Anda di halaman 1dari 12

1.

Asas Nasionalitas

Asas utama dalam UUPA terkait dengan pembentukan Hukum Tanah Nasional adalah  asas
nasionalitas. Asas nasionalitas hanya memberikan hak kepada Warga Negara  Indonesia
(WNI) dalam hal pemilikan hak atas tanah yang mana telah menutup kemungkinan  Warga
Negara Asing (WNA) untuk dapat memilikimnya. Penerapan asas nasionalitas dalam  UUPA,
terutama dalam kepemilikan hak atas tanah, memberikan konsekuensi adanya  perbedaan
perlakuan WNI dengan WNA.

Asas nasionalitas dalam hukum agraria Indonesia tidak mengizinkan orang asing  memiliki
tanah di Indonesia. Bahkan, WNI yang telah melakukan perkawinan campuran  dengan WNA
tidak dapat mempunyai hak milik atas tanah, karena tanah tersebut dapat  bercampur dan
menjadi bagian dari harta bersama perkawinan. Untuk mempertahankan asas  nasionalitas
hukum agraria, Ditetapkan UU No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok Pokok Agraria  bahwa
Hanya warga negara Indonesia yang dapat memiliki sertifikat tanah. Pasal 21 UUPA 
menegaskan bahwa WNA yang memperoleh hak milik karena pewarisan tanpa wasiat atau 
percampuran harta karena perkawinan sejak saat berlakuknya UUPA tersebut wajib 
melepaskan hak milik atas tanahnya itu

Ketentuan tentang asas nasionalitas dalam PP No.40 Tahun 1996 dapat dilihat yaitu 
dengan ketentuan tidak diberikannya hak-hak tertentu atas tanah bagi orang asing atau badan 
usaha asing, hak-hak itu seperti hak milik, hak guna usaha dan hak guna bangunan. Dalam 
ketentuan tentang HGB dan HGU disebutkan bahwa yang dapat memiliki HGU dan HGB 
adalah warga negara Indonesia dan badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia 
dan berkedudukan di Indonesia (Pasal 2 dan 19 PP No.40 Tahun 1996). 15Hal ini penting
diatur  dengan hati-hati, karena HGU dan HGB sebagaimana hak milik adalah hak atas tanah
yang  memiliki sifat kebendaan, sehingga dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain,
sebagaimana  ketentuan di dalam Pasal 16 tentang HGU dan Pasal 34 tentang HGB yang
mengatur bahwa  peralihan kedua hak ini dapat terjadi karena jual beli, tukar menukar,
penyertaan dalam modal,  hibah dan pewarisan.  

2. Asas hak menguasai negara

Sampai saat ini, pengertian konsep asas hak menguasai negara belum mempunyai

pengertian yang tepat dan terkesan masih abu-abu, sehingga mempunyai beberapa
penafsiran yang berpotensi menimbulkan konflik dalam implementasinya.

Berdasarkan ketentuan Pasal 2 UUPA, dapat diartikan bahwa hak menguasai Negara

merupakan hak yang diberikan oleh UUPA kepada lembaga hukum mengenai hubungan

hukum konkret antara negara dan tanah Indonesia.

Dengan demikian pengertian “dikuasai oleh negara” dapat dimaknai penguasaan oleh

negara sebagai pengaturan dengan cara mengatur dan menyelenggarakan peruntukan,

persediaan, penggunaan dan pemeliharaan pertanahan; menentukan dan mengatur

hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan tanah; menentukan dan mengatur

hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang

mengenai tanah untuk tujuan kemakmuran rakyat.

Subjek Hak Menguasai dari Negara adalah Negara Republik Indonesia sebagai

organisasi kekuasaan seluruh rakyat Indonesia30. Hal ini dipertegas di dalam Penjelasan

Pasal 2 Undang-Undang Pokok Agraria

Hal ini menandakan bahwa kewenangan di bidang agrarian atau pertanahan harus

tetap ada di Pemerintah Pusat dan tidak boleh diberikan hak otonom kepada daerah. Akan

tetapi, Pemerintah Pusat dalam melimpahkan wewenang ke daerah dalam bentuk

“medebewind”. Hak menguasai dari Negara tidak dapat dipindahkan kepada pihak lain.

Tetapi, tanah Negara dapat diberikan dengan sesuatu hak atas tanah kepada pihak lain.

