Anda di halaman 1dari 23

Implementasi Asas Formil Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan

Terhadap Undang-Undang Cipta Kerja

Kenny Putra Limantara

Email: kennyputra.ctc@gmail.com

Abstrak
Omnibus Law merupakan suatu metode penyederhanaan regulasi yang diadopsi
oleh Undang-Undang Cipta Kerja. Berdasarkan hukum, Undang-Undang Nomor
12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan atau yang
sering disebut dengan Undang-Undang P3 tidak mengenal metode Omnibus Law.
Kendati demikian, tidak berarti metode ini tidak boleh atau dilarang untuk
digunakan. UUD 1945 sebagai sumber hukum tertinggi dan konstitusi NKRI telah
memberikan pesan bahwa tata cara pembentukan undang-undang diatur dengan
Undang-Undang P3. Undang-Undang P3 sendiri telah mengatur asas-asas
pembentukan peraturan perundang-undangan hingga struktur penulisan peraturan
perundang-undangan. Oleh karena itu, legislator sebagai pembuat undang-undang
wajib memperhatikan ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang P3. Apabila
terdapat ketidaksesuaian secara formil maupun materil dengan Undang-Undang P3,
maka produk hukum a quo akan dikatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan
akan kehilangan sifat mengikatnya. Klaim tersebut tentunya juga harus melewati
tahap judicial review di Mahkamah Konstitusi.
Kata kunci: Asas, Perundang-undangan, Cipta Kerja

1
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Tahun 2020 lalu, publik digemparkan dengan disahkan Undang-
Undang baru yang mengatur mengenai Cipta Kerja, yaitu Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2020. Pembentukan undang-undang cipta kerja ini
menggunakan metode baru yang belum dikenal oleh sistem hukum
Indonesia, yakni metode Omnibus Law. Dengan menggunakan metode
tersebut, legislator berhasil menggabungkan kurang lebih 80 Undang-
Undang dan merevisi lebih dari 1.200 pasal.1 Usaha yang dilakukan oleh
legislator ini patut untuk diapresiasi, melihat begitu banyaknya Undang-
Undang dari multisektor yang termasuk dalam Undang-Undang Cipta
Kerja. Omnibus Law sendiri merupakan metode pembentukan peraturan
perundang-undangan yang berkembang di negara-negara common law,
seperti Amerika Serikat, Belgia, Inggris, dan Kanada.2 Metode ini sering
kali digunakan untuk menyederhanakan regulasi yang terlalu banyak,
sehingga sangat cocok dengan Indonesia.
Berdasarkan pada data Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia,
mulai dari tahun 2014 hingga oktober 2018, setidaknya di Indonesia telah
terbit 7.621 Peraturan Menteri, 765 Peraturan Presiden, 452 Peraturan
Pemerintah, dan 107 Undang-Undang.3 Data a quo belum termasuk
peraturan perundang-undangan yang telah dikeluarkan sampai dengan
sekarang. Pembuatan regulasi demikian banyaknya tentu dilakukan dalam
rangka pemenuhan kebutuhan bernegara dan bermasyarakat. T. Koopman
pernah mengatakan, bahwa “Pembentukan perundang-undangan tidak lagi
pertama-tama ke arah kodifikasi melainkan modifikasi”. Sehingga hukum

1
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, “Omnibus Law Cipta Lapangan
Kerja”, https://dikti.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/2020/10/Booklet-UU-Cipta-Kerja.pdf,
diakses pada 19 Mei 2022, hal. 2
2
Antoni Putra, “Penerapan Omnibus Law Dalam Upaya Reformasi Regulasi”, Jurnal Legislasi
Indonesia, Vol. 17, No. 1 Maret 2020, hal. 2
3
Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia, Kajian Reformasi Regulasi di Indonesia: Pokok
Permasalahan dan Strategi Penanganannya, (Jakarta: PSHK, 2019), hal. 65

2
tidak tertinggal dan mampu berbaur dengan perkembangan masyarakat atau
dapat dikatakan hukum berada di depan perkembangan masyarakat.
Perkembangan masyarakat di Indonesia, dewasa ini telah
mengalami kemajuan yang sangat pesat. Legislator selaku lembaga yang
memiliki kewenangan untuk membuat Undang-Undang tentu akan dituntut
untuk bergerak cepat dalam melakukan kajian-kajian untuk dapat
mengusahakan hukum tetap berada di depan perkembangan masyarakat.
Tentunya usaha ini akan membuat pembentukan peraturan perundang-
undangan menjadi sangat banyak dan akan berdampak pada tingkat
efektivitas peraturan itu sendiri. Sehingga untuk tetap menjaga efektivitas
dari pemberlakuan peraturan perundang-undangan ini, maka digunakan
metode Omnibus Law. Hal ini tercermin melalui Undang-Undang nomor 11
Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang berhasil mengatur multisektoral.
Penyederhanaan yang dimaksud dapat dilihat melalui regulasi yang
awalnya berasal dari kurang lebih 80 Undang-Undang, sekarang diatur
hanya melalui 1 (satu) Undang-Undang yaitu Undang -Undang Cipta Kerja;
kemudian regulasi yang awalnya memiliki lebih dari 1.200 pasal
disederhanakan menjadi 174 pasal yang kemudian dibagi menjadi 11
klaster. Kendati Omnibus Law telah berhasil menyederhanakan regulasi
yang sangat banyak tersebut, bukan berarti Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2020 tentang Cipta Kerja tidak mendapat penolakan. Banyak
penolakan terhadap Undang-Undang ini mulai dari para buruh, mahasiswa,
hingga pakar hukum sekalipun. Penolakan ini pun berujung pada
dilakukannya judicial review ke Mahkamah Konstitusi untuk menguji status
mengikat bagi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Disamping itu, Para Pemohon juga memohonkan agar Undang-Undang
tentang Cipta Kerja dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.4

