Anda di halaman 1dari 10

METODE HAKIM DALAM PERTIMBANGANNYA MEMUTUS PERKARA JUAL

BELI HAK ATAS TANAH YAYASAN TERBLOKIR DI KOTA GORONTALO.

A. Duduk Perkara
Tanah sebagai satu bagian dari unsur Negara, menjadi bagian yang sangat penting bagi
kesejahteraan bangsa. Dalam kaitan itu, Negara mempunyai tugas dan wewenang untuk
menggariskan nilai-nilai dalam upaya menata struktur pertanahan yang berkeadilan dan
berwawasan kesejahteraan, sebagai berikut: ( JW. Muliawan : 84 )
1. Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial;
2. Pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas tidak diperkenankan;
3. Tanah harus dikerjakan sendiri secara aktif oleh pemiliknya dan mencegah cara-cara
pemerasan;
4. Usaha dalam bidang agraria tidak boleh bersifat monopoli;
5. Menjamin kepentingan golongan ekonomi lemah, dan
6. Untuk kepentingan bersama.
Sebagaimana diatur dalam UUPA bahwa hak atas tanah tidak hanya terdiri dari hak
milik saja, tetapi juga ada jenis hak-hak atas tanah lainnya. Hal ini disebutkan dalam pasal 16
ayat (1) UUPA yaitu bahwa hak atas tanah yang disebut dalam pasal 4 ayat (1) di atas, terdiri
dari :
1. Hak Milik (HM)
2. Hak Guna Usaha (HGU)
3. Hak Guna Bangunan (HGB)
4. Hak Pakai
5. Hak Sewa
6. Hak membuka tanah
7. Hak memungut hasil hutan
8. Hak-hak lain yang tidak termasuk hak tersebut diatas yang akan ditetapkan dengan
Undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara .
Tanah hak milik adalah hak atas tanah yang paling tinggi statusnya atau derajatnya di
negara manapun, keistimewaannya hak milik itu adalah masa berlakunya yang tidak terbatas,
tidak memerlukan izin siapa-siapa bila pemiliknya bermaksud menjaminkan tanahnya sebagai
agunan kredit atau pinjaman uang ke bank, dan masih banyak lagi sisi keistimewaan dari
tanah yang berstatus hak milik bila dibandingkan dengan tanah berstatus lain.
( Kartasopoetra : 11 )
Ada tiga hal yang menjadi dasar lahirnya Hak milik atas tanah hal ini tercantum dalam
Pasal 22 dan Pasal 26 UUPA : ( Kartini dan Gunawan : 30 )
1. Menurut ketentuan hukum adat, yang diatur dalam suatu Peraturan Pemerintah;
2. Karena Ketentuan Undang-Undang;
3. Karena adanya suatu peristiwa perdata, baik yang terjadi karena dikehendaki, yang lahir
karena perbuatan hukun dalam bentuk perjanjian, misalnya dalam bentuk jual beli, hibah,
tukar menukar, ataupun karena peristiwa perdata semata-mata, misalnya karena
perkawinan yang menyebabkan terjadinya persatuan harta dengan berlakunya Undang-
Undang Perkawinan, Kematian yang melahirkan warisan ab intestato, maupun warisan
dalam bentuk hibah wasiat.