Pelimpahan pelaksanaan sebagian kewenangan Negara dapat juga dilakukan kepada

Badan-badan Otorita, perusahaan-perusahaan Negara, dan perusahaan-perusahaan Daerah

berupa pemberian penguasaan tanah-tanah tertentu yang biasanya disebut Hak

Pengelolaan. Hak ini diatur di dalam Peraturan Menteri Agraria Nomor 9 Tahun 1965.

3. Asas pengakuan hak ulayat


Dalam UUPA tidak terdapat penjelasan atau definisi mengenai hak ulayat, namun 
menyebutkan bahwa hak ulayat adalah beschikkingrecht dalam kepustakaan hukum adat 
sehingga dapat diartikan bahwa hak ulayat merupakan hak yang melekat pada masyarakat 
dimana masyarakat memiliki wewenang maupun kekuasaan untuk mengurus dan 
mengatur tanah seisinya dengan daya laku ke dalam maupun ke luar. 

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan dasar Pokok-Pokok  Agraria atau
Undang- Undang Pokok Agraria (UUPA) Pasal 3 mengatur terkait asas  pengakuat hak
ulayat yang berbunyi: “Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam  pasal 1 dan 2
pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat 
masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya. masih ada, harus sedemikian  rupa
sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas  persatuan
bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan Undang-undang dan peraturan peraturan lain
yang lebih tinggi2”. 

Adapun ciri-ciri hak ulayat menurut Va Vollenhoven, yaitu3: 

1. Bahwa hanya masyarakat hukum itu sendiri beserta anggota-anggotanya yang 


berhak dengan bebas mempergunakan tanah-tanah yang tidak dibudidayakan
yang  berada dalam wilayah kekuasaannya (beschikkingskring), misalnya
membuka  tanah, mendirikan perumahan, mengumpulkan/memungut hasil-
hasil, berburu,  menggembala ternak, dan sebagainya. 

2. Bahwa orang-orang asing (vreemden, artinya orang-orang yang bukan anggota 


masyarakat hukum itu, jadi juga orang-orang pribumi sendiri yang bukan
anggota  dari masyarakat tersebut, misalnya orang-orang yang berasal dari
desa lain) hanya  

Hak ulayat berisi wewenang untuk4: 

1. Mengatur dan menyelenggarakan penggunaan tanah (untuk pemukiman,


bercocok  tanam dan lain-lain) persediaan (pembuatan
pemukiman/persawahan baru dan  lain-lain) dan pemeliharaan tanah. 
2. Mengatur dan menetukan hubungan hukum antara orang dengan tanah 
(memberikan hak tertentu pada subyek tertentu. 

3. Mengatur dan menetapkan hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan


perbuatan hukum yang berkenaan dengan tanah (jual-beli, warisan dan lain-
lain). 

4. Asas hukum agrarian berdasarkan hukum adat

Hukum adat yang oleh UUPA dijadikan dasar hukum tanah nasional adalah hukum  asli
golongan pribumi. Yang dimaksudkan dengan hukum adat yaitu hukum aslinya golongan 
rakyat pribumi, merupakan hukum yang hidup dalam bentuk tidak tertulis dan
mengandung  unsur-unsur nasional yang asli, yaitu sifat kemasyarakatan dan
kekeluargaan berasaskan  keseimbangan serta diliputi oleh suasana keagamaan. Konsepsi
hukum adat mengenai  pertanahan ini oleh Boedi Harsono dirumuskan dengan kata
komunalistik religius. Konsepsi  hukum adat yang bersifat komunalistik religius ini
memungkinkan penguasaan bagian-bagian  tanah bersama sebagai karunia Tuhan Yang
Maha Esa oleh para warga negara secara  individual, dengan hak-hak atas tanah yang
bersifat pribadi sekaligus mengandung unsur  kebersamaan.6 

Pembentukan hukum tanah nasional dengan dasar hukum adat yang digunakan adalah 
konsepsi dan asas-asasnya. Asas-asas Hukum Adat yang digunakan dalam hukum Tanah 
Nasional antara lain:7 

1. Asas Religiusitas  
sifat religius terdapat dalam Pasal 1 ayat (2) UUPA yang menyebutkan  bahwa “Seluruh
bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung  
didalamnya dalam wilayah Republik Indonesia sebagai karunia Tuhan Yang Maha    
Esa adalah bumi, air dan ruang angkasa bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan 
nasional”.10 

