Anda di halaman 1dari 8

1.

BUDI adalah karyawan dari salah satu perusahaan swasta yang berdomisili di
Jakarta, BUDI telah bekerja di perusahaan ini sejak tahun 2018 hingga kini
masih bekerja dengan status kontrak. Baru-baru ini perusahaan ingin
memperpanjang kontrak BUDI, namun BUDI menolak. Perusahaan tidak ingin
menjadikan saya pekerja tetap dan mengancam akan memecat saya. Pertanyaan
Dari Kasus Di Atas apakah tindakan perusahaan dibenarkan secara aturan
hukum perburuhan? Apakah karyawan kontrak yang resign/ mengundurkan diri
mendapat pesangon?

Pasal 59 ayat (4) Undang-Undang No. 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja mengatur
tentang jenis dan sifat pekerjaan yang dapat digolongkan sebagai PKWT, yaitu:

a. pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya;


b. pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama;
c. pekerjaan yang bersifat musiman;
d. pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk
tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan; atau
e. pekerjaan yang jenis dan sifat atau kegiatannya bersifat tidak tetap.

Kemudian Pasal 59 ayat (2) menyebutkan pula bahwa Perjanjian kerja waktu
tertentu tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang bersifat tetap. Pekerjaan dengan
PKWT harus memenuhi sifat pekerjaan sebagaimana disebutkan diatas, apabila
pekerjaan tidak memenuhi sifat-sifat tersebut, maka, suatu pekerjaan yang tidak
memenuhi sifar-sifat diatas, maka demi hukum menjadi perjanjian kerja waktu tidak
tertentu (“PKWTT”) atau yang biasa dikenal dengan pekerja tetap. Selain itu, Pasal 8
ayat (1) PP 35/2021 mengatur bahwa Pekerjaan dengan PKWT berdasarkan jangka
waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) dapat dibuat untuk paling lama 5
tahun. Kemudian, Pasal 8 ayat (2) mengatur bahwa, Dalam hal jangka waktu PKWT
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) akan berakhir dan pekerjaan yang dilaksanakan
belum selesai maka dapat dilakukan perpanjangan PKWT dengan jangka waktu sesuai
kesepakatan antara Pengusaha dengan Pekerja/Buruh, dengan ketentuan jangka waktu
keseluruhan PKWT beserta perpanjangannya tidak lebih dari 5 tahun.

Pada kasus diatas, terhitung hingga tahun 2023 Budi telah bekerja selama 5 tahun
pada perusahaan tersebut. Apabila perusahaan merasa pekerjaan Budi belum selesai,
maka perusahaan dapat memperpanjang kontrak Budi selama 5 Tahun. Namun, apabila
Budi menolak perpanjangan kontrak tersebut, maka Budi dianggap telah mengundurkan
diri. Tindakan perusahaan yang mengancam memecat Budi adalah tidak benar. Pasal 86
ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan)
mengatur bahwa setiap buruh/pekerja memiliki hak untuk memperoleh perlindungan
dalam melaksanakan pekerjaannya, dimana salah satunya adalah perlindungan terhadap
moral dan kesusilaan, dan perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia
serta nilai-nilai agama. Tindakan perusahaan tempat Budi bekerja yang telah melakukan
pengancaman terhadap Budi, telah bertentangan dengan nilai moral dan tidak sesuai
dengan harkat dan martabat manusia.