Hak milik diatur dalam Pasal 20 sampai dengan Pasal 27 UUPA, pengertian hak milik
terdapat dalam Pasal 20 UUPA yang menyatakan : “Hak milik adalah turun temurun, terkuat
dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah”. Hak milik merupakan hak yang paling
kuat atas tanah, yang memberikan kewenangan kepada pemiliknya untuk memberikan
kembali suatu hak lain diatas bidang tanah hak milik yang dimilikinya tersebut, yang hampir
sama dengan kewenangan negara untuk memberikan hak atas tanah kepada warganya. Hak
ini, meskipun tidak mutlak sama, tetapi tetap dikatakan mirip dengan eigendom atas tanah
menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya disebut KUHperdata), yang
memberikan kewenangan yang luas pada pemiliknya, dengan ketentuan harus memperhatikan
ketentuan Pasal 6 UUPA yaitu semua hak atas tanah bersifat sosial. ( Adrian Sutedi : 16 )
Tanah hak milik adalah hak atas tanah yang paling tinggi statusnya atau derajatnya di
negara manapun, keistimewaannya hak milik itu adalah masa berlakunya yang tidak terbatas,
tidak memerlukan izin siapa-siapa bila pemiliknya bermaksud menjaminkan tanahnya sebagai
agunan kredit atau pinjaman uang ke bank, dan masih banyak lagi sisi keistimewaan dari
tanah yang berstatus hak milik bila dibandingkan dengan tanah berstatus lain.( Kartasopeotra :
11 )
Peralihan hak atas tanah adalah berpindahnya hak atas tanah dari pemegang hak yang
lama kepada pemegang hak yamg baru. Ada 2 (dua) cara peralihan hak atas tanah, yaitu
beralih dan dialihkan. Beralih menunjukkan berpindahnya hak atas tanah tanpa ada perbuatan
hukum yang dilakukan oleh pemiliknya, misalnya melalui pewarisan. Sedangkan dialihkan
menunjuk pada berpindahnya hak atas tanah melalui perbuatan hukum yang dilakukan
pemiliknya, misalnya melalui jual beli.
Setelah berlakunya UUPA, maka peralihan hak atas tanah didasarkan pada Peraturan
Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 Tentang Pendaftaran Tanah (PP No. 10 Tahun 1961)
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang
Pendaftaran Tanah (PP No. 24 Tahun 1997). Dalam Pasal 37 ayat (1) PP No. 24 Tahun 1997
disebutkan bahwa, ''Pemindahan hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun
melalui jual beli, tukar menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan dan perbuatan hukum
pemindahan hak lainnya, kecuali pemindahan hak melalui lelang hanya dapat didaftarkan jika
dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT.
Salah satu subyek kepemilikan hak adalah yayasan Yayasan sebagaimana diatur dalam
Pasal 1 ayat (1) Undang- Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan junto Undang-
Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun
2001 adalah badan hukum yang terdiri atas kekayaan yang dipisahkan dan diperuntukkan
untuk mencapai tujuan tertentu di bidang sosial , keagamaan, dan kemanusiaan, yang tidak
mempunyai anggota. Kekayaan Yayasan dapat berupa uang, barang dan/atau kekayaan
lain.barang yang dimaksud ini dapat berupa barang bergerak maupun tidak bergerak yang
dalam hal ini adalah Tanah.
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 1963 tentang Penunjukan Badan-badan
Hukum yang dapat mempunyai Hak Milik atas Tanah salah satunya adalah Badan Hukum
Yayasan bilamana bergerak dalam Bidang Keagamaan dan Sosial, ini merupakan salah satu
pengecuailan dari Undang-undang Pokok Agraria yang diberikan oleh Pemerintah. Untuk
mendapatkan Hak Milik atas Tanah, Yayasan terlebih dahulu harus mempunyai Surat
Keputusan Penunjukan sebagai Badan Hukum yang dapat mempunyai Hak Milik atas Tanah,
Keputusan penunjukan yang di terbitkan oleh Kepala Badan Pertanahan ini dapat diperoleh
dengan mengajukan Surat Permohonan untuk menjadi Badan Hukum yang dapat mempunyai
Hak Milik atas Tanah dengan melampirkan Akta Anggaran Dasar Yayasan,Surat Pengesahan
dari Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Surat Rekomendasi dari Departemen
Keagamaan maupun Departemen Sosial. Kemudian barulah Yayasan dapat memiliki Hak
Milik atas Tanah. Untuk itu Yayasan yang tidak bergerak di bidang keagamaan dan sosial
tidak dapat memiliki Hak Milik atas Tanah.