2. Asas Kebangsaan  
Pernyataan bahwa Hak Bangsa adalah semacam Hak Ulayat berarti bahwa dalam 
konsepsi Hukum Tanah Nasional hak tersebut merupakan hak penguasaan atas tanah 
yang tertinggi. Ini berarti bahwa hak-hak penguasaan atas tanah yang lain, termasuk Hak 
Ulayat dan hak-hak individual atas tanah yang dimaksudkan dalam
Hak bangsa mengandung dua unsur, yaitu unsur kepunyaan dan unsur tugas kewenangan 
untuk mengatur dan memimpin penguasaan dan penggunaan tanah-bersama yang 
dipunyainya. Hak bangsa atas tanah-bersama tersebut bukan hak pemilikan dalam 
pengertian yuridis. Maka dalam rangka Hak Bangsa ada Hak Milik perorangan atas 
tanah.

3. Asas Demokrasi  

Asas demokrasi tercantum dalam Pasal 9 ayat (2) UUPA, yang berbunyi “Tiap-tiap 
warga-negara Indonesia, baik laki-laki maupun wanita mempunyai kesempatan yang 
sama untuk memperoleh sesuatu hak atas tanah serta untuk mendapat manfaat dari 
hasilnya, baik bagi diri sendiri maupun keluarganya.”

4. Asas Kemasyarakatan, Pemerataan dan Keadilan Sosial 


Asas ini tercantum pada Pasal 6 yang menyatakan bahwa “Semua hak atas tanah 
mempunyai fungsi sosial”.14 Ini berarti, bahwa hak atas tanah apapun yang ada pada 
seseorang, tidaklah dapat dibenarkan, bahwa tanahnya itu akan dipergunakan (atau tidak 
dipergunakan) semata-mata untuk kepentingan pribadinya, apalagi kalau hal itu 
menimbulkan kerugian bagi masyarakat.

5. Asas Penggunaan dan Pemeliharaan Tanah Secara Berencana  

Asas ini tertulis dalam Pasal 14 ayat (1) UUPA. Untuk mencapai apa yang menjadi  cita-
cita bangsa dan Negara Indonesia dalam bidang agraria, perlu adanya suatu rencana 
mengenai peruntukan, penggunaan dan persediaan bumi, air, dan ruang angkasa untuk 
berbagai kepentingan hidup rakyat dan Negara. Untuk mencapai apa yang menjadi cita 
cita bangsa dan Negara tersebut diatas dalam bidang agraria, perlu adanya suatu rencana 
("planning") mengenai peruntukan, penggunaan dan persediaan bumi, air dan ruang 
angkasa untuk pelbagai kepentingan hidup rakyat dan Negara: Rencana Umum 
("National planning") yang meliputi seluruh wilayah Indonesia, yang kemudian
diperinci menjadi rencana-rencana khusus ("regional planning") dari tiap-tiap daerah
(pasal 14).  Dengan adanya planning itu maka penggunaan tanah dapat dilakukan secara
terpimpin  dan teratur hingga dapat membawa manfaat yang sebesar-besarnya bagi
Negara dan  rakyat. 
6. Asas Pemisahan Horisontal Tanah dengan bangunan dan tanaman yang ada di 
atasnya. 
Menurut asas ini bangunan dan tanaman bukan merupakan bagian dari tanah. Hukum
Tanah kita menggunakan asas Hukum Adat yang disebut  asas pemisahan horizontal
(dalam bahasa Belanda: horizontale scheiding”). Bangunan  dan tanaman bukan
merupakan bagian dari tanah. Maka hak atas tanah tidak dengan  sendirinya meliputi
pemilikan bangunan dan tanaman yang ada di atasnya.  

5. Asas tanah berfungsi sosial

Asas tanah berfungsi sosial merupakan asas yang dijadikan dasar dalam  penerapan hukum
agraria di Indonesia. Pengaturan mengenai asas tanah  berfungsi sosial secara yuridis
terdapat dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor  5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria (UUPA) yang  menyatakan “Semua hak atas tanah mempunyai
fungsi sosial”.

Berdasarkan penjelasan atas rumusan Pasal 6 UUPA dapat disimpulkan  bahwa asas tanah
berfungsi sosial dalam hukum agraria bermakna bahwa hak  atas tanah apapun yang ada
pada seseorang, di dalamnya juga terkandung hak  fungsi sosial sehingga tidak dapat
dibenarkan bahwa tanah tersebut akan  dipergunakan (atau tidak dipergunakan) semata-
mata untuk kepentingan  pribadi, apalagi jika menimbulkan kerugian bagi masyarakat.

