BAB IV
HUBUNGAN KERJA
► Undang-undang nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang merupakan revisi dari Undang-
undang nomor 25 tahun 1997 yang sempat diundangkan namun tidak pernah efektif. Undang-undang
nomor 13 tahun 2003 mengandung banyak permasalahan, misalnya masalah inkonsistensi antara pasal
yang satu dengan pasal yang lain sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum. Pasal-pasal yang
inkonsisten tersebut antara lain sebagai berikut:
1. Perjanjian Kerja Waktu tertentu. Di satu sisi Perjanjian Kerja Waktu Tertentu dapat dibuat berdasarkan
jangka waktu yang berarti tidak mempersoalkan apakah pekerjaan itu bersifat tetap atau tidak. Di lain
pihak, ada pasal lain dalam UU No.13/2003 ini yang melarang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu untuk
pekerjaan yang bersifat tetap. Bahkan apabila ketentuan terakhir ini dilanggar, maka perjanjian kerja
waktu tertentu tersebut akan berubah secara otomatis menjadi perjanjian kerja waktu tidak tertentu.
Ketidakpastian hukum dalam masalah ini menjadi persoalan yang sering muncul ke permukaan karena
pihak pengusaha cenderung untuk mempekerjakan pekerjanya dengan perjanjian kerja waktu tertentu,
sedangkan pekerja lebih memilih perjanjian kerja waktu tidak tertentu karena lebih menjamin job security.
Kenyataan ini menunjukkan bahwa banyak perusahaan yang memutuskan hubungan kerja terhadap
pekerja tetap untuk kemudian direkrut kembali dengan perjanjian kerja waktu tertentu (kontrak). Dalam
situasi demikian, pekerja tidak ada pilihan lain kecuali menerima tawaran itu.
2. Outsourcing. Sejak diundangkannya UU No.13/2003, outsourcing pekerja menjadi menjamur. Hal ini
disebabkan pengusaha dalam rangka efisiensi merasa aman jika buruh yang dioutsource adalah buruhnya
perusahaan jasa pekerja. Sehingga yang bertanggung jawab terhadap buruh outsource tadi adalah
perusahaan jasa pekerja. Perusahaan-perusahaan ini merasa diback up oleh pasal 6 ayat 2 a yang
menyatakan bahwa antara perusahaan jasa pekerja harus ada hubungan kerja dengan buruh yang
ditempatkan pada perusahaan pengguna. Di lain pihak, pihak buruh yang dioutsource juga merasa diback
up oleh pasal 1 butir 15 yang menyatakan bahwa hubungan kerjanya bukan dengan perusahaan jasa
pekerja melainkan dengan perusahaan pengguna. Hal ini disebabkan unsur adanya upah, pekerjaan, dan
perintah hanya ada dalam hubungannya dengan perusahaan pengguna bukan dengan perusahaan jasa
pekerja. Kedua pasal ini juga menimbulkan ketidakpastian hukum bagi pengusaha dan buruh apalagi
outsourcing pekerja pada saat ini lagi ngetren. Banyak perusahaan memutuskan hubungan kerjanya
dengan buruhnya untuk selanjutnya direkrut kembali melalui perusahaan jasa pekerja (outsourcing
pekerja). Hal ini berarti bahwa melalui pasa; 6 ayat 2 a UU No.13/2003 Pemerintah melagalkan bukan
sekedar perbudakan modern melainkan juga termasuk human-trafficking. Suatu pelanggaran hak asasi
manusia.
1
HUKUM KETENAGAKERJAAN oleh Andreas Andrie Djatmiko, S.H., M.Hum.
► Dalam Pasal 1 angka 15 undang-undang ketenagakerjaan nomor 13 tahun 2003 dijabarkan tentang
Hubungan kerja, yaitu merupakan hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan
perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah.
►Perjanjian Kerja.
- Menurut pasal 1601 (a) BW, perjanjian kerja adalah perjanjian kerja dimana yang satu, yaitu si buruh,
mengikatkan diri untuk di bawah perintahnya pihak yang lain, yaitu si majikan, untuk suatu waktu tertentu
melakukan pekerjaan dengan menerima upah.
- Pasal 1601 (a) BW tersebut kurang ideal jika diterapkan pada hukum ketenagakerjaan saat ini, sebab
dalam pasal tersebut hanya ada satu pihak yang mengikatkan diri pada perjanjian kerja, hal ini sangat
bertentangan dengan prinsip fundamental yang ada dalam substansi sebuah perjanjian, seharusnya
adanya dua pihak yang saling mengikatkan diri, yakni baik pihak majikan ataupun pihak buruh.
- Sedangkan menurut Pasal 1 nomor 14 undang-undang ketenagakerjaan nomor 13 tahun 2003, perjanjian
kerja adalah perjanjian antara pekerja/buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat
syarat kerja, hak, dan kewajiban para pihak.
●Unsur-unsur perjanjian kerja.
a. unsur pekerjaan.
Dalam sebuah perjanjian kerja, pekerjaan yang harus dilakukan oleh pekerja dalam perjanjian kerja
harus disebutkan secara jelas menurut isi dari perjanjian kerja tersebut. Dan pekerjaan tersebut harus
dilakukan sendiri, tidak boleh diwakilkan , apabila diwakilkan, harus seijin pengusaha yang bersangkutan.
(pasal 1603 (a) BW).
b. unsur perintah.
Merupakan ciri khas perjanjian kerja yang dapat membedakannya dengan perjanjian-perjanjian lainnya.
Adanya unsur perintah ini mengakibatkan pekerja harus tunduk pada ketentuan perjanjian perjanjian
kerja yang dibuat/peraturan perusahaan.
c. unsur waktu
Dalam suatu perjanjian kerja, jangka waktu harus ditegaskan.
d. unsur upah
Merupakan tujuan utama pekerja melakukan perjanjian kerja tersebut, tidak ada upah tidak ada
hubungan kerja.
2
HUKUM KETENAGAKERJAAN oleh Andreas Andrie Djatmiko, S.H., M.Hum.
3
HUKUM KETENAGAKERJAAN oleh Andreas Andrie Djatmiko, S.H., M.Hum.
4
HUKUM KETENAGAKERJAAN oleh Andreas Andrie Djatmiko, S.H., M.Hum.
5
HUKUM KETENAGAKERJAAN oleh Andreas Andrie Djatmiko, S.H., M.Hum.
3. Ada 2 istilah yang digunakan untuk buruh dalam undang-undang ketenagakerjaan nomor 13 tahun
2003, yaitu;
a. Dalam Pasal 1 ayat (2) digunakan istilah Tenaga kerja, yaitu setiap orang yang mampu melakukan
pekerjaan guna menghasilkan barang dan/atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun
untuk masyarakat.
b. Dalam Pasal 1 ayat (3) digunakan istilah Pekerja/buruh, yaitu setiap orang yang bekerja dengan
menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain.
~ Kesimpulannya adalah, bahwa pekerja merupakan bagian dari tenaga kerja, khususnya pada orang
yang sudah bekerja dalam hubungan kerja.
~ Apakah pegawai negeri/militer juga merupakan pekerja/buruh?
▫ Dari segi yuridis teknis merupakan buruh/pekerja.
▫ Dari segi yuridis politis bukan merupakan buruh/pekerja.