Anda di halaman 1dari 3

RESUME YURISDIKSI

Oleh :

M. Fathun Najib A. (12103183111)


Dimas Rifa’i (12103183114)
M. Fauzan Amir (12103183115)

Pengertian Yurisdiksi
Negara memiliki kedaulatan yang kemudian melahirkan hak dan kewenangan untuk mengatur
hal-hal internal dan eksternal negara itu, termasuk menetapkan ketentuan hukum nasional terhadap
suatu peristiwa. Kewenangan ini dikenal sebagai yurisdiksi negara dalam Hukum Internasional.
Kata Yurisdiksi berasal dari kata yurisdictio. Yuris berarti kepunyaan hukum atau kepunyaan
dalam hukum, sedangkan dictio berarti ucapan, sabda, atau sebutan . Maka dilihat dari asal katanya,
yurisdiksi berarti masalah hukum, kepunyaan menurut hukum, atau kewenangan menurut hukum.
Dalam Piagam PBB sering digunakan istilah domestic jurisdiction yaitu kewenangan domestik.
Meskipun dalam praktek, yurisdiksi lebih sering digunakan untuk menyatakan kewenangan yang
dimiliki oleh negara terhadap orang, benda, atau peristiwa. Adapun beberapa pendapat para ahli
mengenai yurisdiksi, adalah sebagai berikut :
a. Menurut Wayan Parthiana, apabila yurisdiksi dikaitkan dengan negara maka berarti
kekuasaan atau kewenangan negara untuk menetapkan dan memaksakan hukum yang dibuat
oleh negara itu sendiri .
b. Menurut Imre Anthony Csabafi, yurisdiksi negara dalam hukum internasional publik berarti
hak dari suatu negara untuk mengatur dan mepengaruhi dengan tindakan yang bersifat
legislatif, eksekutif, dan yudikatif atas hak-hak individu, harta kekayaan, dan peristiwa yang
tidak hanya mencakup masalah dalam negeri .
c. Menurut Shaw, yurisdiksi adalah kompetensi atau kekuasaan hukum negara terhadap orang,
benda, dan peristiwa hukum. Yurisdiksi merupakan refleksi dari kedaulatan negara,
persamaan derajat negara, dan prinsip non intervensi .
d. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, yurisdiksi memiliki 2 (dua) pengertian, yaitu :
1. Kekuasaan mengadili; lingkup kekuasaan kehakiman; peradilan;
2. Lingkungan hak dan kewajiban, serta tanggung jawab di suatu wilayah atau
lingkungan kerja tertentu; kekuasaan hukum .

Prinsip Yurisdiksi
A. Prinsip Teritorial
Setiap negara memiliki yurisdiksi terhadap kejahatan-kejahatan yang dilakukan di dalam
wilayah teritorialnya. Menurut Starke, yurisdiksi ini dapat diartikan sebagai hak, kekuasaan atau
kewenangan yang dimiliki oleh suatu negara untuk membuat peraturanperaturan hukum,
melaksanakan dan memaksakan berlakunya peraturan-peraturan tersebut dalam hubungannya dengan
orang, benda, hal atau masalah yang berada dan atau terjadi di dalam batas-batas wilayah dari negara
yang bersangkutan. Dalam hukum internasional, dikenal adanya perluasan yurisdiksi teritorial (the
extention of territorial jurisdiction) yang timbul akibat kemajuan iptek, khususnya teknologi
transportasi, komunikasi dan informasi serta hasil-hasilnya.
Kemajuan iptek ini ditampung dan diakomodasi oleh masyarakat dan hukum internasional,
guna mengantisipasi pemanfaatan dan penyalahgunaan hasil-hasil iptek ini oleh orang-orang yang
terlibat dalam pelanggaran hukum maupun tindak pidana di dalam wilayah suatu negara. Perluasan
yurisdiksi teritorial dibedakan oleh dua pendekatan yaitu:
a. Prinsip teritorial subyektif (the subjective territorial principle). Prinsip ini
memperkenankan suatu negara untuk mengklaim dan menyatakan yurisdiksinya
terhadap suatu tindak pidana yang mulai dilakukan atau terjadi di dalam wilayah
negaranya walaupun berakhir atau diselesaikan di negara lain.
b. Prinsip teritorial obyektif (the objective territorial principle). Prinsip ini
memperkenankan suatu negara untuk mengklaim dan menyatakan yurisdiksinya
terhadap suatu tindak pidana yang terjadi di luar negeri (negara lain), tetapi berakhir
atau diselesaikan dan membahayakan negaranya sendiri.