Dengan adanya tanda bukti Kepemilikan Haki atas Tanah yang dimiliki oleh perorangan
maupun Badan Hukum, maka dapat dilakukan suatu perbuatan hukum yang dikehendaki oleh
Pemilik Hak, namun daripada itu terkadang masiih ada penguasaan bukti kepemilikan hak
secara fisik berbeda dengan Kepemilikan Tanah yang sesungguhnya, seperti contoh Suatu
badan hukum yang telah membeli tanah dari orang lain dimana bukti kepemilikannya adalah
hak milik, maka untukdapat memilikinya badan hukum tersebut setelah melakukan jual beli
haruslah menurunkan tanda bukti kepemilikan tanah dari hak milik menjadi hak guna
bangunan, karena hanya badan hukm tertentu saja yang hanya boleh memiliki status
kepemilikan tanah dengan hak milik. Dimungkinkan dengan prosedur yang rumit membuat
suatu badan hukum harus memindahtangankan pemegang hak atas tanah secara fisik kepada
orang tertentu dengan ketentuan perjanjian bahwa kepemilikan tanah tersebut adalah milik
suatu badan hukum. Suatu badan hukum yang melakukan hal demikian biasanya akan
membuat suatu perjajian pinjam nama ( nominee ) dengan maksud tanah tersebut tetap
berstatus hak milik namun di kuasai oleh badan hukum tersebut.
Dengan adanya contoh sedemikian akan rentan sekali dan memicu adanya sengketa dan
kasus hukum, dimana terjadi penguasaan tanah oleh yayasan namun dengan pemegang hak
milik oleh perorangan. Pemegang hak dapat melakukan banyak tindakan hukum dengan bukti
kepemilikan hak atas tanah tersebut, baik dengan tindakan hukum menjaminkan tanah dengan
bukti fisik sebagai pemegang hak sampai dengan tindakan jual beli. Adanya tindakan hukum
tersebut membuat badan hukum merasa dirugikan dan timbulah kasus hukum dengan
sengketa kepemilikan hak atas tanah yang mana harus di selesaikan dalam persidangan di
pengadilan. Dengan harapan Putusan hakim dapat memberikan keadilan dan kemanfaatan
bagi yang bersangkutan. Adapun Putusan Pengadilan yang tidak sesuai dengan ketentuan
Perundang undangan disimpulkan adanya metode Penemuan Hukum oleh Hakim dalam
memutus Suatu Perkara, dimana diharapkan Putusan tersebut menuai suatu kepastian hukum
dan Keadilan bagi para Pihak. Berdasarkan uraian di atas maka artikel ini hendak mengkaji
mengenai metode penemuan hukum yang di gunakan oleh hakim dalam memutus Perkara
sahnya jual beli tanah Yayasan Terblokir di Kecamatan Banjarsari Kota Surakarta.

B. Amar Putusan
Metode Hukum yang di gunakan Hakim dalam memutus Perkara Nomor
199/P.dt.G/2010/PN.Ska mengenai sahnya jual beli hak atas tanah yayasan.
Dalam pasal 1 ayat (1) Undang-undang Nomor 48 tahun 2009 Tentang Kekuasaan
Kehakiman ditentukan bahwa :
“ Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan
Pancasila demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.”
Berdasarkan ketentuan pasal di atas, kekuasaan kehakiman adalah bebas untuk
menyelenggarakan peradilan. Kebebasan kekuasaan kehakiman atau kebebasan
peradilan atau kebebasan hakim merupakan asas universal yang terdapat diberbagai
negara. Kebebasan peradilan atau hakim ialah bebas untuk mengadili dan bebas dari
campur tangan dari pihak ekstra yudisial. Kebebasan hakim ini memberi wewenang
kepada hakim untuk melakukan penemuan hukum secara leluasa. Pasal 4 ayat (1) UU
No.48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan “Pengadilan mengadili
menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang “Ini berarti bahwa hakim pada
dasarnya harus tetap ada di dalam satu sistem (hukum), tidak boleh keluar dari hukum,
sehingga harus menemukan hukumnya.
Pasal 10 ayat (1) Undang-undang Nomor 48 tahun 2009 Tentang Kekuasaan
Kehakiman menyatakan “Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili,
dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau
kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.”
Walau bagaimanapun hakim wajib memeriksa dan menjatuhkan putusan, yang
berarti bahwa ia wajib menemukan hukumnya. Pasal 5 ayat (1) UU No.48 tahun 2009
Tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan :
“Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum
dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”.
