Anda di halaman 1dari 5

 Hubungan kerja, Tjepi F.

Aloewir, mengemukakan bahwa pengertian hubungan kerja adalah hubungan yang terjalin
antara pengusaha dan pekerja yang timbul dari perjanjian yang diadakan untuk jangka waktu tertentu maupun tidak
tertentu.
 Dalam Pasal 1 angka 15 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan disebutkan bahwa hubungan
kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur
pekerjaan, upah dan perintah.
 Unsur Hubungan kerja: perintah (Pasal 35 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan
disebutkan bahwa (1) pemberi kerja memerlukan tenaga kerja dapat merekrut sendiri tenaga kerja yang dibutuhkan
atau melalui pelaksanaan penempatan tenaga kerja; (2) pelaksanaan penempatan tenaga kerja sebagaimanan yang
dimaksud dalam ayat (1) wajib memberikan perlindungan sejak rekrutmen sampai penempatan tenaga kerja; (3)
pemberi kerja sebagai mana yang dimaksud pada ayat (2) dalam memperkerjakan tenaga kerja wajib memberikan
perlindungan dan mencakup kesejahteraan, keselamatan dan kesehatan baik mental maupun fisik tenaga kerja.),
pekerjaan (Pasal 1603 a KUHPerdata yang berbunyi Buruh wajib melakukan sendiri pekerjaannya; hanyalah dengan
izin majikan ia dapat menyuruh seseorang ketiga menggantikannya.), adanya upah (Pasal 94 Undang-Undang Nomor
13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan menyebutkan bahwa komponen upah terdiri dari upah pokok dan tunjangan
tetap, maka besarnya upah pokok sedikit- dikitnya 75% (tujuh puluh lima perseratus) dari jumlah pokok dan tunjangan
tetap), tunjangan tetap (tunjangan jabatan, tunjangan keluarga, tunjangan keahlian/profesi dan lain-lain), tunjangan
tidak tetap (tunjangan transportasi, tunjangan makan, biaya operasional dan lain-lain.)
 Perjanjian kerja diatur dalam Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya disebut KUHPerdata)
yang berbunyi Perjanjian adalah perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang
lain atau lebih. Dalam pengertian perjanjian menurut konsepsi Pasal 1313 KUHPerdata, hanya menyebutkan tentang
pihak yang atau lebih mengikatkan dirinya pada pihak lainnya, dan sama sekali tidak menentukan untuk tujuan apa
suatu perjanjian tersebut dibuat.
 Menurut Subekti, perjanjian kerja adalah perjanjian antara seorang “buruh” dengan seorang “majikan”, perjanjian
mana ditandai oleh ciri-ciri; adanya suatu upah atau gaji tertentu yang diperjanjian dan adanya suatu hubungan di
peratas (bahasa Belanda “dierstverhanding”) yaitu suatu hubungan berdasarkan mana pihak yang satu (majikan) berhak
memberikan perintah-perintah yang harus di taati oleh pihak yang lain.
 Dalam perjanjian dikenal asas kebebasan berkontrak, yang dimaksud asas tersebut yaitu bahwa setiap orang boleh
membuat perjanjian yang berisi macam apapun asal tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan
ketertiban umum. Pengertian perjanjian kerja pertama disebutkan dalam ketentuan Pasal 1601 a KUHPerdata yang
berbunyi perjanjian kerja ialah suatu perjanjian dimana pihak yang satu si buruh, mengikatkan dirinya untuk di bawah
perintahya pihak yang lain si majikan, untuk suatu waktu tertentu, melakukan pekerjaan dengan menerima upah.
 syarat sahnya perjanjian dalam Pasal 1320 KUHPerdata yang berbunyi : untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan
empat syarat: Sepakat mereka mengikatkan dirinya; Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian; Suatu hal tertentu;
Suatu sebab yang halal.
 Dalam keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor Kep.100/Men/VI/2004 tentang Ketentuan
Pelaksanaan Perjanjian Kerja Tertentu disebutkan bahwa PKWT adalah perjanjian kerja antara pekerja/buruh dengan
pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja dalam waktu tertentu atau untuk pekerja tertentu. Sedangkan PKWTT
adalah perjanjian kerja antara pekerja/buruh dengan pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja yang bersifat tetap.
 PKWT sendiri adalah Perjanjian Kerja Waktu Tertentu atau yang dikenal dengan pegawai kontrak, sedangkan PKWTT
adalah Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu atau dikenal juga dengan pegawai tetap.
