Pemerintah Belanda memberlakukan hukum tanah Belanda Agrarische Wet dibuat tahun
1870 untuk wilayah jajahannya, termasuk wilayah Indonesia (dulu bernama Hinda Belanda).
Salah satu ketentuan yang paling terkenal adalah adanya istilah Domein Verklaring, yang
menyatakn bahwa “... semua tanah yang pihak lain tidak dapat membuktikan sebagai hak
eigendomnya, adalah domein (milik) negara.” Warga pribuni yang tidak bisa membuktikan
kemilikannya maka harus pergi dari tanah Garapan tersebut, Asas tersebut lazim disebut
Domein Verklaring (Pernyataan Domein).
Pada saat ini pun demikian, atas nama Program Strategis Nasional, pemerintah “dianggap”
memberlakukan hal yang sama terhadap tanah yang tidak dapat dibuktikan oleh
kepemilikannya oleh Warga Negara Indonesia, para Ahli menyatakan bahwa ini adalah De-
Javu, relokasi (penggusuran) hak milik warga negara atas nama Program Strategis Nasional.
Sebagai contoh adalah keberadaan Proyek Rempang Eco City, yang salah satunya untuk
pariwisata, sangat tepat kalau melibatkan partisipasi masyarakat pemilik tanah Kampung Tua
secara langsung dalam proyek pengembangan wilayah tersebut, bukan dengan cara
merelokasi. Posisi mereka berbeda dengan masyarakat Pulau Rempang yang melakukan
pendudukan atas bekas perkebunan HGU, yang memang perlu pendekatan khusus.
Dalam sejarahnya, Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 41 Tahun 1973 memberikan Hak
Pengelolaan kepada Otorita Batam. Ketentuan Pasal 6 Ayat 2 Huruf a keppres tersebut
menyatakan, seluruh areal yang terletak di Pulau Batam diserahkan dengan status hak
pengelolaan (HPL) kepada Otorita Batam. Kepulauan Batam merupakan lokasi yang
strategis. Keppres Nomor 41 Tahun 1973 merupakan keputusan untuk mencegah lokasi tanah
yang potensial untuk investasi sampai dimiliki investor swasta. Pemberian HPL kepada
Otorita Batam, artinya investor yang membutuhkan tanah tidak diperkenankan memiliki
tanah, tetapi cukup dengan menyewa tanah ke Otorita Batam.
Akibat hukum dari keppres tersebut, hak-hak perseorangan di areal yang ditetapkan menjadi
terbatas. Areal yang ditetapkan oleh keppres tersebut harus jelas letak batas-batasnya dan
terbebas dari penguasaan, pemanfaatan, atau pemilikan tanah masyarakat. Dan sesuai dengan
isi keppres tersebut, keppres ini harus ditindaklanjuti dengan kegiatan pendaftaran tanahnya.
Jika terdapat hak kepunyaan atau pemilikan tanah adat di areal tersebut, sesuai dengan
ketentuan di dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA), tanah adat yang sudah dikuasai
secara individu akan dikonversi menjadi ”hak atas tanah hak milik”, sementara hak milik
tidak mungkin ada pada areal hak pengelolaan. Dengan demikian, hak pengelolaan yang
ditetapkan oleh Keppres Nomor 41 Tahun 1973 harus terlebih dahulu terbebas dari hak milik
masyarakat, sebelum didaftarkan ke Kantor Pertanahan.
1. Jelaskan pendapat saudara terkait dengan 5 baris awal dari uraian kasus tersebut
diatas, penjelasan saudara disertai dengan argumentasi hirarki hak menguasai
negara dan dasar hukum menurut pendapat Budi Harsono?
Asas Domein Verklaring memberikan kewenangan pada negara dalam bidang agraria.
Legalitas pengusaan tanah oleh negara di Indonesia diatur melalui Pasal 33 ayat (3) UUD
NRI 1945, bahwa: “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai
oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.” Kemudian Pasal 2
ayat (1) UUPA juga secara khusus mengenai kewenangan penguasaan tanah oleh negara.
