PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tanah sebagai bagian dari bumi disebutkan dalam Pasal 4 ayat 1 Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1960 atau yang disebut juga Undang-Undang Pokok
Agraria (UUPA), yaitu “Atas dasar hak menguasai dari Negara sebagai yang
dimaksud dalam Pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas
permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan
dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan
orang-orang lain serta badan-badan hukum”. jelaslah bahwa tanah dalam
pengertian yuridis adalah permukaan bumi, sedangkan hak atas tanah adalah
hak atas sebagian tertentu permukaan bumi, yang berbatas, berdimensi dua
dengan ukuran panjang dan lebar.1
Hukum Tanah adalah keseluruhan ketentuan-ketentuan hukum, baik
tertulis maupun tidak tertulis, yang semuanya mempunyai obyek pengaturan
yang sama yaitu hak penguasaan atas tanah sebagai lembaga-lembaga hukum
dan sebagai hubungan hukum yang konkret, beraspek publik dan privat, yang
dapat disusun dan dipelajari secara sistematis, hingga keseluruhannya
menjadi satu kesatuan yang merupakan satu sistem.2 Obyek Hukum Tanah
adalah hak penguasaan atas tanah. Yang dimaksud dengan hak penguasaan
atas tanah adalah hak yang berisi serangkaian kewenangan, kewajiban
dan/atau larangan bagi pemegang haknya untuk berbuat sesuatu mengenai
tanah yang dimaksud. Sesuatu yang boleh, wajib atau dilarang untuk
diperbuat, yang merupakan isi hak penguasan itulah yang menjadi kriteria
atau tolok ukur pembeda di antara hak-hak penguasaan atas tanah yang diatur
dalam Hukum Tanah.
Dari segi asal tanahnya, hak atas tanah dibagi menjadi 2 kelompok yaitu
hak primer dan sekunder. Hak-hak pengusasaan yang bersifat primer yaitu
hak yang langsung diberikan oleh negara kepada pemegang haknya,
sedangkan hak-hak penguasaan yang bersifat sekunder yaitu hak yang timbul
atau dibebankan diatas hak atas tanah yang sudah ada. Hak ini bisa timbul
1
Urip Santoso, Hukum Agraria Kajian Komprehensif (Jakarta: Kencana Prenada Media Group,
2013), hal.9.
2
Ibid., 10-11
karena perjanjian antara pemilik tanah sebagai pemegang hak primer dan
calon pemegang hak sekunder.3
Sedangkan hak-hak penguasaan yang bersifat sekunder yaitu hak yang
timbul atau dibebankan diatas hak atas tanah yang sudah ada. Hak ini bisa
timbul karena perjanjian antara pemilik tanah sebagai pemegang hak primer
dan calon pemegang hak sekunder.4
Hak-hak penguasaan yang bersifat primer tersebut lahir karena pemberian
hak oleh Negara sebagaimana diatur dalam Pasal 22, Pasal 31, Pasal 37, dan
Pasal 41 UUPA. Penetapan Pemerintah dalam kaitannya dengan perolehan
hak atas tanah adalah suatu keputusan yang diterbitkan oleh pejabat yang
berwenang untuk menerbitkan hak atas tanah. Pejabat yang berwenang
menerbitkan keputusan pemberian hak atas tanah adalah Kepala Badan
Pertanahan Nasional Republik Indonesia (BPNRI), atau Kepala Kantor
Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi, atau Kepala Kantor
Pertanahan Kabupaten/Kota yang diberikan pelimpahan kewenangan untuk
memberikan hak atas tanah.
