Anda di halaman 1dari 72

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Seiring dengan perkembangan peraturan hukum khususnya Hukum

Ketenagakerjaan yang awali dengan undang-undang no 13 tahun 2003 tentang

Ketenagakerjaan telah diubah dengan undang-undang No 11 tahun 2020 tentang

Cipta Kerja . dimana dengan dilakukanya banyak perubahan terhadap pasal dalam

Undang-undang Lama dihapus dan diubah dengan pasal-pasal yang baru. Yang

mengatur ketenagakerjaan sekarang ini adalah undang-undang Nomor 11 tahun

2020 tentang Cipta Kerja.

Kementerian Investasi/ BKPM menyebutkan bahwa : UU No. 11 Tahun

2020 tentang Cipta Kerja merupakan omnibus law yang mengatur perubahan

peraturan beragam sektor dengan tujuan memperbaiki iklim investasi dan

mewujudkan kepastian hukum.1 Di dalam Undang-Undang No 11 TAHUN 2021

tentang Cipta Kerja perubahan atas Undang-undang No 13 Tahun 2003 tentang

ketenagakerjaan definisi dari ketenagakerjaan adalah:

“ Ketenaakerjaan adalah segala hal yang berhubungan dengan tenaga kerja


sebelum, selama dan sesudah masa kerja sedangkan saat ini
ketenagakerjaan diatur dalam Undang-Undang omnibuslaw cipta kerja
artinya undang – undang baru yang menggabungkan regulasi dan
memangkas beberapa pasal dari undang-undang sebelumnya termasuk
didalam pasal ketenagakerjaan menjadi peraturan perundang-undangan
yang lebih sederhana.”

Apabila dilihat dari definisi pekerja secara umum :

Pekerja adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah dan

imbalan dalam bentuk lain. Dalam definisi tersebut terdapat dua

1
https://www.bkpm.go.id/id/publikasi/detail/berita/uu-cipta-kerja-berikan-jalan-mudah-
untuk-berinvestasi-di-indonesia, diakes pada 20 januari 2023 pada pukul 08.00 WIB
1
2

unsur yaitu orang yang bekerja dan menerima upah atau imbalan dalam

bentuk lain2

Betapa pentingnya ketenagakerjaan di indonesia diwujudnyatakan dengan dimuat

dalam Pasal 28 D ayat (2) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 menyatakan :

“ setiap orang berhak bekerja dan mendapatkan imbalan dan perlakuan

adil dan layak dalam hubungan kerja”.

Oleh sebab itu UUD 1945 menyatakan dengan tegas bahwa hak atas pekerjaan

merupakan salah satu hak asasi manusia yang tidak dapat diabaikan.3

Dengan adanya hubungan kerja antara Pengusaha dan Pekerja sehingga

kedua belah pihak terikat hubungan Kerja tersebut. Hubungan kerja adalah

hubungan antar pekerja dengan pengusaha berdasarkan perjanjian kerja. Dengan

adanya perjanjin kerja yang desepakati pekerja dengan pengusaha menyebabkan

lahirnya hak dan kewajiban pada pekerja dan pengusaha. Perjanjian kerja dibagi

menajdi dua bagian yaitu (1) Perjanjian Kerja waktu tertentu (PKWT) dan (2)

Perjanjian Kerja waktu tidak tertentu (PKWTT).

PKWT yaitu perjanjian kerja antara pekerja/buruh dengan pengusaha yang

hanya dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan

pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu. Perlindungan pekerja/buruh

melalui pengaturan perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) ini adalah untuk

memberikan kepastian bagi mereka yang melakukan pekerjaan yang sifatnya

terus-menerus tidak akan dibatasi waktu perjanjian kerjanya. Sedangkan untuk

pengusaha yang menggunakan melalui peraturan perjanjian kerja waktu tertentu

2
Maimun, , Hukum Ketenagakerjaan Suatu Pengantar, Jakarta: PT.Pradnya Paramita,
2003 hlm.13.
3
Asri Wijayanti,. Hukum Ketenagakerjaan Pasca Reformasi, Sinar Grafika, Jakarta
2013. Hlm. 6
3

(PKWT) ini, pengusaha diberikan kesempatan menerapkannya untuk pekerjaan

yang sifatnya terbatas waktu pengerjaannya, sehingga pengusaha juga dapat

terhindar dari kewajiban mengangkat pekerjaan/buruh tetap untuk pekerjaan yang

terbatas waktunya4

Di dalam pasal 59 Undang-undang No 11 tahun 2020 tentang cipta kerja

menyebutkan :5

(1) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu hanya dapatdibuat untuk pekerjaan
tertentu yang menurut jenisdan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan
selesaidalam waktu tertentu, yaitu sebagai berikut:
a. pekerjaan yang sekali selesai atau yangsementara sifatnya;
b. pekerjaaan yang diperkirakan penyelesaiannyadalam waktu yang tidak
terlalu lama;
c. pekerjaan yang bersifat musiman;
d. pekerjaan yang berhubungan dengan produkbaru, kegiatan baru, atau
produk tambahanyang masih dalam percobaan atau penjajakan;atau
e. pekerjaan yang jenis dan sifat atau kegiatannyabersifat tidak tetap.

Sedangkan PKWTT adalah Yaitu perjanjian kerja antara pekerja/buruh

dan pengusaha, dimana jangka waktunya tidak ditentukan, baik dalam perjanjian,

undang-undang, maupun kebiasaan, atau terjadi secara hukum karena pelanggaran

pengusaha terhadap ketentuan perundangan-undangan yang berlaku. Bahwa di

dalam Undang-Undang No 11 tahun 2020 tentang Cipta kerja pada pasal 59 ayat

3 disebutkan bahwa :6

Perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang tidak memenuhi ketentuan

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) demi hukum menjadi

perjanjian kerja waktu tidak tertentu

Sebagaimana undang-undang cipta kerja yang disebutkan sebagai salah

satu solusi untuk menyelesaikan masalah pekerjaan, sehingga eksistensi dari

4
Falentino Tampongangoy, “Penerapan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu Di Indonesia”,
Lex Privatum, Vol. 1/No. 1/Jan-Mar/2003. Hlm. 148
5
Pasal 59 ayat 1 Undang-Undang No 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja
6
Pasal 59 ayat 3 Undang-Undang No 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja
4

peraturan itu dipergunakan untuk memberikan perlindungan bagi pekerjanya .

akan tetapi peraturan tersebut telah diundangkan, masih banyak masalah

ketenagakerjaan terjadi tanpa alasan yang jelas. Ketidak jelasan itu terjadi karena

ada beberapa pihak dalam siklus ketenagakerjaan yang masih tidak serius

menjalankan kegiatan usaha sebagaimana mestinya, saat ini kontrak kerja tidak

langsung dibuat antara Perusahaan dengan pekerja, mereka juga menggunakan

Pihak ketiga (3) untuk melakukan kontrak kerja yaitu (Outsorsing)

Setiap pihak dalam Hubungan kerja memeiliki tugasnya masing-masing

dan hak saling melengkapi satu dengan lainya agar Produksi Perusahaan dapat

meningkat sehingga upah pekerja dapat dinaikkan oleh perushaan. Masalah-

masalah yang timbul seharusnya didiskusikan secara kekeluargaan agar tidak ada

pihak yang dirugikan atau memberikan penjelasan yang rasional sehingga ketika

suatu keputusan yang dibuat dalam hal ketenagakerjaa dapat dirasakan keadilanya

bagi semua pihak sebagaimana diatur dalam cipta kerja yang berlaku pada saat ini.

Dalam pelaksanaanya saat ini perusahaan seringkali melakukan PHK

secara sewenang-wenang terhadap pekerja yang mengakibatkan pekerja menjadi

kehilangan pekerjaanya. PHK secara sewenang-wenang adalah dilakukanya PHK

tanpa alasan yang jelas, tanpa adanya kesalahan yang jelas dari pekerja pada hal

yang pasti, secara sewenang-wenang dilarang karena bertentangan dengan

undang-undang yang berlaku. Di dalam Pasal 151 Undang-Undang No 11 Tahun

2020 Tentang Cipta Kerja menyebutkan bagaimana seharusnya PHK itu

dilakukan :7

(1) Pengusaha, pekerja/buruh, serikat pekerjalserikat buruh, dan


Pemerintah harus mengupayakan agar tidak terjadi pemutusan
hubungan kerja.
7
Pasal 151 Undang-Undang No 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja
5

(2) Dalam hal pemutusan hubungan kerja tidak dapat dihindari, maksud
dan alasan pemutusan hubungan kerja diberitahukan oleh pengusaha
kepada pekerja/buruh dan/atau serikat pekerja/serikat buruh.
(3) Dalam hal pekerja/buruh telah diberitahu dan menolak pemutusan
hubungan kerja, penyelesaian pemutusan hubungan kerja wajib
dilakukan melalui perundingan bipartit antara pengusaha dengan
pekerja/buruh dan/atau serikat pekerja/serikat buruh.
(4) Dalam hal perundingan bipartit sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
tidak mendapatkan kesepakatan, pemutusan hubungan kerja dilakukan
melalui tahap berikutnya sesuai dengan mekanisme penyelesaian
perselisihan hubungan industrial.

Serta PHK tidak boleh bertentangan dengan ketentuan diatas dan harus

dilakukan dengan prosedur yang berlaku seperti halnya Surat Peringatan Pertama

(SP1) hinga Surat Peringatan yang ketiga (SP3)”

Ketidak pastian hukum yang dirasakan pekerja harus diselesaikan dengan

prosedur yang berlaku dengan tahapan-tahapan yang di khususkan untuk

menyelesaikan persoalan ketenagakerjaan, masalah yang sering terjadi adalah

dilakukanya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang dilakukan oleh Pengusaha

tanpa alasan yang jelas, kadang kala PHK yang dilakukan pengusaha tidak sesuai

dengan seharusnya dilakukan yang pada umumnya harus dilakukan Surat

Peringatan satu sampai dengan ketiga.

Dalam hal pengusaha harus melakukan PHK meskipun Pekerja tidak

setuju dengan PHk yang dilakukan oleh pengusaha, namun pekerja tersebut tetap

di lindungi oleh hukum. Hal ini sesuai dengan pasal 156 undang-undang No 13

tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan jo Undang-undang no 11 tahun 2020 tentang

Cipta Kerja jo Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian

Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan

Pemutusan Hubungan Kerja


6

Salah satu perlindungan hukum bagi pekerja/buruh yaitu perlindungan atas

hak pemutusan hubungan kerja, pekerja/buruh berhak untuk mendapatkan

kompensasi dari pengusaha jika terjadi PHK, kompensasi terdiri atas uang

pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan uang pengganti hak. Pengaturan

mengenai kompensasi dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang

Ketenagakerjaan telah diubah melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020

tentang Cipta Kerja, kemudian diatur lebih lanjut dalam Pasal 40 Peraturan

Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih

Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja, dalam

aturan tersebut besaran kompensasi dalam Undang-Undang No 13 tahun 2003

tentang Ketenagakerjaan jumlahnya lebih besar, sedangkan dalam UU Cipta Kerja

dan PP Nomor 35 Tahun 2021 menurunkan besaran pesangon dan uang

penghargaan masa kerja berdasarkan alasan terjadinya PHK. Ketentuan besaran

uang pesangon yang diatur pada Pasal 40 PP Nomor 35 Tahun 2021 yang mana

ditetapkan pada ayat 2, sedangkan pada ayat 3 membahas besaran uang

penghargaan masa kerja yang juga bisa diberikan ke pekerja yang terkena PHK.

Uang penggantian hak diatur dalam ayat 4. Dalam Perpu itu, ditetapkan pekerja

yang terkena PHK paling sedikit mendapatkan 1 bulan upah, yaitu berupa

pesangon untuk mereka yang masa kerjanya kurang dari 1 tahun. Hak paling besar

bisa didapatkan oleh pekerja yang sudah 24 tahun bekerja yaitu berupa pesangon

9 bulan gaji bagi mereka dengan masa kerja 8 tahun atau lebih dan penghargaan

10 bulan gaji untuk mereka dengan masa kerja 24 tahun atau lebih.8

8
https://www.cnbcindonesia.com/news/20230102155102-4-402144/nih-hitungan-
pesangon-uang-penghargaan-masa-kerja-1-8-tahun, diakses pada 15 februari 2023 pada pukul
20.00 WIB
7

Berdasarkan Putusan no 32/Pdt.Sus-Phi/2022/Pn Mdn, bahwa Pekerja di

PHK secara sewenang-wenang tanpa kesalahan yang jelas dari pekerja. oleh sebab

itu hak pekerja yang di PHK harus dilindungi sesuai dengan Undang-undang.

berdasarkan uraian diatas penulis tertarik untuk memilih judul “TINJAUAN

HUKUM PHK SECARA SEWENANG-WENANG OLEH PERUSAHAAN

TERHADAP PEKERJA MENURUT UNDANG-UNDANG NO 11 TAHUN

2020 TENTANG CIPTA KERJA (Studi Putusan Nomor

32/Pdt.Sus-Phi/2022/Pn Mdn)”

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah penulis kemukakan di atas maka

permasalahan pokok dalam penulisan skripsi ini penulis rumuskan sebagai berikut

1. Bagaimanakah Hak-Hak Pekerja Yang Di PHK Secara Sewenang-

Wenang Oleh PerusahaanMenurut Undang-Undang No 11 Tahun 2020

Tentang Cipta Kerja

2. Bagaimanakah Dasar Pertimbangan Hakim Dalam Memberikan

Putusan Terhadap Hak-Hak Pekerja yang di PHK Secara Sewenang-

Wenang Oleh Perusahaan Brdasarkan Putusan Nomor 32/Pdt.Sus-

Phi/2022/Pn Mdn ?

C. Tujuan Penulisan

Tujuan yang ingin dicapai oleh penulis dalam penulisan skripsi ini adalah:

1. Untuk Mengetahui Bagaimana Hak-Hak Pekerja Yang Di PHK Secara

Sewenang-Wenang Oleh Perusahaan Menurut Undang-Undang No 11

Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja


8

2. Untuk mengetahui Dasar Pertimbangan Hakim Dalam Memberikan

Putusan Terhada Hak-Hak Pekerja yang di PHK Secara Sewenang-

Wenang Oleh Perusahaan Terhadap Pekerja Menurut Putusan Nomor

32/Pdt.Sus-Phi/2022/Pn Mdn

D. Manfaat Penulisan

Penelitian ini memiliki kegunaan, baik secara teoritis maupun secara

praktis. Adapun kedua guna penelitian tersebut adalah antara lain sebagai

berikut :

1. Secara Teoritis

Manfaat penelitian ini antara lain untuk dapat memberikan sumbangan pemikiran

bagi upaya pengembangan ilmu hukum pada umumnya, serta khususnya untuk

pengembangan ilmu Pemutusan Hubungan Kerja tanpa Pertibangan yang jelas

2. Secara Praktis

Penelitian ini dapat memberikan masukan bagi pihak-pihak yang berkepentingan,

termasuk bagi masyarakat serta para pelaku bisnis didalam rangka peningkatan

dan efisiensi serta efektivitas bisnis, yang berkaitan dengan tenaga kerja, dan agar

mengetahui atau memperhatikan hak-hak karyawanya.