Kata menggali mengasumsikan bahwa hukumannya itu ada tetapi tersembunyi,
agar sampai pada permukaan masih harus digali. Jadi hukum nya itu ada, tetapi masih
harus digali, dicari dan diketemukan, bukannya tidak ada, kemudian lalu diciptakan.
Scholten mengatakan bahwa di dalam perilaku manusia itu sendirilah terdapat
hukumnya. Sedangkan setiap saat manusia dalam masyarakat berperilaku, berbuat atau
berkarya, oleh karena itu hukumnya sudah ada, ting3. Metode Penemuan hukum
diarahkan pada suatu peristiwa yang bersifat khusus, konkret, dan individual. Jadi,
metode penemuan hukum bersifat praktikal, karena lebih dipergunakan dalam praktik
hukum. Hasil dari metode penemuan hukum adalah terciptanya putusan pengadilan
yang baik, yang dapat dipergunakan sebagai sumber pembaruan hukum. Putusan hakim
berperan juga terhadap perkembangan hukum dan ilmu hukum, oleh karena itu putusan
hakim dapat juga digunakan sebagai bahan kajian dalam ilmu hukum.
Proses atau metode untuk mengambil sebuah keputusan dalam suatu perkara hukum
pun harus dicermati. Tidaklah hanya asal memberikan keputusan melainkan dengan
berbagai pertimbangan yang matang.
Putusan Pengadilan Negeri Surakarta Nomor 199/Pdt.G/PN.Ska Penulis mencermati
metode yang digunakan oleh hakim dalam memutus Perkara A quo. Adapun Penemua
Hukum yang dilakukan hakim dalam peradilan adalah :
1. Metode Interpretasi atau penafsiran, diantaranya sebagai berikut :
a. Interpretasi Gramatikal
b. Interpretasi Teleologis atau sosiologis
c. Interpretasi sistematis
d. Interpretasi Historis
e. Interpretasi Komparatif (penafsiran dengan membandingkan)
f. Interpretasi Futuristik (interpretasi menurut aturan yang belum mempunyai kekuatan
hukum)
g. Interpretasi Restriktif (membatasi)
h. Interpretasi Restriktif merupakan metode interpretasi yang bersifat membatasi.
i. Interpretasi Ekstensif (memperluas)
j. Metode ini merupakan metode penafsiran yang lebih luas dari pengertian yang
diberikan berdasarkam interpretasi gramatikal.
k. Interpretasi Otentik (secara resmi)
l. Interpretasi interdisipliner (penafsiran dengan berbagai disiplin ilmu hukum)
m. Interpretasi Multidisipliner
2. Metode Konstruksi Hukum
a. Metode Argumentum Per Analogium
b. Metode Argumentum a Contrario
3. Metode Hermeneutika Hukum
Berdasar pada teori diatas Penulis menganalisa hakim dalam Putusannya
menggunakan metode inerpretasi indisiplner, Interpretasi ini biasanya dilakukan dalam
suatu analisis masalah yang menyangkut berbagai disiplin ilmu hukum. Dalam
menafsirkan digunakan logika penafsiran lebih dari satu cabang ilmu hukum.yang dala
Perkara ini Dalam Putusan Pengadilan Nomor 199/Odt.G/2010/PN.Ska interpretasi yang
menyangkut adanya unsur kejahatan yang dilakukan oleh Tergugat I selaku Penjual yang
menyalahgunakan kekuasaan dan kepercayaan sebagai pemegang Bukti kepemilikan
Tanah sebagai Pinjam nama Sementara dimana diperkuat dengan adanya Putusan Perkara
Pidana No : 82/Pid.B/2011/PN.Ska, yang pada pokoknya berisi tentang terbuktinya secara
sah dan meyakinkan tindak pidana penggelapan dalam jabatan atas tanah objek sengketa
dalam perkara ini yang dilakukan oleh Tergugat I atau penjual sehingga hakim dapat
menafsirkan ketentuan pasal ini dalam berbagai sudut pandang yaitu hukum pidana. Dan
metode kontruksi hukum yaitu metode argumentum a contrario Metode ini
memberikan kesempatan kepada hakim untuk melakukan penemuan hukum dengan
