Anda di halaman 1dari 34

PROPOSAL PENELITIAN SOCIO LEGAL

PELAKSANAAN PUTUSAN MK NOMOR 91/PUU-XVIII/2020 TENTANG

UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2020 TENTANG CIPTA KERJA

TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA

TAHUN 1945.

OLEH:

12

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

FAKULTAS HUKUM

MALANG

2023
BAB 1 PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Lahirnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja

(yang selanjutnya akan disebut dengan UU Cipta Kerja) menuai kritik dari

masyarakat mulai dari kalangan buruh hingga akademisi mulai dari tahap

pembahasan hingga diundangkannya aturan ini. Undang-Undang Cipta Kerja

dianggap telah memberikan banyak kerugian kepada masyarakat baik dari

segi materi muatan serta proses pembentukan yang tidak ada transparansi.

Probematika ini terus berlanjut karena dari pihak legislasi memilih untuk

melanjutkan pembahasan hingga disahkan pada 20 Oktober 2020.

Secara umum, Undang-undang Cipta kerja merupakan sebuah konsep

baru dalam sistem perundang-undangan di Indonesia. Sistem ini biasa

disebut sebagai Undang-Undang sapu jagat karena dapat mengganti

beberapa Undang-undang dalam satu peraturan. Konsep ini juga dijadikan

misi untuk memangkas beberapa Undang-undang yang tidak sesuai dengan

perkembangan zaman dan merugikan negara. Pada tahun 2017, angkanya

mencapai 42.000 (empat puluh dua ribu) aturan. Setelah Undang-Undang

Cipta Kerja disahkan, banyak aktivis yang turut andil bagian menyuarakan

perihal problematika yang terjadi. Pemerintah menyampaikan bahwa tidak

ada jalan lain yang dapat ditempuh dalam membatalkan suatu perundang-

undangan selain dilakukan pengujian ke Mahkamah Konstitusi. Pengujian

material diajukan oleh Pemohon sehingga menghasilkan putusan MK Nomor

91/PUU-XVIII/2020 yang mana dalam amar putusannya menyatakan bahwa


UU Cipta Kerja dinyatakan Inkonstitusional Bersyarat 1. Putusan ini

menyatakan UU Cipta Kerja Inkonstitusional karena dianggap telah cacat

formil ataupun cacat prosedur. Kemudian putusan MK ini terdapat satu hal

yang dapat diperhatikan bahwa UU Cipta Kerja ini dinyatakan bertentangan

dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat secara

bersyarat sepanjang tidak dimaknai “tidak dilakukan perbaikan dalam waktu 2

(dua) tahun sejak putusan diucapkan. Dapat diartikan bahwa, dalam kurun

waktu dua tahun UU Cipta Kerja ini harus diperbaiki, apabila DPR tidak

melakukan perbaikan terhadap UU ini maka akan dinyatakan inkonstitusional

permanen2. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah bahwa dalam putusan ini

dinyatakan bahwa segala ketentuan dalam UU Cipta Kerja tetap berlaku akan

tetapi tidak boleh ada aturan turunan baru yang boleh diterbitkan sejak

dijatuhkannya putusan inkonstitusional bersyarat kepada UU Cipta Kerja. 3

Berdasarkan hal tersebut, yang menjadi permasalahan adalah,

Presiden Joko Widodo menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-

Undang Nomor 2 tahun 2022 tentang Cipta Kerja. Melihat kebijakan ini

banyak pihak yang melakukan kritik terhadap presiden Joko Widodo.

Berdasarkan Pasal 1 angka 4 UU Nomor 15 Tahun 2019 berbunyi:

1
Ibnu Khotib, Putusan Konstitusional Bersyarat dan Inkonstitusional Bersyarat,
Jendela Hukum, https://jendelahukum.com/putusan-konstitusional-bersyarat-dan-inkonstitusional-
bersyarat/, diakses tanggal 09 Maret 2023
2
Siti Faridah, Undang-Undang Cipta Kerja Inskonstitusional: Apa Dampaknya?, Yuk
Legal, https://yuklegal.com/undang-undang-cipta-kerja-inkonstitusional/, diakses tanggal 12 Maret
2023
3
Muhamad Wildan, UU Ciptaker Inkonstitusional Bersyarat, Aturan Turunan Masih
Berlaku, DDTCNews, https://news.ddtc.co.id/uu-ciptaker-inkonstitusional-bersyarat-aturan-turunan-
masih-berlaku-34780, diakses tanggal 12 Maret 2023
“Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang adalah Peraturan

Perundang-Undangan yang ditetapkan oleh Presiden dalam hal ihwal

kegentingan yang memaksa.”

Dengan hal ini yang dapat menentukan “hal ihwal kegentingan yang

memaksa”4 subjektivitas Presiden dalam menerbitkan Perppu, dan hal

tersebut akan dinilai oleh DPR apakah Kegentingan yang memaksa itu benar

atau tidak. MK sudah menyatakan dengan jelas bahwa UU No 11 Tahun 2022

tentang Cipta Kerja dan keluarnya Perppu tentang Cipta Kerja ini menjadi

polemik bagi masyarakat dan akan menjadi pertanyaan bagi masyarakat

untuk apa perpu ini diterbitkan dengan UU No 11 Tahun 2020 ini masih

berlaku secara bersyarat. Mahkamah Konstitusi dalam amar putusannya telah

menyatakan bahwa

“…menangguhkan segala tindakan atau kebijakan yang bersifat

strategis dan berdampak luas, serta tidak dibenarkan pula menerbitkan

peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan Undang-Undang Nomor 11

Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.”

