Anda di halaman 1dari 26

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Tanah sebagai bagian dari bumi disebutkan dalam Pasal 4 ayat 1 Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1960 atau yang disebut juga Undang-Undang Pokok
Agraria (UUPA), yaitu “Atas dasar hak menguasai dari Negara sebagai yang
dimaksud dalam Pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas
permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan
dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan
orang-orang lain serta badan-badan hukum”. jelaslah bahwa tanah dalam
pengertian yuridis adalah permukaan bumi, sedangkan hak atas tanah adalah
hak atas sebagian tertentu permukaan bumi, yang berbatas, berdimensi dua
dengan ukuran panjang dan lebar.1
Hukum Tanah adalah keseluruhan ketentuan-ketentuan hukum, baik
tertulis maupun tidak tertulis, yang semuanya mempunyai obyek pengaturan
yang sama yaitu hak penguasaan atas tanah sebagai lembaga-lembaga hukum
dan sebagai hubungan hukum yang konkret, beraspek publik dan privat, yang
dapat disusun dan dipelajari secara sistematis, hingga keseluruhannya
menjadi satu kesatuan yang merupakan satu sistem.2 Obyek Hukum Tanah
adalah hak penguasaan atas tanah. Yang dimaksud dengan hak penguasaan
atas tanah adalah hak yang berisi serangkaian kewenangan, kewajiban
dan/atau larangan bagi pemegang haknya untuk berbuat sesuatu mengenai
tanah yang dimaksud. Sesuatu yang boleh, wajib atau dilarang untuk
diperbuat, yang merupakan isi hak penguasan itulah yang menjadi kriteria
atau tolok ukur pembeda di antara hak-hak penguasaan atas tanah yang diatur
dalam Hukum Tanah.
Dari segi asal tanahnya, hak atas tanah dibagi menjadi 2 kelompok yaitu
hak primer dan sekunder. Hak-hak pengusasaan yang bersifat primer yaitu
hak yang langsung diberikan oleh negara kepada pemegang haknya,
sedangkan hak-hak penguasaan yang bersifat sekunder yaitu hak yang timbul
atau dibebankan diatas hak atas tanah yang sudah ada. Hak ini bisa timbul

1
Urip Santoso, Hukum Agraria Kajian Komprehensif (Jakarta: Kencana Prenada Media Group,
2013), hal.9.
2
Ibid., 10-11
karena perjanjian antara pemilik tanah sebagai pemegang hak primer dan
calon pemegang hak sekunder.3
Sedangkan hak-hak penguasaan yang bersifat sekunder yaitu hak yang
timbul atau dibebankan diatas hak atas tanah yang sudah ada. Hak ini bisa
timbul karena perjanjian antara pemilik tanah sebagai pemegang hak primer
dan calon pemegang hak sekunder.4
Hak-hak penguasaan yang bersifat primer tersebut lahir karena pemberian
hak oleh Negara sebagaimana diatur dalam Pasal 22, Pasal 31, Pasal 37, dan
Pasal 41 UUPA. Penetapan Pemerintah dalam kaitannya dengan perolehan
hak atas tanah adalah suatu keputusan yang diterbitkan oleh pejabat yang
berwenang untuk menerbitkan hak atas tanah. Pejabat yang berwenang
menerbitkan keputusan pemberian hak atas tanah adalah Kepala Badan
Pertanahan Nasional Republik Indonesia (BPNRI), atau Kepala Kantor
Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi, atau Kepala Kantor
Pertanahan Kabupaten/Kota yang diberikan pelimpahan kewenangan untuk
memberikan hak atas tanah.
Berdasarkan Pasal 4 Ayat (1) Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala
Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999 Tentang Tata Cara
Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan,
menentukan bahwa sebelum mengajukan permohonan hak, pemohon harus
menguasai tanah yang dimohon dibuktikan dengan data yuridis dan data fisik
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pemberian jaminan kepastian hukum di bidang pertanahan memerlukan:
1. Tersedianya perangkat hukum tertulis yang lengkap dan jelas serta
dilaksananakan secara konsisten;
2. Penyelenggaraan pendaftaran tanah yang efektif.
Dengan tersedianya perangkat hukum yang tertulis, siapapun yang
berkepentingan akan dengan mudah mengetahui kemungkinan apa yang
tersedia baginya untuk menguasai dan menggunakan tanah yang
diperlukannnya, bagaimana cara memperolehnya, hak-hak, kewajiban serta
larangan-larangan apa yang ada dalam menguasai hak-hak atas tanah.

3
Berbagi Ilmu Hukum, “Hak Primer dan Hak Sekunder Dalam Hukum Agraria,”
http://elawenforcement.blogspot.com/2014/09/hak-primer-dan-hak-sekunder-dalam-hukum.html
4
Berbagi Ilmu Hukum, “Hak Primer dan Hak Sekunder Dalam Hukum Agraria,”
http://elawenforcement.blogspot.com/2014/09/hak-primer-dan-hak-sekunder-dalam-hukum.html
Berdasarkan Pasal 4 Ayat (1) Peraturan Menteri Negara
Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999
Tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara
dan Hak Pengelolaan, menentukan bahwa sebelum mengajukan
permohonan hak, pemohon harus menguasai tanah yang dimohon
dibuktikan dengan data yuridis dan data fisik sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pemberian jaminan
kepastian hukum di bidang pertanahan memerlukan:
3. Tersedianya perangkat hukum tertulis yang lengkap dan jelas serta
dilaksananakan secara konsisten;
4. Penyelenggaraan pendaftaran tanah yang efektif.

Dengan tersedianya perangkat hukum yang tertulis, siapapun yang


berkepentingan akan dengan mudah mengetahui kemungkinan apa yang
tersedia baginya untuk menguasai dan menggunakan tanah yang
diperlukannnya, bagaimana cara memperolehnya, hak-hak, kewajiban
serta larangan-larangan apa yang ada dalam menguasai hak-hak atas
tanah tertentu, sanksi apa yang dihadapinya jika diabaikan ketentuan-
ketentuan yang bersangkutan, serta hal-hal lain yang berhubungan
dengan penguasaan dan penggunaan tanah yang dipunyainya.

Timbulnya sengketa hukum adalah semula dari pengaduan sesuatu


pihak yang berisi keberatan-keberatan dan tuntutan hak atas tanah baik
terhadap status tanah, prioritas maupun kepemilikannya dengan harapan
dapat memperoleh penyelesaian secara administrasi sesuai ketentuan
yang berlaku. Akan tetapi dari alasan-alasan tersebut di atas, sebenarnya
tujuannya akan berakhir kepada tuntuan bahwa ia adalah yang lebih
berhak dari yang lain atas tanah sengketa, oleh karena itu penyelesaian
sengketa hukum terhadap sengketa tersebut tergantung dari
sifat/masalah yang diajukan sehingga prosesnya akan memerlukan
beberapa tahap tertentu sebelum diperoleh suatu keputusan.

