1. Dasar Hukum
Undang-Undang No 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja.
UU ini diselenggarakan berdasarkan asas :
a. Pemerataan hak
b. Kepastian hukum
c. Kemudahan berusaha
d. Kebersamaan
e. Kemandirian
2. Pengertian
Cipta kerja adalah upaya penciptaan kerja melalui usaha kemudahan, perlindungan, dan
pemberdayaan koperasi dan usaha mikro, kecil, menengah, peningkatan ekosistem investasi dan
kemudahan berusaha, dan investasi Pemerintah Pusat dan percepatan proyek strategis nasional.
Kasus 2
Topik : RUU Cipta Kerja Terbuka atas masukan dan aspirasi Rakyat (ekon.co.id)
RUU Cipta Kerja masih terbuka untuk dibahas dan diharmonisasikan di DPR RI. Masukan dan
penyempurnaan rumusan akan dimuat dalam Daftar Inventaris Masalah (DIM) yang disusun DPR
RI. Untuk itu, DPR RI dapat mengundang masyarakat dan pemangku kepentingan dalam
pembahasan DIM sesuai dengan mekanisme yang ada.
“Aspirasi masyarakat dan pemangku kepentingan yang disampaikan kepada Pemerintah juga
akan dibawa dalam pembahasan dengan DPR RI,” tegas Elen Setiadi.
Senada dengan hal tersebut, Wakil Ketua Komisi IX DPR RI Emanuel Melkiades Laka Lena
menambahkan, sebelum RUU Cipta Kerja ini diterima oleh DPR RI, perwakilan serikat pekerja
telah mempertanyakan dan memberikan masukan kepada Komisi IX DPR RI, yang kemudian
diterima dengan memberikan dua pandangan.
Pertama, Komisi IX DPR RI bersama pimpinan DPR RI telah menerima masukan dari
perwakilan Serikat Pekerja dan akan mengawal serta memastikan kesejahteraan buruh
tetap terjaga. Kedua, Komisi IX DPR RI akan senantiasa berpihak pada kepentingan
rakyat, baik pekerja, pengusaha maupun masyarakat secara nasional. ASPIRASI YANG DI
RESPON! (idc/iqb)
Kasus 3
Topik : Pandangan Hukum UII
Saat ini Pemerintah bersama dengan DPR tengah membahas Rancangan Undang-Undang Cipta
Kerja (RUU Cipta Kerja). RUU ini digadang-gadang menjadi regulasi yang mempermudah dan
memperlancar jalannya berbagai kegiatan usaha guna meningkatkan investasi serta memperluas
lapangan kerja. Tumpang tindih aturan dan ketidakjelasan hukum dalam berbagai UU menjadi
persoalan yang menghambat investasi selama ini. Sehingga, UU yang dibuat dengan mekanisme
Omnibus law dinilai menjadi jalan keluar menyelesaikan persoalan tersebut.
Pada kenyataannya, RUU Cipta Kerja justru memunculkan polemik di kalangan masyarakat, baik
pada kaum cendikia maupun masyarakat pada umumnya. Pemerintah mengklaim RUU ini dalam
rangka menambah pintu akses lapangan kerja bagi masyarakat. Namun, masyarakat di pihak lain
justru menilai RUU ini syarat dengan agenda memuluskan iklim investasi (dalam kacamata yang
negatif) yang berpotensi merusak lingkungan dan melanggar hak-hak buruh.
Berangkat dari meruaknya kontroversi di atas, sivitas akademika Fakultas Hukum Universitas
Islam Indonesia (FH UII) berinisiatif untuk melakukan kajian atas RUU dimaksud. Forum kajian
difasilitasi oleh Pusat Studi hukum (PSH) Fakultas hukum UII pada hari Jumat 6 Maret 2020
yang diikuti oleh dosen dan mahasiswa FH UII yang diawali dengan paparan pembuka dari Dr.
