Anda di halaman 1dari 10

BAB II

HUBUNGAN KERJA

Hubungan Kerja merupakan hubungan yang terjadi dikarenakan adanya perjanjian antara

buruh/pekerja dengan pengusaha/majikan. Undang-Undang ketenagakerjaan mengupas tentang

perjanjian kerja bertujuan untuk memberikan perlindungan kepada buruh/pekerja yang menerima

dan melakukan pekerjaan berdasarkan suatu perjanjian kerja.

2.1 Perjanjian Kerja

Menurut pasal 50 UU Ketenagakerjaan disebutkan bahwa hubungan kerja terjadi karena

adanya perjanjian kerja antara pengusaha dan pekerja/buruh. Hal ini menunjukkan bahwa suatu

perjanjian kerja merupakan hal yang sangat penting dimana dapat diartikan sebagai suatu

kesepakatan dengan mana buruh/pekerja mengikatkan diri sendiri untuk bekerja di bawah

otoritas/kewenangan majikan dengan menerima pembayaran upah.

Mengingat bahwa hukum perburuhan/ketenagakerjaan diulas agar kita memahami posisi

buruh dan majikan dalam suatu hubungan kerja, karena hubungan kerja pada dasarnya akan

memuat hak dan kewajiban kedua belah pihak. Dimana hak dan kewajiban kedua belah pihak

termuat dalam syarat-syarat kerja. Syarat-syarat kerja yang dimaksud adalah petunjuk yang harus

ditata/diatur oleh pihak buruh maupun majikan dalam suatu hubungan kerja serta dituangkan

dalam sebuah perjanjian kerja.

Dalam ketentuan umum UU Ketenagakerjaan disebutkan bahwa:

3) Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan

dalam bentuk lain.


4) Pemberi kerja adalah orang perseorangan, pengusaha, badan hukum, atau badan-badan

lainnya yang mempekerjakan tenaga kerja dengan membayar upah atau imbalan dalam

bentuk lain.

Dalam ketentuan diatas disebutkan bahwa pekerja menerima upah/imbalan, dan pemberi

kerja membayar upah/imbalan. Yang dapat diartikan bahwa selain upah dalam bentuk uang,

dapat juga diberikan imbalan yang berbentuk selain uang.

Hubungan kerja adalah hubungan perdata yang didasarkan pada kesepakatan antara

pekerja dengan pemberi pekerjaan atau pengusaha. Perjanjian kerja berisikan hak dan kewajiban

masing-masing pihak baik pengusaha maupun pekerja. Ketentuan dasar dari perjanjian kerja

menurut pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Ketenagakerjaan adalah sebagai berikut.

a) kesepakatan kedua belah pihak;

b) kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum;

c) adanya pekerjaan yang diperjanjikan; dan

d) pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban umum,

kesusilaan,

e) dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Dalam pasal 51 ayat (2) dan (3) disebutkan bahwa perjanjian kerja yang dibuat oleh para

pihak yang bertentangan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a dan b

dapat dibatalkan. Serta Perjanjian kerja yang dibuat oleh para pihak yang bertentangan dengan

ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf c dan d batal demi hukum. Pada saat

melakukan perjanjian kerja, biaya yang dikeluarkan akibat dari kegiatan tersebut merupakan

tanggung jawab dari pihak pengusaha.


2.2 Jenis Perjanjian Kerja

Di Indonesia, secara hukum dikenal 2 (dua) macam pekerja, yaitu :

1. Pekerja Kontrak (PKWT)

Merupakan pekerja dengan status bukan pekerja tetap, mengerjakan pekerjaan yang

bersifat sementara atau pekerjaan yang selesai dalam waktu tertentu.

2. Pekerja Tetap atau PKWTT/Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu.

Merupakan pekerja dengan status pekerja tetap, mengerjakan pekerjaan yang bersifat

tetap dan kontinyu, atau pekerjaan yang tidak selesai dalam waktu tertentu.

2.2.1 Pekerja Kontrak (PKWT)

Pekerja dengan perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) harus memiliki/mendapatkan

Surat Perjanjian Kerja yang ditandatangani oleh Pengusaha dan Pekerja yang bersangkutan.