4
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor Putusan Nomor: 91/PUU-XVIII/2020, hal 79

3
Melihat permohonan yang diajukan oleh Para Pemohon, penulis
tertarik untuk meninjau lebih lanjut mengapa Undang-Undang Cipta Kerja
dianggap bertentangan dengan UUD 1945. Disamping itu, dalam
pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia, kita mengenal
adanya 2 (dua) asas yaitu asas formil dan asas materi muatan. Legislator
dalam membuat Undang-Undang tentu harus memperhatikan kedua asas
tersebut agar suatu peraturan perundang-undangan tidak cacat baik secara
formil maupun secatra materil. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk
memahami juga bagaimana implementasi dari asas pembentukan peraturan
perundang-undangan terhadap Undang-Undang Cipta kerja.

B. Rumusan Masalah
Pokok permasalahan yang menjadi fokus penulis dalam penulisan
karya tulis ini, antara lain:
i. Bagaimana Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta
Kerja dianggap bertentangan dengan UUD 1945 oleh Para Pemohon
dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 91/PUU-XVIII/2020?
ii. Bagaimana Implementasi Asas Formil Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan Terhadap Undang-Undang Cipta Kerja?

C. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan karya tulis ini antara lain:
i. Agar pembaca dapat mengerti mengapa Undang-Undang Cipta
Kerja dianggap bertentangan dengan UUD 1945 oleh Para Pemohon
dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 91/PUU-XVIII/2020.
ii. Agar pembaca dapat memahami bagaimana implementasi asas
formil pembentukan peraturan perundang-undangan terhadap
Undang-Undang Cipta Kerja.

4
PEMBAHASAN

2.1. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja Dianggap


Bertentangan Dengan UUD 1945 Dalam Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor: 91/PUU-XVIII/2020 Oleh Para Pemohon
a. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja
acap kali disebut dengan Undang-Undang Cipta Kerja. Undang-
Undang Cipta Kerja ini disusun untuk mengatasi masalah ekonomi,
khususnya di bidang investasi. Selain untuk mengatasi masalah
investasi, Undang-Undang Cipta Kerja juga digunakan untuk mengatasi
permasalahan kebijakan yang tumpang tindih sehingga dapat
menyelaraskan kebijakan pusat dan daerah. Undang-Undang Cipta
Kerja juga memangkas pasal-pasal yang dinilai tidak efektif dan
menghilangkan ego sektoral agar regulasi dapat mengakomodasi
kepentingan masyarakat luas, tidak hanya kelompok minoritas yang
berkuasa. Usaha tersebut dilakukan agar hukum tidak kehilangan
wibawanya dan kepastian hukum tetap terjamin.
Presiden Joko Widodo, dalam acara Pertemuan Tahunan Bank
Indonesia 2019 mengatakan, “50 tahun waktu yang dibutuhkan jika
merevisi UU satu per satu. Melalui Omnibus Law penyederhanaan
regulasi bisa dipercepat.”5 Pada dasarnya, harapan dari dibentuknya
Undang-Undang Cipta Kerja, yaitu:6
1. Membuat iklim investasi yang kondusif, sehingga akan
menyerap lebih banyak pekerja;
2. Mengusahakan pertumbuhan ekonomi yang meningkat,
dan mengurangi pengangguran; serta
3. Meningkatkan produktivitas pekerja.

5
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, “Omnibus Law Cipta Lapangan
Kerja”, https://dikti.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/2020/10/Booklet-UU-Cipta-Kerja.pdf,
diakses pada 19 Mei 2022, hal 3
6
Ibid, hal 4

5
Dengan harapan tersebut, Undang-Undang Cipta Kerja yang dibentuk
menggunakan metode Omnibus Law setidaknya akan menciptakan 3
juta lapangan kerja setiap tahunnya. Undang-Undang Cipta Kerja juga
memiliki kebijakan strategis yang mengatur, antara lain:7

1. Peningkatan ekosistem investasi dan kegiatan berusaha;


2. Perlindungan dan kesejahteraan pekerja;
3. Kemudahan, pemberdayaan, dan perlindungan UMKM;
dan
4. Peningkatan investasi pemerintah dan proyek strategis
nasional.

