KEGIATAN PEMBELAJARAN I
Mahasiswa dapat menjelaskan Pengertian, Batasan dan istilah Hukum Internasional serta mampu
untuk membedakan hukum internasional dan hukum nasional
2. Materi Pembelajaran 1:
Hukum internasional yang dipelajari dalam pembahasan ini adalah hukum internasional publik.
Meskipun Mochtar Kusumaatmadja dalam bukunya telah membedakan hukum internasional
menjadi hukum internasional publik disatu sisi dan hukum perdata internasional disisi lainnya.
Hukum perdata internasional ialah keseluruhan kaidah dan asas hukum yang mengatur hubungan
perdata yang melintas batas negara. Dengan perkataan lain hukum yang mengatur hubungan
hukum perdata antara para pelaku hukum yang masing-masing tunduk pada pada hukum perdata
(nasional) berlainan.(1977:1) Sedangkan hukum internasional publik ialah keseluruhan kaiah dan
asas hukum yang mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas negara (hubungan
internasional) yang bukan bersifat perdata.
Walaupun kedua pengertian di atas terdapat adanya perbedaan tetapi ditemukan pula ada
persamaannya. Persamaannya ialah keduanya mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi
batas negara (internasional). Perbedaannya terletak dalam sifat hukum hubungan atau persoalan
yang diaturnya (obyeknya). Mochtar Kusumaatmadja menganggap bahwa cara pembedaan
demikian lebih tepat dari pada membedakan berdasarkan pelaku (subjek hukum) nya dengan
mengatakan bahwa hukum internasional publik mengatur hubungan antara negara-negara,
sedangkan hukum perdata internasional antara orang perorang. (Kusumaatmadja, Pengantar
Hukum Internasional, 1999, p. 1) Dari apa yang dikemukan Mochtar Kusumaatmadja jelas dapat
dipahami bahwa hukum internasional bukanlah membahas persoalan-persolan hubungan yang
bersifat perdata, melainkan hubungan-hubungan yang bersifat publik seperti antara lain:
hubungan negara dengan negara, negara dengan organisasi internasional, negara dengan
individu, organisasi internasional dengan organisasi internasional, dan hubungan organisasi
internasional dengan individu. Meskipun terkadang sangat sulit untuk membedakan persoalan-
persoalan yang mana masuk dalam kajian hukum perdata internasional dan persoalan-persoalan
yang merupakan hukum internasional publik, tetapi tidak ada alasan untuk tidak
membedakannya.
Untuk lebih memahami apa itu hukum internasional, ditemukan para sarjana telah merumuskan
dengan memberikan beberapa pengertian seperti sebagai berikut:
a. Mochtar Kusumaatmadja, hukum internasional ialah keseluruhan kaidah dan asas yang
mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas negara antara: negara dan negara, dan
negara dengan subjek hukum lain bukan negara atau subjek hukum bukan negara satu sama lain.
b) Peraturan-peraturan hukum tertentu yang berkenaan dengan individu- individu dan subjek-
subjek hukum bukan negara (non state entities) sepanjang hak-hak dan kewajiban-kewajiban
individu dan subjek- subjek hukum bukan negara itu bersangkut paut dengan masalah
masyarakat internasional.
c. Boer Mauna merumuskan hukum internasional sebagai suatu kaidah atau norma-norma yang
mengatur hak-hak dan kewajiban-kewajiban para subjek hukum internasional, yaitu: negara,
lembaga dan organisasi internasional, serta individu dalam hal-hal tertentu (Mauna, 2000, p. 2)
d. John O’Brien mengemukakan hukum internasional adalah sistem hukum yang terutama
berkaitan dengan hubungan antar negara. (Sefriani, Hukum Internasional Suatu Pengantar, 2014,
p. 3)
Berdasarkan pada beberapa pengertian di atas, tergambar sudah apa yang merupakan isi dan
ruang lingkup hukum internasional itu sendiri. Di dalamnya terkandung unsur subjek atau
pelaku-pelaku yang berperan, hubungan-hubungan hukum antara subjek tersebut serta kaedah-
kaedah maupun prinsip-prinsip hukum yang lahir dari hubungan antara subjek tesebut yang
keseluruhannya itu merupakan suatu kesatuan yang saling terjalin satu dengan lainnya.
