Anda di halaman 1dari 13

Modul Hukum Agraria Program Studi Hukum

PERTEMUAN 5
TUJUAN POKOK UNDANG-UNDANG POKOK
AGRARIA NOMOR 5 TAHUN 1960

A. TUJUAN PEMBELAJARAN
Pada bab ini akan dijelaskan mengenai fungsi dan tujuan dari
Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 dan bagaiman
univikasi hukum Tanah Nasional akhirnya terbentuk, dan mempengaruhi
banyak hal terhadap pertanahan Nasional, Anda harus mampu:
1. Menjelaskan tujuan dari Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun
1960
2. Menguraikan apa saja yang diatur oleh Undang-Undang Pokok Agraria
Nomor 5 Tahun 1960
3. Menjelaskan kembali apa akibat berlakunya Undang-Undang Pokok
Agraria

B. URAIAN MATERI

Tujuan Pembelajaran 1.1:

TUJUAN DIUNDANGKANNYA UUPA

 Lahirnya Undang-Undang Pokok Agraria


Dasar politik hukum agraria nasional dinyatakan dalam Pasal 33
ayat (3) UUD 1945 yang menyebutkan :“Bumi, air, dan kekayaan alam
yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara, dan dipergunakan
untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Ketentuan tersebut bersifat
imperatif, artinya berbentuk perintah kepada negara agar bumi, air dan
kekayaan alamyang terkandung di dalamnya nyang diletakkan di bawah

S1 Hukum Universitas Pamulang 48


Modul Hukum Agraria Program Studi Hukum

penguasaan negara harus dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran


rakyat Indonesia.
Hukum Agraria yang berlaku pada masa dahulu (sebelum 1960),
yang seharusnya merupakan salah satu alat yang penting untuk
membangun masyarakat yang adil dan makmr, ternyata berlaku
sebaliknya, dalam banyak hal justru merupakan penghambat daripada cita-
cita bangsa Indonesia , hal tersebut disebabkan terutama:
a. Karena subtansinya sebagian tersusun berdasarkan tujuan dan sendi-
sendi dari pemerintah jajahan, sehingga bertentangan dengan
kepentingan rakyat dan negara dalam melaksanakan pembangunan
semesta dalam rangka menyelesaikan revolusi nasional,
b. Karena sebagai akibat dari politik hukum pemerintah jajahan, dimana
hukum agraria memiliki sifat dualistik, yaitu dengan berlakunya
peraturan-peraturan dari hukum adat, disamping peraturan-peraturan
dari dan yang didasarkan atas hukum Barat, hal mana selain
menimbulkan masalah antar golongan yang serba sulit, juga tidak
sesuai dengan cita-cita bangsa,
Upaya yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia untuk
menyesuaikan Hukum Agraria kolonial dengan keadaan dan kebutuhan
setelah Indonesia merdeka, yaitu :
1. Menggunakan kebijaksanaan dan penafsiran baru.
2. Dalam pelaksanaan hukum agraria didasarkan atas kebijaksanaan baru
dengan memakai tafsir yang baru pula yang sesuai dengan jiwa
Pancasila dan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Tafsir baru di sini,
contohnya adalah menegenai hubungan domein verklaring, yaitu negara
tidak lagi sebagai pemilik tanah, melainkan negara sebagai organisasi
kekuasaan seluruh rakyat Indonesia hanya menguasai tanah.
3. Penghapusan hak-hak konversi. Salah satu warisan feodal yang sangat
merugikan rakyat adalah lembaga konversi yang berlaku di karasidenan
Surakarta dan Yogyakarta. Di daeran ini semua tanah dianggap milik
raja. Rakyat hanya sekedar memakainya, yang diwaibkan menyerahkan
sebagian dari hasil tanah itu kepada raja, jika tanah itu tanah pertanian

