Anda di halaman 1dari 7

OPTIMALISASI PERAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

TERKAIT HUKUM TANAH ADAT SETELAH BERLAKUNYA


HUKUM TANAH NASIONAL DI INDONESIA

Diajukan oleh :

Ramadanny Wijaya

NPM : 200513986
Program Studi : Ilmu Hukum

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS ATMA JAYA YOGYAKARTA

2023
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Tanah merupakan suatu faktor yang sangat penting dalam kehidupan
masyarakat Indonesia. Dalam kenyataannya masih diakuinya tanah-tanah dalam
lingkungan masyarakat hukum adat yang pengurusan, penguasaa dan penggunaannya
didasaarkan pada ketentuan hukum adat setempat dan diakui oleh para warga
masyarakat hukum adat yang bersangkutan sebagai tanah ulayatnya, sehingga dikenal
adanya tanah ulayat Nagari, tanah ulayat suku, tanag ulayat kaum dan tanah ulayat
Rajo yang diatur menurut adat yang berlaku. Dalam hidup, setiap orang mempunyai
hak yang sama, seperti halnya dijelaskan pada Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang
Dasar 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945) menjelaskan bahwa: “Setiap orang
berhak atas pengakuan, jaminan, dukungan dan kepastian hukum yang adil serta sama
dihadapan hukum”. Dalam bentuk hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak
boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapapun (Pasal 28H ayat (4) UUD
1945) karena seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah-air dari rakyat
Indonesia, yang bersatu sebagai bangsa Indonesia, Hubungan antara bangsa Indonesia
dan bumi, air serta ruang angkasa merupakan hubungan yang bersifat abadi,
dijelaskan dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor.05
Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (selanjutnya disebut
UUPA).
Pada kenyataan mengenai keadaan tanah-tanah di Indonesia, tanah-tanah yang
sudah didaftarkan jumlahnya relatif kecil dibandingkan dengan tanah-tanah yang
belum didaftarkan. Bagi tanah yang sudah didaftarkan memang tidak banyak
mengalami hambatan dalam hal konversi hak atas tanah tersebut, akan tetapi untuk
tanah yang belum didaftarkan akan ditemukan banyak hambatan dalam hal konversi
hak atas tanah tersebut. Terjadinya Hak Milik atas tanah ini atas dasar ketentuan
Konversi (Penyesuaian) menurut UUPA. Sejak berlakunya UUPA pada tanggal 24
September 1960, semua hak atas tanah yang harus diubah menjadi salah satu hak atas
tanah yang diatur dalam UUPA. Yang dimaksud dengan Konversi adalah penyesuaian
hak atas tanah sehubungan dengan berlakunya UUPA. Hak-hak atas tanah yang ada
sebelum berlakunya UUPA diubah menjadi hak-hak atas tanah yang diterapkan dalam
UUPA (Pasal 16 ayat (1) UUPA). Dimana penegasan konversi yang berasal dari tanah
milik adat diatur dalam Peraturan Menteri Pertanian dan Agraria (PMA) No.2 Tahun
1962 tentang Penegasan dan Pendaftaran Bekas Hak-hak Indonesia atas tanah.
Sebelum berlakunya UUPA, hak ulayat masyarakat hukum adat mencakup tanah-
tanah di wilayah masyarakat hukum adat tersebut (desa, marga, hutan dan dusun)
yang meliputi tanah-tanah hak maupun tanah-tanah ulayat yaitu tanahtanah yang
belum dikuasai dan dipergunakan oleh warga setempat. Sejak berlakunya UUPA,
sepanjang mengenai tanah-tanah hak secara yuridis dikonversikan menjadi salah satu
hak baru menurut UUPA, sedangkan terhadap tanah-tanah ulayat termasuk tanah
Negara yang tercakup dalam lingkup hak bangsa Indonesia atas tanah.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka dapat dirumuskan
rumusan masalah yaitu: Bagaimana peran peraturan perundang-undangan terkait
hukum tanah adat setelah berlakunya hukum tanah nasional?

