Anda di halaman 1dari 8

YURIDIKSI HUKUM DALAM CYBER CRIME

MANAJEMEN INVESTIGASI TINDAK KRIMINAL


Dosen : Yudi Prayudi, S.Si., M.Kom

Disusun Oleh:
ZAENUDIN
(15917124)

PROGRAM STUDI MAGISTER TEKNIK INFORMATIKA


FAKULTAS TEKNIK INDUSTRI
UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA
YOGYAKARTA
2016

1. Pengertian Yuridiksi
Yurisdiksi berasal dari bahasa inggis yaitu Jurisdistion . Jurisdiction sendiri berasal dari bahasa
latin Yurisdictio. Yuris berarti kepunyaan menurut hukum dan Diction berarti ucapan, sabda,
sebutan ataupun firman.
Anthony Csabafi, dalam bukunya The Concept of State Jurisdiction in International Space
Law mengemukakan tentang pengertian yurisdiksi negara dengan menyatakan sebagai berikut :
Yurisdiksi negara dalam hukum internasional berarti hak dari suatu negara untuk mengatur dan
mempengaruhi dengan langkah-langkah dan tindakan yang bersifat legislatif, eksekutif, dan
yudikatif atas hak-hak individu, milik atau harta kekayaannya, perilaku-perilaku negeri.
2. Prinsip Yuridiksi
1.

Prinsip Yurisdiksi Teritorial

Menurut prinsip ini setiap Negara memiliki yurisdiksi terhadap kejahatan-kejahatan yang
dilakukan di dalam wilayah atau teritorialnya. Dibandingkan prinsi-prinsip lain, prinsip territorial
merupakan prinsip yang tertua, terpopuler dan terpenting dalam pembahasan yurisdiksi dalam
HI. Menurut Hakim Loed Macmillan, suatu Negara harus memiliki yurisdiksi terhadap semua
orang, benda dan perkara-perkara perdata dan pidana dalam batas-batas territorialnya sebagai
pertanda Negara tersebut berdaulat. Pengadilan Negara di mana suatu kejahatan dilakukan
memiliki yurisdiksi terkuat dengan pertimbangan:
a. Negara dimana kejahatan dilakukan adalah Negara yang ketertiban sosialnya paling
terganggu;
b. Biasanya pelaku ditemukan Negara dimana kejahatan dilakukan;
c. Akan lebih mudah menemukan saksi dan bukti-bukti sehingga proses persidangan dapat
lebih efisien dan efektif;
d. Sesroang WNA yang dating ke wilayah suatu Negara dianggap menyerahkan diri pada
system HN Negara tersebut, sehingga ketika ia melakukan pelanggaran HN di Negara yang
ia datangi maka ia harus tunduk pada hokum stempat meskipun mungkin apa yang ia lakukan
sah (lawful) menurut system HN negaranya sendiri.
Dengan demikian, ketika seorang WN Australia tertangkap basah menyimpan dan
memperjualbelikan ganja di sebuah hotel Denpasar, Bali Indonesia dapat menerapkan yurisdiksi
teritorialnya terhadap orang tersebut.
Meskipun penting, kuat dan popular, penerapan yurisdiksi territorial tidaklah absolute. Ada
beberapa perkecualian yang diatur dalam HI dimana Negara tidak dapat menerapkan yurisdiksi
territorialnya, meskipun suatu peristiwa terjadi di wilayahnya, beberapa perkecualian yang
dimaksud adalah sebagai berikut :

a. Terhadap pejabat diplomatic negara asing


b. Terhadap negara dan kepala negara asing
c. Terhadap kapal public negara asing
d. Terhadap organisasi internasional
e. Terhadap pangkalan militer negara asing

2.

Prinsip Teritorial Subjektif

Berdasarkan prinsip ini Negara memiliki yurisdiksi terhadap seseorang yang melakukan
kejahatan yang dimulai dari wilayahnya, tetapi diakhiri atau menimbulkan kerugian di Negara
lain. Didekat perbatasan wilayah Indonesia-Malaysia, A yang berada di wilayah Indonesia
menembak B yang berada di seberang perbatasan (wilayah Malaysia). Dalam kasus ini,
Indonesia memiliki dasar untuk mengadili A berdasarkan prinsip territorial subjektif karena A
melakukan kejahatan yang dimulai dari wilayah Indonesia meskipun kerugiannya timbul di
wilayah Malaysia.