Sifat permasalahan dari suatu sengketa secara umum ada beberapa


macam, antara lain:
1. Masalah/persoalan yang menyangkut prioritas untuk dapat
ditetapkan sebagai pemegang hak yang sah atas tanah yang berstatus
hak, atau atas tanah yang belum ada haknya
2. Bantahan terhadap sesuatu alas hak/bukti perolehan yang
digunakan sebagai dasar pemberian hak (perdata)
3. Kekeliruan/kesalahan pemberian hak yang disebabkan penerapan
peraturan yang kurang/tidak benar
4. Sengketa/massalah kain yang mengandung aspek sosial praktis
(bersifat strategis).5
Di bidang pertanahan, dalam menghadapi kasus-kasus konkret,
pemberian jaminan kepastian hukum belum dapat diwujudkan hanya
dengan tersedianya perangkat hukum. Sangat penting untuk memperoleh
kepastian mengenai status tanahnya, siapa pemegang haknya dan ada
atau tidaknya hak pihak lain. Semuanya itu diperlukan untuk
mengamankan transaksi yang akan dilakukan dan mencegah timbulnya
sengketa di kemudian hari.

Keterangan yang dimaksudkan itu tidak mungkin diperoleh dari


perangkat perundang-undangan yang tersedia. Untuk itu, diperlukan
penyelenggaraan kegiatan yang disebut pendaftaran tanah yang
merupakan suatu legal cadastre.

Perbuatan hukum pendaftaran tanah adalah sesuatu peristiwa penting


karena menyangkut segi keperdataan seseorang. Pemerintah mempunyai
kewajiban untuk mengatur pemanfaatan tanah serta menjamin kepastian
hukum dan perlindungan hukum bagi pemegang hak atas tanah melalui
politik hukum pertanahan di bidang pendaftaran tanah.6

Dari adanya pendaftaran tanah tersebut, maka pemegang hak atas tanah
akan memperoleh sertipikat sebagai surat bukti hak untuk hak atas tanah
masing-masing yang sudah dibukukan dalam buku tanah yang
bersangkutan, sedangkan buku tanah merupakan dokumen dalam bentuk

5
Rusmadi Murad, Penyelesaian Sengketa Hukum atas Tanah (Bandung: Alumni, 1991), 22
6
Samun Ismaya, Hukum Administrasi Pertanahan (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2013), 81.
daftar yang memuat data fisik dan yuridis suatu obyek pendaftaran tanah
yang sudah ada haknya.

Pada masa sekarang ini, sengketa pertanahan dirasakan semakin


kompleks seiring dengan perkembangan reformasi yang membawa
masyarakat belajar berdemokrasi dalam tatanan kehidupan berbangsa
dan bernegara.

Sengketa pertanahan yang semula disebabkan adanya benturan


kepentingan yang berkembang antara lain berkaitan dengan:

1. nilai-nilai budaya;
2. adanya perbedaan penafsiran yang tidak sesuai dengan maksud dan
tujuan UUPA yang merupakan ketentuan dasar pertanahan yang
berlaku di seluruh Indonesia;
3. adanya penyimpangan dalam implementasi peraturan pelaksanaan
UUPA. Kondisi ini menuntut adanya kebijakan strategis pertanahan
nasional yang dapat menyelesaikan sengketa pertanahan secara lebih
konseptual, komprehensif, dan terpadu.7
Pembahasan ini dipilih karena banyaknya sengketa pertanahan yang
terjadi karena seringkali dalam proses pendaftaran tanah terdapat
kekurangan/kelalaian yang mengakibatkan permasalahan di kemudian
hari. Pendaftaran tanah yang merupakan jaminan kepastian hukum harus
dilaksanakan secara konsisten sesuai dengan isi ketentuan-ketentuan
hukum yang tertulis. Sertipikat dijadikan tanda bukti hak yang kuat
mengenai data fisik dan yuridis yang terdapat di dalamnya.

Berdasarkan asas mutakhir dalam pendaftaran tanah yang menuntut


pemeliharaan data pendaftaran tanah secara terus menerus dan
berkesinambungan Dalam sengketa ini terdapat kekeliruan dalam
penerbitan Sertipikat Hak Guna Bangunan Nomor 2849 yang obyek
tanahnya mempunyai data fisik dan yuridis yang berbeda baik dari segi
pihak Penggugat maupun Tergugat sehingga timbul permasalahan

7
Pahlefi, “Analisis Bentuk-Bentuk Sengketa Hukum atas Tanah Menurut Peraturan PerundangUndangan di
Bidang Agraria”, Majalah Hukum Forum Akademika, Volume 25, Nomor 1: 138
terhadap sertipikat yang diterbitkan dan juga hal ini berarti data yang
tersimpan dalam Kantor Pertanahan tidak selalu sesuai dengan keadaan
nyata di lapangan.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, maka


perumusan masalah yang dikaji adalah: “Bagaimana pelaksanaan
pemberian sertipikat Hak Guna Bangunan Nomor 2849 berdasarkan data
yang dimiliki oleh Penggugat maupun Tergugat atas obyek tanah,
apakah telah sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku?
BAB II
PEMBAHASAN

Sebagaimana yang telah dikemukakan pada latar belakang,


berdasarkan Pasal 4 Ayat (1) Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala
Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999 Tentang Tata Cara
Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak
Pengelolaan, menentukan bahwa sebelum mengajukan permohonan
hak, pemohon harus menguasai tanah yang dimohon dibuktikan dengan
data yuridis dan data fisik sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Berdasarkan status tanah yang
tersedia, berikut tata cara perolehan tanahnya secara singkat dalam
tabel dibawah ini:

Status Tanah Yang Tersedia Tata Cara Memperolehnya

1. Tanah Negara Permohonan Hak (Pemberian Hak)

2. Bagian tanah HPL Permohonan Hak

3. Tanah Hak Milik Pemberian Hak Baru atas tanah HM

Pemindahan Hak (jual beli, dll)

Pembebasan hak ditindak lanjuti dengan permohonan

hak baru yang sesuai dengan keperluannya

4. Tanah HGU,HGB,Hak
Pakai Pemindahan hak

5. Semua jenis hak atas Pencabutan hak ditindak lanjuti dengan permohonan
tanah hak baru

Bagaimana cara memperoleh tanahnya tergantung pada status


tanah yang tersedia, jika tanah yang tersedia tanah Negara atau tanah
Hak Pengelolaan dapat diperoleh melalui tata cara permohonan hak dan
apabila memenuhi persyaratan yang ditetapkan dapat ditindak lanjuti
dengan pemberian hak sebagaimana diatur dalam Permen Agraria
Nomor 9 Tahun 1999.