Menurut prinsip yurisdiksi teritorial, negara mempunyai yurisdiksi terhadap semua persoalan
dan kejadian di dalam wilayahnya. Prinsip ini adalah prinsip yang paling mapan dan penting dalam
hukum internasional. Menurut Hakim Lord Macmillan suatu negara memiliki yurisdiksi terhadap
semua orang, benda, perkara-perkara pidana atau perdata dalam batas-batas wilayahnya sebagai
pertanda bahwa negara tersebut berdaulat.
B. Prinsip Personal
Dalam hukum internasional diakui atau dikenal adanya yurisdiksi personal atau yurisdiksi
perseorangan (personal jurisdiction). Suatu negara dapat mengklaim yurisdiksinya berdasarkan azas
personalitas (jurisdiction according to personality principle). Yurisdiksi personal adalah yurisdiksi
terhadap seseorang, apakah dia adalah warganegara atau orang asing. Dalam hal ini orang yang
bersangkutan tidak berada dalam wilayahnya atau dalam batas-batas teritorial dari negara yang
mengklaim yurisdiksi tersebut.
Negara yang mengklaim atau menyatakan yurisdiksinya baru dapat menjalankan yurisdiksi
atau kekuasaan hukumnya apabila orang yang bersangkutan sudah datang dan berada dalam 4 batas-
batas teritorialnya, apakah dia datang dengan cara suka rela atau dengan cara terpaksa, misalnya
melalui proses ekstradisi. Menurut prinsip yurisdiksi personal, suatu negara dapat mengadili warga
negaranya karena kejahatan yang dilakukannya di mana pun juga. Sebaliknya, adalah kewajiban
negara untuk memberikan perlindungan diplomatik kepada warga negaranya di luar negeri. Ketentuan
ini telah diterima secara universal.
C. Prinsip Perlindungan
Berdasarkan prinsip yurisdiksi perlindungan, suatu negara dapat melaksanakan yurisdiksinya
terhadap warga-warga asing yang melakukan kejahatan di luar negeri yang diduga dapat mengancam
kepentingan keamanan, integritas, dan kemerdekaan negara. Penerapan prinsip ini dibenarkan sebagai
dasar untuk penerapan yurisdiksi suatu negara. Latar belakang pembenaran ini adalah perundang-
undangan nasional pada umumnya tidak mengatur atau tidak menghukum perbuatan yang dilakukan
di dalam suatu negara yang dapat mengancam atau mengganggu keamanan, integritas, dan
kemerdekaan orang lain. Misalnya, berkomplot untuk menggulingkan pemerintahannya,
menyelundupkan mata uang asing, kegiatan spionase, atau perbuatan yang melanggar perundang-
undangan imigrasinya.
Prinsip ini dibenarkan atas dasar perlindungan kepentingan negara yang sangat vital. Hal ini
dibenarkan karena pelaku bisa saja melakukan suatu tindak pidana yang menurut hukum dimana ia
tinggal tidak dikategorikan sebagai tindak pidana, dan manakala ekstradisi terhadapnya tidak
dimungkinkan (ditolak) bila tindak pidana tersebut termasuk kejahatan politik.
D. Prinsip Universal
Menurut prinsip ini, setiap negara mempunyai yurisdiksi terhadap tindak kejahatan yang
mengancam masyarakat internasional. Yurisdiksi ini lahir tanpa melihat dimana kejahatan dilakukan
atau warga negara yang melakukan kejahatan. Lahirnya prinsip yurisdiksi universal terhadap jenis
kejahatan yang merusak terhadap masyarakat internasional sebenarnya juga disebabkan karena tidak
adanya badan peradilan internasional yang khusus mengadili kejahatan yang dilakukan orang-
perorang (individu). Hukum internasional mengakui adanya yurisdiksi berdasarkan azas universal
(universal jurisdiction). Semua negara tanpa terkecuali dapat mengklaim dan menyatakan
yurisdiksinya berdasarkan azas universal.

