Anda di halaman 1dari 4

PEMBAHASAN A.

Awal Mula Kasus Tembakau Bremen Kasus ini berawal dari terbitnya
Undang-Undang Nasionalisasi Perusahaan Belanda. Sebagai pelaksanaan dari UU tersebut,
perusahaan-perusahaan milik Belanda yang ada di Indonesia dinasionalisasi dan dinyatakan
sebagai milik penuh dan bebas Negara Republik Indonesia. Perkebunan tembakau milik
Perusahaan Belanda, yaitu NV Verenigde Deli-Maatschappijen dan NV Senembah-
Maatschappi, ikut dinasionalisasi dengan ganti kerugian yang akan ditetapkan kemudian.
Sebagai gantinya Indonesia mendirikan Pusat Perkebunan Negara (PPN) Baru.[2] Pemerintah
kemudian menetapkan Bremen sebagai kota untuk memperdagangkan tembakau, dan
membentuk Deutsch-Indonesische Tabakhandels GmbH, suatu perusahaan patungan PPN
Baru dengan sejumlah pedagang tembakau asal Bremen. Pihak Deli-Senembah (Belanda)
menilai tindakan nasionalisasi tersebut sebagai suatu tindakan barbar dan merupakan suatu
bentuk tekanan politik terkait dengan masalah Irian Barat. Oleh karena itu, ketika tembakau
hendak diperdagangkan di Bremen, mereka mengajukan klaim kepemilikan, karena menurut
mereka Indonesia tidak benar-benar akan memberikan ganti kerugian atau kompensasi,
sehingga yang terjadi bukan nasionalisasi melainkan ekspropriasi[3]. Kasus ini kemudian
disidangkan di Landgericht, Bremen. Isu-isu hukum dalam sengketa ini menyita perhatian
dunia internasional. Di bidang hukum internasional (publik) salah satu isu hukum krusial
adalah apakah kompensasi bagi Deli- Senembah ( Belanda) harus bersifat adequate, prompt,
dan effective? Apakah nasionalisasi tersebut bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum
umum yang diakui oleh negara-negara (general principles of law as recognized by civilized
nations)? Di bidang Hukum Internasional, isu hukum krusial dari nasionalisasi tersebut
adalah ketertiban umum (ordre public) dan doktrin tindakan negara (act of state doctrine).
Kasus ini termasuk sengketa hukum, walaupun terdapat muatan politik didalamnya.
Penyelesaian sengketa yang digunakan adalah melalui jalur litigasi atau pengadilan. Pihak
Deli-Senembah (Belanda) diperkuat dengan dukungan sebelas orang Guru Besar, yang antara
lain adalah Prof. Logemann, Prof. Lemaire, dan Prof. Kollewijn dari Universitas Leiden.
Mereka bertiga pernah menjabat Guru Besar di Rechtshogeschool (yang kemudian menjelma
menjadi FH UI). Prof. Logemann untuk Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi
Negara, Prof. Kollewijn untuk Pengantar Ilmu Hukum dan kemudian Hukum Intergentiel,
dan Prof. Lemaire menggantikan Prof. Kollewijn untuk mata kuliah-mata kuliah yang
sama[4]. Pihak Indonesia diperkuat oleh lima orang Guru Besar, yakni Prof. Dölle dan Prof.
Zweigert, dan Prof. Ipsen dari Universitas Hamburg, Prof. Mr. Dr. Soekanto dan Prof.