(Parthiana, 1990, p. 4)
Adanya berbagai macam dalam pemberian pengertian yang telah diberikan seperti di atas,
dipengaruhi oleh adanya perkembangan hukum internasional terutama berkaitan dengan subjek
hukum internasional. Pada awalnya hukum internasional semata-mata mengatur hubungan antar
negara. Negara dianggap sebagai satu-satunya sebagai subjek hukum internasional.
2.2. Ruang Lingkup Hukum Internasional,
Mengacu pada berbagai pengertian yang ada, terlihat bahwa isi atau materi cakupan hukum
internasional meliputi prinsip-prinsip dan peraturan-peraturan hukum, yang: (Parthiana, 1990, p.
8) Berkenaan dengan subjek-subjek hukum internasioanl itu sendiri yang menurut Mochtar
Kusumaatmadja dibedakan menjadi dua golongan yakni, negara dan subjek hukum bukan
negara;
1) Isi atau ruang lingkup dari hukum internasional itu yang meliputi:
b) Persoalan atau hubunga hukum antara negara dengan subjek hukum bukan negara;
c) Persoalan atau hubungan hukum antara subjek hukum bukan negara dengan subjek hukum
bukan negara satu dengan lainnya.
internasional itu sendiri terutama dipengaruhi oleh perkembangan subjek hukumnya dan juga
sifat persoalan atau hubungan hukumnya.
I Wayan Partiana mengemukan bahwa penggunaan istialh-istilah itu dalam batas-batas tertentu
juga menggambarkan isi dan ruang lingkup dari hukum internasional tersebut maupun era
berlakunya. (Parthiana, 1990, p. 9)
Ditemukan beberapa istilah lain yang pernah digunakan untuk menyebutkan hukum internasional
seperti: hukum bangsa-bangsa (the law of nation), hukum antar negara (inter states law), hukum
internasional (international law), dan hukum transnasional (Transnational Law). Dari berbagai
istilah yang ada dan paling tepat digunakan adalah hukum internasional disebabakan sesuai
dengan keadaan dan kenyataan yang ada saat ini. (Kusumaatmadja, Pengantar Hukum
Internasional, 1999, pp. 3-4) Untuk lebih memahaminya penggunaan istilah-istilah tersebut akan
dijelaskan berikut Ini.
Pertama kalinya istilah yang digunakan ialah hukum bangsa-bangsa yang menunjukkan pada
kebiasaan dan aturan (hukum ) yang berlaku dalam hubungan antara raja-raja zaman dulu,
ketikan hubungan demikian baik karena jarangnya maupun karena sifat hubungannya, belum
dapat dikatakan merupakan hubungan antara anggota suatu masyarakat bangsa-bangsa.
Penggunaan istilah hukum bangsa-bangsa timbul dari hubungan hukum antara bangsa-bangsa
atau negara-negara yang berasaskan kebangsaan. Istilah hukum bangsa-bangsa berasal dari
istilah Romawi Ius gentium yang memiliki makna bukan berarti hukum yang berlaku antara
bangsa-bangsa saja, melainkan pula kaidah-kaidah dan asas hukum yang mengatur hubungan
antara orang romawi dengan orang bukan romawi dan antara orang bukan Romawi satu sama
lain.
Dalam perkembangannya ternyata penggunaan istilah hukum bangsa- bangsa mulai tinggalkan
disebabkan tidak identiknya lagi antara bangsa-bangsa dan negara-negara. Negara sudah
dipandang sebagai kesatuan territorialitas (kewilayahan) yang didasarkan pada asas teritorialitas
(kewilayahan) dan tidak lagi dipandang bedasarkan asas kebangsaan, sehingga istilah yang
digunakan ialah hukum antar negara. Hukum antar negara digunakan untuk menunjukkan pada
kompleks kaidah dan asas yang mengatur hubungan antara anggota masyarakat bangsa-bangsa
atau negara-negara yang dikenal sejak munculnya negara dalam bentuknya yang modern sebagai
negara nasional (nation-state).
