Anda di halaman 1dari 6

A.

PENGERTIAN HUBUNGAN  KERJA

Menurut Pasal 50 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Hubungan kerja yang terjadi diantara
buruh dan majikan dapat dimulai setelah diadakan perjanjian di mana buruh yang menyatakan
kesanggupannya untuk bekerja pada majikan dengan menerima upah dan majikan menyatakan
kesanggupannya untuk membayar upah. Perjanjian yang sedemikian itu disebut Perjanjian
Kerja. 

B. PERJANJIAN KERJA DIDALAM HUBUNGAN KERJA

Istilah perjanjian kerja yang dipergunakan didalam hubungan kerja menyatakan bahwa perjanjian
khusus mengenai kerja karena dengan adanya perjanjian kerja timbul kewajiban untuk bekerja.
Perjanjian kerja dapat menimbulkan hak dan kewajiban dalam pekerjaan, jadi berlainan dengan
perjanjian perburuhan yang tidak menimbulkan hak dan kewajiban untuk melakukan pekerjaan,
tetapi memuat syarat-syarat tentang perburuhan. 

Menurut Pasal 1601 (a) Kitab Undang-undang Hukum Perdata pada buku III dijelaskan bahwa
perjanjian kerja adalah suatu perjanjian disatu pihak mengikatkan diri untuk bekerja di bawah
perintah pada majikan di lain pihak selama suatu waktu tertentu dengan menerima upah.
Berdasarkan rumusan tersebut dapat disimpulkan bahwa perjanjian kerja mempunyai esensi
sebagai berikut:
a. Adanya Upah.
b. Adanya Pekerjaan.
c. Adanya Perintah.
d. Adanya Waktu Tertentu/Batas Waktu.

Kesimpulan tersebut ditentang oleh Van de Grintern dan Van der Ven, karena menurutnya esensi
perjanjian kerja harus memuat tentang hal-hal berikut:
a. Pekerjaan.
b. Upah.
c. Waktu Tertentu/Batas Waktu.

Unsur perintah tidak boleh dimasukkan karena dalam peraturan pasal 1601 (a) Kitab Undang-
undang Hukum Perdata pada buku III lahir untuk para pekerja kasar sehingga untuk pekerja
intelek tidak tercakup didalamnya. Selain itu jenis pekerjaan tidak hanya untuk pekerjaan kasar
saja dan saat itu telah pula muncul sistem Management Co-determination yaitu buruh dan
pengusaha duduk bersama menentukan kebijakan perusahaan. 
Lain lagi menurut pendapat Mr. Sutikno dimana beliau menghilangkan unsur waktu
tertentu/batas waktu perjanjian kerja karena menurutnya unsur tersebut juga merupakan unsur
dari perjanjian pada umumnya sehingga dengan demikian itu bukan ciri khusus dari suatu
perjanjian kerja.
Menurut Theodore Thomandel, esensi perjanjian kerja harus ditambah pula dengan:
a. Suka rela.
b. Ketergantungan ekonomis.
c. Sesuatu yang memasyarakat.
d. Kehendak dari para pihak.
e. Ketergantungan pribadi.
f.  Upah.
g.  Pekerjaan.
h.  Perintah.
i.  Waktu Tertentu/Batas Waktu.

Perjanjian kerja pada dasarnya harus memuat ketentuan yang berkenaan dengan hubungan kerja
yaitu hak dan kewajiban buruh serta hak dan kewajiban majikan. Ketentuan ini dapat pula
diterapkan dalam peraturan majikan, yaitu peraturan yang secara sepihak ditetapkan oleh
majikan (reglement) disebut  peraturan perusahaan, mengenai peraturan perusahaan.

Didalam hubungan kerja dinyatakan bahwa buruh/pekerja bekerja pada pihak lain, hal ini
menunjukan bahwa mereka bekerja di bawah pimpinan pihak lainnya. Sifat hubungan kerja ini
berbeda pada hubungan antara dokter dengan seorang pasien yang telah melakukan perjanjian di
mana dokter melakukan pekerjaan untuk pasien tetapi tidak di bawah pimpinannya. Karena itu
perjanjian antara dokter dengan orang yang berobat, bukanlah perjanjian kerja. 
Menurut Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan
perjanjian kerja adalah perjanjian yang merupakan hasil perundingan antara serikat
pekerja/buruh atau beberapa serikat pekerja/buruh yang tercatat pada instansi yang bertanggung
jawab di bidang ketenagakerjaan dengan pengusaha atau beberapa pengusaha atau perkumpulan
pengusaha yang memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban kedua belah pihak.
Berdasarkan Pasal 51 UU. No. 13/2003 Perjanjian kerja dapat dibuat secara tertulis dan lisan.
Untuk perjanjian kerja yang dipersyaratkan secara tertulis dilaksanakan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku sehingga tidak dimintakan bentuk yang tertentu. Jadi dapat
dilakukan secara lisan atau dengan surat pengangkatan oleh pihak majikan atau secara tertulis,
yaitu  surat perjanjian yang ditandatangani oleh kedua belah pihak. 

