Anda di halaman 1dari 181

BAB I

PENGERTIAN, BATASAN DAN ISTILAH


HUKUM INTERNASIONAL

PENDAHULUAN
Dalam mempelajari suatu bidang ilmu, ataupun
cabang ilmu pengetahuan tertentu, yang pertama-tama
hendak diketahui dan dipahami adalah batasan atau
cabang ilmu pengetahuan tersebut. Hal ini tidaklah
berarti bahwa, setelah mengetahui batasan dan pengertian
atas bidang ilmu pengetahuan yang bersangkutan, kita
akan mengetahui isi dan ruang lingkupnya secara
mendalam dan menyeluruh, melainkan barulah
merupakan tahap awal atau permulaan untuk
mendalaminya.
Namun demikian, dengan mengetahui batasan
dan pengertian, setidaknya ada dua hal yang dapat kita
peroleh sebagai modal utama untuk mendalaminya lebih
lanjut, yaitu :
Pertama, kita akan memperoleh gambaran umum
batas-batas bidang atau cabang bidang ilmu pengetahuan

1
yag bersangkutan, yag membedakanya dengan cabang
atau ilmu pegetahuan lainnya. Dengan kata lain, kita
akan mengetahui bentuk, batas atau sisi luarnya yag
membatasai dan membedakan dengan bidang atau
cabang ilmu pengetahuan lain.
Kedua, kita akan memperoleh gambaran umum
tentang isi atau materi maupun ruag lingkup dari ilmu
pengetahuan yang bersangkutan. Sudah tentu
pengetahuan dan pemahaman kita tentang isi dan ruang
lingkupnya itu, barulah pada garis besarnya saja. Jadi
belumlah sampai pada hal-hal yang sedalam-dalamnya.
Atau dengan singkat dapatlah kita katakan bahwa,
yag pertama disebut sebagai pemahaman atas sisi
ekstern, sedangkan yang kedua, disebut sebagai
pemahaman atas sisi intern atas cabang atau bidang ilmu
pengetahuan tersebut. Dengan demikian kita sudah dapat
melihat tempat dan kedudukan bidang ilmu pengetahuan
tersebut. Demikian juga halnya dengan bidang ilmu yang
akan kita pelajari ini, yakni Hukum Internasional, sebagai
bidang ilmu yang akan mengkaji berbagai ketentuan
Hukum Internasional yang diberlakukan dalam hubungan
internasional.

2
PENYAJIAN

1.1. HUKUM INTERNASIONAL: PENGERTIAN


DAN BATASAN
Yang dimaksudkan dengan istilah hukum
internasional dalam pembahasan ini ialah hukum
internasional publik, yang harus dibedakan dari hukum
perdata internasional.
 Hukum Perdata Internasional ialah keseluruhan
kaidah dan asas hukum yang mengatur hubungan
perdata yang melintasi batas negara. Dengan
perkataan lain, hukum yang mengatur hubungan
hukum perdata antara para pelaku hukum yang
masing-masing tunduk pada hukum perdata
(nasional) yang berlainan.
 Hukum Internasional Publik ialah keseluruhan
kaidah dan asas hukum yang mengatur hubungan
atau persoalan yang melintasi batas negara
(hubungan internasional) yang bukan bersifat
perdata.

3
Persamaannya ialah bahwa keduanya mengatur
hubungan atau persoalan yang melintasi batas negara
(internasional). Perbedaannya terletak pada sifat hukum
hubungan atau persoalan yang diaturnya (objeknya).
Terhadap batasan Hukum Internasional (publik)
di atas dapat dikemukakan keberatan bahwa batasan itu
tidak tegas karena didasarkan pada suatu ukuran yang
negatif yakni hubungan atau persoalan internasional
yang tidak bersifat perdata di samping itu keberatan
terhadap betasan demikian ialah bahwa terlalu terbatas
sifatnya.
Menurut Mochtar Kusumaatmadja:
Hukum internasional ialah keseluruhan kaidah
dan asas-asas yang mengatur hubungan atau
persoalan yang melintasi batas negara antara :
1. Negara dengan negara;
2. Negara dengan subjek hukum lain bukan
negara atau subjek hukum lain bukan negara
satu sama lain.

1.2. ISTILAH HUKUM INTERNASIONAL

4
Selain istilah Hukum Internasional, orang juga
mempergunakan istilah hukum bangsa-bangsa, hukum
antarbangsa atau hukum antarnegara untuk lapangan
hukum yang kita sedang bicarakan.
Istilah hukum bangsa-bangsa (law of nations,
droit de gens, Voelkerrecht) berasal dari istilah hukum
Romawi ius gentium. Dalam arti yang semula ius
gentium bukan berarti hukum yang berlaku antara
bangsa-bangsa saja, melainkan pula kaidah dan asas
hukum yang mengatur hubungan antara orang Romawi
dengan orang bukan Romawi dan antara orang bukan
Romawi satu sama lain. Baru kemudian orang
membedakan benar antara : hubungan antara individu
dengan hubungan antar bangsa dengan menggunakan
istilah ius inter gentes yang berarti hukum antar bangsa
yang menandai lahirnya hukum internasional sebagai
suatu lapangan hukum tersendiri.
Dalam bahasa lain, istilah hukum bangsa-bangsa
(law of nations, droit de gens, Voelkerrecht) dapat
mempertahankan diri terhadap istilah hukum antarnegara
(Zwischenstaatliches Recht) yang sebenarnya lebih
maju.

5
Alasan Mochtar Kusumaatmadja memilih istilah
hukum internaional dan bukan hukum bangsa-bangsa,
hukum antarbangsa atau hukum antarnegara terutama
didasarkan pertimbangan:
 Istilah ini paling mendekati kenyataan dan sifat
hubungan dan masalah yang menjadi objek
bidang hukum itu, yang pada masa sekarang ini
tidak hanya terbatas pada hubungan antara
bangsa-bangsa atau negara-negara saja,
sebagaimana dikesankan oleh beberapa istilah
yang disebut demikian.
 Istilah hukum internasional ini tidak mengandung
keberatan, karena perkataan internasional
walaupun menurut asal katanya searti dengan
antarbangsa sudah lazim dipakai untuk segala hal
dan peristiwa yang melintasi batas wilayah suatu
negara.

6
1.3. BENTUK PERWUJUDAN KHUSUS HUKUM
INTERNASIONAL : HUKUM
INTERNASIONAL REGIONAL DAN HUKUM
INTERNASIONAL KHUSUS (SPECIAL)
Selain hukum internasional yang berlaku umum
(general) terdapat pula hukum internasional regional,
yang terbatas daerah lingkungan berlakunya, seperti
misalnya apa yang lazim dinamakan hukum internasional
Amerika atau hukum internasional Amerika Latin.
Adanya berbagai lembaga hukum internasional
regional demikian disebabkan oleh keadaan yang khusus
terdapat di bagian dunia itu. Walaupun menyimpang,
hukum internasional regional itu tidak usah bertentangan
dengan hukum internasional yang berlaku umum.
Bahkan, ada kalanya suatu lembaga atau konsep hukum
yang mula-mula timbul dan tumbuh sebagai suatu konsep
atau lembaga hukum internasional regional, kemudian
diterima sebagai bagian dari hukum internasional umum.
Sebagai contoh dapat disebut konsep landas kontinen
(continental shelf) dan konsep perlindungan kekayaan
hayati laut (conservation of the living resources of the
sea) yang mula-mula timbul dan tumbuh di benua

7
Amerika. Dengan demikian, hukum internasional
regional dapat memberikan sumbangan berharga kepada
hukum internasional yang benar-benar universal.
Bentuk perwujudan lain dari hukum internasional
adalah hukum internasional khusus, yang merupakan
kompleks kaidah yang khusus berlaku bagi negara-
negara tertentu saja, seperti misalnya Konvensi Eropa
tentang Hak Asasi Manusia.
Berbeda dengan Hukum Internasional Regional
yang biasanya tumbuh melalui proses hukum kebiasaan,
Hukum Internasional Khusus diatur dalam Konvensi
Multilateral, lagi pula para pesertanya tidak perlu terbatas
pada suatu bagian dunia (region) tertentu.

1.4. HUKUM INTERNASIONAL DAN HUKUM


DUNIA (WORLD LAW)
Dalam usaha menjelaskan pengertian Hukum
Internasional, perlu juga kiranya dikemukakan
perbedaannya dengan pengertian Hukum Dunia (World
Law, Weltstaatsrecht) yang akhir-akhir ini mulai
dipergunakan orang.

8
 Pengertian hukum internasional didasarkan atas
pikiran adanya suatu masyarakat internasional
yang terdiri atas sejumlah negara yang berdaulat
dan merdeka (independent) dalam arti masing-
masing berdiri sendiri yang satu tidak di bawah
kekuasaan yang lainnya. Dalam rangka pikiran ini
tidak ada suatu badan yang berdiri di atas negara-
negara, baik dalam bentuk negara dunia (world
state) maupun badan supranasional yang lain.
Dengan perkataan lain, hukum internasional
merupakan suatu tertib hukum koordinasi antara
anggota-anggota masyarakat internasional yang
sederajad. Anggota masyarakat internasional
tunduk pada hukum internasional sebagai suatu
tertib hukum yang mereka terima sebagai
perangkat kaidah dan asas yang mengikat dalam
hubungan antar mereka.
 Pengertian Hukum Dunia (World Law,
Weltstaatsrecht) berpangkal pada pikiran yang
lain. Menurut konsep yang rupanya banyak
dipengaruhi analogi dengan hukum tata negara
(constitutional law), bahwa ada semacam negara

9
dunia yang meliputi semua negara di dunia ini
(semacam negara federasi). Negara dunia secara
hirarki berdiri di atas negara-negara nasional.
Tertib hukum dunia menurut konsep ini
merupakan suatu tertib hukum subordinasi.

PENUTUP
Soal-soal :
1. Jelaskan perbedaan pengertian hukum perdata
internasional dan hukum internasional publik !.
2. Jelaskan pengertian hukum internasional menurut
Prof. Mochtar Kusumaatmadja !.
3. Jelaskan tentang hukum internasional regional
dan hukum internasional khusus !.
4. Jelaskan perbedaan antara hukum internasional
dan hukum dunia (world law)!.
5. Tertib hukum internasional adalah tertib hukum
koordinasi, Jelaskan maksudnya !.

BAB II
MASYARAKAT DAN HUKUM

10
INTERNASIONAL

PENDAHULUAN
Selama ini kita berbicara tentang hukum
internasioanal dan menganggap adanya hukum
internasional itu sebagai sesuatu yang tak dapat
diragukan lagi. Sesungguhnya adanya hukum
internasional itu mengaggap terlebih dahulu (presuppose
voraustellen) adanya suatu masyarakat internasional yang
diatur oleh tertib hukum itu, Dengan kata lain untuk
dapat meyakini adanya atau lebih tepat lagi perlu adanya
hukum internasioanal, terlebih dahulu harus ditujukkan
adanya suatu masyarakat internasional sebagai landasan
sosiologis bidang hukum yang akan kita pelajari ini.
Setelah itu akan diuraikan tentang sifat dan hakikat
hukum internasional, sebagi tertib hukum yang mengatur
kehidupan masyarakat internasional.
Aka diuraikan pula perubahan besar yang
terjadi, baik dalam bidang politik, maupun dalam bidang
teknologi yag tidak dapat kita abaikan dalam
mempelajari hukum iternasional dewasa ini.

11
PENYAJIAN

2.1. ADANYA MASYARAKAT


INTERNASIONAL SEBAGAI LANDASAN
SOSIOLOGIS HUKUM INTERNASIONAL

2.1.1. Adanya Suatu Masyarakat Internasional


 Karena masyarakat internasional merupakan
kehidupan bersama dari negara-negara yang
merdeka dan sederajat, unsur pertama yang harus
dibuktikan ialah adanya sejumlah negara di
dunia ini. Akan tetapi, adanya sejumlah besar
negara saja belum berarti adanya suatu
masyarakat internasional. Sebab harus pula
ditunjukkan adanya hubungan yang tetap
antara anggota masyarakat internasional.
 Hubungan demikian timbul karena adanya
kebutuhan yang disebabkan antara lain oleh
pembagian kekayaan alam dan perkembangan
industri yang tidak merata di dunia. Misalnya

12
perniagaan yang bertujuan mempertukarkan hasil
bumi dengan hasil industri. Di samping hubungan
perniagaan, terdapat pula hubungan di lapangan
kebudayaan, ilmu pengetahuan, keagamaan,
sosial dan olahraga. Hubungan internasional ini
dipermudah lagi dengan bertambah sempurnanya
berbagai alat perhubungan sebagai akibat
kemajuan tehnik.
 Untuk menertibkan, mengatur dan memelihara
hubungan internasional ini dibutuhkan hukum
guna menjamin unsur kepastian yang diperlukan
dalam setiap hubungan yang teratur.
 Masyarakat internasional sebenarnya merupakan
suatu kompleks kehidupan bersama yang terdiri
dari aneka ragam masyarakat yang jalin-menjalin
erat.
 Mengapa di antara sekian hubungan antar
manusia (kelompok manusia) ini hubungan resmi
antara negara-negaralah yang menonjol dan
menjadi urusan utama HI?

13
Hal ini ialah karena dilihat secara politis-yuridis,
negara dengan kekuasaan teritorialnya yang mutlak dan
monopoli dalam penggunaan kekuasaan, merupakan
pelaku primer dalam masyarakat internasional.
Hubungan internasional antara para pelaku yang lain
hanya mungkin, sekedar diperkenankan oleh negara.
Jelaslah, bahwa masyarakat internasional itu merupakan
suatu kenyataan yang tidak dapat dibantah lagi dan
bahwa di dalamnya negara menduduki tempat yang
terkemuka.

2.1.2. Asas Hukum Yang Bersamaan Sebagai Unsur


Masyarakat Hukum Internasional
 Kebutuhan bangsa-bangsa untuk hidup
berdampingan secara teratur ini merupakan suatu
keharusan kenyataan sosial yang tidak dapat
dielakkan. Alternatifnya pada zaman ini yang
mengenal alat senjata pemusnah massal ialah
kehancuran peradaban manusia. Hubungan yang
teratur demikian itu tidak semata-mata merupakan
akibat dari fakta adanya sejumlah negara dan
kemajuan dalam berbagai perhubungan. Fakta

14
fisik demikian tidak dengan sendirinya
menimbulkan suatu masyarakat bangsa-bangsa.
Harus ada unsur pengikat lain disamping berbagai
kenyataan yang merupakan fakta eksistensi fisik
semata-mata.
 Faktor pengikat yang non material ini adalah
adanya asas kesamaan hukum antara bangsa-
bangsa di dunia ini, betapapun berlainan
wujudnya hukum positif yang berlaku di masing-
masing negara. Asas pokok hukum yang
bersamaan ini yang dalam ajaran mengenai
sumber hukum formal dikenal dengan asas
hukum yang diakui oleh bangsa-bangsa yang
beradab yang merupakan penjelmaan hukum
alami (natuurecht). Adanya hukum alami yang
mengharuskan bangsa-bangsa di dunia ini hidup
berdampingan secara damai dapat dikembalikan
pada akal manusia (ratio) dan naluri untuk
mempertahankan hidupnya (instinct for survival).
 Adanya suatu masyarakat internasional yang
meliputi seluruh bangsa yang ada di dunia ini

15
benar-benar merupakan suatu kenyataan yang
tidak dapat disangkal lagi.

2.2. KEDAULATAN NEGARA: HAKIKAT DAN


FUNGSINYA DALAM MASYARAKAT
INTERNASIONAL
 Menurut sejarah asal kata kedaulatan yang dalam
bahasa Inggris dikenal dengan istilah
souvereignity berasal dari kata Latin superanus
berarti yang teratas. Negara dikatakan berdaulat
atau souvereign karena kedaulatan merupakan
suatu sifat atau ciri hakiki negara. Bila dikatakan
negara itu berdaulat, dimaksudkan bahwa negara
itu mempunyai kekuasaan tertinggi.
 Menurut asal katanya, kedaulatan memang berarti
kekuasaan tertinggi. Negara berdaulat memang
berarti bahwa negara itu tidak mengakui suatu
kekuasaan yang lebih tinggi daripada
kekuasaannya sendiri. Dengan perkataan lain,
negara memiliki monopoli kekuasaan, suatu sifat
khas organisasi masyarakat dan kenegaraan
dewasa ini yang tidak lagi membenarkan orang

16
perseorangan mengambil tindakan sendiri apabila
ia dirugikan. Walaupun demikian, kekuasaan
tertinggi ini mempunyai batas-batasnya.
1. kekuasaan itu terbatas pada batas wilayah
negara yang memiliki kekuasaan itu dan
2. kekuasaan itu berakhir di mana kekuasaan
suatu negara lain mulai.
 Suatu akibat paham kedaulatan dalam arti yang
terbatas ini selain kemerdekaan (independence)
juga paham persamaan derajat (equality).
Artinya, bahwa negara-negara yang berdaulat itu
selain masing-masing merdeka, artinya yang satu
bebas dari yang lainnya, juga sama derajatnya
satu dengan yang lainnya. Dilihat secara
demikian, tiga konsep atau pengertian ini yaitu
kedaulatan, kemerdekaan dan persamaan
derajat negara merupakan perwujudan dan
pelaksanaan pengertian kedaulatan dalam arti
yang wajar, jelas kiranya paham kedaulatan,
kemerdekaan dan persamaan derajat tidak
bertentangan dengan konsep suatu masyarakat

17
internasional yang diatur oleh hukum
internasional.

2.3. MASYARAKAT INTERNASIONAL DALAM


PERALIHAN (TRANSITION): PERUBAHAN-
PERUBAHAN DALAM PETA BUMI POLITIK,
KEMAJUAN TEKHNOLOGI DAN STRUKTUR
MASYARAKAT INTERNASIONAL.

Masyarakat internasional kini sedang mengalami


berbagai perubahan yang besar dan pokok, yang perlu
diperhatikan untuk dapat benar-benar memahami hakikat
masyarakat internasional dewasa ini.
 Perobahan besar pertama dan pokok ialah
perubahan peta bumi politik yang terjadi
terutama setelah Perang Dunia II.
Proses ini dimulai pada permulaan abad XX
mengubah pola kekuasaan politik di dunia ini
dari satu negara besar yang masing-masing
mempunyai daerah jajahan dan lingkungan
pengaruhnya menjadi satu masyarakat bangsa-

18
bangsa yang terdiri dari banyak sekali negara
yang mereka.

 Perobahan kedua yang mempunyai akibat yang


besar sekali terhadap perkembangan
masyarakat internasional dan hukum
internasional yang mengaturnya ialah
kemajuan tekhnologi.
Kemajuan tehnik dalam berbagai alat
perhubungan menambah mudahnya perhubungan
yang melintasi batas negara. Kemajuan teknologi
persenjataan menimbulkan berbagai masalah baru
dan keharusan meninjau kembali ketentuan
mengenai hukum perang. Kemajuan dalam
teknologi pengolahan kekayaan alam telah dan
sedang mengakibatkan berbagai perubahan besar
dalam konsep hukum laut dan timbulnya konsep
baru untuk mengikuti perkembangan yang pesat
ini. Perkembangan teknologi dan akibatnya mau
tidak mau harus diikuti dan dilayani oleh para
sarjana ilmu hukum ini jika tidak mau
ketinggalan.

19
 Perobahan ketiga adalah perobahan yang
terjadi dalam struktur organisasi masyarakat
internasional.
Perubahan dalam struktur organisasi masyarakat
internasional ini sangat penting karena berlainan
dengan kedua golongan perubahan yang tersebut
terlebih dahulu, mempunyai akibat langsung
terhadap struktur masyarakat internasional yang
didasarkan atas negara yang berdaulat.
Perkembangan yang penting dalam golongan
ini ialah :
Timbulnya berbagai organisasi atau lembaga
internasional yang mempunyai eksistensi
terlepas dari negara-negara.
Di pihak lain, ada perkembangan yang
memberikan kompetensi hukum kepada para
individu dalam beberapa hal tertentu.

PENUTUP
Soal – soal :

20
1. Landasan sosiologis hukum internasional ditandai
dengan adanya masyarakat internasional, Jelaskan
!.
2. Jelaskan tentang asas hukum yang bersamaan
sebagai faktor pengikat yag non materil !.
3. Jelaskan tentang kedaulatan negara ; hakikat dan
fungsinya dalam masyarakat internasional !.
4. Dikatakan bahwa masyarakat internasional
sedang dalam masa transisi, dimana hal ini dapat
mempengaruhi perkembangan hukum
internasional. Sebutkan beberapa hal yang
menandai keadaan tersebut !.
5. Jelaskan pengertian kedaulatan negara sebagai
kekuasaan tertinggi menurut
Prof.MochtarKusumaatmadja!.

21
BAB III
SEJARAH HUKUM INTERNASIONAL
DAN PERKEMBANGANNYA

PENDAHULUAN
Jika hukum internasional diambil dalam arti luas
termasuk pengertian hukum bangsa-bangsa, maka sejarah
hukum internasional telah tua sekali. Sebaliknya, apabila
hukum internasional digunakan dalam arti sempit yakni
hukum yang terutama mengatur hubungan antar negara-
negara, hukum internasional baru berusia beberapa ratus
tahun. Hukum internasional modern sebagai suatu sistem
hukum yang mengatur hubungan antara negara-negara,
lahir dengan kelahiran masyarakat internasional yang
didasarkan atas negara-negara nasional.
Sebagai titik saat lahirnya negara-negara nasional
yang modern biasanya diambil saat ditandatanganinya
perjanjian perdamaian Westphalia (1647) yang
mengakhiri Perang Tiga Puluh Tahun (Thirty Years War)
di Eropa.
Sebelum diuraikan sejarah hukum internasional
modern, akan kita lihat kembali zaman dahulu kala yang

22
menunjukan situasi di mana sudah terdapat ketentuan
yang mengatur hubungan antara raja-raja atau bangsa-
bangsa.

PENYAJIAN

Sejarah dan perkembangan hukum internasional


dapat diuraikan sebagai berikut :
3.1. Lingkungan kebudayaan India kuno
 Telah terdapat kaidah dan lembaga hukum yang
mengatur hubungan antara kasta, suku-suku
bangsa dan raja-raja. Yang diatur oleh adanya
kebiasaan yang dinamakan Desa Dharma.
 Dikenal ketentuan yang mengatur kedudukan dan
hak istimewa diplomat atau utusan raja yang
dinamakan Duta.
 Terdapat ketentuan yang mengatur perjanjian
(treaties).
 Hak dan kewajiban raja.
 Ketentuan yang agak jelas terutama terdapat
bertalian dengan hukum yang mengatur perang.
Di mana Hukum India kuno misalnya sudah

23
mengadakan perbedaan yang tegas antara
combatant dan non-combatant. Juga ketentuan
mengenai perlakuan tawanan perang dan cara
melakukan perang (the conduct of war) sudah
diatur dengan jelas.

3.2. Lingkungan kehidupan Yahudi.


Orang Yahudi sebagaimana terbukti dari buku-
buku kuno antara lain Kitab Perjanjian Lama, sudah
mengenal ketentuan mengenai :
 Perjanjian,
 Perlakuan terhadap orang asing,
 Cara melakukan perang. (Namun dalam hukum
perang masih dibedakan perlakuan terhadap
mereka yang dianggap musuh bebuyutan, di mana
kepada mereka boleh diadakan penyimpangan
dari ketentuan hukum perang).