Selain itu PKWT harus didaftarkan di instansi pemerintah yang berwenang serta PKWT tidak

dapat diadakan utk pekerjaan yg bersifat tetap/tidak habis.

Sesuai dengan pasal 59 UUK, bahwa perjanjian kerja untuk waktu tertentu hanya dapat

dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan

selesai dalam waktu tertentu, yaitu:

a) pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya;

b) pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama dan

paling lama 3 (tiga) tahun;

c) pekerjaan yang bersifat musiman; atau

d) pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan

yang masih dalam percobaan atau penjajakan.


Perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang

bersifat tetap. Perjanjian kerja untuk waktu tertentu dapat diperpanjang atau diperbaharui.

Perjanjian kerja waktu tertentu yang didasarkan atas jangka waktu tertentu dapat diadakan untuk

paling lama 2 (dua) tahun dan hanya boleh diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu paling

lama 1 (satu) tahun.

Pengusaha yang bermaksud memperpanjang perjanjian kerja waktu tertentu tersebut,

paling lama 7 (tujuh) hari sebelum perjanjian kerja waktu tertentu berakhir telah

memberitahukan maksudnya secara tertulis kepada pekerja/buruh yang bersangkutan. Karena

kondisi tertentu pekerjaan tersebut belum dapat diselesaikan, maka dapat dilakukan pembaruan

perjanjian. Pembaruan perjanjian kerja waktu tertentu hanya dapat diadakan setelah melebihi

masa tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari berakhirnya perjanjian kerja waktu tertentu yang lama,

dimana selama 30 (tiga puluh) hari tersebut tidak ada hubungan kerja antara pekerja dan

pengusaha. Pembaruan perjanjian kerja waktu tertentu ini hanya boleh dilakukan 1 (satu) kali

dan paling lama 2 (dua) tahun.

Para pihak dapat mengatur lain dari ketentuan yang dituangkan dalam perjanjian

pembaruan. Perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana

dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) maka demi hukum menjadi

perjanjian kerja waktu tidak tertentu. Di luar ketentuan di atas maka demi hukum perjanjian kerja

waktu tertentu tersebut otomatis menjadi Perjanjian Waktu Tidak Tentu (PKWTT) dan

pekerja/buruh menjadi karyawan tetap. Apabila suatu pekerjaan dengan perjanjian waktu tertentu

dapat diselesaikan lebih cepat dari yang diperjanjikan maka PKWT tersebut putus demi hukum

pada saat selesainya pekerjaan


Untuk pekerjaan yang pelaksanaannya tergantung pada musim atau cuaca, untuk

memenuhi pesanan atau target tertentu, maka harus membuat daftar nama pekerja/buruh, dan

tidak dapat dilakukan pembaharuan. PKWT untuk pekerjaan yang berhubungan dengan produk

baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan, maka

kontrak paling lama adalah 2 (dua) tahun dan dapat diperpanjang satu kali paling lama 1 (satu)

tahun, serta tidak dapat dilakukan pembaharuan.

Untuk pekerja dengan upah berdasar kehadiran (buruh lepas), pekerjaan tertentu yang

berubah-ubah dalam hal waktu, dan volume, maka pengusaha wajib membuat perjanjian kerja

harian lepas secara tertulis. Pengusaha juga harus memiliki daftar pekerja/buruh dan menerapkan

waktu bekerja kurang dari 21 (dua puluh satu ) hari dalam 1 (satu) bulan. Jika pengusaha

mempekerjaan lebih selama 3 (tiga) bulan berturut-turut atau lebih, maka pekerja secara otomatis

berubah menjadi PKWTT.

2.2.2 Pekerja Tetap (PKWTT)

Pekerjaan yang sifatnya terus menerus, tidak terputus-putus, tidak dibatasi waktu dan

merupakan bagian dari suatu proses produksi dalam satu perusahaan atau pekerjaan yang bukan

musiman.