3.

Prinsip Teritorial Objektif

Berdasarkan prinsip ini suatu Negara memiliki yurisdiksi terhadap seseorang yang
melakukan kejahatan yang menibulkan kerugian di wilayahnya meskipun perbuatan itu dimulai
dari Negara lain. Prinsip territorial objektif muncul pertama dalam kasus Lotus, dimana kapal
Prancis menabrak kapal Turki yang mengakibatkan kapal Turki tenggelam. Turki mengklaim
memiliki yurisdiksi terhadap kapal Prancis karena menderita kerugian yang ditimbulkan oleh
kapal (wilayah eksttrateriotrial) Prancis. Dalam kasus A di atas, Malaysia juga dapat mengklaim
memiliki yurisdiksi untuk mengadili A karena telah menimbulkan kerugian yaitu tertembaknya
B di wilayah Malaysia, meskipun penembakan dilakukan A dari wilayah Indonesia.

4.

Prinsip Nasionalitas Aktif

Berdasarkan prinsip ini Negara memiliki yurisdiksi terhadap warga yang melakukan
kejahatan di luar negeri. Indonesia memiliki yurisdiksi untuk mengadilil TKI yang membunuh
majikannya di Arab Saudi atas dasar prinsip ini. Dalam praktik sering terjadi klaim yang
tumpang tindih dari beberapa Negara karena pelaku kejahatan memiliki kewarganegaraan ganda.
Karenanya sangat penting bagi suatu Negara untuk membuat aturan tegas siapa yang berhak
mendapatkan kewarganegaraan di negaranya.

5.

Prinsip Nasionalitas Pasif

Berdasarkan prinsip ini Negara memiliki yurisdiksi terhadap warganya yang menjadi korban
kejahatan yang dilakukan orang asing di luar negeri. Dengan prinsip ini maka Indonesia akan
memiliki yurisdiksi berdasarkan prinsip nasionalitas pasif terhadap Philip (Warga Filipina) yang
membunuh Soni (Warga Indonesia) di Thailand. Dalam kasus US v Yunis 1989, Amerika
mengadili Yunis, warga Libanon yang dituduh terlibat pembajakan pesawat Yordania di Timur
Tengah atas dasar prinsip nasionalitas pasif. Beberapa warga AS yang ada dalam pesawat
Yordania itu menjadi korban perbuatan Yunis.

6.

Prinsip Universal

Yurisdiksi universal dalam hukum internasional bertujuan untuk memproses fenomena


pengampunan (impunity) bagi orang-orang tertentu. Pelaku serious international crime tanpa di
bawah hukum internasional yang menikmati impunity bebas bepergian ke suatu tempat yang
diinginkannya setelah ia melakukan serious international crime tanpa bisa dimintai
pertanggungjawaban bahkan hanya untuk sekedar diinvestigasi.
Yurisdiksi universal adalah yurisdiksi yang bersifat unik dengan beberapa ciri menonjol
sebagai berikut:
a. Setiap Negara berhak untuk melaksanakan yurisdiksi universal. Frase setiap negara
mengarah hanya padanegara yang merasa bertanggung jawab untuk turut serta secara aktif
menyelamatkan masyarakat internasional dari bahaya yang ditimbulkan oleh serious crime,
sehingga merasa wajib untuk menghukum pelakunya. Rasa bertanggung jawab tersebut harus
dibuktikan dengan tidak adanya niat untuk melindungi pelaku dengan memberikan safe
heaven dalam wilayah negaranya.
b. Setiap Negara yang ingin melaksanakan yurisdiksi universal tidak perlu mempertimbangkan
siapa dan berkewarganegaraan apa pelaku juga korban dan dimana serious crime dilakukan.
Dengan kata lain dapat dikatakan tidak diperlukan titik pertautan antara Negara yang akan
melaksanakan yurisdiksinya dengan pelaku, korban dan tempat dilakukannya kejahatan itu
sendiri. Satu-satunya pertimbangan yang diperlukan adalah apakah pelaku berada di
wilayahnya atau tidak? Tidak mungkin suatu Negara bisa melakansakan yurisdiksi universal
bia pelaku tidak berada di wilayahnya. Akan merupakan pelanggaran hokum internasional
bila Negara memaksa menangkap seseorang yang berada di wilayah Negara lain.
c. Setiap Negara hanya dapat melaksanakan yurisdiksi universalnya terhadap pelaku serious
crime atau yang lazim disebut internastional crime.