3. 3. Lingkungan kebudayaan Yunani yang hidup


dalam negara-negara kota.
Menurut hukum negara-negara kota ini, penduduk
digolongkan dalam 2 golongan yaitu : orang Yunani dan

24
orang luar yang dianggap sebagai orang-orang biadab
(barbar). Masyarakat Yunani sudah mengenal ketentuan
mengenai :
 perwasitan (arbitration).
 diplomat yang tinggi tingkat perkembangannya.
 penggunaan wakil-wakil dagang yang melakukan
banyak tugas yang sekarang dilaksanakan oleh
konsul.
 sumbangan yang paling berharga untuk hukum
Internasional waktu itu ialah konsep hukum alam
yaitu hukum yang berlaku secara mutlak dimana
saja dan berasal dari rasio atau akal manusia. Dari
Yunani konsep hukum alam ini diteruskan ke
Roma dan Roma lah yang memperkenalkan
kepada dunia.

3.4. Lingkungan kebudayaan Romawi


Sumbangan dari lingkungan kebudayaan Romawi
:
 Pengertian hukum bangsa-bangsa itu sendiri
berasal dari pengertian ius gentium.

25
 Hukum Romawi telah menyumbangkan banyak
sekali asas atau konsep yang kemudian diterima
dalam hukum internasional. Yaitu konsep seperti
occupation, servitut dan bonafides. Juga asas
pacta sunt servanda merupakan warisan
kebudayaan Romawi yang berharga.
Di samping masyarakat Eropa Barat, pada waktu
itu terdapat dua masyarakat besar lain yang termasuk
lingkungan kebudayaan yang berlainan yaitu :
Kekaisaran Byzantium dan dunia islam.

3.5. Kekaisaran Byzantium.


Pada waktu itu kekaisaran Byzantium sedang
dalam keadaan menurun mempraktikkan diplomasi untuk
mempertahankan supremasinya. Oleh sebab itu, praktik
diplomasi merupakan sumbangan yang terpenting dari
lingkungan kebudayaan ini kepada perkembanan hukum
internasional.

3.6. Dunia Islam.


Sumbangan yang terpenting dari dunia Islam dari
abad pertengahan terletak di bidang hukum perang.

26
3.7. Perjanjian Perdamaian Westphalia.
Perjanjian Perdamaian Westphalia dianggap
sebagai peristiwa penting dalam sejarah HI modern.
Bahkan, dianggap sebagai suatu peristiwa yang
meletakkan dasar masyarakat internasional modern yang
didasarkan atas negara-negara nasional. Sebabnya ialah
karena dengan Perdamaian Westphalia ini telah tercapai
hal sebagai berikut:
1. Selain mengakhiri Perang Tiga Puluh Tahun,
Perjanjian Westphalia telah meneguhkan
perubahan dalam peta bumi politik yang telah
terjadi karena perang itu di Eropa;
2. Perjanjian perdamaian itu mengakhiri untuk
selama-lamanya usaha Kaisar Romawi yang suci
(The Holy Roman Emperor) untuk menegakkan
kembali Imperium Roma yang suci;
3. Hubungan antara negara-negara dilepaskan dari
persoalan hubungan kegerejaan dan didasarkan
atas kepentingan nasional negara itu masing-
masing;

27
4. Kemerdekaan Negara Nederland, Swiss dan
negara-negara keci di Jerman diakui dalam
Perjanjian Westphalia itu.

Perjanjian Westphalia telah meletakkan dasar


bagi suatu susunan masyarakat internasional yang baru,
baik mengenai bentuknya yaitu didasarkan atas negara-
negara nasional (tidak lagi didasarkan atas kerajaan-
kerajaan) maupun mengenai hakikat negara-negara itu
dan pemerintahannya yakni pemisahan kekuasaan negara
dan pemerintahan dari pengaruh gereja.
Ciri-ciri pokok yang membedakan organisasi atau
susunan masyarakat internasional yang baru ini dari
susunan masyarakat Kristen Eropa pada zaman abad
pertengahan yang didasarkan atas sistem feodalisme
adalah sebagai berikut:
1. Negara merupakan satuan teritorial yang
berdaulat. Setiap negara dalam batas wilayahnya
mempunyai kekuasaan tertinggi yang ekslusif;
2. Hubungan nasional satu dengan yang lainnya
didasarkan atas kemerdekaan dan persamaan
derajat;

28
3. Masyarakat negara-negara tidak mengakui
kekuasaan di atas mereka seperti seorang kaisar
pada zaman abad pertengahan dan Paus sebagai
kepala gereja;
4. Hubungan antara negara-negara berdasarkan atas
hukum yang banyak mengambil oper pengertian
lembaga hukum perdata hukum Romawi;
5. Negara mengakui adanya hukum internasional
sebagai hukum yang mengatur hubungan antara
negara-negara, tetapi menekankan peranan yang
besar yang dimainkan negara dalam kepatuhan
terhadap hukum ini (lihat 7 di bawah);
6. Tidak adanya Mahkamah (internasional) dan
kekuatan polisi internasional untuk memaksakan
ditaatinya ketentuan hukum internasional;
7. Anggapan terhadap perang yang dengan
lunturnya segi-segi keagamaan bersih dari
anggapan mengenai doktrin belum justum sebagai
ajaran perang suci ke arah ajaran yang
menganggap perang sebagai salah satu cara
penggunaan kekerasan (di samping represaille)

29
dalam penyelesaian sengketa untuk mencapai
tujuan kepentingan nasional (perang yang benar).
Dasar-dasar yang diletakkan dalam Perjanjian
Westphalia di atas diperteguh lagi dalam Perjanjian
Utrecht, yang penting artinya dilihat dari sudut politik
internasional pada waktu itu karena menerima asas
keseimbangan kekuatan sebagai asas politik
internasional.
Sekularisasi kekuasaan negara dan pemerintahan
serta menghilangnya pengaruh atau kekuasaan gereja
sebagai satu kekuasaan spiritual yang memberikan
bimbingan kepada negara dalam hubungan antara mereka
satu sama lain, menimbulkan kebutuhan terhadap suatu
sandaran baru yang mengatasi kekuasaan nasional
masing-masing negara. Dengan demikian, adanya ajaran
hukum alam dalam ajaran hukum internasional yang
telah disekulerkan sebagaimana diajarkan oleh Hugo
Grotius memenuhi suatu kebutuhan yang dirasakan pada
waktu itu.
Sukses Hugo Grotius, penulis karya De Jure Belli
ac Pacis yang terbit pada waktu itu, selain disebabkan

30
oleh nilai intrinsiknya yang tinggi juga karena ajaran
Hugo Grotius itu sesuai sekali dengan panggilan zaman.
Grotius mendasarkan sistem hukum
internasionalnya atas berlakunya hukum alam. Akan
tetapi, hukum alam telah dilepaskannya dari pengaruh
keagamaan dan kegerejaan. Disamping itu, ajaran
Grotius juga menarik karena ia memberikan tempat yang
penting kepada negara-negara nasional. Tulisannya juga
menonjol karena selain banyak didasarkan atas dasar
praktik negara dan perjanjian antarnegara yang
disebutnya sebagai sumber hukum internasional di
samping hukum alam yang diilhami oleh akal manusia, ia
juga telah meletakkan dasar bagi sistematik pembahasan
hukum internasional yang untuk sebagian besar masih
dianut hingga sekarang. Tidaklah mengherankan apabila
Hugo Grotius lebih-lebih dari para sarjana sebelumnya,
dianggap sebagai bapak hukum internasional.
Sebelum Grotius telah terdapat sarjana-sarjana
yang menulis tentang hukum internasional :
1. Fransisco Vittoria
Biarawan Dominikan yang berkebangsaan Spanyol
yang dalam abad XIV menulis buku relectio de indis.

31
Di dalamnya ia menulis tentang hubungan Spanyol
dan Portugis dengan orang Indian di Amerika.
Tulisan Fransisco penting karena untuk pertama
kalinya dikemukakan bahwa negara dalam tingkah
lakunya tidak bisa bertindak sekehendak hatinya.
Dengan demikian, hukum bangsa-bangsa yang ia
namakan ius inter gentes tidak hanya terbatas pada
dunia Kristen Eropa, melainkan meliputi seluruh
umat manusia. Bagi masa itu ajaran Vittoria ini
merupakan suatu pendirian yang berani.
2. Fransisco Suarez.
Seorang penulis lain yang berkebangsaan Spanyol
ialah seorang Yesuit bernama Fransisco Suarez yang
menulis De Legibus ae Deo Legislatore (on Laws and
God as Legislator) yang mengemukakan adanya
suatu hukum atau kaidah objektif yang harus dituruti
oleh negara-negara dalam hubungan antara mereka.
Dengan demikian, Ia meletakkan dasar suatu ajaran
hukum internasional yang meliputi seluruh umat
manusia.
3. Balthazar Ayala (1548-1584).
4. Alberico Gentilis (1552-1608).

32
Kecuali Gentilis yang mengadakan pemisahan
antara etika, agama dan hukum, para penulis yang baru
disebut tadi dan yang tersebut terdahulu, dalam menulis
berbagai karya mengenai hukum internasional masih
mendasarkan ajaran mereka atas falsafah keagamaan.
Para penulis yang paling terkemuka sesudah
Hugo Grotius pada abad XVII dan XVIII :
1. Zouche (1590-1660) guru besar hukum perdata di
Oxford, adalah positivist yang mementingkan praktik
negara sebagai sumber hukum sebagaimana terjelma
dalam adat kebiasaan dan perjanjian-perjanjian,
walaupun ia tidak secara mutlak menolak hukum
alam.
2. Pufendorf (1632-1694) seorang ahli hukum Belanda.
Menurutnya hukum internasional itu merupakan
bagian dari hukum alam yang sebagai hukum yang
berpangkal pada akal manusia mengatur kehidupan
manusia kapan saja dan di mana saja ia berada,
apakah ia hidup berorganisasi dalam negara atau
tidak.
3. Christian Wolf (1609-1764) seorang ahli hukum dan
ahli filsafat Jerman. Ia mengemukakan teori

33
mengenai Civitas Maxima yang sebagai suatu negara
dunia meliputi negara-negara di dunia.
4. Von Martens (1756-1821) seorang guru besar hukum
yang berkebangsaan Jerman. Adalah positivist yang
mementingkan praktik negara sebagai sumber hukum
sebagaimana terjelma dalam adat kebiasaan dan
perjanjian-perjanjian, walaupun ia tidak secara
mutlak menolak hukum alam. Von Martens terutama
terkenal karena Receuil des Traites, suatu kumpulan
perjanjian yang masih merupakan suatu kumpulan
yang berharga hingga sekarang.
5. Emmerich Vattel (1714-1767) seorang ahli hukum
dan diplomat yang berkebangsaan Swiss.
Ia tidak dapat digolongkan baik dalam golongan
hukum alam maupun golongan positivist dan lebih
dikenal sebagai seorang ellectic yakni orang yang
memilih segi-segi baik dari kedua aliran tersebut di
atas.
Hal lain yang menyebabkan Emerich Vattel menonjol
di antara yang lain ialah caranya menulis dan
menerangkan masalah hukum internasional yang
jelas.

34
Masyarakat internasional yang diletakkan dasar-
dasarnya dalam Perjanjian Westphalia terus bertambah
kuat yang kemudian mendorong timbulnya Revolusi
Perancis dan Amerika dan usaha negara-negara besar
mengambil keagamaan dan kekuasaan (hegemoni) dari
kerajaan-kerajaan besar di Eropa. Revolusi-revolusi ini
menambah satu segi yaitu segi kerakyatan kepada sifat
pemerintahan negara yang pada waktu itu dicirikan oleh
kebangsaan, sehingga negara-negara nasional yang
tadinya masih dikuasai raja-raja menjadi negara
nasional kerakyatan.
Kejadian yang penting dilihat dari sudut
perkembangan hukum internasional ialah Konferensi
Perdamaian tahun 1856 dan Konferensi Jenewa tahun
1864, yang mempelopori Konferensi Den Haag tahun
1899 yang sangat penting artinya dalam hukum
internasional. Dalam semua konferensi perdamaian itu
untuk pertama kalinya suatu konferensi internasional
dipergunakan secara sadar untuk melahirkan konvensi
internasional yang membentuk perjanjian yang berlaku
secara umum dan direncanakan untuk diadakan secara
berkala.

35
Konferensi perdamaian Den Haag I pada tahun
1899 ini disusul oleh Konferensi Perdamaian Den Haag
II pada tahun 1907 menghasilkan banyak konvensi
internasional yang penting artinya bagi perkembangan HI
terutama di bidang hukum perang. Kedua Konferensi
Perdamaian Den Haag itu juga membentuk Mahkamah
Arbitrase Permanen. Dengan Konferensi Perdamaian
Den Haag tahun 1899 dan 1907 masyarakat internasional
yang didasarkan atas negara-negara kebangsaan menutup
tahap pertama dari pertumbuhannya yaitu masa
memperjuangkan hak hidup negara kebangsaan yang
dimulai sejak masa memperjuangkan hak hidup negara
kebangsaan yang dimulai sejak diadakannya Perjanjian
Westphalia tahun 1647.
Tahap kedua masyarakat internasional yaitu
masa konsolidasi. Dalam masa (periode) yang berakhir
dengan diadakannya Konferensi Perdamaian Den Haag
tahun 1907 di atas tadi, telah terjadi tiga hal yang penting
yang dapat kita anggap sebagai ciri konsolidasi
masyarakat internasional yang didasarkan atas negara-
negara kebangsaan :

36
 Negara sebagai kesatuan politik teritorial yang
terutama didasarkan atas kebangsaan (nation
state) telah menjadi kenyataan.
 Diadakannya berbagai konferensi internasional
untuk mengadakan perjanjian internasional yang
bersifat umum dan meletakkan kaidah hukum
yang berlaku secara universal.
 Dibentuknya mahkamah Internasional Arbitrase
Permanen. Pembentukan Mahkamah Arbitrase
Permanen yang kemudian dalam tahun 1921
disusul oleh pembentukan suatu Mahkamah
Internasional untuk mengadili perkara-perkara
internasional menurut hukum, merupakan
kejadian yang penting.
 Pada masa sesudah Perjanjian Perdamaian Den
Haag tahun 1907 yang kita namakan masa
konsolidasi masyarakat internasional modern,
telah terjadi pula beberapa kejadian yang penting
bagi perkembangan masyarakat internasional
sebagai suatu masyarakat hukum, yaitu :
 Diadakannya Perjanjian Melarang Perang sebagai
suatu cara mencapai tujuan nasional yakni Briand

37
Kellog Pact yang diadakan di Paris tahun 1928
dan
 Didirikannya LBB dengan perjanjian Versailles
sesudah Perang Dunia II. Apabila Perjanjian
Briad-Kellog tahun 1928 mengenai larangan
perang masih dapat kita anggap langkah
konsolidasi dalam perkembangan masyarakat
internasional dalam arti masyarakat antarnegara,
pembentukan LBB pada tahun 1919 dan PBB
pada tahun 1945 merupakan perkembangan yang
membuka satu dimensi baru dalam kehidupan
masyarakat internasional.
 PBB dan sebelumnya LBB telah menambah satu
dimensi baru pada masyarakat internasional
modern yaitu fenomena organisasi atau lembaga
internasional yang melintasi batas-batas negara
dan mempunyai wewenang dan tugas di samping
dan kadang-kadang di atas kekuasan negara-
negara nasional.
Tahap ketiga dalam pertumbuhan masyarakat
internasional yakni emansipasi politik negara-negara

38
terjajah ke dalam masyarakat internasional sebagai
negara-negara yang merdeka dan sama derajatnya.

PENUTUP
Soal – Soal :
1. Uraikan secara garis besar tahapan sejarah
perkembangan hukum internasional !.
2. Perjanjian perdamaian Westphalia merupakan
peristiwa penting dalam sejarah hukum
internasional modern. Sebutkan beberapa hal yag
dicapai dalam perjanjian tersebut !.
3. Jelaskan latar belakang mengapa Hugo Grotius
dianggap sebagai bapak hukum internasional ?.
4. Uraikan beberapa konperensi perdamaian yang
pernah dilaksanakan sebagai wujud nyata
perkembangan hukum internasional terutama
dibidang hukum perang !
5. Jelaskan apa yang dimaksud dengan”Briand
Kellog Pact” !.

39
BAB IV
HAKEKAT DAN DASAR BERLAKUNYA HUKUM
INTERNASIONAL

PENDAHULUAN
Walaupun pelanggaran terhadap hukum
iternasional biasanya lebih menarik perhatian, dalam
kenyataan negara dan subyek hukum lainnya dapat
dikatakan menurut kaedah-kaedah hukum internasional
tersebut. Namun demikian muncul pertanyaan tentang
apakah yang menjadi dasar kekuatan mengikat hukum
internasional ?. Pertanyaan ini sangat menarik dan
mendesak karena berlainan dengan tata hukum nasional,
hukum internasional tidak memiliki lembaga-lembaga
yang lasim diaosiasikan dengan hukum dan
pelaksanaannya. Masysrakat internasional tidak
menganal adanya suatu kekuasaan eksekutif pusat seperti
dalam negara-negara nasional. Masyarakat internasional
dalam bentuknya sekarang merupakan suatu tertib
hukum koordinasi dari sejumlah negara-negara yang
merdeka berdaulat. Dalam tata masyarakat demikian

40
tidak pula aterdapat suatu badan legislatif maupun
kekuasaan kehakiman dan polisional yang dapat
memaksakan berlakunya kehendak masyarakat
internasional sebagaimana tercermin dalam kaedah
hukumnya. Semua kelemahan kelembagaan
(institusional) telah menyebabkan beberapa pemikir
mulai dari Hobbes dan Spinoza hingga Austin
menyengkal sifat mengikat hukum internasional.

PENYAJIAN
Apakah yang menjadi dasar kekuatan mengingat
dari pada hukum internasional itu?. Mengenai hal ini
terdapat beberapa teori, sebagai berikut :
4.1. Teori yang tertua ialah teori hukum alam
(natural law).
 Ajaran ini yang mula-mula mempunyai ciri
keagamaan yang kuat, untuk pertamakalinya
dilepaskan dari hubungannya dengan keagamaan
itu oleh Hugo Grotius. Dalam bentuknya yang
sudah disekularisir, hukum alam diartikan sebagai
hukum ideal yang didasarkan atas hakikat

41
manusia sebagai mahkluk yang berakal atau
kesatuan kaidah yang diilhamkan alam pada akal
manusia.
 Menurut para penganut ajaran hukum alam ini,
hukum intenasional itu mengikat karena hukum
internasional itu tidak lain daripada hukum
alam yang diterapkan pada kehidupan bangsa-
bangsa.
 Keberatan yang secara umum dapat
dikemukakan terhadap teori yang didasarkan atas
hukum alam ini ialah : bahwa apa yang
dimaksudkan dengan hukum alam itu sangat
samar dan bergantung pada pendapat subjektif
dari yang bersangkutan mengenai keadilan,
kepentingan masyarakat internasional dan lain-
lain konsep yang serupa.
 Walaupun demikian teori hukum alam dan
konsep hukum alam telah mempunyai pengaruh
besar dan baik terhadap perkembangan hukum
internasional. Ajaran ini karena idealisme yang
tinggi telah menimbulkan keseganan terhadap
hukum internasional dan telah meletakkan dasar

42
moral dan etika yang berharga bagi hukum
internasional, juga bagi perkembangan
selanjutnya.
4.2. Teori Kehendak Negara.
 Aliran lain mendasarkan kekuatan hukum
internasional itu atas kehendak negara itu
sendiri untuk tunduk pada hukum
internasional.
 Pada dasarnya negara yang merupakan sumber
segala hukum, dan hukum internasional itu
mengikat karena negara itu atas kemauan sendiri
mau tunduk pada hukum internasional.
 Aliran ini yang menyandarkan teori mereka pada
falsafah Hegel yang dahulu mempunyai pengaruh
yang luas di Jerman. Salah seorang yang paling
terkemuka dari aliran ini adalah George Jellineck
yang terkenal dengan Selbst-limitation-theorie-
nya.
 Seorang pemuka lain dari aliran ini ialah Zorn
yang berpendapat bahwa hukum internasional itu
tidak lain daripada hukum tata negara yang
mengatur hubungan luar suatu negara (auszeres

43
Staatsrecht). Hukum internasional bukan sesuatu
yang lebih tinggi yang mempunyai kekuatan
mengikat di luar kemauan negara.
 Kelemahan dari teori-teori ini ialah bahwa
mereka tidak dapat menerangkan dengan
memuaskan bagaimana caranya hukum
internasional yang bergantung kepada kehendak
negara dapat mengikat negara itu. Bagaimanakah
kalau suatu negara secara sepihak membatalkan
niatnya untuk mau terikat oleh hukum itu ?
Hukum internasional lalu tidak lagi mengikat.
Masih patutkah ia dinamakan hukum ? Teori ini
juga tidak menjawab pertanyaan mengapa suatu
negara baru, sejak munculnya dalam masyarakat
internasional sudah terikat dari hukum
internasional lepas dari mau tidak maunya ia
tunduk padanya. Juga adanya hukum kebiasaan
tidak terjawab oleh teori-teori ini.

4.3. Teori Kehendak Bersama.

44
 Teori ini hendak menyandarkan kekuatan
mengikat hukum internasional pada kemauan
bersama.
 Triepel berusaha membuktikan bahwa hukum
internasional itu mengikat bagi negara, bukan
karena kehendak mereka satu per satu untuk
terikat, malainkan karena adanya suatu kehendak
bersama, yang lebih tinggi dari kehendak masing-
masing negara, untuk tundak pada hukum
internasional.
 Kehendak bersama negara ini, yang berlainan
dengan kehendak negara yang spesifik tidak perlu
dinyatakan, dinamakannya Vereinbarung.
Vereinbarungs-theorie ini mencoba menerangkan
sifat mengikat hukum kebiasaan (costumary law)
dengan mengatakan bahwa dalam hal demikian
kehendak untuk terikat diberikan secara diam-
diam (implied). Dengan melepaskannya dari
kehendak individual negara dan mendasarkannya
pada kemauan bersama (Vereinbarung), Triepel
mendasarkan kekuatan mengikat hukum
internasional pada kehendak negara, tetapi

45
membantah kemungkinan suatu negara
melepaskan dirinya dari ikatan itu dengan suatu
tindakan sepihak.
 Teori yang mendasarkan berlaku hukum
internasional itu pada kehendak negara (teori
voluntaris) ini merupakan pencerminan dari teori
kedaulatan dan aliran positivisme yang menguasai
alam pikiran dunia ilmu hukum di benua Eropa –
terutama Jerman pada bagian kedua abad ke-19.
 Kesukaran teori-teori yang hendak menerangkan
hakikat hukum (yaitu kekuatan dasar mengikat
hukum itu) berdasarkan kehendak subjek hukum
ialah bahwa dasar pikiran itu tidak bisa diterima.
Kehendak manusia saja tidak mungkin
merupakan dasar kekuatan hukum yang mengatur
kehidupan. Sebab kalau demikian ia bisa
melepaskan diri dari kekuatan mengikat hukum
dengan menarik kembali persetujuannya untuk
tunduk pada hukum itu. Dengan perkataan lain,
persetujuan negara untuk tunduk pada hukum
internasional menghendaki adanya suatu hukum
norma sebagai sesuatu yang telah ada terlebih

46
dahulu, dan berlaku lepas dari kehendak negara
(aliran objektivis).