Pertumbuhan ekonomi negara kita rata-rata dalam 5 tahun terakhir

adalah sebatas 5% (lima), sedangkan setiap 1% pertumbuhan ekonomi

hanya dapat menyerap kurang lebih 400.00 (empat ratus ribu) pekerja.

Pembentukan UU Cipta Kerja ini merupakan harapan pemerintah untuk dapat

terus meningkatkan pertumbuhan ekonomi menjadi minimal 6% dan

4
Muhammad RInaldy Bima, Hal Ikhwal Kegentingan yang memaksa sebagai landasan
Pembentukan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Jurnal Ius, Vol VII, Nomor
1, 2019, hlm 101.
menyerap lebih banyak tenaga kerja dan mengurangi jumblah pengangguran.

Berdasarkan data darai Badan Pusat Statistik (BPS), jumblah pengangguran di

Indonesia mencapai angka 8 (delapan) juta orang dan 2 (dua) juta Angkatan

kerja baru yang siap memasuki dunia kerja setiap tahunnya.

Tabel 1.1 Pertumbuhan Ekonomi Indonesia

Tahun Pertumbuhan Ekonomi

Indonesia

2018 5,17%

2019 5,02%

2020 2,07%

2021 3,70%

2022 5,31%

Berdasarkan uraian latar belakang permasalahan yang telah

dipaparkan penulis diatas, maka penulis melakukan penelitian yang

membahas tentang “Pelaksanaan Putusan MK Nomor

91/PUU-XVIII/2020 tentang Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020

tentang Cipta Kerja terhadap Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945.”

B. ORISINALITAS PENELITIAN

Dalam penelitian ini, dalam rangka membuktikan kebaharuan penulisan

maka penulis mengambil satu penelitian terdahulu yang memiliki kesamaan

dengan penelitian yang akan penulis lakukan


Tabel 1.2 Orisinalitas Penelitian

No. Nama Judul Pembeda Pembaharu Keterangan

Universitas

1. UIN Syarif Pelaksanaan Untuk Untuk

Hidayatullah Undang-Undang mengetahui mengetahui

Nomor 11 Tahun bagaimana bagaimana

2020 tentang bentuk pelaksanaan

Cipta Kerja dalam pelaksanaan Putusan MK

sistem otonomi Undang- Nomor

daerah Undang 91/PUU-

Cipta Kerja XVIII/2020

dalam tentang

sistem Cipta Kerja

otonomi terhadap

daerah Undang-

Undang

Dasar

Negara

Republik

Indonesia

Tahun 1945

Sumber: Data Sekunder, Michael, 2023


Pada penelitian terdahulu dapat dilihat bahwa penelitian diatas memiliki

perbedaan dengan penelitian penulis, yakni lebih membahas bagaimana bentuk

pelaksanaan UU Cipta Kerja dalam sistem otonomi daerah. Sedangkan penulis akan

meneliti dan membahas mengenai bentuk pelaksanaan Putusan MK Nomor 91/2020

terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Setelah mengkaji penelitian terdahulu, maka dapat disimpulkan bahwa penelitian

penulis dengan milik terdahulu berbeda. Maka penelitian ini memiliki unsur kebaruan

dan keorisinalitasn dari penelitian-penelitian sebelumnya.

D. RUMUSAN MASALAH

- Bagaimana pelaksanaan Putusan MK Nomor 91/PUU-XVII/2020 tentang

UU No 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja terhadap UUD NRI 1945?

E. TUJUAN PENELITIAN

- Berdasarkan Rumusan Masalah diatas maka tujuan penulis dalam

melakukan penelitian ini adalah:

1. Untuk mengidentifikasi bagaimana pelaksanaan Putusan MK Nomor

91/PUU-XVII/2020 tentang UU No 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja

terhadap UUD NRI 1945

F. MANFAAT PENELITIAN

Manfaat yang diharapkan penulis dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Manfaat teoritis
a. Sebagai bahan diskusi dan referensi mengenai dunia hukum

melingkupi hukum administrasi negara dan hukum tata negara

b. Sebagai sumbangan pemikiran bagi dunia hukum khususnya hukum

adminsitrasi negara terkait peraturan perundang-undangan.

2. Manfaat Praktis

a. Bagi Mahasiswa dan Akademisi, Penelitian ini diharapkan menajdi

gambaran dan bahan pemahaman mengenai teori dan konsep tentang

peraturan perundang-undangan di Indonesia. Membantu mahasiswa

dan akademisi untuk mengembangkan ilmu pengetahuan agar dapat di

terapkan.

b. Bagi Masyarakat, Penelitian ini dapat dijadikan sebagai sumber

pengetahuan masyarakat dalam memahami peraturan perundang-

undangan dan proses penyusunannya.

c. Bagi Pemerintah, penelitian ini diharapkan mampu menjadi bahan

acuan ataupun pedoman bagi pemerintah dalam membuat peraturan

perundang-undangan mengenai Undang-undang Cipta kerja sehingga

dapat menghindari konflik hukum.