pertimbangan bahwa apabila undang-undang menetapkan hal-hal tertentu untuk peristiwa
tertentu, berarti peraturan itu terbatas pada peristiwa tertentu itu dan bagi peristiwa
diluarnya berlaku kebalikannya. Karena ada kalanya suatu peristiwa tidak secara khusus
diatur oleh undang-undang. Jadi, esensi metode ini adalah mengedepankan cara penafsiran
yang berlawanan pengertiannya antara peristiwa konkret yang dihadapi dengan peristiwa
yang diatur dalam undang-undang. Metode ini menitikberatkan pada ketidaksamaan
peristiwanya. Disini diperlakukan segi negatif daripada suatu undang-undang. ( Sudikno
dan Pitlo : 26-27 )
Dimana alam Perkara ini terletak pada Dalam Putusan Pengadilan Nomor
199/Pdt.G/2010/PN.Ska menyatakan bahwa mengabulkan gugatan Penggugat ( Pembeli )
dengan mengesahkan adanya Jual beli dengan pertimbangan bahwa penggugat adalah
sebagai Pembeli yang beritikad baik. Kenyataanya jika menelaah mengenai Jual beli tentu
erat kaitanya dengan Pejanjian, sesuai dengan Pasal 1320 KUHPerdata yang menjadi
syarat sahnya Perjanjian adalah sepakat,cakap, suatu hal tertentu, dan sebab yang halal.
Terhadap keempat syarat sahnya perjanjian maka dapat dikelompokna menjadi dua
kelompok yakni syarat subyektif dan syarat obyektif. Pengelompokan keempat syarat
sahnya perjanjian dalam dua kelompok tersebut dimaksudkan untuk membedakan akibat
hukum yang terjadi apabila syarat-syarat tersebut tidak dipenuhi. Untuk syarat subjektif
yang terdiri dari sepakat mereka yang mengikatkan diri dan kecakapan untuk membuat
suatu perjanjian apabila tidak dipenuhi maka memiliki akibat perjanjian dapat dibatalkan.
Sedangkan, untuk syarat objektif yang terdiri dari suatu hal tertentu dan suatu sebab yang
halal, apabila tidak dipenuhi maka memiliki akibat perjanjian batal demi hukum, yang
dengan demikian perjanjian tersebut sejak semula dianggap tidak pernah ada.
Untuk terjadinya kata sepakat yang menimbulkan suatu perjanjian, maka kata
sepakat yang dinyatakan para pihak harus dibuat secara sukarela dan dalam keadaan bebas
oleh pihak-pihak itu sendiri tanpa ada unsur kekhilafan (dwaling), paksaan (dwang), dan
penipuan (bedrog). Hal tersebut telah diatur secara tegas dalam Pasal 1321 Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata bahwa tiada sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan karena
kekhilafan, atau diperolehnya dengan paksaan atau penipuan. Apabila kata sepakat tersebut
ternyata diperoleh dengan kekhilafan, paksaan, atau penipuan maka disini terjadi cacat
kehendak (wilsgebrek). Mengenai cacat kehendak ini selain apa yang diatur dalam Pasal
1321 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata juga terdapat cacat kehendak lain yaitu
berupa penyalahgunaan keadaan (Misbruik van de Omstandegheden, Undue Influence)
berdasarkan Yurisprudensi dari Arrest H.R. tanggal 13 November 1936 N.J. 1937. 433.
Tegas, nyata dan terang bahwa Tergugat I ( Penjual ) termasuk dalam kualifikasi
orang yang menyalahgunakan kewenangannya, selaku Direktur LPTP bukannya
menjalankan amanah dan kewajibannya dengan baik, justru malah melakukan penggelapan
terhadap Objek Sengketa dan secara melawan hukum dan secara tidak beritikad baik telah
berusaha memperalihkan Objek Sengketa kepada Penggugat ( Pembeli ). sehingga proses
Hubungan Hukum JUAL BELI atas Objek Sengketa antara Tergugat I dan Tergugat II
dengan Penggugat adalah nyata-nyata mengandung cacad kehendak.
