Anda di halaman 1dari 15

RESUME MATERI : “PERJANJIAN KERJA BERSAMA DAN ASPEK HUKUM

KEPERDATAANNYA”

DISUSUN UNTUK MEMENUHI TUGAS UTS


HUKUM PERBURUHAN

DISUSUN OLEH KELOMPOK 8 :

JAVIER ARTARINDO JECONIA HIA (2210611243)


BONA JEVON TAMPUBOLON (2210611260)
ABYAN HAFIZD NAUFAL (2210611337)
PUTIARA NALASATYA (2210611350)

PROGRAM STUDI ILMU HUKU


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAKARTA
2024
PERJANJIAN KERJA BERSAMA DAN ASPEK HUKUM KEPERDATAANNYA

I. Pengertian Hubungan Kerja


Dalam Hukum Perburuhan atau Hukum Ketenagakerjaan , hubungan kerja
merupakan suatu hubungan antara seorang penerima kerja atau buruh dengan seorang
pemberi kerja atau biasa disebut dengan majikan, dimana hubungan tersebut terjadi
setelah adanya perjanjian kerja yang mengikat keduanya. Kedua belah pihak terikat
dengan namanya suatu perjanjian yang terdapat pada Pasal 1320 KUHP, dimana pihak
penerima kerja atau buruh bersedia bekerja juga dengan diterimanya upah dari hasil
pekerjaannya, dan pemberi kerja memberikan pekerjaan dengan memberi upah.1
Secara umum, hubungan kerja dalam hukum ketenagakerjaan merujuk pada
kesepakatan formal atau informal antara pekerja dan pengusaha, di mana pekerja
menyediakan tenaga kerja mereka dalam pertukaran upah atau gaji yang disepakati.2 Di
Indonesia, hubungan kerja diatur secara rinci dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan dan juga peraturan yang terbaru adalah UU No. 11 tahun
2020 tentang cipta kerja.
Bahwa hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan buruh
berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah. Yang
dimana menghasilkan perjanjian kerja
Berdasarkan pengertian dari hubungan kerja yang sudah disampaikan diatas ada
beberapa unsur dari hubungan kerja atau perjanjian kerja, yaitu3
1. Pekerjaan
Suatu hubungan kerja sudah pasti ada pekerjaan yang dilakukan, pekerjaaan
tersebutlah yang menjadi objek utama perjanjian kerja, sebagaimana diatur dalam Pasal
52 Ayat 1 UU Ketenagakerjaan, dimana adanya suatu pekerjaan merupakan syarat
objektif dari perjanjian kerja sehingga objek yang dikerjakan jelas. Karena jika syarat
tersebut tidak dipenuhi maka perjanjian tersebut batal demi hukum

1
Harahap, A. M. (2020). Pengantar Hukum Ketenagakerjaan.
2
Pasal 1 (15) Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
3
Harahap, A.M. Op Cit.
2. Perintah
Disini adalah letak dimana si pemberi kerja berkuasa, karena jika pekerja sudah
menyepakati adanya suatu hubungan kerja maka kewajiban pekerja untuk melakukan apa
yang atasannya perintahkan. Melakukan perintah kepada seorang pekerja sesuai dengan
operasional adalah tugas seorang pemberi kerja dan pekerja mematuhi.

3. Upah
Dikarenakan pekerja sudah mematuhi perintah pemberi kerja maka sudah menjadi
kewajiban dan sesuai dengan yang sudah diperjanjikan bahwa pekerja tersebut
mendapatkan upah. Dan upah minimum yang dapat diterima oleh pekerja juga sudah
diatur dalam pasal 90 ayat 1 UU no 13. tahun 2003, yang dimaksud dalam pasal tersebut
adalah seorang pemberi kerja atau pengusaha dilarang memberi upah lebih rendah dari
upah minimum. Upah minimum yang dimaksud biasanya disebut denga Upah Minimum
Regional atau yang disingkat UMR, yang dimana di setiap daerah biasanya provinsi
memiliki standar minimum upah yang dimiliki, dan hal tersebut berdasarkan berapa
besarnya kebutuhan pokok yang harus dicukupi warga masyarakat, karena kebutuhan
tersebut tentunya berbeda antar provinsi.