 Mengenai jangka waktu PKWT juga diatur dengan tegas termasuk persoalan syarat perpanjangan dan pembaharuan
PKWT dan sanksi apa yang dapat dijatuhkan pada pengusaha apabila melanggar ketentuan. Seorang pekerja yang
dipekerjakan dalam PKWT tidak boleh terikat dengan perjanjian kerja selam lebih dari 3 (tiga) tahun, namun masih
terdapat celah bagi pengusaha untuk dapat lebih lama lagi mengikat pekerja dengan sistem PKWT, yaitu dengan
melakukan perpanjangan dan pembaharuan PKWT.
 Untuk pembuatan perjanjian atau kesepakatan kerja tertentu terdaoat persyaratan yang harus dipenuhi yang terdiri dari
dua macam syarat, yaitu syarat formil dan syarat materil. Syarat materil diatur Undang-Undang Nomor. 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan. Syarat- syarat materil yang harus dipenuhi adalah sebagai berikut: Kesepakatan dan kemauan
bebas dari kedua belah pihak; Adanya kemampuan dan kecakapan pihak-pihak untuk membuat kesepakatan; Adanya
pekerjaan yang dijanjikan; Pekerjaan yang dijanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan dan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
 Adapun syarat-syarat formal yang harus dipenuhi oleh suatu kesepakatan kerja tertentu adalah sebagai berikut:
Kesepakatan kerja dibuat rangkap 3 (tiga), masing-masing digunakan untuk pekerja, pengusaha dan kantor departeman
tenaga kerja setempat yang masing-masing memiliki kekuatan hukum yang sama; Kesepakatan kerja harus didaftarkan
pada kantor Departemen Tenaga Kerja setempat, selambat-lambatnya dalam waktu 14 (empat belas) hari sejak
ditandatangani kesepakatan kerja tertentu; Biaya yang timbul akibat pembuatan kesepakatan kerja tertentu semuanya
ditanggung oleh pengusaha; Kesepakatan kerja tertentu harus memuat identitas serta hak dan kewajiban para pihak.
 Padal 59 ayat (1) Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menyebutkan bahwa PKWT hanya
dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam
waktu tertentu, yaitu: Pekerjaan yang sekali selesai atau sementara sifatnya; Pekerjaan yang diperkirakan
penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama dan paling lama 3 (tiga) tahun; Pekerjaan yang sifatnya
musiman; atau Pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru atau produk tambahan yang masih
dalam percobaan atau penjajakan.
 Mengenai jangka waktu PKWT diatur dalam Pasal 59 ayat (3) Undang- undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang
Ketenagakerjaan. Dalam membuat suatu kesepakatan kerja tertentu batas maksimal waktu yang boleh diperjanjikan
adalah 2 (dua) tahun dan dapat diperpanjang atau diperbaharui untuk satu kali saja karena satu hal tertentu.
Perpanjangan tersebut hanya dapat dilakukan dalam jangka waktu yang sama, dengan catatan jumlah seluruh waktu
dalam kesepakatan kerja tertentu tidak boleh melebihi dari 3 (tiga) tahun. Walaupun demikian karena alasan-alasan
yang mendesak untuk jenis pekerjaan tertentu dengan seizin Menteri Tenaga Kerja ketentuan tersebut dapat
dikesampingkan.
 Dalam Pasal 16 ayat (1 dan 2) Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 5/ MEN/1986 yang berbunyi bahwa :
kesepakatan kerja untuk waktu tertentu berlangsung terus sampai pada waktu yang telah ditentukan dalam kesepakatan
kerja atau pada saat berakhirnya/ selesainya pekerjaan yang telah ditentukan dalam kesepakatan kerja atau pada saat
berakhirnya/selesainya pekerjaan yang telah disepakati dalam kesepakatan kerja, kecuali karena: Kesalahan berat
akibat perbuatan pekerja (mabuk, mencuri, menganiaya pengusaha/keluarga); Kesalahan berat akibat perbuatan
pengusaha (menganiaya, berulang kali tidak membayar upah, tidak memberikan fasilitas); Karena ada alasan-alasan
memaksa,maksudnya adalah bahwa berakhirnya hubungan kerja tersebut karena alasan tidak terduga dan tidak dapat
dipertanggungjawabkan padanya.
 Dalam hal PKWT tidak dipenuhi syaratnya maka PKWT juga dapat beubah menjadi PKWTT. Hal ini diatur dalam
Pasal 15 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor KEP.100/VI/2004 dan dapat terjadi bila: PKWT
yang tidak dibuat dalam Bahasa Indonesia dan huruf latin berubah menjadi PKWTT sejak adanya hubungan kerja;
Dalam hal PKWT dibuat tidak memenuhi ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (2) atau Pasal 5 ayat (2),
maka PKWT berubah menjadi PKWTT sejak adanya hubungan kerja; Dalam hal PKWT dilakukan utnuk pekerjaan
yang berhubungan dengan produk baru menyimpang dari ketentuan Pasal 8 ayat (2) dan ayat (3), maka PKWT berubah
menjadi PKWTT sejak dilakukan penyimpangan; Dalam hal pembaruan PKWT tidak melebihi masa tenggang waktu
30 (tiga puluh) hari setelah berakhirnya perpanjangan PKWT dan tidak diperjanjikan lain sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 maka PKWT berubah menjadi PKWTT sejak tidak terpenuhinya syarat PKWT tersebut; Dalam hal
pengusaha mengakhiri hubungan kerja terhadap buruh dengan hubungan PKWT sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4), maka hak-hak pekerja/buruh dan prosedur penyelesaian dilakukan sesuai ketentuan
peraturan perundang- undangan bagi PKWTT.
