Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
Asas Nasionalitas
Asas utama dalam UUPA terkait dengan pembentukan Hukum Tanah Nasional adalah asas
nasionalitas. Asas nasionalitas hanya memberikan hak kepada Warga Negara Indonesia
(WNI) dalam hal pemilikan hak atas tanah yang mana telah menutup kemungkinan Warga
Negara Asing (WNA) untuk dapat memilikimnya. Penerapan asas nasionalitas dalam UUPA,
terutama dalam kepemilikan hak atas tanah, memberikan konsekuensi adanya perbedaan
perlakuan WNI dengan WNA.
Asas nasionalitas dalam hukum agraria Indonesia tidak mengizinkan orang asing memiliki
tanah di Indonesia. Bahkan, WNI yang telah melakukan perkawinan campuran dengan WNA
tidak dapat mempunyai hak milik atas tanah, karena tanah tersebut dapat bercampur dan
menjadi bagian dari harta bersama perkawinan. Untuk mempertahankan asas nasionalitas
hukum agraria, Ditetapkan UU No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok Pokok Agraria bahwa
Hanya warga negara Indonesia yang dapat memiliki sertifikat tanah. Pasal 21 UUPA
menegaskan bahwa WNA yang memperoleh hak milik karena pewarisan tanpa wasiat atau
percampuran harta karena perkawinan sejak saat berlakuknya UUPA tersebut wajib
melepaskan hak milik atas tanahnya itu
Ketentuan tentang asas nasionalitas dalam PP No.40 Tahun 1996 dapat dilihat yaitu
dengan ketentuan tidak diberikannya hak-hak tertentu atas tanah bagi orang asing atau badan
usaha asing, hak-hak itu seperti hak milik, hak guna usaha dan hak guna bangunan. Dalam
ketentuan tentang HGB dan HGU disebutkan bahwa yang dapat memiliki HGU dan HGB
adalah warga negara Indonesia dan badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia
dan berkedudukan di Indonesia (Pasal 2 dan 19 PP No.40 Tahun 1996). 15Hal ini penting
diatur dengan hati-hati, karena HGU dan HGB sebagaimana hak milik adalah hak atas tanah
yang memiliki sifat kebendaan, sehingga dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain,
sebagaimana ketentuan di dalam Pasal 16 tentang HGU dan Pasal 34 tentang HGB yang
mengatur bahwa peralihan kedua hak ini dapat terjadi karena jual beli, tukar menukar,
penyertaan dalam modal, hibah dan pewarisan.
Sampai saat ini, pengertian konsep asas hak menguasai negara belum mempunyai
pengertian yang tepat dan terkesan masih abu-abu, sehingga mempunyai beberapa
penafsiran yang berpotensi menimbulkan konflik dalam implementasinya.
Berdasarkan ketentuan Pasal 2 UUPA, dapat diartikan bahwa hak menguasai Negara
merupakan hak yang diberikan oleh UUPA kepada lembaga hukum mengenai hubungan
Dengan demikian pengertian “dikuasai oleh negara” dapat dimaknai penguasaan oleh
Subjek Hak Menguasai dari Negara adalah Negara Republik Indonesia sebagai
organisasi kekuasaan seluruh rakyat Indonesia30. Hal ini dipertegas di dalam Penjelasan
Hal ini menandakan bahwa kewenangan di bidang agrarian atau pertanahan harus
tetap ada di Pemerintah Pusat dan tidak boleh diberikan hak otonom kepada daerah. Akan
“medebewind”. Hak menguasai dari Negara tidak dapat dipindahkan kepada pihak lain.
Tetapi, tanah Negara dapat diberikan dengan sesuatu hak atas tanah kepada pihak lain.
Pengelolaan. Hak ini diatur di dalam Peraturan Menteri Agraria Nomor 9 Tahun 1965.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan dasar Pokok-Pokok Agraria atau
Undang- Undang Pokok Agraria (UUPA) Pasal 3 mengatur terkait asas pengakuat hak
ulayat yang berbunyi: “Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam pasal 1 dan 2
pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat
masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya. masih ada, harus sedemikian rupa
sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan
bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan Undang-undang dan peraturan peraturan lain
yang lebih tinggi2”.