G. DEFINISI OPERASIONAL

1. Yuridis

Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), yuridis merupakan

segala sesuati yang menurut hukum, secara hukum. Istilah Yuridis berasal

dari kata yuridisch yang diartikan sebagai dari segi hukum.

2. Undang-undang
Undang-undang secara umum dimaknai sebagai suatu peraturan hukum yang

disahkan oleh badan legislatif atau Dewan Perwakilan Rakyat dengan

Presiden. Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Undang-

undang adalah ketentuan dan peraturan negara yang dibuat oleh pemerintah.

3. Mahkamah Konstitusi

Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata Mahkamah memiliki arti

yaitu suatu badan tempat memutuskan hukum atas suatu perkara atau

pelanggaran, dan konstitusi adalah segala ketentuan dan aturan tentang

ketatanegaraan (undang-undang dasar dan sebagainya). Dengan kata lain,

Mahkamah konstitusi dimaknai sebagai suatu badan tinggi negara yang

memiliki wewenang memutuskan suatu perkara mengenai segala ketentuan

dan aturan tentang ketatanegaraan.


BAB II KAJIAN PUSTAKA

1. Kajian Umum tentang Kepastian Hukum

a. Teori tentang Tujuan Hukum

Tujuan hukum berasal dari dua kata yaitu tujuan dan hukum.

Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), tujuan dapat

diartikan sebagai arah, haluan, yang dituju. Dan hukum berdasarkan

KBBI memiliki arti peraturan atau adat yang secara resmi dianggap

mengikat yang diresmikan oleh penguasa atau pemerintah. Dengan

kata lain, secara umum tujuan hukum adalah untuk menghendaki

adanya keadilan hukum, kepastian hukum dan kemanfaatan hukum.

Berdasarkan hukum positif negara kita yang telah tercantum dalam

alínea ke 4 (empat) Pembukaan Undang-Undang Dasar, menyatakan

bahwa tujuan hukum adalah untuk membentuk suatu pemerintahan

negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan

seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan

umum, mencerdaskan kehidupan bangsa serta ikut melaksanakan

ketertiban Dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi

dan keadilan social.

Tujuan hukum memiliki banyak teori yang menjadi landasan

adanya tujuan hukum. Terdapat beberapa teori yang dapat di

golongkan teori tujuan hukum paling umum. Para ahli memiliki

pandangan masing-masing terkait dengan tujuan hukum. Dari berbagai


pandangan ini yang melatarbelakangi adanya tiga teori yakni Teori

Etis, Teori Utilitas dan teori campuran yakni sebagai berikut: 5

1. Teori Etis

Teori ini menganggap bahwa tujuan hukum adalah untuk

mencapai keadilan dan hukum yang dibuat harus diterapkan

secara adil untuk seluruh masyarakat agar masyarakat

merasa terlindungi. Penganut teori ini salah satunya adalah

Aristóteles.

2. Teori Utilitas

Dalam teori ini menganggap bahwa tujuan hukuma adalah

untuk mencapai kefaedahan atau kemanfaatan. Yang artinya

hukum bertujuan untuk menjamin kebahagiaan bagi

sebanyak-banyaknya orang ataupun masyarakat. Salah satu

penganut teori ini adalah Jeremy Bentham.

3. Teori Campuran

Teori ini menjelaskan bahwa hukum seharusnya memberikan

keadilan bagi warga negara, dimana keadilan tersebut

diwujudkan dengan memberikan kemanfaatan dalam sebuah

situasi yang tertib dan aman dan sebaliknya.

Dalam sistem hukum di Indonesia, Indonesia menganut sistem

eropa kontinental secara dominan, dimana Indonesia menggunakan

5
Tim Hukumonline, 3 Aliran Tujuan Hukum: Etis, Utilitas, dan Campuran,
Hukumonline, https://www.hukumonline.com/berita/a/aliran-tujuan-hukum-lt62f116ec9a50c, di akses
tanggal 1 April 2023
hukum formal barat dengan konsep tujuan hukumnya adalah keadilan,

kemanfaatan dan kepastian hukum.

Menurut hukum positif yang tercantum dalam alínea ke 4

(empat) Pembukaan Undang-Undang Dasar, menyatakan bahwa

tujuan hukum kita adalah untuk membentuk suatu pemerintahan

negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan

seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan

umum, mencerdaskan kehidupan bangsa serta ikut melaksanakan

ketertiban Dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi

dan keadilan social.

Dengan demikian, tentu pada hakekatnya suatu hukum harus

memiliki sebuah tujuan yang di dalamnya itu mengandung unsur-unsur

penting seperti unsur keadilan, kemanfaatan dan kepastian. Unsur-

unsur tersebut merupakan syarat imperatif yang tidak boleh hanya

satu unsur atau dua unsur yang terpenuhi melainkan ketiga nya wajib

terpenuhi.

b. Kepastian Hukum dalam Sistem Hukum di Indonesia

Secara umum, kepastian hukum telah diatur dengan jelas dalam

UUD 1945 pada pasal 28D ayat 1 yang pada intinya menjelaskan

bahwa tiap warga Negara Republik Indonesia memiliki hak atas


pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil

serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.