S1 Hukum Universitas Pamulang 49


Modul Hukum Agraria Program Studi Hukum

atau melakukan kerja paksa, jika tanahnya tanah perkarangan. Kepada


anggota keluarganya atau hambahambanya yang berjasa atau seti
kepada raja diberikan tanah sebagai nafkah, dan pemberian tanah ini
disertai pula pelimpahan hak raja atau sebagian hasil tanha tersebut di
atas. Mereka pun berhak menuntut kerja paksa. Stelsel ini dinamakan
setelsel apanage. Tanah-tanah tersebut oleh raja atau penegang apanage
disewakan kepada pengusaha-pengusaha asing unutk usaha pertanian,
berikut hak untuk memungut sebgian dari hasil tanama rakyat yang
mengusahakan tanah itu. berdasarkan S.1918-20, para pengusaha asing
tersebut kemudian mendapatkan hak atas tanah oleh raja yang disebut
hal konversi (beschikking konversi). Keputusan raja, pada hakikatnya
merupakan suatu keputusan penguasa untuk memakai dan
mengusahakan tanah tertentu. Berdasarkan Undang-undang Nomor 13
Tahun 1948 yang mencabut Stb.1918-20. dan ditambah dengan
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1950, yang secara tegas dinyatakan
bahwa lembaga konversi, begitu juga hak-hak konversi serta hypotheek
yangmembebaninya menjadi hapus.
4. Pengahapusan tanah pertikelir. Pada masa penjajahan dikeluarkan
kebijaksanaan di bidan pertanahan oleh Pemerintah Hindia Belanda
berpa tanah partikelir yang di dalamnya terdapat hak pertuanan.
Dengan adanya hak pertuanan ini, seakanakan tanah-tanah partikelir
tersebut merupakan negara dalam negara. Tuan-tuan tanah yang
mempunyai hak kekuasaan yang demikian besar banyak yang
menyalahgunakan haknya, sehingga banyak menimbulkan penderitaan
dan kesengsaraan rakyat yang ada atau berdiam di wilayahnya.
Pada tanggal 24 September 1960 disahkan Undang-Undang Nomor
5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, LNRI Tahun
1960 No. 104-TLNRI No. 2043. Undang-undang ini lebih dikenal dengan
sebutan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA). Sejak diundangkan
UUPA, berlakulah Hukum Agraria Nasional yang mencabut peraturan dan
keputusan yang dibuat pada masa Pemerintahan Hindia Belanda, antara

S1 Hukum Universitas Pamulang 50


Modul Hukum Agraria Program Studi Hukum

lain Agrarische Wet Stb. 1870 No. 55 dan Agrarische Besluit Stb. 1870
Nomor 118.
Berlakunya UUPA merupakan perubahan yang mendasar dalam
Hukum Tanah ( Hukum Agraria) Indonesia. Perubahan itu bersifat
mendasar (fundamental) karena baik menurut struktur perangkat
hukumnya, juga mengenai konsepsi yang mendasarinya maupun isinya,
dinyatakan dalam UUPA bagian “berpendapat” harus sesuai dengan
permintaan zaman.1 Karena itu, sejak tanggal 24 dicatat sebagai salah satu
tonggak yang sangat penting dalam sejarah agraria/pertanahan di Indonesia
pada umumnya dan pembaharuan hukum agraria/hukum tanah pada
khususnya. Berdasarkan Keppres No. 169/163, tanggal 24 September
ditetapkan sebagai “hari tani” yang diperingati setiap tahun, dan sejak
tahun 1973 peringatan itu ditingkatkan menjadi hari ulang tahun UUPA.
Sebelum berlakunya UUPA, hukum agraria bersifat dualistik, yakni
bersumber pada hukum adat dan hukum agraria barat. Sejak UUPA
berlaku, maka hukum agraria barat tersebut dinyatakan tidak berlaku, dan
bersifat dualistik tersebut juga hapus, yang berlaku adalah UUPA sebagai
hukum positif yang berlaku secara unifikasi di Indonesia.
Dasar hukum perubahan agraria dapat dilihat dalam Konsiderans dan
Penjelasan Umum UUPA. Dalam konsiderans bagian “menimbang”
disebutkan:
1. Bahwa di dalam Negara Republik Indonesia yang susunan kehidupan
rakyatnya termasuk perekonomian, terutama masih bercorak agraris,
bumi, air, dan ruang angkasa, sebagai karunia Tuhan Ynag Maha Esa
mempunyai fungsi yang amat penting untuk membangun masyarakat
yang adil dan makmur,
2. Bahwa hukum agraria masih berlaku sekarang ini sebagian tersusun
berdasarkan tujuan dan sendi-sendi dari pemerintahan jajahan dan
sebagian dipengaruhi olehnya, sehingga bertentangan dengan