Hukum adat yang oleh UUPA dijadikan dasar hukum tanah nasional adalah hukum asli
golongan pribumi. Yang dimaksudkan dengan hukum adat yaitu hukum aslinya golongan
rakyat pribumi, merupakan hukum yang hidup dalam bentuk tidak tertulis dan
mengandung unsur-unsur nasional yang asli, yaitu sifat kemasyarakatan dan
kekeluargaan berasaskan keseimbangan serta diliputi oleh suasana keagamaan. Konsepsi
hukum adat mengenai pertanahan ini oleh Boedi Harsono dirumuskan dengan kata
komunalistik religius. Konsepsi hukum adat yang bersifat komunalistik religius ini
memungkinkan penguasaan bagian-bagian tanah bersama sebagai karunia Tuhan Yang
Maha Esa oleh para warga negara secara individual, dengan hak-hak atas tanah yang
bersifat pribadi sekaligus mengandung unsur kebersamaan.6
Pembentukan hukum tanah nasional dengan dasar hukum adat yang digunakan adalah
konsepsi dan asas-asasnya. Asas-asas Hukum Adat yang digunakan dalam hukum Tanah
Nasional antara lain:7
1. Asas Religiusitas
sifat religius terdapat dalam Pasal 1 ayat (2) UUPA yang menyebutkan bahwa “Seluruh
bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung
didalamnya dalam wilayah Republik Indonesia sebagai karunia Tuhan Yang Maha
Esa adalah bumi, air dan ruang angkasa bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan
nasional”.10
2. Asas Kebangsaan
Pernyataan bahwa Hak Bangsa adalah semacam Hak Ulayat berarti bahwa dalam
konsepsi Hukum Tanah Nasional hak tersebut merupakan hak penguasaan atas tanah
yang tertinggi. Ini berarti bahwa hak-hak penguasaan atas tanah yang lain, termasuk Hak
Ulayat dan hak-hak individual atas tanah yang dimaksudkan dalam
Hak bangsa mengandung dua unsur, yaitu unsur kepunyaan dan unsur tugas kewenangan
untuk mengatur dan memimpin penguasaan dan penggunaan tanah-bersama yang
dipunyainya. Hak bangsa atas tanah-bersama tersebut bukan hak pemilikan dalam
pengertian yuridis. Maka dalam rangka Hak Bangsa ada Hak Milik perorangan atas
tanah.
3. Asas Demokrasi
Asas demokrasi tercantum dalam Pasal 9 ayat (2) UUPA, yang berbunyi “Tiap-tiap
warga-negara Indonesia, baik laki-laki maupun wanita mempunyai kesempatan yang
sama untuk memperoleh sesuatu hak atas tanah serta untuk mendapat manfaat dari
hasilnya, baik bagi diri sendiri maupun keluarganya.”
Asas ini tertulis dalam Pasal 14 ayat (1) UUPA. Untuk mencapai apa yang menjadi cita-
cita bangsa dan Negara Indonesia dalam bidang agraria, perlu adanya suatu rencana
mengenai peruntukan, penggunaan dan persediaan bumi, air, dan ruang angkasa untuk
berbagai kepentingan hidup rakyat dan Negara. Untuk mencapai apa yang menjadi cita
cita bangsa dan Negara tersebut diatas dalam bidang agraria, perlu adanya suatu rencana
("planning") mengenai peruntukan, penggunaan dan persediaan bumi, air dan ruang
angkasa untuk pelbagai kepentingan hidup rakyat dan Negara: Rencana Umum
("National planning") yang meliputi seluruh wilayah Indonesia, yang kemudian
diperinci menjadi rencana-rencana khusus ("regional planning") dari tiap-tiap daerah
(pasal 14). Dengan adanya planning itu maka penggunaan tanah dapat dilakukan secara
terpimpin dan teratur hingga dapat membawa manfaat yang sebesar-besarnya bagi
Negara dan rakyat.
6. Asas Pemisahan Horisontal Tanah dengan bangunan dan tanaman yang ada di
atasnya.
Menurut asas ini bangunan dan tanaman bukan merupakan bagian dari tanah. Hukum
Tanah kita menggunakan asas Hukum Adat yang disebut asas pemisahan horizontal
(dalam bahasa Belanda: horizontale scheiding”). Bangunan dan tanaman bukan
merupakan bagian dari tanah. Maka hak atas tanah tidak dengan sendirinya meliputi
pemilikan bangunan dan tanaman yang ada di atasnya.