Jika tanah yang tersedia tanah hak dapat digunakan lebih dari satu
cara. Apabila yang bersedia tanah Hak Milik, pemilik tanah dapat
memberikan hak baru kepada pihak lain sebagai pemegang hak baru.
Hak baru yang dapat diberikan atas tanah non pertanian di perkotaan
adalah HGB, Hak Pakai, Hak Sewa (dalam Pasal 44 UUPA: Hak Sewa
Bangunan) dan di pedesaan Hak Gadai, Hak Usaha Bagi Hasil, Hak
Menumpang dan Hak Sewa atas tanah pertanian. Dipihak lain, apabila
yang tersedia tanah hak lainnya yang bersatus Hak Milik, HGU, HGB
dan Hak Pakai, dapat diperoleh melalui pemindahan hak misalnya
dalam bentuk jual beli tanah, tukar menukar, hibah, pemasukan dalam
perusahaan dan lainnya.

Hak atas tanah yang diperoleh karena pemberian hak “lahir”


(terjadi) secara yuridis pada saat dibuatkan Buku Tanah hak yang
bersangkutan (pendaftaran pertama kali), yaitu dicatat jenis haknya dan
nama pemegang haknya. Tanpa pendaftaran tanah, maka hak tersebut
tidak akan lahir. Kegiatan pendaftaran tanah diatur dalam PP Nomor
24//1997 yang dimana pada Pasal 1 butir 1 menyatakan, pendaftaran
tanah adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Pemerintah
secara terus menerus, berke-sinambungan dan teratur, meliputi
pengumpulan, pengolahan, pembukuan, dan penyajian serta
pemeliharaan data fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar,
mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun,
termasuk pemberian surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah
yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta
hak-hak tertentu yang membebaninya.

Penyelenggaraan pendaftaran tanah dalam masyarakat modern


merupakan tugas Negara yang dilaksanakan oleh Pemerintah bagi
kepentingan rakyat, dalam rangka memberikan jaminan kepastian
hukum di bidang pertanahan. Sebagian kegiatannya yang berupa
pengumpulan data fisik tanah yang haknya didaftar, dapat ditugaskan
kepada swasta. Tetapi untuk memperoleh kekuatan hukum, hasilnya
memerlukan pengesahan Pejabat Pendaftaran yang berwenang, karena
akan digunakan sebagai data bukti.8

Ada dua macam sistem pendaftaran tanah, yaitu sistem


pendaftaran akta (registration of deeds) dan sistem pendaftaran hak
(registration of titles). Sistem pendaftaran tanah mempermasalahkan:
apa yang didaftar, bentuk penyimpanan dan penyajian data yuridisnya
serta bentuk tanda bukti haknya. Sistem yang dianut oleh PP 24/1997
adalah sistem pendaftaran hak (registration of titles) sebagaimana yang
digunakan dalam PP10/1961. Hal ini terlihat dengan adanya Buku
Tanah (register) sebagai dokumen yang memuat data yuridis dan data
fisik yang dihimpun dan disajikan, serta diterbitkannya sertipikat
sebagai tanda hak yang didaftar.

Baik dalam sistem pendaftaran akta maupun sistem pendaftaran


hak, tiap pemberian atau menciptakan hak baru serta pemindahan dan
pembebananya dengan hak lain kemudian, harus dibuktikan dengan
suatu akta. Dalam sistem pendaftaran hak juga setiap penciptaan hak
baru dan perbuatan-perbuatan hukum yang menimbulkan perubahan
kemudian, juga harus dibuktikan dengan suatu akta. Tetapi dalam
penyelenggaraaan pendaftarannya, bukan aktanya yang didaftar,
melainkan haknya yang diciptakan dan perubahan-perubahannya
kemudian. Akta hanya merupakan sumber datanya.

Untuk pendaftaran hak dan perubahan-perubahan yang terjadi,


kemudian disediakan suatu daftar isian atau yang disebut buku tanah.
Jika terjadi perubahan, tidak dibuatkan buku tanah baru, melainkan
dilakukan pencatatannya pada ruang mutasi yang disediakan pada buku
tanah yang bersangkutan. Sebelum dilakukannya pendaftaran haknya
dalam buku tanah dan pencatatan perubahannya kemudian, oleh
Pejabat Pendaftaran Tanah (PPT) dilakukan pengujian kbenaran data
yang dimuat dalam akta yang bersangkutan. Sebagai tanda-tanda bukti
hak, diterbitkan sertipikat yang merupakan salinan register. Sertipikat

8
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia (Jakarta: Universitas Trisaksi, 2016), 72.
hak atas tanah tediri atas salinan buku tanah dan surat ukur yang dijilid
menjadi satu dalam sampul dokumen.

Data yang disimpan/disajikan, baik data fisik maupun data yuridis,


perlu disesuaikan dengan perubahan-perubahan yang terjadi kemudian,
agar selalu sesuai dengan keadaan yang sebenarnya. Inilah yang
disebut kegiatan pemeliharaan data. Perubahan pada data fisik terjadi
jika luas tanahnya berubah yaitu jika terjadi pemisahan atau pemecahan
bidang tanah yang bersangkutan menjadi satuan-satuan baru atau
penggabungan bidang-bidang tanah yang berbatasan menjadi satu
satuan persil.

Perubahan tersebut diikuti dengan pencatatan pada peta


pendaftaran dan pembuatan surat atau surat-surat ukur baru. Perubahan
pada data yuridis bisa mengenai haknya, yaitu berakhir jangka waktu
berlakunya, dibatalkan, dicabut atau dibebani hak lain. Perubahan juga
bisa mengenai pemegang haknya, yaitu jika terjadi pewarisan,
pemindahan hak, atau penggantian nama. Dalam sistem pendaftaran
akta untuk perubahan-perubahan itu dibuatkan akta, yang selanjutnya
merupakan surat tanda buktinya. Dalam sistem pendaftaran hak
perubahannya dicatat pada buku tanah dan sertipikat hak yang
bersangkutan, berdasarkan data yang dimuat dalam akta perubahannya.