Gautama dari Universitas Indonesia. Gautama muda adalah murid Prof. Lemaire di UI. Maka
terjadilah pertarungan antara guru dan murid. B. Masalah Hukum yang Timbul &
Penyelesaian Kasus Tembakau Bremen Pihak Indonesia dengan Maskapai Tembakau
Jerman-Indonesia digugat oleh pihak Belanda di pengadilan negeri Bremen. Dalam
keputusan di pengadilan negeri Bremen, yang secara tidak langsung membenarkan
nasionalisasi perusahaan dan perkebunan milik Belanda oleh pemerintah Indonesia. Pihak
Belanda (Verenigde Deli Maatschapijen) mengajukan banding dan mendalilkan bahwa
tindakan Indonesia dalam menasionalisasi bekas perusahaan Belanda tidak sah karena ganti
rugi yang di tawarkan tidak memenuhi apa yang oleh pihak Belanda dianggap sebagai dalil
hukum internasional yaitu bahwa ganti rugi itu harus Prompt, effective dan adequate. Pihak
perusahaan tembakau Jerman-Indonesia dan pemerintah Indonesia membantah dalil Belanda
yang dikemukakan di atas dengan mengatakan bahwa nasionalisasi yang dilakukan oleh
pemerintah Indonesia adalah usaha untuk mengubah struktur ekonomi Indonesia dari
ekonomi kolonial ke ekonomi yang bersifat nasional secara radikal. Menurut pihak tergugat
nasionalisasi tersebut perlu dilakukan dalam rangka perubahan struktur ekonomi tersebut.
Sengketa ini akhirnya diselesaikan melalui keputusan pengadilan banding, Oberlandesgericht,
Bremen, pada tanggal 21 Agustus 1959, yang menguatkan putusan Landgericht tanggal 21
April 1959 dan 16 Juni 1959, yakni menolak gugatan pihak Deli-Senembah. Pengadilan
Jerman menerima argumentasi Indonesia, yang antara lain adalah bahwa kompensasi yang
bersifat adequate, prompt, dan effective tidak bisa diterapkan secara kaku. Jika diterapkan
secara kaku, maka cita-cita luhur kemerdekaan yang antara lain memperbaiki perekonomian
yang terpuruk pasca-kolonialisme hanya akan sia-sia akibat terkurasnya kas negara untuk
membayar kompensasi sekaligus kepada pihak Belanda. Oleh karena itu, kompensasi yang
wajib dibayarkan harus memperhatikan kondisi perekonomian dan kemampuan Indonesia.
Dengan demikian nasionalisasi yang dilakukan Indonesia adalah sah! Mengenai ganti rugi,
Indonesia sudah menyediakan ganti kerugian yang dengan Peraturan Pemerintah no. 9 tahun
1959 ditentukan bahwa dari hasil penjualan hasil perkebunan tembakau dan perkebunan
lainnya akan disisihkan suatu presentasi tertentu untuk disediakan pembayaran ganti rugi.
Sebenarnya pasca pengambilalihan kebun tembakau dari tangan Belanda sempat menyisakan
masalah besar. Pasalnya Belanda sempat mempersoalkan serta mengklaim bahwa ribuan bal
tembakau yang sedang dalam pelayaran dari Indonesia ke Rotterdam termasuk tembakau deli
yang sedang dalam proses produksi di Indonesia adalah tetap menjadi miliknya. Klaim pihak
Belanda tersebut direspon pihak Indonesia dengan mengajukan keberatan melalui jalur
hukum internasional. Kemudian pada tahun 1967 setelah melalui perjuangan yang gigih
akhirnya pihak Indonesia berada dalam pihak yang menang. Pasca kemenangan tersebut
berdampak timbulnya perasaan tidak enak bagi Belanda, sehingga mereka menutup pasar
Rotterdam, tempat dimana sebelumnya tembakau dipasarkan. namun para pedagang
tembakau dari Jerman didukung pemerintahan kota Bremen segera mengambilalih tempat
pelelangan dengan memindahkan ke Bremen, walaupun awalnya dalam keadaan darurat.