Selanjutnya, apabila Budi memilih untuk tidak memperpanjang kontrak tersebut,


maka Budi dianggap telah mengudurkan diri. PP No. 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian
Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan
Hubungan Kerja (PP 35/2021) Status Budi dalam pekerjaan tersebut adalah terikat
dengan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT). Pasal 1 angka 10 PP 35/2021
mendefinisikan PKWT sebagai: “Perjanjian Kerja Waktu Tertentu yang selanjutnya
disingkat PKWT adalah Perjanjian Kerja antara Pekerja/Buruh dengan Pengusaha
untuk mengadakan Hubungan Kerja dalam waktu tertentu atau untuk pekerjaan
tertentu.” Pasal 81 angka 17 UU Cipta Kerja mengatur bahwa pengusaha memiliki
kewajiban untuk memberikan uang kompensasi kepada pekerja dengan hubungan kerja
PKWT. Uang kompensasi tersebut diberikan kepada pekerja sesuai dengan masa kerja
pekerja tersebut di perusahaan, yang diberikan pada akhir masa kerjanya. Kemudian
Pasal 15 ayat (3) PP 35/2021 mengatur bahwa uang kompensasi terhadap pekerja
PKWT dapat diberikan apabila pekerja tersebut telah memiliki masa kerja paling
sedikit 1 bulan secara terus menerus.

Pada kasus diatas Budi merupakan pekerja kontrak yang mengajukan pengunduran
diri, Pasal 17 PP 35/2021 mengatur, bahwa: “Dalam hal salah satu pihak mengakhiri
Hubungan Kerja sebelum berakhirnya jangka waktu yang ditetapkan dalam PKWT,
Pengusaha wajib memberikan uang kompensasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15
ayat (1) yang besarannya dihitung berdasarkan jangka waktu PKWT yang telah
dilaksanakan oleh Pekerja/Buruh.” Maka berdasarkan ketentuan pasal tersebut, Budi
berhak penerima uang kompensasi meskipun telah mengajukan pengunduran diri
kepada perusahaan tempatnya bekerja. Terkait jumlah uang kompensasi yang diberikan
oleh perusahaan, diatur dalam Pasal 16 ayat (1) PP 35/2021, bahwa:
a. PKWT selama 12 bulan secara terus menerus, diberikan sebesar 1 bulan upah

b. PKWT selama 1 bulan atau lebih tetapi kurang dari 12 bulan, dihitung secara
proporsional dengan perhitungan:

c. PKWT selama lebih dari 12 bulan, dihitung secara proporsional dengan perhitungan:

2. DONI bekerja di salah satu perusahaan swasta, dan DONI menandatangani


sebuah perjanjian yang menyatakan hal-hal yang mengikat DONI dan menjadi
kewajiban DONI dengan kantor tersebut. Kolom tanda tangan hanya bagi
penerima kerja saja (DONI). Lalu, DONI tidak pernah menerima salinan dari
perjanjian ini. Pihak perusahaan/pemberi kerja tidak mau memberikan salinan
dengan alasan dalam kontrak tersebut terdapat hal yang confidential bagi
perusahaan. Pertanyaannya jika perusahaan/pemberi kerja tidak memberikan
salinan kontrak kerja, apakah hal ini melanggar hukum perburuhan? Jika DONI
hendak menandatangani kontrak kerja baru dengan perusahaan lain, apakah
kontrak lama masih berlaku?
Suatu perjanjian kerja harus dibuat dengan memperhatikan ketentuan dalam Pasal
1320 KUHPerdata yang mengatur tentang syaray sah perjanjian, yaitu:
1) Adanya kesepakatan antara para pihak;
2) Kecakapan para pihak;
3) Adanya suatu hal tertentu;
4) Suatu sebab yang diperbolehkan.

Perjanjian kerja yang tidak memenuhi syarat 1 dan 2 harus dibatalkan, sedangkan
perjanjian kerja yang tidak memenuhi syarat 3 dan 4 harus dinyatakan batal demi
hukum. Kemudian Pasal 54 ayat (1) UU Ketenagakerjaan menyebutkan unsur-unsur
yang harus termuat dalam suatu perjanjian kerja, yaitu:

a. nama, alamat perusahaan, dan jenis usaha;


b. nama, jenis kelamin, umur, dan alamat pekerja/buruh;
c. jabatan atau jenis pekerjaan;
d. tempat pekerjaan;
e. besarnya upah dan cara pembayarannya;
f. syarat syarat kerja yang memuat hak dan kewajiban pengusaha dan pekerja/buruh;
g. mulai dan jangka waktu berlakunya perjanjian kerja;
h. tempat dan tanggal perjanjian kerja dibuat; dan
i. tanda tangan para pihak dalam perjanjian kerja.