1
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia Sejarah pembentukan Undang-Undang
Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Cetakan Kesepuluh (edisi revisi), Jakarta,Djambatan,
2005, hlm. 1

S1 Hukum Universitas Pamulang 51


Modul Hukum Agraria Program Studi Hukum

kepentingan rakyat dan negara di dalam menyelesaikan revolusi


nasional sekarang ini serta pembangunan semesta,
3. Bahwa dalam hukum agraria tersebut mempunyai sifat dualisme
dengan berlakunya hukum adat di samping hukum agraria yang
didasrkan atas hukum barat,
4. Bahwa bagi rakyat asli hukum agraria penjajahan itu tidak menjamin
kepastian hukum.
Selanjutnya dalam konsiderans UUPA bagian “berpendapat”
disebutkan:
1. Bahwa berhubung dengan apa yang tersebut dalam pertimbangan-
pertimbangan di atas perlu adanya hukum agraria nasional, yang
berdasarkan hukum adat tentang tanah, yang sederhana dan menjamin
kepastian hukum bagi seluruh rakyat Indonesia, dengan tidak
mengabaikan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama,
2. Bahwa hukum agraria nasional harus memberi kemungkinan fungsi
bumi, air, dan ruang angkasa sebagai yang dimaksud di atas dan harus
sesuai dengan kepentingan rakyat Indonesia serta memenuhi pula
keperluannya menurut permintaan zaman dalam segala soal agraria,
3. Bahwa agraria nasional itu harus mewujudkan penjelmaan Ketuhanan
Yang Maha Esa, perikemanusiaan, kebangsaan, kerakyatan, dan
keadilan sosial, sebagai asas kerohanian negara dan cita-cita bangsa
seperti yang tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar,
4. Bahwa hukum agraria tersebut harus pula merupakan pelaksanaan
Dekrit Presiden 5 Juli 1959, ketentuan dalam Pasal 33 UUD 1945 dan
manifesto politik Republik Indonesia, sebagai yang ditegaskan dalam
pidato Presiden tanggal 17 Agustus 1960 yang mewajibkan negara
untuk mengatur pemilikan tanah dan memimpin penggunaannya,
hingga semua tanah di seluruh wilayah kedaulatan bangsa
dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, baik secara
perorangan maupun secara gotong royong,
5. Bahwa berhubungan dengan segala sesuatu itu perlu diletakkan sendi-
sendi dan disusun ketentuan-ketentuan pokok baru dalam bentuk

S1 Hukum Universitas Pamulang 52


Modul Hukum Agraria Program Studi Hukum

undang-undang, yang merupakan dasar bagi penyusunan hukum


agraria nasional tersebut di atas.
Dengan berlakunya UUPA, maka peraturan-peraturan dan
keputusan-keputusan tidak berlaku lagi, yakni:
1. Agrarish Wet (Staatblad 1870 No. 55) sebagai yang termuat dalam
Pasal 51 “Wetop de Staatsnrichting van Nederlands Indie”(Staatsblad
125 No. 447) dan ketentuan dalam ayat-ayat lainnya dari pasal itu;
2. Semua domein verklaring dari Pemerintah Hindia Belanda:
a. Domein verklaring dalam Pasal 1 Agrarich Besluit (Staatsblad No.
118),
b. Algemene Domein Verklaring tersebut dalam Staatsblad No.1875
No. 119A,
c. Domein verklaring untuk Sumatera tersebut dalam Pasal 1 dan
Staatsblad 187 No. 94f,
d. Domein verklaring untuk Karesidenan Manado tersebut dalam
Pasal 1 dari Staatsblad 1877 No. 55,
e. Domein verklaring untuk Residentie Zuider En Oosterafdeling Van
Borneo tersebut dalam Pasal 1 dari Staatsblad 1888 No. 58.
3. Koninklijk tanggal 16 April 1872 no. 29 ( Staatsblad 1872 No. 117 dan
peraturan pelaksanaannya,
4. Buku ke-II Kita Undang-Undang Hukum Perdata sepanjang yang
mengenai bumi, air, serta kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya, kecuali hipotik yang masih berlaku pada masa mulai
berlakunya Undang-Undang ini. 2 (Kini peraturan hipotik yang termuat
dalam Buku II KUH Perdata, dengan berlakunya UU Hak
Tanggungan, tidak berlaku lagi).
Tujuan diundangkan UUPA sebagaimana yang dimuat dalam
Penjelasan Umumnya, yaitu:
1. Meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan Hukum Agraria Nasional,