4. Adanya Waktu Tertentu


Suatu hubungan kerja tentunya dibatasi oleh waktu yang dimana waktu ini
berguna untuk menentukan kapan berakhirnya pekerjaan tersebut sekaligus peranjian
yang dibuat, kecuali adanya perpanjangan kontrak yang disepakati oleh kedua pihak.
Tidak mungkin sekali jika hubungan tersebut dilakukan terus menerus tanpa adanya
dibatasi dalam waktu tertent. unsur waktu merupakan unsur yang juga tidak kalah penting
dari unsur yang lainnya, tidak mungkin hubungan kerja dilakukan tanpa adanya unsur ini
dan juga unsur ini menyangkut kepastian hukum dari suatu hubungan kerja. Di dalam
unsur ini mengatur pembatasan waktu kerja agar tidak adanya lagi sistem seperti
perbudakan yang memaksa, jadi waktu kerja juga diatur oleh pengusaha tersebut sebagai
bagian dari kesepakatan awal, dan juga pekerja berhak mendapatkan cuti atau waktu
istirahat. Dan juga didalam suatu pekerjaan ada yang dinamakan sebagai Standar
Operational Procedure atau SOP yang dimana pekerja pun tidak boleh seenaknya dengan
waktu kerjanya, misalnya jika telah disepakati jam masuk kerja, maka itu merupakan
kewajiban bagi pekerja untuk datang sesuai jam kerja yang ditentukan dan itu juga
berlaku pada jam pulang kerja. Bahkan ketika lembur, maka pekerja melakukan
kesepakatan lagi dengan pengusaha tentang berapa lama waktu kerja tersebut dan berapa
upah tambahan yang akan diterima oleh pekerja.

Hak dan kewajiban


Didalam hubungan kerja sudah pasti memuat hak dan kewajiban untuk pekerja
maupun pemberi kerja, karena hubungan kerja merupakan peristiwa yang menimbulkan
akibat hukum yaitu hak dan kewajiban kedua pihak. Yang dimana di dalam UU
ketenagakerjaan sudah diatur mengenai hak dan kewajiban, karena hal ini berfungsi
sebagai batasan hal-hal yang bisa dilakukan dan apa yang tidak bisa dilakukan oleh
masing-masing pihak juga melindungi status dari para pekerja dan juga pengusaha
tersebut.4

Pemutusan Hubungan Kerja


Pemutusan hubungan kerja (PHK) adalah tindakan yang dilakukan oleh pengusaha untuk
mengakhiri hubungan kerja dengan seorang pekerja. PHK dapat dilakukan atas berbagai
alasan, seperti restrukturisasi perusahaan, pengurangan tenaga kerja, kinerja buruk, atau
pelanggaran terhadap peraturan perusahaan. Pemutusan hubungan kerja merupakan hal
yang serius dan harus dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku untuk
melindungi hak-hak pekerja.

Di Indonesia, PHK diatur secara rinci dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan dan peraturan pelaksanaannya. Beberapa poin penting terkait
PHK adalah sebagai berikut:

4
Hadi, S. (2021). Hubungan Perburuhan dan Hukum Perburuhan. TSAQOFAH, 1(1), 26-51.
● Alasan yang Sah
Pengusaha hanya dapat melakukan PHK atas alasan-alasan yang diatur dalam
undang-undang, seperti adanya alasan ekonomi, teknis, atau organisasi.
Alasan-alasan tersebut harus jelas dan sah menurut hukum.

● Prosedur yang Ditetapkan


Pengusaha wajib mengikuti prosedur yang telah ditetapkan dalam undang-undang
dan peraturan perusahaan terkait dengan PHK. Ini termasuk memberikan
pemberitahuan tertulis kepada pekerja, berkonsultasi dengan serikat pekerja jika
ada, serta memberikan hak-hak sesuai dengan ketentuan hukum.

● Hak-hak Pekerja
Pekerja yang mengalami PHK memiliki hak-hak tertentu, seperti hak atas
pesangon, hak atas uang penggantian hak, dan hak-hak lainnya sesuai dengan
peraturan perundang-undangan dan perjanjian kerja yang berlaku.

● Perlindungan Terhadap Diskriminasi


PHK tidak boleh dilakukan secara diskriminatif berdasarkan jenis kelamin,
agama, ras, atau faktor diskriminasi lainnya. Pengusaha harus memastikan bahwa
keputusan PHK didasarkan pada alasan yang objektif dan sesuai dengan ketentuan
hukum yang berlaku.