Zairin Harahap, SH., M.Si (Pakar Hukum Lingkungan dan Hukum Perundang-undangan FH UII)
dan Prof. Dr. Ari Hernawan, SH., M.Hum (Pakar Hukum Ketenagakerjaan FH UGM). Forum
menghasilkan beberapa temuan yang dirumuskan pada permasalahan RUU Cipta Kerja sebagai
berikut:
RUU Cipta Kerja yang menggunakan metode omnibus law diklaim oleh pemerintah akan efisien
karena akan mengubah, menghapus, atau menetapkan pengaturan baru terhadap beberapa
undang-undang (tercatat terdapat 79 UU yang “disasar” oleh RUU Cipta Kerja). Namun
demikian, klaim ini belum tentu benar (tepat). Hal ini mengingat belum ada data yang diberikan
kepada publik terhadap keberhasilan metode omnibus law di Negara lain.
Pertama, pada aspek filosofis, ruh atau semangat di balik metode omnibus law dalam RUU Cipta
Kerja, semata demi kepentingan investasi bukan dalam rangka harmonisasi berbagai peraturan
perundang-undangan. Kedua, pada aspek sosiologis, yang menjadi pertanyaan terbesar adalah
apakah masyarakat kita membutuhkan undang-undang ini? Sivitas akademika FH UII
memandangnya tidak, atau setidaknya belum membutuhkan (terutama jika dikaitkan dengan
isinya yang cenderung mengedepankan kepentingan investasi/pemodal). RUU Cipta Kerja
cenderung top-down dan bukan bottom-up dari masyarakat yang membutuhkan pengaturan.
Apabila dibaca bagian konsideran RUU Cipta Kerja, maka substansinya adalah memberikan
berbagai kemudahan dan perlindungan berinvestasi. Berbagai kemudahan itu, antara lain adalah
di bidang perpajakan, Amdal, dan perizinan. Dengan demikian, antara judul dan isi dari RUU
tidak sinkron.
c. Keterbukaan
Persoalan peraturan perundangan mulai muncul sejak proses legislasi, regulasi, implementasi
sampai eksekusi. Dalam proses legislasi RUU Cipta Kerja ini perlu dicermati apakah stakeholders
atau target groups sudah dilibatkan. Fase legislasi ini sangat penting karena jika kelompok
sasaran tidak dilibatkan maka tidak akan ada rasa memiliki dan dampaknya nanti undang-undang
tersebut tidak dapat berjalan sesuai dengan tujuan pembentukannya. Pada fase ini perlu dicermati
misalnya, di bidang ketenagakerjaan apakah pekerja/serikat pekerja dilibatkan dalam rancangan
RUU Cipta (Lapangan) Kerja atau hanya melibatkan investor atau pengusaha, seperti
pemberitaan yang selama ini beredar.
Kemudian juga terkait publikasi draft RUU Cipta Kerja dan Naskah Akademiknya yang (diduga)
disusulkan setelah adanya penyerahan Draft RUU dari pihak pemerintah kepada Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR). Ironisnya publikasi draft RUU dan Naskah Akademiknya didapatkan
oleh masyarakat tidak berasal dari laman resmi pemerintah.
RUU Cipta Kerja ini akan mengubah, menghapus, atau menetapkan pengaturan baru terhadsap 79
UU. Berdasarkan pengkajian ditemukan banyak pengaturan yang mendelegasikan ke Peraturan
Pemerintah (PP) ditemukan sekitar 500 pasal. Kuat dugaan bahwa hal tersebut akan memberikan
kekuasaan legislasi menjadi lebih fleksibel kepada eksekutif (Presiden) melalui PP. Berbagai
aturan yang secara substansi bagus baik dalam hal perlindungan, malah banyak didelegasikan
melalui PP, tidak diatur secara rigid dalam ketentuan RUU ini.
Dalam RUU Cipta Kerja tidak ada ketentuan yang mengatur status UU sektoral yang muatannya
diubah, dihapus, atau ditetapkan pengaturanya yang baru. Hal ini akan berpotensi terjadinya
dualisme penguturan dalam UU yang mengatur hal yang sama.