3. Manfaat bagi Peneliti

a. Untuk memperdalam ilmu khususnya mengenai Perselisihan Hubungan

Industrial yang terjadi dilingkungan masyarakat terkhusus bagi kasus

PHK sepihak

b. Sebagai syarat untuk mendapatkan Gelar Sarjana Hukum


9

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Tentang Ketenagakerjaan

1. Pengertian Hukum Ketenagakerjaan


10

Hukum dapat disebut sebagai ketentuan-ketentuan yang memiliki sifat

memaksa dan bertujuan untuk membatasi kebebasan tingkah laku manusia dalam

pergaulan hidup manusia atau dalam kelompok sosial 9. Hukum memiliki ciri khas

yang khusus sebagai norma, yaitu untuk melindungi, mengatur serta memberikan

keseimbangan dalam menjaga kepentingan umum secara adil demi tercapainya

kesejahteraan masyarakat dalam suatu Negara. Ketentuan-ketentuan tersebut

kemudian dapat memberikan hukuman atau sanksi kepada seseorang atas

kelalaian atau telah melakukan tindakan yang mengganggu keseimbangan

kepentingan umum dan mengakibatkan kerugian baik bagi diri sendiri maupun

bagi pihak lainnya didalam kalangan masyarakat.

Ketentuan hukum atau peraturan yang berlaku pada suatu saat, waktu dan

tempat tertentu dan bukan ketentuan hukum pada masa lalu yang telah tidak

diberlakukan lagi baik yang telah direncanakan sebelumnya atau telah

diubah/revisi, ketentuan hukum tersebut disebut sebagai “Hukum Positif” (ius

constitutum), sehingga suatu hukum terus berubah dan berkembang seiring

dengan perkembangan zaman manusia demi dapat menyesuaikan diri dengan

tingkah laku manusia yang selalu berubah-ubah.

Terdapat pula definisi hukum yang dipengaruhi oleh latar belakang para

Ahli Hukum masing-masing yang dapat diikuti, yaitu:10

a. Menurut Prof.Dr.P.Borst, beliau berpendapat bahwa: “Hukum adalah

peraturan secara keseluruhan bagi tingkah laku dan perbuatan manusia yang
10
berada didalam masyarakat, yang dapat memaksa pelaksanaannya dan

memiliki tujuan untuk mendapatkan tata atau keadilan.”


9
R. Abdoel Djamali, S.H., Pengantar Hukum Indonesia, (Jakarta : PT RajaGrafindo
Persada, 2003 hlm 2
10
R. Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta : Sinar Grafika, 2011), Hlm. 26
11

b. Menurut Van Kan, beliau berpendapat bahwa:11 “Hukum sebagai keseluruhan

peraturan hidup yang memiliki sifat memaksa dengan tujuan demi melindungi

kepentingan dan kesejahteraan setiap manusia atau individu didalam kalangan

masyarakat.”

c. Menurut Kantorowich, beliau berpendapat bahwa:12 “Hukum adalah

peraturan-peraturan sosial yang keseluruhannya mewajibkan suatu perbuatan

lahir yang memiliki sifat keadilan dan dapat dibenarkan.”

d. Menurut W.Levensbergen, beliau berpendapat bahwa: “Hukum pertama-tama

berupa bentuk pengatur, khususnya untuk mengatur perbuatan dan tingkah

laku manusia didalam kehidupan sosial atau didalam kalangan masyarakat,

yang kemudian hukum tersebut menjadi norma agendi, atau suatu peraturan

untuk perbuatan dan perilaku manusia dalam masyarakat.”

Dari definisi Hukum menurut para Ahli Hukum diatas, Penulis kemudian

dapat menyimpulkan bahwa Hukum adalah suatu alat yang digunakan pemerintah

dalam suatu Negara untuk mengatur tingkah laku setiap individu dalam

masyarakat dan memaksa setiap orangnya untuk mematuhi peraturan tersebut

demi melindungi kepentingan dan kesejahteraan bersama dalam suatu Negara.

Terdapat pula definisi-definisi atau pengertian Hukum Ketenagakerjaan

menurut para Ahli Hukum:13

a. Menurut Molenaar, beliau berpendapat bahwa:14

11
Van Kan, Inleiding tot de Rechtswetenschap, Kantorowich, The Definition of Law, hlm
201
12
ibid
13
Sugi Arto, “Pengertian, Dasar, Ruang Lingkup dan Sumber Hukum Tenaga Kerja –
General Knowledge (Pengetahuan Umum),” diakses pada tanggal 2 februari 2023 pada pukul
17.00 WIB
14
Imam Soepomo, Hukum Perburuhan, Undang-Undang dan Peraturan-Peraturan,
(Jakarta : Jambatan, 1972), Hlm. 1
12

“Hukum Ketenagakerjaan merupakan bagian dari Hukum yang dianut

dalam suatu Negara, yang bertujuan dan pada utamanya berfungsi sebagai

pengatur hubungan antara buruh dengan buruh serta antara penguasa atau

pengusaha dengan buruh.”

b. Menurut Imam Soepomo, beliau berpendapat bahwa:15

“Hukum Perburuhan adalah himpunan atau kumpulan dari peraturan, baik

secara tertulis maupun secara tidak tertulis atau lisan, yang berkenaan atas

kejadian saat seseorang yang bekerja atau disebut sebagai pekerja

melakukan pekerjaan kepada orang lain dan mendapatkan imbalan berupa

upah.”

c. Menurut Neh Van Esveld, beliau berpendapat bahwa:16

“Hukum Ketenagakerjaan merupakan suatu hukum atau peraturan yang

memiliki kaitan atau bersangkutan dengan pekerjaan didalam lingkungan

kerja baik yang berada didalam hubungan kerja maupun diluar hubungan

kerja.”

d. Menurut Soetikno, beliau berpendapat bahwa:17

“Hukum Ketenagakerjaan atau Hukum Perburuhan merupakan peraturan-

peraturan Hukum secara keseluruhan yang mengatur hubungan kerja yang

mengakibatkan atau menyebabkan seseorang secara pribadi ditempatkan

dibawah pimpinan atau perintah orang lain dan mengenai keadaan-

keadaan penghidupan yang secara langsung bersangkut-paut dengan

hubungan kerja tersebut.”

15
Imam Soepomo, Hukum Perburuhan, Undang-Undang dan Peraturan-Peraturan, (Jakata
: Jambatan, 1972), Hlm. 6.
16
Abdussalam, Hukum Ketenagakerjaan (Hukum Perburuhan) yang telah direvisi,
(Jakarta : Restu Agung, 2009), Hlm. 8.
17
Soetikno, Hukum Perburuhan, ( Aksara. Jakarta, 1977), Hlm. 5.
13

Dari beberapa definisi Hukum Ketenagakerjaan dan Hukum Perburuhan 18

menurut para Ahli Hukum yang tercatat diatas, Penulis dapat menyimpulkan

bahwa Hukum Ketenagakerjaan dilahirkan dengan tujuan sebagai kepastian

hukum dan perlindungan hukum bagi tenaga kerja, sehingga dapat mencegah

diskriminasi dalam lingkungan kerja dan dapat mempertahankan serta

menegaskan hak dan kewajiban antara pemberi kerja dan penerima kerja demi

terwujudnya kesejahteraan bersama dalam kalangan masyarakat suatu Negara.

Bahwa berdasarkan Pendapat para ahli sebagaimana yang diuraikan diatas

sehingga penulis berpendapat bahwa Hukum ketenagakerjaan adalah keseluruhan

aturan hukum yang berkaitan dengan ketenagakerjaan, dan peraturan itu berkaitan

satu dengan lainya atau tidak dapat dipisahkan.

2. Tujuan Hukum Ketenagakerjaan

Berdasarkan Pasal 4 UURI Ketenagakerjaan, tercantum tujuan Hukum

Ketenagakerjaan, yang menerangkan:

“Pembangunan Ketenagakerjaan memiliki tujuan, yaitu:

e. “Memberdayakan dan mendayagunakan tenaga kerja secara optimal

dan manusiawi” yang memiliki penjelasan sebagai suatu kegiatan

yang terpadu untuk bermanfaat sebagai pemberian kesempatan kerja

seluas-luasnya bagi tenaga kerja atau pekerja didalam Negara

Indonesia, dengan harapan tenaga kerja Indonesia dapat

berpartisipasi secara optimal dalam tujuan membangun atau sebagai

Pembangunan Nasional. Meskipun demikian, tujuan tersebut tetap

menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaannya;

18
ibid
14

f. “Mewujudkan pemerataan kesempatan kerja dan penyediaan tenaga

kerja yang sesuai” yang memberikan penjelasan bahwa penyediaan

tenaga kerja yang harus diupayakan diseluruh wilayah Negara

Kesatuan Republik Indonesia sebagai bentuk satu Kesatuan pasar

kerja dengan memberikan setiap orang kesempatan yan sama untuk

memberikan prestasi dalam hal bekerja dan pekerjaan yang

disesuaikan dengan bakat, minat sera kemampuan setiap orangnya.

Tujuan tersebut kemudian diatur demi mewujudkan pemerataan

penempatan tenaga kerja atau pekerja yang kemudian perlu

diupayakan demi dapat mengisi kebutuhan diseluruh sektor dan

daerah didalam Negara Indonesia;

g. “Memberikan perlindungan kepada tenaga kerja dalam mewujudkan

kesejahteraan”;

h. “Meningkatkan kesejahteraan tenaga kerja dan keluarganya”.

Apabila Tujuan Hukum Ketenagakerjaan atau Hukum Perburuhan

disesuaikan bagi kepentingan setiap pihak didalamnya, antara lain:19

a. Kepentingan bagi diri sendiri setiap individu, untuk lebih mengenal

serta memahami hak-hak dan kewajiban sebagai seorang buruh,

pekerja atau karyawan. Jika hak pekerja tidak dipenuhi oleh pihak

pengusaha/perusahaan, maka pekerja memiliki hak untuk

mempertanyakan secara langsung kepada pihak

pengusaha/perusahaan mengenai hak-hak pekerja yang belum

diterima atau belum dipenuhi oleh pihak pemberi kerja.

19
H.R. Abdussalam, Hukum Ketenagakerjaan (Hukum Perburuhan) yang telah direvisi,
(Jakarta : Restu Agung, 2009), Hlm. 7
15

b. Kepentingan masyarakat selaku Warga Negara Indonesia yang

memiliki keinginan menjadi buruh, pekerja atau karyawan,

masyarakat memiliki hak untuk menerima informasi-informasi

mengenai hak-haknya yang mendapat jaminan dan perlindungan

hukum yang setara dari pemerintah Negara serta informasi mengenai

kewajibannya yang harus dilaksanakan atau dilakukan.

c. Kepentingan pengusaha atau perusahaan selaku pemberi kerja dan

pejabat pemerintahan untuk memberikan informasi mengenai aksi

unjuk rasa, demo atau mogok kerja massal dalam lingkungan

perusahaan yang dilakukan oleh pekerja atau buruh karena

perusahaan belum memenuhi hak-hak normatif yang telah ditetapkan

oleh ketentuan hukum atau undang-undang.

Demikian tujuan Hukum Ketenagakerjaan atau Hukum Perburuhan yang dapat

disimpulkan demi Pembangunan Nasional serta pemerataan demi mencapai

kesejahteraan masyarakat dengan cara memberikan kesempatan kerja secara

merata kepada setiap tenaga kerja diseluruh wilayah Negara Indonesia yang telah

disesuaikan dengan bakat, minat dan kemampuan setiap individu yang berbeda-

beda.

3. Pihak-Pihak dalam Ketenagakerjaan

Dalam Ketenagakerjaan ada beberapa Pihak yang erat kaitanya dan tidak

dapat dipisahkan diantaranya :

1. Pekerja/Buruh

Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja denga menerima upah atau

imbalan dalam dalam bentuk lain. Sedangkan tenaga kerja adalah setiap orang
16

yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang atau jasa, baik

untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun masyarakat, 1Pasal 1 ayat (1),

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dansebagaimana

yang disampaikan oleh Darza, tenaga kerja adalah bagian dari penduduk usia

kerja yang secara fisik dan mental mampu melakukan pekerjaan, baik di dalam

maupun di luar hubungan kerja guna menghasilkan barang atau jasa untuk

memenuhi kebutuhan masayarakat.20 Pekerja/buruh merupakan bagian dari tenaga

kerja yaitu tenaga kerja yang beerja di dalam hubugan kerja, di bawah perintah

pemberi kerja (bisa perseorangan, pengusaha, badan hukum, atau badan lainnya)

dan atasjasanya dalam bekerja yang bersangkutan menerima upah atau imbalan

dalam bentuk lain.

Istilah buruh/pekerja secara yuridis sebenarnya adalah sama dan tidak ada

perbedaan. Kata pekerja dan buruh dalam Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003

digabungkan menjadi “pekerja/buruh” untuk menyesuaikan istilah “serikat

pekerja/serikat buruh” yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun

2000 tentang serikat buruh/pekerja.

2. Pekerja/Buruh Perempuan

Dalam pasal 76 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 ayat (1), (2), (3),

(4), dan (5) menyebutkan bahwa:

1) Pekerja/buruh perempuan diberi keringanan bahwapekerja/buruh

perempuan yang berumur kurang dari 18 (delapan belas) tahun dilarang

dipekerjakan antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 07.00.

20
Darza Z. A, Kamus Istilah Bidang Ketenagakerjaan, ( Jakarta: Delima Baru, 2000),
hlm 114
17

2) Pengusaha dilarang mempekerjakan pekerja/buruh perempuan hamil yang

menurut keterangan dokter berbahaya bagi kesehatan dan keselamatan

kandungannya maupun dirinya apabila bekerja antara pukul 23.00 sampai

dengan pukul 07.00.

3) Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh perempuan antara pukul

23.00 sampai dengan pukul 07.00 wajib:

a. Memberikan makanan dan minuman bergizi; dan

b. Menjaga kesusilaan dan keamanan selama di tempat kerja.

4) Pengusaha wajib menyediakan angkutan antar jemput bagi pekerja/buruh

perempuan yang berangkat dan pulang bekerja antara pukul 23.00 sampai

dengan pukul 05.00.

5) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dan ayat (4) diatur

dengan Keputusan Menteri.

Kondisi dan daya tahan tubuh perempuan secara medis juga lebih lemah

dari laki-laki, sehingga wajar jika pekerja/buruh perempuan mendapatkan fasilitas

kemudahan.

3. Pekerja/Buruh Anak

Anak dalam hukum ketenagakerjaan ada setiap orang yang berumur di

bawah 18 (deapan belas) tahun. Para pengusaha dilarang untuk mempekerjakan

anak sesuai bunyi Pasal 68 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003. Larangan

mempekerjakan anaka dimaksudkan untuk melindungi anak agar tidak terganggu

pertumbuhan dan kesehatannya.

4. Pekerja/Buruh Tenaga Kerja Asing


18

Tenaga Kerja Asing (TKA) adalah warga negara asing pemegang visa

dengan maksud untuk bekerja di wilaayah Indonesia. Setiap pemberi kerja yang

akan memperkerjakan tenaga kerja asing, wajib memiliki izin tertulis dari instansi

berwenang di bidang ketenagakerjaan. Tenaga kerja asing dapat dipekerjakan di

Indonesia hanya dalam hubungan kerja untuk jabatan-jabatan tertentu dan waktu

tertentu.

5. Pengusaha

Pengusaha adalah :21

a. Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan

suatu perusahaan milik sendiri

b. Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri

sendiri menjalankan perusahaan miiknya

c. Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di

Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan

b yang berkedudukan di luar Indonesia.