● Penyelesaian Sengketa
Apabila terjadi perselisihan terkait dengan PHK, baik antara pengusaha dan
pekerja maupun antara serikat pekerja dan pengusaha, sengketa tersebut dapat
diselesaikan melalui mekanisme penyelesaian sengketa yang diatur dalam
undang-undang, seperti mediasi, konsiliasi, atau melalui proses persidangan di
Pengadilan Hubungan Industrial.
II. Pengertian dan Jenis-Jenis Perjanjian Kerja
Perjanjian Kerja adalah sebuah kesepakatan tertulis ataupun lisan antara pemberi
kerja dan pekerja/buruh yang memuat syarat-syarat kerja, hak, dan kewajiban para pihak.
Perjanjian ini menjadi dasar hubungan kerja dan mengatur berbagai aspek seperti; Jenis
pekerjaan, Upah, tunjangan, Jam kerja, Cuti, Pemutusan hubungan kerja (PHK).5

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan,


terdapat dua jenis perjanjian kerja yaitu; Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) dan
Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT)6.

Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) adalah perjanjian kerja yang dibuat
untuk menyelesaikan pekerjaan tertentu atau untuk waktu tertentu. PKWT biasanya
digunakan untuk pekerjaan musiman, proyek, atau pekerjaan yang sifatnya
sementara.PKWT harus dibuat secara tertulis. PKWT harus didaftarkan ke Dinas
Ketenagakerjaan. PKWT memiliki masa percobaan paling lama 3 bulan. PKWT dapat
diputus sebelum waktunya dengan alasan tertentu, seperti perusahaan tutup,
pekerja/buruh melakukan pelanggaran berat, dll.

Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT). PKWTT adalah perjanjian


kerja yang tidak memiliki jangka waktu tertentu dan berlaku sampai dengan adanya
pemutusan hubungan kerja (PHK).PKWTT Tidak ada batasan waktu. Memberikan
jaminan pekerjaan yang lebih stabil bagi pekerja/buruh. PKWTT dapat dibuat secara
tertulis atau lisan, PKWTT tidak perlu didaftarkan ke Dinas Ketenagakerjaan, PKWTT
dapat diputus dengan alasan yang sah, seperti pensiun, mengundurkan diri, atau PHK.7

5
Dr. Rahayu Saraswati, S.H., M.Hum. "Analisis Yuridis Perjanjian Kerja Waktu Tertentu dalam Perspektif
Asas Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Hukum bagi Pekerja/Buruh" Jurnal Ilmiah Hukum Lex
Administratum, Vol. 8, No. 1, (2018)
6
Prof. Dr. Sutrisno, S.H., M.Hum. "Hukum Perburuhan Indonesia (Penerbit Kencana, 2020)
7
Dr. Hj. Sri Rejeki, S.H., M.Hum. "Perlindungan Hukum Bagi Pekerja/Buruh dalam Perjanjian Kerja Waktu
Tertentu. (Jurnal Hukum Universitas Brawijaya, Vol. 13, No. 2, (2013)
Selain PKWT dan PKWTT, terdapat jenis perjanjian kerja lain yang masih satu
lingkup dengan PKWT dan PKWTT, seperti; Perjanjian Kerja Paruh Waktu, Perjanjian
Kerja Borongan.

Perjanjian Kerja Paruh Waktu adalah perjanjian kerja antara pengusaha dan
pekerja/buruh dengan jam kerja yang kurang dari 7 jam per hari atau 35 jam per minggu.
Perjanjian ini diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 tentang
Pengupahan. Perjanjian Kerja Paruh Waktu Jam kerja lebih singkat dibandingkan pekerja
penuh waktu, Memberikan fleksibilitas waktu bagi pekerja .Cocok untuk pekerja yang
ingin menyeimbangkan pekerjaan dengan tanggung jawab lain, seperti pendidikan atau
keluarga. Ketentuan Perjanjian Kerja Paruh Waktu Perjanjian kerja harus dibuat secara
tertulis.Perjanjian kerja harus memuat hak dan kewajiban para pihak, termasuk upah, jam
kerja, dan istirahat. Upah pekerja paruh waktu dihitung berdasarkan jam kerja. Pekerja
paruh waktu berhak atas cuti dan hak lainnya yang proporsional dengan jam kerja.