Kemudian Pasal 54 ayat (3) UU Ketenagakerjaan mengatur, bahwa: Perjanjian kerja


sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibuat sekurang kurangnya rangkap 2 (dua), yang
mempunyai kekuatan hukum yang sama, serta pekerja/buruh dan pengusaha masing
masing mendapat 1 (satu) perjanjian kerja.

Pada kasus diatas, perjanjian kerja yang ditandatangani oleh Doni hanya memuat
kewajiban Doni sebagai pekerja dan tidak memuat kewajiban pengusaha sebagai
pemberi kerja, kemudian tanda tangan pekerja saja dan tidak memuat tanda tangan
pengusaha. Selain itu, Doni juga tidak diberikan salinan atas perjanjian kerja tersebut.
Perbuatan perusahaan dalam pembentukan perjanjian kerja tersebut bertentangan dengan
ketentuan Pasal 54 ayat (1) dan (3) UU Ketenagakerjaan. Selain itu, perjanjian kerja
yang telah ditandatangani oleh Doni juga melanggar ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata,
yakni adanya suatu sebab yang diperbolehkan, artinya suatu perjanjian tidak boleh
mengandung suatu sebab terlarang jika dilarang oleh undang-undang, bertentangan
dengan kesusilaan atau ketertiban umum. Maka, dalam kasus tersebut pengusaha telah
melanggar ketentuan angka 4 Pasal 1320 KUHPerdata, karena perjanjian tersebut
bertentangan dengan ketentuan dalam UU Keteagakerjaan. Maka perjanjian tersebut
harus dinyatakan batal demi hukum.

Dalam hal ini, apabila Doni menandatangani perjanjian kerja dengan perusahaan
lain, maka perjanjian kerja yang lama sudah tidak berlaku, karena dinayatakan batal
demi hukum.

3. Di dalam perushaan retail sering terjadi pemotongan gaji, Secara hukum,


bolehkah perusahaan melakukan potong gaji secara kolektif untuk melakukan
penggantian jika terjadi selisih minus terhadap penjualan barang-barang,
sementara untuk penjualan barang yang plus (berlebih) tetap menjadi hak
perusahaan?
Pengaturan mengenai upah pekerja secara lebih rinci diatur dalam PP No. 36 Tahun
2021 tentang Pengupahan (PP Pengupahan). Terkait pemotongan upah sebagaimana
kasus diatas, diatur dalam Pasal 63 UU Pengupahan. Pasal 63 ayat (1) mengatur bahwa
pengusaha diperbolehkan melakukan pemotongan upah terhadap karyawannya, dengan
tujuan:
a. denda;
b. ganti rugi;
c. uang muka Upah;
d. sewa rumah dan/atau sewa barang milik Perusahaan yang disewakan oleh
Pengusaha kepada Pekerja/Buruh;
e. utang atau cicilan utang Pekerja/Buruh; dan/atau
f. kelebihan pembayaran Upah.

Kemudian Pasal 63 ayat (2) mengatur, bahwa Pemotongan Upah sebagaimana


dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf c dilakukan sesuai
dengan Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama. Pada
kasus diatas, pemotongan upah dilakukan apabila terjadi selisih minus terhadap
penjualan barang-barang atau sebagai bentuk ganti rugi terhadap selisih minus
tersebut. Maka, dilakukannya pemotongan upah tersebut harus didasarkan kepada
perjanjian kerja, peraturan perusahaan (“PP”), atau peraturan kerja bersama (“PKB”).

Sehingga, perusahaan boleh melakukan pemotongan upah kepada pekerjanya,


asalkan pemotongan upah tersebut sebelumnya telah diatur melalui perjanjian kerja,
peraturan perusahaan (“PP”), atau peraturan kerja bersama (“PKB”). Apabila ternyata
dalam perjanjian kerja, PP, atau PKB tidak diatur mengenai pemotongan upah karena
selisih penjualan yang minus, maka perusahaan tidak berhak memotong upah
karyawannya.