Problem Substansi
a. Kecenderungan Sentralisasi
RUU Cipta Kerja telah menggeser paradigma di dalam UUPLH yang memberikan kewenangan
yang proporsional antara Pusat, Provinsi, dan Kabupaten/Kota. RUU Cipta Kerja justru
“menumpahkan” kewenangan yang besar kepada Pemerintah Pusat.
Selain itu, RUU Cipta Kerja juga memiliki problem administratif karena menempatkan
Pemerintah Pusat (di dalam RUU tegas dinyatakan bahwa Pemerintah Pusat adalah Presiden)
sebagai pemberi izin. Padahal, berdasarkan kaida hukum administrasi, tidak tepat jika Presiden
diberikan kewenangan memberikan izin. Hal ini berbeda dengan ketentuan di dalam UU PPLH
yang membagi peran antara menteri, gubernur dan bupati/walikota dalam pemberian izin, sesuai
kewenangannya. Sayangnya, RUU tidak mengatur mengenai pendelegasian wewenang dalam
perizinan dimaksud. Bukan hanya itu, kewenangan Pemerintah Pusat (Presiden) juga termasuk
dalam memberikan sanksi administrasi.
b. Perlindungan Lingkungan
Pada RUU Cipta Kerja, terdapat perubahan definisi Analisis mengenai dampak lingkungan hidup
(AMDAL). RUU Cipta Kerja mendefinsikan AMDAL sebagai kajian mengenai dampak penting
pada lingkungan hidup dari suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan untuk digunakan
sebagai pertimbangan pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan.
Hal ini berarti bahwa AMDAL ditempatkan sebagai pertimbangan sehingga sifatnya menjadi
fakultatif.
Sedangkan definisi AMDAL pada UUPLH adalah kajian mengenai dampak penting suatu usaha
dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses
pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan. Hal ini berarti bahwa
AMDAL ditempatkan sebagai sesuatu yang diperlukan dalam pemberian izin, sehingga sifat
menjadi imperatif.
RUU Cipta Kerja menggunakan logika bahwa dengan masuknya investor, akan membuka
lapangan pekerjaan. Sivitas akademika FH UII memandang bahwa masuknya investor ke
Indonesia tentu bukan tanpa syarat. Dari perspektif ketenagakerjaan, dua syarat yang biasa
diminta investor adalah kenyamanan dan keamanan atas investasi. Hal yang dibutuhkan investor
adalah regulasi ketenagakerjaan yang permisif bagi iklim investasi. Sebagai negara berkembang
yang basis materialnya adalah industrialisasi, tidak ada pilihan lain kecuali memenuhi tuntutan
tersebut.
Munculnya RUU Cipta Kerja ini sangat menggambarkan betapa Negara (pemerintah) lemah di
depan investor. Negara dipaksa tunduk pada kepentingan investor dengan mereformasi regulasi
(melalui RUU Cipta Kerja) yang menguntungkan investor di satu pihak, dan merugikan tenaga
kerja (buruh) di sisi lain.
d. Ketenagakerjaan
RUU Cipta Kerja potensial merugikan hak-hak pekerja. Beberapa hal yang akan memberatkan
tenaga kerja berdasarkan RUU Cipta Kerja antara lain: tidak dikenalnya upah minimum
kabupaten/kota atau upa sektoral, upah bergantung pada pertumbuhan ekonomi di daerah yang
bersangkutan (bukan berdasarkan inflasi), dan penghitungan upah dalam satuan waktu (jam).
Ketentuan-ketentuan di atas akan merugikan pekerja karena: Pertama, penetapan upah minimum
hanya di tingka provinsi akan menimbulkan kecemburuan terutama untuk provinsi yang
pertumbuhan inflasinya berbeda antara satu kabupaten/kota dengan kabupaten/kota lainnya.
Kedua, pengaturan upah dalam satua waktu (per jam) akan mendegradasi perlindungan upah.
Ketiga, kenaikan upah minimum memperhitungkan pertumbuhan ekonomi dan tidak
menyertakan inflasi berpotensi menyebabkan adanya migrasi buruh ke daerah yang upah
minimumnya tinggi. Keempat, RUU Cipta Kerja juga menghilangkan kompensasi akibat PHK
berupa uang penggantian hak dan besaran uang penghargaan masa kerja dikurangi dari maksimal
10 bulan upah menjadi hanya 8 bulan upah.
