Anda di halaman 1dari 3

Nama : Raihan Maulana

Nim : 202010110311033
Kelas : III A
Hukum Internasional (Yuridiksi dan Kedaulatan Negara)
A. Yurisdiksi Negara Dalam Hukum Internasional
Kata Yurisdiksi (yurisdiksi) berasal dari kata yurisdictio. Kata Yurisi berasal dari dua kata
yaitu kata yuris dan dictio. Yuris berarti kepunyaze hukum atau kepunyaan menurut hukum.
Adapun dictio berarti ucapan sabda atau sebutan. Dengan demikian, dilihat dari katanya
tamps bahwa hal itu berkaitan dengan masalah hukum, kepunyaan hukum atau kewenangan
menurut hukum.
B. Prinsip – prinsip Yuridiksi
Secara garis besar pemandangan pengadilan (judicial jurisdiksi) mencakup perdata dan
pidana. Yurisdiksi perdata adalah kewenangan hukum pengadilan suatu negara perkara-
perkara yang menyangkut keperdataan baik yang sifatnya perdata biasa (nasional), maupun
yan bersifat perdata internasional di mana ada unsur-unsur asing dalam kasus tersebut baik
menyangkut para pihak, objek yang disengketakan maupurn tempat perbuatan dilakukan.
Adapun Yuridiksi pidana adalah hak hukum suatu negara terhadap perkara-perkara yang
menyangkut kepidanaan baik yang ada di dalamnya tidak ada unsur asing di dalamnya.
Hukum internasional publik tidak banyak membuat aturan atau berkaitan dengan kasus-kasus
perdata internasional. HI publik lebih difokuskan pada acara pidana yang berkaitan dengan
kasus-kasus internasional. Sepanjang menyangkut perkara pidana ada beberapa hal yang
ingin diketahui dalam hukum internasional yang dapat digunakan oleh negara untuk
mengklaim dirinya memiliki yurisdiksi peradilan.
1. Prinsip Yuridiksi Teritorial
Menurut prinsip ini setiap negara memiliki yuridiksi terhadap kejahatan -kejahatan yang
dilakukan dalam atau teritorialnya. Prinsip teritorial merupakan prinsip yang tertua,
terpopuler dan terpenting dalam pembahasan prinsip-prinsip dalam HI. Menurut Hakim
Loed Macmillan, suatu negara harus memiliki semua orang, benda dan perkara-perkara
perdata dan pidana dalam batas-batas teritorialnya sebagai pertanda negara tersebut
berdaulat.
2. Prinsip Teritorial Subjektif
Berdasarkan ini negara memiliki keinginan terhadap seseorang yang melakukan
kejahatan yang dimulai dari wilayahnya, tetapi diakhiri atau menimbulkan kerugian di
negara lain. Di dekat perbatasan wilayah Indonesia-Malaysia, A yang berada di wilayah
Indonesia menembak B yang berada di seberang perbatasan (wilayah Malaysia). Dalam
kasus ini, Indonesia memiliki dasar untuk mengadili A berdasarkan prinsip teritorial
subjektif karena suatu kejahatan yang dimulai dari wilayah Indonesia meskipun
kerugiannya timbul di wilayah Malaysia.
3. Prinsip Teritorial Objektif
Berdasarkan prinsip ini suatu negara memiliki yuridiksi terhadap seseorang yang
melakukan kejahatan yang menimbulkan kerugian di wilayahnya meskipun perbuatan itu
dimulai dari negara lain. Prinsip teritorial objektif muncul pertama dalam kasus Lotus, di
mana kapal Prancis menabrak kapal Turki yang mengakibatkan kapal Turki tenggelam.
Turki mengklaim memiliki mengklaim memiliki yuridiksi terhadap kapal Prancis karena
menderita kerugian yang ditimbulkan oleh kapal (wilayah ekstrateritorial) Prancis.
Dalam kasus A di atas, Malaysia juga dapat mengklaim memiliki hak untuk mengadili A
karena telah menimbulkan kerugian yaitu tertembaknya B di wilayah Malaysia, meskipun
penembakan dilakukan A dari wilayah Indonesia.
4. Prinsip Nasionalitas Aktif
erdasarkan prinsip ini negara memiliki yurdiksi terhadap warganya yang melakukan
kejahatan di luar negeri. Indonesia memiliki yuridksi untuk mengadili TKI yang
membunuh majikannya di Arab Saudi atas dasar prinsip ini. Dalam praktik sering terjadi
klaim tumpang tindih dari beberapa negara karena pelaku kejahatan memiliki
kewarganegaraan ganda. Karenanya sangat penting bagi suatu negara untuk membuat
aturan tegas siapa yang berhak mendapatkan mendapatkan kewarganegaraan di