Menurut Pasal 52 UU. No. 13/2003 dinyatakan bahwa pembuatan perjanjian kerja harus atas
dasar:
a. Kesepakatan kedua belah pihak.
b. Kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum.
c. Adanya pekerjaan yang diperjanjikan.
d. Pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan dan
peraturan perundang-undangan yang berlaku. 

Jika ada perjanjian kerja yang dibuat dan ternyata bertentangan dengan kesepakatan kedua belah
pihak dan kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum  maka perjanjian itu dapat
dibatalkan sedangkan perjanjian kerja yang bertentangan dengan perundang-undangan yang
berlaku  maka perjanjian kerja batal demi hukum. 
Selanjutnya didalam Pasal 53 ditetapkan bahwa dalam segala hal dan/ atau biaya yang
diperlukan bagi pelaksanaan pembuatan perjanjian kerja dilaksanakan oleh dan menjadi
tanggung jawab pengusaha/majikan. 
Undang-undang hanya menetapkan jika perjanjian diadakan secara tertulis, biaya surat dan biaya
tambahan lainnya harus dipikul oleh pengusaha/majikan. Apalagi perjanjian yang diadakan
secara lisan, perjanjian yang dibuat tertulis pun biasanya diadakan dengan singkat sekali, tidak
memuat semua hak dan kewajiban kedua belah pihak. Kewajiban majikan, misalnya untuk
memberi pengobatan dan perawatan kepada buruh yang sakit atau mendapat kecelakaan, tidak
dimuat dalam perjanjian kerja tertulis itu. 

Berdasarkan Pasal 54 UU. No. 13/2003 dinyatakan bahwa perjanjian kerja yang dibuat secara
tertulis sekurang-kurangnya harus memuat hal-hal berikut:
a. Nama, alamat perusahaan dan jenis usaha.
b. Nama, jenis kelamin, umur dan alamat pekerja/buruh.
c. Jabatan atau jenis pekerjaan.
d. Tempat pekerjaan.
e. Besarnya upah dan cara pembayarannya.
f. Syarat-syarat kerja yang memuat hak dan kewajiban pengusaha dan pekerja/buruh. 
g. Mulai dan jangka waktu berlakunya perjanjian kerja.
h. Tempat dan tanggal perjanjian kerja dibuat.
i. Tanda tangan para pihak dalam perjanjian kerja.