Selain itu, RUU Cipta Kerja juga semakin menumbuhsuburkan system kontrak outsourcing dan
PKWT. RUU Cipta Kerja tidak mengatur pembatasan alih daya/outsourcing dan kontrak.
PKWT/kontrak dapat saja dikontrak “seumur hidup” tergantung kesepakatan. Perlindungan
hukum terhadap buruh outsourcing dan buruh kontrak dalam skema PKWT semakin rentan
karena sangat mungkin investor memilih buruh dengan skema kontrak dan outsourcing untuk
menghindari risiko ketenagakerjaan dan lebih fleksibel.
Mengenai TKA (Tenaga Kerja Asing), RUU Cipta Kerja berpotensi memuluskan penggunaan
TKA karena pengguna TKA tidak perlu ijin Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing dari Pusat
termasuk untuk jenis pekerjaan seperti misalnya vokasi, start up, kunjungan bisnis dan lain-lain.
Dengan demikian, investor asing berpotensi membawa tenaga kerja dari negara asalnya.
e. Ketentuan Pidana
RUU Cipta Kerja banyak mengubah sanksi pidana dalam UUPLH menjadi sanksi administrasi.
Jika RUU Cipta Kerja ini disahkan, bukan tidak mungkin kerusakan lingkungan yang lebih besar
akan terjadi. Hal ini tentu akan merugikan generasi yang akan datang sebagai pewaris sah atas
sumber daya alam Indonesia.
Selain itu, RUU Cipta Kerja juga mengatur ketentuan pidana yang secara konseptual tidak tepat.
Sebagai contoh, Pasal 59 yang mengubah ketentuan Pasal 297 Undang-Undang Pelayaran yang
memuat sanksi pidana (kurungan 2 tahun) sebagai akibat dari tidak dilaksanakannya sanksi
administrasi (denda). Padahal, sanksi pidana semestinya dijatuhkan karena adanya pelanggaran
perbuatan yang dinyatakan sebagai delik, bukan karena tidak dilaksanakannya sanksi adminitrasi.
RUU Cipta Kerja menghilangkan beberapa pasal bermuatan pidana ketenagakerjaan dalam UU
Ketenagakerjaan. Misalnya, ancaman pidana bagi pengusaha yang tidak membayar upah
minimum. Disamping itu terjadi degradasi yang dalam UU Ketenagakerjaan diancam sanksi
pidana menjadi ancaman sanksi administratif, misalnya bagi pengusaha yang tidak
memperbaharui Peraturan Perusahaan.
Pertama, sivitas akademika FH UII menyimpulkan bahwa RUU Cipta Kerja memiliki problem
prosedur pembentukan dan substansial yang cukup serius. Problem prosedur pembentukan dan
substansial tersebut berpotensi menggiring RUU Cipta Kerja pada pertentangan secara
konstitusional. Negara semestinya melindungi segenap dan seluruh tumpah darah Indonesia,
salah satunya melalui pembentukan undang-undang. Namun, RUU Cipta Kerja justru jauh dari
itu bahkan berpotensi melanggar hak-hak warga masyarakat yang dijamin oleh konstitusi.
Kedua, berdasarkan kesimpulan di atas, sivitas akademika FH UII meminta dan menuntut kepada
Pemerintah dan DPR untuk tidak melanjutkan pembahasan RUU Cipta Kerja. Sivitas akademika
FH UII memandang penting bagi Pemerintah dan DPR untuk menyempurnakan beberapa
undang-undang sektoral, daripada menyusun undang-undang dengan menggunakan metode
omnibus law yang belum terbukti keberhasilannya di Negara lain dan sangat potensial merusak
sistem perundang-undangan di Indonesia.
Ketiga, sivitas akademika FH UII akan tetap konsisten mengawal proses pembahasan RUU Cipta
Kerja ini. Pun, jika RUU ini disahkan, sivitas akademika FH UII akan menempuh jalan
konstitusional untuk menuntut pembatalannya.