Anda di halaman 1dari 7

NAMA : SALSHA BELFIRA

NIM : A1012201063
KELAS : C (PPAPK)
MATA KULIAH : HUKUM AGRARIA
DOSEN PENGAMPU : H. ALHADIANSYAH, SH.,MH

SUMBER BUKU :
1. HUKUM AGRARIA INDONESIA Cetakan Ke-6 Oleh Dr.H.M.Arba,SH.,M.Hum
Penerbit : Sinar Grafika, Jakarta, 2019.
2. Unifikasi dan Pluralisme Hukum Agraria Oleh Dr.Iwan Permadi, SH.,M.Hum
Penerbit : GUNUNG SAMUDERA, Malang, 2017.

RESUME MATERI HUKUM TANAH YANG DUALISTIK DAN UNIFIKASI HUKUM TANAH
DI INDONESIA
Tanah merupakan bagian dari bumi yang disebut dengan permukaan bumi.
Tanah yang diatur dalam hukum agraria bukanlah tanah dari berbagai aspek, akan
tetapi tanah yang dilihat dari aspek yuridisnya yang dimana berkaitan dengan hak
atas tanah yang merupakan bagan dari bumi, sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat
(1) UUPA yang berbunyi “ Atas dasar hak menguasai Negara sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang
disebut tanah yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik
sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain serta badan-badan hukum ”.
Hukum dan kebijakan pertanahan yang ditetapkan oleh penjajah senatiasa
diorentasikan pada kepentingan dan keuntungan mereka penjajah, yang pada
awalnya melalui politik dagang. Mereka sebagai penguasa sekaligus merangkap
sebagai pengusaha menciptakan kepentingan-kepentingan atas segala sumber-
sumber kehidupan di bumi Indonesia yang menguntungkan mereka sendiri sesuai
dengan tujuan mereka dengan mengorbankan banyak kepentingan rakyat Indonesia.
Hukum agraria kolonial memiki sifat dualisme hukum, yaitu dengan berlakunya
Hukum Agraria yang berdasarkan atas hukum adat, disamping peraturan-peraturan
dari dan berdasarkan atas hukum barat.
Upaya yang dilakukan oleh pemerintah indonesia untuk menyesuaikan
hukum agraria kolonial dengan keadaan dan kebutuhan setelah indonesia merdeka,
yaitu :
1. Mengunakan kebijaksanaan dan tafsir baru.
2. Penghapusan hak-hak kovensi.
3. Penghapusan tanah pertikelir.
4. Perubahan peraturan persewaan tanah rakyat.
5. Peraturan tambahan untuk mengawasi pemindahan hak atas tanah.
6. Peraturan dan tindakan mengenai tanah-tanah perkebunan.
7. Kenaikan canon dan ciji.
8. Larangan dan penyelesayan soal pemakaian tanah tanpa izin.
9. Peraturan perjanjian bagi hasil (tanah pertanian).
10. Peralihan tugas dan wewenang.
Sebelum berlakunya UUPA atau Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960
tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (LN. 1960-104, TLN. 2043), sebagai
warisan hukum tanah pada zaman Hindia Belanda, hukum tanah di Indonesia
bersifat dualistis. Artinya, berlaku secara berdampingan dua perangkat hukum tanah
yaitu, hukum tanah adat dan hukum tanah barat. Hukum tanah adat berlaku bagi
tanah dengan hakhak adat (tanah adat) dan hukum tanah barat berlaku bagi tanah
dengan hak-hak barat (tanah barat), tanpa memperhatikan siapa pemegang haknya.
Tanah mempunyai suatu “ Statuut ” tersendiri, hukum yang berlaku atas bidang
tanah terlepas dari hukum yangberlaku bagi pemegang haknya. Tanah-tanah adat
tunduk kepada ketentuan-ketentuan hukum adat tanpa memperhatikan siapa
pemegang haknya, demikian pula terhadap tanah-tanah barat, tunduk pada
ketentuanketentuan hukum barat tanpa memperhatikan siapa pemegang haknya.
Inilah yang terkenal dengan asas “ Intergentiele Grondenregel ”.