Berdasarkan uraian di atas, dapat dilihat bahwa pemerintah optimis


kemajuan ekonomi Indonesia dapat dicapai dengan penyederhanaan
regulasi demi peningkatan ekosistem investasi.

Mengingat, Undang-Undang Cipta Kerja merupakan Undang-


Undang pertama yang menggunakan metode Omnibus Law, tidak heran
bila Undang-Undang a quo menimbulkan banyak kontroversi bahkan
mulai dari penyusunan RUU Cipta Kerja. Secara hukum, Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan memang tidak mengenal metode Omnibus Law.
Kendati demikian, bukan berarti metode ini tidak dapat digunakan atau
dilarang untuk digunakan. Kontroversi terjadi karena Undang-Undang
Cipta Kerja dianggap kurang partisipatif. Selain itu, metode Omnibus
Law juga dinilai memiliki karakteristik khusus yang dapat
membahayakan demokrasi.8 Bila kembali merujuk pada Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan

7
Ibid
8
Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia, “PSHK Sampaikan Masukan Prolegnas dan
Omnibus Law”, https://pshk.or.id/highlight-id/pshk-sampaikan-masukan-prolegnas-dan-omnibus-
law/, diakses pada 19 Mei 2022

6
Perundang-Undangan, dalam Bab XI telah diatur mengenai partisipasi
masyarakat.

Pasal 96 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang


Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan harus dipandang sebagai
suatu ketentuan prosedural, bukan sebatas formalitas. Publik sebaiknya
diposisikan sebagai subyek yang memberikan partisipasinya terhadap
suatu undang-undang.9 Hal ini juga sejalan dengan pendapat dari Nonet
dan Selznik yang berbicara mengenai pentingnya partisipasi
masyarakat dalam pembentukan produk hukum dengan mengundang
sebanyak-banyaknya partisipasi dari semua elemen masyarakat, baik
dari individu maupun kelompok masyarakat, selain itu produk hukum
juga harus bersifat aspiratif yang bersumber dari kehendak
masyarakat.10 Hal ini dapat menjadi alasan, mengapa pembentukan
Undang-Undang Cipta Kerja menuai banyak kontroversi.

b. Para Pemohon Anggap Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020


tentang Cipta Kerja Bertentangan Dengan UUD 1945
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 atau
yang sering disebut sebagai UUD 1945, merupakan konstitusi dan
sumber hukum tertinggi dalam tatanan hukum di Indonesia. Seluruh
produk hukum yang dibuat, baik oleh lembaga legislatif atau instrumen
pemerintahan lain tidak boleh mengandung uatan yang bertentangan
dengan UUD 1945. Undang-Undang Cipta Kerja merupakan produk
hukum legislator yang tentunya harus tunduk pada UUD 1945. Pasal
22A UUD 1945 merupakan pasal hasil amandemen ke-dua, dan jelas
mengatakan bahwa mengenai tata cara pembentukan undang-undang
diatur dengan undang-undang. Maka dari itu, pembentukan undang-

9
Antoni Putra, “Penerapan Omnibus Law Dalam Upaya Reformasi Regulasi”, Jurnal Legislasi
Indonesia, Vol. 17, No. 1 Maret 2020, hal. 6
10
Ibid

7
undang harus mengikuti tata cara yang telah ditentukan dalam Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 1950 tentang Penerbitan Lembaran Negara dan
Berita Negara RIS dan tentang Mengeluarkan, Mengumumkan dan
Mulai Berlakunya Undang-Undang Federal dan Pengumuman
Pemerintah.
Tata cara pembuatan peraturan perundang-undangan menurut
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1950 hanya berlangsung hingga pada
tanggal 22 Juni 2004 pemerintah resmi mengundangkan Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan ini diundangkan
sekaligus mencabut Undang-Undang terdahulunya, yaitu Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 1950 tentang Penerbitan Lembaran Negara dan
Berita Negara RIS dan tentang Mengeluarkan, Mengumumkan dan
Mulai Berlakunya Undang-Undang Federal dan Pengumuman
Pemerintah. Kurang lebih diundangkan selama 7 tahun, akhirnya pada
tanggal 12 Agustus 2011, pemerintah resmi menetapkan Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan dan mencabut Undang-Undang Nomor 10 Tahun
2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Selanjutnya, pemerintah resmi mengeluarkan perubahan atas
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 pada tanggal 4 oktober 2019,
yaitu Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan. Berdasarkan uraian perjalanan
Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
Undangan, maka dapat dipahami bahwa yang dimaksud oleh Pasal 22A
UUD 1945 adalah Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 dan juga
perubahannya, yakni Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Dengan demikian,