Asas tanah berfungsi sosial merupakan asas yang dijadikan dasar dalam penerapan hukum
agraria di Indonesia. Pengaturan mengenai asas tanah berfungsi sosial secara yuridis
terdapat dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria (UUPA) yang menyatakan “Semua hak atas tanah mempunyai
fungsi sosial”.
Berdasarkan penjelasan atas rumusan Pasal 6 UUPA dapat disimpulkan bahwa asas tanah
berfungsi sosial dalam hukum agraria bermakna bahwa hak atas tanah apapun yang ada
pada seseorang, di dalamnya juga terkandung hak fungsi sosial sehingga tidak dapat
dibenarkan bahwa tanah tersebut akan dipergunakan (atau tidak dipergunakan) semata-
mata untuk kepentingan pribadi, apalagi jika menimbulkan kerugian bagi masyarakat.
Namun, dalam konteks ketentuan ini, tidak berarti bahwa kepentingan perseorangan akan
terdesak oleh kepentingan umum karena Undang-Undang Pokok Agraria juga turut
memperhatikan dan mempertimbangkan terkait kepentingan perseorangan, karena
kewenangan atas hak milik setiap orang dijamin dalam Pasal 28 H ayat (4) UUD NRI
Tahun 1945
Pengaturan atas kewenangan hak milik pribadi lebih lanjut dijamin dalam Pasal 36
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
6. Asas landreform
Secara harfiah landreform berasal dari kata-kata dalam bahasa Inggris yang terdiri dari
kata Land dan Reform. Land artinya tanah, sedangkan Reform artinya perubahan dasar atau
perombakan untuk membentuk atau membangun atau menata kembali struktur pertanian.
Jadi arti dari Landreform adalah perombakan struktur pertanian lama dan pembangunan
struktur pertanian lama menuju struktur pertanian baru.
d. Asas Kewajiban Mengerjakan atau mengusahakan sendiri secara aktif atas Tanah
Pertanian.
Di Indonesia sendiri, pelaksanaan landrefrom merupakan salah satu upaya baru pada bidang
agraria yang kemudian dikuatkan dengan diundangkannya UUPA No. 5/1960, UU No. 56
Prp/1960, dan UUPBH No. 2/1960. Dengan di laksanakannya landrefrom di harapkan dapat
mengurangi kemiskinan pada wilayah pedesaan, ketimpangan sosial yang tajam,
ketidakadilan para petani, serta adanya pemanfaatan secara maksimal dan terpeliharanya
tanah secara seimbang antara produktivas dan pelestariannya.
dan negara.
18 Undang Undang Pokok Agraria bahwa yang diatur adalah untuk kepentingan umum
termasuk kepentingan bangsa dan Negara serta kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak
atas
tanah dapat dicabut, dengan memberi ganti kerugian yang layak dan menurut cara yang
diatur
dengan Undang-undang. Maka dalam penjelasannya, asas kepentingan umum ini mengatur
mengenai tanah yang tak lain tentu dimanfaatkan untuk kemakmuran dan kesejahteraan
masyarakat umum, bangsa, dan negara. Jika tidak didasarkan atas asas kepentingan umum
tersebut, maka hak tanah tersebut dapat dicabut dengan memberi ganti rugi yang adil dan
layak
Penggunaan kata Tata Guna Tanah (land use planning) dalam objek hukum agraria
nasional dianggap kurang tepat. Sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1960 (UUPA) yaitu meliputi bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan alam di
dalamnya (BARA-K). sedangkan tanah bagian dari bumi yang merupakan objek dari
hukum agraria nasional. Maka istilah yang tepat ada penggunaan ‘tata guna agraria’ yang
meliputi tata guna tanah, tata guna air, dan tata guna ruang angkasa.6
Dalam pelaksanaannya, tujuan dari tata guna tanah adalah untuk mensejahterakan
dan memakmurkan rakyat secara selektif, maka dalam penyusunannya harus didasarkan
berdasarkan prinsip-prinsip yang telah di sepakati. Dalam seminar mengenai Tata Guna
Sumber-Sumber Alam Ke-1 Tahun 1967 di Jakarta, dikemukakan 3 (tiga) prinsip yaitu:
Prinsip ini mengatur agar rencana tata agraria (tanah) dapat bisa memenuhi beberapa
kepentingan sekaligus dalam satu kesatuan tanah tertentu. Peranan dari prinsip ini sendiri
adalah untuk mengatasi keterbatasan areal, terutama di wilayah padat penduduk.