Perjanjian Kerja Borongan adalah perjanjian antara pengusaha dan pekerja/buruh,


di mana pekerja/buruh menerima pembayaran berdasarkan hasil pekerjaan yang telah
diselesaikan. Perjanjian ini diatur dalam Pasal 1601b Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata (KUHPerdata) Karakteristik Perjanjian Kerja Borongan Pembayaran berdasarkan
hasil. Pekerja/buruh menerima upah berdasarkan hasil pekerjaan yang telah diselesaikan,
bukan berdasarkan jam kerja. Keterampilan khusus kerja/buruh biasanya memiliki
keterampilan khusus untuk menyelesaikan pekerjaan yang diborongkan. Pekerja/buruh
memiliki otonomi dalam menyelesaikan pekerjaan, termasuk mengatur waktu dan cara
kerjanya.

III. Hukum Perdata yang Mengatur Perjanjian Kerja


Perjanjian sendiri beberapa kali disebutkan di dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata, sebagai akademika ilmu hukum, pastinya kita sudah sangat mengenal
pasal 1313 KUHPerdata yang menjelaskan pengertian mengenai apa itu perjanjian, di
dalam pasal tersebut disebutkan bahwasanya perjanjian merupakan perbuatan
mengikatkan diri di antara dua orang atau lebih. Perlu untuk diketahui perjanjian
merupakan hal yang krusial dan dihormati dalam KUHPerdata, pasal 1338 ayat (1)
bahkan menegaskan jikalau semua perjanjian yang sah akan dianggap berlaku sebagai
undang-undang bagi pihak pihak yang terlibat di dalam pembuatan perjanjian tersebut.
Perjanjian Kerja sendiri sebenarnya tercantum pada pasal 1601 a KUHPerdata,
pasal ini dengan jelas mendefinisikan perjanjian kerja sebagai suatu perjanjian dimana
pihak yang satu (dalam hal ini si buruh/pekerja) mengikatkan dirinya untuk ada di bawah
perintah pihak yang lain (pihak lain yakni majikan/pemberi kerja), untuk sesuatu waktu
tertentu, melakukan pekerjaan dengan menerima upah/gaji. Pengertian yang terdapat
pada pasal ini sebenarnya masih menggunakan bahasa-bahasa yang erat dengan Hukum
Perburuhan, dikarenakan masih menggunakan frasa buruh dan majikan, meski saat ini
perburuhan lebih dikenal dengan ketenagakerjaan, namun definisi yang diberikan oleh
pasal ini sudah cukup menjelaskan apa yang terjadi didalam suatu perjanjian kerja, yakni
terdapat perikatan, jangka waktu, dan upah/gaji. Dalam Pasal tersebut juga terdapat 3 hal
pokok, yakni:
a. Adanya pekerjaan yang dipekerjakan kepada si buruh/pekerja
b. Adanya upah/gaji yang diberikan langsung oleh majikan/pemberi kerja
c. Adanya ketidaksetaraan posisi buruh dan majikan, yang mana si buruh
berada pada posisi tidak seimbang (dibawah perintah si majikan).
Mengulas dari penjelasan mengenai perjanjian kerja yang diterangkan oleh pasal
1601 a tersebut, perjanjian kerja memiliki ciri khas yang membedakannya dengan
perjanjian biasa, frasa “di bawah perintah” seeakan menunjukkan bahwa hubungan antara
pekerja dan pengusaha/pemberi kerja pada perjanjian tersebut adalah suatu hubungan
bawah dan atasan (subordinasi).
Hal ini seperti secara tidak langsung mengatakan bahwa si majikan atau pihak
pemberi kerja memiliki kedudukan yang lebih tinggi secara sosial dan ekonomi, dan ia
lah yang memberi perintah kepada si buruh atau pekerja yang tingkat sosial dan
ekonominya lebih rendah. Hal ini membuat ketidaksamaan kedudukan diantara keduanya
terpampang secara jelas dan tidak seimbang.8 Meski demikian, perjanjian kerja tidak jauh
berbeda dengan perjanjian pada umumnya, perjanjian kerja tetaplah harus menghormati