C. Tujuan Penulisan
Berdasarkan pokok permasalahan, maka tujuan dari penelitian ini yaitu untuk:
Memberikan pengetahuan serta penjelasan terhadap optimalisasi peran peraturan
perundang-undangan terkait Hukum Tanah Adat setelah berlakunya Hukum Tanah
Nasional di Indonesia
BAB II
PEMBAHASAN

Hukum dapat didefenisikan dengan memilih satu dari 5 kemungkinan di bawah ini
yaitu sesuai sifat-sifatnya yang mendasar, logis, relijius, atau pun etis, menurut sumbernya,
yaitu Undang-Undang, menurut efeknya di dalam kehidupan masyarakat, menurut metode
pernyataan formalnya atau pelaksanaan otoritasnya, dan menurut tujuan yang ingin di
capainya. Menurut Soepomo, hukum adat adalah hukum non-statutair, yang sebagian besar
adalah hukum kebiasaan dan sebagian kecil hukum Islam. Hukum adat itupun melingkupi
hukum yang berdasarkan keputusan-keputusan hakim yang berisi asas-asas hukum dalam
lingkungan dimana ia memutuskan perkara. Hukum adat berakar pada kebudayaan
tradisional. Hukum adat adalah suatu hukum yang hidup, karena ia menjelmakan perasaan
hukum yang nyata dari rakyat. Hukum adat terus-menerus dalam keadaan tumbuh dan
berkembang, seperti hidup itu sendiri. Dengan demikian beberapa rumusan defenisi diatas
yang dibuat oleh para ahli untuk melukiskan apa yang dimaksud dengan hukum. Selain itu
masih banyak lagi defenisi-defenisi hukum yang berbeda beda akan tetapi kalau diperhatikan
defenisi-defenisi atau pengertian-pengertian hukum tersebut, satu hal adalah pasti bahwa
hukum itu berhubungan dengan manusia dalam masyarakat.
Dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) regulasi diartikan sebagai sebuah
peraturan, regulasi merupakan cara untuk mengendalikan manusia atau masyarakat dengan
suatu aturan atau pembatasan tertentu. Kata perundang-undangan dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia (KBBI), diartikan sebagai yang bertalian dengan undang-undang atau seluk beluk
undang-undang. Peraturan Menteri Negara Agraria Nomor 5 tahun 1999 menyebutkan, tanah
adat adalah tanah yang hak ulayat yang dari hukum adat tertentu.
Hak atas tanah adalah hak atas sebagian tertentu permukaan bumi yang terbatas, UUD
1945 Pasal 33 ayat 3 telah memberikan landasan bahwa bumi dan air serta kekayaan alam
yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat. Kekuasaan Negara yang ada didalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang
Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5 tahun 1960 adalah untuk mengatur pengelolaan fungsi
bumi, air, dan ruang angkasa serta kekayaan yang terkandung di dalamnya. Pada Pasal 4 ayat
(1) UUP A menentukan adanya macam-macam hak atas tanah yang dapat diberikan pada
orang baik sendiri atau bersama atau badan hukum, atas dasar Pasal 2 jo Pasal 4 ayat (1) UUP
A Negara mengatur adanya bermacam-macam hak-hak atas tanah dalam Pasal 16 ayat (l).
Pasal 16 ayat (1) UUPA menyebutkan bahwa hak-hak atas tanah adalah:
a. Hak Milik
b. Hak Guna Usaha
c. Hak Guna Bangunan
d. Hak Pakai
e. Hak Sewa
f. Hak Membuka Tanah
g. Hak Menguasai Hasil Hutan
Indonesia merupakan negara majemuk karena dianugerahi keberagaman suku, bangsa,
dan budayanya. Lebih dari 300 suku dan masing-masing memiliki budaya dan ciri khas yang
berbeda. Salah satu bagian penyusunan Indonesia sebagai negara multikultural adalah
masyarakat adat yang merupakan kelompok masyarakat yang memiliki sejarah asal-usul dan
menempati wilayah adat secara turun-temurun. Masyarakat Adat memiliki kedaulatan atas
tanah dan kekayaan alam, kehidupan sosial-budaya yang diatur oleh hukum adat, dan
lembaga adat yang mempertahankan keberlanjutan kehidupan Masyarakat Adat sebagai
komunitas adat.