Berdasarkan Pasal 4 Ayat (1) Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala
Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999 Tentang Tata Cara
Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan,
menentukan bahwa sebelum mengajukan permohonan hak, pemohon harus
menguasai tanah yang dimohon dibuktikan dengan data yuridis dan data fisik
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pemberian jaminan kepastian hukum di bidang pertanahan memerlukan:
1. Tersedianya perangkat hukum tertulis yang lengkap dan jelas serta
dilaksananakan secara konsisten;
2. Penyelenggaraan pendaftaran tanah yang efektif.
Dengan tersedianya perangkat hukum yang tertulis, siapapun yang
berkepentingan akan dengan mudah mengetahui kemungkinan apa yang
tersedia baginya untuk menguasai dan menggunakan tanah yang
diperlukannnya, bagaimana cara memperolehnya, hak-hak, kewajiban serta
larangan-larangan apa yang ada dalam menguasai hak-hak atas tanah.
3
Berbagi Ilmu Hukum, “Hak Primer dan Hak Sekunder Dalam Hukum Agraria,”
http://elawenforcement.blogspot.com/2014/09/hak-primer-dan-hak-sekunder-dalam-hukum.html
4
Berbagi Ilmu Hukum, “Hak Primer dan Hak Sekunder Dalam Hukum Agraria,”
http://elawenforcement.blogspot.com/2014/09/hak-primer-dan-hak-sekunder-dalam-hukum.html
Berdasarkan Pasal 4 Ayat (1) Peraturan Menteri Negara
Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999
Tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara
dan Hak Pengelolaan, menentukan bahwa sebelum mengajukan
permohonan hak, pemohon harus menguasai tanah yang dimohon
dibuktikan dengan data yuridis dan data fisik sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pemberian jaminan
kepastian hukum di bidang pertanahan memerlukan:
3. Tersedianya perangkat hukum tertulis yang lengkap dan jelas serta
dilaksananakan secara konsisten;
4. Penyelenggaraan pendaftaran tanah yang efektif.
Dari adanya pendaftaran tanah tersebut, maka pemegang hak atas tanah
akan memperoleh sertipikat sebagai surat bukti hak untuk hak atas tanah
masing-masing yang sudah dibukukan dalam buku tanah yang
bersangkutan, sedangkan buku tanah merupakan dokumen dalam bentuk
5
Rusmadi Murad, Penyelesaian Sengketa Hukum atas Tanah (Bandung: Alumni, 1991), 22
6
Samun Ismaya, Hukum Administrasi Pertanahan (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2013), 81.
daftar yang memuat data fisik dan yuridis suatu obyek pendaftaran tanah
yang sudah ada haknya.
1. nilai-nilai budaya;
2. adanya perbedaan penafsiran yang tidak sesuai dengan maksud dan
tujuan UUPA yang merupakan ketentuan dasar pertanahan yang
berlaku di seluruh Indonesia;
3. adanya penyimpangan dalam implementasi peraturan pelaksanaan
UUPA. Kondisi ini menuntut adanya kebijakan strategis pertanahan
nasional yang dapat menyelesaikan sengketa pertanahan secara lebih
konseptual, komprehensif, dan terpadu.7
Pembahasan ini dipilih karena banyaknya sengketa pertanahan yang
terjadi karena seringkali dalam proses pendaftaran tanah terdapat
kekurangan/kelalaian yang mengakibatkan permasalahan di kemudian
hari. Pendaftaran tanah yang merupakan jaminan kepastian hukum harus
dilaksanakan secara konsisten sesuai dengan isi ketentuan-ketentuan
hukum yang tertulis. Sertipikat dijadikan tanda bukti hak yang kuat
mengenai data fisik dan yuridis yang terdapat di dalamnya.
7
Pahlefi, “Analisis Bentuk-Bentuk Sengketa Hukum atas Tanah Menurut Peraturan PerundangUndangan di
Bidang Agraria”, Majalah Hukum Forum Akademika, Volume 25, Nomor 1: 138
terhadap sertipikat yang diterbitkan dan juga hal ini berarti data yang
tersimpan dalam Kantor Pertanahan tidak selalu sesuai dengan keadaan
nyata di lapangan.