Macam-macam jenis pemeliharaan data:

1. Pemeliharaan data karena pemindahan hak yang tidak melalui


lelang
2. Pemeliharaan data karena pemindahan hak melalui lelang
3. Pemeliharaan data disebabkan peralihan hak kerena warisan
4. Pemeliharaan data disebabkan peralihan hak karena
penggabungan atau peleburan perseroan atau koperasi
5. Pemeliharaan data karena pembebanan hak
6. Penolakan pendaftaran peralihan dan pembebanan hak
7. Pemeliharaan data karena perpanjangan jangka waktu hak atas
tanah
8. Pemeliharaan data karena pemecahan, pemisahan dan
penggabungan bidang tanah
9. Pemeliharaan data karena hapusnya hak atas tanah, Hak
Pengelolaan dan Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun
10. Pemeliharaan data karena peralihan dan hapusnya Hak
Tanggungan
11. Pemeliharaan data karena perubahan nama
12. Pemeliharaan data berdasarkan Putusan atau Penetapan Ketua
Pengadilan
13. Pemeliharaan data sehubungan dengan perubahan hak atas
tanah. Manfaat Sertipikat hak atas tanah bagi pemegang hak
yaitu memberikan rasa aman, dapat mengetahui dengan jelas
data fisik dan data yuridisnya, memudahkan dalam
pelaksanaan peralihan hak, harga tanah menjadi lebih tinggi,
dapat dijadikan jaminan hutang dengan dibebani Hak
Tanggungan, penetapan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)
tidak mudah keliru; sedangkan manfaat bagi Pemerintah yaitu
terwujudnya tertib administrasi pertanahan sebagai salah satu
program Catur Tertib Pertanahan, dapat memperlancar
kegiatan Pemerintah yang berkaitan dengan tanah dalam
pembangunan, dapat mengurangi sengketa di bidang
pertanahan, misalnya sengketa batas-batas tanah, pendudukan
tanah liar. Kemudia manfaat bagi calon pembeli atau kreditur
adalah dapat dengan mudah memperoleh keterangan yang jelas
mengenai data fisik dan data yuridis tanah yang akan menjadi
obyek perbuatan hukum mengenai tanah.

Sertipikat hak atas tanah merupakan produk hukum Pejabat Tata


Usaha Negara (TUN), pejabat yang dimaksudkan adalah Kepala
Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota, Panitia Ajudikasi dan Pejabat
yang mendapat pelimpahan wewenang dari Kepala Kantor Pertanahan
Kabupaten/Kota, maka produk hukum yang dikeluarkan oleh Pejabat
yang berwenang berlaku ketentuan Hukum Administrasi Negara,
artinya: “seseorang selaku pejabat TUN dapat saja melakukan
perbuatan yang terlingkup sebagai perbuatan yang melawan hukum
baik karena kesalahan (schuld) maupun akibat kelalaian menjalankan
kewajiban hukumnya.9
Perbuatan hukum administrasi yang mengandung kekeliruan
bentuknua bermacam-macam, yang dapat digolongkan sebagai berikut:
1.
Perbuatan hukum dilakukan dibawah wewenangnya, akan
tetapi tidak mengindahkan cara-cara atau bentuk-bentuk
yang ditentukan oleh peraturan/ketentuan dasarnya
(prosedural)
2.
Perbuatan hukum tersebut isinya bertentangan dengan
hukum/melanggar moral/etika/tata susila
3.
Keputusan yang diambul mengandung unsur-unsur
paksaan, penipuan, kekhilafan serta pengaruh negatif dari
pihak ketiga
4.
Perbuatan hukum tersebut dilakukan dibawah wewenangan
dan menurut prosedur akan tetapi hanya memutuskan
sebagian saja dari seluruh permasalahan
5.
Perbuatan hukum ditambah syarat yang secara nyata bukan
termasuk wewenangnya (detournement depouvoir)
6.
Perbuatan hukum yang dilakukan oleh organ administrasi
tersebut tidak jelas wewenangnya, baik mengenai materi
atau urusan yang diputuskan

Atas perbuatan yang salah atau lalai tadi menghasilkan produk


hukum sertipikat yang salah, baik kesalahan atas subyek hukum dalam
sertipikat maupun kesalahan atas hukum dalam sertipikat tersebut.
Kesalahan mana telah ditengarai dapat terjadi dalam berbagai proses
pendaftaran tanah. Pendaftaran tanah dengan sistem publikasi negatif,
perlu dimengerti dan dipahami, bahwa sertipikat hak atas tanah masih
dapat dibatalkan apabila :

9
Syafruddin Kalo, “Aspek dan Impikasi Hukum Dalam Pendaftaran Tanah dan Penertiban Sertipikat atas
Tanah,”
1. Dalam proses penerbitannya mengandung unsur cacat
hukum administrasi;
2. Karena putusan pengadilan yang sudah memperoleh
ketetapan hukum tetap.
Bahwa pemegang sertipikat masih dimungkinkan untuk digugat
oleh pihak-pihak yang merasa berhak atas tanah tersebut, dan apabila
pihak yang merasa berhak dapat membuktikan sebaliknya dengan alat
bukti lain, dan di- menangkan dalam proses pengadilan serta telah
memperoleh putusan yang telah berketetapan hukum tetap.10
Pembatalan sertipikat hak atas tanah diatur dalam Pasal 107 Peraturan
No. 9 Tahun 1999:
1. Pembatalan sertipikat hak atas tanah karena cacat hukum administratif,
disebabkan oleh:
a) Kesalahan prosedur
b) Kesalahan penerapan peraturan perundang-undangan
c) Kesalahan subyek hak
d) Kesalahan objek hak
e) Kesalahan jenis hak
f) Kesalahan perhitungan luas
g) Terdapat tumpang tindih hak atas tanah
h) Data yuridis atau data fisik tidak benar, atau kesalahan lainnya yang bersifat
hukum administratif.
2. Pembatalan sertipikat hak atas tanah karena putusan pengadilan
yang sudah memperoleh ketetapan hukum tetap, artinya:
“pembatalan hak atas tanah karena melaksanakan putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap
diterbitkan atas permohonan yang berkepentingan, di- mana
permohonan tersebut diajukan langsung kepada Menteri atau
Kepala Kantor Wilayah atau melalui Kantor Pertanahan11

10
Bronto Susanto, et. al.,“Kepastian Hukum Sertipikat Hak Atas Tanah Berdasarkan Peraturan Pemerintah
Nomor 24, “ DIH Jurnal Ilmu Hukum , Volume 10, Nomor 20 (Agustus 2014): 78,
11
Syafruddin Kalo, Loc.Cit.
Sertipikat hak atas tanah dapat dibatalkan, karena sangat
dipengaruhi oleh sistem publikasi pendaftaran tanah yang dianut PP
No. 24 Tahun 1997 adalah sistem publikasi negatif bertendensi positif,
artinya: “surat-surat tanda bukti hak (sertipikat) yang berlaku sebagai
alat pembuktian yang kuat.12
Dalam sengketa tanah pada Putusan Nomor 158/G/2016/PTUN-
JKT yang menjadi objek gugatan adalah Sertipikat Hak Guna
Bangunan Nomor 2849/Cilandak Barat yang diterbitkan pada tanggal
30 Desember 2015 terakhir tercatat atas nama Dewi Gayatri, obyek
tanahnya adalah tanah seluas 290m2 (dua ratur sembilan puluh meter
persegi) yang terletak di Jalan Cilandak Bawah RT 10 RW 13 (dahulu
RW 01).