2
Lihat Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria bagian
konsiderans “memutuskan”.

S1 Hukum Universitas Pamulang 53


Modul Hukum Agraria Program Studi Hukum

yang akan merupakan alat untuk membawakan kemakmuran,


kebahagiaan dan keadilan bagi Negara dan rakyat, rakyat tani, dalam
rangka masyarakat adil dan makmur;
2. Meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan
kesederhanaan hukum pertanahan;
3. Meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai
hak-hak atas tanah bagi rakyat seluruhnya.

Tujuan Pembelajaran 1.2:

HAL-HAL YANG DI ATUR DALAM UUPA

 Substansi Undang-Undang Pokok Agraria


Dari tujuan diundangkannya UUPA seperti dijelaskan di atas,
maka dapat dilihat hal-hal apa saja yang diatur dalam UUPA. Dalam
meletakkan dasar-dasar pada ketiga bidang (tujuan) UUPA tersebut,
dengan sendirinya harus terwujud penjelmaan sila-sila Pancasila. Dasar
Ketuhanan Yang Maha Esa jelas dirumuskan dalam Pasal 1 ayat 2 UUPA
yang berbunyi: “Seluruh bumi, air, dan ruang angkasa yang terkandung di
dalamnya dalam wilayah Republik Indonesia, sebagai karunia Tuhan Yang
Maha Esa adalah bumi, air, dan ruang angkasa bangsa Indonesia dan
merupakan kekayaan nasional”.
Dasar kemanusiaan yang adil dan beradab antara lain terwujud
dalam Pasal 10 yang menyatakan bahwa kewajiban untuk mengerjakan
atau mengusahakan sendiri secara aktif tanah pertanian aynag dipunyai
seseorang atau badan hukum harus dilakukan dengan mencegah cara-cara
pemerasan. Demikian pula pada Pasal 11 ayat 1 yang merupakan
perwujudan dari dasar perikemanusiaan. Pasal ini mewajibkan penguasa
untuk mengatur hubungan hukum dengan tanah, agar dapat dicapai tujuan
yang disebut dalam Pasal 1 ayat 3 dan dicegah penguasaan atas kehidupan
dan pekerjaan orang lain yang melampaui batas.

