Anda di halaman 1dari 5

LAPORAN PEMBUATAN POSTER (UTS)

Tema : Tolak Undang Undang Cipta Kerja

KEWARGANEGARAAN
Dosen : Iya Bahtiar, S.Pd, M.Si., MM

Disusun Oleh
Fajar Sidik
02A1A1220026

Kelas A
Administrasi Publik
Sekolah Tinggi Ilmu Politik dan Ilmu Sosial
Samudera Indonesia Selatan
2023
1. Dasar Pemikiran
Berbicara masalah negara dan rakyat adalah dua hal yang tidak bisa dilepaskan. Kedua
hal tersebut satu sama lain saling berhubungan dan membutuhkan. Salah satu ciri dari negara
adalah adanya rakyat sehingga komponen utama dari apa yang dinamakan rakyat selain ciri-
ciri yang lain seperti adanya wilayah dan kedaulatan. Negara merupakan suatu organisasi yang
terpenting dari suatu masyarakat dan tertinggi yang membawahi organisasi-organisasi lain di
bawahnya. Dalam hubungan rakyat dengan negara ini banyak sekali timbul pola misalnya
adanya intervensi, eksploitasi, hegemoni, kerjasama atau mungkin yang lain sehingga untuk
itu perlu adanya hukum yang kuat sehingga kedua belah pihak tidak saling dirugikan. Terapi
dalam prakteknya banyak sekali terjadi kecurangan terutama dari pihak negara dalam hal ini
dijalankankn oleh sebuah pemerintah atau oknum penguasa yang mementingkan
kepentingannya sendiri tetapi dari pihak rakyat harus jujur kita akui juga terjadi banyak
kecurangan yang pada dasarnya timbul karena ketidakpuasan terhadap kebijakan pemerintah.
Salah satu masalah yang sedang terjadi sekarang ditengah masyarakat khususnya para
buruh yaitu Undang Undang Cipta kerja/ Omnimbus Law yang dinilai merugikan dan
mengancam hak hak para pekerja dan buruh.

2. Permasalahan
Salah satu tuntutan buruh yaitu meminta pemerintah mencabut Omnibus Law UU
Cipta Kerja Nomor 11 Tahun 2020. Sejak pembahasannya dimulai DPR dan pemerintah
pada tahun lalu, UU Cipta Kerja memang menuai kritik, baik dari kalangan buruh maupun
akademisi Namun, pemerintah dan DPR bergeming. Pembahasan UU Cipta Kerja terus
dilanjutkan, hingga akhirnya disahkan pada Oktober 2020.
Setelah disahkan, banyak pihak yang mengajukan pengujian formil dan materiil
UU Cipta Kerja ke Mahkamah Konstitusi (MK). Mereka di antaranya Konfederasi Serikat
Pekerja Indonesia (KSPI) bersama Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia
(KSPSI) Andi Gani serta Serikat Petani Indonesia (SPI) dan Indonesia Human Right
Comitte For Social Justice (IHCS).
Berikut ini sejumlah poin dalam UU Cipta Kerja yang dinilai merugikan pekerja:
1. Sistem kerja kontrak Dalam UU Cipta Kerja, perjanjian kerja waktu
tertentu (PKWT) tidak dibatasi periode dan batas waktu kontrak. Pasal
81 angka 15 UU Cipta Kerja mengubah ketentuan Pasal 59 pada UU
Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Pasal 81 angka 15 UU Cipta Kerja menyebut, pekerjaan yang
diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama.
Penggunaan frasa "tidak terlalu lama" mengubah ketentuan soal batas
waktu pekerjaan yang penyelesaiannya "tiga tahun" sebagai salah satu
kriteria PKWT.
Hal ini diyakini akan membuat pengusaha leluasa menafsirkan
frasa "tidak terlalu lama" dan makin menipisnya kepastian kerja bagi
buruh.
Demikian juga perpanjangan PKWT yang kemudian diatur
Peraturan Pemerintah (PP). KSPI, misalnya, menyatakan, dengan
pengaturan ini buruh dapat dikontrak dalam jangka pendek, tanpa
periode, dan secara terus menerus atau tanpa batas waktu sehingga
menyebabkan buruh kehilangan kesempatan menjadi karyawan tetap
(PKWTT).

2. Praktik outsourcing meluas UU Cipta Kerja tidak m engatur batasan


kriteria pekerjaan yang dapat dipekerjakan secara alih daya atau
outsourcing. Berdasarkan UU Ketenagakerjaan, outsourcing hanya
dapat dilakukan jika suatu pekerjaan terlepas dari kegiatan utama atau
terlepas dari kegiatan produksi.
Sementara itu, UU Cipta Kerja tidak memberikan batasan
demikian. Akibatnya, praktik outsourcing diprediksi makin meluas.
Selain itu, dalam UU Cipta Kerja juga hanya mengatur peralihan
perlindungan pekerja pada perusahaan penyedia jasa atau vendor lain.
Hal ini sebagaimana amanat Putusan Mahkamah Kontitusi (MK)
Nomor 27/PUU-IX/2011.
Sementara itu, peralihan hubungan kerja dari vendor ke
perusahaan pemberi kerja sebagaimana diatur UU Nomor 13 Tahun
2003 tidak tercantum dalam UU Cipta Kerja. Alhasil, peluang agar
hubungan kerja pekerja outsourcing beralih ke perusahaan pemberi
kerja makin kecil.