4. Salah satu tempat kerja ingin mempekerjakan kembali pensiunan. Bagaimana


hukumnya? Dan apa bentuk perjanjian kerja yang bisa dibuat untuk pensiunan
tersebut?
Hingga saat ini belum ada peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang
pengusaha yang dapat mempekerjakan kembali pekerja yang telah mencapai usia
pensiun, sepanjang pekerja yang bersangkutan masih mampu melakukan pekerjaan
yang ditugaskan kepadanya. Akan tetapi, terdapat beberapa hal yang perlu
diperhatikan dalam mempekerjaan kembali pekerja yang telah memasuki usia
pensiun, salah satunya yaitu jenis-jenis pekerjaan yang mampu dilakukan sesuai
kemampuan dan usia pekerja tersebut. Tentunya pekerjaan yang membutuhkan
kemampuan fisik sangat tinggi bukan merupakan jenis pekerjaan ideal bagi pekerja
usia pensiun.
Tidak ada larangan untuk perusahaan mempekerjakan dengan dasar Perjanjian
Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT) atau sebagai karyawan tetap. Tapi, mengingat
usia karyawan yang tidak muda lagi, Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) juga
dapat menjadi pilihan, apalagi jika pekerjaan yang diinginkan dari karyawan usia
pensiun merupakan sesuatu yang dapat diselesaikan dalam jangka waktu tertentu,
seperti misalnya transfer of knowledge. Adapun jika masa berlaku PKWT karyawan
usia pensiun berakhir, dan baik perusahaan maupun karyawan sama-sama sepakat
untuk melanjutkan hubungan kerja, dapat dilakukan perpanjangan PKWT tersebut,
sesuai dengan ketentuan dalam PP 35/2021.
5. BANU seorang karyawan swasta. Karena BANU menderita sakit liver akut,
maka BANU memutuskan mengundurkan diri dari pekerjaan dan memilih lebih
fokus berobat. Akan tetapi, perusahaan menunda pengunduran diri BANU dan
meminta untuk tetap bekerja. Apabila tidak dilaksanakan, perusahaan akan
menerapkan aturan ketat dan menindak BANU sesuai dengan aturan yang
berlaku. Langkah apa yang harus BANU ambil untuk menghadapi perusahaan?
Pasal 81 angka 45 UU Cipta Kerja yang memuat baru Pasal 154A ayat 1 huruf i
UU Ketenagakerjaan yang mengatur bahwa pemutusan hubungan kerja dapat
dilakukan oleh pekerja karena pengunduran diri atas kemauan sendiri dengan
memenuhi syarat sebagai berikut:
a. mengajukan permohonan pengunduran diri secara tertulis selambat-lambatnya
30 hari sebelum tanggal mulai pengunduran diri;
b. tidak terikat dalam ikatan dinas; dan
c. tetap melaksanakan kewajibannya sampai tanggal mulai pengunduran diri.

Maka, selama Banu telah memenuhi ketiga ketentuan tersebut, Banu dapat
mengajukan pengunduran dirinya dan perusahaan tidak dapat menolak pengajuan
pengunduran diri Banu. Resign atau mengundurkan diri adalah suatu hak pekerja.
Sepanjang undang-undang mengatur mengenai hak pekerja, maka ketentuan dalam
undang-undang itu merupakan standar minimum. Jadi, pengusaha tidak boleh
melarang pekerja untuk mengundurkan diri atau resign. Apabila ada ketentuan
larangan resign dalam perjanjian kerja, maka klausul larangan tersebut batal demi
hukum. Pada kasus diatas, apabila penundaan pengunduran diri tersebut tidak dalam
batas waktu pemberitahuan 30 hari, maka pengajuan resign yang ditolak perusahaan
dengan alasan akan menindak Anda sesuai aturan yang berlaku maka hal tersebut
tidak dibenarkan. Apabila ‘aturan’ tersebut tercantum dalam perjanjian kerja, pada
dasarnya perjanjian kerja tidak boleh bertentangan dengan peraturan perusahaan,
perjanjian kerja bersama, dan peraturan perundang-undangan.