4.4. Madzhab Wina


 Bukan kehendak negara melainkan suatu
norma hukum-lah yang merupakan dasar
terakhir kekuatan mengikat hukum
internasional. Demikianlah pendirian suatu aliran
yang terkenal dengan nama Mazhab Wiena.
 Menurut mazhab ini kekuatan mengikat suatu
kaidah hukum internasional didasarkan suatu
kaidah yang lebih tinggi yang pada gilirannya
didasarkan pula pada suatu kaidah yang lebih
tinggi dan demikian seterusnya. Akhirnya,
sampailah kita pada puncak piramida kaidah
hukum tepat terdapatnya kaidah dasar
(Grundnorm) yang tidak dapat lagi
dikembalikan pada suatu kaidah yang lebih
tinggi, melainkan harus diterima adanya
sebagai suatu hipotese asal
(Ursprungshypothese) yang tidak dapat
diterangkan secara hukum.

47
 Kelsen yang dianggap sebagai bapak mazhab
Wiena ini mengemukakan asas pacta sunt
servanda sebagai dasar kaidah (Grundnorm)
hukum internasional.
 Keberatan : Ajaran mazhab Wiena ini yang
mengembalikan segala sesuatunya kepada suatu
kaidah dasar, memang dapat menerangkan secara
logis dari makna kaidah hukum internasional itu
memperoleh kekuatan mengikatnya, tetapi ajaran
ini tidak menerangkan mengapa kaidah dasar itu
sendiri mengikat.

4.5. Madzhab Perancis


 Mazhab Perancis dengan para pemuka antara lain
terutama Fauchile, Scelle dan Duguit
mendasarkan kekuatan mengikat hukum
internasional seperti juga segala hukum – pada
faktor biologis, sosial dan sejarah kehidupan
manusia yang mereka namakan fakta
kemasyarakatan (fait social) yang menjadi dasar
kekuatan mengikatnya segala hukum termasuk
hukum internasional.

48
 Menurut mereka persoalannya dapat
dikembalikan pada sifat alami manusia sebagai
makhluk sosial, hasratnya untuk bergabung
dengan manusia lain dan kebutuhannya akan
solidaritas. Kebutuhan dan naluri sosial manusia
sebagai orang seorang menurut mereka juga
dimiliki oleh bangsa-bangsa. Jadi, dasar kekuatan
mengikat hukum (internasional) terdapat dalam
kenyataan bahwa mengikatnya hukum itu mutlak
perlu untuk dapat terpenuhinya kebutuhan
manusia (bangsa) untuk hidup bermasyarakat.

PENUTUP
Soal – Soal :
1. Jelaskan tentang teori hukum alam berkaitan
dengan dasar kekuatan mengikat hukum
internasional !.
2. Berikan alasan mengapa John Austin menyangkal
sifat mengikat hukum internasional ?.
3. Jelaskan tentang teori kehendak negara dalam
kaitannya dengan hakekat dan dasar berlakunya
hukum internasional !.

49
4. Jelaskan tentang Vereinbarungs theorie dari
Triepel !.
5. Bagaimana ajaran Mazhab Wiena dari Hans
Kelsen tentang Kaidah Dasar (grundnorm) !.

50
BAB V
HUBUNGAN ANTARA HUKUM
INTERNASIONAL
DAN HUKUM NASIONAL

PENDAHULUAN
Seperti kita ketahui bahwa disamping ada hukum
internasional, ada pula hukum yang sudah lebih dahulu
kita kenal yaitu hukum nasional. Secara umum perbedaan
antara kedua bidang hukum tersebut sebenarnya sudah
juga kita ketahui. Walaupun perbedaan yang secara
umum tersebut belum tentu menggambarkan keadaan
yang benar. Hal ini disebabkan oleh karena apa yang
merupakan gambaran umum tersebut hanyalah
berdasarkan pada pengamatan sepintas saja. Jadi
bukanlah berdasarkan pada suatu penalaran yang
mendalam.
Dalam uraian ini akan dibahas secara lebih
mendalam tentang keberadaan kedua bidang hukum
tersebut serta hubugan antar keduanya Pembahasan ini
dimulai dari aspek teoretis sampai pada aspek praktisnya.

51
Aspek teoretisnya menyangkut tentang pandangan atau
aliran yang mencoba menjawab masalah tersebut
sedangkan aspek praktisnya menyangkut penerapannya
dalan prakte, yaitu bagaimana negara-negara
mempraktekan masalah tersebut.

PENYAJIAN
5.1. TEMPAT HUKUM INTERNASIONAL
DALAM TATA HUKUM SECARA
KESELURUHAN
Dalam teori ada dua pandangan tentang hukum
internasional yaitu pandangan yang dinamakan
voluntarisme (dualisme), yang mendasarkan berlakunya
hukum internasional ini pada kemauan negara, dan
pandangan objektivis yang menganggap ada dan
berlakunya hukum internasional ini lepas dari kemauan
negara.
Akibat pandangan voluntarisme (dualisme) :
adanya hukum internasional dan hukum nasional sebagai
dua satuan perangkat hukum yang hidup berdampingan
dan terpisah. Akibat pandangan objektivis (monisme) :

52
adanya hukum internasional dan hukum nasional sebagai
dua satuan dari satu kesatuan perangkat hukum. Erat
hubungannya dengan hal ini ialah persoalan hubungan
hirarki antara kedua perangkat hukum itu.

a. Aliran Voluntarime (Dualisme)


Aliran dualisme pernah sangat berpengaruh di
Jerman dan Italia. Pemuka aliran ini yang utama ialah
Triepel, seorang pemuka aliran positivisme dari jerman
dan Anzilotti, pemuka aliran positivisme dari Italia.
Menurut paham dualisme ini yang bersumber pada teori
bahwa daya ikat hukum internasional bersumber
pada kemauan negara, hukum internasional dan
hukum nasional merupakan dua sistem atau
perangkat hukum yang terpisah satu dari yang
lainnya.
Alasan yang diajukan penganut aliran dualisme
yang terpenting :
1. Kedua perangkat hukum tersebut yakni hukum
nasional dan hukum internasional mempunyai
sumber yang berlainan, hukum nasional
bersumber pada kemauan negara, sedangkan

53
hukum internasional bersumber pada kemauan
bersama masyarakat negara.
2. Kedua perangkat hukum itu berlainan subjek
hukumnya. Subjek hukum dari hukum nasional
ialah orang perorang baik apa yang dinamakan
hukum perdata ataupun hukum publik, sedangkan
subjek hukum dari hukum internasional ialah
negara.
3. Sebagai tata hukum, hukum nasional dan hukum
internasional menampakan pula perbedaan
dalam strukturnya. Lembaga yang diperlukan
untuk melaksanakan hukum dalam kenyataannya
seperti mahkamah dan organ eksekutif hanya ada
dalam bentuk yang sempurna dalam lingkungan
hukum nasional.
4. Alasan lain yang dikemukakan sebagai
argumentasi yang didasarkan atas kenyataan ialah
bahwa daya laku atau keabsahan kaidah hukum
nasional tidak terpengaruh oleh kenyataan bahwa
kaidah hukum nasional itu bertentangan dengan
hukum internasional. Dengan perkataan lain
dalam kenyataan ketentuan hukum nasional

54
tetap berlaku secara efektif sekalipun
bertentangan dengan ketentuan hukum
internasional.

Pandangan dualisme mempunyai beberapa akibat


yang penting :
1. Salah satu akibat pokok yang terpenting ialah
bahwa kaidah-kaidah dari perangkat hukum yang
satu tidak mungkin bersumber atau berdasar
pada perangkat hukum yang lain. Dengan
perkataan lain, teori dualisme tidak ada tempat
bagi persoalan hirarki antara hukum nasional dan
hukum internasional karena pada hakikatnya
kedua perangkat hukum ini tidak saja berlainan
dan tidak tergantung satu sama lainnya tetapi juga
lepas satu dari yang lainnya.
2. Akibat kedua ialah bahwa tidak mungkin ada
pertentangan antara kedua perangkat hukum itu,
yang mungkin hanya penunjukan (renvoi) saja.
3. Akibat lain yang penting pula ialah bahwa
ketentuan hukum internasional memerlukan

55
transformasi menjadi hukum nasional sebelum
dapat berlaku dalam lingkungan hukum nasional.

Alasan-alasan yang diajukan oleh kaum dualis di


atas apabila dikaji benar-benar, tidak lepas dari berbagai
kelemahan sebagai berikut :
 Mengenai sumber hukum yang berbeda,
kelemahan pendirian kaum dualis tidak dapat
dilepaskan dari kelemahan teori dasar mereka
bahwa sumber segala hukum itu baik hukum
nasional maupun hukum internasional adalah
kemauan negara, di mana sumber hukum nasional
itu sukar dikembalikan kepada kemauan negara.
Hukum menurut pandangan Mochtar
Kusumaatmadja ada dan beraku karena
dibutuhkan oleh kehidupan manusia yang
beradab. Tanpa hukum kehidupan yang teratur
tidak mungkin. Hal yang sama berlaku pula bagi
masyarakat internasional. Jadi, adanya hukum dan
daya ikat hukum tidak bersumber pada kemauan
negara, melainkan merupakan prasyarat bagi
kehidupan manusia yang teratur dan beradab

56
sehingga disebabkan oleh kebutuhan kehidupan
manusia bermasyarakat yang hirarki yang tidak
dapat dielakkan, lepas dari apakah adanya hukum
itu diinginkan oleh subjek hukum itu sendiri atau
tidak. Dengan demikian, tidak tepat pula bila
berbicara tentang berlainannya sumber hukum itu
karena pada hakikatnya sumbernya sama yakni
kebutuhan menusia untuk hidup secara teratur.
 Alasan yang didasarkan atas berlainannya
subjek hukum dari hukum nasional dan
hukum internasional, juga kurang meyakinkan.
Kebenaran argumentasi kaum dualis ini dibantah
oleh kenyataan bahwa di dalam sutau lingkungan
hukum, katakanlah hukum nasional pun dapat
terjadi bahwa subjek hukum itu berlainan. Karena
itu, dalam hukum nasional ada pembagian antara
hukum perdata dan hukum publik. Sebaliknya,
tidak pula benar bila mengatakan bahwa subjek
hukum dari hukum internasional ialah negara
karena perkembangan akhir-akhir ini menunjukan
bahwa individu atau orang perorangan pun dapat
menjadi subjek hukum internasional.

57
 Argumen kaum dualis yang didasarkan atas
berbedanya struktur hukum nasional dan
hukum internasional juga kurang tepat karena di
sini letak perbedaan tidaklah bersumber pada
perbedaan yang hirarki atau asasi (prinsipal)
melainkan perbedaan yang gradual. Dengan
perkataan lain, apa yang dinamakan perbedaan
struktur itu hanya merupakan bentuk perwujudan
atau gejalah saja dari taraf integrasi yang
berlainan dari masyarakat nasional dan
masyarakat internasional. Sebagai bentuk
masyarakat, masyarakat nasional telah mencapai
taraf perkembangan yang lebih tinggi. Dengan
sendirinya bentuk organisasinya pun lebih
berkembang dan sempurna.
Keberatan terbesar terhadap teori dualisme ialah
pemisahan mutlak antara hukum nasional dengan hukum
internasional tidak dapat menerangkan dengan cara
memuaskan kenyataan bahwa dalam praktik sering kali
hukum nasional itu tunduk pada atau sesuai dengan
hukum internasional. Kenyataan bahwa ada kalanya
hukum nasional yang berlaku bertentangan dengan

58
hukum internasional, bukan merupakan bukti perbedaan
struktural seperti dikatakan kaum dualis, melainkan
hanya bukti kurang efektifnya hukum internasional.

b. Aliran Objektivis (Monisme).


Paham monisme didasarkan atas pemikiran
kesatuan dari seluruh hukum yang mengatur hidup
manusia. Dalam rangka pemikiran ini hukum
internasional dan hukum nasional merupakan dua bagian
dari satu kesatuan yang lebih besar yaitu hukum yang
mengatur kehidupan manusia.
Akibat pandangan monisme ini ialah bahwa
antara dua perangkat ketentuan hukum ini mungkin
ada hubungan hirarki. Persoalan hirarki antara hukum
nasional dan hukum internasional inilah yang melahirkan
beberapa sudut pandangan yang berbeda dalam aliran
monisme mengenai masalah hukum manakah yang utama
dalam hubungan antara hukum nasional dan hukum
internasional.
 Ada pihak yang menganggap bahwa dalam
hubungan antara hukum nasional dan hukum
internasional yang utama ialah hukum nasional.

59
Paham ini adalah paham monisme dengan
primat hukum nasional.

 Paham yang lain berpendapat bahwa dalam


hubungan antara hukum nasional dan hukum
internasional yang utama ialah hukum
internasional. Pandangan ini disebut paham
monisme dengan primat internasional. Menurut
teori monisme kedua-duanya mungkin.

1. Pandangan monisme dengan primat hukum


nasional.
Dalam pandangan monisme dengan primat hukum
nasional, hukum internasional itu tidak lain daripada
lanjutan hukum nasional belaka, atau tidak lain dari
hukum nasional untuk urusan luar negeri, atau auszeres
Staatsrecht. Aliran ini pernah kuat di Jerman dengan
adanya apa yang dinamakan mazhab Bonn, (antara lain
Max Wensel).
Pandangan yang melihat kesatuan antara hukum
nasional dan hukum internasional dengan primat hukum

60
nasional ini pada hakikatnya menganggap bahwa hukum
internasional itu bersumber pada hukum nasional.
Alasan utama anggapan ini ialah :
1. Bahwa tidak ada satu organisasi di atas negara-
negara yang mengatur kehidupan negara-negara
di dunia ini.
2. Dasar hukum internasional yang mengatur
hubungan internasional terletak dalam
wewenang negara untuk mengadakan perjanjian
internasional, jadi wewenang konstitusional.

Paham monisme dengan primat hukum nasional ini


memiliki beberapa kelemahan yang cukup gawat.
 Kelemahan dasar ialah bahwa paham ini terlalu
memandang hukum itu sebagai hukum yang
tertulis semata-mata sehingga sebagai hukum
internasional dianggapnya hanya hukum yang
bersumberkan perjanjian internasional, suatu hal
sebagaimana diketahui tidak benar.

61
 Kelemahan kedua ialah bahwa pada hakikatnya
pendirian paham kaum monisme dengan primat
hukum nasional ini merupakan penyangkalan
terhadap adanya hukum internasional yang
mengikat negara. Sebabnya ialah apabila
terikatnya negara pada hukum internasional
digantungkan pada hukum nasional, hal ini sama
dengan menggantungkan berlakunya hukum
internasional itu pada kemauan negara itu sendiri.
Keterikatan itu dapat ditiadakan apabila negara
mengatakan tidak ingin lagi terikat pada hukum
internasional. Dalam hal ini paham monisme
dengan primat hukum nasional tidak jauh berbeda
kesimpulannya dari paham atau aliran dualisme.
Berdasarkan alasan-alasan di atas paham monisme
dengan primat hukum nasional ini pada
hakikatnya merupakan penyangkalan terhadap
adanya hukum internasional walaupun secara
teoretis dan konstruksi logika apa yang
dikemukakannya memang mungkin.

62
2. Paham monisme dengan primat hukum
internasional
Menurut paham monisme dengan primat hukum
internasional, hukum nasional itu bersumber pada hukum
internasional yang menurut pandangannya merupakan
suatu perangkat ketentuan hukum yang hirarkis lebih
tinggi. Menurut paham ini hukum nasional tunduk pada
hukum internasional dan pada hakikatnya berkekuatan
mengikat berdasarkan suatu pendelegasian wewenang
dari hukum internasional.
Paham ini dikembangkan oleh mazhab Vienna
(Kunz, Kelsen dan Verdross) dan disokong pula oleh
Madzah Perancis (Duguit, Scelle dan Bourquin).
Paham monisme dengan primat hukum
internasional sangat menarik dan memuaskan dari
sudut logika. Bagi orang yang ingin melihat hukum
internasional itu sebagai suatu sistem atau perangkat
hukum yang mengatur seluruh kehidupan menusia, suatu
konstruksi yang menjadikan satu hukum nasional dan
hukum internasional ke dalam suatu kesatuan yang lebih
besar memang lebih dapat diterima. Akan tetapi,
penjelasan primat atau supremasi hukum internasional

63
yang dikaitkan dengan persoalan organik struktural
(misalnya masalah : hirarki dan pendelegasian) seperti
diakukan oleh mazhab Vienna itu pun tidak luput dari
kelemahan-kelemahan sebagai berikut :
 Pertama-tama, pandangan bahwa hukum nasional
itu bergantung kepada hukum internasional (juga
kekuatan berlakunya) yang mau tidak mau
mendalilkan bahwa hukum internasional telah
ada lebih dahulu dari hukum nasional,
bertentangan dengan kenyataan sejarah. Tidak
dapat dibantah bahwa menurut kenyataan sejarah,
hukum nasional ada justru sebelum adanya
hukum internasional.
 Demikian pula tidak dapat dipertahankan dalil
bahwa hukum nasional itu kekuatan mengikatnya
diperoleh dari hukum internasional atau bahwa
hukum nasional merupakan suatu derivasi
darinya. Menurut kenyataan, wewenang suatu
negara nasional misalnya yang bertalian dengan
kehidupan antarnegara seperti misalnya
kompetensi mengadakan perjanjian internasional,
sepenuhnya termasuk wewenang hukum nasional

64
(dalam hal ini hukum Tata Negara), yang
sepenuhnya mengatur kompetensi dan prosedur
dalam masalah demikian.

Melihat uraian di atas mengenai persoalan


dualisme dan monisme dalam hubungannya dengan
masalah hubungan antara hukum nasional dan hukum
internasional, kita terpaksa menarik kesimpulan bahwa
kedua paham atau teori itu tidak mampu memberikan
jawaban yang memuaskan. Pada satu pihak pandangan
dualisme yang melihat hukum nasional dan hukum
internasional sebagai dua perangkat ketentuan hukum
yang sama sekali terpisah tidak masuk akal karena pada
hakikatnya merupakan penyangkalan dari hukum
internasional sebagai suatu perangkat hukum yang
mengatur kehidupan antarnegara atau internasional. Pada
pihak lain pandangan monisme yang mengaitkan
tunduknya negara (nasional) pada hukum internasional
dengan persoalan suatu hubungan subordinansi dalam
arti struktural organis, walaupun menurut logika lebih
memuaskan, juga kurang tepat karena memang tidak
sesuai dengan kenyataannya. Namun kesimpulan bahwa

65
hukum nasional tunduk pada hukum internasional
mau tidak mau harus kita terima kalau kita mengakui
adanya hukum internasional.

5.2. PRIMAT HUKUM INTERNASIONAL


MENURUT PRAKTEK INTERNASIONAL

Praktik hukum internasional memberi cukup


bahan atau contoh bagi kesimpulan bahwa pada masa dan
tingkat perkembangan masyarakat internasional dewasa
ini hukum internasional cukup memiliki wibawa terhadap
hukum nasional untuk mengatakan bahwa pada
umumnya hukum internasional itu ditaati dan hukum
nasional itu pada hakikatnya tunduk pada hukum
internasional.
Sebagai contoh dapat dikemukakan bahwa pada
umumnya negara-negara di dunia saling menghormati
tapal batas atau garis batas lainnya yang memisahkan
wilayah negara yang satu dari yang lainnya. Dengan
perkataan lain, negara-negara mentaati HI mengenai
batas wilayah negara sebagai suatu hukum yang
mengikatnya dirinya dalam pergaulan dengan negara

66
lain, khususnya dengan negara tetangga. Kenyataan yang
dilukiskan di atas yaitu bahwa pada umumnya negara-
negara di dunia ini saling menghormati garis batas yang
memisahkan wilayahnya dari wilayah negara lain tidak
berarti bahwa sekali-kali tidak bisa terjadi sengketa
perbatasan. Sengketa perbatasan antara India dan RRC,
RRC dan USSR, Kamboja dengan Muangthai merupakan
beberapa contoh sengketa perbatasan yang terjadi akhir-
akhir ini. Kurang alasan kiranya bila mengatakan bahwa
hukum intenasional (mengenai perbatasan wilayah) tidak
mengikat negara-negara hanya berdasarkan beberapa
peristiwa sengketa perbatasan. Lebih tepat kiranya bila
mengatakan bahwa pelanggaran atau sengketa perbatasan
demikian merupakan pengecualian atau pelanggaran
sekali-sekali terjadi atas kaidah hukum internasional
yang pada umumnya ditepati.
Contoh lain kaidah hukum internasional yang
umumnya ditaati ialah hukum yang mengatur perjanjian
internasional antarnegara. Pada umumnya, negara-negara
mentaati kewajiban yang bersumber pada perjanjian
internasional dengan negara lain. Di sini pun sekali-
sekali hal terjadi penyimpangan dari keadaan umum ini

67
dan seperti juga dalam hal hukum internasional mengenai
perbatasan wilayah, pelanggaran demikian sering
menarik banyak perhatian sehingga terlupakan kenyataan
praktik hukum internasional di bidang ini yang
sebenarnya, yaitu bahwa pada umumnya negara-negara
di dunia mentaati perjanjian internasional yang telah
diadakannya dengan negara lain.
Apa yang diuraikan di atas berlaku juga di bidang
lain hukum internasional seperti misalnya di bidang
hukum diplomatik dan konsuler dan perlakuan terhadap
orang asing termasuk miliknya. Di sini pun dapat
dikatakan bahwa pada umumnya ketentuan hukum
tentang hak kekebalan dan hak istimewa diplomatik dan
ketentuan hukum tentang hak istimewa dan kekebalan
konsuler ditaati negara-negara.
Pada umumnya perlindungan terhadap orang
asing dan hak milik asing yang diberikan oleh HI ditaati
oleh semua negara. Kenyataannya bahwa ada kalanya
negara tuan rumah mengambil tindakan terhadap orang
asing atau hak milik orang asing tidak berarti HI
mengenai bidang hukum ini tidak berlaku. Dalam
keadaan tertentu, ketentuan HI mengenai perlakuan

68
terhadap orang asing dan hak milik orang asing tidak bisa
dipertahankan karena ada kepentingan lain yang lebih
mendesak dan lebih tinggi. Dalam sejarah negara kita
pernah terjadi peristiwa yang memerlukan penyimpangan
dari ketentuan HI mengenai perlindungan milik orang
asing yakni pada waktu pemerintah republik Indonesia
mengadakan tindakan ambil alih perusahan milik
Belanda terutama perkebunan yang kemudian disusul
dengan tindakan nasionalisasi. Tindakan pengambilalihan
milik Belanda yang kemudian disusul dengan
nasionalisasi merupakan tindakan yang prima facie
merupakan tindakan yang melanggar hukum
internasional yang memberikan perlindungan kepada
orang asing dan miliknya. Akan tetapi dalam persoalan
tindakan Pemerintah Indonesia terhadap perkebunan dan
perusahaan lain milik Belanda pada tahun 1958 ini, yang
kemudian dikenal dengan Perkara Tembakau Bremen,
pihak pemerintah Indonesia dengan Maskapai Tembakan
Jerman-Indonesia (Deutsch-Indonesian Tabaks Handels
G.m.b.H) berhasil meyakinkan perngadilan di Bremen
bahwa tindakan pengambilalihan dan nasionalisasi
merupakan tindakan suatu negara berdaulat dalam rangka

69
perubahan struktur ekonomi kolonial ke ekonomi
nasional. Keputusan yang kemudian diambil oleh
pengadilan Bremen yakni bahwa pengadilan tidak
mencampuri sah tidaknya tindakan ambil alih dan
nasionalisasi Pemerintah Indonesia itu, secara tidak
langsung dapat diartikan sebagai membenarkan tindakan
terhadap perusahaan dan pekebunan milik Belanda
tersebut.
Bidang lain dalam praktik hukum internasional
sebagaimana dilakukan oleh bangsa Indonesia yang
menggambarkan hubungan antara hukum internasional
dan hukum nasional ialah hukum laut (publik).