Peraturan Menteri Negara Agraria Nomor 5 tahun 1999 menyebutkan, tanah adat
adalah tanah yang hak ulayat yang dari hukum adat tertentu. Meskipun dalam peraturan
sudah jelas tertulis bahwa sumber daya tersebut sepenuhnya dikuasai oleh masyarakat adat,
tetapi pada praktiknya, banyak di antara mereka yang digusur dari bumi warisan leluhur
sendiri. CNN Indonesia menyebut bahwa polemik tanah adat kebanyakan terjadi karena
belum adanya batas yang jelas antara hutan adat dengan tanah milik negara, di mana
pemerintah cenderung memetakan hutan tanpa melibatkan masyarakat.

Pengaturan tanah ulayat telah disebutkan dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 5


Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Pasal tersebut berbunyi “Dengan
mengingat ketentuan-ketentuan dalam Pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak
yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya
masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan Nasional dan Negara,
yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan Undang-
Undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi”.
Dalam tingkat peraturan pelaksananya, telah disahkan Peraturan Pemerintah Nomor
24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah yang merupakan perubahan atas Peraturan
Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961. Akan tetapi dalam Peraturan Pemerintah ini, tanah ulayat
tidak termasuk obyek pendaftaran tanah. Hal ini dikaitkan dengan Pasal 9 ayat (1) dan (2)
Peraturan Pemerintah, yaitu ayat (1) bahwa obyek pendaftaran tanah meliputi:

a. Bidang-bidang tanah yang dipunyai dengan hak milik, hak guna usaha, hak guna
bangunan dan hak pakai.
b. Tanah hak pengelolaan
c. Tanah wakaf
d. Hak milik atas satuan rumah susun
e. Hak tanggungan
f. Tanah negara

Kendati tanah ulayat bukan merupakan obyek pendaftaran tanah, akan tetapi
berdasarkan ketentuan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5
Tahun 1999, pada Pasal 4 ayat (1) dan (2) tercantum bahwa “Tanah ulayat dapat dikuasai oleh
perseorangan dan badan hukum dengan cara didaftar sebagai hak atas tanah apabila
dikehendaki oleh pemegang haknya yaitu warga masyarakat hukum adat menurut kententuan
hukum adatnya yang berlaku”.

Kemudian oleh instansi pemerintah, badan hukum atau perseorangan bukan warga
masyarakat hukum adat yang bersangkutan, bisa menguasai tanah ulayat setelah tanah
tersebut dilepaskan oleh masyarakat hukum adat itu atau oleh warganya sesuai dengan
ketentuan dan tata cara hukum adat yang berlaku.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Pasal 43 ayat (3) dan ayat (4) Undang-Undang Nomor 21 tahun 2001 serta Pasal 3
ayat (2) Perdasus Nomor 23 Tahun 2008 tentang Hak Ulayat Masyarakat Hukum Dan
Hak Perorangan warga Masyarakat Hukum Adat atas Tanah yang mengatur adanya dua
kewenangan yang berbeda dalam pengelolaan hak ulayat, yakni tetua adat dan
masyarakat hukum adat. Perbedaan kewenangan ini dapat menimbulkan konflik, yang
pada akhirnya mempengaruhi upaya perlindungan hak ulayat.
Problematika yang mempengaruhi upaya perlindungan bagi hak ulayat masyarakat
hukum adat adalah:
a. Adanya peraturan hukum yang kurang memberi perlindungan
b. Pemerintah Daerah baik di tingkat provinsi, kabupaten/kota tidak disiapkan secara
baik untuk melaksanakan Otonomi khusus secara benar dan bertanggung jawab;
c. Kelambanan Pemerintah dalam membuat kebijakan perlindungan di tingkat
daerah;
d. Ketidakseriusan Pemerintah
e. Upaya yang tidak maksimal dari pemerintah

Anda mungkin juga menyukai