Yurisdiksi negara tidak dapat dipisahkan dari Azas
Kedaulatan Negara (State Souvereignty) yang merupakan ciri hakiki dari setiap negara. Yurisdiksi Negara merupakan konsekuensi logis dari adanya azas kedaulatan ataupun hak- hak tertentu yang dapat dimiliki negara. Negara memiliki yurisdiksi dalam batas-batas teritorialnya karena negara memiliki kedaulatan yang menunjukkan adanya kekuasaan tertinggi dalam bidang apapun di dalam batas-batas teritorial dari negara yang bersangkutan (Mochtar Kusumaatmadja, 1972:15). Inilah yang disebut Kedaulatan Teritorial (Territorial Souvereignty) yang dengan sendirinya menimbulkan apa yang disebut Yurisdiksi Teritorial (Territorial Jurisdiction). Menurut Malcolm N. Shaw (1986:342), yurisdiksi itu menyangkut kewenangan negara untuk mempengaruhi orang- orang, harta benda dan keadaan serta merefleksikan adanya prinsip dasar mengenai Kedaulatan Negara (State Souvereig- nty), persamaan negara-negara (equality of states) dan tidak campur tangan dalam urusan domestik (non-interference in domestic affairs). Sesungguhnya yurisdiksi adalah suatu ciri hakiki dan vital dari kedaulatan negara karena yurisdiksi adalah suatu pelaksanaan kekuasaan yang dapat mengganti
Prinsip-Prinsip Hukum Internasional 1
atau menciptakan atau mengakhiri hubungan dan kewajiban hukum. Yurisdiksi itu dapat dicapai atau diwujudkan dengan mempergunakan (by means of) tindakan legislatif atau tin- dakan eksekutif atau tindakan pengadilan sehingga keadaan seperti ini menimbulkan dua macam kategori yurisdiksi, yaitu: 1) Yurisdiksi Preskriptif (Prescriptive Jurisdiction), yaitu kewenangan untuk membuat peraturan perundang-undangan atau menciptakan aturan-aturan hukum, dan 2) Yurisdiksi Pelaksanaan (Enforcement Jurisdiction), yaitu kekuasaan un- tuk menerapkan aturan-aturan tersebut melalui tindakan peradilan atau eksekutif (judicial or executive action). Parlemen yang meloloskan undang-undang yang sifat- nya mengikat, pengadilan yang membuat putusan yang mengikat dan aparat pemerintah memiliki kekuasaan dan yurisdiksi atau kewenangan hukum untuk memaksakan aturan-aturan hukum (legal authority to enforce the rules of law). Perbedaan antara kemampuan atau kewenangan untuk membuat peraturan hukum (the prescriptive jurisdiction) dan kewenangan untuk menjamin pentaatan terhadap peraturan- peraturan hukum tersebut (the enforcement jurisdiction) menjadi dasar untuk memahami yurisdiksi negara. Sesungguhnya pengertian yurisdiksi itu sendiri jauh lebih luas daripada pengertian kedaulatan negara, karena pengertian yurisdiksi tidak hanya mencakup pengertian yurisdiksi teritorial, tetapi juga dapat mencakup pengertian
2 Prinsip-Prinsip Hukum Internasional
yurisdiksi yang menjangkau seseorang atau beberapa orang, hal-hal atau masaalah-masalah yang berada atau terjadi di luar batas-batas teritorial suatu negara. Apabila yurisdiksi teritorial adalah merupakan konse- kuensi logis dari adanya azas kedaulatan teritorial serta hanya dapat menjangkau siapa atau apa saja yang berada atau terjadi dalam batas-batas teritorial negara tersebut (wilayah daratan, perairan pedalaman, laut wilayah dan perairan kepulauan), maka pengertian yurisdiksi dalam arti yang luas keberadaannya bersumber bukan hanya dari azas kedaulatan negara melainkan juga bersumber atau didasar- kan atas hak atau kewenangan dalam bidang-bidang tertentu yang diberikan oleh hukum internasional kepada suatu nega- ra, karena pengertian yurisdiksi negara bukan saja meliputi pengertian yurisdiksi teritorial, maka dalam hukum interna- sional dikenal dan diakui adanya berbagai bentuk atau variasi dari (pengertian) yurisdiksi negara. Ada yang disebut yurisdiksi negara dalam bidang legislatif atau yurisdiksi legislatif, yurisdiksi eksekutif, yuris- diksi administratif dan yurisdiksi yudikatif. Ada juga yang dinamakan yurisdiksi personal, yurisdiksi kebendaan, yuris- diksi kriminal, yurisdiksi sipil atau yurisdiksi dalam perkara perdata dan yurisdiksi ekstra territorial (extra territorial juris- diction), seperti misalnya yurisdiksi negara di jalur tambahan, di zona ekonomi eksklusif, di landas kontinen, yurisdiksi di laut bebas, yurisdiksi di ruang udara dan ruang angkasa,
Prinsip-Prinsip Hukum Internasional 3
yurisdiksi universal dan pelbagai macam yurisdiksi yang bisa timbul sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan masya- rakat internasional di masa mendatang. Namun demikian di antara segala macam bentuk atau variasi pengertian yurisdiksi negara, maka yang paling me- nonjol dan signifikan adalah pengertian yurisdiksi teritorial. Yurisdiksi teritorial itu paling menonjol dan signifikan karena yurisdiksi semacam inilah sepanjang terpenuhi persyara- tannya, maka paling efektif untuk diterapkan atau dilaksa- nakan oleh Negara setempat. Yurisdiksi teritorial adalah hak, kekuasaan atau kewenangan dari suatu negara untuk membuat peraturan-peraturan hukum nasionalnya (prescript- tive jurisdiction), menerapkan atau melaksanakan dan memaksakan berlakunya peraturan-peraturan tersebut terhadap siapapun yang melanggarnya (enforcement juris- diction). Yurisdiksi teritorial sebagaimana dikemukakan pengertiannya oleh J. G. Starke (1984:194) adalah yurisdiksi yang dimiliki oleh suatu negara terhadap orang, benda, peristiwa atau masalah yang terdapat dan atau terjadi di dalam batas-batas teritorialnya. Siapapun orangnya baik warganegara maupun orang asing yang berada di dalam wilayah suatu negara harus tunduk pada yurisdiksi atau kekuasaan hukum dari negara yang bersangkutan. Setiap benda apapun bentuknya baik bergerak maupun tidak bergerak yang terdapat di dalam wilayah suatu
4 Prinsip-Prinsip Hukum Internasional
negara harus tunduk pada kekuasaan hukum negara terse- but. Demikian pula peristiwa atau masalah apapun yang berlangsung atau terjadi di dalam batas-batas teritorial suatu negara dapat diselesaikan menurut peraturan-peraturan hukum dari negara yang bersangkutan. Apapun yang terjadi di negara tersebut harus tunduk pada yurisdiksi teritorialnya. Negara tersebut mempunyai hak atau kewenangan untuk menciptakan peraturan-peraturan hukumnya sendiri, menerapkan dan memaksakan berlakunya peraturan-peraturan tersebut dalam kaitan dengan siapapun atau apapun yang berada atau terjadi di dalam batas-batas teritorial dari negara tersebut. Dengan kemajuan ilmu penge- tahuan serta teknologi terutama teknologi transportasi dan komunikasi maupun informasi mengakibatkan timbulnya perluasan yurisdiksi teritorial mengingat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta hasil-hasilnya bagaimana- pun harus dapat ditampung dan diakomodasi oleh masyara- kat dan hukum internasional. Hal ini disebabkan karena kemajuan dan kecanggihan teknologi tersebut tidak jarang dapat dimanfaatkan dan disalahgunakan oleh mereka yang berniat melakukan pelang- garan atas peraturan-peraturan hukum nasional suatu negara dan mereka itu dapat meloloskan diri dari kekuasaan hukum negara tersebut dengan menggunakan fasilitas tekno- logi yang semakin lama semakin canggih. Dengan latar belakang seperti ini hukum internasional memperkenankan
Prinsip-Prinsip Hukum Internasional 5
suatu negara untuk memperluas yurisdiksi teritorialnya dan perluasan ini dapat dilakukan melalui dua pendekatan. Kedua pendekatan ini adalah pendekatan berdasar- kan prinsip Teritorial Subyektif (the Subjective Territorial Principle) dan pendekatan yang didasarkan atas prinsip Territorial Obyektif (the Objective Territorial Principle). Kedua macam prinsip tersebut dengan demikian mengandung semacam muatan yang disebut Persaingan Yurisdiksi (Concu- rrent Jurisdiction), yakni persaingan yurisdiksi di antara negara tempat terjadinya pelanggaran atau tindak pidana dengan negara tempat pelakunya berada. Persaingan yurisdiksi sering tidak terhindarkan dalam hubungan antarnegara, namun tidak perlu selalu dipersoalkan sebab hal ini terkait dengan azas kedaulatan dan yurisdiksi teritorial dari masing-masing negara yang berkepentingan atas suatu kasus. Apabila salah satu negara yang merasa berkepen- tingan dan mempunyai kemampuan dan kemauan untuk menjalankan yurisdiksinya dan melakukan tindakan hukum terhadap pelaku tindak pidana atau terhadap mereka yang terlibat karena mereka ini berada di wilayah negara tersebut, maka negara lain yang juga memiliki kepentingan sama harus dapat menerima pelaksanaan kekuasaan hukum dari negara yang disebut terlebih dahulu karena negara inilah yang paling efektif untuk melaksanakan yurisdiksi teritorialnya, kendati pelanggaran atau tindak pidana tadi tidak dilakukan di
6 Prinsip-Prinsip Hukum Internasional
negara yang disebut terlebih dahulu, tetapi dilakukan di negara lain. Hal ini menunjukkan bahwa setelah melakukan suatu tindak pidana di suatu negara, dia mungkin melarikan diri ke negara lain dengan memanfaatkan produk teknologi maju, dan apabila negara ini merasa memiliki kepentingan serta memiliki kemauan dan kemampuan, maka sesungguhnya negara ini harus diakui paling efektif untuk melakukan tindakan hukum terhadap pelakunya, karena pelakunya sudah berada di dalam genggaman kekuasaan hukumnya, sehingga negara tempat terjadinya tindak pidana tidak boleh mempermasalahkan pelaksanaan yurisdiksi teritorial oleh negara tempat pelakunya berada. Ada juga kemungkinan sebagian pelakunya dikenai tindakan hukum di negara tempat kejahatan itu terjadi sebab mereka kebetulan berada di sana, tetapi sebagian lainnya harus menjalani proses hukum di negara lain sebab masing- masing negara mempunyai kepentingan yang sama dan secara efektif dapat menjalankan yurisdiksi teritorialnya terhadap mereka yang tersangkut tindak pidana tersebut. Prinsip teritorial subyektif menunjukkan pengertian bahwa suatu negara diperkenankan untuk mengklaim dan menjalankan yurisdiksi teritorialnya atas suatu tindak pidana yang mulai terjadi atau mulai dilakukan di dalam wilayahnya sendiri, tetapi tindak pidana itu berakhir dan diselesaikan di negara lain. Prinsip ini tidak lazim diterapkan oleh negara-
Prinsip-Prinsip Hukum Internasional 7
negara sehingga prinsip ini tidak menjadi kaidah hukum kebiasaan internasional. Namun demikian prinsip teritorial subyektif yang mungkin pada awalnya adalah suatu teori atau doktrin, ternyata diterapkan dalam beberapa perjanjian internasional, seperti misalnya Konvensi Geneva mengenai Pemberantasan Mata Uang Palsu pada tahun 1929 (Convention on the Suppression of Counterfeiting Currency 1929), dan Konvensi mengenai Pemberantasan Obat-Obat Terlarang tahun 1936 (Convention on the Suppression of the Illicit Drug Traffic 1936). Berdasarkan prinsip teritorial subyektif, negara tem- pat dimulainya kejahatan pemalsuan mata uang, ataupun kejahatan memproduksi obat-obat terlarang, mempunyai kewenangan untuk mengklaim atau menyatakan yurisdik- sinya atas kejahatan tersebut, maupun pelakunya, sekalipun kejahatan tersebut berakhir dan mendatangkan bahaya bagi negara lain. Dalam keadaan demikian tentu sering tidak dapat dihindari terjadinya persaingan yurisdiksi antarnegara peser- ta, ataupun persaingan yurisdiksi dengan negara bukan peserta perjanjian itu sesuai dengan kepentingannya masing- masing. Dalam hal ini persaingan yurisdiksi antara negara tempat mulai dilakukannya kejahatan tersebut (kegiatan produksi obat-obat terlarang ataupun pemalsuan mata uang) di satu pihak, dengan negara tempat kejahatan itu berakhir dan membahayakan negara tersebut (negara tempat pereda-
8 Prinsip-Prinsip Hukum Internasional
ran atau pemasaran obat terlarang ataupun peredaran mata uang palsu) di lain pihak. Dalam praktek perlu dilakukan kerjasama interna- sional, termasuk pula kerjasama regional dan bilateral guna mengatasi timbulnya persaingan yurisdiksi, sehingga negara manapun yang merasa mempunyai kepentingan, serta ke- mauan dan kemampuan untuk melaksanakan kekuasaan hukumnya terkait kasus pemalsuan mata uang maupun obat- obat terlarang, sehingga diakui paling efektif untuk melaku- kan tindakan hukum atas pelakunya, atau mereka yang terlibat tidak perlu dipermasalahkan oleh negara lain yang juga mempunyai kepentingan yang sama atas kasus tersebut. Negara lain mempunyai kewajiban untuk menghor- mati tindakan hukum, dan pelaksanaan yurisdiksi teritorial oleh negara yang secara efektif dapat menjalankannya, sebab hal ini bersangkut paut dengan prinsip kedaulatan negara yang tidak dapat diintervensi oleh negara lain. Berbeda dengan prinsip teritorial subyektif, maka prinsip Teritorial Obyektif (the Objective Territorial Principle) memperkenankan suatu negara untuk mengklaim dan menyatakan yurisdiksinya atas suatu tindak pidana yang terjadi di luar negeri, namun tindak pidana ini diselesaikan serta mendatangkan bahaya terhadap wilayah, masyarakat, bangsa dan negaranya. Prinsip teritorial obyektif sudah lazim digunakan dalam praktik negara-negara, sehingga prinsip ini telah berkembang menjadi kaidah hukum kebiasaan interna-
Prinsip-Prinsip Hukum Internasional 9
sional, malahan prinsip ini juga telah diterima melalui pelbagai instrumen perjanjian internasional. Kedua konvensi yang telah dikemukakan sebelumnya, yaitu the Geneva Convention on the Suppression of Counter- feiting Currency 1929, dan the Geneva Convention on the Suppression of the Illicit Drug Traffic 1936, serta pelbagai perjanjian internasional lainnya, seperti Konvensi PBB mengenai anti korupsi (UN Convention against Corruption), Konvensi PBB mengenai Pemberantasan Terorisme (UN Convention on the Suppression of Terrorism), ternyata sudah menerapkan prinsip tersebut di mana negara-negara peserta- nya, diperkenankan untuk mengklaim dan menyatakan yurisdiksinya, terhadap siapapun yang terlibat dalam tindak pidana pemalsuan mata uang dan obat-obat terlarang, maupun peredaran dan pemasarannya, terutama apabila tindak pidana seperti itu yang mulai dilakukan di luar negeri, tetapi berakhir di negaranya serta membahayakan negaranya sendiri. Perjanjian-perjanjian tersebut bertujuan untuk me- ngatasi kemungkinan timbulnya persaingan yurisdiksi di antara beberapa negara, khususnya di antara negara tempat dimulainya kejahatan, misalnya, pemalsuan mata uang atau- pun obat-obat terlarang di satu pihak, dengan negara tempat diselesaikannya kejahatan tersebut dan membahayakan nega- ra tersebut, dan juga negara tempat para pelakunya berada maupun melarikan diri di lain pihak.
10 Prinsip-Prinsip Hukum Internasional
Dalam praktik perlu dijalin kerjasama internasional, regional ataupun bilateral untuk mengatasi persaingan yurisdiksi terkait dengan kasus pemalsuan mata uang atau- pun obat-obat terlarang, dan tentu saja pelbagai kejahatan lain yang bersifat transnasional, sehingga negara manapun yang pada akhirnya dapat menjalankan yurisdiksi territorial- nya, entah negara tempat mulainya tindak pidana tersebut dilakukan (negara produsen), atau negara korban tempat tindak pidana tersebut berakhir (negara tempat pemasaran hasil-hasil kejahatan itu), ataukah negara tempat para pelakunya berada atau melarikan diri, sesungguhnya tidak perlu dipersoalkan, sebab yang paling utama adalah bahwa kasus kejahatan tadi tidak boleh dibiarkan berlalu tanpa proses hukum dari negara setempat, tetapi negara setempat di mana para pelakunya berada seharusnya melakukan tindakan hukum seperti penangkapan, penahanan, penyidi- kan, penuntutan, peradilan hingga dilaksanakannya keputu- san pengadilan sesuai dengan peraturan perundang-undang- an dari negara yang bersangkutan. Bilamana hal ini dapat dijalankan secara efektif oleh negara tempat para pelakunya berada, sesuai dengan kepenti- ngannya, maka negara-negara lain yang juga memiliki kepentingan yang sama harus menghormati proses hukum, atau pelaksanaan yurisdiksi territorial terkait dengan kasus tersebut, sebab apa yang dilakukan oleh negara yang bersangkutan adalah bagian dari kedaulatannya yang tidak
Prinsip-Prinsip Hukum Internasional 11
dapat dicampuri oleh negara manapun (I Wayan Parthiana, 1990:301). Prinsip teritorial obyektif yang menurut Starke selain telah menjadi kaidah hukum kebiasaan internasional, serta diterima dan diterapkan di dalam pelbagai macam perjanjian internasional, juga penerapannya dapat ditemukan di dalam sebuah putusan yang sangat terkenal dari Mahkamah Inter- nasional Permanen (the Permanent Court of International Justice) dalam hubungan dengan timbulnya kasus Lotus (the Lotus Case) pada tahun 1927 (L.C. Green, 1978:211). Kasus ini melibatkan dua negara, yakni Perancis dan Turki. Perkara ini timbul karena adanya tubrukan kapal yang terjadi di laut bebas di luar perairan teritorial Turki. Peristiwa ini mengakibatkan tenggelamnya kapal Turki, sebagian awak dan penumpangnya tewas ataupun hilang. Kapal Perancis yang bernama MV Lotus berhasil menyelamatkan sebagian orang yang berasal dari kapal pengangkut batu bara atau kapal Turki. Kemudian kapal Lotus meneruskan perjalanannya menuju pelabuhan Turki. Setibanya di tempat tujuan, maka mereka yang dianggap bertanggungjawab atas timbulnya musibah tersebut, khususnya nahkoda kapal Perancis dikenai tindakan penahanan oleh aparat hukum negeri Turki. Dia diseret ke depan pengadilan Turki, dengan tuduhan bahwa dia telah melakukan tindak pidana pembunuhan (manslaughter),
12 Prinsip-Prinsip Hukum Internasional
disebabkan kelalaiannya sehingga kedua kapal bertubrukan dan menewaskan banyak orang berkewarganegaraan Turki. Hukum pidana Turki menyatakan bahwa barang siapa melakukan tindak pidana di luar negeri dan menimbulkan kerugian terhadap bangsa dan warganegara Turki, diancam dengan sanksi pidana penjara paling lama 5 tahun. Peraturan hukum pidana negeri tersebut memuat semacam azas per- lindungan warganegara atas kejahatan di luar wilayah nasionalnya, tetapi menimbulkan kerugian terhadap bangsa dan warganegaranya. Dengan menerapkan ketentuan pasal hukum pidana Turki, pengadilan menjatuhkan putusan yang mempersalahkan dan menghukum kapten kapal Lotus. Pemerintah Perancis mengajukan protes terhadap Pemerintah Turki akibat putusan tersebut. Pemerintah Peran- cis beranggapan bahwa tindakan Turki yang menjalan-kan kekuasaan hukum atau yurisdiksi teritorialnya atas tindak pidana (criminal jurisdiction) yang terjadi di luar batas-batas teritorialnya adalah sesuatu yang bertentangan dengan hukum internasional umum. Sebaliknya pihak Turki berpendapat bahwa peristiwa tubrukan yang menewaskan banyak warganegaranya itu harus tunduk di bawah yurisdiksi (yurisdiksi teritorial) Turki. Karena kedua negara tidak dapat menyelesaikannya secara bilateral, maka dengan menggunakan dan menerapkan suatu perjanjian yang disebut perjanjian Laussanne yang telah mengikat banyak negara pada waktu itu, termasuk kedua
Prinsip-Prinsip Hukum Internasional 13
negara yang bersangkutan, maka Pemerintah Perancis yang merasa dirugikan kemudian mengajukan gugatan melawan Pemerintah Turki di depan Mahkamah Internasional Perma- nen. Tuntutan Perancis antara lain adalah agar Mahkamah Internasional menyatakan bahwa yurisdiksi teritorial dalam perkara kriminal (criminal jurisdiction) yang dijalankan pengadilan Turki adalah tidak sah serta bertentangan dengan kaidah hukum kebiasaan internasional. Di samping itu Perancis juga menuntut kompensasi atau sejumlah uang gantirugi atas kerugian yang dideritanya akibat tindakan pengadilan Turki yang menghukum warga Perancis. Masalah yang dipersengketakan di depan Mahka- mah Internasional adalah apakah yurisdiksi yang dijalankan pengadilan Turki terhadap kapten kapal Lotus dalam kasus tubrukan kapal di laut bebas adalah bertentangan dengan hukum internasional umum? Pemerintah Perancis berpen- dapat bahwa hanya Negara Bendera (Flag State) yang dapat menjalankan yurisdiksinya terhadap setiap peristiwa yang terjadi di atas kapal yang sedang berlayar di perairan laut bebas. Pemerintah Perancis berpegang pada apa yang disebut doktrin laut bebas sebagai prinsip yang berlaku umum. Menurut doktrin ini Laut bebas (High Seas) memiliki status sebagai bagian laut yang terlepas dari kedaulatan negara manapun, dan dengan demikian laut lepas tidak tunduk di
14 Prinsip-Prinsip Hukum Internasional
bawah yurisdiksi, atau kekuasaan hukum dari negara mana- pun, terkecuali kekuasaan hukum dari negara bendera (Flag State), yaitu kekuasaan hukum atau yurisdiksi dari negara yang benderanya dipergunakan dan dikibarkan oleh kapal yang bersangkutan. Karena kapal yang melakukan tubrukan dan menim- bulkan korban jiwa di laut bebas adalah kapal yang berbendera Perancis, maka negeri Perancis selaku negara bendera yang mempunyai wewenang untuk menjalankan yurisdiksi, atau kekuasaan hukumnya terhadap peristiwa tubrukan di laut bebas di luar wilayah laut teritorial Turki. Turki mengemukakan pendapat bahwa suatu kapal di manapun berlayar atau berada, baik di laut teritorial maupun di laut bebas adalah merupakan bagian dari wilayah negara bendera. Pandangan Turki ini didasarkan atas doktrin mengenai Pulau Terapung (Floating Island). Dengan pende- katan demikian, kapal Turki yang berada di laut bebas di luar laut teritorialnya, adalah bagian integral dari wilayah teritorial Turki. Peristiwa apapun yang dialami kapal tersebut, khusus- nya peristiwa tubrukan kapal, harus tunduk pada kekuasaan hukum dan yurisdiksi teritorial Turki, yang berarti peristiwa tersebut harus diselesaikan berdasarkan hukum Turki. Hukum Pidana Turki harus diterapkan dalam kasus tubrukan yang menyebabkan kapal Turki tenggelam, dan sebagian awaknya tewas. Ketentuan hukum pidana negeri itu (Turki) antara lain menyatakan bahwa siapapun yang melaku-
Prinsip-Prinsip Hukum Internasional 15
kan tindak pidana di luar negeri, atau di luar wilayah nasional Turki, dan menyebabkan kerugian terhadap bangsa dan warganegaranya, diancam dengan sanksi pidana paling lama 5 tahun. Ketentuan hukum negeri itu memuat suatu Azas Perlindungan (Protective Principle), atau memuat yurisdiksi negara menurut azas perlindungan (jurisdiction according to the protective principle), yang memperkenankan Turki untuk menangani kasus tubrukan yang membawa korban jiwa terhadap warganegaranya. Mahkamah Internasional Permanen tidak memper- masalahkan sah tidaknya penerapan hukum pidana negeri itu di dalam hukum internasional umum, sebab hukum pidana Turki memang memuat suatu azas hukum internasional yang disebut yurisdiksi negara menurut azas perlindungan. Mahkamah hanya menyatakan bahwa tidak terdapat larangan di dalam hukum kebiasaan internasional bagi suatu negara untuk melaksanakan yurisdiksinya terhadap suatu peristiwa yang terjadi di luar wilayahnya, namun merugikan negara tersebut ataupun warganya. Dengan demikian berdasarkan hukum kebiasaan internasional, Turki tidak dilarang untuk menjalankan yurisdiksi teritorialnya, dan menerapkan ketentuan hukum pidananya, terhadap kasus tubrukan kapal yang terjadi di perairan laut lepas di luar perairan teritorialnya. Hukum Pidana Turki memberikan kewenangan kepada aparat hukumnya untuk bertindak dalam kasus terse-
16 Prinsip-Prinsip Hukum Internasional
but guna memberikan perlindungan bagi warganegaranya (jurisdiction according to the protective principle). Di samping azas perlindungan yang melandasi kekuasaan hukum dan yurisdiksi territorial Turki, Mahkamah Internasional juga ternyata menggunakan dan menerapkan prinsip teritorial obyektif (the objective territorial principle), sebagai landasan kekuasaan hukum, dan yurisdiksi teritorialnya dalam mena- ngani kasus tubrukan kapal di laut bebas. Diterapkannya prinsip teritorial obyektif oleh Mahka- mah Internasional, karena menurutnya, kapal Turki yang mengalami musibah akibat bertubrukan dengan kapal Perancis, dipersamakan dengan wilayah teritorial atau wila- yah nasional Turki. Turki mempunyai kewenangan untuk menjalankan yurisdiksi teritorialnya terhadap peristiwa tub- rukan yang membawa korban jiwa, karena peristiwa ini mulai terjadi di atas kapal Perancis di laut bebas, tetapi berakhir di atas kapal Turki, dan menimbulkan kerugian bagi negara tersebut sehingga tindakan aparat hukum Turki adalah sah atau tidak bertentangan dengan hukum internasional umum.