S1 Hukum Universitas Pamulang 54


Modul Hukum Agraria Program Studi Hukum

Dasar Persatuan Indonesia atau Wawasan Kebangsaan, yang dalam


Penjelasan Umum disebut dasar Kenasionalan, dinyatakan dalam ayat 1,
bahwa seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah air dari seluruh
rakyat Indonesia, yang bersatu sebagai Bangsa Indonesia. Pasal 9 ayat 1
menyatakan bahwa hanya warga negara Indonesia dapat mempunyai
hubungan yang sepenuhnya dengan bumi, air, dan ruang angkasa, dalam
batas-batas ketentuan Pasal 1 dan 2. Pernyataan dasar tersebut mendapat
penerapan dalam pasal-pasal yang mengatur hak milik atas tanah, sebagai
hak yang memberikan hubungan terpenuh dengan tanah. Menurut Pasal 21
ayat 1 “Hanya warga negara Indonesia yang dapt mempunyai hak milik”.
Dasar Demokrasi atau kerakyatan ditunjukkan oleh pernyataan
dalam Pasal 9 ayat 2, bahwa :”tiap-tiap warga negara, baik laki-laki
maupun wanita, mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh
sesuatu hak atas tanah serta luntuk mendapat manfaat dan hasilnya, baik
bagi diri sendiri maupun keluarganya”. Penjelasan Pasal 9 ayat 2
menghubungkan pernyataan tersebut dengan ketentuan dalam Pasal 1 ayat
1 dan 2, yang mendasari konsepsi komunalistik Hukum Tanah Nasional.
Sebagaimana diketahui, Pasal 1 tersebut menyatakan antara lain bahwa
semua tanah diseluruh wilayah Indonesia adalah tanah-bersama rakyat
Indonesia, yang telah bersatu menjadi Bangsa Indonesia. Maka sebagai
pihak yang turut mempunyai tanah-bersama tersebut, warga negara
Indonesia masing-masing mempunyai hak yang sama untuk memperoleh
sesuatu hak atas sebagian dari tanah-bersama tersebut.
Perwujudan dasar Keadilan Sosial dapat kita temukan dalam Pasal
11 ayat 2, 13, 15, dan pasal-pasal yag mengatur Landreform yaitu Pasal
10, 7, 17, dan 53. Dalam Pasal 11 ayat 2 dinyatakan bahwa dalam
mengadakan kesatuan dan persaltuan di bidang hukum yang mengatur
pertanahan, dimana perlu dan tidak bertentangan dengan kepentingan
nasional, harus diperhatikan perbedaan dalam keadaan masyarakat dan
keperluan golongan rakyat, tetapi dengan menjamin perlindungan terhadap
kepentingan golongan yang ekonomi lemah. Golongan ekonomi lemah
tersebut bisa warga negara asli maupun keturunan asing. Ketentuan Pasal

S1 Hukum Universitas Pamulang 55


Modul Hukum Agraria Program Studi Hukum

13 ayat 4 oleh penjelasannya disebut sebagai pelaksanaan daripada asas


keadilan sosial yang berperikemanusiaan dalam bidang agraria.
Dinyatakan dalam pasal tersebut,bahwa; “Pemerintah berusaha untuk
memajukan kepastian dan jaminan sosial, termasuk bidang perburuhan,
dalam usaha-usaha di lapangan agraria”. Dalam Pasal 15 juga terdapat
penerapan dari asas tersebut, dalam melaksanakan kewajiban memelihara
tanah, akan diperhatikan pihak yang ekonomi lemah.3

Tujuan Pembelajaran 1.3:

DAMPAK BERLAKUNYA UUPA

 Perubahan setelah diberlakukannya UUPA


Berlakunya UUPA telah terjadi perubahan yang fundamental di
bidang pertanahan meliputi struktur hukumnya, konsepsinya yang
mendasari, maupun isinya.4 UUPA tersebut merupakan paradigma hukum
pertanahan bahwa bumi, air, dan kekayaan yang terkandung di dalamnya
dikuasai oleh negara sebagai suatu kesatuan hukum, yang diperuntukkan
bagi kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia. Hukum Agraria bersifat
5
nasional, baik ditinjau dari segi formal maupun dari segi materiilnya.
Segi formal, sifat nasional UUPA dapat dilihat dalam konsiderans
“menimbang” dan Penjelasan Umum (I) yang menyebut cacat dan
kekurangan-kekurangan hukum tanah lama, antara lain hukum agraria
lama memuat politik penjajahan yang bertentangan dengan kepentingan
rakyat. Berdasarkan alasan tersebut, hukum tanah lama diganti dengan
hukum tanah yang baru, yang dibuat oleh pembentuk undang-undang
Indonesia, dibuat di Indonesia, disusun dalam bahasa Indonesia, dan
berlaku di seluruh wilayah Indonesia dan meliputi semua tanah yang ada
di wilayah negara Indonesia. Di lihat dari unsur-unsur tersebut, UUPA

3
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia Sejarah pembentukan Undang-Undang
Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Op Cit, hlm. 221-227
4
Ibid, hlm. 1
5
Ibid, hlm. 162-163