Sejak saat itulah hasil produksi tembakau tahun 1967 dilelang tahun 1968 di Bremen untuk
pertama kalinya.[5] Keputusan Pengadilan Negeri Bremen yakni bahwa pengadilan tidak
mencampuri sah tidaknya tindakan ambil alih dan nasionalisasi pemerintah Indonesia itu,
secara tidak langsung dapat diartikan sebagai membenarkan tindakan terhadap perusahaan
dan perkebunan milik Belanda tersebut (keputusan Landsgericht Bremen tanggal 21 April
1959). Banding dari Pihak Belanda akhirnya diputuskan oleh Pengadilan Tinggi Bremen
(oberlandesgericht Bremen) yang menetapkan bahwa pengadilan tidak mempersoalkan
keabsahan tindakan nasionalisasi pemerintah Indonesia yang secara tidak langsung
menyatakan bahwa tindakan nasionalisasi pemerintah Indonesia atas perkebunan Belanda
adalah sah (keputusan oberlandesgericht Bremen, tanggal 21 Agustus 1959) C. Proses
Penyelesaian Sengketa yang Dapat Digunakan Jika dikaji lebih mendalam, Kasus Tembakau
Bremen ( The Bremen Tobacco Case) tidak hanya terkait permasalahan politik antara
Indonesia-Belanda saja, namun juga terkait permasalahan yang menyangkut kepentingan
ekonomi ( Bisnis) antar dua negara tersebut. Indonesia, sebagai negara yang baru merdeka,
dengan perekonomian yang belum stabil, tentu tidak ingin kehilangan aset ekonomi yang
berharga, yaitu perusahaan-perusahaan tembakau milik Belanda yang dinasionalisasi tersebut.
Sebaliknya, Belanda pun tidak ingin kehilangan aset perekonomianya yang sangat penting,
mengingat pada saat itu, tembakau merupakan salah satu primadona dalam pasar eropa.
Terlebih lagi tembakau asal Jawa dan Sumatra( Deli) sangat digemari oleh orang eropa.
Dalam masyarakat bisnis, dikenal dua pendekatan umum yang digunakan dalam penyelesaian
sengketa. Pendekatan pertama, yaitu dengan menggunakan paradigma penyelesaian sengketa
litigasi. Pendekatan ini merupakan suatu pendekatan untuk mendapatkan keadilan melalui
sistem perlawanan ( the adversary system) dan menggunakan paksaan ( coercion ) dalam
mengelola sengketa serta menghasilkan suatu keputusan win-lose solution bagi pihak-pihak
yang bersengketa. Sedangkan pendekatan kedua adalah dengan menggunakan paradigma
penyelesaian sengketa non-litigasi. Paradigma ini dalam mencapai keadilan lebih
mengutamakan pendekatan ‘konsensus’ dan berusaha mempertemukan kepentingan pihak
yang bersengketa untuk menghasilkan suatu keputusan win-win solution[6]. Terkait kasus
diatas, penyelesaian sengketa yang digunakan adalah dengan menggunakan paradigma
penyelesaian sengketa litigasi. Keputusan yang didapat adalah keputusan yang win-lose
solution. Yaitu dengan penyelesaian melalui Pengadilan Negeri Bremen, yang menghasilkan
keputusan oberlandesgericht Bremen, tanggal 21 Agustus 1959, dimana dihasilkan keputusan
bahwa pengadilan tidak mencampuri sah tidaknya tindakan ambil alih dan nasionalisasi
pemerintah Indonesia itu, secara tidak langsung dapat diartikan sebagai membenarkan
tindakan terhadap perusahaan dan perkebunan milik Belanda tersebut. Pengadilan tidak
mempersoalkan keabsahan tindakan nasionalisasi pemerintah Indonesia yang secara tidak
langsung menyatakan bahwa tindakan nasionalisasi pemerintah Indonesia atas perkebunan
Belanda adalah sah. Sarana atau alternatif lain yang dapat digunakan adalah dengan
menggunakan Negoisasi atau Altrnatif sengketa ( ADR). Negoisasi atau ADR adalah
penyelesaian sengketa yang paling banyak digunakan saat ini. Lebih dari 80% sengketa di
bidang ekonomi ( Bisnis ) terselesaikan dengan menggunakan pendekatan ini. Penyelesainya
atau keputusan yang dihasilkan, tidak win-lose solution, tetapi win-win solution. Cara
penyelesaian ini dapat memuaskan pihak-pihak yang bersengketa. Penyelesaian sengketa
dengan cara negoisasi atau ADR, merupakan salah satu alternatif penyelesaian sengketa
dalam paradigma atau pendekatan non-litigasi Ada lagi alternatif penyelesaian sengketa lain,