PENUTUP
Soal – Soal :
1. Dalam teori ada dua pandangan tentang hukum
internasional, sebut dan jelaskan !.
2. Jelaskan hubungan Hukum Internasional dan
Hukum Nasional menurut paham Monisme dan
Dualisme !.
3. Jelaskan tentang paham monisme dengan primat
hukum internasional !.

70
4. Berikan contoh kasus berkaitan dengan primat
hukum internasional menurut praktek
internasional !.
5. Jelaskan tentang Incorporatioan Doctrine dari
Blackstone !.

71
BAB VI
SUBJEK HUKUM INTERNASIONAL

PENDAHULUAN
Dalam arti yang sebenarnya subjek hukum
internasional adalah pemegang (segala) hak dan
kewajiban menurut hukum internasional. Kalau mau
subjek hukum internasional demikian dapat kita sebut
subjek hukum internasional penuh. Negara merupakan
subjek hukum internasional dalam arti ini.
Di samping itu, dalam arti yang lebih luas dan
lebih luwes (fleksibel) pengertian subjek hukum
internasional ini mencakup pula keadaan bahwa yang
dimiliki itu hanya hak dan kewajiban yang terbatas.
Misalnya, kewenangan mengadakan penuntutan hak yang
diberikan oleh hukum internasional di muka pengadilan
berdasarkan suatu konvensi. Contoh subjek hukum
internasional dalam arti terbatas demikian adalah orang
perorangan (individu).
Di antara dua kutub yang ekstrim ini terdapat
berbagai macam subjek hukum internasional yang

72
memperoleh kedudukannya berdasarkan hukum
kebiasaan internasional karena perkembangan sejarah.
Berpegang pada pengertian suyek hukum pada
umumnya, maka secara mudahdapat dirumuskan apa
yang dimaksudkan dengan subyek hukum internasional.
Subyek hukum internasional adalah pemegang atau
pendukung hak dan kewajiban menurut hukum
internasional. Degan perkataan lain setiap pendukung
atau pemegang hak dan kewajiban menurut hukum
internasional adalah subyek hukum internasional.

PENYAJIAN
Apabila kita melihat persoalan secara demikian
hukum internasional mengenal subjek hukum
internasional sebagai tersebut di bawah ini:

6.1. NEGARA
Negara adalah subjek hukum internasional dalam
arti yang klasik, dan telah demikian halnya sejak
lahirnya hukum internasional. Bahkan, hingga sekarang
pun masih ada anggapan bahwa hukum internasional itu
pada hakikatnya adalah hukum antarnegara.

73
Dalam suatu negara federal, yang menjadi
pengemban hak dan kewajiban subjek hukum
internasional adalah pemerintah federal. Akan tetapi, ada
kalanya konstitusi federal memungkinkan negara bagian
mempunyai hak dan kewajiban yang terbatas atau
melakukan hal yang biasanya dilakukan oleh pemerintah
federal.

6.2. TAKHTA SUCI


Takhta Suci (Vatican) merupakan suatu contoh
dari subjek hukum internasional yang telah ada sejak
dahulu di samping negara. Hal ini merupakan
peninggalan-peninggalan (atau kelanjutan) sejarah sejak
dahulu ketika Paus bukan hanya merupakan kepala gereja
Roma, tetapi memiliki pula kekuasaan duniawi. Hingga
kini Takhta Suci mempunyai perwakilan diplomatik di
banyak ibukota (antara lain di Jakarta) terpenting di
dunia yang sejajar kedudukannya dengan wakil
diplomatik negara-negara lain. Takhta Suci merupakan
suatu subjek hukum dalam arti yang penuh dan sejajar
kedudukannya dengan negara. Hal ini terjadi terutama
setelah diadakannya perjanjian antara Italia dan Takhta

74
Suci pada tanggal 11 Februari 1929 (Lateran Treaty)
yang mengembalikan sebidang tanah di Roma kepada
Takhta Suci dan memungkinkan didirikannya Negara
Vatikan, yang dengan perjanjian itu sekaligus dibentuk
dan diakui.

6.3. PALANG MERAH INTERNASIONAL


Palang Merah Internasional yang berkedudukan
di Jenewa mempunyai tempat tersendiri (unik) dalam
sejarah hukum internasional. Boleh dikatakan bahwa
organisasi ini sebagai suatu subjek hukum (yang terbatas)
lahir karena sejarah walaupun kemudian kedudukannya
(status) diperkuat dalam perjanjian dan kemudian
Konvensi-konvensi Palang Merah (Konvensi Jenewa
tahun 1949 tentang Perlindungan Korban Perang).
Sekarang Palang Merah Internasional secara umum
diakui sebagai organisasi internasional yang memiliki
kedudukan sebagai subjek hukum internasional walaupun
dengan ruang lingkup yang sangat terbatas.

6.4. ORGANISASI INTERNASIONAL

75
Kedudukan Organisasi Internasional sebagai
subjek hukum internasional sekarang tidak diragukan
lagi, walaupun pada mulanya belum ada kepastian
mengenai hal ini.
Organisasi Internasional seperti PBB dan
Organisasi Buruh Indonesia (ILO) mempunyai hak dan
kewajiban yang ditetapkan dalam Konvensi-konvensi
internasional yang merupakan semacam anggaran
dasarnya. Berdasarkan kenyataan ini sebenarnya sudah
dapat dikatakan bahwa PBB dan Organisasi Internasional
merupakan subjek hukum internasional, setidak-tidaknya
menurut hukum internasional tadi.
Yang masih menjadi persoalan – secara yuridis –
pada waktu itu ialah untuk menegaskan bahwa PBB dan
organisasi sejenis itu merupakan suatu subjek hukum
menurut hukum internasional (umum). Dalam hubungan
ini penting sekali Advisory Opinion yang diberikan oleh
Mahkamah Internasional (International Court of Justice)
apa yang dinamakan kasus Reparation of Injuries.
Persoalannya timbul berhubungan dengan
terbunuhnya Pangeran Bernadotte dari Swedia di Israel
selagi menjalankan tugasnya sebagai anggota Komisi

76
PBB pada tahun 1958. Majelis umum PBB meminta
suatu pendapat hukum (advisory opinion) kepada
Mahkamah Internasional tentang hal apakah PBB
mempunyai kemampuan hukum (legal capacity) untuk
mengajukan klaim ganti rugi terhadap pemerintah de jure
atau de facto yang bertanggung jawab atau tidak.
Dengan pendapat Mahkamah Internasional yang
dinyatakan dalam Advisory Opinion di atas kedudukan
PBB dan organisasi serupa yaitu Badan-Badan Khusus
(Specialized Agencies) PBB sebagai subjek hukum
menurut hukum internasional tidak usah diragukan lagi.

6.5. ORANG PERORANGAN (INDIVIDU)


Dalam arti yang terbatas orang perorangan sudah
agak lama dapat dianggap sebagai subjek hukum
internasional.
Dalam Perjanjian Perdamaian Versailles tahun
1919 yang mengakhiri Perang Dunia I antara Jerman
dengan Inggris dan Perancis, dengan masing-masing
sekutunya, sudah terdapat pasal-pasal yang
memungkinkan orang-perorangan mengajukan perkara
ke hadapan Mahakamah Arbitrase Internasional,

77
sehingga dengan demikian sudah ditinggalkan dalil lama
bahwa hanya negara yang bisa menjadi pihak di hadapan
suatu peradilan internasional. Ketentuan yang serupa
terdapat dalam perjanjian antara Jerman dan Polandia
tahun 1922 mengenai Silesia Atas (Upper Silesia).
Lebih penting artinya bagi perkembangan
pengertian individu sebagai subjek hukum internasional
dari beberapa ketentuan di atas yang bertujuan
melindungi hak minoritas, ialah keputusan Mahkamah
Internasional Permanen (Permanent court of
International Justice) dalam perkara yang menyangkut
pegawai kereta api Danzig (Danzig Railway Official’s
Case). Dalam perkara ini diputuskan Mahkamah apabila
suatu perjanjian internasional memberikan hak tertentu
kepada orang perorangan, hak itu harus diakui dan
mempunyai daya laku dalam hukum internasional artinya
diakui oleh suatu badan peradilan internasional.
Tahap penting berikut dalm perkembangan ini
ialah penuntutan penjahat-penjahat perang di hadapan
Mahkamah Internasional yang khusus diadakan untuk itu
oleh negara-negara sekutu yang telah menang dalam
perang.

78
Dalam proses di muka Mahkamah Penjahat
Perang yang diadakan di Numberg dan Tokyo, bekas
para pemimpin perang Jerman dan Jepang dituntut
sebagai orang perorangan (individu) untuk perbuatan
yang dikualifikasikan sebagai :
1. kejahatan tehadap perdamaian;
2. kejahatan terhadap kemanusiaan;
3. kejahatan perang (yaitu pelanggaran terhadap
hukum perang);
dan permufakatan jahat untuk mengadakan
kejahatan tersebut di atas.

Pengadilan penjahat perang di Nurenberg dan


Tokyo ini telah menggemparkan dunia karena berbagai
hal. Lepas dari kesan kuat yang tidak terhindarkan bahwa
negara-negara sekutu (Inggris, Perancis, Tiongkok,
China, USA dan USSR) didorong oleh balas dendam,
hukum Numberg dan Tokyo ini telah mengesampingkan
beberapa prinsip hukum yang secara umum telah dianut
baik dalam hukum nasional maupun internasional seperti
misalnya antara lain:

79
1. Bahwa seorang pejabat tidak dihukum karena
kebijaksanaan yang dilakukannya;
2. Bahwa seorang pejabat tidak dapat dituntut
sebagai perorangan terhadap tindakan yang
dilakukan sebagai pejabat negara;
3. Bahwa seorang tidak dapat dituntut melakukan
kejahatan yang baru ditentukan sebagai kejahatan
setelah perbuatan dilakukan.

Karena itu, pengadilan penjahat perang


Nurenberg dan Tokyo telah banyak menimbulkan
pertentangan pendapat di kalangan ahli hukum
internasional dan masih dapat diragukan apakah asas
hukum yang secara ad hock telah dikesampingkan pada
waktu itu terpengaruh daya lakunya dalam hukum secara
umum.
Akan tetapi, lepas dari perntanyaan di atas, dilihat
dari sudut perkembangan hukum internasional khususnya
bertalian dengan kedudukan orang perorangan sebagai
subjek hukum internasional, tidak dapat disangkal bahwa
peradilan Nurenberg dan Tokyo ini mempunyai arti
histori (sejarah) yang sangat penting. Karena itu, satu hal

80
menjadi jelas bahwa seorang dapat dianggap langsung
bertanggungjawab sebagai individu bagi kejahatan
perang dan kejahatan terjadap perikemanusiaan, ia tidak
dapat berlindung lagi di belakang negaranya.
Asas hukum yang berhubungan dalam peradilan
Nurenberg dan Tokyo ini kemudian dituangkan dalam
UN Draft Code of Offences against The Peace and
Security of Mankind yang disusun oleh International
law Commission. Perkembangan untuk meletakkan
tanggungjawab langsung atas pelanggaran hukum
internasional dikukuhkan dalam Genocide Convention
(Konvensi tentang Pembunuhan Massal Manusia) yang
telah diterima oleh Sidang Umum PBB Pada tanggal 9
Desember 1948.
Menurut ketentuan dalam Konvensi ini, orang
perorangan yang terbukti telah melakukan tindakan
genocide harus dihukum lepas dari persoalan apakah
mereka itu bertindak sebagai orang perorangan, pejabat
pemerintah atau pimpinan pemerintah atau negara.

6.6. PEMBERONTAK DAN PIHAK DALAM


SENGKETA (BELLIGERENT).

81
Menurut hukum perang, pemberontak dapat
memperoleh kedudukan dan hak sebagai hak sebagai
pihak yang bersengketa (belligerent) dalam beberapa
keadaan tertentu. Akhir-akhir ini ini timbul
perkembangan baru yang walau mirip dengan pengakuan
status pihak yang bersengketa dalam perang, memiliki
ciri lain yang khas, yakni pengakuan terhadap Gerakan
Pembebasan Palestina (PLO).
Kelainan itu karena pengakuan gerakan
pembebasan demikian merupakan penjelmaan dari suatu
konsepsi baru yang terutama dianut oleh negara-negara
dunia ketiga yang didasarkan atas pengertian bahwa
bangsa-bangsa (peoples) dianggap mempunyai beberapa
hak asasi seperti :
1. Hak menentukan nasib sendiri;
2. Hak secara bebas memilh sistem ekonomi, politik
dan sosial sendiri dan
3. Hak menguasai sumber kekayaan alam dari
wilayahnya yang didudukinya.

PENUTUP.
Soal – Soal :

82
1. Jelaskan pengertian tentang subyek hukum
intenasional !.
2. Sebutkan secara tepat beberapa subyek hukum
internasional !.
3. Jelaskan mengapa negara dikatakan sebagai
subyek hukum yang utama !.
4. Jelaskan apa yang saudara ketahui mengenai
Lateran Treaty dalam kaitannya dengan
kedudukan Tahta Suci sebagai subyek hukum
internasional !.
5. Sebutkan contoh kasus dimana individu
dibebankan tanggung jawab , berkaitan dengan
individu sebagai salah satu subyek hukum
interasional !.

83
BAB VII
SUMBER HUKUM INTERNASIONAL

PENDAHULUAN
Jika kita berbicara atau membahas tentang
sumber hukum pada umumnya dan sumber hukum
internasional pada khususnya, maka terlebih dahulu kita
harus memahami tentang arti dari perkataan “sumber”
tersebut; sesudah itu barulah kita mengaitkan dengan kata
“hukum” dan secara lebih khusus lagi dengan hukum
internasional. Jadi dalam hal ini kita mulai menelaah
pengertian sumber hukum dan sumber hukum
internasional itu dengan menggunakan penafsiran secara
gramatika atau tata bahasa. Dalam bahasa indonesia, kata
“sumber” berarti “asal”, asal usul atau asal mula. Kalau
kita renugkan secara mendalam, perkataan asal, asal
usul,dan asal mulaitu mengandung arti yang luas dan
agak umum.
Pertama, dapat berarti sebagai awal mula atau
kemunculan yang pertama kali, Jadi sebelumnya tidak
pernah ada atau tidak pernah terwujud.

84
Kedua, dapat pula diartikan sebagai suatu proses
yang berekesinambungan berupa rangkaian peristiwa
ataupu fakta, dan dapat dibayangkan bahwa fakta atau
peristiwa yang belakangan bersumber pada/berasal dari
atau terjadi sebagai akibat dari fakta atau peristiwa yang
terjadi/ada lebih dahulu. Dalam hal ini kita melihat
sumber dalam pegertian sebagai suatu hubungan kausa
antara dua atau lebih fakta atau peristiwa.
Ketiga, sumber dapat diartikan sebagai bentuk
atau wujud yang tempak atau yang menimbulkan benda,
fakta atau peristiwa tersebut. Dalam hal ini bentuk atau
wujud itu dapat dipandang sebagai sumber dari benda,
fakta atau peristiwa, tanpa menelaah lebih mendalam
tentang asal usul atau asal mulanya yag menjadi causa
atau causa primanya.
Kalau perkataan “sumber” tersebut dihubugkan
dengan “hukum” sehingga menjadi “sumber hukum”,
maka akan semakin tampak jelas persoalannya. Yakni
apakah yang dimaksud dengan sumber hukum tersebut ?.

85
Dengan berpedoman pada arti perkataan
“sumber” seperti telah diuraikan diatas, naka perkataan
“sumber hukum” dapat diartikan sebagai :
a. Darimana awal mula atau asal usul hukum
itu ?.
b. Bagaimana terjadinya hukum itu ?
c. Dalam bentuk apa saja hukum itu
mewujudkan atau menampakkan diri ?.

PENYAJIAN

7.1. Perkataan sumber hukum dipakai dalam


beberapa arti.
7.1.1. Dalam arti dasar berlakunya hukum, di mana
yang dipersoalkan ialah apa sebabnya hukum ini
mengikat? Sumber hukum dalam arti ini
dinamakan sumber hukum dalam arti material
karena menyelidiki masalah: apakah yang pada
hakikatnya menjadi dasar kekuatan mengikat
hukum dalam hal ini hukum internasional?

86
Sumber hukum dalam arti material ini telah kami
perbincangkan dalam bab terdahulu.
7.1.2. Sumber hukum dalam arti formal yang memberi
jawaban kepada pertanyaan: dimanakah kita
mendapatkan ketentuan hukum yang dapat
diterapkan sebagai kaidah dalam suatu
persoalan yang konkret?.

7.2. Sumber-Sumber Hukum Internasional Dalam


Arti Fomal.
Dalam hukum tertulis ada dua tempat yang
menunjukkan atau mencantumkan secara tertulis sumber
hukum dalam arti formal, yakni Pasal 7 Konvensi Den
Haag XII tertanggal 18 oktober 1907 yang mendirikan
Mahkamah Internasional Perampasan Kapal di laut
(International Prize Court) dan dalam Pasal 38 Piagam
Mahkamah Internasional Permanen tertanggal 16
Desember 1920 yang kini tercantum dalam Pasal 38
Piagam Mahkamah Internasional sebagaimana tercantum
dalam Piagam PBB tertanggal 26 juni 1945.
Bagi HukumInternasional positif hanya pasal 38
ayat (1) Statuta Mahkamah Internasional sajalah yang

87
penting yang menyatakan bahwa dalam mengadili
perkara yang diajukan kepadanya, Mahkamah
Internasional akan mempergunakan :
1. Perjanjian internasional, baik yang bersifat
umum maupun khusus, yang mengandung
ketentuan hukum yang diakui secara tegas oleh
negara-negara yang bersengketa;
2. Kebiasaan internasional, sebagai bukti dari suatu
kebiasaan umum yang telah diterima sebagai
hukum;
3. Prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh
bangsa-bangsa yang beradab;
4. Keputusan pengadilan dan ajaran para sarjana
yang paling terkemuka dari berbagai negara
sebagai sumber tambahan untuk menetapkan
kaidah hukum.
Urutan penyebutan sumber hukum tersebut tidak
menggambarkan urutan pentingnya masing-masing
sumber hukum itu sebagai sumber hukum formal. Satu-
satunya klasifikasi yang dapat kita adakan ialah bahwa
sumber hukum formal itu dibagi atas 2 yaitu sumber
hukum utama atau primer yang meliputi golongan

88
sumber perjanjian dan kebiasaan internasional, dan
sumber hukum tambahan atau subsider yaitu
keputusan-keputusan pengadilan dan ajaran sarjana
hukum yang paling terkemuka dari berbagai negara.

7.2.1. PERJANJIAN INTERNASIONAL


 Perjanjian internasional adalah perjanjian yang
diadakan antara anggota masyarakat bangsa-
bangsa dan bertujuan untuk mengakibatkan akibat
hukum tertentu.
 Jelaslah bahwa untuk dapat dinamakan perjanjian
internasional, perjanjian itu harus diadakan oleh
subjek hukum internasional yang menjadi anggota
masyarakat internasional.
 Salah satu yang kita temui dalam mempelajari
masalah ini ialah banyaknya istilah yang
digunakan untuk perjanjian internasional ini,
antara lain sering dinamakan traktat (treaty),
pakta (pact), konvensi (convention), piagam
(statute), charter, deklarasi, protokol,
arrangement, accord, modus vivendi, covenant,
dan sebagainya. Dilihat secara yuridis semua

89
istilah ini tidak mempunyai arti tertentu, dengan
perkataan lain semuanya merupakan perjanjian
internasional.
 Lepas dari aneka ragam istilah yang digunakan
untuk perjanjian hukum internasional,
berdasarkan praktik beberapa negara kita dapat
membedakan perjanjian internasional itu dalam
dua golongan.
1. Terdapat perjanjian internasional yang
diadakan menurut tiga tahap pembentukan
yakni perundingan, penandatanganan dan
ratifikasi,
2. Terdapat perjanjian internasional yang hanya
melewati 2 tahap yakni perundingan dan
penandatanganan.
Suatu penggolongan yang lebih penting dalam
rangka pembahasan perjanjian internasional sebagai
sumber hukum formal ialah penggolongan perjanjian
dalam :
1. Treaty Contract (traite-contract).
Dengan treaty contract dimaksudkan perjanjian
seperti suatu kontrak atau perjanjian dalam

90
hukum perdata, hanya mengakibatkan hak dan
kewajiban antara para pihak yang menggadakan
perjanjian itu.
2. Law Making Treaties (traite-lois).
Dengan law making treaties atau traite-lois
dimaksudkan perjanjian yang meletakkan
ketentuan atau kaidah hukum bagi masyarakat
internasional sebagai keseluruhan.
Bahwa pada umumnya law-making treaties
adalah perjanjian multilateral sedangakan perjanjian
khusus merupakan perjanjian bilateral.

a. Tentang Hal Membuat Perjanjian Internasional


Tentang hal membuat perjanjian internasional
dapat di bagi lagi dalam 3 tahap yaitu:
1. perundingan (negotiation)
2. penandatanganan (signature)
3. pengesahan (ratification);
Untuk menjaga agar tidak ada orang yang turut
serta dalam satu konferensi internasional atas nama
negara tanpa sebenarnya merupakan wakil yang sah dari
negara itu, hukum internasional mengadakan ketentuan

91
tentang kuas penuh (full powers) yang harus dimiliki oleh
orang-orang yang mewakili suatu negara dalam
perlindungan untuk mengadakan perjanjian internasional.
Menurut ketentuan ini, seseorang hanya dapat dianggap
mewakili suatu negara dengan sah sehingga dapat
mensyahkan naskah suatu perjanjian internasional atas
nama negara dan atau mengikat negara itu pada
perjanjian apabila ia dapat menunjukan surat kuasa penuh
(full powers atau crendentials) kecuali jika dari semula
peserta konferesi sudah menentukan bahwa surat kuasa
penuh demikian tidak diperlukan.
Keharusan menunjukan surat kuasa penuh tidak
berlaku lagi bagi : kepala negara, kepala pemerintah
(perdana menteri), menteri luar negeri yang karena
jabatannya dianggap sudah mewakili negaranya dengan
sah yang dapat melakukan segala tindakan untuk
mengikat negara pada perjanjian yang diadakan. Kepala
perwakilan diplomatik juga tidak usah menunjukkan
surat kuasa penuh dan mereka biasanya dapat mewakili
negara yang mengirim mereka dalam perundingan
dengan negara tuan rumah. Juga wakil suatu negara yang
ditunjuk untuk mewakili suatu negara pada suatu

92
konfensi internasional atau pada suatu badan dari suatu
organisasi internasional dapat mewakili negara dalam
konfensi atau badan tersebut tanpa memperlihatkan surat
kuasa penuh. Untuk memeriksa sah tidaknya surat kuasa
yang diberikan, suatu konferensi biasanya membentuk
satu panitia pemeriksa surat-surat kuasa penuh demikian
(credentials committee) .
Penerimaan naskah (adoption of the next) suatu
perjanjian dalam suatu konferensi internasional yang
dihadiri oleh banyak negara biasanya dilakukan dengan
duapertiga suara dari peserta konferensi, kecuali para
peserta konferensi menentukan lain.
Pengesahan bunyi naskah (authentication of the
text) yang diterima sebagai naskah yang terakhir
dilakukan menurut cara yang disetujui oleh semua negara
peserta yang mengadakan perundingan itu. Pengesahan
bunyi naskah ini (authentication) harus dibedakan dari
penerimaan (adoption) naskah perjanjian yang tadi kita
sudah bicarakan di atas. Pengesahan ialah suatu tindakan
formal mengenai bunyi naskah perjanjian sedangkan
penerimaan (adoption) merupakan tindakan menerima isi
perjanjian.