Prinsip-Prinsip Hukum Internasional 17
18 Prinsip-Prinsip Hukum Internasional BAGIAN II PELBAGAI MACAM YURISDIKSI DAPAT DI KLAIM SELAIN DARIPADA YURISDIKSI TERITORIAL
Hukum Internasional mengakomodasi dan mengakui
hak suatu negara untuk mengklaim apa yang dinamakan yurisdiksi perseorangan atau Yurisdiksi Personal (Personal Jurisdiction), atau yurisdiksi negara menurut azas persona- litas, yaitu yurisdiksi terhadap seseorang, baik dia adalah warganegaranya sendiri ataupun orang asing, yang melaku- kan kesalahan atau pelanggaran atas peraturan hukum nasionalnya. Hanya saja, orang yang bersangkutan tidak berada di dalam batas-batas teritorial, atau tidak berada di dalam wilayah kedaulatan, ataupun wilayah yurisdiksi dari negara yang bersangkutan, tetapi berada di dalam wilayah dari negara lain (J. G. Starke, 1984:224). Negara tersebut baru dapat menjalankan yurisdiksi atau kekuasaan hukumnya, dan melakukan proses hukum terhadap orang itu, hanya apabila dia sudah berada di dalam wilayah dari negara tersebut (yurisdiksi territorial). Pertanya- annya adalah bagaimana dia bisa berada di dalam wilayah kekuasaan dari negara tersebut? Ada beberapa kemungkinan jawabannya. Kemungkinan pertama dia berada kembali dalam wilayah kekuasaannya, karena orang tersebut datang sendiri secara sukarela, atau tanpa tekanan maupun paksaan. Kemungkinan kedua dia berada kembali dalam wilayah ke-
Prinsip-Prinsip Hukum Internasional 19
daulatannya, karena dia didatangkan dengan cara paksaan, misalnya melalui proses ekstradisi. Proses ekstradisi dapat dilakukan baik berdasarkan perjanjian ekstradisi, ataupun berdasarkan azas saling meng- hormati dalam hubungan antarnegara, khususnya di antara negara-negara yang berkepentingan atas pelaku pelanggaran atau tindak pidana tersebut. Hukum Internasional memperkenankan suatu negara, untuk mengklaim dan menyatakan yurisdiksi atau kewena- ngannya, atas suatu kasus tindak pidana yang terjadi di luar negeri, karena pelaku dan atau korbannya adalah warga- negara dari negara yang bersangkutan. Negara tersebut berkepentingan untuk menyatakan yurisdiksi atau kekuasaan hukumnya berdasarkan azas personalitas. Penggunaan azas personalitas untuk mengklaim dan menyatakan yurisdiksi- nya, atas kasus yang terjadi di luar wilayah dari negara yang bersangkutan didasarkan atas dua macam prinsip, yaitu Prin- sip Nasionalitas Aktif (Active Nationality Principle) serta Prinsip Nasionalitas Pasif (Passive Nationality Principle). Prinsip nasionalitas aktif memperkenankan suatu ne- gara untuk mengklaim, dan menyatakan yurisdiksinya, terhadap seseorang yang bersalah dalam pengertian melaku- kan pelanggaran terhadap peraturan hukum nasionalnya. Klaim dan pernyataan yurisdiksi seperti ini, dapat dilakukan oleh negara tersebut apabila pelakunya adalah warganegara- nya sendiri. Seorang warganegara di manapun dia berada,
20 Prinsip-Prinsip Hukum Internasional
serta ke manapun dia pergi, akan selalu diikuti dengan hukum nasional dari negerinya sendiri. Dia berada di luar negeri dan melakukan suatu tindak pidana, seperti pembunuhan, penganiayaan atau kejahatan- kejahatan lain yang semuanya ini diatur dalam hukum nasional dari negara-negara pada umumnya, termasuk pula hukum nasional dari negara asal pelakunya. Apabila Negara asalnya merasa berkepentingan atas kasus yang melibatkan warganya di luar negeri, maka negara itu dapat mengklaim dan menyatakan yurisdiksinya berdasarkan prinsip nasiona- litas aktif. Untuk dapat melaksanakan yurisdiksinya dan mela- kukan tindakan hukum secara nyata dan efektif terhadap warganegaranya yang melakukan tindak pidana di luar negeri, maka tidak ada jalan kecuali orang yang bersangkutan harus kembali atau dikembalikan oleh negara setempat kepada negara asalnya. Sejauh mana negara setempat akan mengembalikan orang tersebut kepada negeri asalnya, sehingga negeri ini benar-benar dapat menjalankan yurisdiksinya secara efektif, hal ini adalah merupakan urusan domestik dari negara setempat. Kalau negara setempat mengembalikan atau me- nyerahkan si pelaku kepada negara asalnya, maka sudah barang tentu negara asalnya yang mengklaim yurisdiksi berdasarkan prinsip nasionalitas, dapat melakukan tindakan hukum secara efektif terhadap warganya, sesuai dengan
Prinsip-Prinsip Hukum Internasional 21
peraturan hukum nasionalnya, asal saja yang bersangkutan sudah berada di dalam wilayah teritorial negara asalnya. Hal ini berarti negara asalnya telah dapat menjalan- kan yurisdiksi teritorialnya secara nyata dan efektif, terhadap warganya yang sudah berada di wilayah kekuasaan hukum negara asalnya. Sebaliknya, kalau negara setempat berkepen- tingan untuk tidak mengembalikan, karena negara tersebut mampu dan mau menjalankan proses hukum, terhadap orang yang bersangkutan sesuai dengan peraturan hukum nasional- nya sendiri, maka dalam hal ini kita melihat timbulnya Persaingan Yurisdiksi (Concurrent Jurisdiction) antara kedua negara, yaitu antara negara asal dari warganya yang kebetulan tidak berada di negaranya sendiri, di satu pihak dengan negara tempat kejahatan itu terjadi, dan atau negara tempat pelakunya berada pada lain pihak. Namun demikian, dengan dilaksanakannya yurisdiksi teritorial dan tindakan hukum oleh negara setempat, maka negara asalnya harus menerima dan menghormati yurisdiksi, dan proses hukum yang dijalankan oleh negara setempat, karena apa yang dijalankannya adalah merupakan pelaksa- naan dari kedaulatan, dan yurisdiksi teritorialnya yang tidak dapat dicampuri oleh negara manapun, termasuk negara asal dari pelaku kejahatan tersebut. Kasus pembunuhan dua warganegara Indonesia, dan seorang warganegara India, serta pelaku kejahatan ini adalah seorang warganegara Indonesia yang terjadi di Los Angeles
22 Prinsip-Prinsip Hukum Internasional
(Amerika Serikat/AS) belasan tahun lalu, sesungguhnya telah menimbulkan persaingan yurisdiksi antara AS dan Indonesia. AS mengklaim dan menyatakan yurisdiksinya, berdasarkan azas yurisdiksi territorial terkait dengan tempat kejadian, korban kejahatan, alat bukti dan barang bukti semuanya ter- dapat di dalam wilayah teritorial AS. Sebaliknya, negeri kita (Indonesia) mengklaim dan menyatakan yurisdiksinya juga berdasarkan atas azas yurisdiksi teritorial dan azas yurisdiksi personal. Yurisdiksi atau kewenangan Indonesia, berdasarkan azas yurisdiksi teritorial itu dikaitkan dengan fakta, di mana pelaku kejahatan dengan nama Harmoko Dewantono alias Oki, telah terlanjur masuk ke dalam wilayah Indonesia, kendati yang bersangkutan memakai paspor palsu. Klaim yurisdiksi Indonesia menurut azas yurisdiksi personal, harus dikaitkan dengan kenyataan di mana pelaku peristiwa pembu- nuhan di AS adalah seorang warganegara Indonesia, demikian pula korban kejahatan yaitu Gina Sutan Aswar, serta adik kandung dari si pelaku sendiri yang bernama Erik, adalah juga warganegara Indonesia, sehingga Indonesia mempunyai kepentingan untuk menangani kasus tersebut. Walaupun aparat hukum AS telah berkali-kali menga- jukan permintaan ekstradisi, namun hal ini ditolak oleh Pemerintah Republik Indonesia. Sikap Indonesia ini didasar- kan atas alasan tidak ada perjanjian ekstradisi antara kedua negara. Seandainya juga terdapat perjanjian ekstradisi,
Prinsip-Prinsip Hukum Internasional 23
pelaksanaan ekstradisi dalam kasus seperti itu mungkin sulit dijalankan, sebab berdasarkan prinsip-prinsip umum yang berlaku dalam pelbagai perjanjian ekstradisi, pada umumnya suatu negara yang dimintai ekstradisi tidak terikat untuk menyerahkan warganegaranya sendiri guna menjalani proses hukum di negara yang meminta ekstradisi. Demikian pula dengan Indonesia, tidak berkewajiban untuk menyerahkan warganegaranya sendiri (Oki) kepada aparat hukum AS, kendati misalnya ada perjanjian ekstradisi yang berlaku di antara kedua negara, apalagi kalau kedua negara tidak memiliki perjanjian ekstradisi. Karena negeri kita (Indonesia), berkepentingan dengan kasus kejahatan yang terjadi di Los Angeles, terkait dengan fakta-fakta tersebut di atas, mempunyai kemauan serta kemampuan untuk melaksanakan tindakan hukum, apalagi pelakunya telah berada di dalam wilayah kedaulatan dan kekuasaan hukum Indonesia, maka negeri kita (Indonesia) harus diakui paling efektif untuk menjalankan yurisdiksi teritorialnya, terhadap pelaku kejahatan yang terjadi di luar negeri. Pihak AS ternyata menghormati tindakan dan proses hukum yang dilakukan oleh aparat hukum Indonesia, serta menyerahkan seluruh alat bukti dan barang bukti kepada aparat hukum kita (Indonesia) dalam usaha menyelesaikan kasus tersebut sesuai dengan hukum Indonesia.
24 Prinsip-Prinsip Hukum Internasional
Di samping prinsip yurisdiksi teritorial dan yurisdiksi personal, menurut azas nasionalitas aktif yang melandasi klaim kewenangan Indonesia, klaim kewenangan ini juga didasarkan atas prinsip nasionalitas pasif, mengingat para korban kejahatan lebih banyak yang berasal dari Indonesia. Para korban, termasuk pihak keluarga korban adalah warganegara Indonesia, yang menuntut perlindungan hukum dan keadilan dari Pemerintah Republik Indonesia. Klaim yurisdiksi personal telah berkembang dan beralih menjadi klaim yurisdiksi territorial, dan yurisdiksi territorial ini ternyata dapat dilaksanakan secara efektif, karena pelaku kejahatan yang terjadi di AS, sudah berada dalam wilayah kedaulatan dan yurisdiksi teritorial Indonesia. Prinsip Nasionalitas Pasif (the Passive Nationality Principle atau the passive Personality principle), memung- kinkan dan memperkenankan suatu negara, untuk meng- klaim dan menyatakan yurisdiksinya atas suatu tindak pidana yang terjadi di luar negeri, di mana pelakunya adalah orang asing, tetapi korbannya adalah warganegaranya sendiri. Orang asing yang melakukan suatu tindak pidana di luar negeri, serta menimbulkan kerugian terhadap warganegara- nya sendiri, maka negara yang warganya menjadi korban dapat mengklaim, dan menyatakan yurisdiksinya guna mela- kukan proses hukum, baik dari segi pidana maupun perdata. Proses hukum ini dapat dijalankan secara nyata dan efektif, sepanjang pelakunya sudah berada di dalam wilayah
Prinsip-Prinsip Hukum Internasional 25
kedaulatan dan yurisdiksi territorial dari negara korban, yaitu di negara yang warganya dirugikan, misalnya akibat peng- hinaan atau pencemaran nama baik. Kasus terkenal (the leading case), mengenai azas ini adalah the Cutting Case pada tahun 1886, yang menyangkut sebuah pemberitaan di Texas yang berisi pernyataan fitnah yang dilakukan oleh warga Amerika terhadap seorang warganegara Meksiko (Malcolm N. Shaw, 1986:357). Cutting ditahan sementara di Meksiko, serta dihukum atas kejahatan memfitnah (kejahatan di bawah hukum Meksiko), serta Meksiko mempertahankan hak yurisdiksinya berdasarkan Azas Personalitas Pasif (the Passive Personality Principle). AS mengecam keras tindakan Meksiko, tetapi karena hal ini tidak meyakinkan, maka pihak yang dirugikan terpaksa menanggung akibatnya. Kasus pencemaran nama baik mantan Presiden Republik Indonesia (Soeharto dan keluarganya) pernah terjadi beberapa tahun lalu, ketika Majalah Time yang kantor pusatnya berkedudukan di AS, memberitakan tentang harta kekayaannya dalam jumlah spektakuler, yang berbentuk valuta asing dan tersimpan di perbankan luar negeri. Bagi mantan Presiden RI dan keluarganya, berita majalah mingguan itu adalah sesuatu yang tidak benar sehingga dianggap fitnah dan merupakan pencemaran nama baik. Kuasa hukum mantan Presiden ini melaporkan dan mengadukan masalah tersebut kepada Kepolisian RI agar
26 Prinsip-Prinsip Hukum Internasional
melakukan proses hukum terhadap Kantor Perwakilan Majalah Time yang ada di Jakarta. Pengacaranya juga mengajukan gugatan gantirugi melalui Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Kedua belah pihak sudah sempat melakukan perdebatan, baik di depan aparat penyidik maupun terutama di pengadilan. Bagaimana kelan- jutan proses hukumnya dalam sidang perkara pencemaran nama baik mantan Presiden RI tersebut, baik dari aspek pidana maupun perdata, masih belum jelas sampai saat ini. Mungkin kasusnya sudah dihentikan penyidikannya atau di SP3 kan. Mungkin pula telah diselesaikan secara damai antara keluarga Pak Harto dengan pihak majalah Time tanpa suatu publikasi sehingga tidak diketahui masyarakat luas. Terlepas dari hal ini, maka sebenarnya kasus pence- maran nama baik tersebut mengandung unsur persaingan yurisdiksi antara AS dan Indonesia, yang masing-masing memiliki kepentingan. AS berkepentingan untuk menyatakan ataupun tidak menyatakan yurisdiksinya berdasarkan azas yurisdiksi territorial, mengingat pelakunya yaitu pihak Majalah Time (pemilik, pengelola dan lain-lainnya termasuk asset-asetnya) berada di dalam wilayah kedaulatan atau wilayah hukum AS. Sedangkan Indonesia berkepentingan untuk mengklaim atau menyatakan yurisdiksinya berdasar- kan azas personalitas pasif, mengingat korban pencemaran nama baik adalah warganegara Indonesia.
Prinsip-Prinsip Hukum Internasional 27
Sesuai dengan kepentingannya AS tidak berbuat apa- apa, atau tidak menyatakan yurisdiksinya dalam kaitan dengan kasus pencemaran tersebut, tetapi sesuai pula dengan kepentingannya, pihak Indonesia menyatakan yurisdiksinya dan berupaya untuk menjalankan proses hukum kendati upaya ini tidak dapat berjalan secara efektif mengingat pelaku utamanya berada di dalam wilayah hukum AS. Selain azas yurisdiksi teritorial dan yurisdiksi perso- nal, maupun bermacam-macam azas yurisdiksi lainnya yang dapat digunakan oleh suatu negara untuk mengklaim dan menyatakan yurisdiksinya atas suatu kasus, maka di dalam hukum internasional, diakui juga apa yang dinamakan azas yurisdiksi universal, atau yurisdiksi negara menurut azas universal (jurisdiction according to the universal principle atau the principle of universal jurisdiction). Terdapat berbagai macam tindak pidana yang me- mungkinkan semua negara tanpa terkecuali, untuk meng- klaim dan menyatakan yurisdiksinya terhadap beberapa tindak pidana tertentu maupun pelakunya. Karakteristik dari pelbagai tindak pidana seperti pembajakan laut (piracy), pembajakan udara (hijacking), kejahatan perang (war crimes), kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity), kejahatan terhadap perdamaian dunia (crimes against international peace), kejahatan terorisme (terrorism crimes) dan berbagai kejahatan kemanusiaan lainnya, memungkinkan dan memperkenankan semua negara tanpa terkecuali, untuk
28 Prinsip-Prinsip Hukum Internasional
mengklaim dan menyatakan yurisdiksinya guna melakukan proses hukum, mengadili dan menghukum siapapun pelakunya, tanpa memperhatikan kebangsaan dari pelakunya, atau mereka yang terlibat tindak pidana tersebut, tanpa memperhatikan siapa yang menjadi korban tindak pidana tersebut, apakah korbannya adalah warganegara dari negara- nya sendiri, ataukah dari negara lain, juga tanpa memper- hatikan kapan terjadinya maupun tempat terjadinya tindak pidana tersebut. Secara singkat, dapat dikatakan bahwa hukum internasional memperkenankan semua negara, untuk meng- klaim dan menyatakan kekuasaan hukumnya, dalam hal terjadi kejahatan-kejahatan yang dapat menggerogoti kepenti- ngan semua negara, atau seluruh umat manusia, karena kejahatan-kejahatan seperti itu bertentangan dengan sendi- sendi kemanusiaan, serta keadilan bagi seluruh umat manusia, tanpa melihat nasionalitas dari pelaku dan korban- nya, maupun tanpa memperhatikan waktu dan tempat terjadinya kejahatan tersebut. Namun untuk dapat menjalankan yurisdiksinya secara efektif, maka pertama-tama masing-masing negara yang merasa berkepentingan, seharusnya mengatur melalui hukum nasionalnya sesuai dengan kepentingannya terkait dengan pelbagai jenis kejahatan yang bertentangan dengan perasaan kemanusiaan dan keadilan dalam rangka mengan-
Prinsip-Prinsip Hukum Internasional 29
tisipasi, mencegah serta menanggulangi timbulnya kejahatan- kejahatan seperti itu. Misalnya saja Indonesia yang telah berhasil mengun- dangkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2003 mengenai Pemberantasan Terorisme, karena kejahatan terorisme (sebagaimana halnya dengan pelbagai macam kejahatan melawan kemanusiaan), memberikan yurisdiksi atau kekuasaan hukum kepada masing-masing negara tanpa terkecuali, untuk melakukan tindakan hukum sesuai dengan peraturan perundang-undangan nasionalnya. Para pelakunya ataupun mereka yang terlibat dalam aksi terorisme, sudah banyak yang dinyatakan terbukti bersalah, serta dijatuhi hukuman berat berdasarkan keputusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap. Sejauh mana suatu negara entah negara tempat terjadinya kejahatan, negara asal dari pelakunya, negara asal dari korban, negara tempat pelaku berada, atau negara tempat pelarian, ataukah negara lain yang juga merasa berkepentingan telah mengimplementasikan yurisdiksi negara menurut azas universal atau azas yurisdiksi universal? maka jawabannya sangat bergantung pada kepentingan dan kemauan politik dari negara yang bersangkutan, sehingga dalam konteks ini, suatu negara dapat memiliki kepentingan, baik untuk menyatakan yurisdiksinya, maupun untuk tidak menyatakannya terkait dengan suatu kasus tindak pidana
30 Prinsip-Prinsip Hukum Internasional
yang sesungguhnya tunduk di bawah azas yurisdiksi univer- sal. Preseden (Precedent) yang menjadi tonggak awal timbulnya pengakuan masyarakat internasional, atas yuris- diksi negara menurut azas universal adalah ketika terbentuk Mahkamah Pengadilan Kriminal Internasional di Nuremberg dan Tokyo berdasarkan perjanjian London (the London Agreement tahun 1942I, yaitu suatu perjanjian internasional yang diadakan oleh negara-negara sekutu yang menjadi pemenang perang dalam Perang Dunia II. Sejak terbentuknya, maka banyak pelaku kejahatan yang berhasil diseret ke depan pengadilan nasional di pelbagai negara, khususnya pengadilan nasional di negara-negara yang menjadi korban dalam Perang Dunia II atau negara-negara yang warganya banyak dibunuh oleh para pejabat Nazi (Hitler). Salah satu negara yang dianggap paling menderita selama Perang Dunia II, akibat kekejaman rezim Nazi terha- dap jutaan warganya adalah Negara Yahudi atau Negara Israel yang baru eksis sebagai satu negara merdeka dan berdaulat beberapa tahun usai Perang Dunia II. Ketika bangsa Yahudi yang selama berabad-abad warganya kebanyakan hidup tersebar di benua Eropa (diaspora), katanya mengalami perlakuan yang sangat kejam dari para pejabat Nazi, maka pada waktu itu bangsa Yahudi atau Israel belum eksis sebagai satu negara merdeka dan berdaulat.
Prinsip-Prinsip Hukum Internasional 31
Kasus kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan yang sangat terkenal setelah Perang Dunia II, adalah kasus Rudolph Eichmann (Eichmann Case). Kasus ini diadili dan diputuskan melalui Pengadilan Nasional Israel, dan merupakan kasus kejahatan perang dan kejahatan kemanusiaan yang sangat tersohor, dan sekaligus kontro- versial. Hal ini disebabkan karena perbuatan yang dituduh- kan atas diri Eichmann, yaitu melakukan kejahatan perang, kejahatan terhadap kemanusiaan khususnya, terhadap bang- sa Yahudi yang dituduhkan terhadapnya berlangsung selama Perang Dunia II, yang pada waktu itu bangsa Yahudi belum eksis sebagai negara berdaulat. Dengan demikian belum memiliki sebuah sistem hukum, termasuk dan terutama peraturan hukum pidana, yang dapat digunakan dalam melakukan proses hukum, khususnya yang terkait dengan kasus kejahatan tersebut. Setelah merdeka karena diberi kemerdekaan oleh Inggeris yang merupakan tindak lanjut dari Balfour Decla- ration (sebuah deklarasi yang dibuat oleh Menteri Luar Negeri Inggeris pada waktu itu), maka Pemerintah Negara Yahudi membuat pelbagai macam peraturan hukum, termasuk pera- turan hukum pidana yang dapat menjerat mereka yang dianggap bertanggungjawab atas kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan, yang katanya menyebab- kan jutaan orang Yahudi tewas dan hilang.
32 Prinsip-Prinsip Hukum Internasional
Salah seorang penjahat perang yang bernama Rudolph Eichmann, yang sejak lama menjadi buronan pihak intelijen Israel (mossad), telah berhasil diculik dari Argentina, dan kemudian diterbangkan ke Israel untuk menjalani proses hukum sesuai dengan peraturan hukum yang berlaku di negeri tersebut. Pengadilan Nasional Israel berhasil membuktikan kesalahan terdakwa, yaitu terbukti melakukan kejahatan perang, kejahatan terhadap perdamaian dunia, serta kejaha- tan terhadap kemanusiaan, khususnya terhadap bangsa Yahudi, sehingga pengadilan menjatuhkan putusan hukuman mati atas diri Eichmann, yang pelaksanaan atau eksekusi ini dijalankan di atas kursi beraliran listrik. Pelbagai kalangan, terutama kalangan ahli hukum melontarkan kecaman atas tindakan pengadilan Israel yang menjatuhkan putusan hukuman mati atas terdakwa Eichmann. Protes yang dilontarkan itu pada prinsipnya didasarkan atas terjadinya penyimpangan dari azas hukum yang pada waktu itu dianggap berlaku secara universal, yaitu azas legalitas atau azas Nullum Delictum. Azas ini menegaskan bahwa tidak ada suatu perbuatan yang dapat dihukum apabila tidak ada peraturan hukum yang telah dibuat sebe- lum terjadinya perbuatan itu. Berdasarkan azas ini, Negara Israel atau pengadilan distrik dari negara Yahudi, sesungguhnya tidak boleh menerapkan peraturan hukum pidananya atas perbuatan
Prinsip-Prinsip Hukum Internasional 33
yang dituduhkan telah dilakukan oleh Eichmann, karena perbuatan yang dituduhkan berupa kejahatan perang, kejahatan terhadap perdamaian dunia dan kejahatan mela- wan kemanusiaan, khususnya kejahatan terhadap bangsa Yahudi itu terjadi sebelum dibuatnya hukum pidana negara itu, bahkan negara itu sendiri belum eksis. Pada waktu itu, Perbuatan yang dituduhkan atas diri Eichmann, dilakukan sebelum bangsa Yahudi mendapat kemerdekaan dari Inggeris, sehingga banyak yang berang- gapan bahwa tindakan pengadilan Israel dengan menjatuhkan hukuman mati atas diri Eichmann merupakan suatu peng- gerogotan, atau penyimpangan terhadap azas legalitas yang ketika itu masih dianut secara universal, yakni azas yang melarang suatu negara untuk menerapkan atau memberla- kukan secara retroaktif (surut) peraturan hukum nasionalnya, pada perbuatan yang dilakukan sebelum peraturan hukum itu sendiri dibuat. Kasus kejahatan perang, serta kejahatan terhadap kemanusiaan umumnya diadili melalui Mahkamah Pengadilan Internasional di Nuremberg (The Nuremberg Tribunal atau the Nuremberg Trial) dan di Tokyo (the Tokyo Tribunal atau the Tokyo Trial), yang terbentuk berdasarkan Perjanjian London. Akan tetapi tidak sedikit kasus-kasus kejahatan seperti itu yang diajukan dan diselesaikan melalui pengadilan nasional dari pelbagai negara, terutama negara-negara yang menjadi korban kejahatan tersebut.