8
menjadi jelas bagi kita bagaimana suatu produk hukum dikatakan
melanggar UUD 1945.
Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-
XVIII/2020, Para Pemohon menyampaikan beberapa alasan bahwa
Undang-Undang Cipta Kerja cacat secara formil atau cacat prosedural,
diantaranya:
1. Undang-Undang Cipta Kerja melanggar format susunan
peraturan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
Undangan atau Undang-Undang P3;
2. Undang-Undang Cipta Kerja bertentangan dengan asas
pembentukan peraturan perundang-undangan Pasal 5
Undang-Undang P3; dan
3. Legislator melakukan perubahan materi muatan setelah
naskah Rancangan Undang-Undang disetujui bersama
DPR dan Presiden, hal a quo bertentangan dengan Pasal
72 ayat (2) Undang-Undang P3;
Dengan alasan sebagaimana disebutkan di atas, dapat dipahami bahwa
pelanggaran terhadap Undang-Undang P3 sama artinya dengan
pelanggaran terhadap UUD 1945. Oleh sebab itu, Para Pemohon dalam
petitanya memohonkan agar Hakim Konstitusi memutuskan, sebagai
berikut:
1. Menyatakan Mengabulkan permohonan Pemohon untuk
seluruhnya;
2. Menyatakan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020
tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2020, Nomor 245 dan Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573),
tidak memenuhi ketentuan pembentukan undang-
undang berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945”.

9
3. Menyatakan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020
tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2020, Nomor 245 dan Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573),
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 oleh karenanya tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat.
4. Menyatakan ketentuan norma dalam Undang-Undang
yang telah diubah, dihapus dan/atau yang telah
dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat
dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang
Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2020, Nomor 245 dan Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 6573) berlaku
kembali.
5. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita
Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.

2.2. Implementasi Asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan


Terhadap Undang-Undang Cipta Kerja
a. Asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
Asas dalam konteks ini diartikan sebagai hukum dasar.11
Sedangkan, hukum dasar berarti ketentuan peraturan perundang-
undangan yang melandasi perwujudan suatu tindakan oleh orang atau
badan. Asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan secara
keseluruhan dapat diartikan sebagai suatu hukum dasar yang melandasi
tindakan lembaga atau instrumen pemerintahan yang diberikan
keweangan untuk melakukan pembentukan peraturan perundang-

11
Kemdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia Online, (Indonesia: Kemdikbud, 2016).
https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/asas

10
undangan. Asas pembentukan peraturan perundang-undangan dibagi
menjadi 2 jenis, yakni asas formil dan asas materi muatan. Asas formil
dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan diuraikan sebagai berikut:
1. Asas kejelasan tujuan;
2. Asas kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat;
3. Kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan;
4. Asas dapat dilaksanakan;
5. Asas kedayagunaan dan kehasilgunaan;
6. Asas kejelasan rumusan; dan
7. Asas keterbukaan.

Sedangkan asas materi muatan dalam Undang-Undang Nomor 12


Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
diuraikan sebagai berikut:

1. Asas pengayoman;
2. Asas kemanusiaan;
3. Asas kebangsaan;
4. Asas kekeluargaan;
5. Asas kenusantaraan;
6. Asas bhinneka tunggal ika;
7. Asas keadilan;
8. Asas kesamaan kedudukan dalam hukum dan
pemerintahan;
9. Asas ketertiban dan kepastian hukum;
10. Asas keseimbangan, keserasian, dan keselarasan;
dan/atau
11. Asas-asas lain di bidang hukum yang bersangkutan.

Asas-asas yang telah disebutkan di atas, baik formil maupun


materil memiliki perannya masing-masing. Sehingga, kedua asas itu
harus terdapat dalam proses pembuatan peraturan perundang-undangan

11
a quo. ‘Asas kejelasan tujuan’ merupakan salah satu asas formil,
maksud dari asas ini adalah setiap pembentukan peraturan perundang-
undangan harus mempunyai tujuan jelas yang hendak dicapai dari
dibentuknya peraturan a quo. Selanjutnya, yang dimaksud dengan
‘Asas kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat’ adalah setiap
jenis peraturan perundang-undangan harus dibuat oleh lembaga negara
atau pejabat yang berwenang. Sebaliknya, bila produk hukum tidak
dibuat oleh pejabat atau lembaga yang berwenang, maka produk hukum
a quo dapat dibatalkan atau batal demi hukum.

Kemudian, yang dimaksud dengan ‘asas kesesuaian antara jenis,


hierarki, dan materi muatan’ adalah bahwa dalam pembentukan suatu
produk hukum, pejabat atau lembaga yang berwenang harus benar-
benar memperhatikan materi muatan yang sesuai dengan jenis dan
hierarki peraturan perundang-undangan. Selanjutnya, yang dimaksud
dengan ‘asas dapat dilaksanakan’ adalah berkaitan dengan tingkat
efektivitas peraturan perundang-undangan yang dibuat di dalam
masyarakat, baik secara filosofis, sosiologis, maupun yuridis. Yang
dimaksud dengan ‘asas kedayagunaan dan kehasilgunaan’ adalah
pembentukan peraturan perundang-undangan harus memperhatikan
kebutuhan dan manfaat dalam kehidupan bermasyarakat, bernegara,
dan berbangsa.