yaitu melalu Arbitrase, dalam hal ini adalah Arbitrase Internasional. Arbitrase adalah
penyelesaian sengketa perdata diluar pengadilan umum yang didasarkan pada perjanjian
arbitrase yang dibuat oleh para pihak yang bersengketa[7]. Arbitrase internasional bertujuan
untuk menyelesaikan sengketa antar negara oleh hakim-hakim pilihan mereka dan atas dasar
ketentuan-ketentuan hukum. Penyelesaian melalui arbitrase ini berarti bahwa negara-negara
yang bersangkutan harus mempunyai itikad baik. Arbitrase sama dengan pengadilan, artinya
mempunyai kewenangan untuk mengambil keputusan dan menyelesaikan sengketa dengan
pendekatan adversial, dengan hasil keputusan win-win solution. Karenanya, walaupun
menghasilkan suatu keputusan dengan hasil win-win, namun arbitrase masuk dalam
penyelesaian sengketa dalam pendekatan atau paradigma litigasi. Terkait dengan kasus diatas,
Indonesia lebih memilih menggunakan pendekatan atau paradigma litigasi untuk
menyelesaikan kasus diatas. Alasanya, karena melalui paradigma atau pendekatan tersebut,
dapat diperoleh kepastian hukum yang lebih jelas dan terjamin. Faktor lain adalah melihat
kondisi kejiwaan bangsa Indonesia. Setelah dijajah selama 350 tahun, sangatlah mustahil jika
pihak Indonesia mau bernegosiasi dengan Belanda untuk menyelesaikan kasus tersebut.
Tentunya , Indonesia tidak mau rugi lebih banyak lagi jika kasus tersebut selesai dengan cara
negosiasi. Penggunaan arbitrase pun tidak dilirik karena alasan yang sama. Selain itu, padda
saat itu, arbitrase belum begitu populer sebagai salah satu alternatif penyelesaian sengketa D.
Paradigma Penyelesaian Sengketa Internasional Sengketa internasional terbagi menjadi dua,
yaitu Justisiabel dan Non yustisiabel. Justisiabel maksudnya bahwa sengketa tersebut dapat
diajukan ICJ ( International Court Of Justice ), merupakan sengketa hukum yang timbul dari
Hukum Internasional dan deselesaikan pula berdasar Hukum Internasional melalui
pengadilan maupun non-pengadilan. Sedangkan non-yustisiabel maksudnya bahwa sengketa
tersebut bukan merupakan sasaran dari Pengadilan Internasional, lebih merupakan sengketa
politik semata yang penyelesaianya menekankan pada proses dan kemahiran diplomasi tiap
negara yang bersangkutan. Penyelesaian sengketa internasional ada dua cara, yaitu dengan
cara damai dan cara kekerasan. Dengan cara damai dibedakan menjadi dua lagi, yakni
melalui Pengadila (litigasi) dan di luar pengadilan (non-litigasi). Melalu pengadilan misalnya
adalah melalui Arbitrase Internasional dan Pengadilan Internasional ( Mahkamah
Internasional & Mahkamah Pidana Internasional ). Sedangkan dengan cara kekerasan
misalnya dengan perang, retorsi, reprisal, blokade damai, embargo, dan lain sebagainya.
Dewasa ini paradigma yang berkembang dalam penyelesaian sengketa internasional adalah
dengan cara damai. Seperti yang tertuang dalam pasal 2 ayat 3 piagam PBB bahwa “ Semua
negara menyelesaikan sengketa mereka dengan cara damai sedemikian rupa agar
perdamaian , keamanan internasional dan keadilan tidak sampai terganggu”. Prinsip-prinsip
penyelesaian sengketa internasional adalah: a. Prinsip itikad baik (good faith) b. Larangan
penggunaan kekerasan dalam penyelesaian sengketa c. Non intervensi urusan dalam negeri
suati negara d. Persamaan hak & menentukan nasib sendiri e. Persamaan kedaulatan,
kemerdekaan & integritas Wilayah f. Kesepakatan Para Pihak g. Kebebasan memilih cara
&hukum yang diterapkan h. Prinsip Exhaustion of local remedies Selain itu kesuksesan
Indonesia dalam sengketa internasional, menunjukan bahwa sistem hukum nasional dapat
memberikan konstribusi dalam pengembangan hukum internasional. Mochtar
Kusumaatmadja misalnya yang berhasil membongkar konsep pembayaran ganti rugi dalam
hukum internasional yang menganut prinsip prompt, adequate, and effective (Hull Formula).