Dengan diaturnya kepastian hukum secara jelas dalam Undang-

Undang Dasar tentu memerlukan perwujudan yang baik dengan

berupa rumusan-rumusan norma yang jelas dan tidak hanya berupa

uraian-uraian dalam bentuk pernyataan. Salah satu perwujudan yang

ada dalam sistem hukum Indonesia adalah yaitu dengan adanya

perwujudan penerapan yaitu asas legalitas, dimana asas legalitas

sendiri dijelaskan dalam pasal 1 ayat 1 KUHP yang menyatakan

“bahwa tiada seorang pun dapat dipidana atau dikenakan tindakan,

kecuali perbuatan yang dilakukan telah ditetapkan sebagai tindak

pidana dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku pada saat

perbuatan itu dilakukan.”

Asas legalitas memiliki peran penting dan central dalam

menjamin kepastian hukum bagi masyarakat, karena asas ini

menghendaki adanya peraturan tertulis terhadap suatu tindak pidana

untuk bisa melakukan yang namanya pemidanaan. Salah satu ahli

hukum juga menyampaikan pendapatnya mengenai asas legalitas yaitu

Moeljatno dimana beliau menyatakan bahwa di dalam asas legalitas

memiliki persamaan seperti yang dijelaskan KUHP. 6 Moeljatno

menekankan bahwa mengenai asas legalitas, jika terjadi suatu tindak

pidana maka dalam menentukan perbuatan pidana harus sesuai fakta

dan tidak boleh dianalogikan. Pada poin berikutnya beliau menekankan

6
Moeljatno, 2008, Azas-Azas Hukum Pidana, Jakarta, Rineka Cipta, halaman 27.
bahwa ketentuan hukum pidana tidak berlaku surut atau yang sering

disebut asas retroaktif, adanya larangan ini bertujuan untuk menjamin

kepastian hukum dimasyarakat. Perwujudan suatu peraturan

perundang-undangan tentu tetap harus terdapat rumusan-rumusan

norma yang digunakan dalam perwujudan suatu peraturan khususnya

disini yaitu pasal 28D ayat 1.

Penjelasan dan penguraian alur berfikir daari pengaturan terkait

kepastian hukum ringkasnya harus melalui tahapan tahapan rumusan

norma yang matang agar kepastian hukum tersebut tercapai sebagai

perwujudan dari pasal 28D ayat 1 UUD 1945.

2. Tinjauan Umum tentang Mahkamah Konstitusi

a. Wewenang dan Fungsi Mahkamah Konstitusi

Wewenang dan fungsi Mahkamah Konstitusi singkatnya adalah

sebagai pengawal dan penafsir konstitusi Negara, yakni Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia. Di berbagai negara,

Mahkamah Konstitusi juga sebagai pelindung konstitusi. Dengan

adanya hak-hak asasi manusia dalam Undang-Undang Dasar 1945,

bahwa fungsi pelindung konstitusi dalam arti melindungi hak-hak asasi

7
manusia juga benar adanya.

7
Maruarar Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, Jakarta, 2011, halaman 11
Di dalam penjelasan Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003

tentang Mahkamah Konstitusi dinyatakan sebagai berikut

“..salah satu substansi penting perubahan Undang-undang

Dasar Negaara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah keberadaaan

Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga negara yang berfungsi

menangani perkara tertentu dibidang ketatanegaraan, dalam rangka

menjaga konstitusi agar dilaksanakan secara bertanggung jawab

sesuai dengan kehendak rakyat dan cita cita demokrasi. Keberadaan

Mahkamah Konstitusi sekaligus untuk menjaga terselenggaranya

pemerintah negara yang stabil, dan juga merupakan koreksi terhadap

pengalaman kehidupan ketatanegaraan di masa lalu yang

menimbulkan tafsir ganda terhadap konstitusi”.

Pasal 24C ayat 9 (1) dan (2) Undang-undang Dasar Negara

Republik Indonesia tahun 1945 menggariskan wewenang Mahkamah

Konstitusi adalah sebagai berikut:

1. Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat

pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk

menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar,

memutus sengketa kewenangan Lembaga negara yang

kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar,

memutus pembubaran partai politik, dan memutus

perselisihan tentang hasil pemilu.


2. Mahkamah Konstitusi wajib memberi putusan atas pendapat

Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran

Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang Undang

Dasar.

Wewenang Mahkamah Konstitusi secara khusus diatur lagi

dalam Pasal 10 UU Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah

Konstitusi sebagai berikut:

1. Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat

pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk:

a. menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

b. memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang

kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dsar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

c. memutus pembubaran partai politik; dan

d. memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.

2. Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas

pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden

diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa

pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak

pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak

lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil

Presiden sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.


3. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berupa:

a. pengkhianatan terhadap negara adalah tindak pidana

terhadap keamanan negara sebagaimana diatur

dalam undang-undang.

b. korupsi dan penyuapan adalah tindak pidana korupsi

atau penyuapan sebagaimana diatur dalam

undangundang.

c. tindak pidana berat lainnya adalah tindak pidana

yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun

atau lebih.

d. perbuatan tercela adalah perbuatan yang dapat

merendahkan martabat Presiden dan/atau Wakil

Presiden.

e. tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden

dan/atau Wakil Presiden adalah syarat sebagaimana

ditentukan dalam Pasal 6 Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Selain yang disebut diatas, Mahkamah Konstitusi juga wajib

memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau

wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa

penghianatan tehadap negara, korupsi, penyuapan dan tindak pidana

berat lainnya dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden

dan/atau wakil Presiden.8


8
Yuli Nurhanisah, Mengenal Kewenangan dan Kewajiban Mahkamah Konstitusi,
Indonesiabaik, https://indonesiabaik.id/index.php/infografis/mengenal-kewenangan-dan-kewajiban-
b. Putusan Mahkamah Konstitusi