Mengenai ketentuan sebab yang halal terhadap objek dalam suatu perjanjian diatur
secara singkat dalam Pasal 1335 s.d. Pasal 1337 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Pasal 1335 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mengatur bahwa suatu perjanjian tanpa
sebab, atau yang telah dibuat karena sesuatu sebab yang palsu atau terlarang, tidak
mempunyai kekuatan. Dari ketentuan tersebut dapat disimpulkan bahwa suatu perjanjian
yang disusun tanpa sebab atau dengan sebab yang palsu atau terlarang maka berakibat
perjanjian tersebut BATAL DEMI HUKUM.
Jika dikaitkan dengan pentingnya hermeneutika hukum berperan sekaligus digunakan
oleh para hakim pada saat menemukan hukum. Penemuan hukum oleh Hakim tidak
semata-mata hanya penerapan peraturan-peraturan hukum terhadap peristiwa konkrit,
tetapi sekaligus penciptaan hukum dan pembentukan hukumnya. Menurut Gadamer,
metode hermeneutika hukum pada hakikatnya sangat berguna, ketika seorang hakim
menganggap dirinya berhak untuk menambah makna orisinal dari teks hukum. Bahkan
menurut Charter, pengalaman Hakim pada saat menemukan hukum dalam praktek
dipengadilan memberikan dukungan bagi konsepsi pragmatis dan interpretasinya. ( jazim
hamidi : 63-64 )
Hermeneutika hukum berfungsi sebagai metode untuk interpretasi atas teks
hukum/peraturan perundangan yang dijadikan dasar pertimbangannya serta interpretasi
atas peristiwa dan fakta akan sangat membantu Hakim dalam memeriksa dan memutus
perkara dipengadilan
Berdasarkan teori kewenangan jika kita tarik bahwa kewenangan hakim dalam
memutus perkara didasarkan pada metode penemuan hukum sesuai dengan Undang-
undang Nomor 48 tahun 2009 tetang Kekuasaan Kehakiman.

C. Analisis Kasus
Hakim dalam putusannya memutus perkara dengan metode penemua hukum yang dalam
pertimbanganya menurut penulis menggunakan metode kontruksi hukum yaitu metode
argumentum a contrario, dimana intinya terletak pada kualifikasi orang yang
menyalahgunakan kewenangannya, selaku Direktur yayasan LPTP bukannya menjalankan
amanah dan kewajibannya dengan baik, justru malah melakukan penggelapan terhadap
Objek Sengketa dan secara melawan hukum dan secara tidak beritikad baik telah berusaha
memperalihkan Objek Sengketa kepada Penggugat ( Pembeli ). sehingga proses Hubungan
Hukum JUAL BELI atas Objek Sengketa antara Tergugat I dan Tergugat II dengan
Penggugat adalah nyata-nyata mengandung cacad kehendak.
Pertimbangan hakim dalam memutus perkara seharusnya tidak hanya mengacu pada
kebenaran kebenara formil saja tetapi juga harus mempertimbangan adanya kebenaran
materiil agar tercapainya suatu putusan pengadilan yang pasti dan adil bagi kedua belah
pihak.
Kesimpulan

Hakim pada kasus ini terikat dengan Pasal 5 ayat (1) UU No.48 tahun 2009 Tentang
Kekuasaan Kehakiman menyatakan : “Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti,
dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”. Dimana hakim
dengan ini dapat mengikuti perkara yang sedang berlangsung dan dengan pasal ini hakim
memberikan kepastian dan keadilan hukum bagi tiap – tiap individu yang berperkara. Juga pada
Pasal 4 ayat (1) UU No.48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan
“Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang “Ini berarti
bahwa hakim pada dasarnya harus tetap ada di dalam satu sistem (hukum), tidak boleh keluar
dari hukum, sehingga harus menemukan hukumnya juga kewenangan hakim dalam hal ini,
hakim tidak akan membeda – bedakan orang – orang yang berperkara didalam persidangan
dan bersikap senetral dan seadil mungkin dalam memutus perkara.

Anda mungkin juga menyukai