 Dalam keputusan menteri ketenagakerjaan RI no. 72 tahun 2019, Hubungan Industrial adalah suatu sistem hubungan
yang terbentuk antara para pelaku dalam proses produksi barang dan/atau jasa yang terdiridari unsur pengusaha,
pekerja/buruh, dan pemerintah yang didasarkan pada nilai-nilai Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Tahun
1945.
 Dalam undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, perselisihan
hubungan industrial adalah perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan
pengusaha dengan pekerja atau serikat pekerja karena adanya perselisihan mengenai hak, kepentingan, dan pemutusan
hubungan kerja. serta perselisihan antar serikat pekerja hanya dalam satu perusahaan.
 Terdapat beberapa jenis perselisihan hubungan industrial, yakni: Perselisihan hak, Perselisihan kepentingan,
Perselisihan pemutusan hubungan kerja, Perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh.
 Dalam keputusan menteri ketenagakerjaan RI no. 72 tahun 2019, Serikat Pekerja/Serikat Buruh adalah organisasi yang
dibentuk dari, oleh, dan untuk pekerja/buruh baik di perusahaan maupun di luar perusahaan, yang bersifat bebas,
terbuka, mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab guna memperjuangkan, membela serta melindungi hak dan
kepentingan pekerja/buruh serta meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya.
 Organisaasi Pengusaha: Sama halnya dengan pekerja, para pengusaha juga mempunyai hak dan kebebasan untuk
membentuk atau menjadi anggota organisasi atau asosiasi pengusaha. Asosiasi pengusaha sebagai organisasi atau
perhimpunan wakil pimpinan perusahaan-perusahaan merupakan mitra kerja serikat pekerja dan Pemerintah dalam
penanganan masalah-masalah ketenagakerjaan dan hubungan industrial. Asosiasi pengusaha dapat dibentuk menurut
sektor industri atau jenis usaha, mulai dari tingkat lokal sampai ke tingkat kabupaten, propinsi hingga tingkat pusat
atau tingkat nasional.
 Peraturan perusahaan : peraturan yang dibuat secara tertulis oleh pengusaha yang memuat syarat-syarat kerja dan tata
tertib perusahaan. Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) orang wajib
membuat peraturan perusahaan yang mulai berlaku setelah disahkan oleh Menteri atau Pejabat yang ditunjuk.
 Perjanjian kerja bersama : perjanjian yang merupakan hasil perundingan antara serikat pekerja/serikat buruh atau
beberapa serikat pekerja/serikat buruh yang tercatat pada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan
dengan pengusaha, atau beberapa pengusaha atau perkumpulan pengusaha yang memuat syarat-syarat kerja, hak dan
kewajiban kedua belah pihak.
ANALISIS KASUS
Saya salah seorang karyawan perusahaan yang di-PHK karena efisiensi per 1 Maret 2019 dengan janji pembayaran
pesangon dan lain-lain paling lambat Desember 2019. Dalam perkembangannya, sampai saat ini lebih 2 tahun
perusahaan hanya janji-janji saja tanpa realisasi pembayaran. Pertanyaan saya.Selain di mediasi disnaker, bisakah
perusahaan (owner) dipidanakan berdasarkan UU Cipta Kerja?
Untuk menjawab masalah di atas, pendapat hukum advokat Ahmad Zauhari Putra,S.H. Berikut jawaban lengkapnya:
Terimakasih atas pertanyaan yang telah diberikan kepada saya langsung saja saya akan menjawab pertanyaan saudara
penanya selain melakukan di mediasi dDsnaker, bisakah perusahaan (owner) dipidanakan berdasarkan UU Cipta Kerja?