Putusan Mahkamah Konstitusi merupakan refleksi pernyataan

hakim yang diberi wewenang oleh UUD 1945 untuk memutuskan

sengketa yang diajukan oleh pemohon. Putusan Mahkamah Konstitusi

bersifat final yang berarti bahwa tidak ada lagi upaya hukum lain yang

dapat ditempuh.9 Oleh karena itu, putusan tersebut telah memiliki

kekuatan hukum mengikat dimana semua pihak harus tunduk dan taat

melaksanakan putusan tersebut. Landasan putusan Mahkamah

Konstitusi harus merujuk pada ketentuan Pasal 45 UU Nomor 24

Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang berbunyi sebagai

berikut;

a. Mahkamah Konstitusi memutus perkara berdasarkan

UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

sesuai dengan alat bukti dan keyakinan hakim.

b. Putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan permohonan

harus didasarkan pada sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti.

c. Putusan Mahkamah Konstitusi wajib memuat fakta yang

terungkap dalam persidangan dan pertimbangan hukum yang

menjadi dasar putusan. 24

d. Putusan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diambil secara

musyawarah untuk mufakat dalam sidang pleno hakim

konstitusi yang dipimpin oleh ketua sidang.


mahkamah-konstitusi, di akses tanggal 1 April 2023
9
Aditya Wahyu Saputro, Memahami Arti Putusan MK Bersifat Final, Hukumonline,
https://www.hukumonline.com/klinik/a/memahami-arti-putusan-mk-bersifat-final, di akses tanggal 1
April 2023
e. Dalam sidang permusyawaratan, setiap hakim konstitusi wajib

menyampaikan pertimbangan atau pendapat tertulis terhadap

permohonan.

f. Dalam hal musyawarah sidang pleno hakim konstitusi

sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak dapat menghasilkan

putusan, musyawarah ditunda sampai musyawarah sidang

pleno hakim konstitusi berikutnya.

g. Dalam hal musyawarah sidang pleno setelah diusahakan

dengan sungguh-sungguh tidak dapat dicapai mufakat bulat,

putusan diambil dengan suara terbanyak. 8) Dalam hal

musyawarah sidang pleno hakim konstitusi sebagaimana

dimaksud pada ayat (7) tidak dapat diambil dengan suara

terbanyak, suara terakhir ketua sidang pleno hakim konstitusi

menentukan.

h. Putusan Mahkamah Konstitusi dapat dijatuhkan pada hari itu

juga atau ditunda pada hari lain yang harus diberitahukan

kepada para pihak.

i. Dalam hal putusan tidak tercapai mufakat bulat sebagaimana

dimaksud pada ayat (7) dan ayat (8), pendapat anggota Majelis

Hakim yang berbeda dimuat dalam putusan.

Putusan MK sejak selesai diucapkan dlam sidang pleno terbuka

untuk umum secara yuridis memiliki kekuataan hukum mengikat,

kekuatan pembuktian dan kekuatan eksekutorial. Berikut uraian dari

ketiga kekuatan putusan tersebut.


a. Kekuatan Mengikat

Dinyatakan dalam Pasal 47 UU Nomor 24 Tahun 2003

yang menyatakan;

“Bahwa putusan Mahkamah Konstitusi memperoleh kekuatan

hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka

untuk umum”.

Berdasarkan pasal diatas, berarti sudah tidak ada upaya

hukum yang dapat ditempuh oleh para pemohon. Kekuatan

mengikat putusan MK ini secara teoritis berbeda dengan

putusan pengadilan biasa. Putusan MK tidak hanya mengikat

para pemohon melainkan pemerintah, DPR dan juga seluruh

masyarakat dan lembaga lainnya.

b. Kekuatan Pembuktian

Pasal 60 UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah

Konstitusi menyatakan “materi muatan, ayat, pasal, dan/atau

bagian dalam undang-undang yang telah diuji, tidak dapat

dimohonkan pengujian kembali”. Hal ini berarti putusan MK

terhadap UU yang pernah dimohonkan untuk diuji dapat

digunakan sebagai bukti.

c. Kekuatan Eksekutorial

Kekuatan eksekutorial adalah putusan yang menetapkan

secara tegas hak dan hukumya untuk kemudian direalisir melalui


eksekusi oleh alat negara.10 Kekuatan eksekutorial putusan

Mahkamah Konstitusi dianggap telah terwujud dalam bentuk

pengumuman yang termuat dalam berita negara dalam jangka

waktu paling lambat 30 hari sejak putusan itu diucapkan dalam

sidang pleno terbuka untuk umum. Sifat putusan MK adalah

declaratoir sehingga tidak dibutuhkan adanya aparat khusus

yang melaksanakan putusan.

Putusan Mahkamah Konstitusi dalam pengujian undang-undang

secara teknis yuridis bersifat declaratoir-constitutif. Artinya putusan

Mahkamah Konstitusi selain menyatakan suatu keadaan hukum baru

namun juga meniadakan atau menciptakan suatu keadaan hukum

baru.