Berdasarkan isi pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa asas ini berfungsi sebagai landasan
bagi negara untuk mengatur dan menentukan hubungan-hubungan hukum antara orang-orang
dan perbuatan hukum yang berkaitan dengan tanah. Boedi Harsono menyatakan bahwa dalam
tiap Hukum Tanah terdapat pengaturan mengenai berbagai Hak Penguasaan Atas Tanah
(HPAT). Semua Hak Penguasaan Atas Tanah (HPAT) berisi serangkaian wewenang,
kewajiban, dan/atau larangan bagi pemegang haknya untuk berbuat sesuatu mengenai tanah
yang dihaki. “Sesuatu” yang boleh, wajib atau dilarang untuk diperbuat, yang merupakan isi
hak penguasaan itulah yang menjadi kriterium atau tolok pembeda di antara hak-hak
penguasaan atas tanah dalam Hukum Tanah.
Hierarki hak-hak penguasaan atas tanah dalam Hukum Tanah Nasional menurut Boedi
Harsoni, meliputi:
a. Hak Bangsa Indonesia yang disebut dalam Pasal 1 UUPA sebagai hak penguasaan
atas tanah yang tertinggi yang beraspek perdata dan publik;
b. Hak Menguasai Negara yang disebut dalam Pasal 2 UUPA sebagai hak penguasaan
yang semata-mata mengandung aspek publik;
c. Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat yang disebut dalam Pasal 3 UUPA, yang
beraspek perdata dan publik;
d. Hak-hak perorangan/individual.
Berdasarkan hierarki tersebut, hak bangsa Indonesia dalam penguasaan hak atas tanah
merupakan hierarki tertinggi, dimana berdasarkan Pasal 33 Ayat (3) UUD NRI 45
manyatakan bahwa, Bumi dan Air dan kekayaan Alam yang terkandung di dalamnya dikuasai
oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Hak Bangsa Indonesia
atas tanah ini merupakan hak penguasaan atas tanah yang tertinggi dan meliputi semua tanah
yang ada dalam wilayah negara, yang merupakan tanah bersama, bersifat abadi dan menjadi
induk bagi hak-hak penguasaan yang lain atas tanah. Pengaturan lebih lanjut tentang hak
penguasaan atas tanah ini dimuat dalam Pasal 1 ayat (1) sampai dengan ayat (3) UUPA. Hak
Bangsa Indonesia atas tanah merupakan landasan bagi hak-hak penguasaan yang lain atas
tanah, mengandung pengertian bahwa semua hak penguasaan atas tanah yang lain bersumber
pada Hak Bangsa Indonesia atas tanah dan bahwa keberadaan hak-hak penguasaan apapun,
hak yang bersangkutan tidak meniadakan eksistensi Hak Bangsa Indoensia atas tanah.
Sementara Hak negara atas tanah yang merupakan implementasi asas domein
verklaring pada hakikatnya merupakan penugasan pelaksanaan tugas kewenangan bangsa
yang mengandung unsur publik, dan mengandung tugas kewenangan untuk mengatur dan
mengelola tanah bersama tersebut bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, yang termasuk
dalam bidang Hukum Publik. Pada intinya, penguasaan tanah oleh negara harus dengan
tujuan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat Indonesia.
2. Jelasakan Pendapat saudara apa yang dimaksud dnegan HGU pada paragrap
kedua!
Hak Guna Usaha (HGU) diatur dalam Pasal 28 – 34 UUPA. Pasal 28 ayat (1) UUPA
memberikan definisi HGU, yaitu: “Hak guna-usaha adalah hak untuk mengusahakan tanah
yang dikuasai langsung oleh Negara, dalam jangka waktu sebagaimana tersebut dalam
pasal 29, guna perusahaan pertanian, perikanan atau peternakan.” HGU diberikan dalam
jangka waktu paling lama 25 tahun atau 35 tahun bagi perusahaan yang membutuhkan waktu
lebih lama, untuk kemudian dapat diajukan perpanjangan hingga 25 tahun. Pada intinya, Hak
guna usaha adalah hak untuk mengusahakan langsung tanah yang dikuasai oleh Negara untuk
usaha pertanian, perikanan, atau peternakan.