S1 Hukum Universitas Pamulang 56


Modul Hukum Agraria Program Studi Hukum

telah memenuhi syarat nasional yang formal. Segi materiil, hukum agraria
yang baru itu harus bersifat nasional, artinya hukum agraria yang baru
berkenaan dengan tujuan, konsepsi, asas-asas, sistem, dan isinya harus
sesuai dengan kepentingan nasional.6
Pemberian jaminan kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah
bagi seluruh rakyat Indonesia, yang menjadi salah satu tujuan diundangkan
UUPA dapat terwujud melalui dua upaya, yaitu:
1. Tersedianya perangkat hukum yang tertulis, lengkap dan jelas yang
dilaksanakan secara konsisten sesuai dengan jiwa dan
ketentuanketentuannya.
2. Penyelenggaraan pendaftaran tanah yang memungkinkan bagi
pemegang hak atas tanah untuk dengan mudah membuktikan hak atas
tanah yang dikuasainya, dan bagi pihak yang berkepentingan, seperti
calon pembeli dan calon kreditor, untuk memperoleh keterangan yang
diperlukan mengenai tanah yang menjadi objek perbuatan hukum yang
akan dilakukan, serta bagi Pemerintah untuk melaksanakan
kebijaksanaan pertanahan. UUPA mengatur pendaftaran tanah yang
bertujuan untuk memberikan jaminan kepastian hukum. Pendaftaran
tanah ini menjadi kewajiban bagi pemerintah maupun pemegang hak
atas tanah.
Ketentuan tentang kewajiban bagi Pemerintah untuk
menyelenggarakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik
Indonesia diatur dalam Pasal 19 UUPA, yaitu:
1. Untuk menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah diadakan
pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia menurut
ketentuan-ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah.
2. Pendaftaran tersebut dalam ayat (1) pasal ini meliputi:
a. Pengukuran, pemetaan, dan pembukuan tanah;
b. Pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut;
c. Pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat
pembuktian yang kuat.

6
Rosnidar Sembiring, Hukum Pertanahan Adat, Rajawali Press, Jakarta, 2017, hlm. 40

S1 Hukum Universitas Pamulang 57


Modul Hukum Agraria Program Studi Hukum

3. Pendaftaran tanah diselenggarakan dengan mengingat keadaan negara


dan masyarakat, keperluan lalu lintas sosial ekonomi serta
kemungkinan penyelenggaraannya, menurut pertimbangan Menteri
Agraria.
4. Dalam Peraturan Pemerintah diatur biaya-biaya yang bersangkutan
dengan pendaftaran termaksud dalam ayat (1) di atas, dengan
ketentuan bahwa rakyat yang tidak mampu dibebaskan dari
pembayaran biaya-biaya tersebut. UUPA juga mengatur kewajiban
bagi pemegang Hak Milik, pemegang Hak Guna Usaha, dan
pemegang, Hak Guna Bangunan untuk mendaftarkan hak atas
tanahnya.
Kewajiban bagi pemegang Hak Milik atas tanah untuk mendaftarkan
tanahnya diatur dalam pasal 23 UUPA, yaitu:
1. Hak Milik, demikian pula setiap peralihan, hapusnya dan pembebanannya
dengan hak-hak lain harus didaftarkan menurut ketentuan-ketentuan yang
dimaksud dalam pasal 19.
2. Pendaftaran termaksud dalam ayat (1) merupakan alat pembuktian yang
kuat mengenai hapusnya hak milik serta sahnya peralihan dan pembebanan
hak tersebut.
Kewajiban bagi pemegang Hak Guna Usaha untuk mendaftarkan
tanahnya diatur dalam 32 UUPA, yaitu:
1. Hak Guna Usaha, termasuk syarat-syarat pemberiannya, demikian juga
setiap peralihan dan penghapusan tersebut, harus didaftarkan menurut
ketentuan-ketentuan yang dimaksud dalam pasal 19.
2. Pendaftaran termaksud dalam ayat (1) merupakan alat pembuktian yang
kuat mengenai peralihan serta hapusnya Hak Guna Usaha, kecuali dalam
hal hak itu hapus karena jangka waktunya berakhir.
Kewajiban bagi pemegang Hak Guna Bangunan untuk mendaftarkan
tanahnya diatur dalam pasal 38 UUPA, yaitu:
1. Hak Guna Bangunan, termasuk syarat-syarat pemberiannya, demikian juga
setiap peralihan dan hapusnya hak tersebut harus didaftarkan menurut
ketentuan-ketentuan yang dimaksud dalam pasal 19.