Jika pemerintah atau lembaga negara tidak mengindahkan

keputusan Mahkamah Konstitusi dan tetap memberlakukan undang-

undang yang telah dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum

mengikat oleh Mahkamah Konstitusi, maka tindakan tersebut dianggap

melanggar hukum.

c. Kedudukan Mahkamah Konstitusi

Kedudukan Mahkamah Konstitusi dapat dikatakan Lembaga

peradilan yang berdiri sendiri. Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah

Agung merupakan dua Lembaga negara yang sejajar,dapat di

10
M.Nasir, Hukum Acara Perdata, Djambatan, Jakarta, 2009 Hal.194.
simpulkan bahwa bila kekuasaan kehakiman terbagi menjadi 2 (dua),

yaitu cabang peradilan biasa yang berada di tangan MA dan cabang

peradilan konstitusi yang berpuncak pada MK. Mahkamah Konstitusi

merupakan Lembaga tinggi negara, dapat disimpulkan MK sejajar

dengan MPR, DPR, DPD, Presiden, BPK dan Mahkamah Agung.

3. Tinjauan Umum Undang-undang

a. Teori hierarki Perundang-undangan

Teori hierarki ini diperkenalkan oleh Hans Kelsen yang menyatakan

bahwa sistem hukum memiliki struktur bertingkat dengan aturan yang

disusun secara hierarkis. Hans Kelsen mengungkapkan “The unity of

these norms is constituted by the fact that the creation of the norm–

the lower one-is determined by another-the higher-the creation of

which of determined by a still higher norm, and that this regressus is

terminated by a highest, the basic norm which, being the supreme

reason of validity of the whole legal order, constitutes its unity ”11. Yang

artinya norma hukum yang paling rendah berpegangan pada norma

hukum yang lebih tinggi, dan norma hukum tertinggi harus

berpegangan pada norma hukum yang mendasar ( grundnorm). Salah

satu teori yang menarik perhatian dari Hans Kelsen adalah mengenai

norma hukum dan tangga validitas yang membentuknya, yang dikenal

sebagai stufentheorie. Teori Hans Kelsen tersebut dikembangkan oleh

muridnya yaitu Hans Nawiasky. Teori dari Nawiasky disebut dengan

11
Hans Kelsen, General Theory of Law and State, Harvard University Printing Office
Cambridge, Massachusetts, USA, 2009, hlm.124
theorie von stufenufbau der rechtsordnung. Susunan berdasarkan teori

tersebut adalah: Norma Fundamental negara

(Staatsfundamentalnorm), Aturan dasar negara (Staatsgrundgesetz);

Undang-Undang formal (Formell Gesetz); dan Peraturan pelaksanaan

dan peraturan otonom (Verordnung En Autonome Satzung).

Berdasarkan pada teori milik Nawiaky tersebut dapat disimpulkan

bahwa struktur tata hukum di Indonesia sebagai berikut: 12

1. Staatsfundamentalnorm: Pancasila (Pembukaan UUD RI

tahun 1945).

2. Staatsgrundgesetz: Batang Tubuh UUD 1945, Tap MPR,

dan Konvensi Ketatanegaraan.

3. Formell gesetz: Undang-Undang.

4. Verordnung en Autonome Satzung: Secara hierarkis mulai

dari Peraturan Pemerintah hingga Keputusan Bupati atau

Walikota.

Dalam pasal 7 Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang

Pembentukan peraturan Perundang-undangan, dalam pasal 7

menyebutkan jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri

atas

1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun

1945

2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat

12
Maria Farida, Ilmu Perundang-Undangan, Kanisius, Yogyakarta, 2007, Hlm. 28
3. Undang-undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-

undang

4. Peraturan Pemerintah

5. Peraturan Presiden

6. Peraturan Daerah Provinsi

7. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota

b. Materi Muatan Undang-undang

Secara umum pembentukan undang-undang dan peraturan

yang berada di bawahnya memiliki materi muatan yang tidak

bertentangan dengan konstitusi. Pembentukan isi undang-undang

diikat dan memiliki asas pembentukan peraturan perundang-undangan

antara lain:

a. Pengayoman

b. Kemanusiaan

c. Kebangsaan

d. Kekeluargaan

e. Kenusantaraan

f. Bhinneka tunggal ika

g. Keadilan

h. Kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan

i. Ketertiban dan kepastian hukum

j. Keseimbangan, keserasian, dan keselarasan.


Dalam pengembangan ilmu perundang-undangan, setidaknya

ada beberapa hal yang menjadi materi muatan seperti;

a. Perintah yang diatur secara tegas didalam UUD 1945

b. Perintah untuk diatur dalam undang-undang yang dimuat

dalam TAP MPR

c. Mengatur hak asasi manusia secara universal

d. Mengatur hak dan kewajiban dari warga negara

e. Mengatur pembagian kekuasaan negara termasuk

kekuasaan yudikatif dan kebebasan hakim

f. Mengatur pokok-pokok lembaga tertinggi negara,

lembaga tinggi negara

g. Mengatur pembagian daerah berdasarkan pembagian

daerah besar dan daerah kecil

h. Mengatur cara mendapatkan kewarganegaraan

i. Hal-hal yang ditentukan oleh undang-undang untuk

diatur oleh undang-undang

Materi muatan berdasarkan pasal 10 Undang-undang Nomor 12

tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan perundang-undangan

meliputi:

a. Pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945


b. Perintah suatu Undang-Undang untuk diatur dengan

Undang-Undang

c. Pengesahan perjanjian internasional tertentu

d. Tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi

4. Tinjauan umum tentang teori sosio-legal hukum

a. Pendekatan Penelitian sosio-legal

Pendekatan penelitian sosio-legal merupakan pendekatan

interdisipliner, tujuannya untuk menggabungkan segala aspek sudut

pandang disiplin ilmu, ilmu social dan ilmu hukum menjadi sebuah

pedekatan yang tunggal.

