Anda di halaman 1dari 4

Pengakuan Terhadap Pemberontak (Belligerency)

Bila di suatu negara terjadi pemberontakan dan pemberontakan tersebut telah memecah belah kesatuan nasional dan efektivitas pemerintahan, maka keadaan ini menempatkan negara-negara ketiga dalam keadaan yang sulit terutama dalam melindungi berbagai kepentingannya di negara tersebut. Dalam hal ini, lahirlah sistem pengakuan belligerency. Negara-negara ketiga dalam sikapnya membatasi diri negaranya sekedar mencatat bahwa para pemberontak tidak kalah dan telah menguasasi sebagian wilayah nasional dan mempunyai kekuasaan secara fakta. Bentuk pengakuan ini telah dilakukan beberapa kali di masa lampau oleh Amerika Serikat dan juga Inggris. Contoh yang paling dikenal adalah pengakuan belligerency yang diberikan kepada orang-orang Selatan di Amerika Serikat pada waktu perang saudara oleh Perancis dan Inggris serta Negara-negara Eropa lainnya. Historis: 1. 13 koloni Amerika memisahkan diri dari Inggris tanggal 4 Juli 1776. Kemudian Perancis mengakui kolonikoloni tersebut tanggal 6 Februari 1778 agar dapat membantu mereka. Kebijaksanaan Perancis tersebut dianggap Inggris sebagai kasus Belli. Waktu itu, dalam hukum internasional belum dikenal istilah pengakuan belligerency. Permulaan abad 19, koloni-koloni Spanyol memberontak dengan memproklamasikan kemerdekaan. Inggris dan Perancis mengakui pemberontak sebagai belligerent. Puncak aplikasi Perang saudara Amerika Serikat (1861-1865).

2. 3.

a) Negara-negara bagian selatan, dengan ibukota Richmond, dengan pemerinta dibawah pimpinan Jefferson Davis, dan Angkatan Bersenjata yang dikepalai Jenderal Lee, pada tanggal 4 Februari 1861 menyatakan diri berpisah dari Pemerintah Federal. b) Pemerintah tandingan ini diakui sebagai Negara oleh negara-negara Eropa tetapi hanya sebagai belligerent terutama oleh Perancis dan Inggris. c) Mulai saat itu berkembanglah pengertian belligerency dalam hukum internasional.

Pengakuan belligerency berarti: 1. 2. Memberikan kepada pihak yang memberontak hak-hak dan kewajiban suatu negara merdeka selama berlangsungnya peperangan. Di lain pihak, pemerintah yang memberontak tersebut tidak dapat merundingkan perjanjian-perjanjian internasional, tidak dapat menerima dan mengirim wakil-wakil diplomatik dan hubungannya dengan negara-negara lain hanya bersifat informal. Pemerinta tersebut tidak dapat menuntut hak-hak dan kekebalan-kekebalan di bidang internasional. la merupakan subyek hukum internasional dalam bentuk terbatas, tidak penuh dan bersifat sementara. Sebagai akibat pengakuan belligerency oleh Negara-negara ke-3, negara induk dibebaskan tanggungjawab terhadap negara-negara ke-3 tersebut sehubungan dengan perbuatan-perbuatan kelompok yang memberontak. Bila negara induk memberikan pula pengakuan belligerency kepada pihak yang memberontak, ini berarti kedua pihak harus melakukan perang sesuai denagn hukum perang. Dalam hal ini, pihak ke-3 tidak boleh ragu-ragu lagi untuk memberikanb, pengakuan yang sama. Pengakuan belligerency ini bersifat terbatas dan sementara serta hanya selama berlangsungnya perang tanpa memperhalikan apakah kelompok yang memberontak itu akan menang atau kalah dalam peperangan. Dengan pengakuan belligerency ini, Negara-negara, ke-3 akan mempunyai hak-hak dan kewajibankewajiban sebagai Negara netral dan pengakuan belligerency ini terutama diberikan karena alasan humaniter.

3.

4.

5. 6.