3. Komponen Yuridiksi hukum dalam kasus cybercrime


Selanjutnya dalam kasus-kasus cybercrime, yurisdiksi hukum selalu menjadi masalah serius
yang dihadapi oleh penegak hukum. Apalagi jika melibatkan warga Negara asing. (Brenner,
2006) dalam bukunya yang berjudul IT Law Series Vol 11 Cybercrime and Jurisdiction
menjelaskan bahwa untuk menjawab permasalahan cybercrime dalam yurisdiksi hukum ini yang
melibatkan antar Negara, maka ada 7 komponen yang dapat digunakan oleh negara untuk
mengklaim yurisdiksi hukum atas kasus cybercrime yaitu :
-

Tempat Kejahatan Dilakukan

Hal ini biasanya dilakukan dengan menerapkan asas territorialitas dengan faktor seperti :

Lokasi tempat dilakukannya kejahatan

Lokasi dimana alat berada

Lokasi dimana pelaku berada

Lokasi dimana akibat berada

Lokasi dimana ada hal-hal yang berhubungan dengan kejahatan tersebut


Tempat Dimana Pelaku Ditangkap

Komponen ini digunakan dengan menerapkan prinsip universalitas dimana setiap Negara berhak
untuk mengadili setiap orang yang melakukan kejahatan internasional.
-

Akibat

Pada komponen ini, dimana akibat atau korban berada, maka Negara tempat korban tersebut
berada berhak untuk mengklaim yurisdiksi atas kasus ini.
-

Nasionalitas (Kewarganegaraan)

Komponen ini terbagi dua yaitu kewarganegaraan korban dan kewarganegaraan pelaku.
Kewarganegaraan korban dapat digunakan untuk mengklaim yurisdiksi atas suatu kasus dan
kewarganegaran pelaku juga dapat digunakan namun Negara pelaku harus menjamin dapat
mengadili seadil-adilnya pelaku tersebut karena merasa bertanggung jawab atas perbuatan
yang dilakukan si pelaku.
-

Kekuatan dari Kasus Tersebut

Komponen ini harus diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum dalam dokumen yang menyatakan
bahwa mereka mempunyai kasus yang cukup kuat (dalam hal bukti, saksi, dll) untuk mengadili
pelaku di negaranya.

Pemidanaan

Lamanya pemidanaan dapat dijadikan komponen untuk menentukan yurisdiksi dalam kasus
cybercrime. Misalkan hukuman untuk orang yang melakukan hacking di Negara A adalah 5
tahun dan di Negara B 3 tahun, maka Negara A berhak untuk mengklaim yurisdiksi nya
-

Keadilan dan Kenyamanan

Dalam komponen ini, keadilan maksudnya untuk Negara yang berhak mengklaim yurisdiksi atas
kasus cybercrime adalah Negara yang memiliki sistem peradilan yang adil dan tidak memihak
dan juga yang paling nyaman bagi saksi untuk hadir dalam persidangan.

4. Penerapan Yurisdiksi dalam Kasus Cyber Crime di Indonesia


Ada beberapa kasus yang berhubungan dengan yuridiksi dan hukum internasional yang di
lakukan Warga Negara Asing di Indonesia, ataupun korbannya adalah warga negara Indonesia,
namun yang sedang hangat-hangatnya terjadi adalah kasus Dimitar Nikolov, seorang Warga
Negara Asing asal Bulgaria yang melakukan kejahatan ATM Skimming di Indonesia. Dimitar
Nikolov sudah beraksi di Indonesia sejak 2013 , tepatnya di Bali dan telah mencuri lebih dari
5.500 kali melalui 509 kartu ATM Palsu dengan total kerugian sebesar 1,5 miliar euro atau setara
dengan Rp. 24 Triliun. Modus utama dari Nikolov adalah dengan menempatkan sebuah alat
skimmer atau alat penduplikasi data kartu di ATM , dan juga menempatkan kamera mini untuk
merekam saat korban menekan tombol dari personal identification number ( PIN). Dengan
begitu, ketika korban memasukkan kartu ATM nya pada mesin , maka nikolov telah
mendapatkan 2 informasi , yaitu data kartu ATM dan juga nomor PIN. Data-data tersebut di
masukkan kedalam kartu ATM kosong dan kemudian dapat digunakan sama seperti kartu
aslinya, saat itulah pelaku menguras semua isi dari rekening korban.
Menurut Informasi yang dilansir Kompas , Kabareskrim Komjen Anang Iskandar menyebutkan
bahwa Nikolov tidak mengincar warga negara Indonesia. Ia mengincar warga negara luar yang
tengah berwisata di Bali dengan jumlah uang yang tidak besar, namun dengan korban yang
banyak.