8
Apri Amalia, Budiman Ginting, Agusmidah, dan Yefrizawati. “Analisis Yuridis Perjanjian Kerja Waktu Tertentu
berdasarkan Undang-Undang Ketenagakerjaan dan Hukum Perjanjian”. USU Law Journal, Vol.5.No.1 (2017)
dan memenuhi syarat-syarat perjanjian yang tercantum pada pasal 1320 KUHPerdata
yang mengatur mengenai 4 syarat sah terjadinya perjanjian, yakni :
a. Sepakat
b. Cakap
c. Hal Tertentu
d. Sebab yang Halal
Di samping itu, KUHPerdata nyata membedakan perjanjian kerja dengan kontrak (pemborongan)
kerja, Pasal 1601 b KUHPerdata menerangkan bahwasanya perjanjian pemborongan kerja atau
kontrak kerja dianggap sebagai suatu bentuk persetujuan dari pihak pertama (dalam hal ini si
buruh/pekerja), untuk mengikatkan dirinya agar dapat menyelesaikan suatu pekerjaan bagi pihak
lainnya (dalam hal ini si majikan/pemberi kerja), dengan harga yang telah ditentukan.
(upah/gaji)”. Dengan ini tampak jelas KUHPerdata membedakan perjanjian kerja dengan kontrak
kerja. Kontrak kerja didefinisikan dengan lebih rinci dan memiliki jangka waktu tertentu,
sementara perjanjian kerja tidak menjelaskan secara jelas pekerjaan apa yang dilakukan dan bisa
jadi dimaksudkan untuk jangka waktu tidak terbatas.9 Kemudian, baik perjanjian kerja maupun
kontrak kerja, Asas Pacta Sunt Servanda (Kekuatan Mengikat) tetap memiliki peranan penting.
Asas ini berperan sebagai aturan bahwa persetujuan yang dibuat oleh orang-perseorangan
berlaku secara timbal balik, pada hakekatnya ini bermaksud agar perjanjian tersebut dipenuhi
oleh kedua belah pihak atau pihak pihak yang terkait, dan jika diperlukan maka dapat dipaksakan
secara hukum mengikat.10
Selain perjanjian kerja secara keseluruhan, KUHPerdata juga mengatur mengenai
ketentuan tambahan yang berkaitan dengan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu tepatnya tercantum
pada Pasal 1603, terdapat 4 (empat) ketentuan tambahan, diantaranya :
1. Pasal 1603g KUHPerdata
Hubungan kerja berakhir demi hukum, jika di dalam perjanjian tidak menentukan waktu
kapan perjanjian itu berakhir maka KUHPerdata secara tegas menetapkan bahwa
hubungan kerja itu dianggap diadakan untuk waktu tidak tentu.
2. Pasal 1603e KUHPerdata