34 Prinsip-Prinsip Hukum Internasional
Mereka yang terlibat dalam kejahatan perang dan kejahatan melawan kemanusiaan, baik pejabat tinggi negara atau pejabat pemerintah, pejabat tinggi militer dan lain- lainnya, dibebani dengan pertanggungjawaban yang bersifat individual (individual responsibility), sehingga mereka tidak boleh berlindung di belakang kepentingan dan tanggungjawab dari negaranya sendiri (State Responsibility). Para pelakunya, terutama para pejabat dari rezim Hitler dan pejabat negeri Sakura, dan negara-negara lain yang dikategorikan sebagai negara-negara poros yang diadili, baik di depan pengadilan internasional maupun pengadilan nasional dari beberapa negara, sekalipun mereka senantiasa membela diri, dengan menyatakan bahwa tindakan mereka dilakukan atas kebijakan, instruksi maupun perintah dari negara atau pemerintahnya sendiri, namun pihak pengadilan pada umumnya menolak alasan dan dalih seperti itu, karena kejahatan-kejahatan yang tunduk di bawah yurisdiksi universal harus dipertanggungjawabkan secara individual. Pada tahun 1998 Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melalui Majelis Umum, mensahkan atau mengadopsi sebuah perjanjian internasional yang disepakati di Roma, yaitu perjanjian mengenai pembentukan Mahkamah Kriminal Internasional (The International Criminal Court), yang berkedu- dukan di Den Haag. Perjanjian internasional yang berhasil dirumuskan dan disepakati dalam bentuk Statuta Roma (The Rome
Prinsip-Prinsip Hukum Internasional 35
Statute), dimaksudkan untuk membawa siapapun yang tersangkut atau terbukti terlibat dalam pelbagai kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan, termasuk kejahatan etnis (Genocide), entah mereka itu pejabat tinggi sipil ataupun militer, dapat diajukan ke depan Mahkamah Kriminal Internasional guna mempertanggungjawabkan per- buatannya. Pembentukan Mahkamah ini, dilatarbelakangi dengan pelbagai kejadian yang menimpa rakyat dari berbagai negara, seperti peristiwa pembantaian etnis yang disebut Ethnic Cleansing terhadap rakyat Bosnia, yang mayoritas penduduk- nya adalah muslim atau beragama Islam, pembantaian etnis Albania di Kosovo. Bosnia dan Kosovo, selain Herzegovina, Kroasia dan Slovenia maupun Serbia adalah merupakan negara-negara bagian yang tergabung di dalam Negara Federal Yugoslavia. Kini negara-negara bagian tersebut, umumnya telah berstatus sebagai negara-negara merdeka dan berdaulat, teta- pi ditinjau dari beberapa aspek, negara-negara ini sangat kecil dan lemah ketimbang ketika negara-negara bagian tersebut masih berada di bawah naungan Negara Federal Yugoslavia. Sebagian besar dari negara-negara bagian tersebut telah merdeka, setelah meletusnya perang saudara antara pasukan pemerintah negara federal yang dikuasai oleh etnis Serbia, berhadapan dengan pasukan dari masing-masing
36 Prinsip-Prinsip Hukum Internasional
megara bagiannya, khususnya dari negara bagian Kroatia serta Bosnia. Selama perang saudara yang sebenarnya adalah urusan domestik dari Negara Federal Yugoslavia, dan tidak dapat diintervensi oleh negara manapun, bahklan oleh PBB sekalipun, terkecuali untuk tujuan kemanusian (humanitarian intervention), maka kelompok negara-negara tertentu dengan motif yang sangat primitif dan tidak terkait dengan tujuan kemanusiaan, dan dengan mengatasnamakan masyarakat internasional, melontarkan tudingan bahwa pemerintah Yugoslavia yang dikuasai oleh etnis Serbia, melakukan kejahatan perang dan kemanusiaan, serta kejahatan genocide khususnya terhadap komunitas muslim di negara bagian Bosnia, maupun terhadap etnis Albania di negara bagian Kosovo. Seusai Perang saudara yang menelan banyak korban jiwa, dengan dukungan negara-negara tertentu yang mengatasnamakan masyarakat internasional, dan memberi- kan bantuan kemanusiaan kepada pemerintah negara-negara bagian tersebut, pada akhirnya bermuara pada kemerdekaan negara-negara bagian tersebut. Timbulnya pelbagai kejahatan kemanusiaan dan genosida (genocide) di bekas negara-negara bagian Yugoslavia, berkontribusi bagi terbentuknya Mahka- mah Kriminal Internasional yang bersifat ad hoc untuk menangani kasus pembantaian etnis di Yugoslavia, di mana
Prinsip-Prinsip Hukum Internasional 37
pembentukannya didasarkan atas Pasal 24 dan Pasal 25 Piagam PBB. Mereka yang dianggap terlibat dalam kejahatan tersebut, harus diserahkan kepada pengadilan kriminal internasional ad hoc di Den Haag untuk menjalani proses peradilan. Kendati demikian diserahkan tidaknya mereka itu sangat tergantung pada kebijakan negara setempat. Apabila negara atau pemerintah negara setempat tidak berkeinginan menyerahkan pelakunya, hal ini tidak menjadi permasalahan, selama pemerintah negara setempat masih mempunyai komitmen untuk melakukan proses hukum berdasarkan peraturan hukum nasional yang mengacu pada standar internasional. Berdasarkan standar internasional, mereka yang tersangkut kejahatan perang dan kejahatan kemanusiaan, tidak boleh dibatasi hanya pada tingkatan tertentu saja, tetapi peradilannya seharusnya dapat menjangkau siapapun, termasuk pejabat tinggi bahkan pejabat tertinggi sekalipun, baik dari kalangan sipil maupun militer sehingga mereka yang diadili bukan hanya terdiri dari para pelaku operasional, melainkan juga dan terutama mereka yang mempunyai kebijakan dan memberikan perintah ataupun membiarkan terjadinya tindak kejahatan tersebut. Melalui Resolusi Dewan Keamanan PBB tahun 1993 yang sesungguhnya bersumber dari ketentuan Pasal 24 dan Pasal 25 Piagam PBB, disepakati pembentukan Mahkamah
38 Prinsip-Prinsip Hukum Internasional
Kriminal Internasional yang bersifat ad hoc, yang secara khusus bertugas untuk mengusut kasus pembantaian etnis yang terjadi di daerah Balkan atau di bekas negara bagian Yugoslavia, atau yang dikenal dengan The International Criminal Tribunal for Yugoslav Case tahun 1993. Demikian pula dengan kejadian di salah satu Negara Afrika yang dilanda perang saudara, sehingga menimbulkan pembantaian etnis atas salah satu suku di Negara Rwanda, Dewan Keamanan PBB juga berhasil menyepakati pemben- tukan peradilan internasional, guna melakukan pengusutan atas kejahatan kemanusiaan, berupa pembantaian etnis Tutsi yang merupakan etnis minoritas di negeri tersebut. Peradilan internasional yang juga sifatnya ad hoc dikenal dengan The International Criminal Tribunal for Rwanda Case yang diben- tuk berdasarkan Resolusi Dewan Keamanan PBB tahun 1994 yang berlandaskan Pasal 24 dan Pasal 25 Piagam PBB. Pemerintah Yugoslavia, yang sebelum dan selama berkecamuknya perang saudara di wilayah Balkan, dianggap bertanggungjawab atas apa yang dinamakan kejahatan pem- bersihan etnis atas penduduk Bosnia yang sebagian besar beragama Islam, juga dianggap bertanggungjawab atas kejahatan perang dan kemanusiaan atas penduduk Kroatia, yang mayoritasnya beragama Katolik maupun bertanggung- jawab atas kejahatan perang dan kemanusiaan atas pendu- duk Kosovo yang kebanyakan berasal dari etnis Albania.
Prinsip-Prinsip Hukum Internasional 39
Para pejabat Serbia yang pada waktu itu menguasai dan mengendalikan pemerintahan Yugoslavia, baik sipil mau- pun militer yang menjadi sasaran untuk diserahkan dan diajukan di depan The International Criminal Tribunal for the former Yugoslavia (ICTY), antara lain adalah mantan Presiden Yugoslavia, Slobodan Milosevic, pemimpin Serbia di negara bagian Bosnia, Radovan Karadzik dan lain-lainnya, yang semuanya harus mempertanggungjawabkan tindakan-tinda- kan yang telah dilakukannya. Mantan Presiden Yugoslavia telah berhasil diekstradisi kepada ICTY di Den Haag, atas kerjasama antara PBB dengan pemerintah baru Yugoslavia, yang menggantikan Slobodan Milosevic. Kejahatan kemanusiaan yang dilakukan mantan Presiden itu sebenarnya dapat saja diadili di negeri Yugoslavia, tetapi karena pemerintah baru negeri itu dianggap tidak mampu untuk membentuk pengadilan nasional yang khusus menangani kasus kejahatan itu, maka atas Resolusi Dewan Keamanan PBB tahun 1993 dibentuk peradilan khusus yang disebut The International Criminal Tribunal for the former Yugoslavia (ICTY). Demikian pula mereka yang terlibat kasus kejahatan kemanusiaan di negeri Rwanda, tempat terjadinya pemban- taian etnis Tutsi yang dilakukan orang-orang dari suku Hutu, dapat saja ditangani melalui pengadilan nasionalnya. Namun Pemerintah Rwanda yang diduga tersangkut dalam kejahatan tersebut, atau paling tidak pemerintahnya sendiri membiar-
40 Prinsip-Prinsip Hukum Internasional
kan terjadinya tindak kekejaman itu, dianggap tidak memiliki kemampuan dan kemauan untuk membentuk pengadilan di tingkat nasionalnya, sehingga PBB dalam rangka memulihkan situasi yang terjadi di negeri Rwanda, dan membahayakan perdamaian dan keamanan internasional, terpaksa memben- tuk peradilan internasional yang bersifat ad hoc pada tahun 1994 yang dinamakan The International Criminal Tribunal for Rwanda (ICTR). Apakah mereka yang dianggap bertanggungjawab atas kejahatan kemanusiaan selama Perang Saudara di negeri Rwanda telah diserahkan kepada pengadilan internasional di Den Haag? Jawabannya tergantung pada siapa yang meme- gang kekuasaan pemerintahan di negeri tersebut. Sampai saat ini belum ada orang dari kalangan pemerintah dan militer Rwanda yang diduga tersangkut dalam kejahatan etnis yang berhasil diserahkan kepada ICTR yang dibentuk berdasarkan Resolusi Dewan Keamanan PBB tahun 1994. Hal ini menun- jukkan bahwa negeri Afrika tersebut, tidak mempunyai ke- mampuan dan kemauan untuk melakukan proses hukum terhadap mereka yang terlibat, padahal para pelakunya sebe- narnya berada di negeri tersebut. Pemerintah Rwanda mungkin sekali tidak berkepen- tingan dengan kasus kejahatan etnis, sebab ada kemungki- nan mereka sendiri secara langsung atau tidak langsung adalah bagian dari kasus kejahatan itu sendiri, sehingga hal ini membuka peluang bagi masyarakat internasional guna
Prinsip-Prinsip Hukum Internasional 41
melakukan tekanan terhadap Pemerintah Rwanda, guna membentuk pengadilan nasional ataupun menyerahkan para pelakunya kepada ICTR di Den Haag. Kasus kejahatan kemanusiaan atas jutaan orang di Kamboja yang terkenal dengan istilah The Killing Fields, yang terjadi selama masa pemerintahan Khmer Merah, telah mendesak masyarakat internasional untuk membentuk pengadilan internasional yang khusus menangani musibah kemanusiaan di negeri itu. Masyarakat internasional melalui PBB bersuara agar dibentuk Mahkamah Internasional bagi kasus kejahatan kemanusiaan di Kamboja (The International Criminal Tribunal for Campuchea), dalam usaha mengadili para mantan petinggi Khmer Merah, baik sipil maupun militer yang diduga bertanggungjawab atas tewas dan hilangnya kurang lebih dua juta warga Kamboja selama masa pemerintahan Khmer Merah, pimpinan Perdana Menteri Pol Pot yang terkenal sangat kejam terhadap rakyat tidak berdosa. Hingga kini, desakan dan wacana pembentukan pera- dilan internasional untuk mengusut kasus kejahatan kema- nusiaan di negeri itu belum dapat diwujudkan, karena Perdana Menteri Hun Sen selaku kepala pemerintahan Kamboja, menolak dibentuknya peradilan internasional seperti itu, karena pemerintahnya masih memiliki kemam- puan untuk menyelesaikan sendiri masalah tersebut, dan
42 Prinsip-Prinsip Hukum Internasional
mengadili para mantan pejabat Khmer Merah di depan pengadilan nasionalnya. Rencana pembentukan Mahkamah Kriminal Internasional untuk kasus the Killing Fields (1975 – 1979) mengalami penangguhan untuk sementara, hal ini dimaksud- kan untuk memberikan kesempatan bagi aparat hukum negeri tersebut, untuk mengadili mantan pejabat Khmer Merah yang dianggap bertanggungjawab atas tragedi kemanu- siaan. Pengadilan Kamboja sudah menggelar peradilan atas beberapa orang mantan pejabat tinggi Khmer Merah, seperti Noan Chea, Khieu Samphan, Dukh yang masing-masing didakwa telah melakukan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan, terutama dituduh beranggungjawab atas tewas dan atau hilangnya 1,7 (satu koma tujuh) juta rakyat Kamboja pada masa pemerintahan Khmer Merah di bawah pimpinan bekas PM Pol Pot yang terkenal sangat kejam, suatu pertanda bahwa Pemerintahan Kamboja yang dipimpin Perdana Menteri Hun Sen tidak menyia-nyia kesempatan dan kepercayaan yang diberikan kepadanya oleh masyarakat initernasional, sekaligus membuktikan martabat, harga diri dan kedaulatannya yang tidak perlu diintervensi oleh siapapun, termasuk PBB sekalipun. Dugaan masyarakat internasional atas kemungkinan terjadinya kejahatan kemanusiaan di bekas Propinsi Republik Indonesia ke-27, Timor Timur (East Timor), sebelum dan
Prinsip-Prinsip Hukum Internasional 43
terutama setelah pelaksanaan referendum atau jajak pendapat juga turut menggugah sebagian masyarakat interna- sional untuk memikirkan dan merencanakan kemungkinan pembentukan Mahkamah Kriminal Internasional untuk kasus kejahatan internasional yang terjadi di wilayah itu (The International Criminal Tribunal for East Timor). PBB telah membentuk apa yang dinamakan Komisi Penyelidik Internasional (The International Inquiry Commis- sion), guna menyelidiki pelbagai bentuk kejahatan yang terjadi di Timor Timur, dan terutama menyelidiki orang-orang, baik dari kalangan Pemerintah Pusat dan daerah, kalangan militer, kalangan milisi pro integrasi maupun dari kalangan masyara- kat luas yang terlibat dalam kejahatan kemanusiaan, seperti pembunuhan, penganiayaan dan perlakuan tidak manusiawi atas warga sipil yang tidak bersenjata ataupun atas warga sipil yang terlibat secara aktif dalam konflik bersenjata di wilayah itu. Aksi pembantaian terhadap warga Timor Timur yang tidak bersenjata, terutama dari kelompok pro kemerdekaan, aksi perkosaan, pembumihangusan infrastruktur di Timor Timur serta pelbagai tindak kekejaman, khususnya setelah jajak pendapat yang menghasilkan opsi kemerdekaan dan menolak integrasi, serta mereka yang diduga terlibat dalam pelbagai bentuk kejahatan kemanusiaan itu, menjadi obyek penyelidikan komisi tersebut, yang hasilnya akan digunakan
44 Prinsip-Prinsip Hukum Internasional
sebagai masukan bagi kemungkinan pembentukan Mahka- mah Kriminal Internasional untuk kasus Timor Timur. Namun demikian Pemerintah Republik Indonesia yang ketika itu di bawah pimpinan Presiden Gus Dur (Kiai Haji Abdurrachman Wahid), secara tegas menyatakan penolakan- nya terhadap rencana dan pemikiran bagi kemungkinan pembentukan pengadilan internasional yang bersifat ad hoc. Hal ini disebabkan karena kita sendiri sebagai negara berdaulat, masih mampu untuk melakukan proses hukum terhadap mereka yang diduga tersangkut dalam kejahatan perang dan kemanusiaan, yang di negeri ini (Indonesia) dinamakan pelanggaran HAM berat. Kita tidak menghendaki adanya intervensi dari mereka yang menamakan diri sebagai masyarakat internasional, ter- masuk intervensi dari PBB yang berupaya mendesak segera dibentuknya Mahkamah Kriminal Internasional untuk kasus Timor Timur, sebab kita sendiri masih mempunyai kehendak dan kemampuan untuk membentuk peradilan khusus, guna mengadili mereka yang terlibat. Peradilan HAM ad hoc yang terbentuk beberapa tahun lalu adalah bukti bahwa Pemerintah Republik Indonesia benar- benar mempunyai kemauan dan kemampuan untuk menjalankan proses hukum atas kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi di bekas propinsi Republik Indonesia yang ke-27 tersebut. Proses peradilan melalui pengadilan HAM ad hoc terhadap mereka yang diduga terlibat sudah berjalan,
Prinsip-Prinsip Hukum Internasional 45
dan beberapa di antaranya telah dijatuhi hukuman karena terbukti bersalah. Namun mereka yang terbukti tidak bersalah, dibebas- kan dari segala tuduhan dan dakwaan. Para terpidana dipersilahkan menempuh upaya-upaya hukum, seperti upaya hukum banding dan kasasi maupun upaya-upaya hukum lain berdasarkan peraturan hukum yang berlaku di Indonesia. Pembentukan pengadilan internasional ad hoc seperti ICTY tahun 1993 dan ICTR tahun 1994, didasarkan atas Resolusi Dewan Keamanan PBB No.808 dan 827 pada tahun 1993 (ICTY), serta Resolusi Dewan Keamanan PBB No. 935 dan 955 pada tahun 1994 (ICTR), di mana kedua resolusi tersebut dihasilkan sesuai dengan kewenangan Dewan Keamanan sebagaimana diatur dalam Pasal 24 dan Pasal 25 Piagam PBB. Dengan demikian, yurisdiksi atau kewenangan dari kedua pengadilan internasional yang sifatnya ad hoc (ICTY dan ICTR), berlandaskan pada masing-masing resolusi terse- but, di mana Dewan Keamanan PBB membuat kedua resolusi terkait pembentukan ICTY dan ICTR (dan tidak tertutup kemungkinan pembentukan tribunal-tribunal lainnya), wewe- nangnya bersumber dari Pasal 24 dan Pasal 25 dari United Nations Charter. Sedangkan apa yang dinamakan International Criminal Court (ICC) yang juga berkedudukan di Den Haag dibentuk berdasarkan Statuta Roma tahun 1998, yang telah berlaku
46 Prinsip-Prinsip Hukum Internasional
secara efektif sejak 1 Juli 2002. Yurisdiksi Mahkamah ICC didasarkan atas Statuta Roma dan bukan atas Resolusi Dewan Keamanan PBB. Yurisdiksi ICC menjangkau pelanggaran HAM berat (gross violation of human rights) seperti kejahatan genosida (crimes of genocide), kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity), kejahatan perang (war crimes) dan kejahatan agresi (crimes of aggression), dan pelbagai bentuk kejahatan kemanusiaan lainnya. ICC berwenang untuk menangani dan menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat yang dilakukan oleh siapapun, entah mereka itu pejabat tinggi negara atau bahkan pejabat tertinggi negara sekalipun, pejabat pemerintah, pejabat militer, namun mereka berkewajiban untuk bertanggungjawab secara individual, sehingga mereka tidak dapat lagi berlin- dung di belakang tanggungjawab negara (State Responsibility). ICC bukanlah pengadilan pada Instansi Pertama (the First Resort), melainkan pengadilan terakhir dari Instansi Terakhir (the Last of the Last Resort), sehingga dengan demi- kian, sistem peradilannya tidak akan menggerogoti kedaulat- an negara peserta ICC atau negara peserta Statuta Roma. ICC hanya berfungsi sebagai pengadilan pelengkap terhadap pengadilan domestik. Sebab ICC, mengutamakan penerapan Upaya-Upaya Hukum Setempat (Exhaustion of Local Reme- dies).
Prinsip-Prinsip Hukum Internasional 47
Selama negara peserta ICC masih mau dan mampu menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat, maka ICC tidak memiliki yurisdiksi untuk menangani dan mengadili kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi di negara peserta tersebut. Selain daripada itu, ICC juga hanya memiliki yurisdiksi untuk mengadili kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi setelah tanggal 1 Juli tahun 2002 dan bukan sebelumnya.
48 Prinsip-Prinsip Hukum Internasional
BAGIAN III PENGECUALIAN DARI AZAS YURISDIKSI TERITORIAL
Hukum Internasional dan hukum nasional, mengenal
apa yang disebut dengan pengecualian dan pembebasan dari yurisdiksi territorial yang dinamakan dengan Azas Kekebalan (Immunity), yaitu suatu azas yang dapat mengecualikan dan membebaskan mereka yang tersangkut dalam suatu pelang- garan hukum di suatu negara, dari pelaksanaan kekuasaan hukum negara setempat. Dalam hukum internasional diakui adanya lembaga- lembaga, jabatan-jabatan, orang-orang, benda-benda, baik bergerak maupun tidak bergerak yang memiliki kekebalan dari penerapan peraturan-peraturan hukum nasional yang berlaku di negara setempat. Mereka dikecualikan dan dibe- baskan dari penerapan atau pelaksanaan yurisdiksi teritorial, dan negara setempat berkewajiban untuk menghormati keke- balan yang melekat pada mereka. Pertanyaan yang dapat diajukan antara lain adalah, siapa-siapa serta apa saja yang berdasarkan hukum interna- sional umum dapat menikmati kekebalan (immunity)? Hukum Internasional mengakui adanya kekebalan yang melekat pada negara, Kepala Negara (Head of State), Kepala Pemerintahan (Head of Government), para pembantu dan para pejabatnya yang kebetulan berada di suatu negara, dibebaskan dan
Prinsip-Prinsip Hukum Internasional 49
dikecualikan dari pelaksanaan kekuasaan hukum di negara itu. Mereka senantiasa menikmati kekebalan dari penera- pan yurisdiksi territorial negara setempat. Meskipun mereka tersangkut dalam suatu pelanggaran hukum di negara lain, mereka tidak dapat dikenai proses hukum di negara tersebut, karena mereka menikmati dan memiliki kekebalan, baik berdasarkan hukum internasional maupun hukum nasional. Kekebalan negara dan Kepala Negara atau Kepala Pemerintahan didasarkan pada azas yang dinamakan Par In Parem Non Habet Imperium yang menyatakan bahwa, suatu negara berdaulat tidak dapat menjalankan yurisdiksi terito- rialnya terhadap negara berdaulat lainnya, termasuk terhadap Kepala Negaranya ataupun para pejabatnya, terkecuali terhadap warganegara asing yang berada di wilayah negara setempat. Warganegara asing, yang tersangkut pelanggaran hu- kum di negara setempat, tidak dibebaskan dari penerapan yurisdiksi territorial negara setempat, sehingga ketika ter- sangkut dalam suatu pelanggaran hukum, dia dapat menja- lani proses hukum di negara setempat karena kekebalan hanya diberikan kepada negaranya, terutama kepala negara serta para pejabatnya dan bukan kepada orang yang bersang- kutan. Ada juga prinsip yang dinamakan Azas Resiprositas atau Azas Komitas (Reciprocity or Comity Principle), yang
50 Prinsip-Prinsip Hukum Internasional
menyatakan bahwa kekebalan dari suatu negara berdaulat ataupun Kepala Negaranya di negara lain, hanya dapat diakui apabila hal ini dilakukan secara timbal balik, atau dengan kata lain kedua negara yang bersangkutan harus saling mengakui dan menerima adanya kekebalan seperti itu secara timbal balik. Kepala Negara dari Negara A dapat menikmati kekeba- lan ketika berada di Negara B, sebagaimana Negara B atau Kepala Negaranya juga menikmati kekebalan yang sama ketika berada di Negara A, demikian pula sebaliknya. Ada juga azas hukum internasional yang menyatakan bahwa keputu- san pengadilan dari suatu negara tidak mungkin dapat dilaksanakan terhadap negara lain. Bilamana keputusan tadi dijalankan, maka hal ini akan dianggap sebagai pelanggaran internasional yang dapat menimbulkan masalah tanggung- jawab negara. Masih terdapat beberapa prinsip lain yang melandasi pemberian kekebalan kepada negara atau kepala negara, maupun para pejabatnya ketika mereka tersangkut dalam pelanggaran hukum di negara setempat, sehingga aparat hukumnya tidak boleh melakukan tindakan hukum terhadap mereka berdasarkan kekebalan (immunity) yang melekat pada mereka. Inilah yang di dalam referensi internasional dinama- kan Kekebalan Kedaulatan (Souvereign Immunity). Dalam suatu kasus klasik yang pernah terjadi pada Abad Ke-19, yang melibatkan seorang perempuan Inggeris
Prinsip-Prinsip Hukum Internasional 51
bernama Mighel dengan Sultan Johor. Wanita bernama Mighel menggugat Alberth Baker, yakni nama samaran Sultan Johor selama berada di Inggeris. Gugatan diajukan karena tergugat dianggap melakukan perbuatan melawan hukum, yaitu tergugat telah melakukan perbuatan ingkar janji. Tergugat mengingkari janjinya untuk mengawini penggugat, sehingga penggugat menuntut tanggungjawab dari pihak tergugat, sebab di Inggeris perbuatan ingkar janji dapat dikualifikasi sebagai perbuatan melawan hukum atau perbuatan yang dapat dihukum. Pihak Penggugat meminta kepada pengadilan, agar menyatakan bahwa perbuatan tergugat yang tidak mau mengawini penggugat, adalah merupakan perbuatan ingkar janji dan perbuatan melawan hukum, dan agar pihak tergugat membayar gantirugi atas kerugian yang diderita penggugat. Pengadilan Inggeris ternyata mengesampingkan perkara guga- tan tersebut, dengan alasan pengadilan merasa tidak berkom- peten, atau tidak berwenang untuk mengadili kasus gugatan tersebut, mengingat tergugatnya adalah seorang Sultan, seorang Raja atau Kepala Negara, yang padanya melekat kekebalan yang mengecualikan, serta membebaskan pihak tergugat dari pelaksanaan kekuasaan hukum atau yurisdiksi territorial Inggeris. Kekebalan Sultan Johor sebagai kepala negara, dida- sarkan atas pengakuan dan penghormatan Kerajaan Inggeris terhadap Kerajaan Malaka (kini disebut Malaysia) sebagai
52 Prinsip-Prinsip Hukum Internasional
Negara merdeka dan berdaulat, dan dengan demikian memi- liki martabat negara yang sama seperti Kerajaan Inggeris. Selain daripada itu, kekebalan Sultan Johor selaku Kepala Negara juga didasarkan atas prinsip resiprositas atau prinsip saling menghormati, kekebalan kedaulatan dalam hubungan antara kedua kerajaan (Kerajaan Inggeris dan Kerajaan Johor di negeri Malaka) secara timbal balik. Raja Malaka, termasuk Sultan Johor menikmati kekebalan ketika berada di negeri Inggeris, sebagaimana halnya Raja Inggeris atau Keluarga Kerajaan Inggeris juga menikmati kekebalan yang sama sela- ku Kepala Negara ketika berada di negeri Johor (Malaka). Menurut Starke, Kekebalan dari yurisdiksi teritorial tidak hanya meliputi kekebalan dari proses hukum di negara setempat, tetapi juga kekebalan dari eksekusi keputusan pengadilan, sehingga dengan demikian, harta kekayaan yang dimiliki oleh suatu negara asing yang berada atau berlokasi di dalam wilayah suatu negara, tidak bisa dieksekusi dan disita oleh aparat hukum negara setempat. Sejalan dengan hal ini, Malcolm N. Shaw (1986:373) menyatakan, kasus klasik yang dapat menjelaskan adanya hubungan antara Yurisdiksi Territorial (Territorial Juris- diction), serta Kekebalan Kedaulatan (Souvereign Immunity), adalah kasus “the Schooner Exchange Vs. McFaddon” yang pada awalnya diadili dan diputuskan melalui Pengadilan Distrik Philadelphia, tetapi pada akhirnya kasus ini tiba di tangan Mahkamah Agung AS (the US Supreme Court).