2.3 Perjanjian Lisan/tak tertulis

Satu aspek penting dari perjanjian kerja ialah tidak diwajibkan untuk dituangkan dalam

wujud tertulis. Menurut pasal 51 ayat (1), Perjanjian kerja dibuat secara tertulis atau lisan.

Perjanjian kerja tak tertulis/lisan, diperbolehkan akan tetapi wajib membuat surat pengangkatan

bagi pekerja yang bersangkutan, yang memuat: nama dan alamat pekerja, tanggal mulai bekerja,

jenis pekerjaan, besarnya upah, besarnya upah dan cara pembayarannya, syarat-syarat kerja yang
memuat hak dan kewajiban pengusaha dan pekerja/buruh, mulai dan jangka waktu berlakunya

perjanjian kerja, tempat dan tanggal perjanjian kerja dibuat, tanda tangan para pihak dalam

perjanjian kerja.

Kesepakatan tak tertulis (lisan), dinyatakan cacat hukum yang artinya bahwa

pekerja/buruh tidak akan mendapatkan perlindungan yang layak.

2.3 Perjanjian Tertulis

Menurut pasal 54 UUK 20013 menyatakan bahwa perjanjian kerja yang dibuat secara

tertulis sekurang kurangnya memuat:

a. nama, alamat perusahaan, dan jenis usaha;

b. nama, jenis kelamin, umur, dan alamat pekerja/buruh;

c. jabatan atau jenis pekerjaan;

d. tempat pekerjaan;

e. besarnya upah dan cara pembayarannya;

f. syarat-syarat kerja yang memuat hak dan kewajiban pengusaha dan

pekerja/buruh;

g. mulai dan jangka waktu berlakunya perjanjian kerja;

h. tempat dan tanggal perjanjian kerja dibuat; dan

i. tanda tangan para pihak dalam perjanjian kerja.

Pada prakteknya, perjanjian kerja memang sudah mencantumkan seluruh unsur diatas,

namun biasanya belum disertai dengan sanksi yang memadai. Sehingga kadang pihak buruh

maupun majikan tidak dapat menyelesaikan permasalahan yang terjadi dikarenakan tidak ada

ketentuan sanksi yang jelas dan disepakati. Untuk itu perlu kiranya jika melakukan suatu
perjanjian kerja, sekaligus dilengkapi dengan sanksi-sanksi yang jelas dan memadai. Perlu

diingat pula bahwa sebuah perjanjian yang sudah kita lakukan, tidak bisa begitu saja kita

batalkan/ubah tanpa kesepakatan kedua belah pihak.

Perjanjian kerja untuk waktu tertentu dibuat secara tertulis serta harus menggunakan

bahasa Indonesia dan huruf latin. Jika perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang dibuat tidak

tertulis tidak menggunakan Bahasa Indonesia dan huruf latin, maka secara otomatis dinyatakan

sebagai perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu/tetap. Dan jika dalam hal perjanjian kerja

dibuat dalam bahasa Indonesia dan bahasa asing, apabila kemudian terdapat perbedaan

penafsiran antara keduanya, maka yang berlaku adalah perjanjian kerja yang dibuat dalam

bahasa Indonesia.

2.4 Masa Percobaan

Masa Percobaan (A probationary period) adalah suatu jangka waktu, yang disepakati

dalam perjanjian kerja, dimana pekerja maupun pengusaha memiliki waktu untuk memeriksa dan

mengevaluasi kerja sama diantara mereka dan memutuskan kontrak kerja dengan mudah.

Hukum perburuhan mengatur kondisi masa percobaan yang dapat dicantumkan dalam

perjanjian kerja. Masa Percobaan hanya dapat diberlakukan untuk perjanjian waktu kerja tidak

tertentu, untuk perjanjian perjanjian kerja waktu tertentu tidak dapat mensyaratkan adanya masa

percobaan. Jika masa percobaan disyaratkan dan diberlakukan untuk perjanjian waktu tertentu,

maka masa percobaan dinyatakan batal demi hukum. Dalam masa percobaan ini, kedudukan

buruh sangat tidak pasti secara hukum, karena kemungkinan untuk diterima bekerja masih belum

pasti. Tergantung dari pihak pengusaha/majikan yang menentukan. Pada prinsipnya, masa

percobaan dalam suatu hubungan kerja merupakan sarana yang diberikan UUTK bagi
perusahaan untuk dapat melakukan proses rekruitmen yang tepat terhadap pekerjaan yang

bersifat tetap.