Namun, dalam konteks ketentuan ini, tidak berarti bahwa kepentingan  perseorangan akan
terdesak oleh kepentingan umum karena Undang-Undang  Pokok Agraria juga turut
memperhatikan dan mempertimbangkan terkait  kepentingan perseorangan, karena
kewenangan atas hak milik setiap orang  dijamin dalam Pasal 28 H ayat (4) UUD NRI
Tahun 1945

Pengaturan atas kewenangan hak milik pribadi lebih lanjut dijamin  dalam Pasal 36
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi  Manusia

6. Asas landreform

Secara harfiah landreform berasal dari kata-kata dalam bahasa Inggris yang terdiri  dari
kata Land dan Reform. Land artinya tanah, sedangkan Reform artinya perubahan  dasar atau
perombakan untuk membentuk atau membangun atau menata kembali  struktur pertanian.
Jadi arti dari Landreform adalah perombakan struktur pertanian lama  dan pembangunan
struktur pertanian lama menuju struktur pertanian baru.

Termuat didalam Undang – Undang No. 5 Tahun 1960 atau Undang–


Undang  Pokok Agraria yang memuat tentang asas – asas landreform yaitu: 

a. Asas Penghapusan Tuan Tanah Besar.


Asas ini termuat dalam pasal 7 UUPA yang menetapkan bahwa untuk tidak
merugikan kepentingan umum, maka pemilikan dan penguasaan tanah yang
melampaui batas tidak di perkenankan. 

b. Asas Pembatasan Luas Maksimum dan / Minimum Tanah 

Asas ini dimuat dalam pasal 17 UUPA yaitu: 

c. Asas Larangan Pemerasan Orang Oleh Orang Lain 

Asas ini dimuat dalam pasal 11 UUPA yakni: 

d. Asas Kewajiban Mengerjakan atau mengusahakan sendiri secara aktif atas Tanah 
Pertanian. 

Asas ini dimuat dalam Pasal 10 UUPA yakni: 

Di Indonesia sendiri, pelaksanaan landrefrom merupakan salah satu upaya baru pada  bidang
agraria yang kemudian dikuatkan dengan diundangkannya UUPA No. 5/1960, UU  No. 56
Prp/1960, dan UUPBH No. 2/1960. Dengan di laksanakannya landrefrom di  harapkan dapat
mengurangi kemiskinan pada wilayah pedesaan, ketimpangan sosial yang  tajam,
ketidakadilan para petani, serta adanya pemanfaatan secara maksimal dan  terpeliharanya
tanah secara seimbang antara produktivas dan pelestariannya. 

7. Asas kepentingan umum

UUPA menjadi dasar pengaturan dan ketentuan mengenai

penguasaan, pemanfaatan, serta pengelolaan administrasi pertanahan di Indonesia termasuk


didalamnya adalah kegiatan pengadaan tanah untuk kepentingan masyarakat umum,
bangsa,

dan negara.

Dijelaskan dalam Pasal

18 Undang Undang Pokok Agraria bahwa yang diatur adalah untuk kepentingan umum

termasuk kepentingan bangsa dan Negara serta kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak
atas

tanah dapat dicabut, dengan memberi ganti kerugian yang layak dan menurut cara yang
diatur

dengan Undang-undang. Maka dalam penjelasannya, asas kepentingan umum ini mengatur

mengenai tanah yang tak lain tentu dimanfaatkan untuk kemakmuran dan kesejahteraan

masyarakat umum, bangsa, dan negara. Jika tidak didasarkan atas asas kepentingan umum

tersebut, maka hak tanah tersebut dapat dicabut dengan memberi ganti rugi yang adil dan
layak

menurut undang undang.