negaranya.
5. Prinsip Nasional Pasif
Berdasarkan prinsip ini negara memiliki yuridiksi terhadap warganya yang menjadi
korban kejahatan yang dilakukan orang asing diluar negeri.
6. Prinsip Universal
Berdasarkan prinsip ini setiap negara memiliki yuridiksi untuk mengadili pelaku
kejahatan internasional yang dilakukan di mana pun tanpa memperhatikan kebangsaan
pelaku maupun korban. Alasan munculnya prinsip ini adalah bahwa pelaku dianggap
orang yang sangat kejam, musuh seluruh manusia, jangan sampai ada tempat untuk
pelaku meloloskan diri dari hukuman, sehingga tindakan yang dilakukan oleh suatu
negara adalah atas nama seluruh masyarakat internasional. Yurisdiksi Universal menurut
Amnesti Internasional adalah: yuridiksi di mana pengadilan nasional di mana pun dapat
menginvestigasi, (menuntut) seseorang yang bersalah melakukan kejahatan internasional
tanpa pelaku nasionalitas, korban maupun hubungan lain dengan negara di mana
pengadilan itu berada.
7. Prinsip Perlindungan
Berdasarkan prinsip ini negara memiliki yuridiksi terhadap orang asing yang melakukan
kejahatan yang sangat serius yang mengancam kepentingan vital negara, keamanan,
integritas dan kepemilikan, kepentingan vital ekonomi negara. Beberapa contoh
kejahatan yang masuk ke perlindungan antara lain mata-mata, komplotan untuk
menggulingkan pemerintah, pemalsuan mata uang, imigrasi dan pelanggaran ekonomi.
C. Kerja Sama Antar Negara dalam Penerapan Yuridiksi
Bentuk-bentuk kerja sama masalah penerapan yuridiksi yang dikenal hukum
internasional yakni :
1. Extradisi
penyerahan oleh suatu negara kepada negara yang meminta penyerahan seorang yang
disangka atau dipidana karena melakukan suatu tindak pidana di luar wilayah yang
menyerahkan dan di dalam yurisdiksi wilayah negara yang meminta penyerahan
tersebut. Perjanjian ekstradisi sangat dibutuhkan saat ini seiring dengan meningkatnya
kualitas maupun kuantitas kejahatan khususnya kejahatan transnasional dan
terorisme. Keberadaan instrumen hukum internasional ini sangat bermanfaat untuk
meningkatkan jangkauan dan kemampuan penegakan hukum pidana nasional secara
umum.
Pada umumnya perjanjian-perjanjjan ekstradisi akan memuat prinsip-prinsip sebagai
berikut:
A. Prinsip kejahatan ganda (double criminal) B.Prinsip kekhususan/spesialitas
C.Prinsip tidak menyerahkan pelaku kejahatan politik
D.Prinsip tidak menyerahkan WN sendiri
E. Prinsip Ne bis in idem
F. Prinsip kadaluwarsa
2. Pertukaran Tahanan (Exchange of prisoners)
Exchange of prisoner dalam hukum kebiasaan internasional menurut Hikmahanto
diterapkan terhadap tawanan perang (prisoner of War) dalam konflik bersenjata,
sehingga bila diterapkan dalam kasus kejahatan narkotika tidak tepat. Dengan
demikian, penolakan yang dilakukan Indonesia memiliki justifikasi dalam hukum
international. Pelaksanaan Exchange of prisoner dilakukan dengan resiprokal di mana
jumlah tahanan yang dipertukarkan sama atau senilai, sepadan baik jumlah tahanan
dan bobot kejahatan yang dilakukan serta hukumannya
3. Transfer Of Sentenced Persons (TSP)
TSP adalah bentuk kerja sama Internasional di mana menjalani hukumannya di suatu
negara, kemudian dipindahkan ke negara asalnya untuk menjalani sisa hukumannya.
Pelaksanaan TSP dilakukan atas dasar kasus per kasus sesuai dengan kepentingan
negara pada saat itu dan tidak selalu bersifat resiprokal. Tujuan TSP adalah untuk
kemanusiaan, rehabilitasi, reintegrasi dan resosialisasi pada keluarga dan lingkungan
sosial asalnya.
4. Mutual Legal Assistance In Criminal Matters/MLA
MLA adalah kerja sama Bantuan Timbal Balik dalam Masalah Pidana bentuk kerja
sama internasional dalam MLA adalah saling memberikan bantuan berkenaan dengan
proses penyidikan, pemeriksaan, dan pemeriksen di sidang pengadilan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan negara yang diminta.

Anda mungkin juga menyukai