3. Waktu kerja eksploitatif Dalam UU Cipta Kerja, batasan maksimal jam


lembur dari tiga jam dalam sehari dan 14 jam dalam sepekan, menjadi
empat jam dalam sehari dan 18 jam dalam seminggu. Selain akan
berakibat pada kesehatan buruh, besaran upah lembur yang diterima
juga tidak akan sebanding.
Mengingat, upah minimum yang menjadi dasar penghitungan upah
lembur didasarkan pada mekanisme pasar berdasarkan PP Nomor 78
Tahun 2015 tentang Pengupahan.

4. Berkurangnya hak cuti dan istirahat Dalam UU Cipta Kerja, istirahat


bagi pekerja hanya diperoleh sekali dalam sepekan. Dengan demikian,
pengusaha tidak mempunyai kewajiban untuk memberikan waktu
istirahat selama dua hari kepada pekerja yang telah bekerja selama
lima hari dalam sepekan.
Apalagi, dalam UU Cipta Kerja juga buruh dapat dikenakan wajib
lembur. Selain itu, UU Cipta Kerja juga menghilangkan hak cuti
panjang selama dua bulan bagi buruh yang telah bekerja minimal
selama enam tahun.

5. Rentan alami PHK Buruh rentan mengalami pemutusan hubungan


kerja (PHK), salah satunya ketika mengalami kecelakaan kerja. Pasal
81 angka 42 UU Cipta Kerja menyisipkan Pasal 154A mengenai alasan
pemutusan pemutusan hubungan kerja.
Salah satu alasannya yakni pekerja/buruh mengalami sakit
berkepanjangan atau cacat akibat kecelakaan kerja dan tidak dapat
melakukan pekerjaannya setelah melampaui batas 12 bulan.
Sementara itu, pasal 172 UU Ketenagakerjaan menyatakan buruh
berhak atas dua kali pesangon jika mengalami PHK karena sakit
berkepanjangan melebihi 12 bulan.
Namun, ketentuan ini dihapus melalui UU Cipta Kerja.

3. Tujuan
Tujuan Pembuatan Poster ini
1. Ikut berkonstribusi dalam penolakan ini
2. Sebagai bahan atau referensi studi
3. Diharap bisa dilihat dan didengar oleh pemerintah
4. Sebagai bentuk dukungan bagi kaum buruh
4. Kajian Teoritis
Apa itu Omnibus Law sebenarnya? Menurut Audrey O Brien (2009), omnibus
law adalah suatu rancangan undang-undang (bill) yang mencakup lebih dari satu
aspek yang digabung menjadi satu undang-undang.
Sedangkan, Barbara Sinclair (2012) menjelaskan omnibus bill adalah proses
pembuatan peraturan yang bersifat kompleks dan penyelesaiannya memakan waktu
lama karena mengandung banyak materi meskipun subjek, isu, dan programnya tidak
selalu terkait.
Salah satu tujuan pemerintahan pada periode kedua kepemimpinan
Presiden Joko Widodo adalah peningkatan investasi dan industrialisasi di Indonesia.
Beberapa langkah yang dilakukan di antaranya memotong jalur birokrasi yang
mempersulit izin usaha baru. Pemerintah bersama DPR lantas mengusulkan RUU
Cipta Kerja yang direncanakan dibahas sepanjang program legislasi nasional tahun
2020 ini. RUU ini terdiri dari 15 bab dan 174 pasal yang akan mengubah puluhan
aturan pemerintah yang sudah berjalan sebelumnya.
Draf RUU Cipta Kerja yang dibahas ini menuai kritik, terutama dari aktivis
lingkungan, serikat buruh, dan para oposisi lainnya setelah naskah tersebut beredar
ke publik. Untuk menentang rancangan undang-undang tersebut, pihak-pihak seperti
serikat buruh melakukan aksi unjuk rasa di berbagai kota untuk menuntut
didengarkannya aspirasi buruh dalam menyelesaikan undang-undang ini, alih-alih
hanya dari pihak pengusaha.

5. Timline pembuatan Poster

1. Tanggal 10 April 2023 :


- Pengumpulan bahan materi dan bahan Poster

2. Tanggal 11 April 2023 :


- Pembuatan Poster

3. Tanggal 12 April 2023 :


- Pembuatan Laporan
- Pengumpulan tugas
6. Hasil / Produk Poster

Untuk link Gdrivenya :


https://drive.google.com/file/d/11TqMGX0CiZnEV71Gom6nKTL1EuQkwEAI/view?usp=sh
are_link

7. Daftar Pustaka
file:///C:/Users/ilsan/Downloads/102-Article%20Text-264-1-10-20190228.pdf
https://news.detik.com/berita/d-5206258/ini-isi-omnibus-law-yang-ditolak-buruh-dan-picu-
demo-rusuh

Anda mungkin juga menyukai