Sedangkan yang dimaksud dengan ‘asas kejelasan rumusan’


adalah setiap peraturan perundang-undangan harus memenuhi
persyaratan teknis penyusunan Peraturan Perundang-Undangan,
sistematika penulisan, pilihan kata atau istilah, serta bahasa hukum
yang jelas dan mudah dimengerti sehingga tidak menimbulkan berbagai
macam interpretasi dalam proses pelaksanaannya. Hal tersebut juga
akan berdampak pada tingkat efektivitas pemberlakuan suatu peraturan
perundang-undangan. Asas terakhir dalam asas formil yaitu ‘asas
keterbukaan’, maksudnya adalah proses pembentukan peraturan

12
perundang-undangan harus dilaksanakan secara terbuka dan transparan.
Dengan demikian seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan
yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam pembentukan
peraturan perundang-undangan.

Dalam asas materi muatan, yang dimaksud dengan ‘asas


pengayoman’ adalah setiap substansi yang diatur dalam peraturan
perundang-undangan harus berfungsi untuk memberikan perlindungan
kepada masyarakat, sehingga menciptakan ketentraman dalam
masyarakat. Selanjutnya, yang dimaksud dengan ‘asas kemanusiaan’
adalah setiap materi yang dimuat dalam peraturan perundang-undangan
harus mencerminkan perlindungan dan penghormatan hak asasi
manusia serta harkat dan martabat setiap warga negara dan penduduk
Indonesia secara adil dan proporsional. Kemudian, yang dimaksud
dengan ‘asas kebangsaan’ adalah substansi yang dimuat dalam
peraturan perundang-undangan harus mencerminkan sifat/watak
bangsa Indonesia yang majemuk dengan tetap menjaga prinsip negara
kesatuan. Yang dimaksud dengan ‘asas kekeluargaan’ adalah setiap
materi yang dimuat harus mencerminkan musyawarah untuk mencapai
mufakat dalam setiap pengambilan keputusan.

Lebih lanjut ke dalam asas materi muatan, terdapat ‘asas


kenusantaraan’ yang berarti setiap materi muatan sekiranya harus
memperhatikan kepentingan seluruh wilayah berdasarkan Pancasila.
Kemudian terdapat juga ‘asas bhinneka tunggal ika’ yang berarti bahwa
materi yang dimuat dalam peraturan perundang-undangan harus
memperhatikan keragaman penduduk, agama, suku dan golongan,
kondisi khusus daerah serta budaya dalam kehidupan bermasarakat,
berbangsa, dan bernegara. Selanjutnya, yang dimaksud dengan ‘asas
keadilan’ adalah materi muatan dalam produk hukum harus dapat
mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga negara.
Yang dimaksud dengan ‘asas kesamaan kedudukan dalam hukum dan

13
pemerintahan’ adalah setiap materi muatan yang termasuk dalam
peraturan perundang-undangan tidak boleh memuat hal yang bersifat
membedakan SARA, gender, atau status sosial.

Selanjutnya, yang dimaksud dengan ‘asas ketertiban dan


kepastian hukum’ adalah setiap substansi dalam peraturan perundang-
undangan harus mampu mewujudkan ketertiban dalam masyarakat
melalui jaminan kepastian hukum. Kemudian terdapat juga ‘asas
keseimbangan, keserasian, dan keselarasan’ yang berarti setiap materi
muatan harus mencerminkan keseimbangan, keserasian, dan
keselarasan antara kepentingan individu, kelompok, masyarakat, dan
kepentingan bangsa dan negara. Dengan uraian mengenai asas formil
dan asas materi muatan sebelumnya, dapat dipahami bagaimana suatu
peraturan perundang-undangan seyogyanya disusun demi dan untuk
kepentingan bermasyarakat dan bernegara.

b. Implementasi Asas Formil Pembentukan Peraturan Perundang-


undangan Terhadap Undang-Undang Cipta Kerja

Implementasi merupakan tahap paling krusial setelah suatu


aturan hukum dibuat. Seorang penulis dan peraih nobel sastra dari
Perancis bernama Anatole France pernah mengatakan, bahwa keadilan
berarti menegakkan hukum terhadap ketidakadilan. Berdasarkan
perkataan dari Anatole France, dapat kita artikan bahwa penegakan
hukum yang baik dapat membantu negara kita mencapai keadilan.
Sedangkan, keadilan sendiri merupakan tujuan dari kemerdekaan
Indonesia yang ditulis pada bagian Pembukaan UUD 1945 alinea ke-
empat. Sehingga dapat dipahami bahwa implementasi merupakan
gerbang masuk mencapai tujuan bernegara dan bermasyarakat. Dalam
konteks pembentukan peraturan perundang-undangan, implementasi
asas formil dan asas materi muatan memiliki peranan yang sangat

14
penting. Mengingat, asas formil dan asas materi muatan merupakan
hukum dasar bagi pembentukan peraturan perundang-undangan yang
mengakomodir kepentingan individu, kelompok, masyarakat, dan
kepentingan bangsa dan negara.