(http://www.negarahukum.com/hukum/pengakuan-terhadap-pemberontak-belligerency.html) Prof. Dr. S.M. Noor, S.H., M.H

Pemberontakan dan Pihak dalam Sengketa atau Belligerent


Menurut hukum perang, pemberontak dapat memperoleh kedudukan dan hak sebagai pihak yang bersengketa (belligerent) dalam keadaan-keadaan tertentu. Keadaan tertentu ini ditentukan oleh pengakuan pihak ketiga bagi pemberontak atau pihak yang bersengketa. Pada perkembangan sekarang, adanya pengakuan terhadap status pihak yang bersengketa dalam perang memiliki ciri lain yang khas, yakni pengakuan pihak ketiga terhadap gerakan-gerakan pembebasan, seperti: Gerakan pembebasan Palestine (Palestine Liberator Organisation PLO)46. Kelainan ini disebabkan karena pengakuan gerakan pembebasan merupakan penjelmaan suatu konsepsi baru yang terutama dianut oleh negara-negara dunia ketiga, yang tentunya didasarkan pada pengertian bahwa bangsa-bangsa dianggap mempunyai beberapa hak asasi, seperti: hak untuk menentukan nasib sendiri, hak untuk secara bebas memilih sistem ekonomi, sistem politik, dan sistem sosial sendiri, dan hak untuk menguasai sumber kekayaan alam dari wilayah yang didudukinya. Ketika ketua PLO Yassir Arafat menghadiri sidang Majelis Umum PBB dalam masa sidang tahun 1974-1975 maka pada saat itu ia diakui sebagai pimpinan gerakan pembebasan Palestine dan dalam prakteknya mulai diperlakukan sebagai kepala negara. Kehadiran ketua PLO dalam sidang Majelis Umum PBB dan pengakuan ketua PLO sebagai kepala negara, sekaligus merupakan pengakuan terhadap gerakan pembebasan Palestine sebagai subyek hukum dalam hukum internasional, sungguhpun hanya mempunyai rakyat dan pemerintahan yang diakui rakyat dan tidak mempunyai wilayah (wilayahnya masih sedang diperjuang-kan hingga sekarang).47 Dalam kaitannya dengan kedudukan kaum pemberontak sebagai subyek hukum internasional maka konsepsi negara-negara dunia ketiga diatas pada hakikatnya merupakan anti-imperialisme dan kolonialisme. Namun demikian, akan timbul persoalan yang remit setelah penjajahan terhapus di atas bumi dan semua bangsa telah menjelma menjadi negara-negara yang merdeka maka konsepsi ini, walaupun bermaksud baik, bisa menimbulkan pengaruh atau persoalan yang mengganggu stabilitas masyarakat internasional karena dapat dipakai oleh golongan-golongan kecil di dalam satu negara yang belum tentu mempunyai alasan-alasan yang sah untuk melakukan gerakan-gerakan.
(http://www.negarahukum.com/hukum/pengakuan-terhadap-pemberontak-belligerency.html) Prof. Dr. S.M. Noor, S.H., M.H