Beliau menyatakan bahwa ganti rugi dibayarkan sesuai dengan kemampuan negara bekas
jajahan sebab para kolonial telah merampas kekayaan negeri yang tidak sebanding. Argumen
itulah yang memenangkan Indonesia dalam kasus Tembakau Bremen tahun 1959[8]. Dengan
demikian, hukum internasional yang diajarkan di Indonesia sudah sepatutnya harus memiliki
sebuah paradigma atau kerangka keyakinan yang bersumber dari lokalitas, praktik-praktik,
serta kepentingan nasional sehingga kita dapat selalu kritis atas semua konsep dalam hukum
internasioal yang hadir dihadapan kita. Akan tetapi, paradigma tersebut tidak akan membuat
Indonesia menjadi negara yang menutup diri karena jika itu dilakukan sama saja dengan
bunuh diri. BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan pembahasan masalah diatas,
dapat disimpulkan mengenai beberapa hal. Pertama, kasus ini berawal dari Undang-Undang
nasionalisasi perusahaan Belanda. Kemudian, dua perusahaan Belanda, tepatnya perusahaan
tembakau, yaitu NV Verenigde Deli-Maatschappijen dan NV Senembah-Maatschappij.
Belanda tetap mengajukan klaim kepemilikan, karena merasa Indonesia tidak akan
memberikan kompensasi. Kasus ini kemudian disidangkan di Landgericht, Bremen dengan
kemenangan di pihak Indonesia (21 april 1959 dan 16 juni 1959). Kemudian Belanda
mengajukan banding, melalui pengadilan Oberlandesgericht, dengan keputusan yang
memnguatkan keputusan Landgericht, yakni menolak gugatan pihak Belanda. Kedua, selain
jalur pengadilan atau secara litigasi, kasus ini sebenarnya dapat diselesaikan dengan cara lain
diluar pengadilan ( non- litigasi ), misalnya dengan negoisasi, mediasi, Arbitrase
Internasional, ADR, dan lain sebagainya. Ketiga,berdasarkan paradigma yang berkembang
dalam kajian Hukum Internasional, terdapat cara penyelesaian sengketa internasional ada dua
cara, yaitu secara damai,dan cara kekerasan. Dengan cara damai ada dua jalur, yaitu cara
litigasi (melalui pengadilan) maupun non-litigasi, misalnya dengan negoisasi, mediasi,
arbitrase internasional, maupun ADR. Dengan cara kekerasan yaitu dengan perang, boikot
damai, reprisal, retorsi, embargo, dan lain sebagainya. Cara-cara tersebut biasanya dipakai
dalam menyelesaikan sengketa hukum. Sedangkan sengketa politik, lebih menekankan pada
proses dan kemahiran diplomasi tiap negara yang bersangkutan. B. Saran Dalam
perkembangan hukum internasional dewasa ini, paradigma penyelesaian sengketa baik
internasional maupun nasional, sengketa hukum maupun politik, adalah melalui jalur non-
litigasi. Keputusan yang dihasilkan merupakan keputusan win-win solution, sehingga banyak
dipakai dalam berbagai sengketa internasional. Misalnya dengan cara arbitrase internasional.
Mekanisme yang menguntungkan semua pihak, dan segala sesuatunya yang berdasarkan
kesepakatan semua pihak yang bersengketa menjadi daya tarik dalam menyelesaikan
sengketa internasional. Selain itu, pengembangan hukum internasional di Indonesia,
sepatutnya harus memiliki sebuah paradigma atau kerangka keyakinan yang bersumber dari
lokalitas, praktik-praktik, serta kepentingan nasional, sehingga kita dpat selalu kritis terhadap
isu-isu internasional yang telah, sedang, dan yang kemungkinan akan terjadi di masa depan.

Make Money Online : http://ow.ly/KNICZ

Anda mungkin juga menyukai