Dalam konteks Undang-Undang Cipta Kerja, kita ketahui


bahwa terhadap Undang-Undang a quo telah diajukan uji materil dan
formil secara sekaligus. Namun, dengan pertimbangan waktu dan
efetivitas, diprioritaskan uji formil terlebih dahulu. Mengingat, materi
muatan dalam Undang-Undang Cipta Kerja yang sangat banyak.
Berkenaan dengan pengujian formil, dapat kita asumsikan bahwa asas
yang tidak diujikan di Mahkamah Konstitusi adalah asas yang sudah
terimplementasikan dengan baik pada Undang-Undang Cipta Kerja.
Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 91/PUU-XVIII/2020,
terdapat beberapa asas formil yang diujikan, antara lain:

1. Asas kejelasan tujuan;


2. Asas kedayagunaan dan kehasilgunaan;
3. Asas kejelasan rumusan;
4. Asas keterbukaan.

Asas kejelasan tujuan seperti yang telah dijelaskan dalam bagian


2.2 huruf a memiliki peran penting agar dapat memberikan kejelasan
mengenai tujuan dibentuknya undang-undang a quo. Bila kita lihat pada
Pasal 3 Undang-Undang Cipta Kerja, maka telah dituliskan dalam pasal
a quo bahwa yang menjadi tujuan Undang-Undang Cipta Kerja
dibentuk pada pokoknya adalah untuk:

1. Meningkatkan lapangan kerja dengan memberikan


kemudahan, pengembangan, dan peningkatan kualitas
terhadap koperasi dan UMKM serta industri dan
perdagangan nasional agar dapat menyerap tenaga kerja
Indonesia secara luas;

15
2. Menjamin setiap warga negara memperoleh pekerjaan,
mendapat imbalan, perlakuan yang adil dan layak dalam
hubungan kerja;
3. Melakukan penyesuaian berbagai aspek pengaturan
demi perlindungan bagi koperasi, UMKM serta industri
nasional; dan
4. Mengusahakan peningkatan ekosistem investasi,
kemudahan dan percepatan proyek strategis nasional
yang berorientasi pada kepentingan nasional.

Berkenaan dengan asas kedayagunaan dan kehasilgunaan, jelas


tertulis dalam bagian ‘menimbang’ yang memuat dasar sosiologis dan
filosofis serta bagian Penjelasan Umum Undang-Undang Cipta Kerja
yang telah mempertimbangkan manfaat kehadiran dan kebutuhan
Undang-Undang Cipta Kerja di tengah persaingan yang semakin
kompetitif dan tuntutan globalisasi ekonomi. Sedangkan asas kejelasan
rumusan dapat dilihat dari struktur penulisan Undang-Undang yang
terdapat pada Lampiran II Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang membahas
mengenai teknik penyusunan peraturan perundang-undangan. Bila
Undang-Undang Cipta kerja dilihat secara keseluruhan, maka jelas
terlihat bahwa struktur Undang-Undang a quo tidak berbeda dengan
Undang-Undang lain yang telah lebih dahulu dibentuk. Disamping itu,
mengenai pemilihan kata atau istilah, serta bahasa hukum yang
digunakan juga telah jelas dan mudah dimengerti. Selain itu, dalam
Pasal 1 Undang-Undang Cipta Kerja juga telah dijelaskan mengenai
batasan pengertian dan/atau definisi; singkatan atau akronim yang
dituangkan dalam batasan pengertian atau definisi; dan/atau hal-hal lain
yang bersifat umum yang berlaku bagi pasal-pasal berikutnya.

Berkenaan dengan asas keterbukaan, Pasal 88 Undang-Undang


Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-

16
Undangan telah menyebutkan bahwa penyebarluasan dilakukan oleh
DPR dan Pemerintah mulai dari tahap penyusunan Prolegnas,
penyusunan dan pembahasan RUU, hingga Pengundangan Undang-
Undang. Tujuan dilakukannya penyebarluasan ini adalah agar DPR dan
Pemerintah dapat memperoleh masukan dari masyarakat serta para
pemangku kepentingan. Hal tersebut juga sejalan dengan ketentuan
Pasal 96 Undang-Undang nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan. Terkait dengan hal tersebut,
berdasarkan keterangan DPR selaku badan legislatif, DPR telah
menggelar rapat yang melibatkan beberapa pihak, diantaranya:

1. Dengan Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia yang


dihadiri oleh Ketua Harian dan Sekretaris Jendral DPP;
2. Dengan para Menteri;
3. Dengan 7 (tujuh) narasumber yang berkompeten di
bidangnya;
4. Dengan Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia, Dewan Pers,
dan Aliansi Jurnalis Independen;
5. Dengan para Profesor dari Universitas Indonesia,
Universitas Katolik Parahyangan, Universitas Gajah
Mada;
6. Dengan Majelis Ulama Indonesia (MUI), Pengurus
Besar Nadhlatul Ulama (PBNU), dan Pimpinan Pusat
Muhammadiyah;
7. Dengan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU);
8. Dengan Pemerintah dan DPD dalam rangka
Pengambilan Keputusan Tingkat I.