Tugas Hukum Perjanjian Internasional 1. Berilah analisis terhadap Yurisprudensi ICJ (International Court of Justice) terkait dengan pengakuan subjek hukum internasional ! 2. Apakah setiap pemberontak (insurgent) dapat disebut sebagai belligerent ? 3. Berilah contoh dari insurgent dan belligerent ! Jawaban : 1. International Court of Justice tentang Sengketa Pulau Sipadan dan Ligitan Kasus Posisi : Sengketa antara Indonesia dengan Malaysia, berawal pada tahun 1967 ketika dalam pertemuan teknis hukum laut antara kedua negara, ternyata Indonesa dan Malaysia bersama-sama memasukkan pulau Sipadan dan pulau Ligitan ke dalam batas-batas wilayahnya. Kedua negara lalu sepakat agar Sipadan dan Ligitan dinyatakan dalam keadaan status status quo akan tetapi ternyata pengertian ini berbeda. Pihak Malaysia membangun resor parawisata baru yang dikelola pihak swasta Malaysia karena Malaysia memahami status quo sebagai tetap berada di bawah Malaysia sampai persengketaan selesai, sedangkan pihak Indonesia mengartikan bahwa dalam status ini berarti status kedua pulau tadi tidak boleh ditempati/diduduki sampai persoalan atas kepemilikan dua pulau ini selesai. [1] Pada tahun 1976, Traktat Persahabatan dan Kerja Sama di Asia Tenggara atau TAC (Treaty of Amity and Cooperation in Southeast Asia) dalam KTT pertama ASEAN di pulau Bali ini antara lain menyebutkan bahwa akan membentuk Dewan Tinggi ASEAN untuk menyelesaikan perselisihan yang terjadi di antara sesama anggota ASEAN akan tetapi pihak Malaysia menolak beralasan karena terlibat pula sengketa dengan Singapura untuk klaim pulau Batu Puteh. Pihak yang terlibat : Indonesia dan Malaysia Putusan ICJ : Terlampir Yurisprudensi : Pada tahun 1998 masalah sengketa Sipadan dan Ligitan dibawa ke ICJ,[2] kemudian pada hari Selasa 17 Desember 2002 ICJ mengeluarkan keputusan tentang kasus sengketa kedaulatan Pulau Sipadan-Ligatan antara Indonesia dengan Malaysia. Hasilnya, dalam voting di lembaga itu, Malaysia dimenangkan oleh 16 hakim, sementara hanya 1 orang yang berpihak kepada Indonesia. Dari 17 hakim itu, 15 merupakan hakim tetap dari MI, sementara satu hakim merupakan pilihan Malaysia dan satu lagi dipilih oleh Indonesia. Kemenangan Malaysia, oleh karena berdasarkan pertimbangan effectivity (tanpa memutuskan pada pertanyaan dari perairan teritorial dan batasbatas maritim), yaitu pemerintah Inggris (penjajah Malaysia) telah melakukan tindakan administratif secara nyata berupa penerbitan ordonansi perlindungan satwa burung, pungutan pajak terhadap pengumpulan telur penyu sejak tahun 1930, dan operasi mercu suar sejak 1960-an. Sementara itu, kegiatan pariwisata yang dilakukan Malaysia tidak menjadi pertimbangan, serta penolakan berdasarkan chain of title (rangkaian kepemilikan dari Sultan Sulu) akan tetapi gagal dalam menentukan batas di perbatasan laut antara Malaysia dan Indonesia di selat Makassar.[3] 2. Setiap pemberontak (insurgent) tidak dapat disebut sebagai belligerent karena untuk dapat diakui sebagai belligerent sebagai subjek hukum interbnasional harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: Memiliki sebuah organisasi pemerintahan sendiri. Kekuatan militernya telah menduduki wilayah tertentu. Mempunyai kontrol efektif atas wilayah tersebut. Anggota militernya memiliki seragam dengan tanda-tanda khusus dengan peralatan militer yang cukup. Memang, insurgent adalah awal mula pembentukan belligerent. Namun setiap pemberontak (insurgent) tidak dapat disebut sebagai belligerent jika belum memenuhi unsur-unsur tersebut. 3.

1. 2. 3. 4.

Contoh Insurgent : Gerakan Taliban adalah gerakan nasionalis Islam Sunni pendukung Pashtun yang secara efektif menguasai hampir seluruh wilayah Afganistan sejak 1996 sampai 2001. Kelompok Taliban dibentuk pada tahun 1994 mendapat dukungan dari Amerika Serikat dan Pakistan. Dewan Keamanan PBB mengecam tindakan kelompok ini karena kejahatannya terhadap warga negara Iran dan Afghanistan. Taliban melakukan berbagai aksi pelanggaran HAM di Afghanistan.[4]