Berikut merupakan kronologis perolehan obyek tanah dari


Penggugat (Yana Heriyana) berdasarkan alat bukti yang dilampirkan
dalam Putusan Nomor 158/G/2016/PTUN-JKT:
1. Tanggal 24 November 1992, Kwitansi Pembayaran Tanah Hak
Garapan Milik Eddy Korompis yang telah diterima dari Ny. Aty
Setiawaty
2. Tanggal 7 Desember 1992, Kwitansi Pembayaran Tanah Hak
Garapan Milik Eddy Korompis yang telah diterima dari Ny. Aty
Setiawaty
3. Tanggal 15 Februari 1993, Kwitansi Pembayaran Tanah Hak
Garapan Milik Eddy Korompis yang telah diterima dari Ny. Aty
Setiawaty
4. Tanggal 31 July 2012, Grosse Akta Nomor 5 Perihal Pengoperan
dan Penyerahan Hak antara Ny. Aty Setiawaty kepada Yana
Heriyana Rochiman (Penggugat) dibuat dihadapan Surdjono
Arham.,SH.,MKn, Notaris di Jakarta
Berikut merupakan kronologis perolehan obyek tanah dari
Tergugat Intervensi II (Dewi Gayatri) berdasarkan alat bukti yang
dilampirkan dalam Putusan Nomor 158/G/2016/PTUN-JKT:

12
Syafruddin Kalo, Loc.Cit.
1. Tanggal 19 September 1970, Surat Jual Beli Sementara Tanah
Kavling Yayasan Industri antara Drs. Rachmat Ali kepada Ir.
Chamrul Djafri
2. Tanggal 5 November 2012, Surat Perjanjian Jual Beli Tanah antara
Ir. Chamrul Djafri kepada Bambang Pramushinto
3. Tanggal 22 Februari 2013, Akta Pelepasan Hak Atas Tanah antara
Ir. Chamrul Djafri kepada Bambang Pramushinto dibuat dihadapan
Fitriani SH pengganti Raden Johanes Sarwono
4. Tanggal 19 Januari 2016, Akta Jual Beli Nomor 12 antara Bambang
Pramushinto dengan Dewi Gayatri (Tergugat Intervensi II) dibuat
dihadapan Laurensia Siti Nyoman., SH Notaris di Jakarta
Obyek tanah telah dikuasai secara fisik oleh Penggugat
(Yana Heriyana) dengan bukti adanya pagar yang telah dibangun
sejak tahun 1992 oleh pemilik sebelumnya yaitu Ny. Aty Setiawaty
yang merupakan istri dari Ibrahin Harisnanto Soetopo. Lokasi
bidang tanah yang dimiliki
Penggugat dengan bidang tanah sengketa berada dalam satu lokasi
bidang tanah.
Obyek sengketa tersebut sebelumnya telah diajukan di Pengadilan
Tata Usaha Negara Jakarta dalam Putusan 58/G/2014/PTUN-JKT jo.
Putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta
63/B/2015/PT.TUN.JKT yang diajukan oleh Putri Intan Sari sebagai
Penggugat terhadap Tergugat (Ka Kan Pertanahan Jakarta Selatan),
telah juga diajukan di Pengadilan Negeri Jakarta dengan Nomor
146/Pdt.G/2015/PN.Jkt.Sel antara Tando Aburdin sebagai Penggugat
terhadap Tergugat. Putusan yang dijatuhkan oleh majelis hakim dalam
perkara-perkara tersebut bersifat negatif yaitu menyatakan gugatan
tidak dapat diterima.

Menurut keterangan saksi dalam Putusan 58/G/2014/PTUN-JKT


sebelumnya pernah terjadi pertemuan antara Bambang Pramushinto, Ir.
Chamroel Djafri dan Ibrahim Harisnantio Soetopo, pernah terjadi
mediasi antara Bambang Pramushinto dengan Yana Heriyana yang
tidak menemukan titik temu dan Ir. Charoel Djafri pernah menggugat
Ibrahim Harisnanto Soetopo. Kemudian sebelum tanah tersebut dijual
kepada Putri Intan Sari terdapat upaya penyelesaian masalah di
kelurahan yang dihadiri oleh Bambang Pramushinto, Ibrahim
Harisnantio dan Yana Heriyana.

Kronologis perolehan tanah baik dari Penggugat maupun Tergugat


Intervensi II tidak diketahui dengan jelas bagaimana Eddy Korompis
bisa melakukan transaksi atas obyek tanah tersebut kepada Ny. Aty
karena tidak diketahui bukti kepemilikan atas tanah yang ia punya.

Menurut Penjelasan Keputusan Kepala Badan Pertanahan


Nasional (BPN) Nomor 2 Tahun 2003 tentang Norma dan Standar
Mekanisme Ketatalaksanaan Kewenangan Pemerintah di Bidang
Pertanahan yang Dilaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota, yaitu
tanah garapan adalah sebidang tanah yang sudah atau belum dilekati
dengan sesuatu hak yang dikerjakan dan dimanfaatkan oleh pihak lain
baik dengan persetujuan atau tanpa persetujuan yang berhak dengan
atau tanpa jangka waktu tertentu. Ny. Aty mendapatkan tanah tersebut
tanpa alas hak yang sah dan
hanya berdasarkan Surat Penyataan dari Eddy Korompis dengan Ny.
Aty Setiawaty tertanggal 1 Desember 1992, sehingga sampai sekarang
tanah tersebut tidak bersertifikat karena tidak ada alas haknya.
Pada dasarnya Tanah Garapan itu tidak bisa diperjualbelikan
karena masih merupakan tanah negara, namun Tanah garapan dapat
dialihkan/dioper hak atas garapan yang melekat padanya kepada pihak
lain. Dalam Pasal 13 Ayat (3) Keputusan Menteri Agraria Nomor 21
Tahun 1994 sendiri ditentukan bahwa Tanah Negara yang dipakai oleh
pihak ketiga pada dasarnya dapat diperoleh untuk disertifikasi menjadi
hak-hak atas tanah yang baru.
Hal ini menandakan Peraturan Perundang-undangan sebenarnya
memperbolehkan dilakukannya peralihan terhadap tanah garapan.
Memiliki tanah garapan berarti mempunyai hak untuk menempati,
memakai dan menikmati. Untuk objek tanah garapan, akta atau
perjanjian yang dibuat untuk suatu peralihan hak yaitu akta pengoperan
hak atas tanah. Kemudian, apabila ada bangunan yang berdiri di atas
tanah dan turut dialihkan, maka akta yang dibuat adalah akta jual beli
bangunan dan pengoperan hak. Bukti peralihannya adalah akta
tersebut, bukan kwitansi. Perlu diketahui di sini bahwa kwitansi
diberikan bukan karena jual beli, melainkan karena pembayaran atas
pengoperan hak. Dengan adanya akta pengoperan hak, maka peralihan
hak penguasaan atas tanah garapan adalah sah menurut hukum.
Dalam putusan ini dilampirkan tanda bukti berupa Grosse Akta
Nomor 5 tanggal 31 Juli 2012 Perihal Pengoperan dan Penyerahan Hak,
antara Ny Aty Setiawaty dan Yana Heriyana (Penggugat), seharusnya
dengan adanya Akta Pengoperan dan Penyerahan Hak ini, peralihan
hak penguasaan atas tanah garapan adalah sah. Namun obyek tanah
tersebut sebelum terdapat Surat Keputusan Kepala Kantor Pertanahan
Kota Administrasi Jakarta Selatan Nomor 991 tanggal 5 Desember
2013 atas nama Bambang Pramushinto tidak terdapat alas haknya.
Tidak adanya alas hak ini memicu terjadinya sengketa pertanahan
dalam putusan ini.
Tanah yang sudah didapatkan berdasarkan hasil peralihan hak baik
secara jual beli, hibah, waris dan lainnya maupun dari hasil
permohonan hak harus segera didaftarkan agar mendapatkan tanda
bukti hak berupa sertipikat. Pendaftaran tanah yang bertujuan
memberikan jaminan kepastian hukum disebut juga dengan recht
cadaster/legal cadaster. Jaminan kepastian hukum yang hendak
diwujudkan dalam pendaftaran tanah, meliputi kepastian status hak
yang didaftar , kepastian subyek hak dan kepastian obyek hak.
Pendaftaran tanah ini menjadi kewajiban bagi Pemerintah maupun
pemegang hak atas tanah. Ketentuan Pasal 19 UUPA menjadi dasar
pembentukan PP Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah
yang kemudian diganti menjadi PP Nomor 24 Tahun 1997.