3. Beri penjelasan saudara siapa saja yang menjadi pihak dalam kasus tersebut dan
bagaimana peran masing masing pihak dalam konteks penguasaan ha katas
tanah?
1) Meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional, yang akan menjadi
alat untuk membawa kemakmuran, kebahagiaan, dan keadilan bagi negara dan rakyat,
terutama rakyat tani, dalam rangka masyarakat yang adil dan makmur;
2) Meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan hukum
agraria;
3) Meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak atas
tanah bagi rakyat seluruhnya.
12. Menurut Subekti dan Tjitrosudibio, “Hukum agraria adalah keseluruhan dari
ketentuan hukum, yang mengatur hubungan antara orang yang satu dengan
orang lain, termasuk badan hukum dengan bumi, air dan ruang angkasa dalam
seluruh wilayah dan mengatur pula wewenang yang bersumber pada hubungan
tersebut”. Berikan penjelasan saudara apa makna defisi tersebut dan bagaimana
perbedaannya jika dibandingan definisi yang dikemukakan oleh Budi Harsono,
dan E. Utrecht.
Dari definisi hukum agraria yang diberikan oleh Subekti dan R. Tjitrosoebono dapat
disimpulkan bahwa hukum agraria merupakan keseluruhan ketentuan hukum yang meliputi
Hukum Perdata, Tata Negara, Tata Usaha Negara yang mengatur hubungan hukum antara
subjek hukum dengan bumi, air, dan ruang angkasa. Definisi tersebut sejalan dengan definisi
yang dinyatakan Utrecht bahwa hukum agraria yaitu menjadi bagian dari hukum tata usaha
negara karena mengkaji hubungan-hubungan hukum antara orang, bumi, air dan ruang
angkasa yang melibatkan pejabat yang bertugas mengurus masalah agraria. Hukum agraria
meliputi dan mencakup segala ketentuan hukum yang mengatur hubungan hukum dan
wewenang terkait air, bumi, dan ruang angkasa. Sedangkan Boedi Harsono lebih merinci,
menyatakan bahwa hukum agraria yaitu seperangkat peraturan perundang-udangan yang
bertujuan mengadakan pembahagian tanah yang luas dalam rangka lebih meratakan
penguasaan dan kepemilikannya. Perangkat peraturan ini memberikan landasan hukum bagi
penguasa/pemerintah dalam melaksanakan kebijakannya di bidang pertanahan. Menurutnya,
Hukum Agraria adalah sekelompok hukum yang mengatur atas Hak Penguasaan atas sumber-
sumber agraria.
Ketiga definisi tersebut pada intinya menyatakan bahwa hukum agraria merupakan
suatu kelompok dari berbagai bidang hukum yang masing-masing mengatur hak penguasaan
atas sumber sumber daya alam tertentu
13. Pada awalnya, ketentuan yang mengatur penguasaan tanah yang terdapat dalam
masyarakat bercirikan “tidak tertulis”. Setelah Belanda menjajah bangsa
Indonesia, mendatangkan peraturan hukum pertanahan yang berlaku di
negaranya ke Indonesia, kemudian diberlakukan terhadap masyarakat di
Indonesia. Keberadaan hukum agraria yang dibawa Belanda menggeser
kedudukan hukum agraria yang telah dikuasai dan ditaati oleh masyarakat adat
itu. Dengan sendirinya tanah-tanah yang terdapat di Indonesia diatur dua
peraturan atau lahirlah “dualisme”. Apa makna dualism peraturan yang
mendasari atau mengatur tentang pertanahan?