Hukum internasional bilateral berarti aturan tersebut dibuat oleh dua negara dan hanya mengikat
pada kedua negara itu saja seperti: perjanjian ekstradisi ialah perjanjian berkaitan dengan
penyerahan pelaku kejahatan, dan perjanjian perbatasan wilayah misalnya perjajian berkaitan
wilayah perbatasan negara baik di darat dan dilaut. Hukum internasional multilateral merupakan
aturan yang dibuat oleh lebih dari dua negara dan mengikat bagi negara peserta serta terbuka
pula bagi negara bukan peserta untuk terikat contohnya Perjanjian di bidang perdagangan
seperti General Agreement Trade and Tarif of World Trade Organisation 1994 (GATT/WTO)
dan Konvensi Hukum Laut 1982. Hukum Internasional universal merupakan aturan hukum yang
ditujukan berlakukan bagi semua negara-negara, contohnya Declaration of Human Rights 1948,
Konvensi Wina 1961 tentang Hubungan Diplomatik, Konvensi Jenewa 1949 tentang Hukum
Perang dan Space treaty 1967.
Hukum internasional regional merupakan aturan yang dibuat dan mengikat bagi negara-negara
yang berada sekawasan atau sewilayah dengan melibatkan organisasi regional, seperti misalnya:
Deklarasi HAM Eropa, Deklarasi HAM Amerika Serikat, Deklarasi HAM Afrika, Deklarsi
HAM ASEAN, dan konvensi Montevidio 1933 tentang hak-hak dan kewajiban-kewajiban
negara-negara yang diberlakukan bagi negara-negara inter Amerika. Keberadaan hukum
internasional regional ini tidak bertentangan dengan hukum internasional universal. Bahkan
terkadang hukum internasional regional diberlakukan pula menjadi hukum internasional
universal.
Mochtar Kusumaadmadja dalam rangka untuk lebih memahami yang bagaimana dimaksud
dengan pengertian hukum internasional di dalam bukunya “Pengantar Hukum Internasional”
mencoba untuk membedakannya dengan penggunaan istilah hukum dunia (Word law,
Weltstaatsrecht). Penggunaan kedua istilah ini dapat menunjukan adanya perbedaan yang dilihat
dari tertib hukumnya, yaitu: tertib hukum koordinasi dan tertib hukum subordinasi.
(Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional, 1999, p. 7) Pembagian tertih hukum seperti
ini oleh Safriani disebutnya sebagai melihat dari sifat hukumnya. (Safriani, 2016, p. 4)
Tertib hukum koordinsi maksudnya tertib hukum yang menunjukkan adanya hubungan yang
sederajat. Sedangkan tertib hukum subordinasi maksudnya adanya hubungan tinggi rendah
antara yang diperintah (rakyat) dengan yang memerintah.
Subordinasi
Tertib Hukum Koordinasi
Berdasarkan pemahaman atas tertib hukum di atas dapatlah dikemukakan bahwa pengertian
hukum internasional memperlihatkan pada tertib hukum/sifat hukum koordinasi. Dalam
pengertian seperti ini bahwa masyarakat internasional terdiri dari sejumah negara yang berdaulat
dan merdeka (independent) dalam arti masing-masing berdiri sendiri yang satu tidak di bawah
kekuasaan yang lain. TIdak ada suatu badan yang berdiri di atas negara-negara, baik dalam
bentuk negara dunia (world state) maupun badan supransional yang lain. (Kusumaatmadja,
Pengantar Hukum Internasional, 1999, p. 7) Ini berarti bahwa hukum internasional dilandasi oleh
adanya persamaan kedudukan antara negara-negara/anggota masyarakat bangsa-bangsa. Tidak
ada satu yang lebih tinggi dari yang lainnya. Yang tertinggi dalam struktur masyarakat
internasional adalah masyarakat internasional itu sendiri. (Sefriani, Hukum Internasional Suatu
Pengantar, 2014, p. 5)
Seperti keberadaan Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) sebagai organisasi internasional yang
berkedudukan sebagai lembaga koordinasi bagi negara-negara anggotanya. Dalam arti kata PBB
bukan lah lembaga supranasional meskipun memiliki struktur kelembagaan yang cukup lekap,
tapi tidak memiliki kekuasaan atas negara-negara anggotanya. Terikatnya negara-negara anggota
terhadap berbagai ketentuan hukum internasional yang dihasilkan PBB didasarkan adanya
keinginan untuk menerima sebagai perangkat kaidah dan asas yang mengikat dalam hubungan
diatara mereka .