Prinsip-Prinsip Hukum Internasional 53
Sebuah kapal milik orang Amerika yang semula bernama MV. The Schooner Exchange, disita oleh Pemerintah Perancis atas dekrit dan perintah dari Raja Napoleon Bonaparte ketika kapal itu sedang berada di perairan laut bebas. Setelah dilakukan penyitaan, kapal tersebut digunakan sebagai kapal Angkatan Laut Perancis, dan dengan begitu menjadi kapal perang milik Pemerintah Perancis. Suatu saat, kapal tersebut mengalami kerusakan hebat akibat badai di tengah laut, sehingga terpaksa harus diseret masuk ke pelabuhan terdekat, yaitu pelabuhan Philadelphia (AS). Bekas pemilik kapal yang mengetahui hal ini lalu mencoba mengajukan gugatan melalui pengadilan di AS, dengan menuntut dikembalikannya kapal tersebut kepada penggugat. Sesuai dengan hukum acara yang berlaku di AS, maka Pemerintah Perancis sebagai tergugat dapat diwakili oleh Jaksa Agung AS dalam hal timbul kasus gugatan perdata. Jaksa Agung menyatakan di depan pengadilan, bahwa pihak yang menjadi tergugat adalah Pemerintah Perancis, demikian pula dengan kapal yang dituntut oleh Penggugat, agar pengadilan melakukan tindakan penyitaan, serta menye- rahkannya kepada pihak penggugat, kapal Angkatan Laut atau kapal Pemerintah Perancis. Oleh karena itu kuasa hukum tergugat meminta kepada pengadilan distrik Philadelphia, agar mengesampingkan gugatan tersebut karena tergugatnya memiliki kekebalan (souvereign immunity), yang
54 Prinsip-Prinsip Hukum Internasional
mengecualikan tergugat dari proses hukum di AS, demikian pula barang yang diminta, agar disita dengan sendirinya, juga memiliki kekebalan (kekebalan kapal perang ataupun kekeba- lan kapal pemerintah). Akhirnya pengadilan distrik Philadelphia menolak gugatan penggugat, sebab pihak pengadilan merasa tidak berwenang untuk mengadili negara lain. Dengan demikian pengadilan tidak berwenang untuk melakukan tindakan penyitaan atas kapal milik Pemerintah asing. Karena Pihak Penggugat merasa tidak puas dengan keputusan pengadilan distrik Philadelphia, maka pihak penggugat Naik Banding (The Court of Appeal) ke US Supreme Court. Ketua Majelis dari Mahkamah Agung AS (Chief Justice Marshall) menyatakan bahwa yurisdiksi suatu negara, di dalam wilayahnya sendiri bersifat eksklusif dan absolute, tetapi yurisdiksi itu tidak mencakup negara asing (foreign souvereigns). Chief Justice Marshall menyatakan bahwa, persamaan atau kesamaan yang sempurna dan kemerdekaan yang absolute, yang dimiliki negara telah memberi pelajaran mengenai kasus, di mana setiap negara dianggap melepaskan pelaksanaan sebagian dari yurisdiksi teritorialnya yang bersifat eksklusif dan penuh, yang dinyatakan sebagai haki- kat dari setiap negara. Hal ini berarti bahwa menyangkut kasus perkara yang bersangkutan, kapal perang dari suatu negara yang memasuki pelabuhan dari suatu negara sahabat, yang
Prinsip-Prinsip Hukum Internasional 55
terbuka untuk menerima kapal tersebut, harus dianggap dikecualikan atau dibebaskan dari yurisdiksi negara pelabu- han dengan persetujuan dari negara ini. Aturan-aturan seperti ini tidak akan berlaku pada Kapal-Kapal Swasta (the Private Ships) yang rentan dikenai Yurisdiksi Asing di Luar Negeri (Foreign Jurisdiction Abroad). Kekebalan kedaulatan (souvereign immunity) melekat, baik pada Kepala Negara (Head of State), Kepala Pemerintahan (Head of Government) maupun melekat pada para pemban- tunya. Pembantu Kepala Negara ataupun Kepala Pemerin- tahan seperti Menteri serta para pejabatnya, dikecualikan dan dibebaskan dari yurisdiksi territorial ketika berada di negara lain, dalam hal tersangkut dalam suatu pelanggaran hukum di negara setempat, karena mereka juga diakui kekebalannya selama menjalakan tugasnya di negara tersebut. Kasus pelecehan seksual yang pernah menimpa Menteri Pariwisata Republik Indonesia (Joop Ave) ketika berada di negeri, tepatnya di Selandia Baru (New Zealand) belasan tahun lalu, dapat diajukan sebagai salah satu contoh kasus yang menunjukkan bahwa, selaku pembantu Presiden Soeharto dia dibebaskan dari pelaksanaan yurisdiksi teritorial negeri Selandia Baru. Aparat hukum negara itu tidak boleh melakukan tindakan hukum apapun, seperti penahanan, penuntutan serta peradilan terhadapnya, kendati yang bersangkutan tersangkut pelanggaran hukum, akibat melakukan pelecehan
56 Prinsip-Prinsip Hukum Internasional
seksual atas seorang pramusaji di negeri tersebut. Hal ini terjadi karena aparat hukumnya memahami dan menghormati azas kekebalan kedaulatan yang melekat pada diri Joop Ave, dalam kedudukannya sebagai Menteri atau Pembantu Presiden. Namun demikian Pemerintah RI meminta maaf kepa- da pemerintah negara tersebut (Selandia Baru), sebagai ben- tuk dan bukti pertanggungjawaban negara dan Pemerintah RI atas pelanggaran hukum yang terjadi di negeri Selandia Baru. Permintaan maaf ini perlu dilakukan untuk memelihara hubungan baik di antara kedua negara, sehingga pada masa- masa mendatang diharapkan tidak terjadi lagi penyalah- gunaan atas prinsip kekebalan kedaulatan, yang merupakan prinsip hukum internasional yang membebaskan dan menge- cualikan suatu negara asing atau kepala negaranya, kepala pemerintahannya termasuk para pejabatnya dari pelaksanaan yurisdiksi territorial negara setempat. Di samping kasus kekebalan kedaulatan yang melibat- kan Menteri Pariwisata RI. Pada tahun 2007 lalu, telah terjadi pula kasus kekebalan kedaulatan yang menyangkut Gubernur DKI Jakarta (Sutiyoso), ketika berada di Sydney (New South Wales) yang merupakan salah satu negara bagian dari Australia. Insiden terjadi ketika dua Polisi Federal Australia, Sersan Steve Thomas dan detektif senior Constable Scrzvens, menerobos masuk kamar hotel tempat Sutiyoso menginap,
Prinsip-Prinsip Hukum Internasional 57
pada tanggal 29 Mei 2007 di Hotel Shangri-La, Sydney (lihat Harian Kompas, 2 Juni 2007, Hlm.10). Kedua polisi federal tersebut, meminta Sutiyoso menandatangani surat undangan untuk datang ke Pengadilan Sydney, guna memberi keterangan mengenai kasus Balibo yang terjadi di masa lalu. Hal ini jelas merupakan pelang- garan terhadap azas kekebalan kedaulatan, sebab bagaimana- pun sebagai pejabat negara, yaitu sebagai seseorang yang masih menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta pada waktu itu, beliau masih memiliki kekebalan kedaulatan yang tidak memperkenankan aparat hukum negara setempat, dalam hal ini Polisi Federal Australia untuk melakukan tindakan menerobos masuk ke dalam kamar hotel tempat Sutiyoso menginap, serta memaksanya untuk menandatangani surat panggilan Pengadilan Sydney, guna menghadiri dan memberi keterangan mengenai kasus terbunuhnya lima wartawan Australia di Timor Timur pada tahun 1975. Akibat terjadinya pelanggaran azas kekebalan kedaulatan (souvereign immunity) oleh pihak Australia, maka terjadi demonstrasi hebat di depan Kedutaan Besar Australia di Jakarta, yang dilakukan oleh ratusan orang yang menuntut agar Australia segera mengadili kedua polisi yang menerobos masuk ke kamar Sutiyoso. Menyadari terjadinya insiden pelanggaran azas kekebalan kedaulatan oleh aparat hukum Australia, maka Perdana Menteri New South Wales (NSW), pada akhirnya telah meminta maaf melalui surat yang
58 Prinsip-Prinsip Hukum Internasional
disampaikan oleh Duta besar Australia untuk RI (Bill Farmer) kepada Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso atas insiden yang menimpanya di Sydney. Kekebalan negara dan Kepala Negara, Kepala Pemerin- tahan serta para pejabatnya yang berada di wilayah negara lain, serta terlibat dalam suatu pelanggaran hukum, pernah diterima sebagai suatu prinsip yang berlaku secara universal dan mutlak, sehingga tidak dapat diganggugugat oleh siapa- pun di negara setempat. Sebagaimana dikemukakan oleh Malcolm N. Shaw (1986:373-374), peranan negara dan pemerintah yang relatif tidak rumit pada abad 18 – 19, secara logis menimbulkan Konsep mengenai Kekebalan Absolut (the Concept of Absolute Immunity) dari yurisdiksi negara asing dalam kasus apapun, tanpa memperhatikan keadaan-keadaan yang timbul. Negara yang terutama mempraktikkan doktrin absolute immunity adalah Inggeris, di mana doktrin ini dapat dilihat dan ditemu- kan dalam berbagai kasus klasik. Selain kasus Sultan Johor dan kasus MV. The Schooner Exchange, juga kasus the Parlement Belge, di mana dalam kasus yang disebut terakhir ini, pengadilan banding di negeri Inggeris (The Court of Appeal) menggarisbawahi bahwa, setiap negara harus menolak melalui pengadilan nasionalnya, pelaksanaan yurisdiksi teritorialnya terhadap pribadi dari setiap penguasa negara (the person of any souvereign), duta besar (ambassador) dari negara lain, ataupun terhadap harta
Prinsip-Prinsip Hukum Internasional 59
kekayaan dari negara manapun yang digunakan bagi kepentingan publik (public property of any state), meskipun pribadi penguasa, duta besar dan harta kekayaannya berada di dalam wilayah dari negara setempat. Inilah yang dinamakan Doktrin Kekebalan Mutlak (the Absolute Souvereign Immunity). Akan tetapi pertumbuhan yang tidak paralel dalam kegiatan-kegiatan negara, terutama menyangkut masalah-masalah komersial, telah menimbulkan permasalahan-permasalahan dan kebanyakan negara telah melakukan modifikasi terhadap prinsip kekebalan mutlak itu. Jumlah badan-badan pemerintah, industri-industri yang dinasionalisasi dan organ-organ lain yang dimiliki negara, menciptakan reaksi dan tantangan terhadap konsep absolute immunity, karena untuk sebagian hal-hal seperti ini, memungkinkan Perusahaan Negara (State Enterprises) untuk mendapatkan keuntungan melebihi Perusahaan Swasta (Private Companies). Dengan demikian, banyak negara mulai menganut dan menerapkan Doktrin mengenai Kekebalan Terbatas (Res- trictive Immunity), di mana berdasarkan doktrin ini, kekebalan itu dapat diberikan apabila menyangkut Kegiatan Pemerinta- han (the Governmental Activity), namun kekebalan itu tidak dapat diberikan atau tidak ada dan menjadi hilang, apabila negara melakukan Kegiatan Komersial / the Commercial Acti- vity (Malcolm N. Shaw, 1986:74).
60 Prinsip-Prinsip Hukum Internasional
Perbuatan atau Tindakan Pemerintah (the Governmen- tal Acts) yang terhadapnya kekebalan itu dapat diberikan diistilahkan dengan acts jure imperii, sedangkan tindakan yang berkaitan dengan kegiatan privat atau kegiatan perdaga- ngan diistilahkan dengan acts jure gestionis. Sejalan dengan doktrin restrictive immunity yang dikemukakan oleh Malcolm N. Shaw, maka menurut Sudargo Gautama, ada beberapa negara yang sudah tidak sepenuhnya dapat menerapkan azas kekebalan kedaulatan yang melekat pada negara secara mutlak (absolute immunity). Misalnya saja peraturan hukum nasional AS yang dinamakan “The Foreign Souvereign Immunity Act” (FSIA) atau Undang-Undang Keke- balan Kedaulatan Negara Asing, yang menyatakan bahwa kekebalan dari negara, Kepala Negara, Kepala Pemerintahan termasuk para pejabatnya tidak bisa lagi dipandang sebagai sesuatu yang bersifat sakral atau absolute, karena dalam hal- hal tertentu kekebalan seperti itu tidak selalu dapat diakui di depan pengadilan AS, sehingga ketika mereka tersangkut dalam pelanggaran hukum, mereka tidak dikecualikan dari yurisdiksi territorial AS. Dalam hubungan ini FSIA yang telah diundangkan pada tahun 1976 membedakan Perbuatan Negara (Act of State) atas perbuatan negara yang dikualifikasi sebagai Iure Imperii serta perbuatan negara yang dikualifikasi sebagai Iure Gestionis. Tindakan negara dalam kualifikasi Iure Imperii menunjukkan pengertian bahwa, apa yang dilakukan oleh
Prinsip-Prinsip Hukum Internasional 61
negara tersebut mempunyai tujuan yang terkait dengan kepentingan publik dari negara yang bersangkutan, atau dengan kata lain tindakan tersebut adalah merupakan tindakan publik dan bukan tindakan komersial. Sedangkan tindakan negara dalam kualifikasi Iure Gestionis mempunyai arti bahwa tindakan yang dilakukan oleh negara mempunyai tujuan yang terkait dengan kepentingan komersial, sehingga tindakannya disebut tindakan komersial dan bukan tindakan publik. Terhadap tindakan yang bersifat publik (Iure Imperii), maka berdasarkan FSIA, kekebalan yang melekat pada negara asing masih dapat diakui dan dihormati oleh aparat hukum AS, termasuk oleh pengadilan di negara tersebut. Sedangkan terhadap tindakan komersial atau tindakan negara yang mempunyai tujuan komersial (Iure Gestionis), maka aparat hukum AS tidak dapat lagi mengakui kekebalan yang melekat pada negara asing atau pejabatnya. Undang-Undang Kekebalan Kedaulatan AS ini pernah digunakan oleh Organisasi Serikat Buruh AS untuk menggu- gat negara-negara yang tergabung di dalam Organisasi Negara- Negara Pengekspor Minyak (Organization of Petroleum Exporting Countries atau OPEC) di depan Pengadilan Distrik Los Angeles AS. Gugatan ini diajukan karena pihak Serikat Buruh merasa sangat dirugikan oleh negara-negara anggota OPEC, yang membuat dan menerapkan suatu kebijakan yang disebut Price Fixing, dengan cara menaikkan harga minyak
62 Prinsip-Prinsip Hukum Internasional
dunia di pasar internasional, sehingga hal ini menyebabkan para buruh di AS terpaksa harus mengeluarkan biaya hidup yang berlipat ganda. Mereka mengalami penderitaan akibat tingginya harga kebutuhan hidup sehari-hari, sejak terjadinya kenaikan harga minyak yang demikian tinggi. Para buruh AS yang tergabung di dalam Organisasi Serikat Buruh, kemudian mengajukan tuntutan agar pengadilan distrik menyatakan bahwa, tinda- kan negara-negara OPEC yang membuat dan menerapkan kebijakan Price Fixing, yang menyebabkan naiknya harga minyak adalah merupakan tindakan yang dilakukan untuk kepentingan komersial (Iure Gestionis) dan bukan tindakan publik (Iure Imperii) sehingga dengan demikian negara-negara OPEC termasuk para pejabatnya, tidak dapat menikmati kekebalan di depan pengadilan AS. Selanjutnya pihak penggugat juga menuntut gantirugi kepada para tergugat, agar membayar gantirugi atas kerugian yang diderita oleh pihak penggugat akibat penetapan harga minyak (Price Fixing). Sebaliknya para wakil negara-negara OPEC menyatakan bahwa penetapan harga minyak, yang berakibat terhadap tingginya harga minyak dunia, dilakukan dengan tujuan untuk mengatur dan menata kembali sumber- sumber kekayaan alam yang terdapat di dalam wilayah negara- negara OPEC, sehingga tindakan mereka bukan meru- pakan tindakan yang bertujuan untuk memperoleh keuntu-
Prinsip-Prinsip Hukum Internasional 63
ngan komersial semata-mata, melainkan terutama untuk kepentingan publik. Dengan kata lain tindakan penetapan harga minyak (Price Fixing) adalah tindakan negara dalam kualifikasi Iure Imperii dan bukan Iure Gestionis, sehingga bagaimanapun mereka masih memiliki dan menikmati kekebalan dari yurisdiksi territorial, dan dengan begitu pengadilan AS harus menyatakan diri tidak berwenang untuk memeriksa kasus gugatan tersebut. Pengadilan distrik AS ternyata dapat menerima dan mengabulkan alasan yang dikemukakan oleh pihak tergugat. Pengadilan mengesampingkan gugatan Organisasi Serikat Buruh AS, karena pengadilan merasa tidak berwenang untuk memeriksa dan mengadili negara-negara OPEC, yang masih diakui kekebalan kedaulatannya, karena penetapan harga minyak dengan tujuan untuk menata kembali sumber daya alam (natural resources) yang terdapat di dalam wilayahnya, dan merupakan tindakan negara dalam kualifikasi Iure Imperii. Dengan demikian keputusan pengadilan distrik AS di Los Angeles, memberi kemenangan kepada negara-negara OPEC dan apabila dianalisis keputusan tersebut, sesungguh- nya hal ini tidak terlepas dari latarbelakang dan pertimba- ngan politik dan ekonomi AS di berbagai negara, khususnya di dalam wilayah dari negara-negara OPEC.
64 Prinsip-Prinsip Hukum Internasional
Demikianlah uraian atau pembahasan mengenai Kekebalan Kedaulatan (Souvereign Immunity), yang melekat pada negara, Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan serta para pejabat negara yang menjalankan tugas di negara lain. Kekebalan juga dapat dinikmati oleh lembaga internasional atau organisasi internasional termasuk pula Markas Besarnya (Head Quarter) di suatu negara, gedung perwakilan maupun para pejabatnya yang sedang menjalankan tugas di pelbagai negara. Walaupun pejabat dari lembaga atau organisasi inter- nasional tersangkut dalam suatu pelanggaran hukum, teru- tama tindak pidana berat, namun aparat hukum negara setempat tidak dapat melakukan tindakan hukum terhadap- nya. Kekebalan yang dimiliki organisasi internasional dan para pejabatnya, didasarkan atas prinsip-prinsip hukum internasional, dan terutama perjanjian internasional yang dinamakan Convention on the Privileges and Immunities of the United Nations and of Specialized Agencies. Organisasi regional negara-negara Asia Tenggara yang beranggotakan 10 negara, termasuk di dalamnya Indonesia juga telah memiliki Piagam ASEAN (ASEAN Charter), setelah para Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan menandata- ngani Piagam tersebut di dalam Konferensi Tingkat Tinggi di Singapura pada tanggal 20 November 2007. Piagam ASEAN telah berlaku secara efektif dan di dalamnya terdapat pelbagai macam ketentuan yang menunjukkan Organisasi tersebut
Prinsip-Prinsip Hukum Internasional 65
bukan lagi sebagai sebuah perhimpunan yang bersifat longgar, melainkan sebagai sebuah organisasi regional yang sifatnya permanent. Hal ini bisa dilihat antara lain dari adanya pengaturan atas azas kekebalan kedaulatan yang melekat pada suatu negara anggota, termasuk para pejabatnya di negara anggota lainnya. Pengaturan azas kekebalan kedaulatan (souvereign immunity) di dalam Piagam ASEAN, yang dapat dinikmati oleh organisasi ASEAN, markas besar di salah satu negara anggo- tanya, kantor perwakilan di masing-masing negara anggota maupun para pejabatnya, tentu saja berpedoman pada Konvensi mengenai hak-hak istimewa serta kekebalan oraganisasi PBB dan badan-badan khusus organisasi ini (Convention on the Privileges and Immunities of the United Nations and of Specialized Agencies). Di samping itu kekebalannya juga diberikan oleh negara setempat, atau peraturan hukum dari negara yang bersangkutan, sebab selain menyangkut jaminan kepastian hukum soal kekebalan, juga terutama untuk memperlancar pelaksanaaan tugasnya secara efektif di negara yang bersangkutan.
66 Prinsip-Prinsip Hukum Internasional
BAGIAN IV NEGARA DAN YURISDIKSI MAHKAMAH KRIMINAL INTERNASIONAL
Mahkamah Kriminal Internasional (International Crimi-
nal Court) didirikan berdasarkan Statuta Roma yang diadopsi pada tanggal 17 Juli 1998 oleh 120 negara, yang berpar- tisipasi dalam suatu konferensi yang dikenal dengan “United Nations Diplomatic Conferenmce of Plenipotentiaries on the Establishment of an International Criminal Court” di kota Roma, Italia. Pada tanggal 1 Juli 2002, Mahkamah Kriminal Internasional berlaku secara efektif berdasarkan artikel 126 dari Statuta Roma mengenai Mahkamah Kriminal Interna- sional (Rome Statute of the International Criminal Court), yang telah dideklarasikan pada tanggal 17 Juli 1998 di Roma, Italia. Sebenarnya pada tanggal 11 April 2002, sebanyak 60 negara sudah meratifikasi Statuta Roma, sehingga telah me- menuhi persyaratan bagi berlakunya (come into force) perjan- jian tentang pembentukan Mahkamah Kriminal Internasional (International Criminal Court atau disingkat dengan ICC). Dunia agaknya tidak pernah sepi dari pelanggaran berat Hak Azasi Manusia (HAM). Patut disayangkan banyak di antara pelaku pelanggaran belum atau tidak bisa diadili di Negara tempat kejahatan berlangsung, karena sistem hukum yang
Prinsip-Prinsip Hukum Internasional 67
berlaku di negara tersebut tidak memadai, atau rezim yang berkuasa cenderung untuk melindungi para pelakunya. Dengan demikian, praktik impunity (adanya kejahatan tanpa proses hukum) dengan mudah dapat ditemukan di dalam negara-negara yang memang tidak serius dalam hal penegakan hak-hak azasi manusia. Di Negara-negara seperti itu, para pelanggar HAM berat secara leluasa berkeliaran tanpa proses hukum. Walaupun ada proses hukum, maka hal ini sebenarnya tidak lebih dari rekayasa dan dalam kejahatan HAM berat dinyatakan bebas oleh pengadilan. Publik dengan perih menyaksikan semua kenyataan pahit tersebut tanpa bisa berbuat banyak. Hingga saat ini, Pemerintah Republik Indonesia belum meratifikasi Statuta Roma, kenyataan ini menunjukkan bah- wa pemerintah tidak segera menunjukkan komitmen dan kemauan politiknya untuk mengakhiri praktik impunity, sehingga pelaku pelanggaran HAM berat bebas berkeliaran tanpa proses hukum. Padahal selama ini, pemerintah sangat rajin dalam mengeluarkan pernyataan politik mengenai kesungguhannya dalam penegakan supremasi hukum, dan penghormatan terhadap hak-hak azasi manusia seperti ditun- tut oleh gerakan reformasi. Kenyataan belum diratifikasinya Statuta Roma, me- nunjukkan bahwa Pemerintah Republik Indonesia sesungguh- nya tidak serius dalam melaksanakan penegakan hukum, dan
68 Prinsip-Prinsip Hukum Internasional
menghentikan rantai impunitas bagi para pelanggar HAM berat. Mahkamah Kriminal Internasional sebagai mahkamah yang bersifat permanen, mempunyai yurisdiksi atas delik pelanggaran hak azasi manusia berat (gross violation of human rights), seperti genosida (crimes of genocide), kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity), kejahatan perang (war crimes) dan kejahatan agresi (crimes of aggres- sion). Dengan demikian, Statuta Roma mengatur kewenangan ICC untuk mengadili empat kejahatan paling serius yang mendapatkan perhatian dari masyarakat internasional, yaitu “crimes of genocide”, “crimes against humanity”, “war crimes” dan “crimes of aggression”. Yurisdiksi ICC terhadap empat macam kejahatan ini, dinamakan yurisdiksi berdasarkan materi atau ruang lingkup kejahatan yang menjadi kewenangan ICC (ratione materiae), sebagaimana diatur dalam Pasal 5 dari Statuta Roma. ICC juga mempunyai yurisdiksi berdasarkan pelaku kejahatan yang dinamakan yurisdiksi ratione personae, sebagaimana dapat ditemukan dalam Pasal 25 Statuta Roma. Dalam hal ini setiap orang (natural person) yang memiliki kebangsaan, dari salah satu negara peserta Statuta ICC, atau melakukan suatu kejahatan dalam cakupan yuris- diksi ICC, di dalam wilayah negara peserta, harus bertang- gungjawab secara pidana atas kejahatan tersebut apabila:
Prinsip-Prinsip Hukum Internasional 69
(1) Melakukan kejahatan tersebut (baik secara indi- vidu, bekerjasama atau melalui orang lain; (2) Memerintahkan, mengajak, atau mendorong pe- laksanaan kejahatan tersebut; (3) Membantu atau bersekongkol, atau membantu pe- laksanaan atau percobaan pelaksanaan kejahatan tersebut; (4) Dengan cara lain turut menyumbang pada pelak- sanaan, atau percobaan pelaksanaan kejahatan tersebut, oleh sekelompok orang yang bertindak dengan tujuan yang sama; (5) Berkaitan dengan kejahatan genosida, secara langsung atau menghasut orang lain secara terbu- ka untuk melakukan genosida. Demikian ICC mempunyai yurisdiksi, terkait dengan orang-orang atau siapa saja yang terlibat dalam kejahatan- kejahatan tersebut di atas. Inilah yang dinamakan yurisdiksi ratione personae (Manfred Nowak, 2003:374). Kejahatan Agresi (Crime of Aggression) dapat ditemu- kan dalam Statuta Roma (the Rome Statute of the International Criminal Court) tahun 1998. Akan tetapi struktur kejahatan agresi itu belum dirinci dan diyurisdiksikan, karena Statuta Roma menyatakan kejahatan seperti itu akan diatur lebih lanjut melalui amandemen yang akan dilakukan setelah 7 tahun berlakunya Statuta Roma. Ada kemungkinan tidak diaturnya struktur kejahatan agresi dalam Statuta Roma,
70 Prinsip-Prinsip Hukum Internasional
adalah merupakan akibat dari adanya tekanan yang dilakukan oleh negara adidaya, karena negara seperti ini mempunyai maksud terselubung untuk melakukan agresi ke berbagai negara dalam kurun waktu satu dasawarsa ke depan terhitung sejak 1998. Dengan melihat ke belakang, sebenarnya kejahatan agresi dapat ditemukan di dalam Convention for the Definition of Agression tahun 1933, Charter of the International Military Tribunal tahun 1945, dan Principles of the Nuremberg Tribunal tahun 1950. Dua perjanjian terakhir ini menyebut istilah Kejahatan Terhadap Perdamaian (Crimes Against Peace), yaitu merencanakan, memprakarsai perang, atau memulai perang agresi, atau sebuah perang yang melanggar hukum interna- sional. Ketentuan mengenai Kejahatan Perang (War Crimes), selain terdapat dalam ketentuan tersebut di atas, juga dapat ditemukan dalam “Geneva Convention tahun 1949” dan “Additional Protocol tahun 1977”, “Statute for the International Tribunal for Rwanda tahun 1995”, dan “Statute for the International Tribunal for the Former Yugoslavia tahun 1993 (amended 1998). Kejahatan perang, di antaranya melancarkan sera- ngan atas seorang atau sekelompok warga sipil atau obyek sipil. Melancarkan serangan yang menyebabkan kerugian bagi orang sipil, kerusakan obyek sipil atau kerusakan meluas, berjangka panjang dan berat terhadap lingkungan alam.