6. Organisasi Pengusaha

Organisasi pengusaha dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 49

Tahun 1973 dimana terdapat sebuah wadah perkumpulan organisasi pengusaha

yang disebut dengan KADIN (Kamar Dagang Industri).

Organisasi pengusaha yang bergerak di bidang sosial ekonomi termasuk

ketenagakerjaan adalah Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO), APINDO

merupakan wakil pengusaha dalam lembaga kerja yang sama Tripartit, sebuah

wadah kerjasama antara pemerintah, pengusaha, dan serikat pekerja/serikat buruh

21
Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 Tentang Jaminan Sosial Tenaga
Kerja
19

yang bertujuan untuk memecahkan masaah-masalah sosial ekonomi terutama di

bidang ketenagakerjaan dan dibentuk pada tanggal 1 Mei 1968.

7. Serikat Pekerja/Serikat Buruh

Serikat pekerja/serikat buruh adalah organisasi yang dibentuk dari, oleh

dan untuk pekerja/buruh, baik di perusahaan maupun diluar perusahaan yang

bersifat bebas, terbuka, mandiri, demokratis dan bertanggung jawab guna

membela serta meindungi hak dan kepentingan pekerja/buruh dan keluarganya.

Serikat pekerja/serikat buruh di perusahaan adalah serikat pekerja/serikat buruh

yang didirikan oleh para pekerja/buruh diperusahaan atau dibeberapa perusahaan,

sedang yang diluar perusahaan adalah serikat pekerja/serikat buruh yang didirikan

oleh pekerja/buruh yang tidak bekerja di perusahaan, Serikat pekerja/serikat

buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikatburuh bertujuan

memberikan perlindungan, pembelaan hak dan kepentingan, serta meningkatkan

kesejahteraan yang layak bagi pekerja/buruh dan keluarganya. Fungsi serikat

pekerja/serikat butuh adalah:

a. Sebagai pihak dalam pembuatan perjanjian kerja bersama dan

penyeselesaian perselisihan industrial.

b. Sebagai wakil pekerja/buruh dalam lembaga kerjasama dibidang

ketenagakerjaan sesuai dengan tingkatannya.

c. Sebagai sarana menciptakan hubungan industrial yang harmonis,dinamis,

dan berkeadilan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang

berlaku,

d. Sebagai sarana penyalur aspirasi dalam memperjuangkan hak dan

kepentingan anggotanya.
20

e. Sebagai perencana, pelaksana, dan penanggung jawab pemogokan

kerja/buruh sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

f. Sebagai wakil pekerja/buruh dalam memperjuangkan kepemilikan saham

dalam perusahaan.

Organisasi buruh dapat terdiri dari serikat pekerja/serikat buruh, federasi serikat

pekerja/serikat buruh, dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh dengan

ketentuan sebagai berikut :

a. Serikatpekerja/serikat buruhdibentuk sekurang-kurangnya 10 (sepuluh)

orang pekerja/buruh (tingkat lokal/kabupaten/kota).

b. Federasi serikatpekerja/serikat buruh yang dibentuk oleh sekurang- kurang

5 (lima) Serikatpekerja/serikat buruh (tingkat propinsi).

c. Konfederasi Serikatpekerja/serikat buruh dibentuk oleh sekurang-

kurangnya 3 (tiga) federasi serikat buruh (tingkat nasional).

8. Outsorsing

"Outsourcing (alih daya) adalah suatu perjanjian dimana pemborong

(pengguna jasa) mengikat diri dengan vendor (penyedia jasa) untuk

memborongkan pekerjaan dengan sejumlah pembayaran tertentu.

Perjanjian kerja alih daya merupakan hubungan kerja sama antara

perusahaan alih daya (vendor) dengan perusahaan pengguna jasa yang diikat

dalam suatu perjanjian tertulis. Perjanjian tersebut dapat berbentuk perjanjian

pemborongan pekerjaan atau perjanjian penyediaaan jasa pekerja.


21

Pekerjaan yang dapat dialihkan (diperjanjikan) adalah pekerjaan yang

tidak berhubungan langsung dengan proses produksi, atau pekerjaan di luar usaha

pokok (core business) suatu perusahaan. Kegiatan tersebut dapat berupa, antara

lain, usaha pelayanan kebersihan, usaha penyediaan makanan bagi karyawan

perusahaan, usaha tenaga keamanan, usaha jasa penunjang di pertambangan dan

perminyakan, ataupun usaha penyadiaan tenaga pekerja dan sebagainya.22

Secara umum pengertian outsourcing adalah:

- Penyerahan tanggung jawab kegiatan perusahaan kepada pihak

ketiga sebagai pengawas pelayanan yang telah disepakati.

- Penyerahaan kegiatan, tugas atau pun pelayanan pada pihak lain,

dengan tujuan untuk mendapatkan tenaga ahli serta meningkatkan

efesiensi dan efektivitas perusahaan.

Undang-Undang Hukum Perdata buku ketiga Bab 7a bagian keenam

tentang Pemborongan Kerja sebagai berikut:

1. Perjanjian Pemborongan Pekerja adalah suatu perjanjian di mana pemberi

kerja (pemborong), mengikatkan diri untuk membuat suatu karya tertentu

bagi pihak yang lain yang memborongkan dengan menerima bayaran

tertentu dan di mana lain yang memborongkan mengikatkan diri untuk

memborongklan pekerja kepada pihak pemborong dengan bayaran

tertentu.

2. Dalam perjanjian tidak ada hubungan kerja antara perusahaan pembiring

dan perusahaan yang memborongkan dan karena itu dalam perjanjian

tersebut tidak ada unsur upah/gaji. Yang ada adalah harga borongan.

22
Iftida Yasar, Merancang Perjanjian Kerja Outsourcing, Gramedia Digital, Jakarta,
2013, hlm. 3.
22

3. Dalam hal ini perusahaan pemborong menerima harga borongan bukan

upah/gaji dari perusahaan yang memborongkan.

4. Hubungan antara pemborong dan yang memborongkan adalah hubungan

perdata murni sehingga jika terjadi perselisihan maka secara perdata di

Pengadilan Negeri.

5. Perjanjian atau perikatan yang dibuat secara sah oleh pemborong dengan

yang memborongkan pekerjaan tunduk pada KUH Perdata pasal 1338 jo

pasal 1320 yaitu semua perjanjian yanng dibuat secara sah akan mengikat

bagi mereka yang membuatnya.

6. Agar sah, suatu perjanjian harus dipenuhi empat syarat, yaitu:

a. Mereka yang mengikatkan diri sepakat;

b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;

c. Suatu hal tertentu;

d. Suatu yang halal.

7. Dalam perjanjian pemborongan pekerjaan dapat diberlakukan:

a. Pemborong hanya untuk melakukan pekerjaan;

b. Pemborong juga menyediakan bahan dan peralatan.

8. Pemborong bertanggung jawab atas tindakan pekerja yang dipekerjakan

9. Pemerintah

Pemerintah berkewajiban untuk memastikan roda perekonomian nasional

berjalan dengan tertib dan lancar. Untuk itu pemerintah harus memastikan

peraturan perundang-udangan di bidang ketenagakerjaan dapat berjalan dengan

adil bagi semua yang terlibat di dalamnya. Untuk menjamin pelaksanaan


23

peraturan perundang-undangan dibidang ketengakerjaan dengan adil

diperlukancampurtangan pemerintah melalui instansi/departmen yang khusus

menangani masalah ketenagakerjaan yang disebut dengan Departemen Tenaga

Kerja ditingkat pusat dan Dinas Tenaga Kerja ditingkat daerah.

4. Hubungan Kerja

Pasal 1 angka 15 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang

Ketenagakerjaan menjelaskan bahwa hubungan kerja adalah hubungan antara

pengusaha dengan pekerja/buruh yang berlandaskan pada perjanjian kerja yang

isinya tidak boleh bertentangan dengan perjanjian perburuhan/kesepakatan kerja

bersama/perjanjian kerja bersama yang ada, begitupun dengan peraturan

perusahaan.23 Pasal tersebut menegaskan bahwa hubungan kerja adalah hubungan

antara pengusaha dengan pekerja yang didasarkan pada perjanjian kerja.

a. Perjanjian Kerja

Perjanjian kerja adalah perjanjian antara pekerja/buruh dengan pengusaha

atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja, serta hak dan kewajiban para

pihak. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 membawa paradigma baru yaitu

hubungan kerja bisa terjadi karena adanya perjanjian kerja, sehingga adanya

perluasan perlindungan hukum terhadap pihak-pihak yang melakukan pekerjaan

demi orang lain. Pengertian tersebut menjelaskan ada dua kemungkinan

komposisi subjek hukum yang dapat menjadi pihak dalam perjanjian kerja yaitu:

(a) Pengusaha dengan pekerja atau

(b) pekerja dengan pemberi kerja.

Analisis perbedaan tersebut dapat dikaitkan dengan terjadinya hubungan

23
Lalu Husni, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Ctk. Pertama, PT. Raja
Grafindo Persada, Jakarta, 2003, hlm.63
24

kerja, di mana hubungan kerja hanya terjadi ketika perjanjian kerja antara pekerja

dengan pengusaha. 24

Hal-hal yang disepakati dalam perjanjian kerja berupa kondisi, syarat-syarat kerja,

hak dan kewajiban kedua belah pihak.

Peraturan yang dituangkan dalam perjanjian ini harus dibuat sesuai dengan

kesepakatan dari kedua belah pihak dan tidak boleh bertentangan dengan

ketentuan yang berlaku. Sifat perjanjian kerja adalah mengikat kedua belah pihak.

b. Subjek dan Objek Perjanjian Kerja

Subjek hukum perjanjian kerja adalah para pihak di dalam perjanjian

kerja25. Kepada para pihak inilah diletakkan hak dan kewajiban. Dengan

pengertian ini maka subjek perjanjian kerja adalah pengusaha dan pekerja/

buruh26. Subjek hukum dalam perjanjian kerja pada hakikatnya adalah subjek

hukum dalam hubungan kerja.

Objek perjanjian adalah isi dari perjanjian itu, yang menyangkut hak-hak dan

kewajiban para pihak yang membuat perjanjian itu 27.Yang menjadi objek dalam

perjanjian kerja adalah tenaga yang melekat pada diri pekerja 28. Atas dasar tenaga

telah dikeluarkan oleh pekerja/ buruh maka ia akan mendapatkan upah.

c. Syarat sahnya suatu Perjanjian kerja

24
R Abdul Budiono, Hukum Perburuhan, Ctk. Pertama, PT. Indeks, Jakarta Barat, 2009
hlm. 27.
25
Abdul R. Budiono, Hukum Perburuhan, (Jakarta : PT Indeks, 2009), Cet. Ke-1, hlm 36
26
Zaeni Asyhadie, Hukum Kerja : Hukum Ketenagakerjaan Bidang Hubungan Kerja,
(Jakarta : PT RajaGrafindoPersada, 2007), Cet. Ke-1, hlm 49
27
Zainal Asikin, Dasar-Dasar Hukum Perburuhan, (Jakarta : PT RajaGrafindo Persada,
2008), Cet. Ke- 7, hlm. 74
28
Asri Wijayanti, Hukum Ketenagakerjaan Pasca Reformasi, (Jakarta : Sinar Grafika,
2010), Ed. 1, Cet. 2, hlm. 41
25

Pasal 52 ayat (1) Undang-Undang Ketenagakerjaan menjelaskan bahwa

perjanjian kerja dikatakan sah apabila telah memenuhi persyaratan sebagai

berikut:

1) kesepakatan kedua belah pihak;

2) kecakapan dalam melakukan perbuatan hukum;

3) adanya pekerjaan yang diperjanjikan; dan

4) pekerjaan tidak bertentangan dengan ketertiban umum,

kesusilaan, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Keempat

unsur tersebut merupakan syarat syahnya perjanjian secara umum. Unsur pertama

dan kedua adalah syarat yang berhubungan dengan subjek perjanjian. Apabila

syarat subjektif tidak terpenuhi atau bertentangan maka perjanjian kerja dapat

dibatalkan. Sementara itu, jika syarat ketiga dan keempat tidak terpenuhi maka

perjanjian kerja akan batal demi hukum sehingga tidak adanya akibat hukum

untuk pekerja dan perjanjian ini juga dianggap tidak pernah ada. 29

B. Tinjauan Umum Tentang PHK

1. Pengertian PHK

Dalam kehidupan sehari – hari pemutusan hubungan kerja antara buruh

dengan majikan (pengusaha) lazimnya dikenal dengan istilah PHK atau

pengakhiran hubungan kerja. Yang dapat terjadi karena telah berakhirnya waktu

tertentu yang telah disepakati / diperjanjikan sebelumnya.

Bagi pekerja/buruh pemutusan hubungan kerja sendiri merupakan awal

mulanya hilang mata pencaharian, yang artinya pekerja atau buruh kehilangan

pekerjaan dan penghasilan sebab pekerja/buruh serta keluarganya terancam

29
Maimun, Hukum Ketenagakerjaan Suatu Pengantar, Ctk. Kedua, PT. Pradnya Paramita,
2003, hlm. 42
26

kelangsungan hidupnya dan merasakan kesusahan akibat dari PHK itu sendiri.

Melihat fakta dilapangan bahwa mencari pekerjaan tidaklah mudah seperti yang

dibayangkan. Semakin ketatnya persaingan, angkatan kerja terus bertambah dan

kondisi dunia usaha yang selalu flukuatif, sangatlah wajar jika pekerja/buruh

selalu khawatir dengan ancaman PHK.30

Menurut Undang – Undang No. 13 Tahun 2003 Bab XII Pasal 150

disebutkan bahwa :

“ Pemutusan Hubungan Kerja ialah ketentuan mengenai pemutusan

hubungan kerja dalam undang – undang ini meliputi pemutusan hubungan

kerja yang terjadi di badan usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik

orang perorangan, milik persekutuan atau milik badan hukum, baik milik

swasta maupun milik Negara, maupun usaha – usaha sosial dan usaha –

usaha lain yang mempunyai pengurus dan memperkerjakan orang lain

dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.”

Menurut Halim A Ridwan bahwa :

“Pemutusan hubungan kerja adalah suatu langkah pengakhiran hubungan

kerja antara buruh dan majikan karena suatu hal tertentu.”31

Sedangkan menurut pasal 1 ayat (4) Keputusan Menteri Tenaga Kerja

Nomor Kep- 15A/Men/ 1994 bahwa :

“PHK ialah pengakhiran hubungan kerja antara pengusaha dan pekerja

berdasarkan izin Panitia Daerah atau Panitia Pusat.”

30
Mohd, Syaufi, Norma PerlindunganDalamHubungan Industrial, Jakarta, : Sarana
Bhakti Persada, 2009.hlm.76.
31
Halim, A. Ridwan, Hukum Perburuhan dalam Tanya Jawab, Cet. II, Gahlia Indonesia,
Jakarta, 1990, hlm. 136.
27

Pemutusan hubungan kerja bagi pihak pekerja/buruh akan memberi pengaruh

psikologi, ekonomis, finansial, sebab :

a. Dengan adanya pemutusan hubungan kerja, bagi pekera/buruh telah

kehilangan mata pencaharian;

b. Untuk mencari pekerjaan yang baru sebagai pengggantinya, harus banyak

mengeluarkan biaya;

c. Kehilangan biaya hidup untuk diri sendiri dan keluarganya sebelum

mendapat pekerjaan yang baru sebagai penggantinya.32

2. Alasan PHK

Pemutusan bubungan kerja tidak boleh dilakukan secara sepihak dan

sewenang-wenang, akan tetapi PHK hanya dapat dilakukan dengan alasan-alasan

tertentu setelah diupayakan bahwa PHK tidak perlu terjadi. Dalam Pasal 151

Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 dinyatakan sebagai berikut:

1) Pengusaha, pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat buruh, dan pemerintah,

dengan segala upaya harus mengusahakan agar jangan terjadi pemutusan

hubungan kerja.