Asas Intergentiele Grondenregel ini tidak berlaku mutlak, karena adanya
pembatasan berlakunya asas ini yang dimana atas sebidang tanah yang sama dapat
berlaku secara bersama-sama dua macam aturan hukum yaitu hukum barat dan
hukum adat dan status tanah dipengaruhi oleh pemegang haknya.
Dualisme hukum (pluralisme hukum) melahirkan suatu ilmu khusus yang
dimana membahas segala masalah yang timbul berkaitan dengan pluralisme hukum
yaitu, hukum antar golongan (intergentiel recht). Dalam hukum antar golongan,
terdapat asas yang sangat terkenal yaitu “ Asas Persamarataan ” yang artinya, bahwa
semua stelsel hukum dimaksud adalah sama nilainya, adalah sama rata sama harga.
Asas ini diterima oleh semua penulis hukum antar golongan di Indonesia yaitu
misalnya Van den Berg, Andre de la Porte dan Nederburgh. Menurut asas tersebut
semua stelsel hukum (misalnya hukum adat dan hukum barat), sama kedudukan
dannilainya (sederajat). Akan tetapi, menurut pandangan pemerintah Hindia Belanda,
kedudukan hukum barat lebih tinggi daripada hukum adat, sehingga apabila terjadi
konflik hukum antara hukum adat dengan hukum barat, hukum barat yang
diutamakan dan hukum adat dikesampingkan. Pandangan pemerintah Hindia
Belanda ini bertentangan dengan asas persamaan tersebut.
Setelah berlakunya UUPA, sifat dualisme hukum tanah itu diganti dengan
unifikasi hukum tanah artinya, memberlakukan satu macam hukum tanah yakni
hukum tanah nasional. Hal ini sesuai dengan salah satu tujuan UUPA yaitu,
meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam
hukum pertanahan . Kesatuan hukum tanah artinya, memberlakukan satu macam
hukum tanah (unifikasi hukum) untuk semua tanah yang ada di wilayah Indonesia.
Unifikasi hukum tanah itu tidak hanya ditujukan pada hukumnya saja, tetapi
juga pada hak-hak atas tanah. Setelah berlakunya UUPA, hanya ada satu macam hak-
hak atas tanah yaitu, hak-hak atas tanah yang diatur dalam UUPA. Oleh karena itu,
hak-hak atas tanah sebelum berlakunya UUPA yaitu hak-hak atas tanah menurut
hukum adat dan hukum barat, harus diubah (dikonversi) menjadi hak-hak atas tanah
menurut UUPA
Penyeragaman hukum (unifikasi hukum) pada masyarakat yang majemuk/
beragam seperti di Indonesia, akan menimbulkan ketidak adilan. Sama tidak adilnya
dengan menerapkan hukum yang beragam (pluralisme hukum) pada masyarakat
yang seragam. Keanekaragaman masyarakat Indonesia tersebut tercermin pada
semboyan negara yang terkenal yaitu, “Bhinneka Tunggal Ika” yang artinya
bermacam macam tapi satu jua. Di Indonesia terdapat bermacammacam suku, ras,
agama, kebudayaan, hukum dan lain- lain, namun merupakan satu kesatuan yang
tidak dapat dipisahkan yaitu bangsa Indonesia. Oleh karena itu, unifikasi hukum
tanah dalam masyarakat Indonesia yang majemuk, dapat menimbulkan ketidak
adilan.
Untuk menghindarkan diri dari ketidakadilan ini, Majelis Permusyawaratan
Rakyat (MPR) membuka peluang untuk mengadakan pluralisme hukum pertanahan
sebagaimana diatur dalam Pasal 4 huraf c Ketetapan MPR Nomor IX/MPR/2001
tentang “Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam” yang berbunyi :
Menghormati supremasi hukum dengan mengakomodasi keanekaragaman dalam
unifikasi hukum.