Disamping mengadakan rapat dengan pihak-pihak tersebut,


Pemerintah juga telah menyelenggarakan atau menghadiri berbagai
forum dalam tahap penyusunan dan pembahasan Undang-Undang
Cipta Kerja. Berdasarkan hal-hal tersebut, maka dapat dipahami bahwa

17
pembentukan Undang-Undang Cipta Kerja telah memenuhi juga asas
keterbukaan sesuai yang diamanatkan Pasal 5 huruf g Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
Undangan.

PENUTUP

3.1. Kesimpulan
a. Undang-Undang Cipta Kerja dinilai melanggar UUD 1945
Undang-Undang Cipta Kerja adalah produk hukum pertama
yang mengadopsi metode Omnibus Law. Undang-Undang Cipta Kerja
telah menimbulkan banyak kontroversi bahkan mulai dari penyusunan
RUU Cipta Kerja. Secara hukum, Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan memang
tidak mengenal metode Omnibus Law. Namun, hal tersebut bukanlah
suatu masalah, sebab bukan berarti metode ini tidak dapat digunakan
atau dilarang untuk digunakan.
UUD 1945 yang memegang peranan sebagai sumber hukum
tertinggi dalam tatanan hukum di Indonesia, akan menuntut setiap
produk hukum yang dikeluarkan untuk tidak bertentangan dengan
materi muatannya. Pasal 22A UUD 1945 merupakan pasal yang
digunakan oleh Para Pemohon sebagai tolok ukur atau batu uji dalam
pengujian formil. Jelas dikatakan dalam Pasal a quo bahwa mengenai
tata cara pembentukan undang-undang diatur dengan undang-undang.
Berdasarkan uraian perjalanan Undang-Undang tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang telah dijelaskan
dalam bagian 2.1 huruf b, maka dapat disimpulkan bahwa yang
dimaksud oleh Pasal 22A UUD 1945 adalah ketentuan tentang tata cara
pembentukan undang-undang diatur dengan Undang-Undang Nomor
12 Tahun 2011 dan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang

18
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Dengan demikian, berdasarkan dalil Para Pemohon yang
mengatakan pada pokoknya menilai Undang-Undang Cipta Kerja
melanggar asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang
terdapat pada Pasal 5 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
P3, maka secara otomatis Undang-Undang Cipta Kerja dianggap
bertentangan dengan UUD 1945 dan dapat dibatalkan. Tentu saja dalil
tersebut harus disertai dengan bukti-bukti yang kuat untuk dapat
meyakinkan hakim bahwa telah terjadi cacat prosedural dalam proses
pembentukan Undang-Undang Cipta Kerja.

b. Implementasi asas formil pembentukan peraturan perundang-


undangan terhadap Undang-Undang Cipta kerja
Asas diartikan sebagai hukum dasar.12 Sedangkan, hukum dasar
berarti ketentuan peraturan perundang-undangan yang melandasi
perwujudan suatu tindakan oleh orang atau badan. Asas Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan secara keseluruhan dapat diartikan
sebagai suatu hukum dasar yang melandasi tindakan lembaga atau
instrumen pemerintahan yang diberikan keweangan untuk melakukan
pembentukan peraturan perundang-undangan. Asas pembentukan
peraturan perundang-undangan dibagi menjadi 2 jenis, yakni asas
formil dan asas materi muatan.
Disamping itu, implementasi merupakan tahap paling krusial
setelah suatu aturan hukum dibuat. Seorang penulis dan peraih nobel
sastra dari Perancis bernama Anatole France pernah mengatakan,
bahwa keadilan berarti menegakkan hukum terhadap ketidakadilan.
Berdasarkan perkataan tersebut, dapat kita artikan bahwa penegakan
hukum yang baik dapat membantu negara kita mencapai keadilan yang

12
Ibid.

19
merupakan tujuan dari kemerdekaan Indonesia. Sehingga dapat
dipahami bahwa implementasi merupakan gerbang masuk mencapai
tujuan bernegara dan bermasyarakat.
Berkenaan dengan Undang-Undang Cipta Kerja, kita ketahui
bahwa terhadap Undang-Undang a quo telah diajukan uji materil dan
formil secara sekaligus. Namun, dengan pertimbangan waktu dan
efetivitas, diprioritaskan uji formil terlebih dahulu. Mengingat, materi
muatan dalam Undang-Undang Cipta Kerja yang sangat banyak.
Berkenaan dengan pengujian formil, dapat kita asumsikan bahwa asas
yang tidak diujikan di Mahkamah Konstitusi adalah asas yang sudah
terimplementasikan dengan baik pada Undang-Undang Cipta Kerja.