Ketentuan dalam perjanjian kerja pada besarnya upah dan cara pembayarannya, syarat-syarat
kerja yang memuat hak dan kewajiban pengusaha dan pekerja/buruh tidak boleh bertentangan
dengan peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama dan peraturan perundangan yang berlaku.
Dalam pembuatan perjanjian kerja harus dibuat dalam rangkap 2 (dua) yang memiliki kekuatan
hukum yang sama dan masing-masing pihak mendapat 1 (satu) perjanjian kerja. 
Peraturan perusahaan (telah dibahas secara lengkap dalam Modul 4) adalah peraturan yang
dibuat secara tertulis oleh pengusaha yang memuat syarat-syarat kerja dan tata tertib perusahaan.
Sedangkan perjanjian kerja bersama adalah perjanjian yang merupakan hasil perundingan antara
serikat pekerja/serikat buruh atau beberapa serikat pekerja/serikat buruh yang tercatat pada
instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan dengan pengusaha, atau beberapa
pengusaha atau perkumpulan pengusaha yang memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban
kedua belah pihak.
Selanjutnya merujuk kepada Pasal 55 UU. No. 13/2003 ditegaskan bahwa perjanjian kerja tidak
dapat ditarik kembali dan atau diubah kecuali atas persetujuan para pihak.  Besarnya upah
mutlak harus dimuat dalam surat perjanjian itu sedangkan kewajiban majikan memberi makan
dan penginapan tidak dimuat dalam surat perjanjian. Dalam perjanjian kerja yang diadakan
secara suka rela dengan tertulis, sesungguhnya majikan akan berusaha untuk tidak membuat
banyak janji yang menguntungkan buruh tetapi guna melindungi buruh maka undang-undang
mengatur hal-hal yang penting-pentingnya saja dan tidak memberatkan pengusaha. 
Dahulu ketika belum dikeluarkan undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 masih dimungkinkan
para pengusaha/majikan untuk membuat peraturan sendiri mengenai para pekerjanya dengan
tanpa meminta persetujuan buruh/pekerjanya terlebih dahulu. Buruh berada dipihak yang lemah
karena dianggap sangat membutuhkan pekerjaan demi memperoleh uang, sehingga apa pun
syarat yang diminta oleh pengusaha akan dilaksanakan asalkan memperoleh uang. Sekarang hal
yang demikian tidak diperbolehkan lagi dan dilarang pemerintah karena melanggar hak-hak asasi
dan harkat/martabat pekerja. Oleh karena itu perjanjian kerja yang dibuat tidak boleh ditarik
kembali atau diubah kecuali dengan kesepakatan kedua belah pihak. 
C. MACAM-MACAM PERJANJIAN KERJA DIDALAM HUBUNGAN KERJA
Menurut Pasal 1601 (g) Kitab Undang-undang Hukum Perdata pada buku III menerangkan
tentang berbagai macam perjanjian kerja ada 3 yaitu:
a. Perjanjian Kerja untuk Waktu Tertentu.
b. Perjanjian Kerja untuk Waktu Tidak Tertentu.
c. Perjanjian Kerja sampai Batas Maksimum.

Sedangkan menurut Pasal 56 UU. No. 13/2003 ditegaskan bahwa perjanjian kerja terbagi atas 2
macam yaitu yang dibuat untuk waktu tertentu atau untuk waktu tidak tertentu.
Perjanjian Kerja untuk Waktu Tertentu adalah perjanjian kerja yang hubungan kerja antara buruh
dan pengusaha ditentukan jangka waktunya, misalnya Perjanjian Kerja untuk waktu 1 tahun.  
Perjanjian Kerja untuk Waktu Tidak Tertentu adalah perjanjian kerja yang hubungan kerja antara
buruh dan pengusaha/majikan tidak ditentukan jangka waktunya. Buruh yang diikat dalam
perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu biasanya disebut buruh tetap.  
Perjanjian Kerja sampai Batas Maksimum adalah perjanjian kerja yang hubungan kerja antara
buruh dan pengusaha/majikan ditentukan sampai batas usia pensiun. 

1. Perjanjian Kerja untuk Waktu Tertentu


Dari ketiga macam perjanjian kerja tersebut di atas maka perjanjian kerja untuk waktu tertentu
banyak menimbulkan masalah.  Pengusaha sering mengikat buruhnya dengan perjanjian kerja
untuk waktu tertentu karena banyak segi menguntungkan pengusaha, diantaranya  yaitu:
a. Pengusaha tidak ada kewajiban untuk membayar pesangon bila jangka waktu perjanjian kerja
berakhir.
b. Pengusaha dapat menekan labor-cost.
c. Lebih praktis tidak ada masalah pensiun dan sebagainya.

Jika dilihat dari sisi pekerja/buruh maka pihak buruh sangat dirugikan dengan adanya perjanjian
kerja untuk waktu tertentu karena:
a. Tidak menjamin kepastian pekerjaan, pekerjaan buruh tidak menentu.
b. Syarat-syarat kerja dan upah terbatas.
c. Tidak mungkin mendapat pensiun dan sebagainya.