Penjelasan Umum UUPA Nomor III/1 menjelaskan bahwa, “Sebagaimana
telah diterangkan di atas hukum agraria sekarang ini mempunyai sifat “dualisme”
dan mengadakan perbedaan antara hak-hak tanah menurut hukum adat dan hak-hak
atnah menurut hukum barat, yang berpokok pada ketentuan-ketentuan dalam Buku
II Kitab Undang-undang Hukum Perdata Indonesia. Undang-undang Pokok Agraria
bermaksud menghilangkan dualisme itu dan secara sadar hendak mengadakan
kesatuan hukum, sesuai dengan keinginan rakyat sebagai bangsa yang satu dan
sesuai pula dengan kepentingan perekonomian. Dengan sendirinya hukum agraria
baru itu harus sesuai dengan kesadaran hukum dari pada rakyat banyak. Oleh karena
rakyat Indonesia sebagian terbesar tunduk pada hukum adat, maka hukum agraria
yang baru tersebut akan didasarkan pula pada ketentuan-ketentuan hukum adat itu,
sebagai hukum yang asli, yang disempurnakan dan disesuaikan dengan kepentingan
masyarakat dalam Negara modern dan dalam hubungannya dengan dunia
internasional, serta disesuaikan dengan sosialisme Indonesia. Sebagaimana
dimaklumi maka hukum adat dalam pertumbuhannya tidak terlepas pula dari
pengaruh politik dan masyarakat kolonial yang kapitalistik dan masyarakat swapraja
yang feodal.
Yang dimaksud dengan hukum agraria yang baru dalam penjelasan tersebut
adalah, hukum agraria nasional yang bersifat unifikasi (kesatuan hukum) yang
berdasar pada hukum adat yang disempurnakan dan disesuai dengan kepentingan
masyarakat dalam negara modern serta dengan sosialisme Indonesia. Menurut
Penjelasan Umum tersebut, dalam pertumbuhan hukum adat tidak terlepas dari
pengaruh politik dan masyarakat kolonial yang kapitalis dan masyarakat swapraja
yang feodal. Oleh karena itu, hukum adat yang berlaku sekarang ini mengandung
cacat dan cacat ini harus dihilangkan sehingga hukum adat menjadi bersih dari cacat-
cacatnya. Hukum adat yang dipakai sebagai dasar hukum agraria nasional adalah
hukum adat yang sudah di-saneer.
Selanjutnya, hukum agraria nasional berdasar hukum adat diatur dalam Pasal
5 UUPA yang berbunyi: “ Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang
angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan
nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme
Indonesia serta dengan paraturan-peraturan yang tercantum dalam Undang-undang
ini dan dengan peraturan perundangan lainnya, segala sesuatu dengan
mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama.”
Masalah yang muncul berkenaan dengan hukum tanah nasional berdasar
hukum adat adalah, di mana letak/kedudukan hukum adat terhadap hukum tanah
nasional yang sebanyak mungkin dituangkan dalam bentuk peraturan perundang-
undangan itu. Jika memperhatikan salah satu syarat hukum adat dipakai dasar oleh
hukum tanah nasional yaitu, tidak bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan, dapat disimpulkan bahwa, kedudukan hukum adat lebih rendah daripada
peraturan perundang-undangan.
Apabila ada ketentuan hukum adat yang bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan, maka hukum adatnya yang dikesampingkan. Hal ini
bertentangan dengan asas yang sangat terkenal dalam hukum antar golongan yaitu,
“asas persamaan” artinya, semua stelsel hukum adalah sama nilainya, adalah sama
rata sama harga. Menurut asas tersebut, semua stelsel hukum (hukum adat dan
peraturan perundang-undangan) sama nilainya/derajatnya. Oleh karena itu,
peraturan perundang-undangan tidak dapat mengenyampingkan/tidak
memberlakukan hukum adat, demikian pula sebaliknya hukum adat tidak dapat
mengenyampingkan/ tidak memberlakukan peraturan perundang -undangan.
Persyaratan hukum adat tidak boleh bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan, sehingga jika terjadi konflik hukum antara hukum adat dengan
peraturan perundang-undangan, hukum adat yang dikesampingkan, berdasar asas
persamaan tersebut, tidak dapat dibenarkan. Kedudukan hukum adat yang masih
hidup dalam masyarakat (living law) terhadap peraturan perundang-undangan sama
derajatnya/ sejajar, sehingga tidak dapat saling menjatuhkan. Kedua hukum tersebut,
dibiarkan hidup secara berdampingan (dualisme hukum tanah), sebagaimana pernah
terjadi pada masa pemerintah Hindia Belanda. Pada masa pemerintah Hindia
Belanda, terjadi dualisme hukum tanah artinya, berlaku secara berdampingan dua
perangkat hukum tanah yaitu, hukum adat dan hukum barat. Walaupun pemerintah
Hindia Belanda menyatakan bahwa semua tanah selain yang dipunyai dengan hak
eigendom adalah milik negara, namun tanah adat dibiarkan tunduk pada hukum
adatnya masing masing.