93
Persetujuan untuk mengikat diri pada suatu
perjanjian itu dapat dilakukan dengan suatu
penandatanganan, ratifikasi, peryataan turut serta
(accesion) atau menerima (acceptance) suatu perjanjian.
Suatu negara dapat mengikat dirinya dengan
penandatanganan perjanjian tanpa ratifikasi apabla hal itu
memang menjadi maksud para peserta. Namun
adakalanya suatu negara mengikat dirinya dengan syarat
bahwa persetujan demikian harus disahkan atau
dikuatkan oleh badan yang berwenang di negaranya.
Dalam hal demikian, persetujuan pada perjanjian yang
diberikan dengan penandatangan itu bersifat sementara
dan masih harus di sahkan. Pengesahan atau penguatan
demikian dinamakan ratifikasi.
Praktik nasional negara-negara berkenan dengan
ratifikasi perjanjian internasional ini, dapat kita bedakan
3 golongan atau sistem menurut mana ratifikasi diadakan
yakni : a. Sistem dimana ratifikasi semata-mata
dilakukan oleh badan eksekutif; b. Sistem dimana
ratifikasi semata-mata dilakukan oleh legislatif; dan c.
Sistem campuran dimana baik bahwa badan eksekutif

94
maupun legislatif memainkan suatu peranan dalam
proses ratifikasi perjanjian.
Sistem ketiga bahwa ratifikasi perjanjian
dilakukan bersama-sama oleh badan legislatif dan
eksekutif merupakan yang paling banyak digunakan.
Dalam golongan ini terdapat lagi pembagian ke dalam 2
golongan, yang dapat kita namakan subsistem, yaitu
sistem campuran di mana badan legislatif lebih menonjol
dan istem campuran di mana eksekutif yang lebih
menonjol.
Apabila suatu negara menerima isi persetujuan
secara keseluruhan tanpa pembatasan atau syarat,
persoalannya mudah. Lain halnya apabila suatu negara
berdasarkan pertimbangan tertentu tidak dapat
menyetujui sepenuhnya isi perjanjian yang bersangkutan.
Dalam hal demikian negara itu tentu bisa saja
memutuskan untuk sama sekali tidak turut serta dalam
perjanjian itu. Akan tetapi, sering turut sertanya negara
dalam suatu perjanjian membawa banyak sekali
keuntungan. Untuk mengatasi kesukaran yang dihadapi
oleh negara dalam hal demikian, negara bersangkutan
dapat turut serta dalam perjanjian itu dengan mengajukan

95
satu atau beberapa persyaratan (reservation). Ini berarti
bahwa negara itu menerima isi perjanjian itu dengan
beberapa syarat yang diajukannya atau bahwa beberapa
bagian dari perjanjian tidak berlaku lagi baginya.
Persyaratan demikian bisa diajukan pada waktu
perjanjian ditandatangani, pada waktu melakukan
ratifikasi atau pada waktu menyatakan turut serta pada
perjanjian (accession).

b. Tentang hal berakhir atau ditangguhkan


berlakunya perjanjian
Secara umum suatu perjanjian bisa punah atau
berakhir karena beberapa sebab yang tersebut di bawah
ini:
1. Karena telah tercapai tujuan perjanjian itu;
2. Karena habis waktu berlakunya perjanjian itu;
3. Karena punahnya salah satu pihak peserta
perjanjian atau punahnya objek perjanjian itu;
4. Karena adanya persetujuan dari para peserta
untuk mengakhiri perjanjian itu;

96
5. Karena diadakannya perjanjian antara para
peserta kemudian yang meniadakan perjanjian
yang terdahulu;
6. Karena dipenuhinya syarat tentang pengakhiran
perjanjian sesuai dengan ketentuan perjanjian itu
sendiri; dan
7. Diakhirinya perjanjian secara pihak oleh salah
satu peserta dan diterimanya pengakhiran itu oleh
pihak lain.
Pembatalan sepihak oleh salah satu peserta atau
pengundurkan diri dari suatu perjanjian merupakan suatu
hal yang menimbulkan kesulitan apabila tidak diatur
dalam perjanjian itu. Dalam praktik juga terdapat
beberapa contoh bahwa force majeur (vis major) telah
dikemukakan sebagai alasan untuk tidak dipenuhinya
kewajiban oleh salah satu peserta dalam perjanjian.
Sangat mirip dengan alasan force majeur yaitu
ketakmungkinan salah satu pihak peserta melaksanakan
kewajibannya menurut perjanjian (impossibility of
performance). Alasan ini bisa dikemukakan apabila
pelaksanaan kewajiban menjadi tidak mungkin karena
lenyapnya objek atau tujuan yang menjadi pokok

97
perjanjian itu, misalnya lenyapnya suatu pulau, keringnya
sebuah sungai atau hancurnya sebuah bendungan
hydroelektrik yang mutlak diperlukan bagi pelaksanan
perjanjian itu.

7.2.2. KEBIASAAN INTERNASIONAL


Pasal 38 ayat 1 sub b yang mengatakan:
international custom, as evidence of a general practice
accepted law. Artinya, hukum kebiasaan internasional
yang merupakan kebiasaan umum yang diterima sebagai
hukum.
Jelas kiranya, dari perumusan di atas bahwa tidak
setiap kebiasaan internasional merupakan sumber hukum.
Untuk dapat dikatakan bahwa kebiasaan internasional itu
merupakan sumber hukum perlu terdapat unsur-unsur
sebagai berikut:
1. Harus terdapat suatu kebiasaan yang bersifat
umum;
2. Kebiasaan itu harus diterima sebagai hukum.

Dari perincian di atas dapatlah dikatakan bahwa


supaya kebiasaan internasional itu merupakan sumber

98
hukum internasional, harus dipenuhi unsur, yang masing-
masing dapat kita namakan unsur material dan unsur
psikologis, yaitu kenyataan adanya kebiasaan
internasional itu sebagai hukum.
Jika kebiasaan itu tidak diterima sebagai hukum,
terdapat suatu kebiasaan yang dapat merupakan
kesopanan internasional. Misalnya, kebiasaan
memberikan sambutan kehormatan waktu menerima
tamu negara merupakan kebiasaan banyak negara. Akan
tetapi, seorang tamu tidak dapat menuntut supaya ia
disambut dengan tembakan meriam. Karena kebiasaan itu
tidak merupakan suatu ketentuan hukum kebiasaan
internasional.
Kapankah dikatakan ada terdapat kebiasaan
inetrnasional yang merupakan kebiasan umum?.
 Pertama, perlu adanya suatu kebiasaan, yaitu
suatu pola tindak, yang merupakan serangkaian
tindakan yang serupa mengenai hal dan keadaan
yang serupa pula.
 Kedua, kebiasaan atau pola tindak yang
merupakan serangkaian tindakan yang serupa
mengenai hal dan keadaan yang serupa di atas

99
harus bersifat umum dan bertalian dengan
hubungan internasional. Hanya apabila unsur-
unsur tersebut di atas dipenuhi dapat dikatakan
telah ada kebiasaan internasional yang bersifat
umum.
Unsur kedua, yaitu unsur psikologis menghendaki
bahwa kebiasaan internasional dirasakan memenuhi
suruhan kaidah atau kewajiban hukum, atau seperti
dikatakan dalam bahasa latin “opinio juris sive
necessitatis”.
Contoh ketentuan HI yang terjadi melalui proses
kebiasaan internasional terdapat misalnya di dalam
hukum perang. Penggunaan bendera putih sebagai
bendera parlementer, yaitu bendera yang memberikan
perlindungan kepada utusan yang dikirim untuk
mengadakan hubungan dengan pihak musuh, timbul
karena kebiasaan di masa lampau diterima sebagai sesuai
hukum.
Perjanjian internasional yang berulang kali
diadakan mengenai hal yang sama dapat menimbulkan
suatu kebiasaan dan menciptakan lembaga hukum
melalui proses hukum kebiasaan internasional.

100
7.2.3. PRINSIP-PRINSIP HUKUM UMUM
Sumber hukum yang ketiga menurut Pasal 38 ayat
1 Piagam Mahkamah Internasional ialah asas hukum
umum yang diakui oleh bangsa-bangsa yang beradab
(general principles of law recognized by civilized
nation). Yang dimaksudkan dengan asas hukum umum
ialah asas yang mendasari sistem hukum modern. Yang
dimaksudkan dengan sistem hukum modern ialah sistem
hukum positif yang didasarkan atas asas dan lembaga
hukum negara Barat yang untuk sebagian besar
didasarkan atas asas dan lembaga hukum Romawi.
Yang dimaksud dengan asas hukum umum
misalnya asas hukum perdata seperti asas pacta sunt
servanda, asas bonafides (itikad baik), asas
penyalahgunaan hak (abus de droit) serta asas
adimplentinon est adiplendum dalam hukum perjanjian.
Asas hukum yang dimaksudkan dalam Pasal 38 ayat 1
ialah asas hukum umum, jadi selain asas hukum perdata
yang disebutkan di atas meliputi juga asas hukum acara
dan hukum pidana, sudah barang tentu termasik juga di
dalamnya asas hukum hukum internasional seperti

101
misalnya asas kelangsungan negara, penghormataan
kemerdekaan negara, asas nonintervensi dan sebagainya.
Adanya asas hukum umum sebagai sebagai
sumber hukum primer tersendiri di samping perjanjian
dan kebiasaan internasional, sangat penting bagi
pertumbuhan dan perkembangan hukum internasional
sebagai sistem hukum positif. Pertama dengan adanya
sumber hukum ini mahkamah tidak dapat menyatakan
non liquest yakni menolak mengadili perkara karena
tiadanya hukum persoalan yang diajukan. Berhubungan
erat dengan hal ini ialah bahwa kedudukan Mahkamah
Internasional sebagai badan yang membentuk dan
menemukan hukum baru, diperkuat dengan adanya
sumber hukum ini kepada mahkamah dalam membentuk
hukum baru sangat berfaedah bagi perkembangan hukum
internasional.

7.2.4. SUMBER HUKUM TAMBAHAN:


KEPUTUSAN PENGADILAN DAN
PENDAPAT PARA SARJANA
TERKEMUKA DI DUNIA

102
Berlainan dengan sumber hukum utama yang
telah kami bahas di atas, keputusan pengadilan dan
pendapat para sarjana hanya merupakan sumber sumber
subsidier atau sumber tambahan. Artinya, keputusan
pengadilan dan pendapat para sarjana dapat dikemukakan
untuk membuktikan adanya kaidah hukum internasional
mengenai suatu persoalan yang didasarkan atas sumber
primer yakni perjanjian internasional, kebiasaan dan asas
hukum umum. Keputusan pengadilan dan pendapat para
sarjana itu sendiri tidak mengikat, artinya tidak dapat
menimbulkan suatu kaidah hukum.
Yang dimaksudkan dengan keputusan pengadilan
dalam pasal 38 ayat 1 sub d ialah pengadilan dalam arti
yang luas dan meliputi segala macam peradilan
internasional maupun nasional termasuk di dalamnya
mahkamah dan komisi arbitrase. Walaupun keputusan
pengadilan tidak mempunyai kekuatan mengikat,
keputusan pengadilan internasional, terutama Mahkamah
Internasional Permanen (Permanent Court of
International Justice), Mahkamah Internasional
(International Court of Justice), Mahkamah Arbitrase
Permanen (Permanent Court of Arbitration) mempunyai

103
pengaruh besar dalam perkembangan hukum
internasional.
Keputusan pengadilan nasional bertalian dengan
persoalan yang menyangkut hukum internasional juga
penting dalam perkembangan hukum kebiasaan
internasional oleh pengadilan nasional itu.
Mengenai sumber hukum tambahan yang kedua
yaitu ajaran para sarjana hukum terkemuka dapat
dikatakan bahwa penelitian dan tulisan yang dilakukan
oleh para sarjana hukum terkemuka sering dipakai
sebagai pegangan atau pedoman untuk menemukan apa
yang mejadi hukum internasional, walaupun ajaran para
sarjana itu sendiri tidak menimbulkan hukum.
Semua sumber di atas dipergunakan oleh
Mahkamah apabila badan ini mengadili suatu perkara
yang diajukan padanya menurut hukum. Mahkamah
Internasional juga dapat memutuskan perkara tidak
berdasarkan hukum melainkan berdasarkan kepatutan
dan kepantasan atau dalam bahasa latinnya ex aequo et
bono, demikian dikatakan pada ayat 2 pasal 38.

BAB VIII

104
NEGARA PADA UMUMNYA

PENDAHULUAN

Negara merupakan subyek hukum internasional


yang pertama dan terutama . Sejalan dengan posisi
tersebut negara juga merupakan pelaku utama hubungan
internasional. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Prof.
Dr. Mochtar Kusumaatmadja, SH, LLM, Bahwa :
“Diantara sekian banyak hubungan antar manusia
atau kelompok manusia , hubungan resmi
diantara negara-negara yang menonjol dan
menjadi rusan utama dari hukum internasional,
sebabya adalah karena dilihat secara politis
yurisdis negara-negara dengan kekuasaan
teritorialnya yang mutlak dan monopoli dalam
penggunaan kekuasaan merupakan pelaku utama
dalam masyarakat internasional dan hubungan
antara pelaku-pelaku yang lain hanya mungkin
bila diperkenankan oleh negara”.

105
Dalam beberapa literatur, beberapa sarjana telah
mengemukakan arti negara dalam bentuk batasan/definisi
atau kriterianya saja, misalnya :
 J.L. Brierly memberi batasan negara sebagai suatu
lembaga (institution), sebagai suatu wadah di mana
manusia mencapai tujuan-tujuannya dan dapat
melaksanakan kegiatan-kegiatannya.
 Henry C. Black mendefinisikan secara lengkap
bahwa : negara sebagai sekumpulan orang yang
secara permanen menempati suatu wilayah yang
tetap, diikat oleh ketentuan-ketentuan hukum yang
mealui pemerintahnya mampu menjalankan
kedaulatannya yang merdeka dan mengawasi
masyarakat dan harta bendanya dalam wilayah
perbatasannya, mampu menyatakan perang dan
damai, serta mampu mendakan hubungan
internasional dengan masyarakat internasional
lainnya.

106
PENYAJIAN

Dari bebrapa pendapat para penulis tersebut diatas


mengenai negara, maka yang harus dimiliki untuk dapat
dianggap sebagai negara yang merupakan subyek penuh
hukum internasional , sama dan sejalan dengan klasifikasi
yang telah ditetapkan dalam Convention on the Rights
and Duties of States, yang diadakan di Montevideo tahun
1933, dalam article (1) disebutkan sebagai berikut :
Bagi pembentukan suatu negara yang merupakan
subjek penuh hukum internasional diperlukan unsur-unsur
konstitutif sebagai berikut:

8.1. A permanent population (Penduduk yang Tetap)


Dalam unsur kependudukan ini harus ada unsur
kediaman secara tetap. Penduduk yang tidak mendiami
suatu wilayah secara tetap dan selalu berkelana (nomad)
tidak dapat dinamakan penduduk sebagai unsur konstitutif
pembentukan suatu negara.
Yang mengikat seseorang dengan negaranya ialah
kewarganegaraan yang ditetapkan oleh masing-masing

107
hukum nasional. Ada tiga cara penetapan
kewarganegaraan sesuai hukum nasional yaitu:
(1) Jus Sanguinis
Ini adalah cara penetapan kewarganegaraan
melalui keturunan. Menurut cara ini,
kewarganegaraan anak ditentukan oleh kewarga-
negaraan orang tua mereka.
(2) Jus Soli
Menurut sistem ini kewarganegaraan seseorang
ditentukan oleh tempat kelahirannya dan bukan
kewarganegaraan orang tuanya.
(3) Naturalisasi
Suatu negara memberikan kemungkinan bagi
warga asing untuk memperoleh kewarganegaraan
setempat setelah memenuhi syaratsyarat tertentu,
seperti setelah mendiami negara tersebut dalam
waktu yang cukup lama ataupun melalui
perkawinan.
Merupakan suatu ketentuan hukum positif bahwa
suatu penduduk mempunyai hak menentukan nasib
sendiri, menjadi merdeka dan menentukan sendiri
bentuk dan corak pemerintahan serta sistem

108
perekonomian dan sosial yang diinginkannya. Hukum
internasional tidak menentukan berapa harusnya
jumlah penduduk sebagai salah satu unsur konstitutif
pembentukan suatu negara.

8.2. A defined territory (Wilayah Tertentu)


Tidak akan ada negara tanpa wilayah. Oleh karena
itu, adanya suatu wilayah tertentu mutlak bagi
pembentukan suatu negara. Tidak mungkin ada suatu
negara tanpa wilayah tempat bermukimnya penduduk
negara tersebut.
Wilayah suatu negara terdiri dari daratan, lautan
dan udara di atasnya. Konferensi PBB III mengenai
Hukum Laut telah mengelompokkan sebagian besar
negara di dunia atas 3 kelompok yaitu kelompok negara-
negara pantai (the coastal states group) negara-negara
yang tidak berpantai (the land-locked states group) dan
negara-negara secara geografis tidak menguntungkan (the
geographically disadvantaged states group). Wilayah
lautan atas mana suatu negara mempunyai kedaulatan
penuh biasanya terdiri dari perairan daratan, laut
pendalaman dan laut wilayah, sedangkan wilayah udara

109
adalah udara yang berada di atas wilayah daratan dan
bagian-bagian laut tersebut.

8.3. Government (Pemerintahan)


Bagi hukum internasional suatu wilayah yang tidak
mempunyai pemerintahan tidak dianggap sebagai suatu
negara dalam arti kata yang sebenarnya.
Yang dimaksud dengan pemerintah, biasanya
badan eksekutif dalam suatu negara yang dibentuk melafui
prosedur konstitusional untuk menyelenggarakan
kegiatan-kegiatan yang ditugaskan rakyat kepadanya.
Dalam hubungan antara pemerintah dan rakyat ini yang
diinginkan oleh hukum internasional ialah bahwa
pemerintah tersebut mempunyai kekuasaan yang efektif
atas seluruh penduduk dan wilayah negaranya. Yang
dimaksud dengan efektif ialah pemerintah tersebut
mempunyai kapasitas riil untuk melaksanakan semua
fungsi kenegaraan termasuk pemeliharaan keamanan dan
tata tertib di dalam negeri dan pelaksanaan berbagai
komitmen di luar negeri.
Perlu dicatat bahwa suatu negara tidak langsung
(otomatis) berakhir sekiranya tidak mempunyai

110
pemerintahan yang efektif karena perang saudara atau
diduduki oleh kekuatan asing. Somalia yang tidak lagi
mempunyai pemerintahan semenjak digulingkannnya
Presiden Mohamad Siad Barre oleh Jenderal Farah Aideed
pada tahun 1991 masih tetap berstatus sebagai negara dan
tetap anggota PBB. Demikian juga halnya dengan
Kamboja sewaktu dipimpin oleh Supreme National
Council (SNC) yang dibentuk sesuai Perjanjian Paris
1991. SNC adalah suatu pimpinan yang bersifat interim
yang menjelmakan kedaulatan nasional Kamboja selama
periode transisi sampai pada pemilu yang diselenggarakan
oleh United Nations Transitional Authority in Cambodia
(UNTAC) bulan Mei 1993 dan yang selanjutnya diikuti
dengan pembuatan Konstitusi oleh Dewan Konstituante
dan pembentukan pemerintahan baru. Di samping itu
Kuwait yang diduduki Irak bulan Agustus 1990, unsur
statusnya sebagai negara tidak berubah walaupun tidak
lagi mempunyai pemerintahan dan walaupun diduduki
oleh kekuatan asing. Contoh diatas menunjukkan bahwa
tidak adanya unsur pemerintahan dalam suatu negara tidak
berarti bahwa negara tersebut sudah lenyap dari
permukaan bumi. Dalam keadaan normal hukum

111
internasional tentunya mengharapkan adanya suatu
pemerintahan yang stabil, efektif dan dipatuhi oleh
penduduk seluruh wilayah negara.

8.4. Kedaulatan
Pasal 1 Konvensi Montevideo 27 Desember 1933
mengenai Hak-hak dan Kewajiban Negara menyebutkan
bahwa unsur konstitutif ke-4 bagi pembentukan negara
adalah capacity to enter into relations with other states.
Konvensi Montevideo ini merupakan suatu kemajuan bila
dibandingkan dengan konsepsi klasik pembentukan negara
yang hanya mencakup tiga unsur konstitutif yaitu
penduduk, wilayah dan pemerintah. Bagi Konvensi
tersebut ketiga unsur itu belum cukup untuk menjadikan
suatu entitas sebagai negara yang merdeka dan berdaulat.
Oleh karena itu, diperlukan unsur tambahan yang tidak
kurang pentingnya yaitu kapasitas untuk mengadakan
hubungan dengan negara-negara lain. Dalam konsepsi
ini, maka walaupun salah satu unsur seperti wilayah
tertentu belum terpenuhi karena dia mempunyai kapasitas
ini dia dapat diakui sebagai negara.

112
Namun sebagai akibat perkembangan hubungan
antar negara yang sangat cepat, ketentuan Konvensi
Montevideo yang berisikan unsur kapasitas tersebut sudah
agak ketinggalan dan di ganti dengan kedaulatan sebagai
unsur konstitutif keempat pembentukan negara mengingat
artinya yang sangat penting dan ruang lingkup yang lebih
luas.
Suatu negara dapat saja lahir dan hidup tetapi itu
belum berarti bahwa negara tersebut mempunyai
kedaulatan. Kedaulatan ialah kekuasaan tertinggi yang
dimiliki oleh suatu negara untuk secara bebas melakukan
berbagai kegiatan sesuai kepentingannya asal saja kegiatan
tersebut tidak bertentangan dengan hukum internasional:
Sesuai konsep hukum internasional, kedaulatan memiliki
tiga aspek utama , yaitu: ekstern, intern dan teritorial.
(1) Aspek ekstern kedaulatan adalah hak bagi setiap
negara untuk secara bebas menentukan.hubungannya
dengan berbagai negara atau kelompok-kelompok lain
tanpa kekangan, tekanan atau pengawasan dari negara
lain.
(2) Aspek intern kedaulatan ialah hak atau wewenang
eksklusif suatu negara untuk menentukan bentuk
lembaga-lembaganya, cara kerja fembaga-lembaga
tersebut dan hak untuk membuat undang undang yang

113
diinginkannya serta tindakan-tindakan untuk mema-
tuhi.
(3) Aspek teritorial kedaulatan berarti kekuasaan penuh
dan eksklusif yang dimiliki oleh negara atas individu-
individu dan benda-benda yang terdapat di wilayah
tersebut.