S1 Hukum Universitas Pamulang 58


Modul Hukum Agraria Program Studi Hukum

2. Pendaftaran termaksud dalam ayat (1) merupakan alat pembuktian yang


kuat mengenai hapusnya Hak Guna Bangunan serta sahnya peralihan hak
tersebut, kecuali dalam hal hak itu hapus karena jangka waktunya
berakhir.
UUPA juga mengatur pendaftaran Hak Pakai atas tanah, sebagaimana
yang diatur dalam pasal 41 UUPA, yaitu "Hak Pakai adalah hak untuk
menggunakan dan/atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh
negara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yang
diitentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang
memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang bukan
perjanjian sewa menyewa atau perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu asal
tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan undang-undang ini
Ketentuan lebih lanjut pendaftaran tanah menurut pasal 19 ayat (1) UUPA diatur
dengan Peraturan Pemerintah. Peraturan Pemerintah yang diperintahkan disini
sudah dibuat, semula adalah Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang
Pendaftaran Tanah, LNRI Tahun 1961 Nomor 28-TLNRI No. 2171.
Kemudian, Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 dinyatakan tidak
berlaku lagi dengan disahkan Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang
Pendaftaran Tanah, LNRI Tahun 1997 Nomor 59-TLNRI Nomor 3696. Tidak
berlakunya lagi Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 dinyatakan dalam
pasal 65 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, yaitu "Dengan berlakunya
Peraturan Pemerintah ini, maka Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961
tentang Pendaftaran Tanah (LNRI Tahun 1961 Nomor 28, TLNRI No. 2171)
dinyatakan tidak berlaku lagi". Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997
disahkan pada tanggal 8 Juli 1997, namun baru berlaku secara efektif mulai
tanggal 8 Oktober 1997, sebagaimana yang dinyatakan dalam pasal 66. Peraturan
Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 terdiri atas 10 (sepuluh) bab dan 66
(enampuluh enam) pasal.
Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 dan Peraturan Pemerintah
Nomor 24 Tahun 1997 tersebut merupakan bentuk pelaksanaan pendaftaran tanah
dalam rangka rechtscadaster (pendaftaran tanah) yang bertujuan memberikan
kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang HAT, dengan alat

S1 Hukum Universitas Pamulang 59


Modul Hukum Agraria Program Studi Hukum

bukti yang dihasilkan pada akhir proses pendaftaran tanah tersebut berupa Buku
Tanah dan sertifikat tanah yang terdiri dari Salinan Buku Tanah dan Surat Ukur.7

C. SOAL LATIHAN/TUGAS
1. Apat Tujuan dari Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 ?
2. Apa saja yang diatur oleh Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun
1960
3. Dengan berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria mengakibatkan apa ?

D. DAFTAR PUSTAKA
Buku

A.P.Parlindungan, Komentar Atas Undang-Undang Pokok


Agraria, Mandar Maju, Bandung, 1991.

Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia Sejarah


pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya,
Cetakan Kesembilan (edisi revisi), Jakarta, Djambatan, 2003

Rosnidar Sembiring, Hukum Pertanahan Adat, Rajawali Press, Jakarta, 2017

Widhi Handoko, Kebijakan Hukum Pertanahana sebuah refleksi


kedailan Hukum Progresif, Thafa Media, Yogyakarta, 2014

7
Arie S. Hutagalung, Tebaran Pemikiran Seputar Masalah Hukum Tanah, Lembaga
Pemberdayaan Hukum Indonesia, Jakarta, Agustus 2005, hlm.81.

S1 Hukum Universitas Pamulang 60

Anda mungkin juga menyukai