Berbeda halnya dengan hukum dunia (world law) yang menunjukkan tertib hukum subordinasi
seperti halnya tertib hukum nasional yang banyak dipegaruhi
oleh analogi hukum tata negara. Hukum dunia merupakan semacam negara (federasi) dunia yang
meliputi semua negara di dunia ini. Negara dunia secara hirarki berdiri sendiri di atas negara-
negara nasional. Ditemukan adanya badan supranasional atau pemerintahan dunia (world
government) yang memiliki kewenangan membuat sekaligus memaksakan berlakunya suatu
aturan internasional.
Penggunaan istilah seperti ini, dapat memperlihatkan adanya perbedaan antara hukum
internasional dan hukum nasional yang tertib hukumnya/sifat hukumnya sama dengan istilah
hukum dunia. Hukum nasional memiliki struktur yang lebih lengkap dibandingkan dengan
hukum internasional. Dalam hukum internasional tidak ada kekuasaan tertinggi yang dapat
memaksakan keputusan- keputusannya kepada negara-negara, tidak ada badan legislative
internasional yang membuat ketentuan-ketentuan hukum yang mengikat langsung negara-negara
anggota disamping tidak adanya angkatan bersenjata, dan kepolisian untuk melaksanakan sanksi-
sanksi kepada negara-negara pelanggar hukum. (Mauna, 2000, p. 2)
3. Rangkuman
Pada awalnya terdapat beberapa istilah yang pernah digunakan untuk menyebutkan hukum
internasional. Pengunaan istilah-istilah yang ada disesuaikan dengan saat berlakukannya hukum
internasional tersebut dan memperhatikan pihak-pihak yang terlibat dalam hubungan
internasional yang mengalami perkembangan secara bertahap sesuai dengan zamannya. Melalui
istilah-istilah yang pernah ada dapat dipahami pengertian hukum internasional. yang dimaksud
adalah mengandung unsur publik dan bukan unsur perdata. Pemahaman terhadap hukum
internasional dapat pula dilakukan dengan melihat pada bentuk perwujutannya dan sifat
hukum/tertib hukum internasional. Melalui sifat hukum/tertib hukum internasional ditemukan
bahwa hukum internasional merupakan sistem hukum koordinasi yang berbeda dengan hukum
nasional yang subordinasi.
4. Tugas
internasional dan hukum Nasional, dan hukum internasinal publik dan hukum perdata
internasional. .
5. Evaluasi
2. Materi Pembelajaran:
a. Adanya masyarakat internasional sebagai landasan sosiologis hukum internasional.
Hukum internasional sebagai asas-asas hukum dan ketentuan hukum yang berlaku bagi negara-
negara tidak dapat dipisahkan dari keberadaan perkembangan masyarakat internasional itu
sendiri. Hukum internasioanl itu tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat internasional.
(Parthiana, 1990, p. 11) Masyarakat internasional itu sendiri lah yang menciptakan hukum
internasional dengan maksud untuk dapat hidup berdampingan secara bersama-sama dan dapat
saling berhubungan satu dengan yang lainnya. Hal ini sesuai dengan apa yang pernah dinyatakan
oleh Aristoteles dalam ungkapan klasiknya “ubi societas ubi ius “ artinya: “dimana ada
masyarakat disana ada hukum”. Begitu pula Levina Yustitianingtyas, masyarakat lah yang
menjadi dasar pembentukan hukum internasional. (Yustianingtyas, Masyarakat dan Hukum
Internasional (Tinjauan Yuridis Terhadaap Perubahan-Perubahan Sosial Dalam Masyarakat
Internasional), 2015, p. 90) Mochtar Kusumaatmadja dalam bukunya mengemukakan bahwa
masyarakat internasional lah sebagai landasan sosiologis hukum internasional.