2) Dalam hal segala upaya telah dilakukan, tetapi pemutusan hubungan kerja

tidak dapat dihindari, maka maksud pemutusan hubungan kerja wajib

dirundingkan oleh pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh atau

dengan pekerja/buruh apabila pekerja/buruh yang bersangkutan tidak

menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh.

3) Dalam hal perundingan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) benar-benar

tidak menghasilkan persetujuan, pengusaha hanya dapat memutuskan

32
ibid
28

hubungan kerja dengan pekerja/buruh setelah memperoleh penetapan dari

lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.

Berdasarkan ketentuan Undang-Undang Ketengakerjaan tersebut, maka dapat

dipahami bahwa Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) merupakan opsi terakhir

dalam penyelamatan sebuah perusahaan.Undang-Undang Ketenagakerjaan sendiri

mengatur bahwa perusahaan tidak boleh seenakanya saja memecat karyawannya,

terkecuali karyawan/pekerja yang bersangkutan telah terbukti melakukan

pelanggaran berat dan dinyatakan oleh pengadilan bahwa sipekerja dimaksud

telah melakukan kesalahan berat yang mana putusan pengadilan dimaksud telah

memiliki kekuatan hukum yang tetap. Hal ini sebagaimana di atur dalam Pasal

158 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003, yang menyebutkan sebagai berikut:

1) Pengusaha dapat memutuskan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh

dengan alasan pekerja/buruh telah melakukan kesalahan berat sebagai

berikut :

a. Melakukan penipuan, pencurian, atau penggelapan barang dan/atau

uang milik perusahaan;

b. Memberikan keterangan palsu atau yang dipalsukan sehingga

merugikan perusahaan;

c. Mabuk, meminum minuman keras yang memabukkan, memakai

dan/atau mengedarkan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif

lainnya di lingkungan kerja;

d. Melakukan perbuatan asusila atau perjudian di lingkungan kerja;

e. Menyerang, menganiaya, mengancam, atau mengintimidasi teman

sekerja atau pengusaha di lingkungan kerja;


29

f. Membujuk teman sekerja atau pengusaha untuk melakukan

perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundang-

undangan;

g. Dengan ceroboh atau sengaja merusak atau membiarkan dalam

keadaan bahaya barang milik perusahaan yang menimbulkan

kerugian bagi perusahaan;

h. Dengan ceroboh atau sengaja membiarkan teman sekerja atau

pengusaha dalam keadaan bahaya di tempat kerja;

i. Membongkar atau membocorkan rahasia perusahaan yang

seharusnya dirahasiakan kecuali untuk kepentingan negara; atau

j. Melakukan perbuatan lainnya di lingkungan perusahaan yang

diancam pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.

Dalam Pasal 158 ayat (2) Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 juga

disebutkan bahwa apabila pengusaha ingin melakukan PHK Pemutusan Hubungan

Kerja (PHK) terhadap pekerjanya yang melakukan pelanggaran berat, maka

pelanggaran berat tersebut harus bisa dibuktikan dengan 3 pembuktian berikut ini:

a. Pekerja/buruh tertangkap tangan,

b. Ada pengakuan dari pekerja/buruh yang bersangkutan; atau

c. Bukti lain berupa laporan kejadian yang dibuat oleh pihak yang

berwenang di perusahaan yang bersangkutan dan didukung oleh

sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi.

Jika dalam segala hal telah diupayakan, namun pemutusan hubungan kerja

tidak dapat dihindarkan, maka maksud pemutusan hubungan kerja wajib

dimusyawarahkan oleh pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh atau dengan


30

pekerja/buruh (apabila pekerja/buruh yang bersangkutan tidak menjadi anggota

serikat pekerja/serikat buruh).

Jika hasil permusyawaratan atau perundingan tersebut benar-benar tidak

menghasilkan persetujuan, pengusaha hanya dapat memutuskan hubungan kerja

dengan pekerja/buruh setelah memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian

sengketa perselisihan hubungan industrial. Permohonan penetapan pemutusan

hubungan kerja hanya dapat diberikan oleh lembaga penyelesaian perselisihan

hubungan industrial jika ternyata maksud untuk memutuskan hubungan kerja

telah dirundingkan, namun perundingan tersebut tidak menghasilkan kesepakatan.

Pasal 153 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 juga menetapkan bahwa

seorang pengusaha/perusahaan tidak boleh melakukan Pemutusan Hubungan

Kerja (PHK) terhadap karyawannya/pekerjanya hanya dengan alasan sebagai

berikut:

a. Pekerja/buruh berhalangan masuk kerja karena sakit menurut keterangan

dokter selama waktu tidak melampaui 12 (dua belas) bulan secara terus-

menerus;

b. Pekerja/buruh berhalangan menjalankan pekerjaannya karena memenuhi

kewajiban terhadap negara sesuai dengan ketentuan peraturan

perundangundangan yang berlaku;

c. Pekerja/buruh menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya;

d. Pekerja/buruh menikah;

e. Pekerja/buruh perempuan hamil, melahirkan, gugur kandungan, atau

menyusui bayinya;
31

f. Pekerja/buruh mempunyai pertalian darah dan/atau ikatan perkawinan

dengan pekerja/buruh lainnya di dalam satu perusahaan, kecuali telah

diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahan, atau perjanjian kerja

bersama;

g. Pekerja/buruh mendirikan, menjadi anggota dan/atau pengurus serikat

pekerja/serikat buruh, pekerja/buruh melakukan kegiatan serikat

pekerja/serikat buruh di luar jam kerja, atau di dalam jam kerja atas

kesepakatan pengusaha, atau berdasarkan ketentuan yang diatur dalam

perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama;

h. Pekerja/buruh yang mengadukan pengusaha kepada yang berwaji

mengenai perbuatan pengusaha yang melakukan tindak pidana kejahatan;

i. Karena perbedaan paham, agama, aliran politik, suku, warna kulit,

golongan, jenis kelamin, kondisi fisik, atau status perkawinan;

Pekerja/buruh dalam keadaan cacat tetap, sakit akibat kecelakaan kerja,

atau sakit karena hubungan kerja yang menurut surat keterangan dokter yang

jangka waktu penyembuhannya belum dapat dipastikan.

3. Jenis-Jenis PHK

Pemutusan hubungan kerja secara teoritis terbagi dalam empat macam,

yaitu PHK demi hukum, PHK oleh pengadilan, PHK oleh pekerja/buruh, dan

PHK oleh pengusaha. PHK yang terakhir ini tampaknya lebih dominan diatur

dalam ketentuan ketenagakerjaan. Hal ini karena PHK oleh pengusaha sering

tidak dapat diterima oleh pekerja/buruh sehingga menimbulkan permasalahan.

Disamping perlunya perlindungan bagi pekerja/buruh dari kemungkinan tindakan


32

pengusaha yang sewenang – wenang.

a. Pemutusan Hubungan Kerja demi Hukum

Pemutusan hubungan kerja demi hukum ialah PHK yang terjadi dengan

sendirinya secara hukum. Pasal 1603 KUH Perdata menyebutkan bahwa :

“ Hubungan kerja berakhir demi hukum jika habis waktunya yang di

tetapkan dalam perjanjian dan dalam peraturan undang – undang atau jika

semuanya itu tidak ada, menurut kebiasaan.”

Berdasarkan ketentuan pasal 154 Undang – Undang Nomor 13 Tahun

2003 penyebab PHK demi hukum adalah :

“Pemutusan hubungan kerja demi hukum ialah PHK yang terjadi dengan

sendirinya secara hukum.”

Pasal 1603e kuhp perdata menyebutkan bahwa:

“Hubungan kerja berakhir demi hukum jika habis waktunya yang

ditetapkan dalam perjanjian dan dalam peraturan undang-undang atau jika

semuanya itu tidak ada, menurut kebiasaan. “

Berdasarkan ketentuan pasal 154 undang-undang nomor 13 tahun 2003

penyebab PHK demi hukum adalah:

a) Pekerja atau buruh masih dalam masa percobaan kerja bilamana

telah dipersiapkan secara tertulis sebelumnya.

b) Berakhirnya hubungan kerja sesuai dengan perjanjian kerja waktu

tertentu ( PKWT) untuk pertama kali;

c) Pekerja atau buruh telah mencapai usia pensiun yang ditetapkan

dalam perjanjian kerja peraturan perusahaan atau perjanjian kerja

bersama atau peraturan perundang-undangan; dan


33

d) Pekerja atau buruh meninggal dunia.

Berakhirnya perjanjian kerja waktu tertentu tidak hanya karena

berdasarkan waktu yang telah disepakati tetapi juga karena telah selesainya

pekerjaan yang diperjanjikan. Mengenai meninggalnya pekerja atau buruh

statusnya tidak sama dengan meninggalnya pengusaha titik Apabila pekerja atau

buruh meninggal dunia, akibat PHK demi hukum. namun tidak demikian halnya

jika pengusaha yang meninggal dunia. Jadi hubungan kerja tidak dapat berakhir

karena alasan pengusaha meninggal dunia sia dalam pasal 61 ayat 2 undang-

undang nomor 13 tahun 2003 demikian juga terhadap pengalihan hak atas

perusahaan yang disebabkan penjualan, warisan, atau penghibahan.

Apabila terjadi Pengalihan perusahaan, segala hak pekerja atau buruh

menjadi tanggung jawab pengusaha baru kecuali ditentukan lain dalam perjanjian

pengalihan dengan tidak mengurangi hak-hak pekerja atau buruh dalam kurung

pasal 61 ayat 3 undang-undang nomor 13 tahun 2003. Jika pengusaha bermaksud

melakukan PHK wajib mengajukan permohonan penetapan kepada lembaga

penyelesaian perselisihan hubungan industrial sesuai ketentuan pasal 15 1 dan 1 5

2 undang-undang nomor 13 tahun 2003.

b. Pemutusan Hubungan Kerja Oleh Pengadilan

Pemutusan hubungan kerja oleh pengadilan ialah tindakan PHK karena

adanya putusan hakim pengadilan. masalahnya terkait dengan pemberlakuan

undang-undang Nomor 2 Tahun 200 Dalam hal ini salah satu Pihak (pengusaha

atau pekerja/keluarga) Mengajukan pembatalan perjanjian kepada pengadilan titik

contohnya, jika pengusaha mempekerjakan anak dibawah umur (kurang dari 18


34

tahun), di mana wali anak tersebut mengajukan pembatalan perjanjian kerja

kepada pengadilan.

c. Pemutusan Hubungan Kerja oleh Pekerja/Buruh.

Pemutusan hubungan kerja oleh pekerja atau buruh atas permintaan

pengunduran diri ialah PHK yang timbul karena kehendak pekerja atau buruh

Secara murni tanpa adanya rekayasa pihak lain. dalam praktek bentuknya adalah

pekerja atau buruh bangunkan diri dari perusahaan tempat ia bekerja. Teknisnya

dilakukan pekerja atau buruh secara tertulis dan atas kemauan sendiri tanpa

adanya indikasi tekanan atau intimidasi dari pengusaha itik jika terdapat indikasi

tekanan atau intimidasi dari pengusaha secara hukum bukan PHK oleh pekerja

atau buruh melainkan PHK oleh pengusaha. akibat hukumnya, maka pekerja atau

buruh berhak atas fakta ak sebagaimana diatur dalam pasal 156 undang-undang

nomor 13 tahun 2003.

Agar tindakan PHK oleh pekerja atau buruh tidak melawan hukum maka

pekerja atau buruh yang bersangkutan wajib memenuhi dua syarat yaitu harus ada

persetujuan pengusaha dan memperhatikan pegang waktu pengakhiran hubungan

kerja sesuai pasal 1603 KUHP Perdata. Lebih lanjut, pasal 162 ayat 3 undang-

undang nomor 13 tahun 2003 mengatur syarat-syarat pengunduran diri yang harus

dipenuhi oleh pekerja atau buruh:

a) Mengajukan permohonan pengunduran diri secara tertulis 3 sebelum diri;

b) Tidak terikat dalam ikatan dinas; dan

c) Tetap menjalankan kewajiban sampai tanggal mulai pengunduran diri.

Sedangkan untuk PHK oleh pekerja atau buruh juga dapat dilakukan dengan

mengajukan permohonan kepada pengadilan hubungan industrial dalam pasal 169


35

undang-undang nomor 13 tahun 2003 sikap pengusaha melakukan perbuatan

sebagai berikut: 44

a) Menganiaya, menghina secara kasar, atau mengancam pekerja atau buruh;

b) Membujuk dan atau menyuruh pekerja atau untuk melakukan perbuatan

yang bertentangan dengan peraturan perundang- undangan;

c) Tidak membayar upah tepat pada waktu yang telah ditentukan selama 3

kali berturut-turut atau lebih;

d) Tidak melakukan kewajiban yang telah dijanjikan kepada pekerja atau

buruh;

e) Memerintah pekerja atau buruh untuk melaksanakan bekerja diluar yang

diperjanjikan; atau

f) Memberikan pekerja yang membahayakan jiwa, keselamatan kesehatan

dan silakan pekerja atau buruh, sedangkan pekerja tersebut tidak

dicantumkan dalam perjanjian kerja.

Teknisnya pekerja atau buruh menempuh prosedur penyelesaian perselisihan

hubungan industrial Melalui upaya penyelesaian perundingan bipartit, konsiliasi,

arbitrase atau mediasi kemudian mengajukan gugatan Pada pengadilan hubungan

industrial.

d. Pemutusan Hubungan Kerja oleh Pengusaha

Pemutusan hubungan kerja oleh pengusaha ialah PHK di mana kehendak

atau prakarsanya berasal dari pengusaha karena adanya pelanggaran atau

kesalahan yang dilakukan oleh pekerja atau buruh atau mungkin karena faktor-

faktor lain, seperti pengurangan tenaga kerja, perusahaan tutup karena merugikan

Perubahan status dan sebagainya.


36

a) PHK karena kesalahan ringan dan

b) PHK karena kesalahan berat.