Berdasarkan ketentuan tersebut penerbitan Sertipikat Hak Guna


Bangunan Nomor 2849/Cilandak Barat yang diterbitkan berdasarkan
Surat Ukur Nomor 00296/Cilandak Barat/2013 tidak sepenuhnya
sesuai dengan ketentuan mengenai pendaftaran tanah yang berlaku.
Dalam Pasal 30 dan 31 PP Nomor 24 Tahun 1997 dinyatakan apabila
di dalam buku tanah terdapat catatan yang menyangkut data fisik dan
yuridisnya belum lengkap maupun yang data fisik dan yuridisnya
dipersengketakan mewajibkan Tergugat untuk melakukan pencatatan
dalam buku tanah apabila terdapat sengketa, sebelum catatan mengenai
sengketa tersebut dihapus maka Tergugat wajib untuk menangguhkan
penerbitan sertipikat.

Menurut pendapat dari Ibu Endang Pandamdari, kesalahan dalam


pencatatan di Buku Tanah bisa terjadi karena kekeliruan dari Pihak
BPN dalam pencatatan terkait nama pemilik atau terdapat pihak yang
mengaku sebagai pemilik suatu tanah. Pihak yang mengakui suatu
tanah sebagai miliknya tersebut melakukan pendaftaran, kemudian
Pihak BPN tidak menelusuri lebih lanjut mengenai pengecekan data
materil atau data praktek terkait tanah yang dimaksud.

Dalam pendaftaran tanah juga terdapat asas kontradiktur delimitasi


yang merupakan asas yang mewajibkan pemegang hak atas tanah untuk

memperhatikan penempatan, penetapan dan pemeliharaan batas tanah


secara kontradiktur atau berdasarkan kesepakatan dan persetujuan
pihak-pihak yang berkepentingan, yang dalam hal ini adalah pemilik
tanah yang berbatasan dengan tanah yang dimilikinya.

Hal ini seperti yang disampaikan oleh Bapak Hanafi Tanawijaya


dimana dalam hal pengukuran tanah wajib dilakukan secara
musyawarah dan mufakat dengan orang-orang yang tanahnya saling
berbatasan langsung, inilah yang dinamakan asas kontradiktur
delimitasi. Sehingga apabila asas ini tidak terpenuhi maka hasil
pengukuran tanah bisa dibatalkan, hasil pengukuran tanah diumumkan
selama 60 hari untuk memberi kesempatan bagi para pihak untuk
mengajukan keberatan. Asas kontradiktur delimitasi ini terdapat pada
Pasal 17 sampai Pasal 19 PP Nomor 24 Tahun 1997 yang dapat penulis
simpulkan bahwa dalam penetapan batas bidang tanah pada
pendaftaran tanah diupayakan pemetaan batas berdasarkan
kesepakatan para pihak yang berkepentingan, penempatan tanda-tanda
batas termasuk pemeliharaannya wajib dilakukan oleh pemegang hak
atas tanah yang bersangkutan, jika dalam penetapan batas bidang tanah
tidak diperoleh kesepakatan antara pemegang hak atas tanah yang
bersangkutan dengan pemegang hak atas tanah yang berbatasan, maka
pengukuran bidang tanahnya diupayakan untuk sementara dilakukan
berdasarkan batas-batas yang menurut kenyataannya merupakan batas-
batas bidang tanah yang bersangkutan.

Obyek sengketa merupakan pendaftaran tanah untuk pertama


kalinya yang dilaksanakan atas permintaan Bambang Pramushinto
sebagai pihak yang berkepentingan, maka pendaftaran tanah demikian
merupakan pendaftaran tanah secara sporadik berdasarkan ketentuan
Pasal 13 PP Nomor 24 Tahun 1997.