Yang dimaksud dengan masyarakat internasional adalah subjek-subjek hukum internasional itu
sendiri yang saling mengadakan hubungan satu dengan yang lainnya. Untuk adanya masyarakat
internasional ditandai dengan dipenuhinya beberapa unsur sebagai berikut: (Kusumaatmadja,
Pengantar Hukum Internasional, 1999, pp. 8-10)
Masyarakat internasional terdiri dari sejumah negara-negara di dunia yang berdaulat, sederajat
dan merdeka mempunyai kepentingan-kepentingan untuk melakukan hubungan secara tetap dan
terus menerus. Setiap negara secara bebas tanpa ada campurtangan untuk melakukan hubungan
dengan negara lain. Karenanya tidak satu negara pun dalam melakukan hubungan internasional
dapat dipaksakan sebagai konsekwensi dari adanya kedaulatan dan kemerdekaan yang
dimilikinya. Oleh karena kedaulatan atau souvereignity merupakan suatu sifat atau ciri hakiki
negara. Mochtar kusumaatmadja menyatakan negara berdaulat dimaksudkan bahwa negara itu
mempunyai kekuasaan tertinggi. Adanya pengertian kedaulatan seperti ini dapat menimbulkan
banyak salah paham. Dengan maksud bahwa seolah-olah bahwa hukum internasional tak
mungkin mengikat negara apabila negara itu merupakan kekuasaan tertinggi yang tidak
mengakui suatu kekuasaan yang lebih tinggi di atasnya. Oleh karena sepintas lalu terlihat
kekuasaan tertinggi yang dimiliki setiap negara bertentangan dengan hukum internasional
sebagai suatu sistem hukum yang mengatur hubungan internasional terutama antar negara.
(Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional, 1999, p. 11)
Walaupun demikian hubungan internasional yang terjadi harus memperhatikan.pula
kepentingan-kepentingan negara-negara lainnya. Hal ini sebagai konsekwensi dari adanya atribut
kedauatan yang dimiliki negara. Adanya aspek kedaulatan yang dimiliki oleh setiap negara
memiliki konsekwensi kedalam dan keluar. Negara-negara memiliki kekuasaan tanpa ada
campurtangan dari pihak lain untuk mengurus dan mengatur urusan dalam negerinya sendiri
merupaka kedaulatan kedalam. Sedangkan kedaulatan keluar berarti negara-negara memiliki
kekuasaan secara bebas untuk melakukan hubungan luar negeri dengan negara lainnya.
ini bukan berarti negara-negara saja lah yang merupakan anggota masyarakat internasional, tapi
terdapat pula yang lainnya, seperti: tahta suci, organisasi internasional, palang merah
internasional, pemberontak (billegerent) dan terakhir individu yang turut pula saling
berhubungan satu dengan lainnya. Dipilihnya negara-negara dalam pembahasan ini disebabkan
negara merupakan anggota masyarakat internasional yang utama dan pertama yang melakukan
hubungan internasional dibandingkan dengan yang lainnya. Negaralah untuk pertamakali yang
melakukan hubungan internasional dan kemudian diikuti oleh subjek hukum internasional
lainnya. dan negaralah yang pertama didalam hukum internasional diakui sebagai subjek hukum
internasional. Dalam perkembangan selanjutnya tumbuh dan berkembang pelaku-pelaku baru
dalam melakukan hubungan internasional selain negara-negara.
Timbulnya hubungan internasional dikarena adanya faktor saling membutuhkan antar negara
dalam berbagai kepentingan, misalnya kepentingan politik, ekonomi, budaya, ilmu pengetahuan,
sosial dan masih banyak lagi kepentingan-kepentingan dalam masyarakat internasional yang
dapat dijadikan dasar atau menimbulkan hubungan antar negara. (Yustianingtyas, Masyarakat da
Hukum Internasional (tinjauan Yuridis Terhadap Perubahan-Peubahan Sosisal Dalam
Masyarakat Internasional) , 2015, p. 90) Apalagi dilihat dari sudut keadaan letak geografis dan
sumber daya alam yang dimiliki oleh negara-negara misalnya: ada yang memiliki sumber daya
alam yang surplus dan ada yang minus. Demikian pula dilihat dari sudut letak geografisnya, ada
negara yang beruntung secara geografis dan ada yang tidak beruntung secara geografis sebagai
contoh misalnya: Indonesia dan Singapura sama-sama memiliki wilayah laut tapi kondisinya
berbeda. Indonesia memiliki wilayah laut yang memiliki kekayaan sumberdaya alam yang
berlimpah, sedangkan Singapura meskipun memiliki wilayah laut namun minim sumberdaya
alam.