Dan Pada tanggal 23 Oktober yang lalu, Kepolisian Indonesia berhasil menangkap Nikolov dari
tempat persembunyiannya di Bosnia. Penjemputan dilakukan oleh Direktur Tipideksus
Bareskrim Polri, Brigjen Bambang Waskito pada 23 Oktober 2015. Nikolov dijemput setelah
disetujuinya permintaan ekstradisi Bareskrim ke Pemerintah Bosnia untuk mengekstradisi
Nikolov. Nikolov dijerat dengan Pasal 362, 363, 406 KUHP, Pasal 30 Jo Pasal 46 dan atau Pasal
32 Jo Pasal 48 UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik serta Pasal
3, 4, 5, dan 10. Juga UU Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak
Pidana Pencucian Uang

Dari kasus diatas kita dapat melihat bahwa Indonesia bersikap tegas menegakkan hukum dengan
asas yuridiksi teritorial dengan komponen dimana kejahatan itu dilakukan. Dimitar Nikolov
merupakan warga negara Bulgaria , namun dia melakukan tindak kejahatan di wilayah hukum
Indonesia. Perbuatannya merugikan ekonomi nasional , perlindungan terhadap data strategis,
menghilangkan kepercayaan negara lain terhadap keamanan negara Indonesia,serta pelecehan
atas harkat dan martabat negara. Meskipun yang menjadi korban secara finansial adalah warga
negara Asing , namun akun dari ATM korban tersebut merupakan Bank milik Indonesia, dan
juga menurunnya kepercayaan pihak Asing terhadap keamanan data dari Bank tersebut. Selain
itu , tindak kejahatan ini mampu memberi efek trauma terhadap korban sehingga
berkemungkinan akan mengakibatkan berkurangnya wisatawan asing ke Indonesia.
Mengapa Dimitar Nikolov bisa di tangkap di Bosnia, Serbia ?
Kepolisian Indonesia memang sudah menetapakan Dimitar Nikolov sebagai tersangka utama dari
kasus ATM Skimming , dengan adanya sebuah kerjasama hukum Internasional dengan Negara
Serbia , Indonesia bisa mengajukan permintaan ekstradisi terhadap seorang penjahat buronan
hukum negara. Oleh karena itu ,Kepolisian Indonesia berhasil menjemput Dimitar Nikolov di
Bosnia untuk diadili di Indonesia.

Dari kasus diatas kita dapat mengambil kesimpulan bahwa , apapun tindakan kejahatan yang
dilakukan , akan diadili berdasarkan hukum dan yuridiksi yang berlaku, walaupun kejahatan
tersebut dilakukan oleh warga negara asing sekalipun. Landasan hukum Indonesia menjerat kuat
terhadap semua tindak kejahatan yang ditetapkan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP) dan seluruh regulasi hukum lain yang mengaturnya. Kejahatan secara dunia maya pun
akan mendapatkan perlakuan hukum yang sama.

Referensi :
Afitrahim, M. (2012). Yurisdiksi Dan Transfer of Proceeding Dalam Kasus Cybercrime.
Universitas Indonesia.
Brenner, S. W. (2006). Chapter 17, The Next Step: Prioritizing Jurisdiction. In IT Law Series
Vol 11: Cybercrime and Jurisdiction (pp. 330346). Leiden: Asser Press.
Kuwado, F. J. ( juli 20 2016 ). 5.500 Kali Beraksi di Bali, Pencuri via ATM Asal Bulgaria
Kantongi
Rp
24
Triliun.
Kompas.com.
Jakarta.
Retrieved
from
http://nasional.kompas.com/read/2015/10/23/19592061/5.500.Kali.Beraksi.di.Bali.Pencuri.ATM.
asal.Bulgaria.Kantongi.Rp.24.Triliun

Anda mungkin juga menyukai