Selain itu, Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor:


91/PUU-XVIII/2020, terdapat beberapa asas formil yang diujikan,
antara lain: (i) asas kejelasan tujuan; (ii) Asas kedayagunaan dan
kehasilgunaan; (iii) Asas kejelasan rumusan; dan (iv) Asas
keterbukaan. Implementasi dari Asas kejelasan tujuan dapat kita lihat
pada Pasal 3 Undang-Undang Cipta Kerja, dimana telah dituliskan
dalam pasal a quo bahwa apa menjadi tujuan Undang-Undang Cipta
Kerja. Berkenaan dengan asas kedayagunaan dan kehasilgunaan, jelas
tertulis dalam bagian ‘menimbang’ yang memuat dasar sosiologis dan
filosofis di dalamnya. Selain itu, pada bagian Penjelasan Umum
Undang-Undang Cipta Kerja juga telah mempertimbangkan manfaat
kehadiran dan kebutuhan Undang-Undang Cipta Kerja di tengah
persaingan yang semakin kompetitif dan tuntutan globalisasi ekonomi.

Sedangkan implementasi dari asas kejelasan rumusan dapat


dilihat dari struktur penulisan Undang-Undang yang terdapat pada
Lampiran II Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang P3 yang
membahas mengenai teknik penyusunan peraturan perundang-
undangan. Bila Undang-Undang Cipta kerja dilihat secara keseluruhan,
maka jelas terlihat bahwa struktur Undang-Undang a quo tidak berbeda

20
dengan Undang-Undang lain yang telah lebih dahulu dibentuk.
Disamping itu, mengenai pemilihan kata atau istilah, serta bahasa
hukum yang digunakan juga telah jelas dan mudah dimengerti. Selain
itu, dalam Pasal 1 Undang-Undang Cipta Kerja juga telah dijelaskan
mengenai batasan pengertian dan/atau definisi hal-hal lain yang bersifat
umum yang berlaku bagi pasal-pasal berikutnya.

Berkenaan dengan implementasi asas keterbukaan, dapat dilihat


dari penyebarluasan yang dilakukan oleh DPR dan Pemerintah mulai
dari tahap penyusunan Prolegnas, penyusunan dan pembahasan RUU,
hingga Pengundangan Undang-Undang. Tujuan dilakukannya
penyebarluasan ini adalah agar DPR dan Pemerintah dapat memperoleh
masukan dari masyarakat serta para pemangku kepentingan. Terkait
dengan hal tersebut, berdasarkan keterangan DPR selaku badan
legislatif, DPR telah menggelar rapat yang melibatkan pihak-piha
terkait. Selain itu, Pemerintah juga telah menyelenggarakan atau
menghadiri berbagai forum dalam tahap penyusunan dan pembahasan
Undang-Undang Cipta Kerja. Dengan demikian, asas formil yang
terdapat pada Pasal 5 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
P3 telah terimplementasikan dengan baik dalam Undang-Undang Cipta
Kerja.

3.2. Saran
a. Dalam menilai suatu Undang-Undang telah sesuai dengan asas
pembentukannya atau tidak, harus dilihat secara luas dan menyeluruh.
Seperti pada Undang-Undang Cipta Kerja yang dalam materi pokoknya
mengatur mengenai perubahan atau bahkan pencabutan Undang-
Undang lain. Disamping melakukan revisi terhadap Undang-Undang
multisektoral, Undang-Undang Cipta Kerja tetap tergolong dalam jenis
Undang-Undang dalam susunan hierarki perundang-undangan.
Sehingga harus dilihat sebagai Undang-Undang yang mengatur

21
ketentuan-ketentuan di dalamnya, bukan dipandang sebagai salah satu
Undang-Undang yang mencabut Undang-Undang lain; Undang-
Undang yang merubah Undang-Undang lain; atau Undang-Undang
yang menetapkan pengaturan baru.
b. Omnibus Law memang merupakan suatu metode yang baru bagi
Indonesia. Namun, metode tersebut sebenarnya sudah banyak
digunakan oleh Negara-Negara di luar sana. Pemerintah dalam
mengadopsi metode baru, diharapkan dapat melakukan sosialisasi
metode tersebut terlebih dahulu agar seluruh lapisan masyarakat
memahami urgensi dalam penggunaan metode tersebut.

22
DAFTAR PUSTAKA

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara


Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 6573)

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan


Perundang-Undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011
Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara republik Indonesia Nomor 5234)

Buku

Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia, Kajian Reformasi Regulasi di


Indonesia: Pokok Permasalahan dan Strategi Penanganannya, (Jakarta:
PSHK, 2019)

Jurnal

Antoni Putra, “Penerapan Omnibus Law Dalam Upaya Reformasi Regulasi”, Jurnal
Legislasi Indonesia, Vol. 17, No. 1 Maret 2020

Putusan

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor Putusan Nomor: 91/PUU-XVIII/2020

Website

Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, “Omnibus Law Cipta


Lapangan Kerja”, https://dikti.kemdikbud.go.id/wp-
content/uploads/2020/10/Booklet-UU-Cipta-Kerja.pdf, diakses pada 19
Mei 2020

Kamus

Kemdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia Online, (Indonesia: Kemdikbud,


2016). https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/asas

23

Anda mungkin juga menyukai