Menurut pendapat saya pemilik dan perusahaan yang tidak membayarkan pesangon saudara penanya sesuai analisis
dan dasar hukum yang ada digolongkan dalam perbuatan dari pemberi kerja atau pemilik perusahaan (owner) yang tidak
membayarkan pesangon merupakan tindakan kejahatan dan ancaman hukumannya paling lama 4 tahun. Adapun alasan
hukum dari jawaban saya ancaman Pidana bagi Pengusaha atau Owner yang tidak membayarkan Pesangon kepada
karyawannya adalah sebagai berikut:
Melihat kasus posisi di atas adapun dasar hukum dan menurut analisis penjawab dalam UU Nomor 11 tahun 2020
tentang Cipta Kerja, aturan terkait pesangon termuat dalam Pasal 156 ayat 1. Pasal tersebut menyatakan bila terjadi
pemutusan hubungan kerja, pengusaha wajib membayar uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja dan uang
penggantian hak yang seharusnya diterima. Dasar hukum bisa dipidananya pemberi kerja atau owner yang anda
tanyakan kita bisa melihatnya di dalam Pasal 185 ayat 1 tersebut dinyatakan bahwa bila pengusaha tidak menjalankan
kewajiban itu, mereka diancam sanksi pidana paling singkat 1 tahun dan paling lama 4 tahun atau denda paling sedikit
Rp100 juta dan paling banyak Rp400 juta . Lebih lanjut di dalam pasal 185 ayat 2 menegaskan kembali tindak pidana
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan tindak pidana kejahatan. Berikut bunyi 185 ayat 1:
"Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2), Pasal 68, Pasal 69 ayat (2), Pasal
80, Pasal 82, Pasal 88A ayat (3), Pasal 88E ayat (2), Pasal 143, Pasal 156 ayat (1), atau Pasal 160 ayat (4) dikenai sanksi
pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling sedikit
Rp100.000.000 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp400.000.000 (empat ratus juta rupiah).
Berikut pasal 185 ayat 2:
"Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan tindak pidana kejahatan".
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan apabila pengusaha atau owner tidak membayarkan pesangon saudara sesuai
analisis dan dasar hukum Penjawab paparkan di atas perbuatan perusahaan atau owner tidak membayarkan pesangon
merupakan tindakan kejahatan dan ancaman hukumannya paling lama 4 tahun.
Posisi Hukum Pidana dalam UU Cipta Kerja:
Dalam praktiknya berdasarkan Pengalaman hukum saya, hukum pidana saat ini menganut asas legalitas Setiap orang
hanya dapat dituntut pidana karena perbuatannya apabila terlebih dulu terdapat rumusan peraturan perundang-undangan
yang menyatakan perbuatan demikian itu sebagai tindak pidana, terlebih dahulu perlu saudara penanya ketahui
dikarenakan dalam Undang - Undang Cipta Kerja masih perlu adanya perbaikan hal ini dikarenakan Putusan Mahkamah
Konstitusi dalam amar putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020
Menyatakan pembentukan UU Nomor 11 Tahun 2021 tentang Cipta Kerja tidak mempunyai ketentuan hukum yang
mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai tidak dilakukan perbaikan dalam waktu 2 tahun sejak putusan ini
diucapkan. Sehingga masih perlu adanya kepastian hukum dalam hal terkait apakah dapat dikategorikan sebagai pidana
ataukah tidak apabila dikaitkan dengan asas legalitas dikarenakan diperlukan waktu 2 Tahun agar Pemerintah dan DPR
memperbaiki agar UU Cipta Kerja menjadi konstitusional. Hal inilah yang menimbulkan ketidakpastian hukum sehingga
saya tidak menyarankan terlebih dahulu untuk melakukan laporan terkait Pidana berdasarkan pertanyaan penanya
terlebih dalam hal pidana tidak akan mengembalikan hak-hak secara keuangan dari penanya.

Upaya Hukum Yang Disarankan:


Lebih lanjut dikarenakan menyangkut hak yang diterima pekerja, saya lebih menyarankan agar penanya
menyelesaikannya secara musyawarah untuk mencapai mufakat dengan melalui forum Bipartit dan/atau Tripartit serta
melalui Pengadilan Penyelesaian Hubungan Industrial (PHI) sebagaimana ditegaskan dalamPasal 3 ayat (1)Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial("UU 2/2004"), yakni melalui
perundingan lewat forum bipatrit.
Jalur bipartit adalah suatu perundingan antara pekerja dengan pengusaha untuk menyelesaikan perselisihan hubungan
industrial.Perundingan ini harus diselesaikan paling lambat 30 hari kerja sejak tanggal dimulainya perundingan. Apabila
perundingan bipartit ini gagal atau pengusaha menolak berunding, maka penanya dapat mencatatkan perselisihannya
kepada Dinas Ketenagakerjaan kabupaten/kota setempat dengan melampirkan bukti bahwa upaya-upaya penyelesaian
melalui perundingan bipartit telah dilakukan,dan kemudian akan dilakukan mediasi hal ini yang biasa disebut dengan
Forum Tripartit. Jika mediasi gagal, penyelesaian perselisihan dapat diajukan ke Pengadilan Hubungan Industrial.

Anda mungkin juga menyukai