B. Rumusan Masalah
4. Tanah HGU,HGB,Hak
Pakai Pemindahan hak
5. Semua jenis hak atas Pencabutan hak ditindak lanjuti dengan permohonan
tanah hak baru
Jika tanah yang tersedia tanah hak dapat digunakan lebih dari satu
cara. Apabila yang bersedia tanah Hak Milik, pemilik tanah dapat
memberikan hak baru kepada pihak lain sebagai pemegang hak baru.
Hak baru yang dapat diberikan atas tanah non pertanian di perkotaan
adalah HGB, Hak Pakai, Hak Sewa (dalam Pasal 44 UUPA: Hak Sewa
Bangunan) dan di pedesaan Hak Gadai, Hak Usaha Bagi Hasil, Hak
Menumpang dan Hak Sewa atas tanah pertanian. Dipihak lain, apabila
yang tersedia tanah hak lainnya yang bersatus Hak Milik, HGU, HGB
dan Hak Pakai, dapat diperoleh melalui pemindahan hak misalnya
dalam bentuk jual beli tanah, tukar menukar, hibah, pemasukan dalam
perusahaan dan lainnya.
8
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia (Jakarta: Universitas Trisaksi, 2016), 72.
hak atas tanah tediri atas salinan buku tanah dan surat ukur yang dijilid
menjadi satu dalam sampul dokumen.
9
Syafruddin Kalo, “Aspek dan Impikasi Hukum Dalam Pendaftaran Tanah dan Penertiban Sertipikat atas
Tanah,”
1. Dalam proses penerbitannya mengandung unsur cacat
hukum administrasi;
2. Karena putusan pengadilan yang sudah memperoleh
ketetapan hukum tetap.
Bahwa pemegang sertipikat masih dimungkinkan untuk digugat
oleh pihak-pihak yang merasa berhak atas tanah tersebut, dan apabila
pihak yang merasa berhak dapat membuktikan sebaliknya dengan alat
bukti lain, dan di- menangkan dalam proses pengadilan serta telah
memperoleh putusan yang telah berketetapan hukum tetap.10
Pembatalan sertipikat hak atas tanah diatur dalam Pasal 107 Peraturan
No. 9 Tahun 1999:
1. Pembatalan sertipikat hak atas tanah karena cacat hukum administratif,
disebabkan oleh:
a) Kesalahan prosedur
b) Kesalahan penerapan peraturan perundang-undangan
c) Kesalahan subyek hak
d) Kesalahan objek hak
e) Kesalahan jenis hak
f) Kesalahan perhitungan luas
g) Terdapat tumpang tindih hak atas tanah
h) Data yuridis atau data fisik tidak benar, atau kesalahan lainnya yang bersifat
hukum administratif.
2. Pembatalan sertipikat hak atas tanah karena putusan pengadilan
yang sudah memperoleh ketetapan hukum tetap, artinya:
“pembatalan hak atas tanah karena melaksanakan putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap
diterbitkan atas permohonan yang berkepentingan, di- mana
permohonan tersebut diajukan langsung kepada Menteri atau
Kepala Kantor Wilayah atau melalui Kantor Pertanahan11
10
Bronto Susanto, et. al.,“Kepastian Hukum Sertipikat Hak Atas Tanah Berdasarkan Peraturan Pemerintah
Nomor 24, “ DIH Jurnal Ilmu Hukum , Volume 10, Nomor 20 (Agustus 2014): 78,
11
Syafruddin Kalo, Loc.Cit.
Sertipikat hak atas tanah dapat dibatalkan, karena sangat
dipengaruhi oleh sistem publikasi pendaftaran tanah yang dianut PP
No. 24 Tahun 1997 adalah sistem publikasi negatif bertendensi positif,
artinya: “surat-surat tanda bukti hak (sertipikat) yang berlaku sebagai
alat pembuktian yang kuat.12
Dalam sengketa tanah pada Putusan Nomor 158/G/2016/PTUN-
JKT yang menjadi objek gugatan adalah Sertipikat Hak Guna
Bangunan Nomor 2849/Cilandak Barat yang diterbitkan pada tanggal
30 Desember 2015 terakhir tercatat atas nama Dewi Gayatri, obyek
tanahnya adalah tanah seluas 290m2 (dua ratur sembilan puluh meter
persegi) yang terletak di Jalan Cilandak Bawah RT 10 RW 13 (dahulu
RW 01).