Yurisdiksi Pada Jalur Tambahan, Pulau Buatan, Instalasi dan Bangunan serta Hak Berdaulat
Zona Tambahan sebagaimana fungsinya yakni mencegah dan menghukum adanya
pelanggaran peraturan perundang-undangan tentang bea cukai, fiskal, imigrasi atau saniter di wilayah
yang jaraknya 24 mil laut dari garis pangkal pantai. Secara konsep, Zona Tambahan adalah bagian
dari yurisdiksi negara dikarenakanmasih adanya kekuasaan sesuai Pasal 33 UNCLOS 1982 sehingga
sering disebut sebagai “yurisdiksi khusus”. Kemudian urgensi diperlukan penetapan Zona Tambahan,
dikarenakan negara-negara pantai memerlukan kekuasaan untuk melakukan pengamanan terhadap
kepentingan-kepentingan negara seperi bidangbidang yang telah dijelaskan sebelumnya. Zona
Tambahan telah diakui di Indonesia sebagaimana tertulis dalam Pasal 1 angka 3 Undang-undang
Nomor 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara, yakni wilayah yurisdiksi Indonesia adalah wilayah
laut di luar laut territorial yang masih menjadi bagian dalam yurisdiksi Indonesia, dimana salah
satunya adalah Zona Tambahan, namun pengaturan tersebut tidak diimplementasikan dengan baik ke
dalam masing-masing peraturan perundang-undangan Indonesia baik di bidang bea cukai, fiskal,
imigrasi dan saniter.
Berdasarkan pasal 60 UNCLOS 1982 negara pantai di ZEE memiliki yurisdiksi eksklusif atas
pulau buatan. Yurisdiksi eksklusif tersebut berhubungan dengan peraturan perundang-undangan bea
cukai, fiskal, kesehatan, keselamatan dan imigrasi. Yurisdiksi eksklusif negara pantai di ZEE juga
melekat suatu kewajiban negara pantai untuk memberikan pemberitahuan mengenai pembangunan
pulau buatan dan harus memelihara sarana permanen yang memberitahukan keberadaan pulau buatan.
Zona keselamatan ditentukan negara pantai untuk memastikan keselamatan navigasi dan pulau
buatan. Lebar zona keselamatan tidak boleh lebih dari 500 meter, kecuali telah diizinkan oleh
International Maritime Organization (IMO).
Yurisdiksi negara pantai di landas kontinen atas pulau buatan dalam Pasal 80 UNCLOS 1982
menyebutkan bahwa Pasal 60 berlaku mutatis mutandis untuk pulau buatan di landas kontinen. Pasal
78 ayat (2) UNCLOS 1982 menyatakan pelaksanaan hak Negara pantai atas landas kontinen tidak
boleh mengurangi, atau mengakibatkan gangguan apapun yang tak beralasan terhadap pelayaran dan
hak serta kebebasan lain yang dimiliki Negara lain. Ketentuan tersebut juga termasuk zona
keselamatan penerbangan di atas pulau buatan sebagaimana ketentuan dalam pasal 78 ayat (1). Setiap
negara dibebaskan membangun pulau buatan di laut lepas.25 Ketentuan tersebut berangkat dari
konsep laut lepas sebagai warisan bersama umat manusia (common haritage of mankind) sehingga
dapat dimanfaatkan oleh negara mana saja. Kebebasan pembangunan pulau buatan di laut lepas
tunduk pada ketentuan BAB VI UNCLOS 1982.

Anda mungkin juga menyukai