Kelompok ini mendapat pengakuan diplomatik hanya dari tiga negara: Uni Emirat Arab, Pakistan, dan Arab Saudi, serta pemerintah Republik Chechnya Ichkeria yang tidak diakui dunia. Anggota-anggota paling berpengaruh dari Taliban, termasuk Mullah Mohammed Omar, pemimpin gerakan ini, adalah mullah desa (pelajar yunior agama Islam), yang sebagian besar belajar di madrasah di Pakistan. Gerakan ini terutama berasal dari Pashtun di Afganistan, serta Provinsi Perbatasan Barat Laut (North-West Frontier Province, NWFP) di Pakistan, dan juga mencakup banyak sukarelawan dari Arab, Eurasia, serta Asia Selatan.[5] Pemerintahan Taliban digulingkan oleh Amerika Serikat karena dituduh melindungi pemimpin Al Qaeda Osama Bin Laden yang juga dituduh Washington mendalangi serangan terhadap menara kembar WTC, New York pada tanggal 11 September 2001 bekerja sama dengan kubu Aliansi Utara. Invasi ini dimulai pada bulan Oktober sampai dengan bulan November 2001 dengan secara mengejutkan sehingga pihak Taliban langsung keluar dari ibukota Afganistan, Kabul sehingga pihak Amerika relatif cepat dan mudah menguasainya. Akan tetapi beberapa tahun setelahnya American Free Press mengungkapkan hal sebaliknya, yaitu keterlibatan CIA dan agen intelijen Israel, Mossad dalam peristiwa serangan 11 September 2001 hanyalah skenario untuk mengakuisisi negara-negara arab, dalam hal ini Irak dan Afghanistan.[6] Contoh Belligerent : Palestine Liberation Organisation atau disingkat (PLO) atau dapat disebut sebagai Organisasi Pembebasan Palestina adalah sebuah organisasi Palestina yang didirikan pada tahun 1964. Tujuan utama dari PLO adalah untuk menyuarakan aspirasi rakyat Palestina dalam jumlah besar yang hidup di tenda-tenda pengungsi di Lebanon.[7] Sejak tahun 1967 tujuan utama dari PLO adalah dalam rangka menghancurkan negara Israel. Hal ini kemudian ditegaskan pada piagam PLO yang di buat di Kairo pada tanggal 10-17 Juli 1968 pada pertemuan Dewan Nasional Palestina, tujuan ini tertuang dalam Pasal 9 Piagam PLO.[8] Palestine Liberation Organisation (PLO) pada mulanya dibentuk oleh Liga Arab pada tahun 1964. Akibatnya 1964-1967, PLO sebagian besar di bawah kendali negara-negara Arab. Namun, setelah perang enam hari pada tahun 1967, negara-negara Arab mengendalikan PLO sehingga akhirnya mereka banyak kehilangan legitimasi. Akhirnya,Yasir Arafat, dari organisasi al-Fatah, mengambil keuntungan dari kekosongan kekuasaan dan terpilih menjadi Ketua PLO pada tahun 1969 hingga meninggal pada tahun 2004. Organisasi ini mengusahakan sebuah negara Palestina di antara Laut Tengah dan Yordania.[9] Organisasi Pembebasan Palestina atau Palestine Liberation Organisation (PLO) telah mendapat pengakuan dari dunia internasional. PLO mendapatkan status peninjau di Sidang Umum PBB pada 1974 (Resolusi Sidang Umum no. 3237). Dengan pengakuan terhadap Negara Palestina, PBB mengubah status peninjau ini sehingga dimiliki oleh Palestina pada 1988 (Resolusi Sidang Umum no. 43/177.) Pada Juli 1998, Sidang Umum menerima sebuah resolusi baru (52/250) yang memberikan kepada Palestina hak-hak dan privilese tambahan, termasuk hak untuk ikut serta dalam perdebatan umum yang diadakan pada permulaan setiap sesi Sidang Umum, hak untuk menjawab, hak untuk ikut mensponsori resolusi dan hak untuk mengajukan keberatan atau pertanyaan yang berkaitan dengan pembicaraan dalam rapat (points of order) khususnya menyangkut masalah-masalah Palestina dan Timur Tengah.

Anda mungkin juga menyukai