Prinsip ini diartikan agar dalam menggunakan suatu bidang agraria dapat
memberikan keuntungan ekonomis yang sebesar-besarnya kepada pihak-pihak yang
menggunakannya tanpa merusak suatu bidang tersebut.
Asas-asas tata guna tanah dalam literatur hukum agraria dibedakan menjadi 2, yaitu
tata guna tanah daerah pedesaan dan daerah perkotaan10. Perbedaan tersebut dilihat dari
perbedaan mengenai titik berat penggunaan tanah antara desa dan kota. Di daerah
pedesaan, penggunaan tanah biasanya lebih ditekankan pada lahan pertanian. Sedangkan
di perkotaan, penggunaan tanah dititikberatkan pada sektor non-pertanian antara lain
seperti perkantoran, pemukiman, penyedia jasa, dan sebagainya.
Pendaftaran tanah adalah sebuah proses pembukuan mengenai ukuran,pemetaan, dan hak-
hak atas tanah yang menghasilkan surat tanda bukti hak sebagai alat pembuktian hak milik.
Dalam pendaftaran tanah data akan terbagi menjadi dua antara lain data fisik dan data yuridis
atas tanah yang didaftarkan. Data fisik terdiri dari letak, batas, serta luas dari tanah yang
didaftarkan, termasuk bangunan yang ada di dalamnya (apabila terdapat bangunan
didalamnya). sedangkan data yuridis dalam pendaftaran tanah menyinggung mengenai status
tanah tersebut di mata hukum.
Melakukan pendaftaran tanah akan memberikan manfaat baik bagi pemilik tanah
maupun bagi negara diantaranya :
a. Hak pemilik tanah terlindungi oleh hukum
Asas Pemisahan Horizontal merupakan salah satu konsepsi Hukum Adat yang dipertahankan
dan disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat masa kini. Dalam Asas Pemisahan Horizontal
ini hak atas suatu bidang tanah tidak meliputi kepemilikan dari bangunan dan/atau tanaman
di atasnya. Bangunan, tanaman, atau benda tersebut kepemilikannya kepada pihak yang
membangun atau menanam, baik pihak itu pemegang hak atas tanahnya atau pun pihak lain.
Mengenai penerapan asas pemisahan horisontal pada praktek jual beli tanah
tidak beserta dengan pohon kelapa di atasnya tidak diatur oleh Undang-Undang
Pokok Agraria (UUPA). Asas pemisahan horizontal yang diatur dalam UUPA
hanyalah persoalan, yaitu: 8
a. Hak Guna Usaha (HGU)
b. Hak Guna Bangunan (HGB)
c. Hak Pakai (HP)
d. Hak Sewa Untuk Bangunan (HSUB)
Selain itu ada hak atas tanah yang bersifat sementara yang juga menerapkan asas pemisahan
horizontal yaitu:
a. Hak Menumpang : Hak Menumpang di atas tanah milik orang lain, yang
menurut Boedi Harsono menumpang untuk mendirikan dan menempati
rumah di atas tanah pekarangan milik orang lain.
b. Hak Sewa Tanah Pertanian : Yang dimaksud dengan Hak Sewa Tanah
Pertanian adalah suatu perbuatan hukum dalam bentuk penyerahan
penguasaan tanah pertanian oleh pemilik tanah kepada pihak lain
(penyewa) dalam jangka waktu tertentu dan sejumlah uang sebagai sewa
yang ditetapkan atas dasar kesepakatan kedua belah pihak.
Penerapan Asas Pemisahan Horizontal merupakan bentuk dari akibat dimasukkannya unsur
Hukum Adat ke dalam Hukum Pertahanan Nasional yang mengakibatkan munculnya
dualisme hukum tanah, yang terjadi sebelum diundangkannya Undang-Undang Nomor 5
tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria(UUPA).