Prinsip-Prinsip Hukum Internasional 71
Menyerang atau mengebom kota-kota, desa, perumahan atau gedung yang tidak dipertahankan atau bukan obyek militer. Melakukan serangan atas gedung-gedung untuk tujuan keagamaan, pendidikan, kesenian, keilmuan atau social, monumen bersejarah, rumah sakit. Membunuh atau melukai secara curang pihak musuh atau perlakuan mempermalukan tawanan perang. Selanjutnya mengenai Kejahatan Terhadap Kemanu- siaan (Crimes Against Humanity), juga dapat ditemukan dalam pelbagai ketentuan yang telah dikemukakan sebelumnya. Pasal 7 Statuta Roma menyatakan bahwa, untuk tujuan statute ini, kejahatan terhadap kemanusiaan, dapat diklasifi- kasikan sebagai salah satu dari tindakan berikut: apabila dilakukan sebagai bagian dari serangan meluas atau sistema- tik, yang ditujukan kepada penduduk sipil dengan mengeta- hui serangan itu. Pembunuhan; pemusnahan; perbudakan; deportasi atau pemindahan penduduk secara paksa; penaha- nan ataupun bentuk lain, perampasan kebebasan fisik sese- orang yang melanggar aturan dasar hukum internasional; penyiksaan; pemerkosaan, perbudakan seksual, pemaksaan prostitusi, penghamilan paksa, pemaksaan sterilisasi atau bentuk lain kekerasan seksual yang setara beratnya; perse- kusi terhadap kelompok yang dapat diidentifikasi atau kolek- tivitas politik, rasial, nasional, etnik, budaya, agama, jender atau atas dasar lainnya; penghilangan orang dengan secara paksa; kejahatan apartheid; tindakan tidak manusiawi
72 Prinsip-Prinsip Hukum Internasional
lainnya, dengan karakteristik serupa yang dilakukan dengan sengaja dan menyebabkan penderitaan hebat, atau luka serius terhadap tubuh ataupun kesehatan mental atau fisik. Semua kondisi ini, digambarkan secara spesifik dan didefinisikan dalam Statuta Roma dan dalam elemen-elemen kejahatan. Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) sebenarnya sudah memiliki Mahkamah Internasional (International Court of Justice atau ICJ) yang bermarkas di Den Haag, Belanda. Akan tetapi ICJ tidak dapat mengadili kejahatan interna- sional, seperti kejahatan perang dan kejahatan hak azasi manusia. Di samping itu ICJ juga lebih efektif untuk mengadili perkara yang menyangkut negara, bukan orang (aktor bukan negara) yang melakukan kejahatan HAM. Hanya negara- negara (states) yang dapat menjadi pihak-pihak dalam perkara-perkara di depan mahkamah, sebagaimana tertera dalam Pasal 4 Statuta ICJ (only states may be parties before the court). Dengan demikian, ICJ menempatkan negara (state) sebagai subyek penanggungjawab, sedangkan ICC menem- patkan individu sebagai subyek penanggungjawab, walaupun baik ICJ maupun ICC mempunyai tempat kedudukan yang sama di Den Haag, Belanda. Perjanjian internasional yang dinamakan Statuta Roma (The Rome Statute), dimaksudkan untuk membawa siapapun yang tersangkut atau terbukti terlibat dalam Kejahatan Perang (War Crimes), dan Kejahatan
Prinsip-Prinsip Hukum Internasional 73
Terhadap Kemanusiaan (Crimes Against Humanity), kejahatan etnis atau suku bangsa (genocide), entah mereka itu pejabat tinggi sipil ataupun militer, dapat diajukan ke depan Mahkamah Kriminal Internasional guna mempertanggung- jawabkan perbuatannya secara individual, sehingga mereka tidak dapat berlindung di belakang kepentingan dan tang- gungjawab negara. Artikel 17 dari Statuta Roma menyatakan bahwa, Mahkamah Kriminal Internasional bukanlah pengadilan “the first resort”, tetapi “the last of the last resort”. ICC bukanlah merupakan upaya hukum pertama, melainkan upaya hukum terakhir dari upaya hukum terakhir, sehingga ICC tidak akan merusak kedaulatan dari negara pesertanya. ICC mengutama- kan apa yang dinamakan “exhaustion of local remedies”, yang artinya negara peserta yang bersangkutan, harus terlebih dahulu mengutamakan penggunaan semua remedy domestic atau semua upaya hukum yang tersedia. Negara peserta tetap mengadili terlebih dahulu pelaku pelanggaran HAM berat, dengan memanfaatkan segala upaya hukum yang tersedia di negara tersebut. Apabila negara tersebut tidak mempunyai keinginan (unwilling) atau tidak mempunyai kemampuan (unable), untuk menyelesaikan kasus kejahatan tersebut secara tuntas, maka barulah kemudian menjadi yurisdiksi ICC dan terbuka akses ke ICC. Dengan demikian, lembaga seperti ini hanya mempunyai
74 Prinsip-Prinsip Hukum Internasional
fungsi sebagai pengadilan yang sifatnya komplementer dan melengkapi pengadilan domestik. ICC tidak memiliki yurisdiksi untuk mengadili kejahatan yang terjadi (ratione temporis) sebelum tanggal 1 Juli 2002. Hingga saat ini Republik Indonesia belum meratifikasi Statuta Roma yang sudah dinyatakan berlaku secara efektif sejak 1 Juli 2002. Namun apabila pada suatu saat Indonesia meratifikasi Statuta Roma, maka yurisdiksi ICC hanya dapat menjangkau kejahatan kemanusiaan yang terjadi setelah tanggal ratifikasi. Kejahatan kemanusiaan yang terjadi sebelum tanggal ratifikasi, tidak termasuk dalam ruang lingkup yurisdiksi ICC. Akan tetapi, sekalipun Statuta Roma tidak atau belum diratifikasi, Indonesia dapat meminta pelaksanaan yurisdiksi ICC, dengan terlebih dahulu menyampaikan deklarasi peneri- maan kepada Panitera ICC di Den Haag, Belanda (Pasal 11 dan Pasal 12 Statuta Roma). Semua dugaan delik pelanggaran HAM berat yang pernah mengemuka dan muncul ke permukaan, seperti dugaan pelanggaran HAM di Timor Timur (sekarang Negara Timor Leste), peristiwa Tanjung Priok, kasus penghilangan orang secara paksa pada masa Orde Baru, dan pelbagai kasus kejahatan kemanusiaan lainnya yang pernah terjadi, pada masa lampau tidak termasuk dalam yurisdiksi ICC. Walaupun delik-delik seperti itu tidak menjadi yurisdiksi ICC, namun perlu dicermati, bahwa tidak tertutup kemungkinan dapat
Prinsip-Prinsip Hukum Internasional 75
digelar semacam peradilan internasional, ketika kita dianggap tidak serius menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat secara tuntas. Melalui Resolusi Dewan Keamanan PBB, maka dapat dibentuk tribunal internasional yang bersifat ad hoc atau sementara, seperti pembentukan Tribunal Internasional un- tuk bekas Yugoslavia (International Criminal Tribunal for the Former Yugoslavia atau ICTY), di mana ICTY ditetapkan oleh Resolusi Dewan Keamanan PBB Nomor 808 dan 827 Tahun 1993; sedangkan ICTR ditetapkan dengan Resolusi Dewan Keamanan PBB Nomor 935 dan 955 Tahun 1994, di mana kedua resolusi ini dibuat berdasarkan Pasal 24 dan Pasal 25 Piagam PBB (Charter of the United Nations). Pasal 24 ayat (1) Piagam PBB menyatakan bahwa, agar PBB dapat menjamin adanya tindakan segera dan efektif, maka para anggotanya menyerahkan tangguingjawab utama (primary responsibility) kepada Dewan Keamanan, dalam rangka memelihara perdamaian dan keamanan internasional, serta para anggota PBB sepakat, bahwa dalam menjalankan kewajiban yang menjadi tanggungjawabnya, Dewan Keama- nan bertindak atas nama para anggota PBB (Michael Akehurst, 1983:173). Selanjutnya Pasal 25 dari Piagam PBB menyatakan bahwa, para anggota PBB bersepakat untuk menerima dan melaksanakan putusan dari Dewan Keamanan PBB menurut Piagam. Dengan demikian Dewan Keamanan PBB mempunyai
76 Prinsip-Prinsip Hukum Internasional
wewenang untuk mengambil putusan yang bersifat mengikat (binding decisions), dan para negara anggota PBB berkewa- jiban untuk mematuhi putusan tersebut. Resolusi Dewan Keamanan terkait pembentukan ICTY pada tahun 1993, dan pembentukan ICTR pada tahun 1994, harus dipandang sebagai tindakan yang harus segera diambil, karena tindakan seperti ini sangat penting untuk melaksa- nakan tanggungjawab utama, yang dibebankan pada pundak Dewan Keamanan PBB dalam rangka memelihara perdamaian dan keamanan internasional secara efektif. Disinilah terletak perbedaan antara ICC dengan tribunal internasional, karena ICC melaksanakan yurisdik- sinya tanpa melalui resolusi Dewan Keamanan PBB, tetapi kewenangannya ditentukan dalam Statuta Roma. Sedangkan yurisdiksi dari tribunal internasional yang bersifat ad hoc tidak dibatasi oleh ratione temporis, tetapi tergantung pada kasus yang hendak diangkat oleh PBB, disinilah ratione temporis itu diidentifikasi. Kita tidak mengetahui secara tepat, mengapa Peme- rintah Republik Indonesia belum meratifikasi Statuta Roma mengenai pembentukan Mahkamah Kriminal Internasional. Karena pihak pemerintah sendiri memang tidak menjelaskan persoalan penting ini kepada publik. Sesungguhnya terdapat beberapa alasan yang menyebabkan Pemerintah Republik Indonesia, mengambil posisi tidak atau belum melakukan
Prinsip-Prinsip Hukum Internasional 77
ratifikasi terhadap perjanjian tersebut, atau dengan kata lain belum menjadi peserta ICC. Alasan pertama, adalah Pemerintah menyadari bahwa kondisi penegakan hukum di negeri ini masih rendah. Sementara di sisi lain, pelanggaran HAM berat masih terjadi. Kenyataan ini membuka peluang bagi para korban untuk mengadu ke ICC. Sebagaimana diketahui prinsip mekanisme kerja dari ICC, adalah sebagai mahkamah yang sifatnya melengkapi yurisdiksi pidana yang dijalankan oleh peradilan nasional. Hal ini berarti bahwa, mahkamah harus mendahu- lukan sistem peradilan nasional, terkecuali jika sistem peradilan nasional yang ada benar-benar tidak mampu dan tidak bersedia, melakukan penyelidikan dan tidak obyektif. Itu alasan pertama, sedangkan alasan kedua adalah, Pemerintah Indonesia masih berminat melanggengkan praktik impunitas bagi oknum-oknum tertentu. Sebagaimana Indo- nesia, Amerika pada masa pemerintahan Clinton, juga telah menandatangani Statuta Roma, tetapi pemerintah penggan- tinya, yaitu pemerintahan Presiden George Walker Bush, terkenal sebagai penggemar perang dan potensial tercatat sebagai penjahat perang, dan kemanusiaan dalam sejarah dunia, kemudian menolak meratifikasi Statuta Roma tersebut. Padahal jika suatu negara tidak meratifikasi, maka negara tersebut, dalam hal ini AS sangat khawatir bakal mendapat kendala, jika hendak melakukan agresi terhadap negara lain. Agresi dan pendudukan Afganistan dan Irak oleh
78 Prinsip-Prinsip Hukum Internasional
pasukan koalisi pimpinan AS, memberikan kontribusi bagi kekhawatiran negeri Paman Sam (julukan negara AS) terha- dap yurisdiksi ICC, terkait dengan kejahatan perang dan kemanusiaan, yang dilakukan oleh pihak militer AS sehingga pemerintahnya tidak meratifikasi Statuta Roma. AS negara yang mengaku dirinya sebagai negara pa- ling demokrasi, penjaga ketertiban dan hak-hak azasi manu- sia di seluruh dunia, menentang disahkannya perjanjian tersebut. Di samping itu, Amerika berdiri pada barisan terdepan dari negara-negara yang menentang ratifikasi Statuta Roma, sehingga negara tersebut dianggap sebagai negara yang tidak konsisten, ambiguous dan gemar menerap- kan standar ganda (double standard). Bahkan AS pernah mengancam untuk menghentikan bantuan militer sebesar lebih dari 47 juta dollar AS kepada 35 negara, termasuk Negara Kolombia dan calon-calon anggota NATO, karena negara-negara tersebut mendukung Mahkamah Kriminal Internasional, dan tidak membebaskan warga AS dari kemungkinan diadili. Keputusan untuk menghentikan bantuan itu merupakan serangan yang pernah dilancarkan oleh mantan Presiden Bush terhadap ICC. Berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Anggota Militer AS tahun 2002, yang merupakan dasar penghentian bantuan tersebut, Presiden Bush dapat mengeluarkan pernya- taan pengecualian, bagi negara-negara yang menandatangani kesepakatan kekebalan, yang disebut kesepakatan Artikel 98,
Prinsip-Prinsip Hukum Internasional 79
atau ketika dia beranggapan bahwa bantuan militer dapat diberikan demi kepentingan nasional. Presiden Bush mengeluarkan pernyataan pengecua- lian bagi 22 negara pada tahun 2003, saat batas waktu lewat bagi pemerintah negara-negara tersebut untuk menandata- ngani kesepakatan kekebalan. Namun dari 22 negara terse- but, Negara Kolombia dan negara-negara Eropa Timur dan Baltik, seperti Bulgaria, Slovakia, Slovenia, Estonia, Latvia dan Lithuania sebagai negara-negara yang seharusnya mene- rima bantuan tidak termasuk dalam 22 negara yang dimak- sud.
80 Prinsip-Prinsip Hukum Internasional
BAGIAN V KEKEBALAN DIPLOMATIK
Perwakilan diplomatik, gedungnya, pribadi pejabat
atau wakil diplomatik, tempat kediaman pejabat diplomatik, keluarganya, arsip surat menyurat pejabat diplomatik mau- pun paket diplomatik (diplomatic package), tidak dapat di- ganggu gugat oleh aparat hukum negara setempat. Inilah yang dinamakan Prinsip Inviolability. Mereka khususnya pribadi pejabat diplomatik, memili- ki kekebalan dari yurisdiksi territorial Negara Penerima (Receiving State) dalam perkara pidana, administratif maupun perkara perdata. Namun demikian, kekebalan seorang pejabat diplomatik dapat dibatalkan atau dihapuskan, dan ditarik kembali oleh Pemerintah Negara Pengirim (Sending State), ataupun oleh Kepala perwakilan diplomatik itu sendiri. Kekebalan Diplomatic (Diplomatic Immunity) bukanlah merupakan hak prerogatif atau hak istimewa (praerogative right) dari pejabat diplomatik yang bersangkutan, melainkan sesungguhnya merupakan kekebalan dari Pemerintah Negara Pengirim (Sending State), sehingga kekebalan tersebut hanya dapat dibatalkan oleh negara pengirim, dan tidak mungkin dapat dibatalkan sendiri oleh pejabat diplomatik yang ber- sangkutan, kecuali dengan persetujuan dari negara pengirim- nya.
Prinsip-Prinsip Hukum Internasional 81
Kalau seorang pejabat diplomatik harus dihapuskan atau dibatalkan kekebalannya, maka pertanyaannya adalah dalam hal-hal apa saja kekebalan itu dapat dibatalkan? Jawabannya dapat dikemukakan berikut ini. Seorang pejabat diplomatik terlibat dalam tindak pida- na di negara penerima, terutama dalam tindak pidana yang benar-benar serius, dalam pengertian tindak pidana tersebut dapat mengganggu atau membahayakan keamanan dan keter- tiban umum di negara penerima, maka memang yang bersangkutan tetap dianggap memiliki kekebalan dan dike- cualikan dari pelaksanaan kekuasaan hukum negara setem- pat, sehingga dia tidak dapat menjalani proses hukum di negara setempat. Kendati demikian, negara penerima mempunyai hak dan wewenang untuk membuat Pernyataan Persona Non Grata (Person Not Wanted), atas diri pribadi pejabat diplomatik yang bermasalah. Dengan dijatuhkannya pernyataan persona non grata terhadap yang bersangkutan, maka implikasinya adalah pejabat diplomatik tersebut harus meninggalkan negara penerima dalam tenggang waktu yang telah ditetapkan oleh negara penerima. Seorang pejabat diplomatik yang tidak menjalankan tugasnya sebagaimana mestinya, karena melakukan pelang- garan terhadap peraturan hukum negara penerima, seperti terlibat dalam kejahatan narkotika dan atau psikotropika ataupun kejahatan-kejahatan berat lainnya, melakukan
82 Prinsip-Prinsip Hukum Internasional
tindakan yang bertujuan untuk mencampuri urusan dalam negeri dari negara penerima, dapat menjadi alasan bagi negara penerima untuk mem-persona non grata-kan pejabat diplomatik tersebut, dan dalam tenggang waktu yang ditetapkan, dia diharuskan meninggalkan negara penerima serta kembali ke negeri asalnya, yakni negara pengirim. Pernyataan persona non grata merupakan hak dari negara penerima, yang tentu saja bersumber dari azas kedaulatan negara. Pernyataan persona non grata dilakukan dengan maksud, untuk mengimbangi dan sekaligus menjadi terobosan terhadap prinsip kekebalan diplomatic (diplomatic immunity), yang melekat pada setiap wakil diplomatik, yang tersangkut aksi kriminal sehingga dapat mengganggu dan membahayakan keamanan serta ketertiban umum di negara penerima. Walaupun pejabat diplomatik tetap memiliki kekeba- lan yang membebaskannya dari penerapan yurisdiksi terito- rial negara penerima, dalam hal tersangkut suatu tindak pidana di negara penerima, namun setelah dia dinyatakan persona non grata dan kembali ke negerinya (negara pengirim), maka dia tidak dibebaskan dari masalah Tang- gungjawab Hukum (Legal Liability) di negerinya sendiri. Negara pengirim mempunyai kewajiban untuk memin- ta pertanggungjawaban dari orang yang bersangkutan, atas kesalahan yang dilakukannya di negara penerima. Prinsip ini didasarkan atas ketentuan pasal yang terdapat dalam Kon-
Prinsip-Prinsip Hukum Internasional 83
vensi Wina Tahun 1961 (Vienna Convention on Diplomatic Relations), yang antara lain menegaskan bahwa, wakil diplo- matik atas dasar kekebalan yang dimilikinya memang dike- cualikan dan dibebaskan dari yurisdiksi teritorial negara penerima, namun dia tidak dibebaskan dari tanggungjawab hukum (legal liability) dari negara pengirim. Beberapa kasus yang pernah terjadi, dalam hubungan dengan persona non grata terhadap diplomat, yang tersangkut aksi kriminal di negara penerima, dapat kiranya dikemukakan untuk mematangkan pemahaman kita soal kekebalan diplo- matik. Kasus dua orang diplomat AS di Indonesia tahun 1994, kasus diplomat Uni Soviet tahun 1982, demikian pula kasus yang pernah melibatkan diplomat RI di negeri Tanzania (yang penulis namakan kasus gading gajah), serta kasus yang melibatkan putera Duta Besar RI (Nana Sutresna) di Inggeris tahun 2003, yang semuanya ini dapat memberi klarifikasi soal kekebalan diplomatik dan aspek-aspek terkait khususnya persona non grata. Mengenai kasus diplomat Uni Soviet, pada tanggal 9 Januari 1982 seorang diplomat Uni Soviet yang bernama S.P. Egorov yang pada waktu itu menjabat sebagai Asisten Atase Militer pada Kantor Kedutaan Besar Uni Soviet di Jakarta, dijatuhi pernyataan persona non grata oleh Pemerintah RI, sehingga diplomat ini harus meninggalkan Indonesia serta kembali ke negerinya. Pemerintah RI mem-persona non grata- kan diplomat dari negara yang pada waktu itu terkenal
84 Prinsip-Prinsip Hukum Internasional
sebagai negara tirai besi (Egorov), serta mengusirnya karena dia tersangkut dalam kegiatan mata-mata, yang berarti melakukan tindakan yang sifatnya mencampuri urusan domestik Indonesia sebagai negara penerima. Berdasarkan Konvensi Wina Tahun 1961 mengenai Hubungan Diplomatik, seorang pejabat diplomatik mempu- nyai kewajiban untuk tidak melanggar peraturan-peraturan hukum yang berlaku di negara penerima, serta tidak boleh mencampuri urusan dalam negeri negara penerima, seperti tidak boleh melakukan kegiatan mata-mata (espionage). Diplomat Uni Soviet diperintahkan untuk meninggalkan Indonesia setelah dia di persona non grata-kan oleh Pemerin- tah RI, akibat kegiatan mata-mata yang dilakukannya bersa- ma dengan seorang warga Uni Soviet yang bernama Alexander Finenko, yang kemudian ditangkap oleh aparat keamanan Indonesia. Orang yang disebut terakhir ini (Alexander Finenko) bukan seorang pejabat diplomatik, melainkan sebagai Kepala Kantor Dinas Penerbangan Uni Soviet Aeroflot di Jakarta. Akan tetapi di balik tugasnya itu, ternyata Alexander Finenko diduga sebagai anggota teras dari Dinas Rahasia Uni Soviet KGB, sehingga penangkapan atas dirinya oleh pihak aparat keamanan adalah sesuatu yang tepat. Demikian pula pernya- taan persona non grata dan pengusiran terhadap Egorov oleh Departemen Luar Negeri RI waktu itu (saat ini bernama Kementerian Luar Negeri RI), adalah merupakan tindakan
Prinsip-Prinsip Hukum Internasional 85
yang tepat karena berbeda dengan Alexander Finenko yang bukan seorang diplomat, melainkan anggota teras KGB. S. P. Egorov justru seorang diplomat yang tidak mungkin dapat ditangkap oleh aparat keamanan Indonesia, sebab dia memiliki kekebalan yang mengecualikan dan mem- bebaskannya dari penerapan yurisdiksi teritorial Indonesia. Mengenai kasus dua diplomat AS yang dikenai tinda- kan atau pernyataan persona non grata dan kemudian diusir dari negeri Indonesia, hal ini disebabkan karena kedua diplo- mat tersebut ternyata terlibat dalam sindikat kejahatan nar- koba, di mana keduanya adalah salah satu mata rantai penting jaringan peredaran narkoba di kawasan Asia Teng- gara, sehingga dapat mengancam dan membahayakan keama- nan negara-negara Asia Tenggara. Ditinjau dari sudut Konvensi Wina Tahun 1961, keter- libatan kedua diplomat negara adidaya tersebut (AS), dalam kejahatan yang sangat membahayakan tersebut, dapat dikate- gorikan sebagai pelanggaran terhadap kewajibannya sebagai pejabat diplomatik, untuk tidak melakukan pelanggaran ter- hadap peraturan-peraturan hukum negara penerima, sehing- ga sudah sewajarnya apabila mereka di persona non grata- kan. Demikian pula tindakan pengusiran (expulsion) oleh Pemerintah RI terhadap kedua diplomat tadi (diplomat AS), adalah suatu tindakan yang tepat, guna memulihkan dan menunjukkan martabat kita sebagai negara berdaulat. Kedua
86 Prinsip-Prinsip Hukum Internasional
diplomat tersebut setelah di persona non grata-kan serta diusir, harus mempertanggungjawabkan kesalahannya di negaranya sendiri (AS), sebab sesuai peraturan hukum yang berlaku, walaupun seorang pejabat diplomatik dibebaskan dari pelaksanaan yurisdiksi teritorial negara penerima, namun pejabat diplomatik, tidak dibebaskan dari tanggung- jawab hukum (legal liability) di negara pengirim. Setibanya di AS, kedua diplomat tersebut harus mempertanggungjawabkan perbuatannya di depan pengadilan AS. Keduanya dinyatakan bersalah oleh pengadilan AS, dipecat dan dihukum sesuai dengan peraturan hukum AS. Kedua kasus yang dikemukakan tersebut (Kasus diplomat Uni Soviet tahun 1982 dan kasus dua diplomat AS tahun 1994), Pemerintah RI yang menjatuhkan pernyataan persona non grata terhadap diplomat asing sesuai dengan kedudukan Indonesia sebagai negara penerima (receiving state), maka dalam kasus gading gajah di Tanzania, kasus Leo Lopulisa di Filipina dan kasus Nana Sutresna di Inggeris, justru para diplomat Indonesia yang dikenai pernyataan persona non grata oleh masing-masing negara penerima, sementara Indonesia mempunyai posisi sebagai negara pengirim yang berkewajiban untuk meminta pertanggung- jawaban dari diplomatnya yang telah melakukan kesalahan di negara penerima. Dalam kasus gading gajah, seorang pejabat diplomatik Indonesia (bernama Abdul Gani), diketahui sudah sering
Prinsip-Prinsip Hukum Internasional 87
melakukan aksi penyelundupan gading gajah dalam jumlah sangat besar, padahal binatang ini termasuk satwa yang dilindungi oleh Pemerintah Negeri Tanzania, karena fauna seperti ini sudah sangat langka dan dikhawatirkan terancam bahaya kepunahan. Peraturan hukum negeri ini (Tanzania) melarang siapapun untuk menangkap, membunuh, memperjualbelikan, menyimpan, menyelundupkan binatang gajah dan atau bagian- bagiannya. Barang siapa melakukannya diancam dengan pidana penjara selama sekian tahun. Karena pelanggaran atas peraturan hukum negeri tersebut, dilakukan oleh diplomat Indonesia, maka Pemerintah Tanzania mem- persona non grata-kan yang bersangkutan (diplomat RI) serta memerintahkan untuk segera meninggalkan Tanzania dan kembali ke Indonesia. Aparat hukum Tanzania tidak dapat melakukan proses hukum terhadap yang bersangkutan, karena pemerin- tahnya menghormati kekebalan diplomatik dari pejabat diplomatik Indonesia, yang bertugas di negeri tersebut. Namun demikian dia tidak dibebaskan dari tanggungjawab hukum (legal liability) di Indonesia sebagai negara pengirim. Otoritas terkait telah menjatuhkan sanksi administratif dalam bentuk tindakan pemecatan atas diplomat yang telah melakukan kesalahan di Tanzania. Atas peristiwa yang sangat memalukan itu, Pemerin- tah RI telah menyampaikan permintaan maaf kepada Peme-
88 Prinsip-Prinsip Hukum Internasional
rintah Tanzania, sebagai wujud tanggungjawab negara terhadap pelanggaran hukum yang dilakukan diplomat Indonesia ketika bertugas di negara itu (Tanzania). Namun terlepas dari masalah tanggungjawab negara, kasus Gading Gajah juga memperlihatkan prinsip kekebalan diplomatik, yang mengecualikan dan membebaskan pejabat diplomatik dari pelaksanaan yurisdiksi teritorial dari negara penerima. Tentang kasus Duta Besar RI (Leo Lopulisa) yang terjadi pada tahun 1980-an, Pemerintah Filipina di bawah Presiden Marcos melalui Departemen Luar Negerinya, telah menjatuhkan pernyataan persona non grata dan meminta kepada Pemerintah RI, agar menarik kembali Duta Besarnya dari Filipina. Pernyataan persona non grata serta pengusiran atas diplomat Indonesia dilakukan dengan alasan bahwa, ucapan-ucapan yang pernah dilontarkan Duta Besar Indo- nesia dianggap telah mencampuri urusan dalam negeri negara tetangga (Filipina), sehingga dia pernah dipanggil menghadap Menteri Luar Negeri Filipina (Carlos Romulo) pada waktu itu, sebelum di persona non grata-kan dan ditarik kembali ke Indonesia. Pemerintah RI kemudian memanggil pulang dan memberhentikannya sebagai pejabat diplomatik, serta memin- ta maaf kepada Pemerintah Filipina dalam rangka pertang- gungjawaban Pemerintah RI atas terjadinya penyalahgunaan kekebalan diplomatik, di mana kekebalan ini memang membebaskan Leo Lopulisa sebagai Duta besar dari penera-
Prinsip-Prinsip Hukum Internasional 89
pan yurisdiksi territorial Filipina, tetapi tidak membebaskan- nya dari tanggungjawab hukum di Indonesia. Akhirnya kasus kekebalan diplomatik juga pernah dialami Indonesia beberapa tahun lalu, ketika Nana Sutresna yang menjabat Duta besar RI untuk Kerajaan Inggeris. Salah seorang anggota keluarganya, yakni putera dari sang Duta besar RI ini tersangkut kasus narkoba, sehingga puteranya ini terpaksa harus berurusan dengan aparat kepolisian Inggeris, atas dugaan membawa sekian gram heroin yang ditemukan dalam mobil yang dikemudikannya. Pemerintah RI melalui Menteri Luar Negeri kemudian menarik kembali Nana Sutresna dari tugasnya sebagai Kepala Perwakilan Diplomatik atas alasan dan pertimbangan bahwa, masa tugasnya sebagai Duta Besar RI bagi Kerajaan Inggeris telah berakhir. Namun demikian berbagai kalangan bertanya-tanya apakah kembalinya Nana Sutresna dari posnya di negeri Inggeris dengan dasar berakhirnya masa tugasnya, bukan merupakan suatu cara yang sangat diplomatis terkait dengan kemungkinan adanya pembicaraan rahasia antara kedua Pemerintah. Apa sebenarnya yang telah terjadi dan ada apa di balik kembalinya sang Duta Besar RI ini? Ada kemungkinan, Pemerintah Inggeris sebagai negara penerima telah secara diam-diam meminta kepada Pemerintah RI agar memulangkan saja Duta Besarnya atas dasar perbuatan tercela yang melibatkan keluarganya.