Berdasarkan hal tersebut pemerintah mengeluarkan Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor
5/Men/1986 tentang Kesepakatan Kerja Untuk Waktu Tertentu. Peraturan itu membatasi jenis
pekerjaan yang dapat diikat dengan perjanjian kerja untuk waktu tertentu dan membatasi pula
lamanya hubungan kerja berdasarkan perjanjian kerja untuk waktu tertentu.
Pasal 58 UU. No. 13/2003 ditegaskan bahwa perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak dapat
mensyaratkan adanya masa percobaan kerja. Jika didalam perjanjian kerja disyaratkan adanya
masa percobaan kerja maka perjanjian kerja tersebut batal demi hukum. 
Menurut Pasal 59 UU. No. 13/2003  ketentuan ini jenis pekerjaan yang dapat diikat dengan
perjanjian kerja untuk waktu tertentu adalah:
a. Pekerjaan yang sekali selesai/bersifat sementara.
b. Pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama dan paling
lama 3 (tiga) tahun.
c. Pekerjaan yang bersifat musiman/berulang kembali pada suatu saat tertentu.
d. Pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru atau produk tambahan yang
masih dalam percobaan atau penjajakan. 
Lamanya hubungan kerja berdasarkan perjanjian kerja untuk waktu tertentu diatur sebaga
berikut:
a. Jangka waktu lamanya hubungan kerja berdasarkan perjanjian kerja untuk waktu tertentu
maksimum selama 3 (tiga) tahun.
b. Jangka waktu tersebut dapat diperpanjang sekali masa perpanjangan.
c. Jumlah keseluruhan jangka waktu perjanjian kerja untuk waktu tertentu tersebut setelah
ditambah dengan masa perpanjangan tidak boleh melebihi waktu 3 (tiga) tahun.
d. Perjanjian-perjanjian kerja untuk waktu tertentu ini dapat dilakukan selambat-lambatnya 7
(tujuh) hari sebelum perjanjian kerja tersebut berakhir masa berlakunya telah memberitahukan
maksudnya secara tertulis kepada pekerja/buruh yang bersangkutan.
e. Pembaharuan perjanjian kerja waktu tertentu hanya dapat diadakan setelah melebihi masa
tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari berakhirnya perjanjian kerja waktu tertentu yang lama,
pembaharuan perjanjian kerja waktu tertentu ini hanya boleh dilakukan 1 (satu) kali dan paling
lama 2 (dua) tahun. 
f.    Perjanjian kerja waktu tertentu yang tidak memenuhi ketentuan tersebut diatas maka demi
hukum menjadi perjanjian kerja waktu tidak tertentu.  

2. Perjanjian Kerja untuk Waktu Tidak Tertentu


Perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu dapat mensyaratkan masa percobaan kerja paling
lama 3 (tiga) bulan. Didalam masa percobaan kerja pengusaha dilarang membayar upah di bawah
upah minimum yang berlaku. 

Dalam hal perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu dibuat secara lisan maka pengusaha wajib
membuat surat pengangkatan bagi pekerja/buruh yang bersangkutan yang berisi sekurang-
kurangnya memuat keterangan tentang:
a. Nama dan alamat pekerja/buruh.
b. Tanggal mulai bekerja.
c. Jenis pekerjaan dan besarnya upah.

D. BERAKHIRNYA PERJANJIAN KERJA

Berdasarkan Pasal 61 UU. No. 13/2003  ditegaskan bahwa perjanjian kerja dapat berakhir
apabila:
a. Pekerja meninggal dunia.
b. Berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja.
c. Adanya putusan pengadilan dan/atau putusan atau penetapan lembaga penyelesaian
perselisihan hubungan industrial yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
d. Adanya keadaan atau kejadian tertentu yang dicantumkan dalam perjanjian kerja, peraturan
perusahaan atau perjanjian kerja bersama yang dapat menyebabkan berakhirnya hubungan kerja.

Perjanjian kerja tidak berakhir karena meninggalnya pengusaha atau beralihnya hak atas
perusahaan yang disebabkan penjualan, pewarisan atau hibah. Dalam hal terjadinya pengalihan
perusahaan maka hak-hak pekerja/buruh menjadi tanggung jawab pengusaha baru, kecuali
ditentukan lain dalam perjanjian pengalihan yang tidak mengurangi hak-hak pekerja/buruh. 
Dalam hal pengusaha, orang perseorangan meninggal dunia, ahli waris pengusaha dapat
mengakhiri perjanjian kerja setelah merundingkan dengan pekerja/buruh. Jika pekerja/buruh
yang meninggal dunia maka ahli waris pekerja/buruh berhak mendapatkan hak-haknya seseuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku atau hak-hak yang telah diatur dalam
perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.
Apabila salah satu pihak mengakhiri hubungan kerja sebelum berakhirnya jangka waktu yang
ditetapkan dalam perjanjian kerja waktu tertentu, atau berakhirnya hubungan kerja bukan karena
ketentuan maka pihak yang mengakhiri hubungan kerja wajib membayar ganti rugi kepada pihak
lainnya sebesar upah pekerja/buruh sampai batas waktu berakhirnya jangka waktu perjanjian
kerja. 

Anda mungkin juga menyukai