Dalam Pasal 18 UUPA mengenai asas kepentingan umum tersebut dijelaskan
bahwa  hak-hak atas tanah dapat dicabut, dengan memberi ganti kerugian yang layak
dan menurut cara yang diatur dengan Undang-undang. Maksud dari kalimat ini adalah,
pada dasarnya tanah merupakan salah satu sumber daya yang sangat diperlukan dalam
hal pembangunan. Lantas, darimanakah tanah itu dapat diperoleh? Tanah dapat
diperoleh atas persetujuan pihak pemilik tanah atas dasar jual beli, tukar menukar, dan
lain sebagainya. Namun pada kenyataannya, tidak semua jual beli atau tukar menukar
membawa hasil yang memuaskan. Biasanya ditemukan beberapa masalah seperti pihak
pemilik tanah yang meminta harga terlalu tinggi atau bahkan tidak bersedia sama sekali
untuk melepaskan tanah yang diperlukan itu. Namun berdasarkan asas kepentingan
umum, bahwa kepentingan umum harus selalu didahulukan daripada kepentingan
perorangan. Maka dari itu, jika tidak membawa hasil yang memuaskan sedangkan
keadaan mendesak dan memaksa karena tanah tersebut diperlukan untuk kepentingan
umum, maka pemerintah memiliki wewenang agar bisa mengambil dan menguasai tanah
tersebut melalui pencabutan hak sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 18 UUPA
tersebut diatas. Dengan harapan, bahwa wewenang pencabutan hak tersebut merupakan
jalan terbaik dan merupakan jalan yang terakhir untuk memperoleh tanah yang
diperlukan untuk kepentingan masyarakat umum, bangsa, dan negara. Namun tentu,
pencabutan hak tersebut tidak semena mena dan mengabaikan hak serta kewajiban sang
pemilik tanah. Maka dari itu, selain wewenang untuk melakukan pencabutan hak, dalam
pasal 18 UUPA juga dijelaskan jaminan yang berhak diterima sang pemilik tanah.
Jaminan yang dimaksud ini yaitu bahwa pencabutan hak harus dilakukan menurut cara
yang diatur dalam undang undang disertai dengan pemberian ganti rugi yang layak dan
adil bagi sang pemilik tanah. 

8. Asas tata guna tanah

Penggunaan kata Tata Guna Tanah (land use planning) dalam objek hukum agraria 
nasional dianggap kurang tepat. Sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 
Tahun 1960 (UUPA) yaitu meliputi bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan alam di 
dalamnya (BARA-K). sedangkan tanah bagian dari bumi yang merupakan objek dari 
hukum agraria nasional. Maka istilah yang tepat ada penggunaan ‘tata guna agraria’ yang 
meliputi tata guna tanah, tata guna air, dan tata guna ruang angkasa.6 

Dalam pelaksanaannya, tujuan dari tata guna tanah adalah untuk mensejahterakan
dan  memakmurkan rakyat secara selektif, maka dalam penyusunannya harus didasarkan 
berdasarkan prinsip-prinsip yang telah di sepakati. Dalam seminar mengenai Tata Guna 
Sumber-Sumber Alam Ke-1 Tahun 1967 di Jakarta, dikemukakan 3 (tiga) prinsip yaitu: 

a) Prinsip Penggunaan Aneka (Principle of Multiple Use) 

Prinsip ini mengatur agar rencana tata agraria (tanah) dapat bisa memenuhi beberapa 
kepentingan sekaligus dalam satu kesatuan tanah tertentu. Peranan dari prinsip ini sendiri 
adalah untuk mengatasi keterbatasan areal, terutama di wilayah padat penduduk.

b) Prinsip Penggunaan Maksimum (Principle of Maximum Production) 


Prinsip ini mengatur agar pihak-pihak yang menggunakan suatu bidang tanah atau
agraria  diarahkan untuk mendapatkan hasil fisik yang sebanyak-banyaknya untuk
memenuhi  kebutuhan dari masyarakat. Hasil fisik yang dimaksud adalah sesuatu yang
menghasilkan  dari bidang tersebut contohnya sawah (tanah) menghasilkan padi dan
bahan pangan lainnya. 
c) Prinsip Penggunaan Optimum (Principle of Optimum Use) 

Prinsip ini diartikan agar dalam menggunakan suatu bidang agraria dapat
memberikan  keuntungan ekonomis yang sebesar-besarnya kepada pihak-pihak yang
menggunakannya  tanpa merusak suatu bidang tersebut. 

Asas-asas tata guna tanah dalam literatur hukum agraria dibedakan menjadi 2, yaitu
tata  guna tanah daerah pedesaan dan daerah perkotaan10. Perbedaan tersebut dilihat dari
perbedaan  mengenai titik berat penggunaan tanah antara desa dan kota. Di daerah
pedesaan, penggunaan  tanah biasanya lebih ditekankan pada lahan pertanian. Sedangkan
di perkotaan, penggunaan  tanah dititikberatkan pada sektor non-pertanian antara lain
seperti perkantoran, pemukiman,  penyedia jasa, dan sebagainya.  