Berdasarkan Pasal 151 Undang - Undang Nomor 13 Tahun 2003 bahwa

oleh pengusaha harus memperoleh penetapan terlebih dahulu dari lembaga

penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Jadi, mem-PHK pekerja atau buruh

tidak bisa semau atau sekehendak pengusaha titik ke semuanya harus dilakukan

dengan dasar dan alasan yang kuat, sebagaimana diatur dalam pasal 158 undang-

undang nomor 13 tahun 2003.

pengusaha dapat mempengaruhi pekerja atau buruh pasal 158 UU undang-

undang nomor 13 tahun 2003 karena alasan pekerjaan atau buru telah melakukan

kesalahan berat sebagai berikut:

a) Melakukan penipuan dan pencurian, atau penggelapan barang dan atau uang

milik perusahaan;

b) Memberikan keterangan palsu atau yang dipalsukan sehingga merugikan

perusahaan,

c) Mabuk; meminum minuman keras yang memabukkan; memakai dan atau

mengedarkan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya dilingkungan

kerja;

d) Melakukan perbuatan asusila dan perjudian di lingkungan kerja;

e) Menyerang, menganiaya, mengancam, atau mengintimidasi teman sekerja

atau pengusaha di lingkungan kerja;

f) Membujuk teman sekerja atau pengusaha untuk melakukan perbuatan yang

bertentangan dengan peraturan perundang- undangan;


37

g) Dengan ceroboh atau sengaja merusak atau membiarkan dalam keadaan

bahaya barang milik perusahaan yang menimbulkan kerugian perusahaan;

h) Dengan ceroboh atau sengaja membiarkan teman sekerja atau pengusaha

dalam keadaan bahaya di tempat kerja; kerja.

i) Membongkar atau membocorkan rahasia perusahaan yang seharusnya

dirahasiakan kecuali untuk kepentingan negara; atau

j) Melakukan perbuatan lainnya di lingkungan perusahaan yang diancam pidana

penjara 5 tahun atau lebih.

Persyaratan lain yang harus dipenuhi pengusaha dalam melakukan PHK

adalah bukti pendukung, yaitu:

a) Pekerja atau buruh tertangkap tangan;

b) Ada pengakuan dari pekerja atau buruh yang bersangkutan; atau

c) Bukti lain berupa laporan kejadian yang dibuat oleh pihak yang berwenang

di perusahaan yang bersangkutan dan didukung sekurang-kurangnya 2

orang saksi.

4. Hak-Hak Pekerja yang di PHK

Sehubung dampak PHK sangat kompleks dan cenderung menimbulkan

perselisihan, maka mekanisme dan prosedur PHK diatur sedemikian rupa agar

pekerja/buruh tetap mendapatkan perlindungan yang layak dan memperoleh hak –

haknya sesuai dengan ketentuan. Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor : 150

Tahun 2000 didalam terdapat ketentuan tentang Hak – hak pekerja akibat PHK

pada perusahaan. Hak – hak pekerja akibat PHK lain :

a) Uang Pesangon
38

Uang pesangon adalah pembayaran dalam bentuk uang dari pengusaha

kepada pekerja sebagai akibat adanya PHK yang jumlahnya disesuaikan

dengan masa kerja pekerja ( Pasal 22 ).

b) Uang Penghargaan Masa Kerja

Uang penghargaan masa kerja atau dalam peraturan sebelumnya disebut

dengan uang jasa adalah uang penghargaan oleh pengusaha kepada pekerja

yang besarnya dikaitkan dengan lamanya masa kerja ( Pasal (23)

c) Uang Ganti Rugi

Ganti kerugian adalah pemberian berupa uang dari pengusaha kepada

pekerja sebagai pengganti dari hak- hak yang belum diambil istirahat

tahunan, istirahat panjang, biaya perjalanan pulang ke tempat di mana

pekerja diterma bekerja, fasilitas pengobatan, fasilitas perumahan dan hal-

hal lain yang ditetapkan oleh Panitia Daerah atau Panitia Pusat sebagai

akibat adanya Pemutusan Hubungan Kerja (Pasal 24)

Hak – hak pekerja atas uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan

ganti kerugi sebagaimana dimaksud diatas ditetapkan berdasarkan pada ketentuan

sebagai berikut :

1. Jika PHK terjadi karena pekerja mengundurkan diri secara sepihak atas

kemauan sendiri, maka pekerja yang bersangkutan hanya berhak

mendapatkan uang penghargaan masa kerja/jasa dan ganti kerugian;

2. Dalam hal PHK perseorangan terjadi bukan kesalahan pekerja tetapi

dapat menerima PHK tersebut, maka pekerja berhak mendapat Pesangon

paling sedikit 2 kali sesuai ketentuan pasal 22, uang pengahrgaan masa
39

kerja/jasa sesuai ketentuan pasal 23, dan ganti kerugian sesuai pasal 24,

kecuali kedua belah pihak menentukan lain;

3. Dalam hal PHK massal karena perusahaan tutup akibat mengalami

kerugia terus-menerus disertai bukti laporan keuangan yang diaudit oleh

Akuntan Publik paling sedikit 2 ( dua ) tahun terakhir, atau keadaan

memaksa besarnya uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, dang

anti kerugian ditetapkan berdasarkan ketentuan 22, 23, 24 kecuali kedua

belah pihak menentukan lain;

4. Dalam hal PHK massal karena perusahaan tutup akibat efisiensi, maka

pekerja berhak mendapatkan uang pesangon sebesar 2 (dua) kali sesuai

ketentuan pasal 22, uang penghargaan masa kerja sesuai dengan pasal 23,

dan ganti kerugian berdasarkan ketentuan pasal 24, kecuali kedua belah

pihak menentukan lain.

5. Dalam hal terjadi PHK karena perubahan status, atau perubahan

pemilikan perusahaan sebagian atau seluruhnya atau perusahaan pindah

lokasi dengan syarat-syarat kerja baru yang sama dengan syarat-syarat

kerja lama, dan pekerja tidakbersedia untuk melanjutkan hubungan kerja,

maka kepada pekerja dibayarkan uang pesangon, uang penghargaan masa

kerja dan ganti kerugian sesuai pasal 22, 23, dan 24.

6. Dalam hal ini terjadi PHK karena perubahan status, atau perubahan

pemilikan perusahaan sebagian atau seluruhnya atau perusahaan pindah

lokasi dan pengusaha tidak bersedia menerima pekerja di perusahaannya

dengan alasan apapun, maka pekerja berhak atas uang pesangon sebesar

2 (dua) kali ketentuan pasal 22, uang penghargaan masa kerja sesuai
40

dengan ketentuan pasal 23, dan ganti kerugian sesuai pasal 24, kecuali

atas persetujuan kedua belah pihak ditetapkan lain

7. Kewajiban untuk membayar uang pesangon, uang pengahragaan masa

kerja, dan ganti kerugian akibat PHK karena perubahan status atau

kepemilikan atau perusahaan pindah lokasi, dibebankan kepada

pengusaha baru kecuali diperjanjikan lain antara pengusaha lama dengan

pengusaha baru.

C. Tinjuan Umum Tentang Perselisihan Hubungan Industrial

1. Pengertian Perselisihan Hubungan Industrial

Sebelum membahas mengenai perselisihan hubungan industrial, maka

harus diketahui pengertian hubungan industrial. Berdasarkan pasal 1 angka 16

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, menyebutkan

bahwa:

“Hubungan industrial adalah suatu sistem hubungan yang terbentuk antara

para pelaku dalam proses produksi barang dan/jasa yang terdiri dari unsur

pengusaha, pekerja/buruh, dan pemerintah yang didasarkan pada nilai-nilai

Pancasila dan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945”.

Hubungan industrial di indonesia, menurut Abdul Khakim mempunyai

perbedaan dengan yang ada di negara lain. Ciri-ciri itu adalah sebagai berikut:

a. Mengakui dan meyakini bahwa bekerja bukan sekedar mencari nafkah


saja, tetapi sebagai pengabdian manusia kepada tuhannya sesama manusia,
masyarakat, bangsa dan negara.
b. Menganggap pekerja bukan sebagai faktor produksi, melainkan sebagai
manusia yang bermartabat.
c. Melihat antara pengusaha dan pekerja bukan dalam perbedaan
kepentingan, tetapi mempunyai kepentingan yang sama untuk kemajuan
perusahaan.33
33
Abdul Khakim, Dasar-Dasar Hukum Ketenagakerjaan di Indonesia, Bandung: PT
Citra Aditya Bakti, 2009, hlm. 50.
41

Prinsip hubungan industrial yang diterapkan di Indonesia adalah prinsip

hubungan industrial Pancasila. Prinsip ini menghendaki bahwa berbagai

permasalahan atau sengketa di bidang ketenagakerjaan harus diselesaikan melalui

prinsip hubungan industrial Pancasila.34

Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 2 Tahun

2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, merumuskan

perselisihan hubungan industrial yaitu:

“Perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara pengusaha

atau gabungan pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat

pekerja/serikat buruh, karena adanya perselisihan mengenai hak,

perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan

perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan.”

2. Jenis-jenis Perselisihan Hubungan Industrial

Berdasarkan pengertian Perselisihan Hubungan Industrial tersebut, maka

dalam pasal 1 angka 2 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang

Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial membagi Jenis Perselisihan

Hubungan Industrial menjadi:

a. Perselisihan hak,

yaitu perselisihan yang timbul karena tidak dipenuhinya hak, akibatnya

adanya perbedaan pelaksanaan atau penafsiran terhadap ketentuan peraturan

perundang-undangan, perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja

34
R. Joni Bambang, Hukum Ketenagakerjaan, Bandung: Pustaka Setia, 2013, hlm. 289.
42

bersama (Pasal 1 angka 2 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang

Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.

Menurut Lalu Husni dalam bukunya menyatakan bahwa, berdasarkan

pengertian diatas jelas bahwa perselisihan hak merupakan perselisihan hukum

karena perselisihan ini terjadi akibat pelanggaran kesepakatan yang telah dibuat

oleh para pihak, termasuk didalamnya hal-hal yang sudah ditentukan dalam

peraturan perusahaan dan perundang-undangan yang berlaku.35

b. Perselisihan Kepentingan,

yaitu perselisihan yang timbul dalam hubungan hubungan kerja karena

tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pembuatan, dan/atau perubahan

syarat-syarat kerja yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, atau peraturan

perusahaan, atau perjanjian kerja bersama (Pasal 1 angka 3 Undang-undang

Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial)

Menurut Iman Soepomo, berdasarkan pengertian diatas perselisihan

kepentingan terjadi ketidaksesuaian paham dalam perubahan syarat-syarat kerja

dan atau keadaan perburuhan.36 Adapun menurut Mumuddi Khan, perselisihan

kepentingan adalah :

“Involve dissagreement over the formulation of standards terms and

condition of employment, as exist in a deadlock in collective bergaining

negosiations”37

c. Perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja,

35
Lalu Husni, Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Melalui Pengadilan dan
di Luar Pengadilan, Jakarta : Penerbit Raja Grafindo Persada, 2005, hlm. 43.
36
Dalam buku (Lalu Husni, Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Melalui
Pengadilan dan di Luar Pengadilan, Jakarta : Penerbit Raja Grafindo Persada, 2005, hlm. 44.)
37
Ibid hlm. 45
43

yaitu perselisihan yang timbul karena tidak adanya kesesuaian pendapat

mengenai pengakhiran pengakhiran pemutusan hubungan kerja oleh salah satu

pihak (Pasal 1 angka 4 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang

Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial). Perselisihan PHK ini merupakan

jenis perselisihan yang paling banyak terjadi, pihak pengusaha dengan berbagai

alasan mengeluarkan surat PHK kepada pekerja tertentu jika pengusaha

menganggap bahwa pekerja tidak dapat lagi bekerja sesuai kebutuhan perusahaan,

tetapi PHK juga dapat dilakukan atas permohonan pekerja karena pihak

pengusaha tidak melaksanakan kewajiban yang telah disepakati atau berbuat

sewenang-wenang kepada pekerja.38

d. Perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan,

yaitu perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dengan serikat

pekerja/serikat buruh lain hanya dalam satu perusahaan, karena tidak \kewajiban

keserikatpekerjaan (Pasal 1 angka 5 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004

tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial).

3. Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial

Penyelesaian perselisihan hubungan industrial dapat dilaksanakan melalui

pengadilan hubungan industrial atau di luar pengadilan hubungan industrial yaitu:

1. Penyelesaian Melalui Bipartit

Berdasarkan ketentuan pasal 1 angka 10 Undang-Undang Nomor 2 Tahun

2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, pengertian

perundingan bipartit adalah perundingan antara pekerja/buruh atau serikat

pekerja/serikat buruh dengan pengusaha untuk menyelesaikan perselisihan

hubungan industrial. Upaya perundingan bipartit diatur dalam Pasal 3 sampai


38
R. Joni Bambang, Hukum Ketenagakerjaan, Bandung: Pustaka Setia, 2013, hlm. 292.
44

Pasal 7 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan

Hubungan Industrial.

Perselisihan hubungan industrial wajib diupayakan penyelesaiannya

terlebih dahulu melalui perundingan bipartit secara musyawarah untuk mencapai

mufakat. Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial melalui bipartit harus

diselesaikan paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal dimulainya

perundingan dan apabila dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari salah satu pihak

menolak untuk berunding atau telah dilakukan perundingan, tetapi tidak mencapai

kesepakatan, maka perundingan bipartit tersebut dianggap gagal. Jika perundingan

bipartit gagal, maka salah satu atau kedua belah pihak mencatatkan

perselisihannya kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang

ketenagakerjaan setempat dengan melampirkan bukti bahwa upaya-upaya

penyelesaian melalui perundingan bipartit telah dilakukan. Setelah menerima

pencatatan dari salah satu pihak atau kedua belah pihak, instansi yang

bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat wajib menawarkan

kepada para pihak untuk menyepakati dan memilih penyelesaian melalui

konsiliasi atau melalui arbitrase.39

Setiap perundingan bipartit harus dibuat risalah yang ditandatangani oleh

para pihak. Risalah perundingan sekurang-kurangnya memuat:40

a. Nama lengkap dan alamat para pihak;

b. Tanggal dan tempat perundingan;

c. Pokok masalah atau alasan perselisihan;

39
Bagus Sarnawa dan Johan Erwin Isharyanto, Hukum Ketenagakerjaan, Yogyakarta:
Laboratorium Ilmu Hukum UMY, 2010, hlm. 177-178.
40
Asri Widjayanti, Hukum Ketenagakerjaan Pasca Reformasi, Jakarta: Sinar Grafika,
2009, hlm. 86.
45

d. Pendapat para pihak;

e. Kesimpulan atau hasil perundingan;

f. Tanggal serta tanda tangan para pihak yang melakukan perundingan

2. Penyelesaian Melalui Tripartit

Penyelesaian melalui Tripartit adalah forum komunikasi, konsultasi, dan

musyawarah tentang masalah ketenagakerjaan yang anggota-anggotanya terdiri

dari unsur organisasi pengusaha, serikat pekerja/serikat buruh, dan pemerintah.

Tugas pokok dari penyelesaian Triparti ini adalah memberikan pertimbangan,

saran, dan pendapat kepada pemerintah dan pihak terkait dalam penyusunan

kebijakan masalah ketenagakerjaan.41

3. Penyelesaian Melalui Mediasi

Dalam pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang

Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, Mediasi Hubungan Industrial

yang selanjutnya disebut mediasi adalah penyelesaian perselisihan hak,

perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan

perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan

melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih mediator yang netral.

Mediator adalah pegawai instansi pemerintah yang bertanggung jawab di bidang

ketenagakerjaan yang memenuhi syarat-syarat sebagai mediator yang ditetapkan

oleh Menteri untuk bertugas melakukan mediasi dan mempunyai kewajiban

memberikan anjuran tertulis kepada para pihak yang berselisih untuk

menyelesaikan perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan

hubungan kerja, dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam

41
Maimun, Hukum Ketenagakerjaan: Suatu Pengantar, Jakarta: Pradnya Paramita, 2007,
hlm. 123.
46

satu perusahaan.42 Seorang mediator sebagaimana dituangkan dalam pasal 9

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 harus memenuhi syarat sebagai berikut:

a. Beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;

b. Warga Negara Indonesia;

c. Berbadan sehat menurut surat keterangan dokter;

d. Menguasai peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan;

e. Berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela;

f. Berpendidikan sekurang-kurangnya Strata Satu (S1); dan

g. Syarat lain yang ditetapkan oleh Menteri.