Itulah unsur-unsur konstitutif yang diperlukan bagi


pembentukan suatu negara dan gabungan unsur-unsur
tersebut telah menjadikan negara sebagai pemegang penuh
hak dan kewajiban dalam hukum internasional. Namun,
perlu dicatat bahwa dengan berkembangnya organisasi-
organisasi internasional apalagi yang bersifat
supranasional, kedaulatan tidak lagi dapat diartikan secara
absolut. Keanggotaan suatu negara pada berbagai
organisasi internasional banyak sedikitnya telah
membatasi kedaulatan negara tersebut.

PENUTUP
Soal – Soal
1. Jelaskan pengertian negara menurut Henry C.
Black !.
2. Sebutkan klasifikasi negara sesuai pasal (1)
Konvensi Montervideo tahun 1933 (Convention on
the rights and duties of states). !.

114
3. Dalam kaitannya dengan penduduk yang tetap, ada
tiga cara untuk penetapan kewarganegaraan. Sebut
dan jelaskan !.
4. Jelaskan mengapa unsur ke-empat dari klasifikasi
negara merupakan suatu yag urgen dalam konteks
hukum internasional !.

115
BAB IX
WILAYAH NEGARA DALAM
HUKUM INTERNASIONAL

PENDAHULUAN
Salah satu unsur esensial dari negara adalah
wilayah tertentu dalam mana berlaku hukum negara itu.
Dalam batas-batas wilayah kekuasaan tertinggi berada
dalam tangan negara. Inilah konsep “Kedaulatan
Territorial”, yang bahwa dalam wilayah itu, negara
menjalankan yurisdiksi atas orang dan benda.
Dalam hukum internasional perolehan dan
hilangnya wilayah negara akan menimbulkan dampak
terhadap kedaulatan negara atas wilayah itu. Oleh karena
itu, hukum internasional tidak hanya mengatur perolehan
atau hilangnya wilayah negara itu, tetapi yang lebih
penting adalah dampak hukum terhadap kedaulatan
negara dan penduduk yang tinggal di wilayah tersebut.
Kedaulatan negara atas wilayahnya memiliki dua aspek
baik positif maupun negatif.

116
Aspek positif wilayah negara dalam bentuk
adanya kekuasaan tertinggi atau kewenangan eksklusif
dari negara di wilayahnya. Sebaliknya, di luar
wilayahnya suatu negara tidak lagi memiliki kekuasaan
demikian karena kekuasaan itu berakhir dan kekuasaan
suatu negara lain mulai. Aspek negatif dari wilayah
negara ditunjukkan dengan adanya kewajiban negara
untuk melindungi hak negara-negara lain di wilayahnya.
Dalam prakteknya segketa kewilayahan dapat
disebabkan oleh dua hal yaitu bentuk klaim terhadap
wilayah dari suatu negara, seperti misalnya dalam
sengketa Arab – Israel; atau dapat juga dalam bentuk
klaim terhadap suatu bagian dari wilayah suatu negara
yang berbatasan, seperti misalnya dalam sengketa antara
Indonesia dan Malaysia mengenai Pulau Sipadan dan
Ligitan di atas.
Tuntutan terhadap wilayah atau atau bagian
wilayah dari suatu negara dapat didasarkan pada berbagai
macam hal mulai dari bentuk klasik seperti okupasi atau
preskripsi, sampai kepada bentuk paling mutakhir seperti
misalnya hak untuk menentukan nasib sendiri (self
determination), dengan dukungan berbagai faktor yang

117
bersifat politis maupun hukum seperti misalnya
kelanjutan geografis (geographical contiguity), tuntutan
sejarah atau faktor ekonomi.
Di samping itu, hukum internasional juga
mengenal adanya wilayah yang tidak berada di bawah
kedaulatan negara maupun yang dikenal sebagai terra
nulius. Ada wilayah yang tidak dapat ditundukkan pada
kedaulatan negara manapun yang disebut res comunis
seperti misalnya laut lepas, kawasan dasar laut samudra
dalam (international seabed area) dan ruang angkasa
(outer space).

PENYAJIAN

9.1. Beberapa cara memperoleh wilayah negara


Di lihat dari praktik negara ada beberapa cara
bagi suatu negara untuk dapat memperluas wilayahnya
yaitu melalui akresi, cessi, okupasi, preskripsi dan
peroleh wilayah secara paksa yang biasanya berupa
aneksasi.

9.1.1. Akresi

118
Akresi adalah penambahan wilayah yang disebabkan
oleh proses alamiah. Sebagai contoh adalah
terbentuknya pulau yang disebabkan oleh endapan
lumpur di muara suangai; atau mengeringnya bagian
sungai disebabkan oleh terjadinya perubahan aliran
sungai. Penambahan wilayah dalam bentuk pulau
baru dapat juga disebabkan oleh letusan gunung api
laut. Dalam hal ini apabila pulau baru tersebut berada
di perairan wilayah suatu negara maka otomatis akan
menjadi bagian dari wilayah negara tersebut.

9.1.2. Cessi
Salah satu cara yang banyak digunakan untuk
memperoleh tambahan wilayah adalah dengan cessi.
Dasar pemikiran yang melandasi cessi adalah bahwa
penyerahan suatu wlayah atau bagian wilayah adalah
hak yang melekat pada kedaulatan negara.
Cessi merupakan cara penyerahan wilayah secara
damai yang biasanya dilakukan melalui suatu
perjanjian perdamaian yang mengakhiri perang.

9.1.3. Okupasi

119
Okupasi menunjukan adanya penguasaan terhadap
suatu wilayah yang tidak berada di bawah kedaulatan
negara manapun, yang dapat berupa suatu terra
nulius yang baru ditemukan. Penguasaan tersebut
harus dilakukan oleh negara dan bukan oleh orang
perorangan, secara efektif dan harus terbukti adanya
kehendak untuk menjadikan wilayah tersebut sebagai
bagian dari kedaulatan negara. Hal itu harus
ditunjukkan misalnya dengan suatu tindakan simbolis
yang menunjukkan adanya penguasaan terhadap
wilayah tersebut, misalnya dengan pemancangan
bendera atau melalui suatu proklamasi. Penemuan
saja tidak cukup kuat untuk menunjukkan kedaulatan
negara, karena hal ini dianggap hanya memiliki
dampak sebagai suatu pengumuman. Agar penemuan
itu memiliki arti yuridis harus dilengkapi dengan
penguasaan secara efektif untuk suatu jangka waktu
tertentu.

9.1.4. Preskripsi
Berbeda dengan okupasi, preskripsi adalah
pelaksanaan suatu kedaulatan oleh suatu negara

120
secara de facto dan damai untuk kurun waktu
tertentu, bukan terhadap terra nullius melainkan
terhadap wilayah yang sebenarnya berada di bawah
kedaulatan negara lain.
Persamaannya dengan okupasi adalah bahwa
pelaksanaan kedaulatan tersebut harus dilakukan oleh
negara atau a titre de souverain dan bukan usaha dari
orang-perorangan yang tidak ada kaitannya dengan
klaim kedaulatan negara dimaksud.

9.1.5. Aneksasi
Dalam hal peroleh wilayah secara paksa yang penting
adalah sejauh mana tindakan yang demikian apat
dianggap sah dan diakui oleh negara-negara lain serta
dapat dilaksanakan dalam sistem yang berlaku dalam
masyarakat internasional. Meskipun peroleh wilayah
secara tidak sah pada dasarnya tidak dapat dijadkan
alasan untuk memperoleh hak, dalam
perkembangannya hukum internasional kadang-
kadang dapat menerima tindakan demikian asalkan
menerima pengakuan dari negara-negara lain.
Penaklukan (conquest), sebagai tindakan suatu negara

121
yang mengalahkan negara lain, dengan menduduki
sebagian atau seluruh wilayahnya, bukan merupakan
dasar untuk memperoleh hak terhadap wilayah yang
diduduki tersebut. Walaupun demikian, menurut
hukum internasional, negara penakluk dapat
memperoleh hak terhadap wilayah tersebut dalam hak
okupasi belligeren (belligerent occupation).
Aneksasi adalah cara peroleh wilayah secara paksa
berdasarkan pada dua kondisi sebagai berikut :
1. wilayah yang dianeksasi telah dikuasai oleh
negara yang menganeksasinya;
2. pada waktu suatu negara mengumumkan
kehendaknya untuk menganeksasi suatu
wilayah, wilayah tersebut telah benar-benar
berada di bawah penguasaan negara tadi.

Perolehan wilayah negara dengan cara yang pertama


tidak cukup untuk melahirkan hak atau kedaulatan
bagi negara yang melakukannya, melainkan harus
diikuti dengan pernyataan resmi tentang maksud atau
kehendak demikian yang biasanya dilakukan dengan
pengiriman Nota kepada semua negara yang

122
berkepentingan. Jadi, hak terhadap wilayah tidak
secara otomatis beralih dari negara yang kalah kepada
negara yang menang perang, terlebih-lebih apabila
negara pemenang secara resmi menyatakan tidak
akan menganeksasi wilayah tersebut. Perolehan
wilayah yang dilaksanakan dengan cara-cara yang
bertentangan dengan Piagam PBB sudah semestinya
tidak dapat dijadikan dasar perolehan hak terhadap
suatu wilayah.

9.1.6. Perolehan Wilayah oleh Negara Baru


Bagi negara-negara yang baru merdeka perolehan
kedaulatan atas wilayah merupakan suatu hal yang
dianggap sebagai sui generis. Menurut Starke,
kenyataan bahwa eksistensi suatu negara memrlukan
adanya wilayah mengakibatkan perolehan hak atas
wilayah harus menunggu pengakuan atas negara.
Meskipun demikian, kesulitan ini dapat diatasi
dengan menganggap penduduk dari suatu wilayah
tertentu, selama dapat dianggap telah cukup mecapai
kedewasaan politik, dapat pula dianggap telh

123
memperoleh kedaulatan terhadap wilayah tersebut
sambil menunggu terbentuknya negara.

9.2. Wilayah dan Yurisdiksi Negara di Laut.


Konvensi Hukum Laut 1982 mengakui hak
negara-negara untuk melakukan klaim atas pelbagai
macam zona maritim dengan status hukum yang berbeda-
beda, yang dibagi sebagai berikut:
1. Berada di bawah kedaulatan penuh negara
meliputi laut pedalaman, laut teritorial dan
selat yang digunakan untuk pelayanan
internasional;
2. Negara mempunyai yurisdiksi khusus dan
terbatas yaitu zona tambahan;
3. Negara mempunyai yurisdiksi ekslusif untuk
memanfaatkan sumberdaya alamnya, yaitu
zona ekonomi ekslusif dan landas kontinen;
4. Berada dibawah suatu pengaturan
internasional khusus, yaitu daerah dasar laut
samudra dalam, atau lebih dikenal sebagai
kawasan (international sea-bed area atau
Area); dan

124
5. Tidak di bawah kedaulatan maupun yurisdiksi
negara manapun, yaitu laut lepas.

9.3. Ruang Udara dan Ruang Angkasa


Secara teoritis dengan adanya kedaulatan negara
di ruang udara di atas wilayahnya, setiap negara dapat
melakukan larangan bagi negara-negara lain untuk
terbang di atas wilayahnya, kecuali telah diperjanjikan
sebelumnya. Dewasa ini teori tersebut telah berubah
dengan lahirnya perjanjian internasional yang mengatur
penggunaan ruang udara dan lahirlah ketentuan-
ketentuan umum yang mengatur antara lain tentang
kebebasan penerbangan (freedom of overflight) dan hak
lintas penerbangan (transit). Ketentuan-ketentuan
tersebut menjadi perundingan dalam Konferensi Chicago
tentang Penerbangan Sipil Internasional (Chicago
Conference on International Civil Aviation) yang
diselenggarakan pada tahun 1944 yang kemudian
menghasilkan Chicago Convention on International Civil
Aviation, yang telah mulai berlaku sejak ytahun 1974.
konvensi ini tidak berlaku bagi pesawat udara negara
misalnya pesawat udara militer, bea cukai atau

125
kepolisian. Konferensi yang sama juga menghasilkan
pembentukan organisasi penerbangan sipil ICAO
(International Civil Aviation Organization). Pasal 1
Konvensi Chicago ini menetapkan bahwa setiap negara
memiliki kedaulatan penuh dan ekslusif (complete and
exclusive) pada ruang udara di atas wilayahnya.
Sama halnya dengan status hukum dari laut lepas,
hukum internasional mengakui status hukum ruang
angkasa sebagai res communis, sehingga tidak ada satu
bagianpun dari ruang angkasa dapat dijadikan menjadi
bagian wilayah kedaulatan negara. Hal ini tampak jelas
dari berbagi resolusi Majelis Umum PBB yang
dikeluarkan setelah terjadinya perkembangan teknologi
ruang angkasa yang dimulai dengan peluncuran satelit
bumi pertama oleh Uni Sovyet di tahun 1957. Resolusi
Majelis Umum tahun 1962 (XVII) yang diterima pada
tahun 1963, menetapkan beberapa asas hukum yang
antara lain menetapkan bahwa penggunaan dan
eksplorasi ruang angkasa serta benda angkasa (celestial
bodies) dapat dilaksanakan oleh negara manapun secara
adil dan sesuai dengan hukum interbnasional. Di samping
itu ruang angkasa dan benda angkasa tidak dapat

126
dijadikan bagian dari wilayah atau tunduk kepada hukum
negara manapun.
Lebih lanjut, pengaturan ruang angkasa
ditetapkan melalui penandatanganan Treaty on
Principles Governing the Activities of States in the
Exploration and Use of Outerspace, including the
Moon and Other Celestial Bodies pada tahun 1967.
perjanjian internasional ini menguatkan asas-asas yang
telah dikemukakan dalam resolusi Majelis Umum PBB
tersebut di atas, tetapi tidak mengandung satu ketentuan
pun yang menetapkan batas antara ruang udara dan ruang
angkasa.

PENUTUP
Soal – Soal :
1. Jelaskan tentang pentingnya wilayah negara
dalam konteks hukum internasional !
2. Dalam praktek terdapat beberapa cara untuk
memperoleh wilayah negara, sebut dan jelaskan !.
3. Dalam kaitannya dengan wilayah dan yurisdiksi
negara di laut, maka menurut Konvensi Hukum
Laut Tahun 1982 (UNCLOS) terdapat beberapa
macam zona maritim yang dapat diklaim oleh
negara. Sebut dan jelaskan secara singkat !.

127
4. Sebut dan jelaskan dasar hukum mengenai
kedaulatan negara diruang udara dan ruang
angkasa !.

BAB X
NEGARA DAN INDIVIDU

10.1. Kebangsaan
Kebangsaan (Nasionalitas) adalah paling lazim
dan kadang-kadang satu-satunya hubungan antara
individu dengan negara, yang menjamin bahwa kepada
individu diberikan hak-hak dan kewajiban-kewajiban
dalam hukum internasional. Jadi hubungan antara
individu dan hukum internasional (sebagai objeknya)
ialah karena kebangsaan individu tersebut. Kebangsaan
(Nationality) seseorang adalah ciri atau kepribadiannya
sebagai warga daripada suatu negara. Oleh sebab itu
hukum internasional merumuskan nasionalitas sebagai
suatu hubungan hukum yang terus menerus antara negara
dengan warga negara.
Pada jaman dahulu pribadi (individu) sering tidak
dijamin kehormatannya, bahkan dianggap sebagai suatu

128
objek yang bisa diperdagangkan, semisal seorang budak.
Tetapi sekarang individu telah mendapat jaminan akan
kehormatannya, antara lain termaktub dalam Piagam
PBB yang menyebutkan bahwa tiap-tiap negara
mempunyai kewajiban untuk menjamin tinggi hak-hak
asasi dan kebebasan pokok manusia (to respect human
rights and fundamental freedom).
Masalah kebangsaan (nasionalitas) sangat penting
artinya bagi hukum internasional, yaitu kalau individu,
warga suatu negara berada di negara asing, atau kalau
individu warga negara mempunyai harta benda di negeri
asing itu meskipun ia berada di negaranya sendiri. Di
dalam keadaan yang demikian, kebangsaan individu
tersebut menentukan dari negara manakah harga benda
milik individu tersebut berhak memperoleh perlindungan
dan pembelaan.
Pentingnya kewarganegaraan (nasionalitas)
seseorang adalah karena nasionalitas mengakibatkan hak-
hak penting dalam hukum internasional antara lain :
1. Hak-hak atas perlindungan diplomatik di luar negeri
yang merupakan atribut nasionalitas. Umpamanya
dalam pertanggung-jawaban negara, dianggap

129
sebagai hak vital negara untuk melindungi warga-
warga negaranya di luar negeri.
2. Negara dapat dipertanggung-jawabkan apabila tidak
berhasil mencegah warga negara-negaranya
melakukan kejahatan-kejahatan atau tidak berhasil
menghukum yang bersalah.
3. Adalah kewajiban setiap negara untuk menerima
kembali dalam wilayahnya warga negara- warga
negaranya.
4. Nasionalitas atau kewarganegaraan membawa serta
kesetiaan dan salah satu akibat utama adalah
menjalankan dinas ketentaraan.
5. Negara berwenang menolak untuk menyerahkan
warga negara-warga negaranya sendiri.
6. Status sebagai musuh dalam perang dapat ditentukan
oleh nasionalitas seseorang.
7. Negara-negara dapat menjalankan yurisdiksi atas
dasar nasionalitas.
Jika nasionalitas seseorang dirugikan, maka hal
itu ditentukan oleh Undang-undang nasional oleh negara
yang nasionalitasnya disangka dimiliki oleh orang itu.
Hal ini antara lain diatur dalam Pasal 1 dan 2 Konvensi

130
Den Haag tahun 1930 mengenai konflik Undang-undang
Nasionalitas. Dalam Pasal 1 disebutkan, bahwa adalah
bagi setiap negara menentukan menurut hukumnya
sendiri siapa yang menjadi warga negaranya. Hukum ini
akan diakui oleh negara-negara lain sepanjang sesuai
dengan konvensi-konvensi internasional, kebiasaan-
kebiasaan internasional serta asas-asas hukum umum
yang diakui tentang nasionalitas. Juga dalam Pasal 2
ditentukan bahwa setiap persoalan yang mengenai
apakah seseorang memiliki nasionalitas negara tertentu
akan ditentukan sesuai dengan hukum negara itu.

10.2. Perolehan Nasionalitas


Menurut Ali Sastroamidjojo, peroleh nasionalitas
atau kebangsaan dilakukan dengan lima cara, yaitu oleh
karena :
1. Kelahiran (birth)
2. Naturalisasi
3. Kembali lagi (rerintegration atau resumption)
4. Pentaklukan (subjugation)
5. Pengoperan (cession)

131
Memperoleh kebangsaan karena kelahiran atau
keturunan adalah cara yang paling lazim, karena sebagian
daripada umat manusia memperoleh kebangsaan daripada
negaranya masing-masing karena lahir di negara itu. Cara
perolehan kebangsaan karena kelahiran terdapat dua teori
yaitu teori jus sanguinis, yaitu seseorang anak yang
dilahirkan dari ibu bapak yang mempunyai kebangsaan
sama, sudah sejak lahirnya dimanapun, memperoleh
kebangsaan (nasionality) dari ibu bapaknya. Teori jus
soli mengajarkan bahwa wilayah tempat kelahiran
menentukan kebangsaan anak. Jadi seorang anak yang
dilahirkan di suatu wilayah negara, memperoleh
kebangsaan daripada negara itu.
Adapun memperoleh kewarganegaraan dengan
cara natulalisasi (naturalization) adalah yang paling
banyak dipergunakan. Naturalisasi berarti menerima
orang asing sebagai warga negara daripada negara
dimana orang asing sebagai warga negara daripada
negara dimana orang asing itu berada sebagai penduduk.
Menurut hukum internasional syarat-syarat untuk
memperoleh naturalisasi itu diserahkan kepada tiap-tiap
negara untuk menentukannya. Syarat itu berarti

132
memberikan kepada orang asing hak untuk mendapat
naturalisasi, karena meskipun syarat-syarat tersebut
sudah dipenuhi tetapi negara dapat menolak permintaan
naturalisasi itu tanpa memberikan alasan.
Memperoleh kebangsaan dengan cara
reintegration atau resumption (kembali lagi) terjadi kalau
seseorang yang telah kehilangan kebangsaannya karena
naturalisasi kembali lagi kepada kebangsaannya yang
asli.
Adapun memperoleh kebangsaan karena
subjugation (pentaklukan) terjadi kalau negara yang
kalah dalam perang dan wilayahnya diduduki dan
ditaklukkan negara lain. Oleh karena kekalahan dan
penaklukan itu maka warga-warga daripada negara yang
menaklukannya itu. Demikian pula kalau wilayah negara
dioperkan (cession) kepada negara lain, maka dengan
sendirinya warga-warganya turut diserahkan dan
memperoleh kebangsaan dari negara yang menerima
penyerahan itu.

10.3. Hilangnya Nasionalitas


Hilangnya kebangsaan itu dapat berupa :

133
 Pertama, seorang warga negara dapat dibedakan
dari kebangsaannya oleh negaranya sendiri.
Kebebasan demikian dinamakan release. Dengan
release itu ia kehilangan kebangsaannya.
 Kedua, seorang warga dapat kehilangan
kebangsaannya dengan cara deprivation
(kehilangan), yaitu kalau ia masuk dinas militer
asing, maka kebangsaannya dicabut oleh
negaranya sendiri.
 Ketiga, seorang warga negara yang telah lama
sekali, meninggalkan negerinya, maka
kebangsaannya itu dapat dianggap hilang atau
habis (expiration).
 Keempat, seorang warga negara yang dilahirkan
dari bapak ibu orang asing dalam wilayah suatu
negara dan diakui sebagai warga negara itu pada
waktu ia dianggap dewasa, dapat menyatakan
bahwa ia melepaskan kebangsaannya itu yang
diperolehnya pada waktu lahirnya, dan oleh
karenanya hilanglah kebangsaannya itu. Orang
tersebut dianggap sudah akhlil balik dan cara
demikian itu dinamakan renunciation (pelepasan).

134
 Kelima, seorang warga negara kehilangan
kebangsaannya dengan sendirinya (ipso facto)
kalau ia dinaturalisasi dengan negara lain.
Di samping itu juga ada seorang yang mempunyai
kewarganegaraan rangkap (dual nationality) dan keadaan
tak bernegara (Stateless). Karenanya adanya konflik
undang-undang kewarganegaraan dan tidak adanya
uniformitas, maka sering terjadi bahwa seseorang
memiliki kewarganegaraan rangkap (dual nationality,
bipatride). Misalnya yang lazim terjadi di mana seorang
wanita yang kawin dengan seorang berkewarganegaraan
lain, sedangkan wanita itu dapat tetap memiliki
kewarganegaraannya yang semula dengan menurut
undang-undang nasionalitas suaminya ia mengikuti status
suami.
Keadaan tak bernegara (apatride, statelessness)
juga dapat timbul karena konflik undang-undang
kewarganegaraan nasional, karena perubahan kedaulatan
wilayah dan karena denasionalisasi.