Sociological jurisprudence adalah salah satu aliran dalam teori

hukum yang digagas oleh Roscoe Pound, dan teori tersebut

berkembang di Amerika mulai tahun 1930-an. Istilah kata “ sociological”

mengacu pada pemikiran realisme dalam ilmu hukum, yang meyakini

bahwa meskipun ilmu hukum adalah sesuatu yang dihasilkan melalui

proses yang dapat dipertanggungjawabkan secara logika imperatif,

namun the life of law has not been logic, it is (socio-psycological)

experience. Hakim yang bertugas wajib proaktif dalam menentukan


putusan untuk menyelesaikan sengketa dan perkara dengan melihat

kenyataan-kenyataan social yang ada di masyarakat.

b. Karakteristik sosio-legal hukum

Kata “sosio” dalam sosio-legal bukan menuju pada istilah

sosiologi atau ilmu sosial namun merepresentasikan hubungan antar

konteks dimana hukum itu berada. Oleh karena itu, ketika seorang

peneliti sosio-legal menggunakan teori sosial untuk keperluan analisis,

mereka biasanya tidak akan fokus pada disiplin sosiologi atau ilmu

sosial lainnya, melainkan pada ilmu hukum. Pendekatan sosio-legal

menekankan pada pemahaman tentang bagaimana hukum diterapkan

dan diimplementasikan dalam masyarakat, serta bagaimana

masyarakat merespon dan mempengaruhi hukum dengan

menggabungkan berbagai disiplin ilmu seperti ilmu hukum ,sosiologi,

antropologi, psikologi, dan sejarah dalam menganalisis hubungan

antara hubungan dan masyarakat

H. METODE PENELITIAN

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan merupakan penelitian hukum

sosio-legal yaitu penelitian hukum yang berupaya untuk melihat hukum

dalam arti yang nyata, yaitu bagaimana hukum bekerja di masyarakat.

Adapun tujuan dari penelitian hukum sosio-legal yaitu untuk membantu

memahami dan memberikan konteks yang tepat terhadap konfigurasi


social dan politik yang mempengaruhi hukum dan implementasinya.

13
Pendekatan hukum sosio-legal merupakan suatu usaha untuk

memperdalam pemahaman terhadap suatu permasalahan dengan

memperhatikan secara komprehensif konteks norma dan cara

implementasinya. Penelitian sosio-legal ini digunakan untuk meninjau

dari sisi yuridis dan sosial mengenai pelaksanaan Putusan Mahkamah

Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 tentang Undang-undang Nomor 11

Tahun 2020 tentang Cipta Kerja terhadap Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945

2. RUANG LINGKUP PENELITIAN

Penelitian ini berfokus pada bidang keilmuan Hukum Tata Negara.

Dengan pertimbangan bahwa bagaimana pelaksanaan dari Putusan

Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 tentang Undang-

undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dalam kehidupan

di masyarakat. Hukum tata negara merupakan aturan yang

bersangkutan dengan berbagai tindakan suatu negara. Dengan hal ini

seperti pembentukan peraturan perundang-undangan, kebijakan

publik dan lain sebagainya.

3. JENIS DAN SUMBER DATA

Sumber-sumber data dapat dibedakan menjadi sumber-sumber

data primer dan data sekunder. Data primer merupakan data yang

diperoleh langsung oleh sumbernya baik melalui wawancara, dialog

13
maupun laporan-laporan yang dalam bentuk tidak resmi yang kemudian

diteliti oleh penulis. Data sekunder merujuk pada informasi yang

diperoleh dari perantara instansi pemerintah yang terkait dengan

penelitian atau dari sumber yang tidak memberikan data secara langsung

pada pengumpulan data.

Rencana penelitian ini menggunakan 2 (dua) jenis data yakni data

primer, dan data sekunder.

a. Data Primer, yaitu data utama yang diteliti oleh penulis, antara

lain:

1. Wawancara

2. Kuisioner

b. Data Sekunder, yaitu data yang memberi penjelasan lebih lanjut

dan validitas terhadap data primer, antara lain:

1. Literatur-literatur yang berkaitan dengan permasalahan

yang dikaji berasal dari buku-buku hukum maupun non-

hukum;

2. Pendapat para ahli;

3. Artikel, jurnal, laporan, dan media cetak atau elektronik.

4. Dokumen yang meliputi data-data pendukung data primer.

5. Lokasi dan Alasan Pemilihan Lokasi

Penelitian ini dilaksanakan di Kota Malang karena dapat

dikatakan Kota Malang salah satu kota yang terdampak akibat

disahkannya Undang-Undang Cipta Kerja. Beberapa ketentuan dalam UU


Cipta Kerja, seperti pengaturan mengenai upah, kontrak kerja, dan

penggunaan tenaga kerja outsourcing, dapat merugikan pekerja dengan

menurunkan hak dan kesejahteraan pekerja. Berdasarkan data dari

Badan Pusat Statistik (BPS), tingkat pengangguran terbuka di Kota

Malang mencapai angka 7,66 persen pada tahun 2022.