Berdasarkan tercapainya kesepakatan penyelesaian perselisihan hubungan

industrial melalui mediasi, maka dibuat Perjanjian Bersama yang ditandatangani

oleh para pihak dan disaksikan oleh mediator serta didaftar di Pengadilan

Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah hukum pihak-pihak

mengadakan Perjanjian Bersama untuk mendapatkan akta bukti pendaftaran.

Dalam hal tidak tercapai kesepakatan penyelesaian perselisihan hubungan

industrial melalui mediasi, maka:43

a. Mediator mengeluarkan anjuran tertulis;

b. Anjuran tertulis sebagaimana dimaksud pada huruf a dalam waktu

selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari kerja sejak sidang mediasi pertama

harus sudah disampaikan kepada para pihak;

c. Para pihak harus sudah memberikan jawaban secara tertulis kepada

mediator yang isinya menyetujui atau menolak anjuran tertulis dalam

42
Adrian Sutedi, Hukum Perburuhan, Jakarta: Sinar Grafika, 2009, hlm. 111.
43
Asri Widjayanti, Hukum Ketenagakerjaan Pasca Reformasi, Jakarta: Sinar Grafika,
2009, hlm. 187.
47

waktu selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari kerja setelah menerima

anjuran tertulis;

d. Pihak yang tidak memberikan pendapatnya sebagaimana dimaksud pada

hruf c dianggap menolak anjuran tertulis;

e. Dalam hal para pihak menyetujui anjuran tertulis sebagaimana dimaksud

pada huruf a, maka dalam waktu selambat-lambatnya 3 (tiga) hari kerja

sejak anjuran tertulis disetujui, mediator harus sudah selesai membantu

para pihak membuat Perjanjian Bersama untuk kemudian didaftar di

Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah

hukum pihak-pihak mengadakan Perjanjian Bersama untuk mendapatkan

akta bukti pendaftaran. (Pasal 13)

4. Penyelesaian Melalui Konsiliasi

Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 13 Undang-Undang Nomor 2 Tahun

2004, Konsiliasi Hubungan Industrial yang selanjutnya disebut konsiliasi adalah

penyelesaian perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja

atau perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan

melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih konsiliator yang

netral. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 14 Undang-Undang Nomor 2 Tahun

2004, Konsiliator Hubungan Industrial yang selanjutnya disebut konsiliator adalah

seorang atau lebih yang memenuhi syarat-syarat sebagai konsiliator ditetapkan

oleh Menteri, yang bertugas melakukan konsiliasi dan wajib memberikan anjuran

tertulis kepada para pihak yang berselisih untuk menyelesaikan perselisihan

kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja atau perselisihan antar

serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan.


48

5. Penyelesaian Melalui Arbitrase

Berbeda dengan produk Mediasi dan Konsiliasi yang berupa anjuran dan

tidak mengikat, putusan arbitrase mengikat para pihak. Arbitrase adalah

penyelesaian atau pemutusan sengketa oleh seorang hakim atau para hakim yang

bertujuan mereka akan tunduk kepada atau menaati keputusan yang telah

diberikan oleh hakim atau para hakim yang mereka pilih atau tunjuk

tersebut.44Menurut Asikin Kusuma Atmaja, menyatakan bahwa “arbitrase”

merupakan suatu prosedur di luar pengadilan yang ditentukan berdasarkan suatu

perjanjian, dimana para pihak dalam hal timbulnya sengketa mengenai

pelaksanaan perjanjian tersebut menyetujui penyerahan penyelesaian sengketa

tersebut pada wasit yang telah dipilih oleh para pihak itu sendiri”.45

Arbitrase sudah ada sejak zaman Belanda. Dasar hukum pembentukan

arbitrase pada saat itu adalah Pasal 377 HIR yang mengatur “jika orang indonesia

dan orang timur asing menghendaki perselisihan mereka diputuskan oleh juru

pisah, maka mereka wajib menuruti peraturan pengadilan perkara yang berlaku

bagi bangsa Eropa”. Menurut Sudikno Merto Kusumo mengatakan bahwa

arbitrase adalah suatu prosedur penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang

berdasarkan suatu persetujuan pihak-pihak yang bersangkutan diserahkan kepada

seorang wasit atau lebih.46

Menurut Pasal 1 angka 15 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 menyebutkan:

“Arbitrase hubungan industrial (arbitrase) adalah penyelesaian suatu

perselisihan kepentingan, dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat


44
Eman Rajaguguk, Arbitrase dan Putusan Pengadilan, Chandra Pratama, Jakarta, 2000,
hlm 14.
45
Asikin Kusuma Atmaja, Arbitrase Perdagangan International, Prisma, Jakarta, 1973,
hlm 55.
46
Sudikno Merto Kusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1979,
hlm 190.
49

buruh hanya dalam suatu perusahaan, di luar pengadilan hubungan

industrial melalui kesepakatan tertulis dari para pihak yang berselisih

untuk menyerahkan penyelesian perselisihan kepada arbiter yang

putusannya mengikat para pihak dan bersifat final”.

BAB III

METODELOGI PENULISAN

A. Ruang Lingkup Penulisan

Ruang lingkup penulisan ini bertujuan untuk membatasi sejauh mana

masalah yang di bahas didalam penulisan skripsi ini. Adapun masalah penulisan

skripsi adalah Bagaimana Hak-Hak Pekerja Yang Di PHK Secara Sewenang-

Wenang Oleh Perusahaan Menutrut Undang-Undang No 11 Tahun 2020 Tentang

Cipta Kerja dan Bagaimanakah Dasar Pertimbangan Hakim Dalam Memberikan

Putusan Terhadap Hak-Hak Pekerja yang di PHK Secara Sewenang-Wenang

Oleh Perusahaan Terhadap Pekerja Menurut Putusan Nomor

32/Pdt.Sus-Phi/2022/Pn Mdn

B. Metode Pendekatan Masalah

Menurut Peter Mahmud Marzuki, penelitian hukum adalah suatu proses

untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin


50

hukum yang menjawab isu-isu hukum yang dihadapi. 47 Adapun metode penelitian

yang digunakan dalam penelitian ini yaitu:

1. Pendekatan Undang-Undang ( Statute Approach )

Pendekatan undang-undang dilakukan dengan cara menelaah semua

undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang

sedang ditangani yaitu Undang-undang No 11 tahun 2020 tentang cipta

Kerja

2. Pendekatan Kasus (Case Approach)

dilakukan dengan cara melakukan telaah terhadap kasus-kasus yang

berkaitan dengan isu yang dihadapi yang telah menjadi putusan pengadilan

yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap yaitu putusan Nomor


50
32/Pdt.Sus-Phi/2022/Pn.Mdn

3. Pendekatan Konseptual (Conseptual Approace),

yaitu suatu metode pendekatan melalui pendekatan dengan merujuk dari

pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang di dalam

ilmu hukum

C. Sumber Bahan hukum

Sumber bahan Hukum yang digunakan adalah :48

1. Bahan Hukum Primer

Adapun sumber data primer yang diperoleh penulis adalah dari peraturan

perundang-undangan yang berkaitan dengan diundangkanya yaitu undang-

undang no 11 tahun 2020 tentang cipta kerja

47
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum Edisi Revisi, Bandung : PT Kharisma Putra
utama,2015, hlm. 133
48
Soerjono Suekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Penerbit Universitas Indonesia-UI
Press cetakan ke-3 tahun 1984, hlm 54.
51

2. Bahan Hukum Sekunder

Yakni bahan-bahan yang memberi petunjuk maupun penjelasan terhadap

bahan hukum primer dan sekunder, misalnya Kamus Hukum,

Ensiklopedia, Indeks Kumulatif dan sebagainya. Agar diperoleh informasi

yang terbaru dan berkaitan erat dengan permasalahannya, maka

kepustakaan yang di cari dan di pilih harus relavan dan mutakhir.

3. Bahan Hukum Tertier

Yakni bahan-bahan yang memberi petunjuk maupun penjelasan terhadap

bahan hukum primer dan sekunder, misalnya internet dan kamus-kamus

yang berkaitan dengan hukum. Agar diperoleh informasi yang terbaru dan

berkaitan erat dengan permasalahannya, maka kepustakaan yang di cari

dan di pilih harus relavan dan mutakhir.

D. Metode Pengumpulan Data

Metode Pengumpulan data yang disusun dalam penulisan skripsi ini

adalah metode kepustakaan (Library Research) yaitu dengan membaca buku-

buku, menganalisa buku-buku, peraturan perundang-undangan yang berkaitan

dengan Perselisihan Hubungan Industrial terkhusus tentang PHK dan bahan-

bahan kepustakaan yang berkaitan dengan literatur-literatur majalah, mas media,

internet dan juga media informasi lainnya yang berkaitan dengan perumusan

masalah dalam penulisan ini.

E. Metode Analisa Data


52

Metode analisa data yang digunakan dalam penulisan ini adalah yuridis

deskriptif yaitu dengan menggambarkan sesuai dengan kenyataan-kenyataan yang

ada dalam masyarakat dikaitkan dengan undang-undang yang berlaku.

BAB IV

PEMBAHASAN

1. Hak-Hak Pekerja Yang Di PHK Secara Sewenang-Wenang Oleh

PerusahaanMenurut Undang-Undang No 11 Tahun 2020 Tentang Cipta

Kerja

Bahwa hak-hak pekerja yang di PHK secara sewenang-wenang yang

dimaksud adalah diuraikan sebagai berikut :

Sehubung dampak PHK sangat kompleks dan cenderung menimbulkan

perselisihan, maka mekanisme dan prosedur PHK diatur sedemikian rupa agar

pekerja/buruh tetap mendapatkan perlindungan yang layak dan memperoleh hak –

haknya sesuai dengan ketentuan. Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor : 150

Tahun 2000 didalam terdapat ketentuan tentang Hak – hak pekerja akibat PHK

pada perusahaan. Hak – hak pekerja akibat PHK lain :


53

a) Uang Pesangon

Uang pesangon adalah pembayaran dalam bentuk uang dari pengusaha

kepada pekerja sebagai akibat adanya PHK yang jumlahnya disesuaikan

dengan masa kerja pekerja ( Pasal 22 ).

b) Uang Penghargaan Masa Kerja

Uang penghargaan masa kerja atau dalam peraturan sebelumnya disebut

dengan uang jasa adalah uang penghargaan oleh pengusaha kepada pekerja

yang besarnya dikaitkan dengan lamanya masa kerja ( Pasal (23)

c) Uang Ganti Rugi

Ganti kerugian adalah pemberian berupa uang dari pengusaha kepada

pekerja sebagai pengganti dari hak- hak yang belum diambil istirahat

tahunan, istirahat panjang, biaya perjalanan pulang ke tempat di mana


53
pekerja diterma bekerja, fasilitas pengobatan, fasilitas perumahan dan hal-

hal lain yang ditetapkan oleh Panitia Daerah atau Panitia Pusat sebagai

akibat adanya Pemutusan Hubungan Kerja (Pasal 24)

Hak – hak pekerja atas uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan

ganti kerugi sebagaimana dimaksud diatas ditetapkan berdasarkan pada ketentuan

sebagai berikut :

8. Jika PHK terjadi karena pekerja mengundurkan diri secara sepihak atas

kemauan sendiri, maka pekerja yang bersangkutan hanya berhak

mendapatkan uang penghargaan masa kerja/jasa dan ganti kerugian;

9. Dalam hal PHK perseorangan terjadi bukan kesalahan pekerja tetapi

dapat menerima PHK tersebut, maka pekerja berhak mendapat Pesangon

paling sedikit 2 kali sesuai ketentuan pasal 22, uang pengahrgaan masa
54

kerja/jasa sesuai ketentuan pasal 23, dan ganti kerugian sesuai pasal 24,

kecuali kedua belah pihak menentukan lain;

10. Dalam hal PHK massal karena perusahaan tutup akibat mengalami

kerugia terus-menerus disertai bukti laporan keuangan yang diaudit oleh

Akuntan Publik paling sedikit 2 ( dua ) tahun terakhir, atau keadaan

memaksa besarnya uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, dang

anti kerugian ditetapkan berdasarkan ketentuan 22, 23, 24 kecuali kedua

belah pihak menentukan lain;

11. Dalam hal PHK massal karena perusahaan tutup akibat efisiensi, maka

pekerja berhak mendapatkan uang pesangon sebesar 2 (dua) kali sesuai

ketentuan pasal 22, uang penghargaan masa kerja sesuai dengan pasal 23,

dan ganti kerugian berdasarkan ketentuan pasal 24, kecuali kedua belah

pihak menentukan lain.

12. Dalam hal terjadi PHK karena perubahan status, atau perubahan

pemilikan perusahaan sebagian atau seluruhnya atau perusahaan pindah

lokasi dengan syarat-syarat kerja baru yang sama dengan syarat-syarat

kerja lama, dan pekerja tidakbersedia untuk melanjutkan hubungan kerja,

maka kepada pekerja dibayarkan uang pesangon, uang penghargaan masa

kerja dan ganti kerugian sesuai pasal 22, 23, dan 24.

13. Dalam hal ini terjadi PHK karena perubahan status, atau perubahan

pemilikan perusahaan sebagian atau seluruhnya atau perusahaan pindah

lokasi dan pengusaha tidak bersedia menerima pekerja di perusahaannya

dengan alasan apapun, maka pekerja berhak atas uang pesangon sebesar

2 (dua) kali ketentuan pasal 22, uang penghargaan masa kerja sesuai
55

dengan ketentuan pasal 23, dan ganti kerugian sesuai pasal 24, kecuali

atas persetujuan kedua belah pihak ditetapkan lain

14. Kewajiban untuk membayar uang pesangon, uang pengahragaan masa

kerja, dan ganti kerugian akibat PHK karena perubahan status atau

kepemilikan atau perusahaan pindah lokasi, dibebankan kepada

pengusaha baru kecuali diperjanjikan lain antara pengusaha lama dengan

pengusaha baru.

Bahwa sebelum terjadinya Pemutusan Hubungan Kerja secara sewenang-

wenang Harus harus dicari dulu solusi agar PHK tidak dilakukan dan dapat dicari

kesepakatan bersama hal itu sesuai dengan ketentuan Undang-undang no 13

tahun 2003 Tentang Ketenaga Kerjaan dan kemudian isinya diubah dalam

Undang-undang No 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang mana pada pasal (37)

Ketentuan yang mengatur Pasal 151 undang-undang No 13 tahun 2003 tentang

ketenagaKerjaan diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 151

(1) Pengusaha, pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat buruh, dan Pemerintah

harus mengupayakan agar tidak terjadi pemutusan hubungan kerja.

(2) Dalam hal pemutusan hubungan kerja tidak dapat dihindari, maksud dan

alasan pemutusan hubungan kerja diberitahukan oleh pengusaha kepada

pekerja/buruh dan/atau serikat pekerja/serikat buruh.

(3) Dalam hal pekerja/buruh telah diberitahu dan menolak pemutusan

hubungan kerja, penyelesaian pemutusan hubungan kerja wajib dilakukan


56

melalui perundingan bipartit antara pengusaha dengan pekerja/buruh

dan/atau serikat pekerja/serikat buruh.