90 Prinsip-Prinsip Hukum Internasional
Jawaban atas pertanyaan ini, tidak dapat dilepaskan dari reputasi atau nama besar yang dimiliki oleh Duta Besar Nana Sutresna, yang kebesaran namanya telah diakui baik pada tingkat nasional maupun pada tataran regional dan internasional. Namun demikian, apabila dugaan dan perkiraan oleh berbagai kalangan, mengenai adanya kontak- kontak yang bersifat rahasia di antara kedua negara, yang bertujuan untuk menyelesaikan kasus yang telah menimpa anak dari Duta Besar RI yang diakui melekat padanya prinsip inviolabilitas serta immunitas, maka dugaan dan perkiraan itu mungkin mengandung unsur kebenaran yang dapat dipertanggungjawabkan, sehingga dalam keadaan demikian telah terjadi semacam persona non grata yang bersifat terselubung. Hal ini dilakukan kedua negara, dengan maksud untuk memelihara hubungan baik antara kedua negara, dan sekaligus melindungi nama baik dari seseorang yang begitu besar jasanya bagi bangsa dan negaranya. Apabila dalam hal tindak pidana yang dilakukan seorang pejabat diplomatik dan pejabat ini tetap diakui kekebalannya di negara penerima, maka keadaan ini tentu berbeda dengan ketika pejabat tersebut tersangkut kasus perdata. Pada dasarnya, pejabat diplomatik tetap memiliki kekebalan dari penerapan yurisdiksi territorial ketika tersangkut perkara perdata, tetapi hal ini tidak berlaku secara mutlak. Pejabat diplomatik bisa menjalani proses hukum, dan
Prinsip-Prinsip Hukum Internasional 91
diajukan sebagai tergugat ataupun saksi dalam perkara perdata melalui pengadilan negara setempat. Di samping itu, dalam masalah administratif yang melibatkan pejabat diplomatik, dia (diplomat) dapat saja dikenai semacam sanksi administratif di negara penerima, seperti tersangkut pelanggaran lalu lintas atau pelanggaran ringan lainnya, yang dilakukannya di negara penerima, sehingga sanksi administratif yang dikenakan terhadapnya, seperti misalnya hukuman denda, dapat dijatuhkan terhadapnya (diplomat) karena hukuman seperti ini dapat dikatakan tidak akan mempengaruhi kelancaran dan efektifitas pelaksanaan tugas-tugasnya di negara setempat, yang memang menjadi tujuan dari azas kekebalan diplomatik. Hukuman ringan seperti itu tidak akan mengurangi dan menggerogoti kekebalan diplomatik yang melekat pada dirinya sehingga tidak akan mengganggu pelaksanaan tugas- tugasnya di negara penerima. Seorang pejabat diplomatik dapat dijadikan tergugat dalam suatu perkara perdata, sebagaimana halnya dia dapat bertindak sebagai penggugat di depan pengadilan dari negara penerima, bilamana gugatan itu bertujuan untuk mendapat- kan kembali harta tidak bergerak yang semata-mata bersifat pribadi. Seorang penduduk atau warganegara dari negara penerima, dapat saja menggugat pribadi pejabat diplomatik atas dasar suatu perbuatan yang dikualifikasi sebagai wanprestasi.
92 Prinsip-Prinsip Hukum Internasional
Dalam hal ada perjanjian atau kontrak di antara dua pihak, yaitu antara seseorang dengan seorang diplomat, yang bertindak atas nama pribadinya sendiri, tetapi diplomat ini ternyata tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana diatur dalam kontrak tadi, sehingga merugikan pihak lain, maka pihak yang merasa dirugikan dapat mengajukan gugatan terhadap pribadi diplomat itu. Kelalaian diplomat dalam menjalankan kewajibannya, atau apa yang disebut dengan istilah wanprestasi, dapat digunakan sebagai alasan bagi pihak yang merasa dirugikan untuk menyeret sang diplomat dalam kapasitas pribadinya sebagai tergugat. Dia juga dapat diseret sebagai tergugat, apabila dia melakukan apa yang disebut Perbuatan Melawan Hukum (Onrechmatige Daad). Seorang diplomat dapat mela- kukan suatu perbuatan yang dikualifikasi sebagai perbuatan melawan hukum, apabila perbuatannya membawa kerugian kepada orang lain, baik yang berkaitan dengan masalah keperdataan, masalah profesi, masalah komersial ataupun bisnis. Diplomat yang melakukan perbuatan melawan hukum yang menimbulkan kerugian kepada orang lain, berkewajiban untuk membayar gantirugi atas kerugian akibat perbuatan diplomat yang sifatnya pribadi. Seorang diplomat yang bekerja sebagai pedagang, akuntan, manager perusahaan, peneliti ataupun konsultan hukum untuk kepentingan pribadinya, semata-mata dan samasekali tidak terkait dengan fungsinya
Prinsip-Prinsip Hukum Internasional 93
sebagai pejabat diplomatik, maka dia harus bertanggungjawab secara pribadi, dan tidak dapat berlindung di balik kekeba- lannya sebagai pejabat diplomatik, sebab dalam hal-hal seperti itu, kekebalan tersebut tidak lagi bersifat mutlak. Pihak yang merasa dirugikan akibat perbuatan diplomat yang bersifat melawan hukum, dapat menggugat diri pribadi diplomat itu serta menuntut gantirugi. melalui pengadilan negara penerima atau pengadilan setempat. Pembahasan tersebut di atas menunjukkan bahwa, sebenarnya ada jalan untuk melakukan terobosan terhadap kekebalan diplomatik, dan menyeret pejabat diplomatik yang bersangkutan sebagai tergugat di depan pengadilan negara penerima, dalam hal timbul wanprestasi maupun perbuatan melawan hukum yang dilakukan pejabat diplomatik, dalam kapasitas pribadi serta untuk kepentingan pribadinya semata- mata. Namun demikian, untuk melaksanakan gugatan tersebut secara efisien dan efektif, maka pihak yang merasa dirugikan harus menempuh prosedur tertentu, yaitu mengu- sahakan terlebih dahulu adanya Penghapusan kekebalan atau pembatalan kekebalan (Waiver of Immunity). Pembatalan kekebalan harus dilakukan secara tegas dan tertulis oleh pemerintah negara pengirim, atau Kepala Perwakilan Diplomatiknya. Pihak yang menderita kerugian harus pertama- tama meminta bantuan pada pemerintah negara penerima untuk menyelesaikannya dengan pemerintah negara
94 Prinsip-Prinsip Hukum Internasional
pengirim atau Kepala Perwakilan Diplomatiknya, menyangkut penghapusan kekebalan atas diri pejabat diplomatik itu, atas dasar wanprestasi atau perbuatan melawan hukum yang merugikan warganegara dari negara penerima. Setelah terjadi pembatalan kekebalan, maka proses pemeriksaan gugatan perdata atas diplomat tersebut, dapat diselenggarakan oleh pengadilan setempat. Wakil diplomatik yang telah melakukan wanprestasi, ataupun perbuatan melawan hukum dengan sendirinya, sudah dapat diseret sebagai tergugat di depan pengadilan setempat, atas dasar adanya penegasan soal penghapusan kekebalan itu. Penghapusan Kekebalan (Waiver of Immunity), proses- nya dapat berjalan dengan mudah dan lancar, bilamana sebelum timbulnya kasus gugatan tersebut, sudah ada semacam kontrak atau perjanjian antara pejabat diplomatik dalam kapasitasnya selaku pribadi dengan warga negara setempat, di mana di dalam kontrak itu dapat dicantumkan semacam klausul atau pasal yang mewajibkan pejabat diplomatik tersebut, untuk menanggalkan atau melepaskan kekebalannya dalam hal terjadi pelanggaran kontrak, atau wanprestasi maupun perbuatan melanggar hukum, yang menimbulkan kerugian terhadap warganegara dari negara setempat. Akan tetapi bilamana sudah ada putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde), maka putusan ini tidak langsung dapat dimohon-
Prinsip-Prinsip Hukum Internasional 95
kan eksekusi atau pelaksanaan putusan. Untuk menjalankan eksekusi atau pelaksanaan keputusan terkait dengan pribadi diplomat yang bersangkutan, seperti misalnya dia dihukum untuk membayar gantirugi kepada penggugat, maka untuk melaksanakan keputusan pengadilan tersebut, terlebih dahu- lu harus diupayakan adanya semacam penghapusan kekeba- lan dari eksekusi secara tersendiri (Separate Waiver). Hal ini disebabkan karena penghapusan kekebalan sebelum berlangsungnya proses pemeriksaan gugatan perda- ta, hanya menyangkut penghapusan kekebalan dari proses pemeriksaan atau persidangan di pengadilan, dan samasekali belum menyangkut dan mencakup penghapusan kekebalan dari eksekusi. Oleh sebab itu diperlukan adanya penghapusan kekebalan dari eksekusi secara tersendiri, sehingga pengadi- lan setempat benar-benar dapat menjalankan eksekusi atas putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.
96 Prinsip-Prinsip Hukum Internasional
BAGIAN VI POIN-POIN PENTING TERKAIT DENGAN PRINSIP-PRINSIP HUKUM INTERNASIONAL MENGENAI YURISDIKSI NEGARA
Dengan mencermati pembahasan mengenai yurisdiksi
negara, serta pengecualian terhadap pelaksanaan yurisdiksi teritorial, maka dapat ditarik beberapa poin-poin penting sebagai berikut. Terdapat berbagai macam azas atau prinsip dasar yang melandasi kepentingan suatu negara, dalam mengklaim atau menyatakan kewenangannya atas suatu peristiwa, atau kasus yang di dalamnya tersangkut seseorang atau beberapa orang, benda (benda bergerak dan atau tidak bergerak), baik yang terjadi di dalam wilayahnya sendiri, maupun di luar wilayahnya sehingga hukum internasional mengakui berbagai macam yurisdiksi negara, yang sering berimplikasi atas timbulnya persaingan yurisdiksi di antara negara-negara, karena masing-masing merasa memiliki ke- pentingan atas kasus yang sama. Namun demikian, yang paling menonjol dan signifikan adalah yurisdiksi teritorial, karena selama orang dan atau benda yang dipermasalahkan, tidak berada dalam wilayah kedaulatan suatu negara yang mempunyai kepentingan, maka negara ini tidak dapat dengan mudah dan efektif melakukan tindakan hukum, sesuai dengan peraturan perundang- undangan yang berlaku di negara tersebut, atau dengan kata
Prinsip-Prinsip Hukum Internasional 97
lain, efektivitas pelaksanaan yurisdiksi teritorialnya tidak dapat berjalan sebagaimana mestinya. Sebaliknya, apabila orang dan atau benda yang bersangkutan berada di dalam batas-batas teritorilanya, maka negara yang memiliki kepen- tingan, dapat dengan mudah dan efektif melaksanakan yurisdiksi teritorialnya. Pelaksanaan yurisdiksi teritorial atau penerapan peraturan hukum negara setempat, bukan sesuatu yang bersifat mutlak, sebab dalam hukum internasional dan hukum nasional, diakui apa yang disebut Azas Kekebalan (Immunity Principle), yang mengecualikan lembaga-lembaga, jabatan-jabatan atau benda-benda dengan atribut tertentu dari pelaksanaan yurisdiksi negara setempat. Negara setem- pat, tidak dapat melakukan tindakan hukum terhadap mereka yang memiliki kekebalan, seperti Kekebalan Kedaula- tan (Souvereign Immunity), Kekebalan Diplomatik (Diplomatic Immunity), dan Hak-Hak Istimewa (Privileges) yang dimiliki- nya. Pada prinsipnya, dalam kasus pidana yang melibat- kan mereka yang menikmati kekebalan, kekebalan ini dapat dikatakan berlaku mutlak, sehingga aparat hukum setempat tidak dapat melakukan tindakan hukum apapun terhadap pemegang kekebalan itu, terkecuali ada semacam pengha- pusan kekebalan, yang dilakukan secara tegas oleh Pemerin- tah dari negara asal atau negara pengirim. Kekebalan seperti ini juga berlaku dalam hal timbul kasus perdata, yang meli-
98 Prinsip-Prinsip Hukum Internasional
batkan mereka yang menikmati atau memegang kekebalan tersebut. Berbagai macam kasus menunjukkan dan membukti- kan kekebalan kedaulatan, tidak hanya membebaskan mere- ka yang menikmatinya dari proses pemeriksaaan oleh aparat hukum negara setempat, tetapi juga dari tindakan-tindakan penyitaan dan eksekusi terhadap harta kekayaan yang dimiliki oleh para pemegang kekebalan kedaulatan tersebut. Namun demikian kekebalan dalam kasus perdata, tidak selalu berlaku secara absolut, sebab dalam praktik negara-negara, sudah dibedakan antara perbuatan negara yang dinamakan iure imperii dan iure gestionis. Perbuatan yang dikualifikasi sebagai iure imperii, mewajibkan pengadilan negara setempat untuk mengakui dan menghormati kekebalan tersebut, sehingga pihak pengadilan setempat seharusnya mengesampingkan gugatan perdata oleh siapapun terhadap pemegang kekebalan kedaulatan tersebut. Sebaliknya kalau terbukti perbuatan atau tindakan yang dilakukan oleh suatu negara, dikategorikan sebagai iure gestionis, maka pengadilan setempat tidak terikat untuk mengakui dan menghormati kekebalan tersebut. Pengadilan negara setempat dapat memeriksa dan menyelesaikan kasus gugatan perdata atau gugatan gantirugi, yang diajukan oleh siapapun terhadap mereka yang menikmati kekebalan tersebut.
Prinsip-Prinsip Hukum Internasional 99
Terkait dengan kekebalan diplomatik dalam kasus pidana berat yang melibatkan pejabat diplomatik, maka pada prinsipnya kekebalan ini bersifat mutlak, sehingga aparat setempat tidak dapat melakukan tindakan hukum apapun, terkecuali pemerintah negara pengirim melakukan pembata- lan kekebalan terhadap pejabat diplomatik. Kendati negara pengirim tidak membatalkan kekebalannya, namun pejabat yang terlibat, dapat dinyatakan persona non grata oleh negara penerima, yang kemudian diikuti dengan tindaskan pengusi- ran terhadap diplomat yang bersangkutan. Dalam kasus perdata, di mana pejabat diplomatik melakukan tindakan untuk kepentingan pribadinya, dan tidak terkait dengan pelaksanaan tugasnya sebagai pejabat diplo- matik, maka pada prinsipnya yang bersangkutan tetap memi- liki kekebalan dari pelaksanaan hukum di negara setempat atau negara penerima, terkecuali terjadi penghapusan kekebalan dari proses hukum (waiver of immunity). Pengha- pusan kekebalan seperti ini dapat terjadi, baik sebelum munculnya perkara maupun sesudahnya, sehingga pengadi- lan negara setempat dapat melakukan pemeriksaan tanpa hambatan. Walaupun sudah ada keputusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap, pelaksanaan atau ekse- kusinya masih memerlukan penghapusan kekebalan dari eksekusi secara tersendiri (separate waiver).
100 Prinsip-Prinsip Hukum Internasional
BAGIAN VII PENGATURAN HUKUM INTERNASIONAL MENGENAI TANGGUNGJAWAB NEGARA
Yurisdiksi negara, dengan berbagai macam variasi
atau bentuknya, bisa diklaim oleh suatu negara sesuai kepentingannya. Sebagaimana telah dikemukakan sebelum- nya, yurisdiksi ini bersumber baik dari adanya kedaulatan, maupun hak-hak berdaulat dan hak-hak lain yang ditentukan dalam hukum internasional, sehingga pengertian yurisdiksi negara, jauh lebih luas daripada pengertian kedaulatan itu sendiri, walaupun dari aspek tertentu yurisdiksi negara, dalam hal ini Yurisdiksi Teritorial (Territorial Jurusdiction), adalah merupakan konsekuensi logis dari azas kedaulatan negara. Namun demikian, di balik yurisdiksi negara, terdapat pula azas Tanggungjawab Negara (State Responsibility), bahkan dapat dikatakan penerapan atau pelaksanaan dari yurisdiksi negara, tidak jarang dan bahkan sering menimbul- kan pertanggungjawaban negara (state responsibility). J.G.Starke dalam bukunya “Introduction to International Law”, demikian juga Malcolm N. Shaw dalam bukunya “International Law” menguraikan secara saksama pengertian tanggungjawab negara yang pada prinsipnya dapat dikemukakan sebagai berikut.
Prinsip-Prinsip Hukum Internasional 10
1 Tanggungjawab Negara (State Responsibility) adalah suatu azas hukum internasional yang bersifat fundamental, yang timbul dari hakekat sistem hukum internasional dan doktrin kedaulatan negara (State Souvereignty), serta Persa- maan Negara-Negara (Equality of States). Pertanggungjawaban negara menunjukkan pengertian bahwa, bilamana suatu negara melakukan suatu perbuatan yang salah secara internasional (internationally wrongful act or internationally unlawful act) terhadap negara lain, maka di antara kedua negara tersebut tidak dapat dihindari adanya tanggungjawab internasional. Jika suatu negara dengan perbuatan atau kelalaian- nya, melakukan pelanggaran atas kewajiban internasional, atau kewajiban yang ditentukan dalam hukum internasional, maka negara tersebut harus memikul dan dibebani dengan tanggungjawab internasional. Jika pelanggaran itu membawa kerugian terhadap negara lain, maka negara yang melakukan pelanggaran itu, harus bertanggungjawab untuk membayar gantirugi atas kerugian yang timbul, ataupun meminta maaf kepada negara yang dirugikan. Sebaliknya negara yang menderita kerugian akibat pelanggaran atas kewajiban internasional itu, mempunyai hak untuk menuntut pertang- gungjawaban, maupun gantirugi dari negara yang melakukan pelanggaran tersebut. Menurut Malcolm N. Shaw, tanggungjawab negara memiliki ciri-ciri atau unsur-unsur pokok sebagai berikut.
102 Prinsip-Prinsip Hukum Internasional
Pertama-tama, di antara dua negara harus terdapat suatu kewajiban yang ditentukan di dalam hukum internasional. Kedua, harus ada suatu tindakan atau kelalaian dari suatu negara, yang merupakan dan dapat dikualifikasi sebagai pelanggaran kewajiban internasional, serta pelanggaran yang terjadi ini, dapat dihubungkan dengan negara yang bersang- kutan. Ketiga, tindakan atau kelalaian yang dikualifikasi sebagai pelanggaran kewajiban internasional itu, menim- bulkan kerusakan atau kerugian terhadap negara lainnya. Konsep mengenai tanggungjawab negara akibat pelanggaran kewajiban internasional, serta kewajiban negara yang bersangkutan untuk membayar gantirugi atas kerugian yang diderita oleh negara lain, dapat ditemukan melalui yuris- prudensi internasional, maupun rancangan kodifikasi Den Haag mengenai tanggungjawab negara, sebagaimana pernah dirumuskan oleh sebuah komisi yang dibentuk pada zaman Liga Bangsa-Bangsa (The International Law Commission’s Draft Articles on State Responsibility). Mahkamah Internasional Permanen (Permanent Court of International Justice atau disingkat PCIJ) dalam kasus the Chorzow Factory (the Chorzow Factory Case) menyatakan bahwa “adalah prinsip hukum internasional, dan bahkan sudah menjadi azas hukum umum, bahwa setiap pelanggaran atas suatu perjanjian menimbulkan kewajiban untuk menga- dakan perbaikan, dalam pengertian kewajiban untuk memba- yar gantirugi”.
Prinsip-Prinsip Hukum Internasional 10
3 Dengan demikian apabila suatu negara melakukan pelanggaran terhadap kewajiban yang ditentukan dalam suatu perjanjian internasional dan pelanggaran ini membawa kerugian terhadap negara lain, maka negara yang bersang- kutan harus bertanggungjawab dan membayar gantirugi atas kerugian yang diderita oleh negara lain. Artikel (Pasal) 1 dari The Draft Articles on State Res- ponsibility (ILC Draft), menegaskan kembali apa yang dinyata- kan oleh Mahkamah Internasional Permanen dalam kasus tersebut di atas, dengan menyebutkan bahwa setiap perbu- atan yang salah secara internasional yang dilakukan oleh suatu negara, menghendaki dan menuntut adanya pertang- gungjawaban. Selanjutnya di dalam artikel 2 dari ILC Draft (Draft Articles) dinyatakan bahwa, dalam hal suatu negara telah melakukan perbuatan yang salah secara internasional, maka secara internasional negara tersebut harus bertang- gungjawab. Artikel 3 dari The Draft Articles menyatakan bahwa, suatu perbuatan yang dilakukan oleh suatu negara, dinama- kan perbuatan yang salah secara internasional (internationally wrongful act), apabila perbuatan tadi memenuhi dua unsur atau dua syarat yaitu: Pertama, perbuatan yang dilakukan entah berupa tindakan (action), ataukah kelalaian (omission), dapat dikaitkan dengan negara yang bersangkutan berdasar- kan hukum internasional. Kedua, perbuatan tersebut meru- pakan suatu pelanggaran terhadap kewajiban internasional.
104 Prinsip-Prinsip Hukum Internasional
Dalam hubungannya dengan “internationally wrongful act”, maka perlu dibedakan antara “international crimes” dengan “international delicts”. Artikel 19 dari The Draft Articles menyatakan bahwa, semua pelanggaran atas kewajiban inter- nasional, adalah perbuatan yang salah secara internasional (internationally wrongful act). Suatu perbuatan yang salah secara internasional (internationally wrongful act), yang terjadi karena adanya pelanggaran kewajiban internasional, padahal kewajiban internasional ini adalah demikian esensialnya untuk melindungi kepentingan fundamental dari masyarakat internasional, maka masyarakat internasional secara keselu- ruhan, dapat menganggap pelanggaran tersebut sebagai suatu kejahatan internasional (international crime). Dengan kata lain “internationally wrongful act” dapat dikualifikasi sebagai “international crime”, apabila suatu negara melakukan pelanggaran atas suatu kewajiban interna- sional, yang sedemikian esensial dalam melindungi kepenti- ngan mendasar dari seluruh masyarakat internasional. Sedangkan “internationally wrongful act” lainnya yang tidak termasuk di dalam “international crime” dinamakan delik internasional (international delict). Sebagai contoh yang dapat dikemukakan mengenai “internationally wrongful act” yang dapat dikualifikasi sebagai “international crime” adalah tindakan agresi, menciptakan dan memelihara wilayah kolonial dengan cara kekerasan, kejaha- tan genosida, pencemaran berat di atmosfer ataupun di laut.
Prinsip-Prinsip Hukum Internasional 10
5 Permasalahan mengenai apakah suatu negara dapat dipertanggungjawabkan dari sudut hukum pidana atau hukum kriminal adalah sesuatu yang sangat kontroversial. Ditinjau dari sudut hukum internasional tradisional, yang melihat hukum internasional hanya sebagai hukum antar- negara semata-mata, permasalahan ini pernah dibahas oleh seorang ahli hukum yaitu Ian Brownlie. Menurutnya konsep pemikiran mengenai tanggung- jawab negara dari segi kriminal tidak memiliki nilai yuridis, dan pada dasarnya tidak dapat dibenarkan atau dipertang- gungjawabkan. Kendati konsep tersebut dapat digunakan dalam bidang politik dan moral, namun penggunaan dan penerapan konsep tersebut dalam bidang hukum sia-sia saja, sebab tanggungjawab negara pada dasarnya hanya dibatasi pada tanggungjawab dan kewajiban untuk membayar gantirugi. Walaupun ada kemungkinan untuk menentukan semacam sanksi pidana terhadap suatu negara, yang diang- gap melakukan pelanggaran internasional, namun hal ini dapat menciptakan semacam ketidakstabilan (instability) da- lam hubungan antarnegara (Ian Brownlie, 1979:111). Akan tetapi, ada juga beberapa ahli yang mempunyai pendapat lain dengan menyatakan bahwa, terutama sejak tahun 1945 telah terjadi perubahan sikap dari negara-negara atas kejahatan- kejahatan tertentu, dan perubahan sikap ini adalah sede- mikian rupa, sehingga berbagai jenis kejahatan yang terjadi
106 Prinsip-Prinsip Hukum Internasional
selama Perang Dunia II, telah menciptakan permasalahan dari segi hukum internasional. Perubahan sikap negara-negara, atas berbagai jenis kejahatan itu sejalan dengan terjadinya perubahan-peruba- han terutama sejak tahun 1945, di mana perubahan-peruba- han ini adalah sebagai berikut: Pertama, perkembangan konsep jus cogens yang merupakan prinsip-prinsip atau kaidah-kaidah dasar hukum internasional umum (the peremptory norm of the general international law), yang harus dipatuhi oleh negara-negara, sehingga tidak boleh dilakukan penyimpangan dari kaidah-kaidah dasar tersebut. Kedua, timbulnya pembebanan tanggungjawab pida- na, yang secara langsung dibebankan atas individu-individu. Berdasarkan hukum internasional, individu-individu yang terlibat dalam kejahatan-kejahatan tertentu, seperti kejahatan perang, kejahatan terhadap perdamaian dunia, dan kejahatan kemanusiaan dibebani secara langsung dengan tanggung- jawab kriminal atau tanggungjawab pidana. Perjanjian London (The London Agreement) tahun 1942, mengenai pembentukan pengadilan internasional di Nuremberg (The Nuremberg Tribunal) dan di Tokyo (The Tokyo Tribunal), maupun perjanjian yang disebut Konvensi Genosida “The Genocide Convention” tahun 1948, menjadi bukti terkait adanya pembebanan secara langsung tanggungjawab pidana, atas diri individu yang tersangkut dalam kejahatan-kejahatan tersebut, sehingga siapapun yang terbukti terlibat (pejabat
Prinsip-Prinsip Hukum Internasional 10
7 negara, pejabat militer, dan lain sebagainya) tidak dapat berlindung di belakang tanggungjawab dari negaranya sendiri. Ketiga, terbentuknya Piagam PBB (United Nations Charte), di mana negara yang terbukti melakukan tindakan- tindakan yang mengancam dan membahayakan perdamaian dunia, ataupun melakukan tindakan agresi, dapat dikenai dan dijatuhi sanksi oleh Dewan Keamanan PBB (United Nations Security Council). Berdasarkan Piagam PBB, Dewan Keamanan dapat melakukan tindakan Penegakan Hukum (Law Enforcement), dengan menjatuhkan sanksi hukum terhadap negara yang terbukti melakukan tindakan, yang mengancam dan membahayakan misi atau tujuan organisasi, ataupun terbukti menciptakan situasi yang dapat membaha- yakan perdamaian dan keamanan internasional. Timbulnya persoalan tanggungjawab negara, tentu saja didasarkan atas adanya suatu pelanggaran internasional, atau pelanggaran kewajiban internasional. Pelanggaran ini, bukan hanya pelanggaran atas kewajiban yang ditentukan di dalam suatu perjanjian internasional, sebagaimana digambar- kan dalam perkara antara Jerman dan Polandia (The Chorzow Factory Case), melainkan juga pelanggaran atas kewajiban internasional lainnya, termasuk kewajiban yang didasarkan atas kaidah-kaidah hukum internasional yang bersifat umum, sebagaimana ternyata dapat dilihat melalui kasus atau perkara antara Inggeris dan Albania (The Corfu Channel Case).
