014).
Hayati, Nur. “Peralihan Hak Dalam Jual Beli Hak Atas Tanah”. Jurnal Lex Jurnalica 13, no.
3 (2016).
Luthfi, M. Adib dan Akhmad Khisni. “Akibat Hukum Terhadap Peralihan Hak Milik Atas
Tanah Yang Belum Lunas Pembayarannya”, Jurnal Akta 5, no. 1 (2018).
Putra, I Made Handika, I Ketut Sukadana dan Luh Putu Suryani. “Jual Beli Hak Milik Atas
Tanah Yang Belum Bersertifikat”. Jurnal Analogi Hukum 1, no. 3 (2019).
Santoso, Urip. Hukum Agraria Kajian Komprehensif. Jakarta: Prenadamedia Group, 2012.