Data isian hasil penelitian alat-alat bukti beserta peta bidang-


bidang tanah yang bersangkutan harus diumumkan selama 60 (enam
puluh) hari berdasarkan Pasal 26 PP Nomor 24 Tahun 1997 untuk
memberi kesempatan kepada pihak yang berkepentingan mengajukan
keberatan,
pengumuman dapat dilakukan di Kantor Pertanahan dan Kantor Kepala
Desa/ Kelurahan letak tanah yang bersangkutan dalam pendaftaran
tanah secara sporadik.
Berdasarkan Pasal 27 PP Nomor 24 Tahun 1997, apabila ada
yang mengajukan keberatan terhadap hasil pengukuran maka Kepala
Kantor Pertanahan mengusahakan agar secepatnya keberatan yang
diajukan diselesaikan secara musyawarah untuk mufakat dan jika tidak
membawa hasil, Kepala Kantor Pertanahan mem beritahukan secara
tertulis kepada pihak yang mengajukan keberatan agar data fisik dan
atau data fisik dapat dipersengketakan di pengadilan.
Pada saat permohonan pendaftaran hak oleh Bambang
Pramushinto belum dilakukan upaya penyelesaiannya baik melalui
musyawarah untuk mufakat maupun melalui pengadilan, sehingga hal
ini tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 26 Ayat 1 PP Nomor 24 Tahun
1997 yang menyatakan jika dalam jangka waktu pengumuman hasil
pengukuran ada yang mengajukan keberatan terkait data fisik dan atau
data yuridis yang diumumkan maka Ka Kan Pertanahan dalam
pendaftaran tanah secara sporadik mengusahakan secepatnya agar
keberatan yang diajukan diselesaikan secara musyawarah untuk
mufakat.
Permohonan pendaftaran tanah Bambang Pramushinto telah
dilakukan proses pengukuran dan telah pula dituangkan dalam bentuk
surat ukur pada tanggal 9 Oktober 2013 dan Surat Keputusan Ka Kan
Pertanahan Kota Administratif Jakarta Selatan tentang pemberian Hak
Guna Bangunan kepada pemohon hak atas tanah dikeluarkan pada
tanggal 5 Desember 2013, dapat dilihat bahwa surat ukur yang
dimaksud dikeluarkan pada tanggal 9 Oktober 2013 dan tanggal
dikeluarkannya Surat Keputusan pada tanggal 5 Desember 2013.
Apabila berdasarkan Pasal 26 Ayat 1 PP Nomor 24 Tahun 1997
yang mengharuskan Tergugat (BPN) untuk mengumumkan selama 60
hari, sehingga apabila perhitungan tenggang waktu pengumuman
dihitung setelah tanggal terbitnya surat ukur dan dan pengumpulan
penelitian
kebenaran data yuridis yaitu tanggal 11 Oktober 2013 maka akan
diperoleh tanggal berakhirnya pengumuman yaitu tanggal 9 Desember
2013. Yang dimaksud dalam pengumuman ini adalah dalam
pendaftaran tanah sporadik, sedangkan apabila dalam pendaftaran
tanah sistematik selama 30 hari. Hal yang diumumkan pada dasarnya
adalah data fisik dan data yuridis. Pengumuman pendaftaran tanah
secara sporadik sifatnya individual dengan ruang lingkup terbatas.

Setelah itu pada tanggal 10 Desember 2013 Ka Kan Pertanahan


melakukan pengesahan dengan suatu berita acara yang bentuknya
ditetapkan oleh Menteri dan berita acara pengesahan tersebut menjadi
dasar untuk pemberian hak atas tanah artinya keputusan pemberian hak
atas tanah baru akan dikeluarkan oleh tergugat paling cepat setidak-
tidaknya pada tanggal 11 Desember 2013 atau tanggal 22 Desember
2013. Belum lengkapnya data yang tersedia atau masih adanya
keberatan yang tidak dapat diselesaikan secara musyawarah untuk
mufakat, bukan merupakan alasan menunda dilakukannya pembuatan
berita acara hasil pengumuman data fisik dan data yuridis.

Pemberian Hak atas Tanah yang diterbitkan pada tanggal 5


Desember 2013 Nomor 991 tidak sesuai dengan prosedur Pasal 26 Ayat
1 jo. Pasal 28 Ayat 1 dan Ayat 3 huruf C PP Nomor 24 Tahun 1997
karena telah diterbitkan lebih cepat 7 hari sebelum masa pengumuman
berakhir sehingga pada obyek sengketa dalam putusan ini terdapat
cacat prosedural. Berdasarkan hal tersebut juga berarti kesempatan bagi
pihak yang berkepentingan untuk mengajukan keberatan dimulai sejak
tanggal 11 Oktober sampai dengan tanggal 9 Desember 2013.

Obyek sengketa yang berupa Sertipikat Hak Guna Bangunan


dalam sengketa ini diterbitkan pada tanggal 30 Desember 2015,
ketentuan Pasal 32 Ayat PP Nomor 24 Tahun 1997 memperbolehkan
pihak yang merasa kepentingannya dirugikan dapat menuntut
pelaksanaan hak tersebut dalam jangka waktu 5 tahun setelah sertipikat
itu diterbitkan. Ketentuan ini bertujuan pada para pihak agar
memberikan kepastian hukum kepada pihak, yang dengan itikad baik
menguasai sebidang tanah dan didaftar sebagai pemegang hak dalam
buku tanah, karena selama tidak adanya ketentuan ini, suatu tanah bisa
di gugat kapanpun.

Sistem publikasi yang digunakan dalam Hukum Tanah Nasional


yaitu sistem negatif yang mengandung unsur positif, karena akan
menghasilkan surat-surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat
pembuktian yang kuat. Sistem publikasi negatif murni tidak akan
menggunakan sistem pendaftaran hak dan juga tidak akan ada
pernyataan bahwa sertipikat merupakan alat bukti yang kuat.

Karena sistem publikasi negatif pihak yang nama-nya tercantum


sebagai pemegang hak dalam buku tanah dan sertipikat selalu
menghadapi kemungkinan gugatan dari pihak lain yang merasa
mempunyai tanah itu. Dalam hukum adat terdapat lembaga yang dapat
digunakan untuk mengatasi kelemahan sistem publikasi negatif dalam
pendaftaran tanah, yaitu lembaga rechtsverwerking. Dalam hukum adat
jika seseorang membiarkan tanahnya tidak dikerjakan, kemudian tanah
itu digunakan orang lain yang memperolehnya dengan itikad baik,
maka hilanglah haknya untuk menuntut kembali tanah tersebut.

Pada sengketa ini Tergugat hanya mengajukan bukti berupa Buku


Tanah Hak Guna Bangunan Nomor 02849/Cilandak Barat seluas
400m2 terakhir tercatat atas nama Nyonya Dewi Gayatri dan Akta Jual
Beli Nomor 12/2016 tanggal 19 Januari 2016. Bukti-bukti yang
diajukan Tergugat selaku Ka Kan Pertanahan sangat minim sedangkan
kewenangan memproses permohonan pendaftaran hak atas tanah ada
pada Tergugat berikut bukti permohonan, data yuridis, data fisik dan
dokumen-dokumen sebagai bukti pelaksanaan prosedur pendaftaran
tanah oleh Tergugat telah dijalankan dengan semestinya sesuai
ketentuan peraturan perundang-undangan pendaftaran tanah.

Berdasarkan Pasal 35 PP Nomor 24 Tahun 1997, buku tanah harus


tetap berada di Kantor Pertanahan tetapi atas perintah pengadilan dapat
dibawa oleh Ka Kan Pertanahan yang bersangkutan atau Pejabat yang
ditunjuknya ke sidang pengadilan tersebut untuk diperlihatkan kepada
Majelis Hakim dan para pihak yang bersangkutan.