10.4. Hak Suaka (Assylum)

135
Suaka dapat berupa suaka territorial (intern) yaitu
suaka yang diberikan dalam wilayah negara, atau
extraterritorial yaitu yang diberikan dalam gedung
perwakilan, gedung-gedung konsuler, lembaga-lembaga
internasional, kapal perang serta kapal dagang.
Perbedaan keduanya adalah bahwa kekuasaan
memberikan suaka territorial merupakan atribut
kedaulatan territorial (wilayah), sedangkan pemberian
suaka extra-territorial mengesampingkan kedaulatan
territorial, karena negara territorial tidak dapat
Menghukum pelarian yang telah menikmati
perlindungan.
Persamaannya adalah bahwa kedua bentuk suaka
tersebut merupakan persesuaian antara tuntutan-tuntutan
perikemanusian. Kebebasan negara untuk memberikan
suaka dapat ditiadakan melalui perjanjian ekstradisi.

10.5. Arti Maksud dan Tujuan Ekstradisi


Secara umum ekstradisi dapat diartikan sebagai
proses penyerahan seorang tersangka atau terpidana
karena telah melakukan suatu kejahatan yang dilakukan
secara formal oleh suatu negara pada negara lain yang

136
berwenang memeriksa dan mengadili penjahat tersebut.
jelasnya penyerahan tersebut dilakukan oleh negara
tempat orang itu berlindung, kepada negara yang
meminta penyerahan.
Di dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1979
tentang Ekstradisi (L. N. Tahun 1979 No. 2) dirumuskan,
bahwa yang dimaksud dengan ekstradisi adalah :
“Penyerahan oleh suatu negara kepada negara
yang meminta penyerahan seseorang yang
disangka atau dipidana karena melakukan sesuatu
kejahatan di luar wilayah negara yang
menyerahkan dan di dalam yurisdiksi wilayah
negara yang meminta penyerahan tersebut karena
berwenang mengadili dan memidananya”.
Maksud dan tujuan ekstradisi ialah untuk
menjamin agar pelaku kejahatan berat tidak dapat
menghindarkan diri dari penuntutan atau pemidanaan,
karena sering kali suatu negara yang wilayahnya
dijadikan tempat berlindung oleh seseorang penjahat
tidak dapat menuntut atau menjatuhkan pidana
kepadanya semata-mata disebabkan oleh beberapa aturan
teknis hukum pidana atau karena tidak adanya yurisdiksi

137
atas penjahat tersebut. Karena itu patut dan tepatlah
penjahat tersebut diserahkan untuk diperiksa dan diadili
oleh negara yang mempunyai yurisdiksi atas penjahat
tersebut. Penjahat harus dipidana oleh negara tempat ia
berlindung atau diserahkan kepada negara yang dapat dan
mau memidananya (aut punier aut dedere). Kecuali dari
itu negara yang wilayahnya merupakan tempat
dilakukannya negara yang wilayahnya merupakan tempat
dilakukannya kejahatan adalah yang termampu mengadili
penjahat karena di tempat tersebut terbukti bukti dapat
diperoleh dengan bebas, dan negara tersebut mempunyai
kepentingan terbesar dalam memidana penjahat tersebut
serta mempunyai fasilitas terbesar untuk mencapai
kebenaran.

10.6. Asas-asas Umum Ekstradisi dalam UU No. 1


Tahun 1979 tentang Ekstradisi.
Undang-undang RI No. 1 Tahun 1979 tentang
ekstradisi yang rancangannya disetujui oleh DPR-RI
dalam Rapat Paripurna ke-17, masa persidangan kedua
tahun sidang 1978-1979 pada tanggal 16 Desember 1978
dan telah disahkan oleh Presiden menjadi UU pada

138
tanggal 18 Januari 1979, kecuali mengatur tentang
penahanan, syarat-syarat ekstradisi yang harus dipenuhi
oleh negara peminta, pemeriksa terhadap orang yang
dimintakan ekstradisi, keputusan mengenai permintaan
ekstradisi, pelaksanaan penyerahan orang yang
dimintakan ekstradisi dan barang bukti, juga mengatur
tentang asas yang dikenal di bidang ekstradisi. Asas-asas
tersebut adalah :
a. Asas kejahatan rangkap (double criminality), yaitu
bahwa perubahan yang dilakukan baik oleh negara
peminta maupun oleh yang meminta dianggap
sebagai kejahatan. Hal ini tercantum di dalam daftar
kejahatan yang pelakunya dapat diekstradisikan
sebagai lampiran Undang-undang No. 1 Tahun 1979
(Pasal 4);
b. Asas jika suatu kejahatan tertentu oleh negara yang
diminta dianggap sebagai kejahatan politik maka
permintaan ekstradisi ditolak (Pasal 5);
c. Asas bahwa negara yang diminta mempunyai hak
untuk tidak menyerahkan warga negaranya sendiri
(Pasal 7).

139
d. Asas bahwa suatu kejahatan yang telah dilakukan
seluruhnya atau sebagian di wilayah yang termasuk
atau dianggap termasuk dalam yuridiksi negara yang
diminta, maka negara ini dapat menolak permintaan
ekstradisi (Pasal 8);
e. Asas bahwa suatu permintaan ekstradisi dapat ditolak
jika pejabat yang berwenang dari negara yang
diminta sedang mengadakan pemeriksaan terhadap
orang yang bersangkutan mengenai kejahatan yang
dimintakan penyerahannya (Pasal 9);
f. Asas bahwa apabila terhadap suatu kejahatan
tertentu, telah dijatuhi putusan pengadilan yang
berwenang dari negara yang diminta dan putusan
tersebut telah mempunyai kekuatan hukum yang
pasti, maka permintaan ekstradisi di tolak (ne bis
inidem). (Pasal 10);
g. Asas bahwa seseorang yang diserahkan tidak akan
dituntut, dipidana atau ditahan untuk kejahatan
apapun yang dilakukan sebelum yang bersangkutan
diekstradisikan selain dari pada untuk kejahatan
untuk mana ia diserahkan, kecuali bila negara yang

140
diminta untuk menyerahkan orang itu menyetujuinya
(Pasal 15).
Demikianlah asas-asas umum yang diatur dalam
Undang-undang No. 1 Tahun 1979 tentang Ekstradisi
yang maksudnya adalah untuk memberi jaminan
perlindungan hak-hak asasi tersangka atau terpidana
dalam pelaksanaan ekstradisi.
Melihat akan asas-asas di atas yang telah banyak
dianut oleh negara-negara dengan mencantumkan asas-
asas tadi, baik dalam undang-undang nasionalnya
maupun dalam perjanjian-perjanjian ekstradisi, maka
jelaslah kiranya, bahwa ekstradisi ini hendak melindungi
harkat dan martabat manusia, pelanggar-pelanggar
hukum atau penjahat-penjahat. Oleh karena itu,
kerjasama yang efektif di dalam masalah ekstradisi
hendaknya diadakan secara sungguh-sungguh demi
kepentingan hak-hak manusia itu sendiri. Bagaimanapun
juga masalah jaminan perlindungan hak-hak asasi
manusia adalah sangat penting untuk pelaksanaan
peradilan yang baik dalam suatu negara hukum yang
demokratis dan berdasarkan Pancasila.

141
PENUTUP
Soal – Soal :
1. Jelaskan mengapa status kebangsaan
(nasionalitas) seseorang dapat mengakibatkan
hak-hak penting menurut hukum internasional!.
2. Menurut Ali Sastroamidjojo, perolehan
Nasionalitas dilakukan dengan lima cara, sebut
dan jelaskan !.
3. Jelaskan beberapa hal yang dapat menyebabkan
hilangnya nasionalitas !.
4. Jelaskan secara umum mengenai Hak Suaka
(Assylum) !.
5. Jelaskan tentang arti, maksud dan tujuan
Ekstradisi !.
BAB XI
PERSOALAN PENGAKUAN DALAM
HUKUM INTERNASIONAL

PENDAHULUAN

142
Dalam studi hukum internasional pemberian
pengakuan selamanya berkenaan dengan adanya
peristiwa-peristiwa (fakta) seperti :
 Lahirnya negara baru (bagian suatu wilayah
negara memisahkan diri dari negara merdeka).
 Pergantian pemerintah suatu negara (secara
konstitusional maupun secara inkonstitusional),
 Terjadinya pemberontakan dalam suatu negara
(pemberontakan terhadap pemerintah yang sah)
 Suatu kelompok bangsa berusaha
memperjuangkan hak atas kemerdekaan mereka,
 Suatu negara memperoleh tambahan wilayah atau
hak-hak yang bersifat politik.
Pemberian pengakuan atas fakta tersebut diatas
pada prakteknya selalu dicampurbaurkan dengan
motivasi politik (kebijaksanaan) dan hukum
internasional. Persoalannya dalam situasi fakta ini ialah
suatu kekuasaan pemerintah merasa dirinya mempunyai
wewenang atas penduduk wilayah tertentu, sedangkan
negara-negara lain dihadapkan pada pilihan untuk
mengakui atau tidak mengakui . Kalau diakui akan ada
akibat hukum antara kedua pihak, sedangkan

143
pertimbangan yang mendahului pengakuan tersebut
sering bersifat politik.
Kesalah pahaman pengertian inilah yang banyak
menimbulkan persoalan sehingga pada tingkat
perkembangan hukum internasional sekarang ii masalah
pengakuan belum dapat ditampilkan sebagai suatu
himpunan kaedah-kaedah atau prinsip-prinsip yang
memiliki batasan yang jelas , tetapi lebih tepat kalau
dikaitkan sebagian dari praktek negara yang tidak tetap,
inkonsisten dan tidak sistimatis.
Karena itu dilihat secara sepintas batasan
pengakuan adalah : “ Suatu perbuatan politik dimana
negara yang mengakui menunjukkan kesediaannya untuk
mengakui suatu situasi fakta dan menerima akibat hukum
dari pengakuan tersebut “. Gerhard Von Glahn seorang
ahli hukum Amerika Serikat mengatakan :“Recognition
is a political act with legal concequences”.
Dari batasan demikian nampak percampuran
antara unsur-unsur politik dan hukum sehingga tidak
mengherankan jika didalam dunia ilmu hukum
internasional para sarjana menyatakan “Topik

144
pengakuan” merupakan yang paling sulit dan cukup
membingungkan dalam studi hukum internasional”.
Kalau dilihat dari bentuk ataupun substansinya,
pengakuan masih tetap merupakan suatu tindakan
diplomatik unilateral dari pihak satu atau lebih negara-
negara. Tidak ada satupun prosedur kolektif organik bagi
pemberian pengakuan yang didasarkan atas prinsip-
prinsip hukum yang menjadi pedoman bagi masyarakat
internasional.

PENYAJIAN

11.1. LAHIRNYA SUATU NEGARA


Ada dua teori tentang lahirnya negara, yaitu teori
konstitutif dan teori deklaratif.

11.1.1. Teori Konstitutif


Menurut pendukung Teori Konstitutif ini di mata
hukum internasional suatu negara baru lahir bila
telah diakui oleh negara lain. Ini berarti suatu
negara belum lahir sebelum adanya pengakuan

145
terhadap negara tersebut. Dalam hal ini,
pengakuan mempunyai kekuatan konstitutif.
Bahwa bagi pengikut teori konstitutif ini negara
itu secara hukum baru ada bila telah mendapat
pengakuan dari negara-negara lain. Selama
pengakuan itu belum diberikan maka secara
hukum negara itu beium lahir.

11.1.2 Teori Deklaratif


Menurut pendukung teori ini, pengakuan tidak
menciptakan suatu negara karena lahirnya suatu
negara semata-mata merupakan suatu fakta murni
dan dalam hal ini pengakuan hanyalah berupa
penerimaan fakta tersebut. Mereka menegaskan
bahwa suatu negara begitu lahir langsung menjadi
anggota masyarakat internasional dan pengakuan
hanya merupakan pengukuhan dari kelahiran
tersebut. Jadi pengakuar tidak menciptakan suatu
negara. Pengakuan bukan merupakan syarat bagi
kelahiran suatu negara.

146
Namun dapatlah dikatakan bahwa kelahiran suatu
negara adalah suatu peristiwa yang tidak mempunyai
kaitan langsung dengan hukum internasional,
sedangkan pengakuan yang diberikan kepada negara
yang baru lahir tersebut hanya bersifat politik
semacam pengukuhan terhadap statusnya sebagai
anggota masyarakat internasional yang baru dengan
segala hak dan kewajiban yang dimilikinya sesuai
dengan hukum internasional.

11.2. PENGAKUAN NEGARA


Pengakuan adalah pernyataan dari suatu negara
yang mengakui suatu negara lain sebagai subjek hukum
internasional. Sebagaimana yang telah disinggung
sebelum ini suatu negara tidak memerlukan pengakuan
untuk lahir. Di saat suatu entitas telah mempunyai semua
unsur konstitutif, ia dapat menjadi negara, subjek hukum
internasional dan anggota masyarakat internasional.
Sebagai akibatnya, negara tersebut tituler dari semua
wewenang negara dan dapat melaksanakannya sesuai
hukum internasional seperti negara-negara lain.

147
Untuk mengakui suatu negara baru pada umumnya
negara-negara memakai kriteria, antara lain sebagai
berikut:
 Keyakinan adanya stabilitas di negara tersebut;
 Dukungan umum dari penduduk; dan
 Kesanggupan dan kemauan untuk melaksanakan
kewajiban-kewajiban internasional.
Selain itu pengakuan berarti bahwa selanjutnya
antara negara yang mengakui dan negara yang diakui
terdapat hubungan sederajat dan dapat mengadakan
segala macam hubungan kerja sama satu sama lain untuk
mencapai tujuan nasional masing-masing yang diatur
oleh ketentuan-ketentuan hukum internasional.
Pengakuan juga berarti menerima suatu negara baru ke
dalam masyarakat internasional. Perlu kiranya dicatat
bahwa pengakuan negara hanya dilakukan satu kali.
Perubahan bentuk suatu negara tidak akan mengubah
statusnya sebagai negara.
Pengakuan terhadap suatu negara juga merupakan
kebijaksanaan politik antar suatu negara atau kelompok
negara mengakui atau tidak mengakui suatu negara lain,

148
semata-mata didasarkan atas pertimbangan politik dari
negara atau kelompok negara yang bersangkutan.

11.3. BENTUK-BENTUK PENGAKUAN


Atas dasar tiap-tiap kasus, pengakuan dapat
dilakukan secara terang-terangan (eksplisit) ataupun
diam-diam (implisit), secara individual ataupun kolektif.
1. Pengakuan Secara Terang-terangan dan
Individual
Pengakuan seperti ini berasal dari pemerintah
atau organ yang berwenang di bidang hubungan
luar negeri. Cara yang paling sering dilakukan
ialah melalui:
a. Nota Diplomatik, Suatu Pernyataan Atau
Telegram.
b. Suatu Perjanjian Internasional:
2. Pengakuan Secara Diam-Diam
Pengakuan implisit ini terjadi bila suatu negara
mengadakan hubungan dengan pemerintah atau
negara baru dengan mengirimkan seorang wakil
diplomatik, mengadakan pembicaraan dengan
pejabat pejabat resmi ataupun kepala negara

149
setempat, membuat persetujuan dengan negara
tersebut.
3. Pengakuan Secara Kolektif
Pengakuan secara kolektif ini diwujudkan dalam
suatu perjanjian internasional atau konferensi
multilateral. Contohnya pada tanggal 18 April
1975 kelima negara ASEAN secara bersama
mengakui pemerintahan Kamboja yang baru
segera setelah jatuhnya ibukota Phnom Penuh ke
tangan kelompok komunis. Selanjutnya perlu
dicatat bahwa masuknya suatu negara sebagai
anggota PBB sama sekali tidak berarti adanya
pengakuan secara kolektif dari negara-negara
anggota Organisasi dunia tersebut.
4. Pengakuan Secara Prematur
Dalam pengakuan internasional terdapat pula
contoh-contoh di mana suatu negara memberikan
pengakuan kepada negara yang baru tanpa
lengkapnya unsur-unsur konstitutif yang harus
dimiliki oleh entitas yang baru tersebut untuk
menjadi suatu negara.
11.4. PENGAKUAN PEMERINTAH

150
Pengakuan pemerintah ialah suatu pernyataan dari
suatu negara bahwa negara tersebut telah siap dan
bersedia berhubungan dengan pemerintahan yang baru
diakui sebagai organ yang bertindak untuk dan atas nama
negaranya. Pengakuan pemerintah ini penting karena
suatu negara tidak mungkin mengadakan hubungan resmi
dengan negara lain yang tidak mengakui pemerintahnya.
Namun secara logika pengakuan terhadap suatu negara
juga berarti pengakuan terhadap pemerintah negara
tersebut karena tidak mungkin mengakui suatu entitas
baru tanpa mengakui lembaga operasionalnya yaitu
pemerintah

11.4.1. Terjadinya Suatu Pengakuan Pemerintah


Pergantian suatu pemerintah oleh pemerintah lain
dalam suatu negara adalah masalah dalam negeri negara
tersebut. Pengambilan sikap negatif terhadap pemerintah
yang baru tersebut merupakan campur tangan terhadap
masalah intern suatu negara dan dapat dianggap sebagai
kebijaksanaan yang tidak bersahabat. Ini adalah akibat
normal dari otonomi konstitusional negara-negara dan
penolakan campur tangan hukum internasional terhadap

151
sistem politik suatu negara. Dalam hal ini tidak ada
persoalan pengakuan terhadap pemerintahan yang baru.
Penggantian-penggantian pemerintah secara konstitusional
dalam negara adalah hal yang biasa dan tidak ada
hubungannya dengan hukum internasional.
Sebaliknya, persoalan pengakuan pemerintah baru
timbul bila terjadi pembentukan atau penggantian
pemerintah secara non konstitusional, dengan jalan
revolusioner, atau melalui cara-cara ekstra yuridik.
Bermacam istilah yang dipakai misalnya: coup d'etat,
revolution, insurrection, pronunciamiento, putsch dan
lain-lain. Dalam sejarah diplomatik terdapat beberapa
doktrin mengenai pengakuan pemerintah yaitu:
a. Doktrin Tobar
Dr. Tobar, Menteri Luar Negeri Equador dalam
suatu pernyataan tanggal 15 Maret 1907
meletakkan prinsip bahwa suatu negara harus
berusaha untuk tidak mengakui suatu
pemerintah asing bila pemben tukan
pemerintahan tersebut didasarkan atas kudeta
militer atau pemberontakan. Sebelum diakui,
paling tidak pemerintah tersebut harus
disahkan dulu secara konstitusional. Karena
itu, Doktrin Tobar tersebut dinamakan juga
doktrin legitimisi konstitusional.
b. Doktrin Stimson

152
Doktrin Stimson adalah doktrin yang menolak
diakuinya suatu keadaan yang lahir sebagai akibat
penggunaan kekerasan atau pelanggaran terhadap
perjanjian-perjanjian yang ada.
Pelaksanaan doktrin ini mengalami kemacetan
karena tidak diakuinya suatu keadaan tidak pernah
menjadikan keadaan tersebut kembali seperti
semula dan keadaan yang tidak diakui tersebut
pada akhirnya juga diakui negara-negara beberapa
waktu kemudian.
c. Doktrin Estrada
Bahwa penolakan pengakuan adalah cara yang
tidak baik karena bukan saja bertentangan
dengan kedaulatan suatu negara tetapi juga
merupakan campur tangan terhadap soal dalam
negeri negara lain. Penolakan tersebut juga
didasarkan teori bahwa diplomatic repre-
sentation is to the state and not to the
government. Bahkan kelihatannya teori ini sesuai
dengan perkembangan zaman. Pada umumnya
dewasa ini negara-negara membiarkan saja
perwakilan diplomatiknya di suatu negara
walaupun terjadi pergantian pemerintahan secara
non-konstitusional.

11.4.2. Pengakuan De Facto dan De Jure


Pengakuan de facto adalah pengakuan yang
diberikan kepada suatu pemerintahan yang belum lagi sah
secara konstitusional. Pada umumnya pengakuan de facto
diberikan kepada pihak yang diakui berdasarkan pada fakta

153
atau kenyataan saja bahwa pihak yang diakui itu telah ada,
tanpa mempersoalkan keabsahan secara yuridis dari pihak
yang diakui itu. Peme-rintah yang lahir melalui suatu
revolusi misalnya masih dianggap sebagai pemerintah de
facto walaupun kekuasaan pemerintah tersebut sudah efektif
di seluruh wilayah nasional.
Pengakuan De Jure baru dapat diberikan apabila
menurut pendapat dari pihak yag hendak memberi
pengakuan, pihak yang akan diakui secara de jure telah
memenuhi tiga ciri sebagai berikut:
 Efektivitas : kekuasaan yang diakui di seluruh
wilayah negara;
 Regularitas : berasal dari pemilihan umum atau
telah disahkan oleh konstitusi;
 Eksklusivitas : hanya pemerintah itu sendiri
yang mempunyai kekuasaan dan tak ada
pemerintahan tandingan.

Mengenai pengakuan ini, Mesir mempunyai tempat


tersendiri sebagai negara pertama yang mengakui
kemerdekaan Indonesia secara de facto pada tanggal 23

154
Maret 1946 dan kemudian secara de jure tanggal 18
Nopember 1946.
Sebagai kesimpulan dari pengakuan negara dan
pemerintahan ini dapatlah dinyatakan bahwa pengakuan
terhadap suatu negara juga berarti pengakuan terhadap
pemerintahan negara tersebut, karena pemerintah itu
merupakan satu-satunya organ yang mempunyai wewenang
untuk bertindak atas nama negara. Pengakuan negara sekali
diberikan akan tetap ada walaupun bentuk negara mengalami
perubahan dan meskipun pemerintahannya sering berganti.
Revolusi-revolusi adalah persoalan intern suatu negara dan
hukum internasional hanya ikut campur apabila terjadi
pelanggaran terhadap perjanjian-perjanjian internasional atau
pelanggaran dari hak-hak yang telah diperoleh negara
ketiga. Itu adalah prinsip kontinuitas suatu negara.

11.5. PENGAKUAN TERHADAP PEMBERONTAK


(BELLIGERENCY)
Bila di suatu negara terjadi pemberontakan dan
pemberontakan tersebut telah memecah belah kesatuan
nasional dan efektifitas pemerintahan maka keadaan ini
menempatkan negara-negara ketiga dalam keadaan yang

155
sulit terutama dalam melindungi berbagai kepentingannya
di negara tersebut. Dalam keadaan ini lahirlah sistem
pengakuan belligerency. Negara-negara ketiga dalam
sikapnya membatasi diri hanya sekedar mencatat bahwa
para pemberonak tidak kalah dan telah menguasai sebagian
wilayah nasional dan mempunyai kekuasaan secara fakta.
Pengakuan belligerency berarti memberikan
kepada pihak yang mernberontak hak-hak dan kewajiban
suatu negara merdeka selama berlangsungnya
peperangan.