Dalam hal perusahaan menolak pengajuan pengunduran diri, maka langkah yang
dapat ditempuh oleh Banu adalah melalui penyelesaian perselisihan hubungan
industrial, salah satunya perselisihan pemutusan hubungan kerja.

Sebagaimana diatur dalam UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan bahwa


pengusaha bertanggungjawab atas jaminan kecelakakaan kerja mematuhi ketentuan jam
kerja, memberikan kompensasi dan santunan, serta memastikan keselamatan dan kesehatan
kerja pekerjanya. Pada kasus diatas, perusahaan wajib memberikan jaminan atas kecelakaan
kerja yang dialami oleh pekerjanya sebagaimana diatur dalam UU Ketenagakerjaan.
Perusahaan harus memastikan bahwa jam kerja karyawan sesuai dengan peraturan yang
berlaku dan memberikan perhatian khusus terhadap keselamatan dan kesehatan kerja
karyawan. Jika terjadi kecelakaan karena kelalaian perusahaan dalam memenuhi standar
keselamatan dan kesehatan kerja, perusahaan dapat menghadapi sanksi dan tanggung jawab
hukum. Pengusaha juga diwajibkan memberikan Santunan Jaminan Kecelakaan Kerja
sebagai wujud tanggung jawab terhadap pekerja/buruh, guna mengatasi hilangnya sebagian
atau seluruh penghasilan yang disebabkan oleh risiko-risiko dalam hubungan kerja, seperti
kematian atau cacat fisik maupun mental akibat kecelakaan kerja.

Kemudian, perusahaan perlu menyediakan kompensasi dan santunan kepada keluarga


korban yang meninggal sesuai dengan peraturan yang berlaku. Ini melibatkan pemberian
uang pesangon, penggantian hak, dan penghargaan masa kerja, sejalan dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 37 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Kehilangan
Pekerjaan. Menurut Pasal 2 dalam peraturan tersebut, perusahaan diwajibkan mendaftarkan
pekerja/buruh sebagai peserta dalam Program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP).
Pelaksanaan JKP, sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 2, dilakukan oleh BPJS
Ketenagakerjaan dan Pemerintah Pusat. Selain itu, JKM atau jaminan kematian merupakan
bentuk manfaat uang tunai yang diberikan kepada ahli waris ketika peserta meninggal dunia
bukan disebabkan oleh kecelakaan kerja. Pasal 34 PP 82/2019 menyebutkan tentang manfaat
JKM yang diberikan kepada peserta meninggal dunia selama dalam masa aktif, yaitu:

a. Santunan sekaligus Rp. 20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah) diberikan kepada ahli
waris peserta;
b. Santunan berkala yang dibayarkan sekaligus sebesar Rp 12.000.000,00 (dua belas
juga rupiah) diberikan kepada ahli waris peserta;
c. Biaya pemakaman sebesar Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) diberikan kepada
ahli waris peserta;
d. Beasiswa Pendidikan bagi anak dari peserta yang telah memiliki masa iur paling
singkat 3 (tiga) tahun dan meninggal dunia bukan akibat kecelakaan kerja.

8.Hingga saat ini belum ada peraturan yang mengatur tentang penahanan ijazah pekerja
yang dilakukan oleh pengusaha dengan alasan sebagai bentuk jaminan kerja. Namun,
berdasarkan ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata, dilakukannya penahanan ijazah pekerja
sah untuk dilakukan apabila telah memenuhi syarat sah perjanjian sebagaimana diatur
pada Pasal 1320 KUHPerdata, yaitu:

1. Terdapat persetujuan antara pihak perusahaan dan karyawan yang harus dijelaskan
dalam perjanjian kerja.

2. Objek perjanjian adalah ijazah karyawan.

3. Penyebab yang sah adalah untuk mencegah karyawan agar tidak mengundurkan diri
sebelum kontrak kerja berakhir.

Anda mungkin juga menyukai