(4) Dalam hal perundingan bipartit sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak

mendapatkan kesepakatan, pemutusan hubungan kerja dilakukan melalui

tahap berikutnya sesuai dengan mekanisme penyelesaian perselisihan

hubungan industrial.

Sebagaimana yang diatur dalam ketentuan pasal Tersebut akan di uraikan

oleh penulis sebagai berikut :

1. Bisebutkan bahwa “Pengusaha, pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat

buruh, dan Pemerintah harus mengupayakan agar tidak terjadi

pemutusan hubungan kerja” Upaya itu sudah dilakukan dari

kesadaran demi kebaikan bersama dengan maksud tidak

memberatkan para pihak

2. Pada hal tersebut “Alasan harus diberitahukan apabila PHK tidak

dapat di Hindari” Akan tetapi sebagimana Ketentuan dalam Putusan

Alasan yang diberikan tidak logis sehingga Penggugat

Mempertanyakan dan menerima jawaban yang tidak memuaskan

3. Tentang Bipartit artinya Mediasi yang dilakukan oleh Buruh dan

Pemberi kerja untuk mencapai mufakat, akan tetapi sesuai dengan

Uraian dalam Putusan hal tersebut telah dilakukan , akan tetapi

perusahaan tidak mau mempekerjakan Penggugat kembali

4. Bahwa Tripartiti telah dilakukan melalui Dinas Ketenagakerjaan

Delis Serdang , akan tetapi anjuran yang diberikan untuk

memasukkan penggugat kembali sebagi pekerja tidak di indahkan


57

yang mana berupa ANJURAN dari Dinas Ketenagakerjaan Delis

Serdang

Bahwa Prosedur sudah dijalankan akan tetapi Perushaan tidak

mengindahkanya sehingga mengajukan gugatan Kepengadilan Industrial yang

terletak pada Pengadilan Negeri Medan sebagaimana Putusan yang dibahas oleh

Penulis.

Dalam Undang-Undang nomor 2 tahun 2004 tentang Perselisihan

Hubungan Industrial dalam pasal 2 dijelaskan bahwa, dari berbagai tipe, bentuk

dan latar belakang perselisihan yang terjadi di lingkungan kerja, pengertian

perselisihan hubungan industrial dikelompokkan perselisihan tersebut dalam

empat (4) jenis, yaitu :

a. Perselisihan Hak

Perselisihan yang timbul karena tidak terpenuhinya hak, akibat adanya

perbedaan pelaksanaan atau penafsiran terhadap ketentuan peraturan

perundang-undangan, perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau

perjanjian kerja bersama. Contohnya adalah kekurangan upah lembur dari

kelebihan jam kerja, pembayaran upah lebih rendah dari UMP atau tentang

asuransi kerja dan keselamatan kerja.

b. Perselisihan Kepentingan

Perselisihan yang timbul dalam hubungan kerja karena tidak adanya

kesesuaian pendapat mengenai pembuatan, dan/atau perubahan syarat-

syarat kerja yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, atau peraturan

perusahaan atau perjanjian kerja bersama. Contohnya adalah perundingan


58

PKB, tuntutan pemberian tunjangan jabatan, tunjangan cuti dan lain-

lainnya yang belum ada pengaturannya.

c. Perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja

Perselisihan yang timbul karena tidak adanya kesesuaian pendapat

mengenai pengakhiran hubungan kerja yang dilakukan oleh salah satu

pihak. Contohnya adalah Pemutusan Hubungan Kerja karena pekerja

melanggar perjanjian kerja.

d. Perselisihan Antar Serikat Buruh/Serikat Pekerja

Perselisihan antara serikat pekerja/ serikat buruh lainnya hanya dalam satu

perusahaan, karena tidak adanya persesuaian paham mengenai

keanggotaan, pelaksanaan hak, dan kewajiban keserikatan pekerjaan.

Contohnya adalah siapa yang berhak merundingkan PKB

Bahwa berdasarkan KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA

REPUBLIK INDONESIA Nomor : Kep - 150 / Men / 2000 TENTANG

PENYELESAIAN PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA DAN PENETAPAN

UANG PESANGON, UANG PENGHARGAAN MASA KERJA DAN GANTI

KERUGIAN DI PERUSAHAAN disebutkan bahwa pasal 2 ayat 4 disebutkan

bahwa :

4. Pemutusan hubungan kerja dilarang :

a. pekerja berhalangan masuk kerja karena sakit menurut keterangan

dokter selama waktu tidak melampaui 12 (dua belas) bulan terus

menerus;
59

b. pekerja berhalangan menjalankan pekerjaannya karena memenuhi

kewajiban terhadap negara sesuai dengan peraturan perundang -

undangan yang berlaku;

c. pekerja menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya dan

yang disetujui pemerintah;

d. karena alsaan menikah, hamil, melahirkan atau gugur kandungan;

e. karena alasan pekerja wanita melaksanakan kewajiban menyusui

bayinya yang telah diatur dalam perjanjian kerja atau peraturan

perusahaan atau kesepakatan kerja bersama atau peraturan

perundang - undangan;

f. pekerja mempunyai pertalian darah dan atau ikatan perkawinan

dengan pekerja lainnya di dalam satu perusahaan, kecuali telah

diatur dalam peraturan perusahaan atau kesepakatan kerja

bersama;

bahwa hak-hak yang dimaksud apabila terjadi pemutusan kerja

sebagaimana yang dimuat dalam putusan Putusan Nomor

32/Pdt.Sus-Phi/2022/Pn Mdn, Pengusaha melakukan Pemutusan Hubungan kerja

secara sewenang-wenang, Harus membayarkan Hak-hak Pekerja sebagimana yang

dikanulkan Majelis Hakim dan dimuat dalam Putusan Pengadilan Yang dimaksud

dengan fakta bahwa Penggugat Bekerja selama 7 Tahun dengan ketentuan

membayar hak-hak Penggugat, berdasarkan ketentuan Pasal 36 huruf ( k) dan

Pasal 40 ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan Pasal 52 ayat (1) Peraturan Pemerintah

Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2021 Tentang Perjanjian Kerja Waktu

Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja Dan Waktu Istirahat, Dan Pemutusan
60

Hubungan Kerja, Jo. Undang-Undang No. 11 tahun 2020 tentang cipta kerja

dengan Total keseluruhan Rp. 28.175.000,

2. Dasar Pertimbangan Hakim Dalam Memberikan Putusan Terhadap

Hak-Hak Pekerja yang di PHK Secara Sewenang-Wenang Oleh

Perusahaan Brdasarkan Putusan Nomor 32/Pdt.Sus-Phi/2022/Pn Mdn

Bahwa sebagaimana dalam Putusan Nomor 32/Pdt.Sus-Phi/2022/Pn

Mdn yang mana dalam proses persidangan memuat unsur-unsur sebagai berikut:

A. Kasus Posisi

1. Identitas Para Pihak

YUSTI RISMA SARI, Yusti Risma Sari, Perempuan, Tempat tanggal lahir
Tanjung Morawa 30 oktober 1995, Kewarganegaraan Indonesia, berlamat di
Dusun XII Desa Buntu Bedimbar Kec. Tanjung Morawa, kab. Deli Serdang
Provinsi Sumatera Utara, dalam hal ini diwakili oleh Nicholas Sutrisman, S.H.,
M.H., Tua Raja Marpaung, S.H., M.H., Ruben Sandi Yoga Utama Panggabean,
S.H., M.H., Berfikir Zebua, S.H., masing-masing Advokat dan Konsultan hukum
pada Kantor Lembaga Bantuan Hukum Buruh Provinsi Sumatera Utara yang
berkedudukan di Jl. Sekip Gg. Suropati No. 5, Kelurahan Sei Putih Timur 1,
Kecamatan Medan Petisah, Kota Medan Provinsi Sumatera Utara. Berdasarkan
surat kuasa khusus tanggal 04 Januari 2021, selanjutnya disebut PENGGUGAT;
Lawan
PT. UNIVERSAL GLOVES, yang beralamat di Jl. Pertahanan Kec. Medan
Patumbak kab. Deli Serdang Provinsi Sumatera Utara, yang selanjutnya disebut
TERGUGAT ;

2. Duduk Perkara

1) Bahwa Penggugat adalahh buruh yang bekerja kepada Tergugat sejak

tanggal 07 September 2013 dan menerima upah sebesar Rp. 3. 500.000,-

( Tiga Juta Lima Ratus Ribu Rupiah ) setiap bulannya dan ditempatkan

dibagian produksi stripping;


61

2) Bahwa Penggugat selama bekerja selalu bekerja dengan baik dan

memberikan loyalitas yang tinggi terhadap Tergugat;

3) Bahwa tiba tiba pada tanggal 23 Desember 2020 Penggugat yang ingin

masuk bekerja seperti biasanya, Penggugat tidak di perbolehkan lagi

bekerja oleh Tergugat;

4) Bahwa Penggugat berusaha menyelesaikan perselisihan Pemutusan

hubungan kerja, secara kekeluargaan melalui mekanisme perundingan

Bipartit. Namun, Tergugat tidak merespon undangan perundingan Bipartit

yang dilakukan oleh Penggugat;

5) Bahwa berhubung upaya penyelesaian melalui perundingan Bipartit tidak

di respon oleh Tergugat. Maka, pada tanggal 05 Januari 2021, Penggugat

melalui kuasanya mengajukan permohonan mediasi / pencatatan

perselisihan ke Dinas Ketenagakerjaan Kabupaten Deli Serdang untuk

menyelesaikan perselisihan hubungan industrial secara mediasi

sebagaimana tertuang dalam pasal 8 Undang-undang no 2 Tahun 2004

tentang penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial;

6) Bahwa upaya penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial secara

mediasi melalui kantor Dinas Ketenagakerjaan Kabupaten Deli Serdang,

tidak menemukan titik temu antara Penggugat dan Tergugat; Sehingga

tanggal 08 April 2021, Dinas ketenagakerjaan Kabupaten Deli Serdang

mengeluarkan Anjuran No. 560/84/DK-5 FM/DS/2021, dimana

menganjurkan agar Tergugat i.c PT. Universal Gloves untuk dapat

mempekerjakan kembali Penggugat i.c Yusti Risma Sari


62

3. Dasar Pertimbangan Hakim

bahwa dasr pertimbangan hakim apakah Petitum gugatan yang diajukan

oleh penggugat dikabulkan atau ditolak maka akan dipertimbangkan sebagai

berikut :

- Menimbang, bahwa Penggugat dengan Tergugat pernah melaksanakan


hubungan kerja, Penggugat merupakan Karyawan Harian Tergugat yang telah
bekerja pada Tergugat sejak tanggal 7 September 2013, hubungan kerja juga
terlihat dari bukti P-2 berupa Kartu PT. Universal Gloves atas nama Yusti
Risma Sari No ID : 130905349, juga terlihat dari bukti T-3 berupa Surat
Lamaran Kerjaan. Yusti Risma Sari tertanggal 5 September 2013 berikut
dengan lampirannya, dari bukti T-4 berupa Surat Keterangan Yusti Risma
Sari yang menerangkan hasil pemeriksaan adalah benar berbadan sehat
tertanggal 6 September 2013, dan bukti T-5 berupa Surat Pernyataan Yusti
Risma Sari yang menerangkan bersedia bekerja sebagai Karyawan Harian
pada PT. Universal Gloves tertanggal 7 September 2013, sehingga hubungan
kerja tersebut telah sesuai ketentuan unsur unsur adanya pekerjaan, perintah
dan upah sesuai Undang-undang Nomor 13 tahun 2013 tentang
ketenagakerjaan, dan hubungan Kerja Penggugat, dan Tergugat telah diakui,
yang merupakan pembuktian yang sempurna, sehingga tidak perlu adanya
pembebanan pembuktian kepada Pihak;
- Menimbang, bahwa oleh karena hubungan kerja antara Penggugat dan
Tergugat telah diakui, maka terhadap petitum Penggugat angka 2 (dua)
beralasan hukum untuk dikabulkan;
- Menimbang, bahwa berdasarkan Pasal 36 Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 35 Tahun 2021 Tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu,
Alih Daya, Waktu Kerja Dan Waktu Istirahat, Dan Pemutusan Hubungan
Kerja, menerangkan bahwa Pemutusan Hubungan Kerja dapat terjadi karena
alasan Pekerja/Buruh melakukan pelanggaran ketentuan yang diatur dalam
Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama dan
sebelumnya telah diberikan surat peringatan pertama, kedua, dan ketiga
secara berturut-turut masingmasing berlaku untuk paling lama 6 (enam) bulan
kecuali ditetapkan lain dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau
Perjanjian Kerja Bersama;
- Menimbang, bahwa berdasarkan fakta hukum diatas, Majelis Hakim
berpendapat bahwa hubungan kerja antara Penggugat dengan Tergugat tidak
harmonis lagi seperti semula. Maka, hubungan kerja diputus oleh Pengadilan
Hubungan industrial pada Pengadilan Negeri Medan sejak putusan ini
diucapkan berdasarkan ketentuan Pasal 36 huruf (k) Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2021 Tentang Perjanjian Kerja Waktu
Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja Dan Waktu Istirahat, Dan Pemutusan
Hubungan Kerja;
- Menimbang, oleh karena hubungan kerja antara Penggugat dan Tergugat
diputus oleh Hubungan industrial pada Pengadilan Negeri Medan karena
63

Pekerja/Buruh melakukan pelanggaran, dengan demikian petitum Penggugat


angka 3 (tiga) beralasan hukum untuk dikabulkan;
- Menimbang, berdasarkan fakta-fakta hukum diatas, maka Penggugat berhak
atas hak-hak normatifnya berdasarkan ketentuan Pasal 40 ayat (1), ayat (2),
ayat (3) dan Pasal 52 ayat (1) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 35 Tahun 2021 Tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya,
Waktu Kerja Dan Waktu Istirahat, Dan Pemutusan Hubungan Kerja, Jo.
Undang-Undang No. 11 tahun 2020 tentang cipta kerja, dengan rincian
sebagaiberikut:
Masa Kerja 7 (tujuh) tahun
a. Uang Pesangon 0,5 x 8 x Rp. 3.500.000= Rp. 14.000.000,00
b. UPH 3 x Rp. 3.500.000= Rp. 10.500.000,00 + Total Rp.
24.500.000,00
c. uang Penggantian hak :
15% x Rp.24.500.000,00 Rp. 3.675.000,00
Total keseluruhan Rp. 28.175.000,00
(dua puluh delapan juta seratus tujuh puluh lima ribu rupiah)
- Menimbang, bahwa dengan demikian petitum Penggugat angka 4 (empat)
beralasan hukum untuk dikabulkan Sebagian
- Menimbang, bahwa merujuk Pasal 52 Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 35 Tahun 2021 Tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu,
Alih Daya, Waktu Kerja Dan Waktu Istirahat, Dan Pemutusan Hubungan
Kerja, petitum Penggugat angka 5 (lima) tentang upah proses tidak berdasar
daN beralasan hukum sehingga petitum gugatan Penggugat angka 5 (lima)
harus dinyatakan ditolak;
- Menimbang, bahwa berdasarkan petitum gugatan Penggugat angka 6 (enam)
berupa permohonan agar menghukum Tergugat untuk membayar uang paksa
(dwangsom) kepada Penggugat, menurut Majelis Hakim bahwa setiap
putusan perdata dapat pula disertai suatu dwangsom apabila hal tersebut
memang diminta oleh Penggugat kecuali salah satunya yang ditetapkan dalam
pasal 611 a ayat 1 (Rv) Juncto Yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor 791
K/Sip/1972 tanggal 26 Februari 1973 yang menentukan bahwa dwangsom
dapat dijatuhkan oleh Hakim kecuali terhadap penghukuman pembayaran
sejumlah uang karena pemenuhan penghukuman dapat diperoleh dengan
suatu upaya hukum biasa, dengan demikian tuntutan ini haruslah ditolak;
- Menimbang, bahwa berdasarkan petitum gugatan Penggugat angka 7 (tujuh)
mengenai putusan ini dapat terlebih dahulu serta merta meskipun ada upaya
verzet maupun kasasi (Uit voerbaar bij vooraad) oleh karena putusan ini
masih ada upaya hukum dan masih bersifat sementara sebagimana Pasal 191
RBg sehingga petitum gugatan Penggugat tidak beralasan hukum maka harus
dinyatakan ditolak;

4. Putusan Pengadilan

MENGADILI;

DALAM EKSEPSI
64

- Menolak Eksepsi Tergugat Untuk Seluruhnya;

DALAM POKOK PERKARA:

1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian;

2. Menyatakan Penggugat adalah karyawan yang bekerja kepada Tergugat;

3. Menyatakan hubungan kerja antara Penggugat dengan Tergugat putus sejak

putusan ini dibacakan oleh Pengadilan hubungan industrial pada pengadilan

negeri Medan;

4. Menghukum Tergugat untuk membayar hak-hak Penggugat, berdasarkan

ketentuan Pasal 36 huruf ( k) dan Pasal 40 ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan

Pasal 52 ayat (1) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 35 Tahun

2021 Tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja Dan

Waktu Istirahat, Dan Pemutusan Hubungan Kerja, Jo. Undang-Undang No.