6. Populasi, Sampel dan Responden

a. Populasi

Populasi merupakan objek yang berada pada suatu

wilayah dan berwujud kumpulan manusia yang memenuhi

syarat-syarat tertentu dengan masalah penelitian. Populasi yang

diambil harus sesuai dengan permasalahan yang diangkat oleh

penulis. Populasi dapat berupa orang atau sekelompok orang,

masyarakat, organisasi, benda, objek, peristiwa, atau laporan

yang memiliki ciri-ciri dan harus didefinisikan secara spesifik. 14

Populasi dari penelitian ini meliputi seluruh pegawai atau

keseluruhan orang yang bertugas di Dinas Ketenagakerjaan

Kota Malang.

b. Sampel

Sample merupakan sebagian kecil dari populasi yang

dipilih atau diambil sebagai representasi dari keseluruhan

populasi. Dengan kata lain, Sample merupakan sebagian dari

14
Widia Indah Nirmala, Pengaruh Manajemen Sarana dan Prasarana Pendidikan Terhadap
Mutu Layanan Pembelajaran di SMPN Se-Kecamatan Sukasari Kota Bandung, Disertasi
diterbitkan, Bandung, Fakultas Ilmu Pendidikan UPI, 2015, hlm 54.
jumblah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi. Adapun

sample yang ditentukan peneliti meliputi seluruh pegawai yang

bertugas di bidang tenaga kerja Dinas Tenaga Kerja Kota

Malang.

c. Responden

Responden adalah individu atau kelompok yang

memberikan informasi atau data yang dibutuhkan dalam

penelitian. Responden dapat berupa anggota populasi atau

sampel yang dipilih. Responden yang ditentukan memiliki

karakteristik yang dibutuhkan oleh peneliti. Orang tersebut

memiliki jabatan di Dinas Ketenagakerjaan Kota Malang dengan

jabatan Kepala Bidang Tenaga Kerja atas nama Ir. Titis

Andayani, MM. Responden dalam penelitian ini sebanyak 1

(satu) orang.
DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Moeljatno, Azas-Azas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 2008

Siahaan, Maruarar, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, Jakarta,

2011

Nasir.M, Hukum Acara Perdata, Djambatan, Jakarta, 2009

Farida, Maria, Ilmu Perundang-Undangan, Kanisius, Yogyakarta,

2007

Made I, Pasek Diantha, Metodologi Penelitian Hukum Normatif

dalam Justifikasi Teori Hukum, Prenada Media Group, Jakarta, 2017

Mahmud Peter, Marzuki, Penelitian Hukum, Edisi Revisi, Kencana,

Jakarta, 2005

Kelsen, Hans, General Theory of Law and State, Harvard University

Printing Office Cambridge, Massachusetts, 2009.

INTERNET

Khotib, Ibnu, Putusan Konstitusional Bersyarat dan

Inkonstitusional Bersyarat, Jendela Hukum, https://jendelahukum.com/putusan-

konstitusional-bersyarat-dan inkonstitusional-bersyarat/, diakses tanggal 09 Maret

2023
Faridah, Siti, Undang-Undang Cipta Kerja Inskonstitusional: Apa

Dampaknya?, Yuk Legal, https://yuklegal.com/undang-undang-cipta-kerja-

inkonstitusional/, diakses tanggal 12 Maret 2023

Wildan, Muhamad, UU Ciptaker Inkonstitusional Bersyarat,

Aturan Turunan Masih Berlaku, DDTCNews, https://news.ddtc.co.id/uu-ciptaker-

inkonstitusional-bersyarat-aturan-turunan-masih-berlaku-34780, diakses tanggal 12

Maret 2023

Hukumonline, Tim, 3 Aliran Tujuan Hukum: Etis, Utilitas, dan

Campuran, Hukumonline, https://www.hukumonline.com/berita/a/aliran-tujuan-

hukum-lt62f116ec9a50c, di akses tanggal 1 April 2023

Nurhanisah, Yuli, Mengenal Kewenangan dan Kewajiban

Mahkamah Konstitusi, Indonesiabaik,

https://indonesiabaik.id/index.php/infografis/mengenal-kewenangan-dan-kewajiban-

mahkamah-konstitusi, di akses tanggal 1 April 2023

Wahyu Aditya, Saputro, Memahami Arti Putusan MK Bersifat

Final, Hukumonline, https://www.hukumonline.com/klinik/a/memahami-arti-

putusan-mk-bersifat-final, di akses tanggal 1 April 2023

Editor UMSU, Pengertian Hukum Tata Negara Menurut Ahli,

Tujuan, Asas, dan Contohnya, Fakultas Hukum UMSU,

https://fahum.umsu.ac.id/hukum-tata-negara/, diakses tanggal 13 April 2023


JURNAL

Rinaldy Muhammad, Bima, Hal Ikhwal Kegentingan yang

memaksa sebagai landasan Pembentukan Peraturan Pemerintah

Pengganti Undang-Undang, Jurnal Ius, Vol VII, Nomor 1, 2019.

Anda mungkin juga menyukai