Dari uraian diatas dan berdasarkan referensi bacaan dari internet


yang penulis baca, Akta Pengoperan Hak memang tidak diatur di dalam
undang-undang, tetapi ada beberapa notaris yang membuat akta
tersebut berdasarkan jual beli atas tanah garapan. Salah satu contoh
notaris yang membuat akta ini adalah Surdjono Arham yang membuat
Akta Pengoperan dan Penyerahan Hak antara Ny. Aty Setiawaty
dengan Penggugat. Tanah garapan peningkatan hak, masih diperlukan
proses sertifikat sebelum dilakukan proses perizinan lebih lanjut. Akta
Pengoperan Hak ini dalam lapangan dibuat apabila yang menjadi obyek
jual beli merupakan tanah garapan, tanah garapan ini biasanya masih
belum ada alas haknya sehingga dapat menimbulkan ketidakjelasan
dalam kegiatan pemeliharaan data pendaftaran tanah. Namun karena
tanah garapan bukan merupakan obyek tanah yang sudah terdaftar,
pihak lain dapat mengklaim mengenai status kepemilikan atas tanah
tersebut. Pihak Tergugat Intervensi yaitu Dewi Gayatri tidak salah
dalam pengakuannya atas obyek tanah tersebut, karena obyek tanah
tersebut yang merupakan obyek garapan yang sebelumnya belum
dilekati hak apapun, maka kemudian oleh Bambang Pramushinto
dilakukan proses pendaftaran tanah atas obyek tersebut.

Tetapi karena dalam proses pendaftaran tanah terkait sertipikat


Hak Guna Bangunan yang diterbitkan terdapat cacat prosedural
mengenai perhitungan tenggang waktu pengumuman dihitung setelah
tanggal terbitnya surat ukur dan dan pengumpulan penelitian kebenaran
data yuridis yaitu tanggal 11 Oktober 2013 maka akan diperoleh
tanggal berakhirnya pengumuman yaitu tanggal 9 Desember 2013
sehingga seharusnya keputusan pemberian hak atas tanah baru akan
dikeluarkan oleh tergugat paling cepat setidak-tidaknya pada tanggal
11 Desember 2013 atau tanggal 22 Desember 2013.

Pemberian Hak atas Tanah yang diterbitkan pada tanggal 5


Desember 2013 Nomor 991 telah tidak sesuai dengan prosedur Pasal
26 Ayat 1 jo.

Pasal 28 Ayat 1 dan Ayat 3 huruf C PP Nomor 24 Tahun 1997 karena


telah diterbitkan lebih cepat 7 hari sebelum masa pengumuman
berakhir sehingga pada obyek sengketa ddalam putusan ini terdapat
cacat prosedural. Berdasarkan hal tersebut juga berarti kesempatan bagi
pihak yang berkepentingan untuk mengajukan keberatan dimulai sejak
tanggal 11 Oktober sampai dengan tanggal 9 Desember 2013.

Keputusan Hakim untuk membatalkan sertipikat Hak Guna Bangunan


Nomor 2849 ini sudah benar, namun mengenai status akan tanah ini
sendiri sebaiknya dilakukan proses yang lebih lanjut dengan
mengajukan gugatan keperdataan terkait hak atas tanah di Pengadilan
Negeri, karena dalam Pengadilan PTUN ini hanya terkait Surat
Keputusan terkait penerbitan sertipikat Hak Guna Bangunan yang
menjadi obyek sengketa.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian dan analisa yang telah penulis sebelumnya, maka


Penulis menyimpulkan bahwa sengketa mengenai penerbitan sertipikat
Hak Guna Bangunan nomor 2849 ini sangat berkaitan dengan status
tanah garapan yang sebenarnya tidak dikenal di dalam Hukum
Pertanahan Indonesia, sebelumnya dalam Surat Keputusan Gubernur
DKI Jakarta Nomor 353 tahun 1977 tanggal 6 Juni 1977 mengatur dan
menegaskan tentang Pencabutan Garapan Tanah Negara tertanggal 6
Juni 1977 bahwa di Wilayah DKI Jakarta sudah tidak dikenal lagi adanya
tanah garapan dengan menyatakan tidak berlaku lagi semua bentuk tanda
bukti garapan tanah Negara di Wilayah DKI Jakarta. Terlebih dalam
kasus ini pihak Penggugat mengajukan tanda bukti akta pengoperan hak
yang dalam prakteknya dibuat oleh notaris Surdjono Arham sebagai
bukti yang otentik mengenai beralihnya suatu tanah garapan.juga tidak
terdapat dalam Hukum Pertanahan Indonesia. Karena alas hak dari suatu
tanah garapan yang tidak jelas memicu terjadinya sengketa terkait hak
atas suatu tanah. Selain itu dalam proses pendaftaran tanah sengketa ini
terdapat kesalahan yang seharusnya tidak dilakukan oleh pihak BPN
mengenai dikeluarkannya Surat Keputusan Pemberian Hak Guna
Bangunan yang lebih cepat 7 hari dari tanggal yang seharusnya
diterbitkan pada masa 60 hari setelah hari pengumuman sehingga
terdapat cacat prosedural terkait batalnya Keputusan Tata Usaha Negara
yang diterbitkan oleh Tergugat berupa Sertipikat Hak Guna Bangunan
nomor 2849.

Keputusan Hakim untuk mewajibkan Tergugat untuk mencabut


sertipikat Hak Guna Bangunan nomor 2849 sudah benar karena telah
melanggar asas-asas umum pemerintahan yang baik khususnya asas
kepastian hukum, asas tertib penyelenggaraan negara, dan asas
profesionalitas. Tetapi yang menjadi pemicu adanya gugatan ini karena
adanya pihak yang merasa dirugikan akibat penerbitkan sertipikat
tersebut, selain itu peraturan mengenai pertanahan dirasa masih belum
lengkap, data yang kurang akurat dan kurang lengkap, pihak.

B. Saran
Berdasarkan kesimpulan di atas, adapun saran-saran yang dapat
diberikan Penulis yaitu agar para pihak yang sudah memiliki suatu tanah
baik dengan transaksi jual beli, pewarisan dan lain sebaiknya segera
melakukan pendaftaran tanah sesuai ketentuan yang berlaku, apabila
obyek tanah tersebut sudah terdaftar sebelumnya maka kemudian
dilakukan pemeliharaan data pendaftaran tanah. Kemudian dikarenakan
tidak semua pihak dalam Kantor Pertanahan mempunyai pengetahuan
yang cukup mengenai Hukum Pertanahan sehingga hal ini dapat
menimbulkan cacat administrasi dalam pendaftaran, oleh karena itu
sebaiknya diberikan pengetahuan yang mendalam mengenai Hukum
Pertanahan kepada para pihak yang ada di Kantor Pertanahan. Sebaiknya
pihak dalam Kantor Pertanahan BPN menelusuri lebih lanjut mengenai
pengecekan data materil atau data praktek terkait tanah yang sedang
dalam proses pendaftaran tanah untuk mengurangi resiko terjadinya
kesalahan dalam pencatatan di Buku Tanah.
ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG

NOMOR 496/K/TUN/2017

TENTANG SENGKETA TANAH TERKAIT PENERBITAN SERTIFIKAT

HAK GUNA BANGUNAN NOMOR 2849

Oleh :
ALMIRA SAHFIRI
201610110311223
IV-C

FAKULTAS FAKULTAS HUKUM


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
2019

Anda mungkin juga menyukai