12
Syafruddin Kalo, Loc.Cit.
1. Tanggal 19 September 1970, Surat Jual Beli Sementara Tanah
Kavling Yayasan Industri antara Drs. Rachmat Ali kepada Ir.
Chamrul Djafri
2. Tanggal 5 November 2012, Surat Perjanjian Jual Beli Tanah antara
Ir. Chamrul Djafri kepada Bambang Pramushinto
3. Tanggal 22 Februari 2013, Akta Pelepasan Hak Atas Tanah antara
Ir. Chamrul Djafri kepada Bambang Pramushinto dibuat dihadapan
Fitriani SH pengganti Raden Johanes Sarwono
4. Tanggal 19 Januari 2016, Akta Jual Beli Nomor 12 antara Bambang
Pramushinto dengan Dewi Gayatri (Tergugat Intervensi II) dibuat
dihadapan Laurensia Siti Nyoman., SH Notaris di Jakarta
Obyek tanah telah dikuasai secara fisik oleh Penggugat
(Yana Heriyana) dengan bukti adanya pagar yang telah dibangun
sejak tahun 1992 oleh pemilik sebelumnya yaitu Ny. Aty Setiawaty
yang merupakan istri dari Ibrahin Harisnanto Soetopo. Lokasi
bidang tanah yang dimiliki
Penggugat dengan bidang tanah sengketa berada dalam satu lokasi
bidang tanah.
Obyek sengketa tersebut sebelumnya telah diajukan di Pengadilan
Tata Usaha Negara Jakarta dalam Putusan 58/G/2014/PTUN-JKT jo.
Putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta
63/B/2015/PT.TUN.JKT yang diajukan oleh Putri Intan Sari sebagai
Penggugat terhadap Tergugat (Ka Kan Pertanahan Jakarta Selatan),
telah juga diajukan di Pengadilan Negeri Jakarta dengan Nomor
146/Pdt.G/2015/PN.Jkt.Sel antara Tando Aburdin sebagai Penggugat
terhadap Tergugat. Putusan yang dijatuhkan oleh majelis hakim dalam
perkara-perkara tersebut bersifat negatif yaitu menyatakan gugatan
tidak dapat diterima.
PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
Berdasarkan kesimpulan di atas, adapun saran-saran yang dapat
diberikan Penulis yaitu agar para pihak yang sudah memiliki suatu tanah
baik dengan transaksi jual beli, pewarisan dan lain sebaiknya segera
melakukan pendaftaran tanah sesuai ketentuan yang berlaku, apabila
obyek tanah tersebut sudah terdaftar sebelumnya maka kemudian
dilakukan pemeliharaan data pendaftaran tanah. Kemudian dikarenakan
tidak semua pihak dalam Kantor Pertanahan mempunyai pengetahuan
yang cukup mengenai Hukum Pertanahan sehingga hal ini dapat
menimbulkan cacat administrasi dalam pendaftaran, oleh karena itu
sebaiknya diberikan pengetahuan yang mendalam mengenai Hukum
Pertanahan kepada para pihak yang ada di Kantor Pertanahan. Sebaiknya
pihak dalam Kantor Pertanahan BPN menelusuri lebih lanjut mengenai
pengecekan data materil atau data praktek terkait tanah yang sedang
dalam proses pendaftaran tanah untuk mengurangi resiko terjadinya
kesalahan dalam pencatatan di Buku Tanah.
ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG
NOMOR 496/K/TUN/2017
Oleh :
ALMIRA SAHFIRI
201610110311223
IV-C