11 tahun 2020 tentang cipta kerja sebesar Rp. 24.500.000 (dua puluh empat

juta lima ratus ribu rupiah), dengan rincian sebagai berikut: Masa Kerja 7

(tujuh) tahun

a. Uang Pesangon 0,5 x 8 x Rp. 3.500.000= Rp. 14.000.000,00

b. UPH 3 x Rp. 3.500.000= Rp. 10.500.000,00 + Total Rp. 24.500.000,00

c. uang Penggantian hak : 15% x Rp.24.500.000,00 Rp. 3.675.000,00 Total

keseluruhan Rp. 28.175.000,00 (dua puluh delapan juta seratus tujuh

puluh lima ribu rupiah)

5. Menolak gugatan Penggugat selain dan selebihnya;

6. Membebankan biaya yang timbul dalam perkara kepada negara sebesar

Rp.320.000,00 ( tiga ratus dua puluh ribu rupiah);


65

F. Pembahasan Pada Pertimbangan Hakim

Klusula Pemutusan Hukubungan Kerja (PHK) dalam Suatu perkerjaan

yang berbadan Hukum adalah Klusula sebab akibat, yang mana berarti terjadinya

PHK diakibat suatu tindakan yang dirasa perushaan merupakan suatu kesalahan

yang tidak termaafkan, sementara pekerja merasa dia tidak melakukan perbuatan

yang merugikan perusahaan sehingga dia menuntut haknya.

Dasar Pertibangan hakim harus memuat unsur-unsur diatas agar apa yang

menjadi amar Putusan Hakim tidak menjadi suatu produk hukum yang gagal atau

bertentangan dengan yang seharusnya sehingga sebagaimana Putusan yang

hendak dibahas oleh penulis Putusan Nomor 32/Pdt.Sus-Phi/2022/Pn Mdn,

atau dengan kata lain uraian diatas merupakan dasar pertimbangan yang penting

bagi hakim dengan istilah itikad baik yang diatur dalam pasal 1338 KUPerdata.

Dan itu telah dilalaui penggugat dan tergugat akan tetapi tidak menemukan jalan

keluar. Dasar bagi hakim untuk memutus perkara perdata pada umumnya sejalan

dengan Petitum serta posita yang dimuat dalam gugatan sebagaimana yang telah

diuraikan penulis diatas, akan menjadi uraian kontra yang akan di uraikan tergugat

dalam eksepsi dan jawabanya yang memuat uraian sebagai berikut :

1. Pertimbangan hakim yang pertama sebagaimana yang dimuat dalam

putusan yaitu dalam eksepsi gugatan Kabur yang dikatakan antara

posita dan petitum tidak sesuai

Bahwa setelah dibaca sangat jelas uraian yang dibuat penggugat dalam gugatanya

sangat sesuai, yaitu adanya hubungan kerja antara penggugat dan tergugat yaitu

perjanjian kerja dan pengugat merasa dirugikan karena tidak ada keadilan yang

diberikan pemberi kerja kepada penggugat sehingga eksepsi dari tergugat ditolak
66

2. Bahwa Bipartit yang dimohonkan Penggugat tidak diperdulikan

Tergugat

Bahwa adapun ketentuan tersebut dikuatkan dengan

“Fotocopy Tanda Terima Surat Dewan Pengurus cabang Federasi industri

kesehatan energi pertambangan serikat buruh sejahtera indonesia kabupaten

Deli Serdang No 223/DPC/K2.S4/SBSI/FIKEP/S.KEL/XII/2020 hal

Undangan Bipartit I, selanjutnya disebut bukti P-4

Dan itu juga diperkuat dengan keterangan saksi Sehaty Harefa yang menerangkan

bahwa

Bahwa Saksi bersama pengurus SBSI Deli Serdang pernah mengundang

perusahaan PT. UG melalui surat undangan secara bipartit, tetapi tidak ada

tanggapan dari Perusahaan dari Perusahaan, setelah itu ketua kami

membuat pengaduan ke Dinas Tenaga kerja Deli serdang, setelah itu

barulah ada pertemuan dimediasi di dinas tenaga kerja deli Serdang;

yang berarti Perusahan dengan itikat tidak baik, dalam hal membicarakn hal-hal

mengenai permasalahan yang dialami oleh penggugat tidak diperbolehkan bekerja

tanpa alasan yang jelas

3. Bahwa Tripartit di di Dinas Ketenagakerjaan Kabupaten deli serdang

sesuai dengan Anjuran No. 560/84/DK-5 FM/DS/2021, dimana

menganjurkan agar Tergugat i.c PT. Universal Gloves untuk dapat

mempekerjakan kembali Penggugat i.c Yusti Risma Sari

Yang mana dalam positanyanya disebutkan bahwa :

- Bahwa Penggugat menolak Anjuran Dinas ketenagakerjaan Kabupaten


Deli Serdang tersebut, dikarenakan Anjuran Dinas ketenagakerjaan
67

Kabupaten Deli Serdang secara jelas bertentangan dengan ketentuan


Undang-Undang No 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja Jo.Undang-
Undang No 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Jo Undang-undang
No. 2 tahun 2004 tentang Penyelsaian Perselisihan Hubungan Industrial
Jo. Peraturan Pemerintah No.35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja
Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan
Pemutusan Hubungan Kerja;
- Bahwa berdasarkan pasal 14 ayat 1 Undang-undang No 2 Tahun 2004
Tentang Penyelesaian Hubungan Industrial, yang menyatakan dalam
hal anjuran tertulis ditolak salah satu Pihak, maka salah satu pihak
dapat melanjutkan penyelesain perselihan Hubungan Industrial pada
Pengadilan Negeri setempat, oleh karenanya Penggugat melalui
kuasanya mengajukan Gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial
pada Pengadilan Negeri Medan dalam perkara aquo adalah cukup
berdasarkan hukum;

4. Hubungan kerja antara Penggugat dengan Tergugat adalah

didasarkan pada Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu

(PKWTT)

Dengan pertimbangan bukti yang diajukan oleh tergugat yang

menerangkan bahwa tergugat mulai bekerja :

- Fotocopy Surat Lamaran Kerja an. Yusti Risma Sari

tertanggal 5 September 2013 berikut dengan lampirannya,

selanjutnya disebut Bukti T –3

Berdasarkan bukti tersebut dapat dihitung waktu atau lamanya penggugat bekerja

di tempat tergugat.

5. Pertimbangan Hakim untuk menerima Gugatan dari penggugat

Bahwa Penggugat secara sah pernah melakukan kesalahan sebagaimana yang

dipertimbanhkan hakim sebagai berikut :

- Menimbang, bahwa Penggugat sebelumnya sudah pernah menerima surat


peringatan lainnya, yaitu Surat Peringatan Nomor /PT.UG/PERS/II/2020
tertanggal 17 Februari 2020 EST : 130905349, Permasalahan : pada tanggal 1
dan 15 Februari 2020 karena melakukan kesalahan yaitu absen (vide bukti T-
21), Surat Peringatan Nomor /PT.UG/PERS/XII/2020 tertanggal 7 Desember
68

2020 EST : 180905349, Permasalahan : pada tanggal 4 Desember 2020


melakukan kesalahan yaitu tidak memperhatikan bahan sehingga banyak
reject (vide bukti T-22), dan Slip Memo Nomor Doc. UGF-Mg-01, Rev.:
00/16-07-2006 tanggal 11 Desember 2020, Perihal : Sanksi (vide bukti T – 2
3);
- Menimbang, bahwa berdasarkan Pasal 36 Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 35 Tahun 2021 Tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu,
Alih Daya, Waktu Kerja Dan Waktu Istirahat, Dan Pemutusan Hubungan
Kerja, menerangkan bahwa Pemutusan Hubungan Kerja dapat terjadi karena
alasan Pekerja/Buruh melakukan pelanggaran ketentuan yang diatur dalam
Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama dan
sebelumnya telah diberikan surat peringatan pertama, kedua, dan ketiga
secara berturut-turut masingmasing berlaku untuk paling lama 6 (enam) bulan
kecuali ditetapkan lain dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau
Perjanjian Kerja Bersama;

Bahwa berdasarkan ketentuan memeberikan surat peringatan sebagaimana

yang dalam pertimbangan Hakim sehingga Gugatan yang diajukan oleh

Penggugat Patut untuk diterima karena bertentangan dengan undang-undang

Nomor 35 Tahun 2021 Tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya,

Waktu Kerja Dan Waktu Istirahat, Dan Pemutusan Hubungan Kerja

6. Perhitungan Pesangon dengan 7 tahun Bekerja

Bahwa penghitungan waktu bekerja adalah jangka waktu penggugat

bekerja di perusahaan tergugat, hal itu dapat dilihat dari bukti yang diajukan oleh

tergugat sebagai berikut :

- Fotocopy Surat Lamaran Kerja an. Yusti Risma Sari tertanggal 5


September 2013 berikut dengan lampirannya, selanjutnya disebut
Bukti T – 3
- Fotocopy Surat Peringatan Nomor /PT.UG/PERS/XII/2020
tertanggal 22 Desember 2020 EST : 130905349, Permasalahan :
pada tanggal 11 Desember 2020 saya melakukan kesalahan yaitu
tidak memperhatikan bahan, sehingga banyak reject di line E3 di
shift III, selanjutnya disebut Bukti T – 24”
69

Dan dari pengakuan Penggugat dia tidak diperbolehkan bekerja pada

tanggal 23 Desember 2020, sehingga Majelis hakim menetapkan jangka waktu

bekerja penggugat selama 7 (tujuh) tahun.

Bahwa sebagaimana yang dimuat dalam Pasal 52 Peraturan Pemerintah

Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2021 Tentang Perjanjian Kerja Waktu

Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja Dan Waktu Istirahat, Dan Pemutusan

Hubungan Kerja, menerangkan :

Ayat (1) Pengusaha dapat melakukan Pemutusan Hubungan Kerja terhadap


Pekerja/Buruh karena alasan Pekerja/Buruh melakukan pelanggaran
ketentuan yang diatur dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau
Perjanjian Kerja Bersama dan sebelumnya telah diberikan surat peringatan
pertama, kedua, dan ketiga secara berturut-turut maka Pekerja/ Buruh
berhak atas:
a. uang pesangon sebesar 0,5 (nol koma lima) kali ketentuan Pasal 40
ayat (2);
b. uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 40
ayat (3); dan
c. uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 40 ayat (4)

bahwa kemudian di dalam Pasal 40 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia

Nomor 35 Tahun 2021 Tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya,

Waktu Kerja Dan Waktu Istirahat, Dan Pemutusan Hubungan Kerja ayat 2 bagian:

“h. masa kerja 7 (tujuh) tahun atau lebih tetapi kurang dari 8 (delapan)

tahun, 8 (delapan) bulan Upah; ”

Kemudian , mengenai penghargaan masa kerja disebutkan bahwa :

Ayat (3) Uang penghargaan masa kerja sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) diberikan dengan ketentuan sebagai berikut: b. masa kerja 6 (enam)

tahun atau lebih tetapi kurang dari 9 (sembilan) tahun, 3 (tiga) bulan Upah;

Bahwa berdasrkan uraian dan fakta yang dimuat dalam putusan dan

berdasarkan pertimbangan hakim dalam memutusa perkara sebagaimana yang


70

dimuat dalam putusan Putusan Nomor 32/Pdt.Sus-Phi/2022/Pn Mdn .sehingga

patut dan berdasarlah Majelis Hakim memutus perkara tersebut sebagaimana yang

dimuat Hakim dalam Amar Putusan tersebut. Sehingga peraturan yang dibuat

diberlakukan bagi semua pihak, sehingga keadilan dapat dirasakan Pekerja dengan

pertimbangan Hakim yang mencerrminkan rasa kedailan.

BAB V

PENUTUP

A. KESIMPULAN

1. Bahwa Pemutusan Kerja secara sewenang-wenang dilarang dalam Undang-

undang No 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja Perubahan atas Undang-

undang No 3 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan namun apabila tidak dapat

dihindarkan maka Pemberi kerja harus membayarkan kewajiban berupa,

Uang Pesangon, Uang Penghargaan Masa Kerja, Uang Ganti Rugi, yang

mana ketentuanya diatur dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia

Nomor 35 Tahun 2021 Tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya,

Waktu Kerja Dan Waktu Istirahat, Dan Pemutusan Hubungan Kerja


71

2. Bahwa dalam pertimbangan hakim , harus berisi Upaya-upaya apa saja yang

dirasa yang dirasa harus dilakukan untuk mencegah terjadinya PHK, seperti

dalam halnya Putusan Nomor 32/Pdt.Sus-Phi/2022/Pn Mdn telah

dilakukan upaya , Bipartit, akan tetapi tak di indahkan , triupartit melalui

disnaker tidak diterima Penggugat, sehingga mengajukan Kepersidangan,

Pertimbangan awal sangat diperlukan , dan tergugat terbukti bersalah

sehingga harus melaksanakan kewajibanya untuk membayar ketentuan

sebagaimana yang dimuat dalam amar Putusan

B. SARAN

1. Seharusnya Perusahaan tidak mengacuhkan Bipartit yang diajukan oleh

tergugat dalam hal secara sewenang-wenang melarang penggugat untuk

bekerja

2. Bahwa Dinas Ketenagakerjaan Harus 71memberikan Teguran Kepada

Pengusaha atau Perusahan agar tidak melakukan Pemutusan Hubungan

Kerja secara sewenang-wenang.


72

Anda mungkin juga menyukai