11.6. PENGAKUAN TERHADAP GERAKAN-


GERAKAN PEMBEBASAN NASIONAL
Suatu perkembangan baru dalam hukum
internasional ialah diberikannya pengakuan terbatas
kepada gerakan-gerakan pembebasan nasional yang
memungkinkannya untuk ikut dalam PBB atau organisasi
organisasi internasional tertentu. Namun pengakuan
semacam ini belum bersifat universal dan masih ditolak
terutama oleh negara-negara Barat seperti Amerika Serikat
dan Inggris dengan alasan Piagam PBB tidak berisi

156
ketentuan mengenai peninjau dan gerakan-gerakan pem-
bebasan adalah kelompok yang bukan negara.

PENUTUP

Soal – Soal :
1. Dalam studi hukum internasional, pemberian
pengakuan selamanya berkaitan dengan peristiwa
atau fakta yang terjadi. Jelaskan peristiwa atau
fakta dimaksud !.
2. Dalam kaitannya dengan persoalan pengakuan, ada
dua teori tentang lahirnya negara ; Teori
Konstitutif dan Deklaratif. Jelaskan !.
3. Jelaskan beberapa bentuk atau cara pemberian
pengakuan negara !.
4. Jelaskan tentang “Doktrin Tobar” berkaitan
dengan pengakuan pemerintah !.
5. Jelaskan tentang pengakuan De Facto dan De Jure
!.

157
BAB XII
YURIDIKSI NEGARA DALAM HUKUM
INTERNASIONAL

12.1. ASAL KATA DAN PENGERTIAN


YURISDIKSI.

158
Kata "yurisdiksi" dalam bahasa Indonesia,
sebenarnya berasal dari bahasa Inggris, "jurisdiction".
Sedangkan istilah jurisdiction dalam bahasa Inggris itu
sendiri sebenarnya dikutip atau diadopsi dari bahasa
Latin yaitu "yurisdictio", Kata yurisdictio, sebenarnya
terdiri dari dua kata yaitu, kata "yuris" dan kata "dictio".
Kata "yuris" berarti "kepunyaan hukum" atau
"kepunyaan menurut hukum" dan kata "dictio"
berarti "ucapan", "sabda", "sebutan", "firman ".
Jadi yurisdiksi berarti, kepunyaan seperti apa
yang ditentukan atau ditetapkan oleh hukun atau dengan
singkat dapat diartikan "kekuasaan atau kewenangan
hukum", dengan kata lain; hak, kekuasaan atau
kewenangan berdasarkan hukum. Namun ditekankan di
sini adalah hak kekuasaan dan kewenangan itu harus
berdasarkan atas hukum. Bukan atas paksaan, apalagi
berdasarkan pada kekuatan.
Jika kata “yurisdiksi” itu dikaitkan dengan
“negara” atau bangsa, maka “yurisdiksi negara” itu
berarti kekuasaan atau kewenangan dari suatu negara
untuk menetapkan dan memaksakan hukum yang dibuat
oleh negara atau bangsa itu sendiri.

159
12.2. HUBUNGAN ANTARA KEDAULATAN
NEGARA DAN YURISDIKSI NEGARA.

Kedaulatan itu pada dasarnya mengandung dua


aspek. Pertama, aspek internal yaitu berupa kekuasaan
tertinggi untuk mengatur segala sesuatu yang ada atau
terjadi di dalam batas-batas wilayahnya. Kedua, aspek
eksternal yaitu kekuasaan tertinggi untuk mengadakan
hubungan dengan anggota masyarakat internasional
maupun mengatur segala sesuatu yang berada atau
terjadi di luar wilayah negara itu tetapi sepanjang masih
ada kaitannya dengan kepentingan negara itu. Namun,
semuanya itu dibatasi oleh hukum.
Berdasarkan kedaulatannya itu, maka lahirlah
hak, kekuasaan ataupun kewenangan negara untuk
mengatur masalah intern maupun eksternnya. Dengan
kata lain, dari kedaulatannya itulah diturunkan atau lahir
yurisdiksi negara. Dengan hak, kekuasaan dan
kewenangan atau dengan yurisdiksi tersebut suatu
negara dapat mengatur secara lebih rinci dan jelas

160
masalah-masalah yang dihadapinya, sehingga terwujud
apa yang menjadi tujuan dari negara itu.

12.3. YURISDIKSI NEGARA DALAM HUKUM


INTERNASIONAL.
Imre Anthony Csabafi, dalam bukunya "The
Consept of State Yurisdiction in International Space
Law", mengemukakan pengertian tentang yurisdiksi
negara dengan menyatakan sebagai berikut :
"state jurisdiction in public international law
means the right of a State to regulate or affect by
legislative, executive or judicial measures the
rights of persons, property, acts or events with
respect to matters not exclusively of domestic
concern".
(yurisdiksi negara dalam hukum publik
internasional berarti hak dari suatu negara untuk
mengatur atau mempengaruhi dengan langkah-
langkah atau tindakan yang bersifat legislatif,
eksekutif atau yudikatif atas hak-hak individu,
milik atau harta kekayaannya, perilaku-perilaku

161
atau peristiwa-peristiwa yang tidak semata-mata
merupakan masalah dalam negeri).
F.A. Mann, dalam bukunya "Studies in
International Law" menyatakan sebagai berikut :
"When public international lawyers pose the
problem of jurisdiction, they have in mind the State's
rights under international law to regulate conduct in
matters not exclusively of domestic concern".
(Apabila para ahli hukum internasional berhadapan
dengan masalah yurisdiksi, dalam fikiran mereka
terbayang atas hak suatu negara berdasarkan hukum
internasional untuk mengatur perilaku yang
berkenaan dengan masalah-masalah yang tidak
secara eksklusif merupakan masalah dalam negeri).

12.4. MACAM-MACAM YURISDIKSI

 Yurisdiksi negara atas orang yang


berdasarkan kewarganegaraan aktif (active
nationality principle), atau dengan singkat
disebut: yurisdiksi personal berdasarkan asas
kewarganegaraan aktif. Asas ini menitikberatkan

162
pada adanya hubungan langsung dan aktif antara
negara itu sendiri dengan warga negaranya. Asas
ini berlandaskan pada suatu asumsi bahwa setiap
orang warganegara akan membawa dan mentaati
hukum negaranya di manapun dia berada.
Dengan kata lain, hukum negaranya akan selalu
mengikutinya, ke manapun dia pergi dan di
manapun dia sedang berada.
 Yurisdiksi personal berdasarkan asas
kewarganegaraan pasif.
Dalam yurisdiksi ini, titik beratnya tidak
terletak pada hubungan langsung antara negara
dengan orang yang bersangkutan, sebab orang
itu bukan warganegaranya, melainkan
warganegara asing atau orang tanpa
kewarganegaraan. Titik beratnya terletak pada
usaha negara itu untuk melindungi
kepentingannya maupun kepentingan
warganegara.
 Yurisdiksi teritorial.
Yurisdiksi teritorial adalah yurisdiksi suatu
negara untuk mengatur, menerapkan dan

163
memaksakan hukum nasionalnya terhadap
segala sesuatu yang ada atau terjadi (bisa
berupa benda, orang, peristiwa) di dalam
batas-batas wilayahnya.
Menurut hukum internasional, yang termasuk
dalam ruang lingkup wilayah negara, meliputi :
wilayah daratan, tanah di bawah wilayah
daratan, wilayah perairan, Dasar laut dan tanah
di bawahnya , ruang udara di atas wilayah
daratan dan di atas wilayah perairan.
 Dikenal juga apa yang disebut Yurisdiksi Quasi-
Teritorial. Disebut quasi-teritorial oleh karena
ruang atau tempat atau area di mana yurisdiksi
negara itu diterapkan, sebenarnya bukanlah
wilayah negara. Hanya saja, ruang atau tempat
atau area tersebut berdekatan atau bersambungan
dengan wilayah negara. Hukum internasional
memang tidak melarang negaranegara untuk
menerapkan yurisdiksi teritorialnya ke luar
batas-batas wilayahnya sendiri. Bahkan dalam
beberapa peristiwa hukum, hukum internasional
bahkan mengaturnya secara tegas. Misalnya

164
dalam pasal 33 ayat 1 Konvensi Hukum Laut
1982, yang mengatur tentang Zona Tambahan,
dinyatakan bahwa negara pantai dapat
melaksanakan pengawasan yang diperlukan
untuk : (a) mencegah pelanggaran peraturan
perundang-undangan bea-cukai, fiskal, imigrasi
atau sanitasi di dalam wilayah atau laut
teritorialnya; (b) menghukum pelanggaran atas
peraturan perundang-undangan tersebut di atas
yang dilakukan di dalam wilayah atau laut
teritorialnya.
 Ada juga yang dikenal dengan Yurisdiksi
Ekstra-teritorial yang meluas sampai pada
area yang jauh di luarnya. Misalnya pada area
yang bukan merupakan wilayah negara, seperti
di laut lepas, di ruang udara internasional
(ruang udara bebas), atau pada area lain yang
status yuridisnya sama dengan laut lepas
maupun ruang udara internasional itu, seperti
Antartika dan Artika (Kutub Selatan dan Kutub
Utara).

165
 Yurisdiksi Universal atau yurisdiksi atas
dasar prinsip universalitas.
Yurisdiksi universal ini yaitu yurisdiksi suatu
negara berdasarkan hukum internasional atas
suatu peristiwa hukum yang melibatkan siapa
saja, di mana saja dan kapan saja yang
menyangkut kepentingan dan rasa keadilan
semua umat manusia.

PENUTUP

Soal – Soal :
1. Jelaskan tentang asal kata dan pengertian
Yurisdiksi !.
2. Bagaimanakah hubungan antara Kedaulatan
dan Yurisdiksi Negara ?.
3. Uraikan pengertian Yurisdiksi negara menurut
Imre Anthoni Csabafi !.
4. Apakah yang dimaksud dengan Yurisdiksi
berdasarkan asas kewarganegaraan Aktif dan
Yurisdiksi personal berdasarkan asas
kewarganegaraan Pasif ?.

166
5. Jelaskan apa yang dimaksud dengan Yurisdiksi
Ekstra-territorial !.

BAB XIII

PENYELESAIAN SENGKETA
INTERNASIONAL

Menurut Ali Sastroamidjojo, perselisihan


internasional dibagi atas dua jenis, yakni perselisihan
hukum dan perselisihan politik.
1. Perselisihan hukum (legal disputes) adalah
perbedaan paham tentang tuntutan yang
disandarkan atas peraturan hukum
internasional.
2. Perselisihan politik (political disputes) adalah
perselisihan karena pertentangan kepentingan
nasional antara negara-negara.

167
Pada umumnya metode penyelesaian pertikaian
internasional dapat digolongan dalam dua kategori :
1. Penyelesaian secara damai, yakni para pihak
bermufakat untuk mencari penyelesaian secara
persahabatan.
2. Penyelesaian secara paksa, yakni pemecahan
ditempuh secara paksa dengan kekerasan.

13.1. Penyelesaian Secara Damai.


Cara-cara penyelesaian secara damai dapat
dibagi atas :
1. Arbitrase.
Sebenarnya prosedur arbitrase sama
seperti hukum nasional, yakni penyerahan
perkara kepada orang-orang tertentu yang
disebut arbitrator yang dipilih secara
bebas oleh para pihak yang memberikan
keputusan tanpa terlalu terikat pada
pertimbangan hukum. Tetapi praktek
internasional menunjukkan bahwa banyak
perkara yang merupakan persoalan
hukum belaka, namun toh diserahkan

168
kepada arbitrator untuk diselesaikan
berdasarkan pertimbangan hukum.

2. Penyelesaian Judisial.
Yang dimaksud dengan penyelesaian
judisial ialah penyelesaian yang
diputuskan oleh Mahkamah Internasional
yang dibentuk dengan wajar, dengan
menerapkan rule of law (supremasi
hukum).
Di dalam Bab VI dan VII Piagam PBB
terdapat peraturan tentang penyelesaian
sengketa secara damai antara negara-
negara anggota PBB atau negara-negara
bukan anggota PBB. Sengketa yang
dimaksudkan itu pada pokoknya ialah
sengketa yang bersifat politik.
Satu-satunya organ yang ada sekarang ini
dalam masyarakat internasional untuk
menyelesaikan perkara secara hukum
adalah Mahkamah Internasional di kota

169
Den Haag yang menggantikan dan
melanjutkan Mahkamah Internasional
Permanen.

3. Perundingan, Jasa-Jasa Baik,


Perantaraan, Perdamaian atau
Penyelidikan.
Penyelesaian ini bersifat kurang formal
bila dibandingkan dengan cara
penyelesaian lewat peradilan dan
arbitrase.
Perundingan diadakan dalam
hubungannya dengan jasa-jasa baik atau
perantaraan. Kecenderungan sekarang ini
yaitu untuk menentukan kerangka hukum
dengan instrumen atau Arrangement
internasional. Hal yang mendukung
dalam negosiasi ialah pentingnya
konsultasi dan komunikasi.
Jasa baik dan perantaraan adalah upaya
penyelesaian yang diberikan oleh pihak
ketiga untuk membantu menemukan

170
penyelesaian sengketa dengan baik Tetapi
dalam kasus-kasus tertentu, individu atau
organ internasional juga dapat
memberikan bantuan, misalnya jasa-jasa
baik Dewan Keamanan PBB tahun 1947
mengenai sengketa antara Belanda
dengan Indonesia.
Perdamaian (Consiliation) dalam arti
luas berarti berbagai metode untuk
menyelesaikan sengketa secara damai
dengan bantuannegara-negara lain atau
Badan-Badan Penyelidik/Komite
Penasehat yang tidak memihak.
Sedangkan dalam arti sempit, perdamaian
berarti pengajuan sengketa melalui
laporan kepada para pihak dengan usulan
penyelesaiannya, tetapi usul penyelesaian
tersebut tidak mengikat.

4. Penyelesaian di bawah pengawasan


PBB.

171
Salah satu tujuan utama PBB ialah
menyelesaikan secara damai perselisihan-
perselisihan di antara negara-negara.
Piagam PBB (Pasal 2) menyatakan bahwa
anggota-anggota PBB berjanji untuk
menyelesaikan sengketa-sengketa mereka
dengan jalan damai dengan menahan diri
untuk tidak mengunakan ancaman
peperangan atau kekerasan. Sehubungan
dengan itu, maka Majelis Umum dan
Dewan Keamanan dibebani tanggung
jawab penting sesuai dengan kekuasaan
yang diberikan kepada kedua badan itu.
Majelis Umum diberi kekuasaan untuk
mengambil tindakan-tindakan guna
penyelesaian damai setiap peristiwa yang
mungkin merugikan kessejahteraan umum
atau hubungan-hubungan persahabatan di
antara bangsa-bangsa (Pasal 14). Namun
kekuasaan yang lebih luas diberikan
kepada Dewan Keamanan agar dapat

172
menyelenggarakan kebijaksanaan PBB
dengan cepat dan pasti.

13.2. Penyelesaian Secara Paksa.


Apabila negara-negara tidak setuju untuk
menyelesaikan sengketa mereka secara damai, maka
cara penyelesaian yang mungkin digunakan ialah
paksaan.
Cara-cara penyelesaian dengan paksa atau
kekerasan pada umumnya terdiri dari :
1. Perang dan tindakan bersenjata bukan
perang.
Tujuan perang ialah untuk menaklukan lawan
dan menetapkan syarat-syarat penyelesaian
yang harus diterima oleh lawan. Tindakan
bersenjata (armed action) yang tidak dapat
disebut perang juga terpaksa digunakan dalam
tahun-tahun terakhir ini. Menurut Starke,
perang sebagai keadaan yang sedemikian rupa
tegangnya sehingga para pihak menggunakan
kekerasan, atau salah satu pihak itu melakukan
kekerasan yang dianggap oleh pihak lain

173
sebagai pelanggaran perdamaian, maka
terjadilah hubungan peperangan (keadaan
[perang) dalam mana para pihak menggunakan
kekerasan yang teratur, sampai pada saat salah
satu dari pihak-pihak itu diharuskan memenuhi
syarat-syarat yang disodorkan kepadanya.

2. Retorsi.
Retorsi adalah istilah teknis untuk balas
dendam (retaliation) oleh suatu negara
terhadap perbuatan tidak sopan atau tidak patut
dari negara lain. Balas dendam itu dilakukan
dengan perbuatan-perbuatan yang tidak
bersahabat, tetapi sah, misalnya merengangnya
hubungan diplomatik, penarikan privilege-
privilege diplomatik atau pemcabutan konsesi
pajak/tarif. Pada prakteknya karena beraneka
ragamnya pembalasan itu, sedangkan kita tidak
mungkin mendefinisikan secara persis kondisi-
konsisi yang menjadi alasan pembenarannya.
Bagaimanapun hal itu tidak boleh merupakan
pembalasan dendam dalam bentuk apapun

174
juga. Praktek retorsi yang sah oleh negara-
negara anggota PBB telah dipengaruhi oleh
satu atau dua ketentuan dalam Piagam PBB.
Misalnya Pasal 2 ayat (3) Piagam PBB
mengharuskan setiap negara anggota untuk
menyelesaikan sengketa-sengketa mereka
secara damai sehingga tidak mebahayakan
perdamaian dan keamanan internasional dan
keadilan. Ada kemungkinan bahwa tindakn
retorsi lainnya sekalipun legal, namun dalam
keadaan tertentu dapat membahayakan
erdamaian dan keamanan internasional dan
keadilan. Keadaan semacam ini menurut
Piagam PBB dianggap sebagai ilegal.

3. Tindakan pembalasan (Reprisal).

Tindakan pembalasan (Reprisal) ialah cara


yang digunakan oleh suatu negara untuk
mendapatkan ganti rugi dari negara lain.
Dahulu istilah ini terbatas pada perampasan
harta benda atau penyanderaan orang-orang.

175
Sekarang istilah ini dapat juga berarti tindakan
paksaan untuk mengadakan penyelesaian
sengketa yang diakibatkan oleh suatu tindakan
ilegal atau tak dapat dibenarkan oleh negara
lain.

Perbedaan antara tindakan pembalasan dengan


retorsi ialah bahwa tindakan pembalasan
dilakukan dengan perbuatan yang sifatnya
ilegal, sedangkan retorsi dilakukan dengan
tidak melawan hukum. Tindakan pembalasan
dapat mempunyai beberapa bentuk, misalnya :
pemboikotan terhadap barang-barang suatu
negara, embargo, demonstrasi angkatan laut
atau pemboman. Dewasa ini umumnya praktek
hukum internasional menetapkan bahwa tindak
pembalasan hanya dapat dibenarkan apabila
dilakukan terhadap negara yang bena-benar
melakukan suatu perbuatan yang salah berupa
kejahatan internasional. Selanjutnya tindakan
pembalasan tidak akan dibenarkan jika negara
yang bersalah tidak diminta terlebih dahulu

176
menebus kesalahannya jika dibandingkan
dengan kerugian yang diderita.

4. Blokade secara damai.


Pada waktu perang blokade terhadap
pelabuhan-pelabuhan suatu negara lazim
dilakukan oleh angkatan laut. Sebaliknya pada
waktu damai, blokade dilakukan secara damai.
Blokade seperti ini biasanya untuk memaksa
suatu negara yang pelabuhannya diblokade
untuk memenuhi tuntutan dari negara yang
memblokade.

5. Intervensi.
Intervensi adalah tindakan sepihak suatu
negara secara diktatorial kepada negara lain
untuk memaksakan kehendaknya. Intervensi
melibatkan suatu konflik dari dua prinsip
hukum internasional yang fundamental, yaitu :
Hak untuk membela diri dari negara yang
mendakwa dan hak untuk memerintah sendiri
atau merdeka dari negara yang didakwa. Untuk

177
menyelesaikan konflik tersebut, hukum
internasional tidak memiliki suatu cara yang
dapat diterima oleh negara yang
mengintervensi, mempersalahkan negara
tetangganya dan menolak tuduhan itu, serta
menyatakan campur tangan sewenang-wenang
dan tidak sah terhadap persoalan dalam negeri.
Masing-masing membenarkan dirinya sendiri.
Masyarakat internasional juga belum
memperoleh suatu tingkat organisasi yang
dapat menegaskan kewajiban para pihak agar
dapat menyelesaikan secara baik.

PENUTUP
Soal – Soal :
1. Menurut Ali Sastroamidjojo perselisihan
internasional dibagi dalam dua jenis, sebut dan
jelaskan !.
2. Dalam hukum internasional terdapat dua cara
penyelesaian sengketa internasional, sebut dan
jelaskan !.

178
3. Arbitrase merupakan salah satu cara
penyelesaian sengketa. Berikan contoh kasus !.
4. Jelaskan secara umum tentang peranan
Mahkamah Internasional yang berkedudukan
di Kota Den Haag !.
5. Berikan contoh kasus tentang penyelesaian
sengketa internasional secara paksa !.

179
DAFTAR PUSTAKA

Anonimous, Pengetahuan Dasar Mengenai


Perserikatan Bangsa-Bangsa, Kantor
Penerangan Perserikatan Bangsa-Bangsa, Jakarta,
1996.

Anwar Chairul., Hukum Internasional – Pengantar


Hukum Bangsa-Bangsa, Djambatan, Jakarta,
1989.

A.K. Syahmin., Hukum Internasional Dalam Kerangka


Studi Analitis, Binacipta, Bandung, 1992.

Frankel, J., International Relations, Alih Bahasa Dra.


Laila Hasyim, Hubungan Internasional, ANS
Sungguh Bersaudara, Jakarta, 1980.

Kusumaatmadja, Mochtar., Pengantar Hukum


Internasional, Binacipta, Bandung, 1978.

-----------------., dan Etty R. Agoes, Pengantar Hukum


Internasional, Pusat Studi Wawasan Nusantara,
Hukum danPembangunan Bekerjasama dengan
PT. Alumni, Bandung, 2003.

Lauterpacht-Oppenheim., Internasional Law - A


Treaties, Vol. I, Seven Ed., Longmans, Green
and Co., London, New York, Toronto, 1948.

180
Mauna Boer, Hukum Internasional – Pengertian,
Peranan Dan Fungsi Dalam Era Dinamika
Global, Alumni, Bandung, 2003.

Mestiko, Sumarsono., Indonesia dan Hubungan Antar


Bangsa, Sinar Harapan, Jakarta, 1985.

Nusbaum Arthur., A Concise History of the Law of


Nations, Rev.ed. New York : Macmillan, 1954.

Parthiana, I. Wayan., Pengantar Hukum Internasional,


Mandar Maju, Bandung, 1990.

Prodjodikoro, Wirjono., Asas-asas Hukum Publik


Internasional, Cetakan Pertama, P.T.
Pembimbing Masa, Jakarta, 1967.

Sastroamidjojo, Ali, Pengantar Hukum Internasional,


Bhratara, Jakarta, 1970.

Starke J.G., An Introduction to International Law, Alih


bahasa Sumitro Danuredjo., Pengantar Hukum
Internasional Bagian I dan II, Aksara Persada
Indonesia, Jakarta, 1984.

Thontowi, Jawahir, Hukum Internasional Di Indonesia,


Madyan Press, Yogyakarta, 2002.

181

Anda mungkin juga menyukai