Setelah Indonesia merdeka, sifat dualisme hukum digantikan dengan sifat
unifikasi hukum (kesatuan) yang dimana berlaku secara nasional. Undang-Undang
Pokok Agraria atau lazim disebut UUPA merupakan Undang-Undang yang melakukan
pembaruan Agraria karena didalamnya memuat program yang dikenal dengan panca
program reform Indonesia.
Adapun peraturan yang dicabut oleh UUPA yaitu :
1. Agrarishe wet stb. 1870 no.55 sebagai yang termuat dalam pasal 51 IS stb. 1925
no.447.
2. Peraturan-peraturan tentang domein verklaring baik yang bersifat umum
maupun khusus, yaitu:
a. Domein verklaring tersebut dalam pasal 1 Agrarische besluit stb.1870
No.118.
b. Algemene domein verklaring tersebut dalam stb.1875 No. 119a.
c. Domein verklaring untuk sumatera tersebut dalam pasal 1 dari stb.1874 No
94f.
d. Domein verklaring untuk karesidenan manado tersebut dalam pasal 1 dari
stb.1877 No 55.
e. Domein verklaring untuk residentie zuder en Osterafdeling van borneo
tersebut dalam pasal 1 dari stb.1888. No.58.
3. Koninklijk besluit (keputusan raja) tanggal 16 april 1872 No 29 (stb 1872 No. 29
( stb.1872 No,117) dan peraturan pelaksanaannya.
4. Buku II KUHperdata indonesia sepanjang yang mengenai bumi, air serta
kekayaan alam yang terkandung didalam nya,kecuali ketentuan-ketentuan
tentang Hypotheek yang masih berlaku pada mulai berlakunya UUPA.
Tujuan Terbentuknya Undang-undang Pokok Agraria yaitu meletakkan dasar-
dasar bagi penyusun Hukum Agraria Nasional yang merupakan alat untuk membawa
kemakmuran, kebahagiaan dan keadilan bagi Negara dan rakyat, terutama rakyat
tani dalam rangka masyarakat yang adil dan makmur. Meletakkan dasar-dasar untuk
mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam Hukum Pertanahan. Meletakkan
dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi
rakyat seluruhnya. Jika hukum pertanahan difahami sebagai suatu sistem norma,
mka setiap peraturan perundang-undangan yng paling tinggi sampai pada peraturan
yang rendah (terkait dengan peraturan sistem pendaftran tanah) harus merupakan
suatu jalinan sistem yang tidak boleh saling bertantangan satu sama lain. Proses
pembentukan norma norma itu dimulai dari yang paling tinggi sampai yang paling
rendah disebut sebagai proses konkretisasi. Kebijkan hukum pertanahan adalah
bagian dari kebijakan-kebijkan negara, sebagai sistem norma kebijkan hukum
pertanahan tidak hanya dipergunakan untuk mengatur dan mempertahankan pola
tingkah laku yang sudah ada, melainkan lebih sekedar itu. Hukum pertanahan
seharusnya juga diperlakukan sebagai sarana pengarah dalam merealisasikan
kebijakan negara dalam bidang sosial, budaya, ekonomi, kebijkan, pertanahan dan
keamanan nasional.
Reaktualisasi nilai-nilai pancasila dalam reforma sangat diperlukan. Nilai-nilai
yang hidup dalam masyarakat harus dapat terintregasi dalam pembentukan atau
pembangunan hukum. Kebijakan hukum pertanahan yang diterapkan
ditengah tengah masyrakat harus lebih menjiwai dan dijiwai oleh masyrakat itu
sendiri, sehingga hukum bukanlah sesuatu yang asing ditengah-tengah masyrakat.

Anda mungkin juga menyukai