9
Guus Heerma van Voss dan Sura Tjanra. Bab-bab tentang hukum perburuhan Indonesia (Bali : 2012)
10
Apri Amalia, Budiman Ginting, Agusmidah, dan Yefrizawati. Op Cit.
Berkenaan dengan kapan pemberitahuan perihal pemutusan hubungan kerja.
Pemberitahuan tentang pemutusan hubungan hanya akan disyaratkan dalam hal-hal
berikut :
a. jika hal itu dijanjikan dalam surat perjanjian kerja
b. jika menurut hubungan kerja ditetapkan sebelumnya, diharuskan adanya
pemberitahuan tentang pemutusan itu dari kedua belah pihak, dalam hal yang
diperbolehkan, tidak mengadakan penyimpangan dengan perjanjian tertulis.
3. Pasal 1603f KUHPerdata
Jika hubungan kerja, setelah waktunya habis namun tetap dilanjutkan (pekerjaannya) oleh
kedua belah pihak tanpa bantahan, maka hubungan kerja itu dianggap diadakan lagi
untuk waktu yang sama. Dalam hal hubungan kerja yang diperpanjang itu akan
berlangsung untuk waktu kurang dari enam bulan maka hubungan kerja tersebut
dianggap diadakan untuk waktu tidak tentu, hanya dengan syarat-syarat yang sama. Hal
ini biasanya terjadi pada buruh yang masih terus melanjutkan pekerjaan padahal jangka
waktu berakhir dan belum ada kesepakatan baru dibuat berkenaan dengan dilanjutkannya
pekerjaan tersebut.
4. Pasal 1603i KUHPerdata
Kontrak waktu tertentu yang dibuat berkelanjutan (consecutive fixedterm contracts).
Suatu perjanjian kerja baru yang dibuat oleh buruh dalam waktu empat minggu setelah
berakhirnya hubungan kerja sebelumnya, tidak peduli apakah hubungan kerja yang lalu
itu diadakan untuk waktu tertentu atau waktu tidak tentu, dengan majikan yang sama dan
untuk waktu tertentu yang kurang dari enam bulan, dipandang diadakan untuk waktu
tidak tentu.
IV. Pengertian Peraturan Perusahaan
Perusahaan menjadi tempat “ladang” bagi para pekerja untuk mengais rejeki.
Perusahaan ada karena untuk mewujudkan tujuan didirikannya sebuah perusahaan.
Dalam menjalankan sebuah perusahaan tentunya terdapat visi misi yang dipegang teguh
dalam perusahaan. Seperti halnya negara Indonesia, negara Indonesia yang memegang
teguh cita-cita dan harapan bangsa memerlukan sebuah “alat” dalam menggapai cita-cita
tersebut. Alat yang dimaksud adalah sebuah aturan atau hukum yang berlaku dalam
menjaga kelancaran sebuah tujuan. Oleh karenanya sebuah perusahaan memerlukan
sebuah aturan dalam perusahaan yang tentunya dibuat oleh pengusaha terkait serta
berisikan syarat-syarat kerja dan tata tertib perusahaan, dimana peraturan ini disebut
peraturan perusahaan11.
Kelayakan dan kepastian hukum dalam menerbitkan sebuah peraturan perusahaan
sudah terpampang jelas dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang
memuat arti hukum bagi peraturan perusahaan. Tentunya berhubungan dengan yang
sebelumnya bahwa peraturan perusahaan juga memuat terkait hak dan kewajiban dari
para pekerja yang bekerja dalam perusahaan tersebut beserta syarat kerja hingga tata
tertib yang wajib ditaati organ-organ dalam suatu perusahaan12. Selain daripada
pengertian dari peraturan perusahaan ini, terdapat juga pada pasal 108 yang mewajibkan
bagi pengusaha yang mendirikan perusahaan dan memiliki pekerja untuk wajib membuat
peraturan perusahaan agar berlaku dalam perusahaan yang dia bina13.
Dalam halnya sebuah peraturan, tentunya memiliki kedudukan dalam
pelaksanaanya, dalam hal ini dalam perusahaan, sudah mengenal terkait perjanjian kerja
dan peraturan perusahaan. Dalam kedua peraturan tersebut sudah selayaknya berjalan
bersamaan tanpa adanya ketersinggungan isi yang dimuat, namun terkadang kenyataan
dalam pelaksanaan sebuah perusahaan terdapat beberapa kendala. Kendala yang
dimaksud adalah apabila suatu saat terjadi ketidaksinkronan antara peraturan perusahaan
dan perjanjian kerja maka peraturan kerja akan lebih diutamakan14. Kenyataan yang perlu
disadari lagi adalah sesuai peraturan yang sudah ditetapkan oleh pemerintah dan acuan
hukum di Indonesia bahwa peraturan perusahaan disusun dan dibuat oleh pengusaha atau
majikan dalam perusahaan tersebut. Sedangkan perjanjian kerja menjadi kewajiban antara
pekerja dan pengusaha dalam menyusun namun dalam kenyataannya perjanjian kerja
sudah dipersiapkan terlebih dahulu oleh pengusaha dan waktu persetujuan hanya melihat
sedikit kembali kedalam isi perjanjian kerja15.
Dalam pembuatan sebuah peraturan perusahaan memang sudah kewajiban
daripada pengusaha, namun dalam menerbitkan peraturan perusahaan wajib hanya boleh