9. Asas pendaftaran tanah

Pendaftaran tanah adalah sebuah proses pembukuan mengenai  ukuran,pemetaan, dan hak-
hak atas tanah yang menghasilkan surat tanda bukti hak  sebagai alat pembuktian hak milik.
Dalam pendaftaran tanah data akan terbagi menjadi  dua antara lain data fisik dan data yuridis
atas tanah yang didaftarkan. Data fisik terdiri  dari letak, batas, serta luas dari tanah yang
didaftarkan, termasuk bangunan yang ada di  dalamnya (apabila terdapat bangunan
didalamnya). sedangkan data yuridis dalam  pendaftaran tanah menyinggung mengenai status
tanah tersebut di mata hukum.
Melakukan pendaftaran tanah akan memberikan manfaat baik bagi pemilik  tanah
maupun bagi negara diantaranya :  
a. Hak pemilik tanah terlindungi oleh hukum 

b. Informasi transparan sehingga pihak yang berkepentingan akan lebih  diuntungkan.


Contoh : A ingin membeli tanah milik B. A mengecek data dan  histori tanah milik B
apakah ada sengketa/masalah lain. 
c. Bagi negara, akan terselenggara tertib administrasi pertahanan. 

Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaraan Tanah  (Lembaga


Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 59, Tambahan Lembaran  Negara Indonesia
Nomor 3639) pelaksanaan pendaftaraan tanah meliputi : pendaftaraan  dilakukan pertama
kali, yaitu suatu kegiatan pendaftaraan tanah menjadi obyek yang  belum pernah terdaftar.  
Kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali meliputi :  

1) Pengumpulan data dan pengelolaan data fisik.  

2) Pengumpulan dan pengolahan data yuridis serta pembukuan haknya.  3)


Penerbitan sertifikat.  
4) Penyajian data fisik dan data yuridis.  

5) Penyimpanan data umum dan dokumen.  

Sedangkan Pemeliharaan data pendaftaran tanah yang meliputi:  

1) Pendaftaran peralihan dan pembebanan hak;  

2) Pendaftaran perubahan dan tanah lainnya.

10. Asas pemisah horizontal

Asas Pemisahan Horizontal merupakan salah satu konsepsi Hukum Adat yang dipertahankan
dan disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat masa kini. Dalam Asas Pemisahan Horizontal
ini hak atas suatu bidang tanah tidak meliputi kepemilikan dari bangunan dan/atau tanaman
di atasnya. Bangunan, tanaman, atau benda tersebut kepemilikannya kepada pihak yang
membangun atau menanam, baik pihak itu pemegang hak atas tanahnya atau pun pihak lain. 
Mengenai penerapan asas pemisahan horisontal pada praktek jual beli tanah
tidak beserta dengan pohon kelapa di atasnya tidak diatur oleh Undang-Undang
Pokok Agraria (UUPA). Asas pemisahan horizontal yang diatur dalam UUPA
hanyalah persoalan, yaitu: 8 
a. Hak Guna Usaha (HGU)
b. Hak Guna Bangunan (HGB)
c. Hak Pakai (HP)
d. Hak Sewa Untuk Bangunan (HSUB)
Selain itu ada hak atas tanah yang bersifat sementara yang juga menerapkan asas pemisahan
horizontal yaitu: 
a. Hak Menumpang : Hak Menumpang di atas tanah milik orang lain, yang
menurut Boedi Harsono menumpang untuk mendirikan dan menempati
rumah di atas tanah pekarangan milik orang lain. 
b. Hak Sewa Tanah Pertanian : Yang dimaksud dengan Hak Sewa Tanah
Pertanian adalah suatu perbuatan hukum dalam bentuk penyerahan
penguasaan tanah pertanian oleh pemilik tanah kepada pihak lain
(penyewa) dalam jangka waktu tertentu dan sejumlah uang sebagai sewa
yang ditetapkan atas dasar kesepakatan kedua belah pihak. 

Penerapan Asas Pemisahan Horizontal merupakan bentuk dari akibat dimasukkannya unsur
Hukum Adat ke dalam Hukum Pertahanan Nasional yang mengakibatkan munculnya
dualisme hukum tanah, yang terjadi sebelum diundangkannya Undang-Undang Nomor 5
tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria(UUPA).

Anda mungkin juga menyukai