108 Prinsip-Prinsip Hukum Internasional
Selat Corfu adalah suatu selat internasional, atau laut wilayah yang sebenarnya dimiliki oleh beberapa negara termasuk Albania, tetapi selat ini juga mempunyai fungsi sebagai selat internasional. Di Selat Corfu, bertaburan ranjau- ranjau yang menurut dugaan Inggeris, pemasangan ranjau tersebut dilakukan oleh Pemerintah Albania tanpa pemberi- tahuan. Akibat adanya pemasangan ranjau di perairan selat itu, maka kapal perang Inggeris ada yang rusak dan teng- gelam, serta beberapa awaknya tewas atau hilang. Peristiwa ini kemudian dilaporkan dan diadukan oleh Inggeris kepada Dewan Keamanan PBB, tetapi Dewan Keama- nan PBB menyarankan agar kedua belah pihak menyerahkan persengketaan itu kepada Mahkamah Internasional. Mahka- mah dalam pertimbangannya antara lain mengatakan bahwa, negara pantai berkewajiban untuk menjaga keamanan jalur laut teritorialnya, dan apabila hal ini tidak dilaksanakan, dapat dianggap sebagai pelanggaran internasional, dan pada akhirnya dapat menimbulkan pertanggungjawaban. Demikian dalam perkara ini pihak Albania dinyatakan bersalah, yaitu tidak melaksanakan kewajibannya sebagai negara pantai, dalam menjamin keamanan berlayar di Selat Corfu serta harus membayar gantirugi kepada Inggeris. Walaupun pada umumnya, tanggungjawab negara didasarkan atas adanya kesalahan dari negara yang bersang- kutan (wrongful act atau unlawful act), namun dalam keadaan tertentu, suatu negara dapat saja memikul pertanggung-
Prinsip-Prinsip Hukum Internasional 10
9 jawaban, karena kendati tindakan yang dilakukannya adalah sah, namun menimbulkan kerugian terhadap negara lain. Adanya tanggungjawab seperti ini, adakalanya didasarkan atas apa yang disebut azas yang melarang dilakukannya penyalahgunaan hak (abuse of rights). Masalah doktrin “abuse of rights” untuk pertama kalinya muncul di dalam pertemuan dari “The Advisory Committee of Jurists” yang ditugaskan untuk membuat ranca- ngan Statuta Mahkamah Internasional. Ketika mereka mem- bahas ketentuan Pasal 38 Statuta Mahkamah Internasional soal sumber-sumber hukum internasional, salah seorang ang- gota Komite tersebut asal Italia, menyebut azas larangan penyalahgunaan hak, sebagai salah satu di antara azas-azas hukum umum yang diakui oleh bangsa-bangsa beradab, sehingga dapat dipakai oleh Mahkamah dalam memeriksa dan memutuskan setiap sengketa yang diajukan. Kemudian para ahli merekomendasikan, agar prinsip larangan penyalahgunaan hak (abuse of rights), diterapkan secara progressif sebagai salah satu azas hukum umum yang dinyatakan dalam Pasal 38 Statuta Mahkamah Internasional. Prinsip tersebut tentu saja penting, dikaitkan dengan perkem- bangan hukum internasional, terutama dalam hubungan dengan prinsip-prinsip hukum yang mengatur soal tanggung- jawab negara. Mengenai tanggungjawab negara atas pelanggaran kewajiban internasional, atau perbuatan yang salah secara
110 Prinsip-Prinsip Hukum Internasional
internasional (internationally wrongful act atau internationally unlawful act), baik perbuatan yang dilakukan dengan kesengajaan atau kelalaian, maka persoalannya adalah, apakah tanggungjawab negara bersifat mutlak atau terlebih dahulu harus dibuktikan adanya kesalahan dari pejabat negara yang melakukannya. Dengan rumusan lain, dalam hal timbul pelanggaran internasional, apakah negara yang ber- sangkutan mempunyai tanggungjawab mutlak, ataukah tang- gungjawabnya harus didasarkan atas pembuktian terlebih dahulu, mengenai adanya kesalahan dari negara yang ber- sangkutan? Pertanyaan ini dapat dijawab, dengan memperguna- kan dua macam pendekatan atau dua macam prinsip, yakni prinsip Tanggungjawab Obyektif (the Objective Responsibility) atau Teori Resiko (the Risk Theory atau the Risk Liability Principle), serta prinsip Tanggungjawab Subyektif (the Subjec- tive Responsibility) atau Teori Kesalahan (the Fault Theory atau the Fault Liability Principle). Berdasarkan prinsip tanggungjawab obyektif, maka tanggungjawab negara adalah sesuatu yang bersifat mutlak (strict). Hal ini berarti bahwa, apabila terjadi perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh pejabat negara, serta menimbulkan kerugian terhadap negara lain, maka menurut hukum internasional, negara itu harus bertanggungjawab kepada negara yang mengalami kerugian, tanpa memperha-
Prinsip-Prinsip Hukum Internasional 11
1 tikan apakah itikadnya baik atau buruk, atau tanpa memperhatikan apakah negara tersebut bersalah atau tidak. Sedangkan berdasarkan prinsip tanggungjawab sub- yektif, maka negara yang bersangkutan, hanya bertanggung- jawab atas kerugian yang timbul, apabila dapat dibuktikan terlebih dahulu adanya kesalahan dari negara yang bersang- kutan. Secara lebih tegas kita dapat mengatakan bahwa, ber- dasarkan prinsip tanggungjawab obyektif, atau disebut juga Prinsip Tanggungjawab Mutlak (Strict Liability Principle), maka negara yang melakukan pelanggaran, dan menimbulkan kerugian terhadap negara lain, harus bertanggungjawab seca- ra mutlak atas kerugian tersebut. Negara yang menderita kerugian, tidak perlu mem- buktikan adanya kesalahan dari negara yang telah melakukan pelanggaran. Selanjutnya berdasarkan prinsip tanggungjawab subyektif, atau prinsip tanggungjawab atas dasar kesalahan (fault liability atau liability based on fault), maka negara yang menderita kerugian, berkewajiban untuk membuktikan ada- nya kesalahan, dari negara yang telah melakukan pelang- garan yang mengakibatkan timbulnya kerugian. Dengan demikian, prinsip tanggungjawab mutlak, membebaskan negara yang menderita kerugian dari kewaji- ban untuk membuktikan, apakah negara yang menimbulkan kerugian itu bersalah atau tidak bersalah, sebab berdasarkan prinsip tanggungjawab mutlak, begitu terjadi kerugian akibat pelanggaran internasional, mewajibkan negara yang melaku-
112 Prinsip-Prinsip Hukum Internasional
kan pelanggaran serta menimbulkan kerugian itu, untuk bertanggungjawab serta membayar gantirugi kepada negara yang menderita kerugian. Selanjutnya prinsip tanggungjawab yang didasarkan atas kesalahan, membebankan kewajiban bagi negara yang menderita kerugian, untuk membuktikan adanya kesalahan dari negara yang melakukan pelanggaran, serta menimbulkan kerugian (Mieke Komar Kantaatmadja, 1980:45). Prinsip tanggungjawab mana yang dianut oleh negara- negara pada umumnya, apakah prinsip tanggungjawab yang dinamakan strict liability ataukah liability based on fault ?. Walaupun ada kecenderungan untuk menganut pendekatan strict liability, namun berbagai kasus yang pernah terjadi, menunjukkan tidak satupun prinsip pertanggung jawaban yang dikemukakan di atas dapat berlaku secara mutlak dan terus menerus. Misalnya dalam kasus yang disebut “the Caire Claim” antara Perancis dan Meksiko, di mana seorang warga- negara Perancis, ditembak oleh tentara-tentara Meksiko, kare- na dia menolak memberikan sejumlah uang (lima ribu dollar Meksiko) kepada tentara-tentara Meksiko. Kedua negara bersepakat, membentuk sebuah komisi untuk memeriksa dan memutuskan kasus tersebut (the French Mexican Claims Commission). Ketua Komisi berpen- dapat bahwa, Meksiko harus bertanggungjawab atas kerugian yang dialami pihak Perancis, sesuai dengan prinsip tanggung- jawab mutlak (strict liability). Meksiko harus bertanggung-
Prinsip-Prinsip Hukum Internasional 11
3 jawab, atas tindakan yang dilakukan oleh para pejabat atau organ negara, dimana tindakan ini, dapat beralih menjadi tindakan dari negara Meksiko, yang harus bertanggungjawab kendatipun mereka tidak bersalah. Kasus terkenal yang menerapkan pendekatan atau prinsip tanggungjawab subyektif (fault liability atau liability based on fault), adalah kasus yang dinamakan “the Home Missionary Society Claim”, yang melibatkan Inggeris dan Perancis pada tahun 1920. Dalam kasus ini, penerapan pajak pemondokan (hut-tax) di dalam wilayah protektorat Inggeris di Sierra Leone, mengakibatkan meletusnya pemberontakan di wilayah itu. Peristiwa itu, menimbulkan kerugian atas harta benda milik komunitas misionaris, serta tewasnya para misionaris di Sierra Leone. AS yang mewakili kepentingan para misionaris, menuntut pertanggungjawaban Inggeris atas timbulnya pemberontakan di wilayah tersebut. Namun demikian Mahkamah Internasional menolak tuntutan AS, yang mewa- kili komunitas misionaris dengan menyatakan bahwa, menu- rut hukum internasional, Pemerintah tidak dapat dituntut pertanggungjawabannya atas tindakan yang dilakukan oleh para pemberontak (the acts of rebels), karena pemerintah tidak bersalah, baik dari segi itikad baik, maupun dari segi kelalaian dalam menumpas pemberontakan. Pemerintah Inggeris, tidak dapat dipertanggung- jawabkan atas timbulnya kerugian akibat pemberontakan,
114 Prinsip-Prinsip Hukum Internasional
karena terjadinya pemberontakan di wilayah protektoratnya, bukan merupakan suatu kesengajaan, dan Pemerintah Inggeris tidak lalai dalam menumpas pemberontakan terse- but. Dalam kasus “the Corfu Channel Case”, Mahkamah Internasional agaknya cenderung menggunakan prinsip tanggungjawab yang didasarkan atas kesalahan (fault liability). Hal ini dapat dilihat dari pertimbangan Mahkamah Internasional yang antara lain menyatakan bahwa, walaupun negara pantai berkewajiban untuk menjalankan pengawasan atas wilayah dan perairannya, namun menurut Mahkamah Internasional tidak dapat disimpulkan bahwa, negara pantai yang bersangkutan, harus mengetahui setiap perbuatan yang bertentangan dengan hukum yang terjadi di wilayah itu. Demikian juga, tidak dapat disimpulkan bahwa negara tersebut harus mengetahui pelaku atas perbuatan tersebut. Kenyataan bahwa, negara pantai menjalankan pengawasan, atas wilayah dan perairannya tidak pertama- tama berarti bahwa, negara tersebut bertanggungjawab, tetapi juga tidak mengubah beban pembuktian. Hal ini berarti bahwa negara pantai hanya bertanggungjawab apabila negara korban dapat membuktikan kesalahan dari negara pantai yang bersangkutan. Kasus terkenal yang mengadopsi prinsip tanggung- jawab yang didasarkan atas kesalahan (fault liability principle), adalah “the Home Missionary Society Claim”. Perkara yang
Prinsip-Prinsip Hukum Internasional 11
5 terjadi pada tahun 1920 melibatkan Inggeris dan AS. Perkara ini terjadi ketika Inggeris menerapkan aturan mengenai pajak pemondokan (hut-tax), di wilayah protektorat Inggeris (Sierra Leone), sehingga mengakibatkan terjadinya pemberontakan di wilayah tersebut. Pemberontakan ini membawa kerugian terhadap harta benda milik komunitas misionaris, serta terutama tewasnya para misionaris yang sedang menjalankan tugas di negeri Sierra Leone. Komunitas misionaris diwakili oleh Pemerintah AS. Atas nama keluarga korban, AS menuntut tanggungjawab dari Pemerintah Inggeris atas kelalaiannya, dalam memberi perlin- dungan bagi warganegara asing, yang menimbulkan kerugian harta benda maupun korban jiwa ketika terjadi pemberon- takan. Atas pelanggaran serta kerugian ini, Pemerintah AS juga menuntut gantirugi. Namun Mahkamah Internasional (PCIJ) menolak tuntutan tersebut, dengan menyatakan bahwa menurut hukum internasional, pemerintah tidak dapat diper- tanggungjawabkan atas tindakan para pemberontak (the acts of rebels). Pemerintah (dalam hal ini Pemerintah Inggeris) tidak bersalah baik dari segi itikad baik, maupun dari segi kelalaian dalam menumpas pemberontakan. Pemerintah Inggeris tidak lalai dalam melindungi kaum misionaris khususnya ketika terjadi pemberontakan di wilayah protektoratnya.
116 Prinsip-Prinsip Hukum Internasional
BAGIAN VIII DOKTRIN IMPUTABILITAS
Sebagai suatu kesatuan atau lembaga yang sifatnya
abstrak, maka bagaimanapun negara tidak dapat dan tidak mungkin bertindak sendiri, tetapi tindakannya harus melalui wakil, badan, organ atau pejabatnya. Perbuatan yang dilaku- kan oleh organ atau pejabat negara, dapat saja dikaitkan dengan negara, sehingga negara yang bersangkutan bertang- gungjawab atas perbuatan tersebut. Inilah yang disebut Doktrin Imputabilitas (the Doctrine of Imputability), yaitu doktrin yang menyatakan bahwa perbuatan (baik berupa tindakan atau action ataupun kelalaian atau omission) dari organ negara, atau pejabat negara dipersamakan dengan perbuatan dari negara itu sendiri, dan dengan demikian, negara tersebut harus bertanggungjawab atas kerugian yang timbul akibat perbuatan tersebut. Menurut Starke, agar supaya negara bertanggung- jawab atas perbuatan yang dilakukan oleh organ negara atau pejabatnya, maka dua syarat harus dipenuhi. Pertama, Perbuatan dari organ atau pejabat negara menimbulkan apa yang dinamakan pelanggaran internasional, atau pelanggaran kewajiban internasional. Kedua, pelanggaran tersebut, dapat dihubungkan dengan negara yang bersangkutan berdasarkan kaidah hukum internasional.
Prinsip-Prinsip Hukum Internasional 11
7 Artikel 5 dari ILC Draft (ILC Draft on State Responsi- bility) menegaskan bahwa, perbuatan dari setiap organ nega- ra, yang memiliki status sebagai organ negara berdasarkan hukum nasional, harus dianggap sebagai perbuatan dari negara (Act of State) menurut hukum internasional, asal saja organ negara itu melakukan perbuatan sesuai dengan kappa- sitas atau kewenangannya dalam masalah tersebut. Kemudian artikel 7 dari ILC Draft menyatakan bahwa, perbuatan organ negara dari kesatuan pemerintahan teritorial di dalam suatu negara, harus juga dipersamakan dengan per- buatan negara (Act of State) berdasarkan hukum interna- sional, apabila organ dari pemerintahan teritorial itu, bertin- dak sesuai dengan kewenangannya, dalam masalah yang bersangkutan. Komisi Hukum Internasional dalam laporannya tahun 1974 menyatakan azas bahwa, negara bertanggungjawab atas tindakan dan kelalaian dari organ-organ pemerintah teritorial, seperti kota (municipalities), propinsi (provinces) dan wilayah (regions) sudah lama diakui secara tegas dalam putusan- putusan pengadilan internasional, maupun praktik negara- negara. Bagaimana dengan Negara Federal atau negara yang terdiri dari negara-negara bagian, demikian pula dengan negara yang memiliki wilayah protektorat? Negara bagian atau negara anggota dalam suatu nega- ra federal, sering juga melakukan perbuatan yang menyebab- kan kerugian terhadap negara lain, sehingga menimbulkan
118 Prinsip-Prinsip Hukum Internasional
pertanyaan siapa yang bertanggungjawab, apakah negara federal ataukah negara bagiannya, negara yang memiliki daerah protektorat (protecting state) ataukah negara anggota- nya. Prinsip yang diterima adalah bahwa, the Federal State serta the Protecting State harus bertanggungjawab atas perbuatan yang masing-masing dilakukan oleh negara bagian, atau negara anggota dari the Federal State maupun oleh negara anggota (member state atau protected state) dari the Protecting State. Hal ini disebabkan, karena menyangkut urusan-urusan luar negeri (foreign affairs), baik the Federal State maupun the Protecting State itu sendiri, yang diakui mempunyai kapasitas atau kemampuan untuk mengadakan hubungan dengan negara-negara lain. Tindakan yang dilakukan oleh organ atau pejabat dari negara bagian dalam negara federal, ataupun yang dilakukan oleh organ atau pejabat dari negara federal itu sendiri, dipersamakan dengan tindakan dari negara federal itu sendiri, demikian pula yang menyangkut tindakan dari organ atau pejabat dari negara anggota, dari the Protecting State serta tindakan dari organ atau pejabat dari the Protecting State itu dipersamakan dengan tindakan dari the Protecting State. Dengan demikian, negara bertanggungjawab atas tindakan yang dilakukan oleh organ atau pejabat negara, maupun organ atau pejabat dari pemerintah territorial, tetapi sejauhmana negara tersebut harus memikul tanggungjawab
Prinsip-Prinsip Hukum Internasional 11
9 seperti itu, ditentukan oleh dua hal. Pertama, apakah organ atau pejabat dari negara ataupun dari pemerintah territorial, yang melakukan perbuatan yang dikualifikasi sebagai pelang- garan internasional, sungguh-sungguh memiliki kewenangan sebagaimana diatur dalam hukum nasionalnya. Kedua, jika ternyata organ atau pejabat negara yang bersangkutan mempunyai kewenangan, maka pelanggaran yang dilakukannya, jelas dapat dikaitkan dengan negara itu, sehingga negara yang bersangkutan harus bertanggungjawab secara internasional. Bagaimana dengan organ atau pejabat negara yang melakukan tindakan yang sudah melampaui kewenangannya berdasarkan hukum nasional? Meskipun tindakan dari organ atau pejabat negara telah melampaui kewenangannya di dalam hukum nasional, namun hukum internasional menghubungkan (attribute) tindakan atau pelanggaran itu dengan negara yang bersang- kutan. Demikian dalam kasus Youmans (Youmans Case), seorang perwira dengan pangkat letnan dalam Angkatan Bersenjata Meksiko, yang mendapat perintah dari atasannya di sebuah kota untuk mengerahkan pasukannya, dalam usaha mengatasi huru-hara serta menghentikan serangan atas warganegara Amerika. Ketika tiba di lokasi huru-hara, pasukannya seharus- nya membubarkan massa, tetapi ternyata menembaki rumah tempat pelarian orang Amerika sehingga salah seorang di antaranya tewas. Dua orang Amerika lainnya dipaksa untuk
120 Prinsip-Prinsip Hukum Internasional
meninggalkan rumah tersebut, dan kemudian mereka dibu- nuh oleh pasukan Pemerintah dan massa. Penembakan tersebut menunjukkan bahwa, pasukan itu tidak mematuhi perintah atasannya. Atas persetujuan AS dan Meksiko, lalu dibentuk sebuah komisi guna menyelidiki kasus penembakan serta siapa yang bertanggung jawab. Komisi tersebut memutuskan bahwa, Pemerintah Meksiko bertanggungjawab atas kesala- han yang dilakukan oleh pasukan Meksiko yang dipimpin oleh Youmans, meskipun tindakan mereka sudah melampaui wewenang yang telah ditentukan. Prinsip-prinsip hukum mengenai dikaitkannya tinda- kan dari organ atau pejabat negara, dengan negara itu sendiri sehingga negara harus bertanggungjawab, karena tindakan mereka dipersamakan dengan tindakan negara (Act of State), ditegaskan kembali dalam artikel 10 dari The Draft Articles yang menyatakan bahwa, tindakan dari organ negara, kesa- tuan pemerintah teritorial atau kesatuan yang diberi wewe- nang untuk menjalankan unsur-unsur kekuasaan pemerin- tah, dimana organ tersebut bertindak sesuai dengan kapasitas atau kewenangannya, harus dianggap sebagai tindakan negara (Act of State) berdasarkan hukum internasional, meski- pun dalam hal-hal tertentu, organ tersebut bertindak melam- paui kewenangannya menurut hukum nasional, atau melang- gar instruksi-instruksi menyangkut tugas dan kegiatannya.
Prinsip-Prinsip Hukum Internasional 12
1 Hal ini ditegaskan kembali melalui laporan yang dibuat Komisi Hukum Internasional (the International Law Commission) pada tahun 1974 sebagaimana telah dikemuka- kan sebelumnya. Tindakan seseorang atau sekelompok orang, yang tidak bertindak atas nama negara, tidak boleh dianggap sebagai “Act of State”. Apabila suatu perbuatan melawan hukum dilakukan oleh warganegara biasa, dan bukan oleh organ atau pejabat negara, maka tidak ada alasan untuk mengkaitkan perbuatannya itu dengan negaranya, karena doktrin imputabilitas didasarkan atas asumsi bahwa, pelang- garan itu dilakukan oleh pejabat negara. Namun demikian, negara tersebut dapat saja memikul tanggungjawab, apabila negara itu lalai melakukan pengawa- san guna mencegah timbulnya perbuatan orang itu. Dalam beberapa kasus yang sudah pernah diputuskan, negara dapat bertanggungjawab didasarkan atas keadaan-keadaan yang menunjukkan adanya kelalaian atasan (superior officers). Hal ini dapat dilihat melalui kasus yang disebut “the Zafiro Case”, sebuah kasus yang pernah terjadi antara Inggeris dan AS pada tahun 1929. AS dianggap bertanggungjawab atas peristiwa peram- pokan atau perampasan, yang dilakukan oleh awak kapal dagang yang ditugaskan sebagai kapal perbekalan oleh pihak Angkatan Laut AS. Kapal dagang itu berada di bawah perintah dari kapten kapal dagang, yang selanjutnya berada di bawah perintah dari pejabat Angkatan laut AS. Mahkamah menekan-
122 Prinsip-Prinsip Hukum Internasional
kan adanya kegagalan (pihak AS atau Angkatan Laut AS) untuk menjalankan pengawasan yang sewajarnya dalam situasi itu, yaitu pengawasan yang seharusnya dijalankan dalam keadaan tertentu, bukan pengawasan aktual. Pengadilan memutuskan bahwa, AS bertanggung- jawab atas kerugian yang ditimbulkan oleh perbuatan awak kapal tersebut, karena para pejabat Angkatan Laut AS terbuk- ti tidak mengambil tindakan efektif, guna mencegah terjadinya kerugian akibat peristiwa perampokan yang dilakukan oleh awak kapal dagang AS terhadap warga Inggeris. Dengan demikian dari kasus “the Zafiro Case”, terlihat bahwa, tindakan seseorang dapat dikaitkan dengan negara, atau di- persamakan dengan tindakan negara, apabila pejabat negara gagal dalam melakukan pengawasan atas tindakan orang itu. Oleh karena itu, dalam artikel 8 dari the Draft Articles menegaskan bahwa, tindakan seseorang atau sekelompok orang, harus dianggap sebagai “Act of State” apabila pertama, seseorang atau sekelompok orang itu terbukti, atau ternyata bertindak atas nama negara yang bersangkutan. Kedua, apabila orang atau kelompok orang itu, dalam kenyataannya menjalankan unsur-unsur kekuasaan negara, atau unsur- unsur kekuasaan pemerintah, sejauh tidak ada pejabat pe- merintah yang melaksanakan tugas dan kegiatan seperti itu, ataupun sejauh terdapat keadaan-keadaan yang dapat mem- benarkan dijalankannya unsur-unsur kekuasaan tersebut.
Prinsip-Prinsip Hukum Internasional 12
3 Dalam kasus Iran (kasus pendudukan gedung Kedu- taan Besar AS, serta penyanderaan sekian banyak diplomat AS di Teheran), Mahkamah Internasional mengemukakan bahwa, pada mulanya serangan kaum militan terhadap Kedutaan Besar AS, tidak dapat dikaitkan dengan negara Iran, karena kaum militan itu bukanlah agen atau organ negara tersebut. Akan tetapi kemudian, dengan adanya restu dari Ayatollah Khomeini, serta organ-organ lain yang ada di Iran terhadap serangan kaum militan, dan dengan adanya keputu- san untuk tetap mempertahankan pendudukan atas Keduta- an Besar AS, maka hal ini menyebabkan tindakan kaum militan tersebut bukan lagi tindakan dari sekelompok warga- negara biasa, melainkan telah berubah menjadi tindakan negara Iran (Act of State), sehingga Iran atau Pemerintah Iran harus bertanggungjawab atas pendudukan gedung perwakilan AS, serta penyanderaan para diplomatnya yang merupakan pelanggaran terhadap Konvensi Wina Tahun 1961 mengenai Hubungan Diplomatik, khususnya terhadap prinsip invio- lability dan immunity.