Adanya perbedaan yang didasarkan atas kepentingan, letak geografis, dan sumber daya alam
yang dimiliki oleh negara-negara seperti ini, mendorong melakukan hubungan yang tetap dan
terus menerus. Ini berarti tidak ada satu negara pun dapat hidup sendiri dan saling membutuhkan
satu dengan lainnya. Kebutuhan negara-negara untuk hidup berdampingan satu sama lain dan
hidup bersama merupakan dasar sosiologis yang tidak dapat dipungkiri dalam hubungan antar
masyarakat internasional.
Adanya asas-asas hukum yang bersamaan ini merupakan penjelmaan hukum alamiah
(natuurrecht) yang mengharuskan bangsa-bangsa di dunia ini hidup berdampingan secara damai
dapat dikembalikan pada akal manusia (ratio) dan naluri untuk mempertahankan jenisnya.
(Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional, 1999, pp. 10-11) Meskipun kenyataannya
setiap negara memilki sistem hukum positifnya masing-masing dan bahkan dapat berbeda satu
dengan yang lainnya. Dengan asas hukum yang bersama ini sehingga berbagai perbedaan
kepentingan dari negara-negara dapat di atasi dan pada akhirnya dapat menghindari terjadinya
pertikaian dalam hubungan internasional. Ketidak serasian dalam menjalin hubungan
internasional dapat menimbulkan pertikaian antar negara-negara sehingga dapat mengganggu
ketertiban, keamanan dan perdamaian internasional, seperti yang pernah terjadi pada Perang
Dunia I dan Perang Dunia II.
Hukum internasional sebagai suatu sistem hukum memiliki perbedaan yang cukup mendasar
dengan sistem hukum nasional. Perbedaannya dapat dilihat dari struktur masyarakat
internasional yang bersifat koordinasi dan buka sub ordinasi seperti dalam hukum nasional.
Melalui perbedaan yang ada dapat memperlihatkan bagaimana eksistensi hukum internasional
dalam mengatur masyarakat internasional.
Hukum internasional sebagai suatu sistem hukum yang koordinasi menempatkan negara-negara
sebagai pemengang kekuasaan tertinggi, tidak ada kekuasaan yang lain di atas negara. Negara-
Negara lah yang secara bersama-sama menyepakati untuk membentuk dan memberlakukan
hukum internasional. Negara- negara memiliki kedudukan dan peran serta memiliki hak-hak dan
kewajiban- kewajiban yang sama di dalam masyarakat internasional sebagai subjek hukum
internasional. Ini berarti masyarakat internasional tidak mengenal adanya lembaga supranasional
yang berada di atas negara-negara. Secara sederhana bentuk masyarakat internasional yang
koordinasi dapat digambarkan bahwa negara-negara kedudukannya sejajar dan sederajat.
“masyarakat internasional tidak mengenal badan atau lembaga di atasnya yang mempunyai
kedudukan lebih tinggi daripada masyarakat internasional itu sendiri. Dengan kata lain tida ada
lagi badan yang berkedudukan lebih tinggi daripada masyarakat internasional itu.”
Terikatnya negara-negara untuk tunduk dan patuh pada hukum internasional bukan berarti
kedudukan negara berada dibawah hukum internasional. TIdak ada satu kewenangan manapun
dapat memaksakan negara-negara untuk tunduk dan patuh pada hukum internasional. Begitu pula
dengan tergabungnya dalam organisasi internasional seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)
dan Organisasi Internasional lainnya bukan berarti negara-negara berkedudukan dibawahnya,
tetapi
Berbeda halnya dengan struktur masyarakat nasional yang sub ordinasi munjukkan tinggi rendah
antara yang diperintah dengan yang memerintah. Dalam struktur masyarakat nasional terdapat
pemegang kekuasaan tertinggi sebagai pemberi perintah yang dapat memaksakan keputusan-
keputusannya kepada yang diperintah. Struktur masyarakat nasional mengakui adanya lembaga
tinggi negara seperti legislative, eksekutif dan judikatif serta angkata bersenjata dan kepolisian
yang tidak dimiliki dalam struktur masyarakat internasional.