11
Abdullah Sulaiman, Hukum Perburuhan-I, (Jakarta:Universitas Islam Jakarta:2004)
12
Prof.Dr.Abdullah Sulaiman,SH.,MH., Hukum Ketenagakerjaan/Perburuhan (Jakarta:Yayasan
Pendidikan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia:2019)
13
Muhammad Azhar,SH.,LL.M.,Buku Ajar: Hukum Ketenagakerjaan(Semarang:2015)
14
Prof.Dr.Abdullah Sulaiman.Op Cit. hlm.128
15
ibid.
diterbitkan oleh menteri dan pejabat terkait dan berkewajiban16. Peraturan perusahaan
sudah kewajiban oleh pengusaha dalam membuat peraturan perusahaan, dengan minimal
pekerja yang bekerja dalam perusahaan tersebut adalah 10 orang17. Tentunya pengusaha
yang merupakan penyusun dan pembuat dari peraturan perusahaan tersebut menjadi
penanggung jawab dalam peraturan perusahaan tersebut, namun dalam penyusunannya
tidak serta merta hanya pengusaha yang menyusun namun juga mendapatkan masukan
yang perlu dipertimbangkan dari wakil pekerja buruh di perusahaan tersebut18.
Seperti yang dikatakan sebelumnya bahwa peraturan perusahaan wajib diterbitkan
oleh kementerian atau pejabat terkait, dalam pengajuannya, pengesahan dapat dilakukan
maksimal setelah 30 hari kementerian atau pejabat terkait menerima pengajuan rancangan
peraturan perusahaan. Namun apabila ada kesalahan dalam rancangan peraturan
perusahaan yang diajukan maka kementerian atau pejabat terkait wajib memberitahukan
kepada perusahaan secepatnya secara tertulis, serta pengusaha wajib menjawab kesalahan
tersebut maksimal 14 hari setelah menerima koreksi rancangan. Kesalahan umum yang
terjadi dalam rancangan peraturan perusahaan adalah syarat yang belum terpenuhi
ataupun ada hal yang melanggar peraturan perundang-undangan Indonesia. Namun
apabila setelah pengajuan dan sudah diterima oleh kementerian atau pejabat terkait
selama jangka waktu 30 hari tidak ada respon, maka sudah dapat dinyatakan peraturan
perusahaan dianggap sah. Hal-hal tersebut terkandung dalam Pasal 108 ayat (1) dan Pasal
111 ayat (1) dan ayat (2) UU Ketenagakerjaan19.
Apabila terdapat pengajuan perubahan pada isi peraturan perusahaan, maka
pengusaha wajib mengajukan perubahan pada kementerian atau pejabat terkait dan
menunggu jawaban. Setelah adanya jawaban maka perubahan yang sudah disetujui, wajib
pengusaha undangkan pada para pekerja.Dalam pelaksanaan durasi penyelenggaraan
peraturan perusahaan adalah dua tahun, setelah jangka waktu itu maka pengusaha wajib
memperbarui peraturan perusahaan untuk diperlakukan dalam waktu berikutnya20.
Dalam halnya peraturan perusahaan mengatur akan sistem kerja maupun sistem
sosial yang berlaku dalam perusahaan. Terdapat kewajiban, hak, hingga tata tertib yang

16
Prof.Dr.Abdullah Sulaiman.Op Cit. hlm.142
17
ibid.
18
ibid.
19
ibid.
20
Muhammad Azhar. Loc Cit.
wajib ditaati oleh setiap bagian perusahaan. Maka dari itu perlu dipahami juga isi yang
wajib ada dalam sebuah peraturan perusahaan, antaralain21:
1. Hak dan Kewajiban Pengusaha.
2. Hak dan Kewajiban Pekerja atau Buruh.
3. Syarat Kerja.
4. Tata Tertib.
5. Jangka Waktu berlaku Peraturan Perusahaan.
Peraturan perusahaan diharapkan menjadi salah satu pionir dalam menjalankan
perusahaan. Peraturan perusahaan merupakan bentuk kesepakatan yang adil antara
pengusaha dan pekerja yang terwujud nyata dan disahkan pemerintah. Dalam
kenyataannya seperti pada peraturan yang lainnya, peraturan perusahaan yang
berkedudukan dalam perusahaan menjadi tiang tertinggi dalam pelaksanaan perusahaan
sehingga peraturan perusahaan tidak boleh lebih rendah dari ketentuan dalam perjanjian
kerja bersama22.

V. Kesimpulan
Maka dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan suatu perusahaan memiliki dasar
hukum yang nyata. Perusahaan wajib memperhatikan peraturan-peraturan yang berlaku
baik peraturan negara maupun peraturan dalam perusahaan yang sedang berlangsung.
Peraturan dan perjanjian yang mengikat antara pengusaha dan pekerja wajib bersifat legal
dan ditaati oleh kedua belah pihak. Pelaksanaan dalam pengikatan kedua pihak tersebut
wajib mengutamakan poin keadilan sehingga kedua pihak mendapatkan bagian proporsi
yang sama. Dasar-dasar hukum yang diberlakukan wajib juga bersifat terang atau
transparan yang mengartikan apabila hal tersebut merupakan peraturan perusahaan maka
dari setiap sisi baik pengusaha atau seluruh pekerja wajib mengetahui isi dari peraturan
perusahaan tersebut. Serta dalam ranah private yaitu perjanjian hubungan kerja wajib
diketahui dengan jelas oleh pengusaha dan pekerja terkait tanpa ada unsur paksaan.
Perjanjian sendiri beberapa kali disebutkan di dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata, pasal 1313 KUHPerdata yang menjelaskan pengertian mengenai apa itu