Menurut pasal 60 UUK 2003 disebutkan bahwa perjanjian kerja untuk waktu tidak

tertentu dapat mensyaratkan masa percobaan kerja paling lama 3 (tiga) bulan, dan tidak boleh

diperpanjang. Dalam masa percobaan kerja ini pengusaha harus membayar upah sesuai UMR

yang berlaku dan dilarang membayar upah di bawah upah minimum yang berlaku.

Jika perusahaan memberikan upah di bawah upah minimum yang berlaku, maka

perusahaan dapat dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama

4 (empat) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp100 juta dan paling banyak Rp 400 juta (Pasal

185 ayat [1] jo. Pasal 90 ayat [1] UU Ketenagakerjaan)

Dalam hal pemberlakuan masa percobaan, diperkuat dengan Pasal 1603 KUHPerdata

disebutkan bahwa jika diperjanjikan suatu masa percobaan, maka selama waktu itu tiap pihak

berwenang memutuskan hubungan kerja dengan pernyataan pemutusan. Dan (KUHPerd. 1499.)

yaitu tiap perjanjian yang menetapkan masa percobaan yang tidak sama lamanya bagi kedua

belah pihak atau lebih lama dari tiga bulan, dan juga tiap janji yang mengadakan suatu masa

percobaan baru bagi pihak-pihak yang sama, adalah batal.

Syarat masa percobaan kerja harus dicantumkan dalam perjanjian kerja. Apabila

perjanjian kerja dilakukan secara lisan, maka syarat masa percobaan kerja harus diberitahukan

kepada pekerja yang bersangkutan dan dicantumkan dalam surat pengangkatan. Dalam hal tidak

dicantumkan dalam perjanjian kerja atau dalam surat pengangkatan, maka ketentuan masa

percobaan kerja dianggap tidak ada.


2.5 Berakhirnya Perjanjian

Menurut pasal 61 Undang-Undang Ketenagakerjaan no 13 tahun 2003, disebutkan bahwa:

(1) Perjanjian kerja berakhir apabila:

a. pekerja meninggal dunia;

b. berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja;

c. adanya putusan pengadilan dan/atau putusan atau penetapan lembaga

penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang telah mempunyai kekuatan

hukum tetap; atau

d. adanya keadaan atau kejadian tertentu yang dicantumkan dalam perjanjian kerja,

peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama yang dapat menyebabkan

berakhirnya hubungan kerja.

(2) Perjanjian kerja tidak berakhir karena meninggalnya pengusaha atau beralihnya hak atas

perusahaan yang disebabkan penjualan, pewarisan, atau hibah.

(3) Dalam hal terjadi pengalihan perusahaan maka hak-hak pekerja/buruh menjadi tanggung

jawab pengusaha baru, kecuali ditentukan lain dalam perjanjian pengalihan yang tidak

mengurangi hak-hak pekerja/buruh.

(4) Dalam hal pengusaha, orang perseorangan, meninggal dunia, ahli waris pengusaha dapat

mengakhiri perjanjian kerja setelah merundingkan dengan pekerja/buruh.

(5) Dalam hal pekerja/buruh meninggal dunia, ahli waris pekerja/ buruh berhak mendapatkan

hak haknya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku atau hak-hak yang

telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
Dan menurut pasal 62 UUK 2003 dinyatakan bahwa Pihak yang mengakhiri hubungan

kerja selain yang dimaksud dalam pasal 61 (1) maka diwajibkan membayar ganti rugi kepada

pihak lainnya sebesar upah pekerja/buruh sampai batas waktu berakhirnya jangka waktu

perjanjian kerja.

Anda mungkin juga menyukai