124 Prinsip-Prinsip Hukum Internasional
BAGIAN IX TANGGUNGJAWAB NEGARA DAN INVALIDITY PERJANJIAN (MOU HELSINKI 2005 RAWAN TERHADAP INVALIDITY)
Pada bagian 9, tulisan ini sepenuhnya merupakan
salah satu tulisan makalah penulis di tahun 2005 pada Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin dengan judul MOU Helsinki 2005 Rawan Terhadap Invalidity. Istilah MOU (Memo- randum of Understanding) sebagaimana digunakan dalam perjanjian damai Helsinki, adalah salah satu di antara beraneka ragam istilah yang dapat digunakan untuk menye- but suatu perjanjian sebagai perjanjian internasional. Berbeda dengan istilah-istilah seperti: treaty, convention, covenant, statute, pact, declaration, exchange of notes, dan lain sebagainya, yang pada dasarnya dipakai dalam hubungan yang bersifat publik, yang kemudian melahirkan perjanjian internasional atau perjanjian antarnegara, maka istilah MOU pada awalnya hanya digunakan oleh individu-individu dengan kewarganegaraan yang sama atau berbeda atau mereka yang berdomisili entah di dalam satu negara tertentu ataupun lebih dari satu negara, di mana individu-individu ini, misalnya para pedagang menjalin hubungan dalam bidang perdagangan atau bisnis, yang kemudian melahirkan kesepakatan yang dituang- kan dalam suatu perjanjian berbentuk MOU. Namun demikian perkembangan menunjukkan bah- wa, istilah MOU tidak hanya diterapkan dalam hubungan
Prinsip-Prinsip Hukum Internasional 12
5 dagang atau bisnis semata-mata, tetapi juga dalam hubungan publik, sebab dewasa ini batas-batas antara hubungan internasional publik dan bukan publik (dagang atau perdata) semakin kabur, mengingat kompleks dan canggihnya hubu- ngan internasional masa kini, dan terlebih lagi masa mendatang (I Wayan Parthiana, 1990:10). Hubungan publik yang dulu hanya melibatkan negara- negara dan atau organisasi internasional, kini tidak jarang dilakukan oleh korporasi nasional dan multinasional, bahkan juga oleh individu seperti terjadi dalam kasus perundingan antara Pemerintah RI dan GAM yang berlang- sung di Helsinki (ibu kota Finlandia) yang di dalamnya ber- peran sebuah LSM atau NGO (Non Governmental Organi- zation), yakni sebuah yayasan yang namanya Crisis Mana- gement Initiative (CMI). Perundingan yang berlangsung yang jauh di sana di negeri Finlandia, yang menghasilkan kesepakatan damai, dalam bentuk MOU sungguh memiliki Daya Tarik (Capti- vation) untuk dicermati, karena selain berlangsungnya proses perundingan di negeri yang berdekatan dengan Laut Utara (The North Sea), dan bukan di negeri tercinta ataupun di negara-negara yang benar-benar merasa prihatin atas Konflik Internal Murni (Pure Internal Conflict), yang terjadi di bumi serambi Mekkah sejak lama, juga karena pertemuan yang difasilitasi oleh mantan Presiden Finlandia (Marti Ahtisaari), mulai terselenggara tidak lama setelah terjadinya secara
126 Prinsip-Prinsip Hukum Internasional
mendadak musibah gempa dan tsunami “alamiah” yang meluluhlantakkan berbagai wilayah pesisir Samudera Hindia terutama wilayah pesisir Aceh. Banyak yang bertanya-tanya, apa sesungguhnya yang terjadi di balik perundingan, dan mengapa perundingan ini terkesan mendadak, di tengah masih berlakunya status darurat sipil bagi Nangroe Aceh Daroessalam (NAD), mengapa harus di benua Eropa, serta berbagai pertanyaan lain yang secara keseluruhan menunjukkan keprihatinan, kepedulian dan kecintaan terhadap bangsa dan negara. Pasal 2 Konvensi Wina tahun 1969 mengenai Hukum Perjanjian (Vienna Convention on the Law of Treaties) menya- takan treaty atau perjanjian internasional, adalah suatu persetujuan internasional yang diadakan di antara negara- negara (states), dalam bentuk tertulis (in written form) dan diatur oleh hukum internasional, baik dalam satu instrumen atau lebih atau apapun sebutannya. Demikian Konvensi Wina tahun 1969 hanya mengatur dan berlaku untuk perjanjian antarnegara dalam bentuk tertulis. Akan tetapi Konvensi Wina tahun 1969 juga menge- mukakan bahwa, walaupun konvensi ini hanya berlaku pada perjanjian antarnegara dan dalam bentuk tertulis, konvensi ini tidak mengingkari kekuatan hukum yang ada pada perjanjian-perjanjian lain, dalam hal ini perjanjian yang diadakan antara negara dengan organisasi internasional, atau perjanjian antarorganisasi internasional ataupun perjanjian
Prinsip-Prinsip Hukum Internasional 12
7 antara negara, dan atau organisasi internasional dengan subyek hukum internasional lainnya. Konvensi Wina tahun 1969 juga tidak mengingkari kekuatan hukum dari perjanjian yang diadakan tidak dalam bentuk tertulis. Konvensi Wina tahun 1969 juga tidak mela- rang, tetapi memperkenankan penerapan azas-azas dan ketentuan pasal-pasal konvensi pada perjanjian yang dibuat oleh subyek-subyek hukum internasional lain yang bukan negara (Mieke Komar Kantaatmadja, 1985:77). Selanjutnya Pasal 1 Undang-Undang Republik Indone- sia Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional (selanjutnya disebut Undang-Undang Perjanjian Internasio- nal), menyebutkan perjanjian internasional adalah perjanjian dalam bentuk dan nama tertentu yang diatur dalam hukum internasional yang dibuat secara tertulis serta menimbulkan hak dan kewajiban di bidang hukum publik. Dalam Pasal 4 dari Undang-Undang Perjanjian Internasional tersebut dite- gaskan bahwa, Pemerintah Republik Indonesia membuat perjanjian internasional dengan satu negara atau lebih, organisasi internasional atau subyek hukum internasional lain berdasarkan kesepakatan. Melalui pendekatan baik dari segi Konvensi Wina maupun Undang-Undang Perjanjian Internasional, suatu perjanjian digolongkan ke dalam perjanjian internasional, apabila perjanjian itu memenuhi unsur-unsur pengertian perjanjian internasional, seperti: Pertama, perjanjian itu
128 Prinsip-Prinsip Hukum Internasional
diadakan oleh subyek-subyek hukum internasional. Kedua, perjanjian itu dinyatakan dalam bentuk tertulis. Ketiga, perjanjian itu tunduk pada hukum internasional. Keempat, perjanjian itu dituangkan di dalam satu instrumen atau lebih, apapun istilahnya. Apabila dipertanyakan, apakah perjanjian Helsinki dapat diklasifikasi sebagai suatu perjanjian internasional? Maka jawabannya adalah perjanjian damai ini dapat diklasi- fikasi sebagai perjanjian internasional, sebab memenuhi unsur- unsur pengertian perjanjian internasional, sebagai- mana diatur di dalam pasal-pasal Konvensi Wina tahun 1969 serta Undang-Undang Perjanjian Internasional. Misalnya saja, perjanjian itu diadakan oleh subyek-subyek hukum interna- sional, dalam hal ini antara Pemerintah Republik Indonesia dengan gerakan Aceh Merdeka. Berbagai fakta menunjukkan bahwa, GAM sudah diakui sebagai subyek hukum internasional, walaupun penga- kuan terhadapnya tidak bersifat formal ataupun tegas. Pernyataan Pemerintah AS lewat Menteri Luar Negeri Negeri (Collin Powell), dan juga Sekretaris Jenderal PBB pada tahun 2003 yang meminta Pemerintah Republik Indonesia kembali berunding dengan pihak GAM beberapa saat setelah bencana gempa dan tsunami di tanah rencong (julukan bagi Propinsi Aceh), dapat dijadikan indikasi bahwa mereka mengakui GAM sebagai subyek hukum internasional.
Prinsip-Prinsip Hukum Internasional 12
9 Demikian pula ketika Pemerintah Republik Indonesia melakukan perundingan dengan pihak GAM, dengan media- tornya sebuah yayasan yang namanya Henry Dunant Centre di Geneva pada tahun 2002, yang menghasilkan Perjanjian Penghentian Permusuhan (The Cessation of Hostilities Agree- ment atau disingkat COHA), dan berbagai perundingan yang dilakukan sebelumnya, seperti Perjanjian Jeda Kemanusiaan (Humanitarian Pause Agreement), dan pada akhirnya perundi- ngan yang difasilitasi oleh sebuah Organisasi Non Pemerintah (Non Governmental Organization) yang disebut Crisis Manage- ment Initiative pada awal tahun 2005, beberapa saat setelah terjadinya bencana kemanusiaan (humanitarian disaster) di propinsi yang sebenarnya sangat surplus dilihat dari sumber kekayaan alam yang ada di sana. Hal-hal tersebut mengindikasikan bahwa, sebagai- mana yang dilakukan oleh beberapa negara, Pemerintah Republik Indonesia secara langsung ataupun tidak langsung telah mengakui GAM sebagai subyek hukum internasional, sehingga perjanjian damai yang ditandatangani oleh Ketua Delegasi Republik Indonesia dengan pihak GAM dapat diklasifikasi sebagai perjanjian internasional. Akan tetapi ketika dipertanyakan sejauh mana perjanjian tersebut, atau memiliki tingkat validity yang dapat dipertanggungjawabkan yang apabila tidak mempunyai bobot keabsahan (validity) yang dapat dipertanggung jawabkan dari segi hukum? Maka perjanjian Helsinki, yang baru berlaku setelah ditanda-
130 Prinsip-Prinsip Hukum Internasional
tangani, rawan untuk terseret pada pernyataan invalidity sehingga bukan mustahil Republik Indonesia berpotensi untuk membatalkan keterikatannya pada perjanjian tersebut (consent to be bound by a treaty). Perjanjian Yang Mengandung Kerawanan Terhadap Invalidity. Kerawanan suatu perjanjian internasional terhadap Invalidity terkait erat dengan alasan-alasan yang dapat digunakan sebagai pedoman dalam menyatakan bahwa, persetujuan yang diberikan suatu Negara Peserta (Contracting State), untuk terikat pada perjanjian adalah tidak sah sehing- ga rawan untuk dibatalkan. Sejauh mana perjanjian damai Helsinki memiliki kerawanan terhadap invalidity atau pernyataan tidak sah? Jawabannya tergantung pada masalah apakah ada alasan untuk sampai pada pernyataan seperti itu. Konvensi Wina tahun 1969 memaparkan, beraneka ragam alasan yang dapat dipakai sebagai acuan (guiding principles) untuk menjatuhkan pernyataan invalidity, terha- dap persetujuan yang diberikan dalam rangka keterikatannya pada suatu perjanjian internasional. Alasan-alasan ini tercan- tum secara jelas dalam Pasal 46 sampai dengan Pasal 53 Konvensi Wina tahun 1969 (I.M. Sinclair, C.M. G., 1973:89- 100). Adanya pelanggaran terhadap ketentuan yang bersifat fundamental, yang terdapat dalam hukum nasional negara peserta, menyangkut masalah kompetensi kuasa penuhnya,
Prinsip-Prinsip Hukum Internasional 13
1 dapat dijadikan alasan untuk menyatakan persetujuan yang diberikannya, sebagai sesuatu yang tidak sah. Walaupun pada prinsipnya, negara peserta tidak dapat menyatakan bahwa, persetujuannya untuk terikat pada perjanjian adalah tidak sah, karena menyimpang dari keten- tuan hukum nasional, menyangkut kompetensi untuk mem- buat perjanjian, namun apabila penyimpangan atau pelangga- ran ini adalah nyata (manifest), serta menyangkut kaidah hukum nasional yang bersifat fundamental, maka negara tersebut dapat menyatakan persetujuan keterikatan itu (consent to be bound by a treaty) tidah sah adanya. Pertanyaan apakah MOU Helsinki mengandung kera- wanan untuk dinyatakan invalidity atas alasan adanya penyimpangan yang nyata dan mendasar? Kiranya hanya dapat dijawab dengan mencermati substansi perjanjian Helsinki. Karena substansinya bersangkut paut dengan masalah politik, perdamaian, pertahanan-keamanan, peneta- pan batas-batas wilayah, masalah kedaulatan, hak-hak azasi manusia, pinjaman dan atau hibah dari luar negeri, serta pembentukan kaidah-kaidah hukum baru, dan dengan demikian memuat materi yang bersifat sensitif, sehingga para delegasi Republik Indonesia yang diketuai oleh Menteri Kehakiman pada waktu itu (Hamid Awaluddin), pada prinsip- nya tidak memiliki kompetensi atau kewenangan untuk mengikatkan bangsa dan negeri tercinta ini (Indonesia) pada perjanjian tersebut.
132 Prinsip-Prinsip Hukum Internasional
Dengan memperhatikan substansi perjanjian yang diselenggarakan akibat gempa dan tsunami, seperti status GAM sebagai satu-satunya wakil masyarakat NAD, pembentu- kan partai lokal, penetapan batas-batas laut teritorial, mata uang tersendiri, dan kurs yang berbeda dari apa yang ditetapkan Bank Sentral, pemberian amnesty bagi para anggo- ta GAM yang terlibat dalam kegiatan separatisme, penghan- curan senjata GAM yang hanya berjumlah 840 unit, penari- kan pasukan TNI dan POLRI yang non organik dari bumi Serambi Mekkah, Pembentukan badan pemantau yang dina- makan Aceh Monitoring Mission (AMM), dengan pemberian kekebalan (immunity) kepada para anggotanya, maka sesung- guhnya kewenangan untuk memberikan persetujuan keterika- tan pada perjanjian tersebut, seharusnya berada di tangan Pemerintah Republik Indonesia dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (Harian Kompas, Edisi Selasa, tanggal 16 Agustus 2005). Berdasarkan Pasal 11 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 (UUD NRI 1945) yang telah dimandemen, setiap perjanjian internasional lain yang dibuat oleh Pemerintah, yang mempunyai akibat luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara, dan atau mengharuskan perubahan atau pembentu- kan undang-undang harus mendapatkan persetujuan DPR. Di samping itu, ketentuan Pasal 10 Undang-Undang Perjanjian Internasional menegaskan, perjanjian internasional
Prinsip-Prinsip Hukum Internasional 13
3 yang berisi masalah-masalah politik, perdamaian, pertahanan dan keamanan, perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah, kedaulatan atau hak-hak berdaulat, hak-hak azasi dan lingkungan hidup, pembentukan kaidah hukum baru, soal pinjaman dan atau hibah luar negeri, haruslah disahkan, serta pengesahannya harus dalam bentuk undang-undang, sehingga bagaimanapun perjanjian dengan substansi seperti ini harus mendapatkan persetujuan dari DPR terlebih dahulu, sebelum pengesahannya dilakukan oleh Presiden Republik Indonesia. Ironisnya MOU Helsinki yang materinya cukup sensitif karena menyentuh konstitusi, serta beberapa peraturan perundang-undangan termasuk Pasal 10 Undang-Undang Perjanjian Internasional, MOU ini samasekali tidak mensya- ratkan adanya pengesahan, yang merupakan perbuatan hukum untuk mengikatkan diri pada perjanjian, yang antara lain dapat dilakukan dalam bentuk ratifikasi, sehingga tidak sedikit kalangan bertanya-tanya, sejauhmana Ketua Delegasi Republik Indonesia yang juga menjabat Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia, mempunyai kompetensi untuk memberikan persetujuannya untuk terikat pada Perjanjian Helsinki, yang langsung berlaku setelah ditandatangani pada tanggal 15 Agustus 2005. Suatu perjanjian juga dapat terseret pada pernyataan invalidity, jika ternyata ada kekeliruan atau kesalahan yang dilakukan oleh negara peserta, atau wakilnya ketika memberi-
134 Prinsip-Prinsip Hukum Internasional
kan persetujuannya untuk terikat pada perjanjian tersebut. Adanya kekeliruan atau kesalahan mengenai fakta atau keadaan yang terkait dengan perjanjian (error in a treaty), rawan untuk terseret pada pernyataan invalidity (Harian Kompas, Edisi Selasa, tanggal 16 Agustus 2005). Namun alasan ini tidak berlaku, apabila negara peserta itu sendiri turut menyebabkan terjadinya kekeliruan tersebut, atau setidak-tidaknya telah mengetahui sebelumnya. Ditinjau dari alasan error, Nota Kesepahaman Republik Indonesia dan GAM (National Liberation Front of Aceh Sumatra) tidak memiliki kerawanan untuk dinyatakan invalidity, karena pihak Indonesia sendiri mempunyai andil atas terjadinya kekeliruan, setidak-tidaknya kekeliruan ini telah diketahui dimana Pemerintah Republik Indonesia, atau delegasinya ternyata keliru dalam menempatkan GAM (NLFAS) sebagai pihak berperang (belligerency) dan bukan sebagai kaum pemberontak atau separatis (Insurgency). Padahal sesungguhnya GAM harus diposisikan sebagai kelompok pemberontak, yang selama ini gagal dalam memisahkan wilayah dan masyarakat Aceh dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), sehingga masalah ini seharusnya dianggap sebagai Masalah Dalam Negeri (Domestic Jurisdiction) yang harus diselesaikan sendiri oleh seluruh komponen bangsa, tanpa campur tangan asing. Karena kita sendiri sudah berbuat keliru (error) dengan menempatkan GAM sebagai pihak berperang, dan dengan demikian sebagai
Prinsip-Prinsip Hukum Internasional 13
5 pribadi internasional yang mandiri, ditambah lagi dengan pelibatan pihak asing yang disebut Crisis Management Initiative dengan ketuanya mantan Presiden Finlandia, dalam kapasitasnya sebagai fasilitator perundingan di Helsinki, maka alasan terjadinya kekeliruan tidak dapat diterapkan, sehingga persetujuan yang diberikan untuk terikat pada perjanjian tersebut tidak rawan terhadap invalidity. Alasan lain yang dapat digunakan untuk menyatakan persetujuan untuk terikat pada perjanjian, yang merupakan sesuatu yang tidak sah adalah karena terjadinya tindak penipuan, atau Tipu Muslihat (Fraud), maupun Tekanan atau Paksaan (coercion), yang dilakukan oleh satu negara peserta terhadap negara peserta lain, atau dilakukan satu pihak terhadap pihak lainnya (Mieke Komar Kantaatmadja, 1985:52- 53). Apakah perundingan di Heksinki yang menghasilkan Nota Kesepahaman (MOU) damai antara Republik Indonesia dan NLFAS tidak merupakan rekayasa, yang mengandung unsur- unsur penipuan, serta paksaan atau tekanan termasuk tekanan ekonomi, yang dilakukan negara-negara besar yang sejak lama memiliki kepentingan besar terhadap GAM atau NLFAS? Perundingan yang secara formal diprakarsai mantan Presiden Finlandia (Marti Ahtisaari), menurut berbagai kalangan mempunyai keterkaitan dengan komitmen dari negara-negara tertentu, serta lembaga-lembaga internasional untuk memberikan bantuan kepada Pemerintah Republik
136 Prinsip-Prinsip Hukum Internasional
Indonesia, dalam rangka melaksanakan kegiatan rekonstruksi dan rehabilitasi Aceh pasca tsunami. Mereka baru bersedia untuk mencairkan bantuan yang dijanjikan, baik berupa hibah maupun pinjaman bagi pemerintah, dengan syarat pemerintah harus melakukan perundingan dengan pihak GAM, dalam rangka mencapai penyelesaian damai, kompre- hensif dan bermartabat bagi kedua belah pihak. Sudah menjadi rahasia umum bagi masyarakat inter- nasional, bahwa bencana kemanusiaan yang menghancurkan berbagai kawasan pesisir Samudera Hindia, dengan mereng- gut ratusan ribu bahkan jutaan korban jiwa, adalah hasil rekayasa dari salah satu negara besar yang berhasil mema- sang bom nuklir dalam ukuran besar di lepas Pantai Barat Tanah Rencong (Aceh), dan meledakkannya sehingga menim- bulkan gempa (earthquake) yang berkekuatan 8,9 pada Skala Richter. Kemudian disusul dengan badai tsunami akibat terja- dinya keretakan yang panjangnya ribuan kilometer, mulai dari Pantai Barat Aceh hingga Pantai Selatan Thailand, serta lebarnya mencapai 150 kilometer dan menyebabkan kawasan pesisir menjadi kering untuk beberapa saat, namun kemudian gelombang air laut dengan ketinggian belasan meter, serta kecepatan yang melebihi kecepatan pesawat udara, menerjang apa saja yang terdapat di wilayah pesisir. Hampir semua infrastruktur menjadi binasa, serta kurang lebih 300.000 (tiga
Prinsip-Prinsip Hukum Internasional 13
7 ratus ribu) penduduk Aceh yang tewas, maupun hilang akibat gempa rekayasa dan tsunaminya. Untuk membangun kembali infrastruktur dari puing- puing kehancuran, dan merehabilitasi kembali kehidupan masyarakat Aceh, diperlukan anggaran yang luar biasa jumlahnya, yang tidak mungkin dapat dipenuhi melalui APBN, sehingga kita terpaksa tergantung pada pihak asing. Bencana kemanusiaan yang pada mulanya dianggap sebagai bencana alam yang bersifat alamiah, tetapi rahasia dunia itu adalah suatu kesengajaan, yang mengindikasikan adanya unsur-unsur Penipuan (Fraud) untuk berunding dengan pihak GAM. Selain itu, ditambah lagi dengan kenyataan, bahwa Indonesia terpaksa harus melakukannya akibat Indonesia, tidak punya dana untuk melakukan rekonstruksi dan rehabilitasi Aceh, dan terkesan adanya unsur-unsur Pemak- saan atau Penekanan (Coercion), termasuk dalam bidang ekonomi, kiranya dapat juga dipakai sebagai dasar-dasar untuk menyatakan Perjanjian Helsinki, maupun persetujuan terutama persetujuan untuk terikat pada perjanjian ini, hanya melalui penandatanganan oleh Ketua Delegasi Republik Indonesia tanpa melibatkan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, sehingga rawan untuk terseret pada pernyataan invalidity. Sebenarnya masih ada alasan-alasan lain, berdasar- kan Konvensi Wina tahun 1969 untuk menyatakan suatu
138 Prinsip-Prinsip Hukum Internasional
perjanjian rawan untuk terseret pada pernyataan invalidity. Seperti misalnya, kemungkinan adanya unsur-unsur corruption, atau kemungkinan terjadinya penyuapan yang dilakukan satu pihak terhadap pihak lain, tetapi kiranya tidak perlu diuraikan mengingat tuntutan pertanggung jawabannya yang kadang-kadang inevitable. Apa yang telah dikemukakan tersebut, sehubungan dengan kemungkinan rawannya Nota Kesepahaman damai Helsinki, terhadap pernyataan invalidity semata-mata didasar- kan atas kecintaan terhadap bangsa dan negara dalam naungan NKRI dari Sabang sampai Merauke, yang dibangun atas tonggak-tonggak sejarah, seperti Sumpah Pemuda yang dikumandangkan pada tanggal 28 Oktober 1928, Proklamasi 17 Agustus tahun 1945, dan Wawasan Nusantara tanggal 13 Desember 1957 (Hasjim Djalal dalam Harian Kompas, Edisi 19 September tahun 2000). Sebagai akhir dalam pembahasan ini, maka penulis dapat memberikan beberapa poin penting sebagai berikut. Berbagai kenyataan menunjukkan bahwa Nota Kesepahaman (Memorandum of Understanding) damai yang ditandatangani di Helsinki pada tanggal 15 Agustus tahun 2005, adalah suatu perjanjian internasional. Pengakuan yang bersifat informal atau terselubung terhadap GAM atau NLFAS sebagai subyek hukum internasional, baik oleh negara-negara yang mempu- nyai kepentingan tertentu maupun Pemerintah Republik Indonesia yang menghadiri berbagai pertemuan dengan pihak
Prinsip-Prinsip Hukum Internasional 13
9 NLFAS yang menghasilkan kesepakatan, termasuk MOU Helsinki mengindikasikan perjanjian antara Republik Indone- sia dengan NLFAS bukan perjanjian biasa, melainkan perjan- jian internasional. Di antara sekian banyak alasan terkait dengan kera- wanan Perjanjian Helsinki untuk terseret pada pernyataan invalidity, maka terjadinya penyimpangan hukum nasional Republik Indonesia yang bersifat fundamental, dapat dipergu- nakan sebagai alasan yang kuat untuk suatu saat melakukan peninjaun kembali terhadap beberapa substansi perjanjian yang cukup sensitif terhadap keutuhan teritorial NKRI.
140 Prinsip-Prinsip Hukum Internasional
BAGIAN X PENUTUP
Sebagai penutup, maka dari semua bagian (bagian 1
hingga bagian 9) dalam buku ini, penulis akan menyimpulkan beberapa hal-hal penting, yakni: terdapat berbagai macam azas atau prinsip dasar yang melandasi kepentingan suatu negara, dalam mengklaim atau menyatakan kewenangannya atas suatu peristiwa, atau kasus yang di dalamnya tersangkut seseorang atau beberapa orang, benda (benda bergerak dan atau tidak bergerak), baik yang terjadi di dalam wilayahnya sendiri, maupun di luar wilayahnya sehingga hukum interna- sional mengakui berbagai macam yurisdiksi negara. Hal tersebut berimplikasi terhadap timbulnya persai- ngan yurisdiksi di antara negara-negara, karena masing- masing merasa memiliki kepentingan atas kasus yang sama. Namun demikian, yang paling menonjol dan signifikan adalah yurisdiksi teritorial. Pelaksanaan yurisdiksi teritorial atau penerapan peraturan hukum negara setempat, bukan sesuatu yang bersifat mutlak, sebab dalam hukum internasional dan hukum nasional, diakui apa yang disebut Azas Kekebalan (Immunity Principle), yang mengecualikan lembaga-lembaga, jabatan-jabatan atau benda-benda dengan atribut tertentu dari pelaksanaan yurisdiksi negara setempat. Negara setempat, tidak dapat melakukan tindakan hukum terhadap mereka yang memiliki kekebalan, seperti
Prinsip-Prinsip Hukum Internasional 14
1 Kekebalan Kedaulatan (Souvereign Immunity), Kekebalan Diplomatik (Diplomatic Immunity), dan Hak-Hak Istimewa (Privileges) yang dimilikinya. Pada prinsipnya, dalam kasus pidana yang melibatkan mereka yang menikmati kekebalan, kekebalan ini dapat dikatakan berlaku mutlak, sehingga aparat hukum setempat tidak dapat melakukan tindakan hukum apapun terhadap pemegang kekebalan itu, terkecuali ada semacam penghapusan kekebalan, yang dilakukan secara tegas oleh Pemerintah dari negara asal atau negara pengirim. Kekebalan seperti ini juga berlaku dalam hal timbul kasus perdata, yang melibatkan mereka yang menikmati atau memegang kekebalan tersebut. Berbagai macam kasus menunjukkan dan membuktikan kekebalan kedaulatan, tidak hanya membebaskan mereka yang menikmatinya dari proses pemeriksaaan oleh aparat hukum negara setempat, tetapi juga dari tindakan-tindakan penyitaan dan eksekusi terhadap harta kekayaan yang dimiliki oleh para pemegang kekebalan kedaulatan tersebut. Namun demikian kekebalan dalam kasus perdata, tidak selalu berlaku secara absolut, sebab dalam praktik negara-negara, sudah dibedakan antara perbuatan negara yang dinamakan iure imperii dan iure gestionis. Yurisdiksi negara, dengan berbagai macam variasi atau bentuknya, bisa diklaim oleh suatu negara sesuai kepentingannya. Namun demikian, di balik yurisdiksi negara, terdapat pula azas Tanggungjawab Negara (State Responsi-
142 Prinsip-Prinsip Hukum Internasional
bility), bahkan dapat dikatakan penerapan atau pelaksanaan dari yurisdiksi negara, tidak jarang dan bahkan sering menimbulkan pertanggungjawaban negara (state responsibi- lity). Tanggungjawab Negara (State Responsibility) adalah sua- tu azas hukum internasional yang bersifat fundamental, yang timbul dari hakekat sistem hukum internasional dan doktrin kedaulatan negara (State Souvereignty), serta Persamaan Negara-Negara (Equality of States). Pertanggungjawaban negara menunjukkan pengertian bahwa, bilamana suatu negara melakukan suatu perbuatan yang salah secara internasional (internationally wrongful act or internationally unlawful act) terhadap negara lain, maka di antara kedua negara tersebut tidak dapat dihindari adanya tanggungjawab internasional. Jika suatu negara dengan perbuatan atau kelalaiannya, melakukan pelanggaran atas kewajiban internasional, atau kewajiban yang ditentukan dalam hukum internasional, maka negara tersebut harus memikul dan dibebani dengan tanggungjawab internasional. Jika pelanggaran itu membawa kerugian terhadap negara lain, maka negara yang melakukan pelanggaran itu, harus bertanggungjawab untuk membayar gantirugi atas kerugian yang timbul, ataupun meminta maaf kepada negara yang dirugikan. Sebaliknya negara yang menderita kerugian akibat pelanggaran atas kewajiban internasional itu, mempu- nyai hak untuk menuntut pertanggungjawaban, maupun gantirugi dari negara yang melakukan pelanggaran tersebut.