21
Prof.Dr.Abdullah Sulaiman.Op Cit. hlm.143
22
Prof.Dr.Abdullah Sulaiman.Op Cit. hlm.147
perjanjian, ,menyebutkan bahwasanya perjanjian merupakan perbuatan mengikatkan diri
di antara dua orang atau lebih. Perlu untuk diketahui perjanjian merupakan hal yang
krusial dan dihormati dalam KUHPerdata. Perjanjian Kerja sendiri sebenarnya tercantum
pada pasal 1601 a KUHPerdata, pasal ini dengan jelas mendefinisikan perjanjian kerja
sebagai suatu perjanjian dimana pihak yang satu (dalam hal ini si buruh/pekerja)
mengikatkan dirinya untuk ada di bawah perintah pihak yang lain (pihak lain yakni
majikan/pemberi kerja), untuk sesuatu waktu tertentu, melakukan pekerjaan dengan
menerima upah/gaji.
Namun di Indonesia saat ini, hubungan kerja diatur secara rinci dalam
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan juga peraturan
yang terbaru adalah UU No. 11 tahun 2020 tentang cipta kerja. Bahwa hubungan kerja
adalah hubungan antara pengusaha dengan buruh berdasarkan perjanjian kerja, yang
mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah. Yang dimana menghasilkan perjanjian
kerja.

DAFTAR PUSTAKA
Abdullah Sulaiman, Hukum Perburuhan-I, (Jakarta:Universitas Islam Jakarta:2004)
Anggraini, L. (2022). Perlindungan Hukum Hak-hak Pekerjaan dalam Hubungan
Ketenagakerjaan di Indonesia. Jurnal Pusdansi, 1(12).
Apri Amalia, Budiman Ginting, Agusmidah, dan Yefrizawati. “Analisis Yuridis Perjanjian Kerja
Waktu Tertentu berdasarkan Undang-Undang Ketenagakerjaan dan Hukum Perjanjian”.
USU Law Journal, Vol.5.No.1 (2017)
Asyhadie, H. Z., Sh, M., & Rahmawati Kusuma, S. H. (2019). Hukum ketenagakerjaan dalam
teori dan praktik di Indonesia. Prenada Media.
Dr. Rahayu Saraswati, S.H., M.Hum. "Analisis Yuridis Perjanjian Kerja Waktu Tertentu dalam
Perspektif Asas Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Hukum bagi Pekerja/Buruh"
Jurnal Ilmiah Hukum Lex Administratum, Vol. 8, No. 1, (2018)
Guus Heerma van Voss dan Sura Tjandra. Bab-bab tentang hukum perburuhan Indonesia (Bali :
2012)
Hadi, S. (2021). Hubungan Perburuhan dan Hukum Perburuhan. TSAQOFAH, 1(1), 26-51
Harahap, A. M. (2020). Pengantar Hukum Ketenagakerjaan.
Hassan, K. H. (2019). HUBUNGAN PEKERJAAN DI INDONESIA: PERSPEKTIF
SEJARAH-PERUNDANGAN. Jebat: Malaysian Journal of History, Politics & Strategy,
46(2).
Muhammad Azhar,SH.,LL.M.,Buku Ajar: Hukum Ketenagakerjaan(Semarang:2015)
Permana, D. Y. (2022). Implementasi Perlindungan Hukum Terhadap Pekerja di Indonesia dalam
Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) dan Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu
(PKWTT) Menurut Undang-Undang No. 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja. Jurnal
Indonesia Sosial Sains, 3(05), 902-915.
Prof. Dr. Sutrisno, S.H., M.Hum. "Hukum Perburuhan Indonesia (Penerbit Kencana, 2020)
Prof.Dr.Abdullah Sulaiman,SH.,MH., Hukum Ketenagakerjaan/Perburuhan (Jakarta:Yayasan
Pendidikan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia:2019)
Sulaiman, A., & Walli, A. (2019). Hukum ketenagakerjaan/perburuhan.
Telaumbanua, D. (2019). Hukum Ketenagakerjaan. Deepublish.

Anda mungkin juga menyukai