Walaupun struktur masyarakat internasional tidak sesempurna strukur masyarakat nasional yang
sub ordinasi, tapi negara-negara tetap percaya bahwa hukum internasional itu ada. Negara-negara
menjunjung tinggi dan menghormatinya sebagai kewajiban moral untuk mentaati hukum
internasional. Negara-negara mematuhi hukum internasional karena kepatuhan diperlukan untuk
mengatur hubungannya antara satu dengan yang lain dan untuk melindungi kepentingannya
sendiri. Negara-negara tersebut patuh karena merupakan kepentingan mereka untuk berbuat
demikian. (Mauna, 2000, pp. 2-3)
3. Rangkuman
4. Tugas
Setelah mempelajari masyarakat dan hukum internasional, maka mahsiswa/I ditugasi untuk
mengidentifikasi dan sekaligus menganalisa dengan mengambil salah satu contoh berkaitan
dengan hubungan-hubungan dalam masyarakat internasional yang masuk dalam ruang lingkup
hukum internasional.
5. Evaluasi
2. Sebutkan dan uraikan apa yang menjadi dasar sosiologis dari adanya masyarakat
Internasional?
Mahasiswa dapat mengetahui dan menjelaskan sejarah dan perkembangan hukum internasional
2. Materi Pembelajaran:
Hukum internasioal merupakan hukum yang memiliki usia cukup tua. Berbagai buku referensi
memperlihatkan bahwa keberadaan hukum internasional sudah ada sejak pada zaman India kuno,
zaman yunani kuno dan zaman romawi. Hukum internasional yang ditemukan pada zaman ini
masih dalam bentuk hubungan yang sangat sederhana dan masih sebatas hubungan antara raja-
raja atau bangsa- bangsa. (Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional, 1999, p. 18)
Seperti dalam lingkup kebudayaan India kuno ditemukan aturan-aturan sebagai berikut: adat
kebiasaan yang mengatur hubungan antara raja-raja atau kerajaan, atura kedudukan dan hak
istimewa diplomatik atau utusan raja yang dinamakan duta, aturan perjanjian (treaties), hak dan
kewajiban raja, dan aturan perang berkaitan dengan perbedaan combatant dan non combatant,
aturan perlakuan tawanan perang dan cara melakukan perang. Hal ini memperlihatkan pada
zaman India Kuno telah ada ditemukan semacam hukum yang dikenal dengan nama hukum
bangsa-bangsa. Pada zaman ini pengaturan hukum bangsa-bangsa belum dipisahkan dengan
persoalan agama, kemasyarakatan dan negara. (Kusumaatmadja, Pengantar Hukum
Internasional, 1999, p. 19)
Tidak jauh berbeda pada zaman Yunani kuno juga mengenal adanya semacam hukum
internasional. Sumbangan terbesar yang diberikan terhadap perkembangan hukum internasional
di zaman ini ialah kosep hukum alam yaitu hukum yang berlaku secara mutlak dimana pun juga
dan yang berasal dari rasio atau akal manusia. Ajaran hukum alam seperti ini telah memainkan
peranan penting dalam sejarah hukum internasional. (Kusumaatmadja, Pengantar Hukum
Internasional, 1999, p. 20)
Praktek-praktek yang menggambarkan hukum internasional sudah ada di zaman ini sebagaimana
dikemukakan oleh Arthur Nussbaum dalam bukunya A Concise History of The Law of
Nations, ialah berupa pranata-pranata hukum tentang perwasitan (arbitrase), diplomasi dan
konsul. (Parthiana, 1990, p. 29) Selain itu Boer Mauna dalam bukunya menyebutkan bahwa
ketentuan-ketentuan yang ada pada zaman itu menyangkut perang dan penghormatan terhadap
utusan-utusan negara. Namun ketetuan-ketentuan yang ada pada zaman tersebut masih belum
didasarkan atas prinsip-prinsip hukum yang mengikat tetapi atas percampuran moral, agama dan
hukum. (Mauna, 2000, p. 5)
Sangat berbeda dengan sejarah hukum internasional di zaman Romawi Kuno yang dianggap
lebih maju dari zaman sebelumnya. Dikarenakan hubungan internasional sudah ditandai dengan
adanya negara-negara dalam arti kata sebenarnya. Yang sebelumnya di zaman Yunani Kuno
masih berbentuk negara- negara kota yang membagi penduduk menjadi 2 (dua) golongan, yaitu:
orang Yunani dan orang luar yang dianggap sebagai orang-orang biadab (barbar).
(Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional, 1999, p. 20) Praktek hubungan internasional
yang ada berbentuk perjanjian-perjanjian antara kerajaan Romawi dengan negara-negara lain,
seperti: perjanjian-perjanjian persahabatan, persekutuan dan perdamaian. Disamping itu kerajaan
Romawi juga mengembangkan ketentuan- ketentuan yang berhubungan dengan perang dan
damai. (Mauna, 2000)
Keberadaan hukum internasional pada zaman Romawi tidak terlepas pula dari pengaruh ajaran
hukum alam. Meskipun dalam perkembangannya hukum alam di zaman ini untuk sementara
waktu terdesak oleh berkembangnya konsep hukum positivis yang didasarkan pada kesepakatan
bersama antar negara-negara dalam wujud perjanjian-perjanjian dan kebiasaan-kebiasaan
internasional. Selain itu perkembangan hukum internasional dipengaruhi pula oleh adanya aturan
hukum yang diberlakukan di Romawi saat itu yang dinamakan dengan “Ius gentium” dalam
bahasa latin yang artinya “hukum bangsa-bangsa”. (Kusumaatmadja, Pengantar Hukum
Internasional, 1999, p. 20) Ius gentium memuat tentang kaedah-kaedah hukum yang mengatur
hubungan bangsa Romawi dengan bukan bangsa Romawi juga mencakup kaedah-kaedah hukum
yang mengatur hubungan antara orang Romawi dengan orang bukan Romawi.
Walaupun hukum internasional sudah dikenal pada zaman Romawi, tapi tidak berkembang.
Disebabkan diberlakukannya suatu sistem hukum yang didasarkan pada pandangan bahwa
masyarakat dunia berada dibawah satu kekuasaan dunia yang dinamakan imperium
Romawi. Oleh karena kerajaan Romawi merupakan suatu imperium yang menguasai seluruh
wilayah dalam lingkungan kebudayaan
Romawi. Akibatnya tidak ada tempat bagi kerajaan-kerajaan untuk terpisah dari yang lainnya
dan tidak ada pula hukum bangsa-bangsa yang mengatur hubungan antar kerajaan-kerajan
tersebut.
Tidak berkembangnya hukum internasional pada zaman ini, bukan berarti hukum romawi tidak
banyak memberikan kontribusi yang berarti. Banyak asas-asas dan konsep-konsep hukum
romawi yang berasal dari hukum perdata kemudian memegang peranan penting dalam hukum
internasional seperti anatara lain: konsep accupation, servitut dan bona fides. Selanjutnya
asas “pacta sun servanda”, asas “good fait” (itikat baik) dan lainnya. Dengan melihat seperti
ini, tidak lah salah apa yang dikatakan oleh Mochtar Kusumaatmadja dalam bukunya, bahwa
hukum Romawi mempunyai pengaruh yang sangat besar dalam perkembanan hukum
internasional. (Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional, 1999, p. 21)
Selain itu di abad pertengahan di masyarakat Eropa juga berlaku adanya kekuasaan yang
berpusat kepada gereja yang berpuncak pada Paus sebaga Kepala Gereja Katolik Roma. Hal ini
dipengaruhi oleh ajaran Ketuhanan yang memandang hukum berasal dari Tuhan sehingga
kehidupan hukum-hukum lainnya tidak memungkinkan untuk berkembang termasuk hukum
internasional.
2.3. Abad ke 16, 17, 18, 19 dan Masa sesudah Perang Dunia ke II.
Abad ke 16 merupakan titik awal perkembangan baru dari apa yang dinamakan dengan hukum
internasional modern yang berlaku saat ini. Perkembangan baru hukum internasional ditandai
dengan berakhirnya kekusaaan Kekaisaran Romawi yang suci (The Holy Roman Emperor) di
masyarakat eropa melalui Perjanjian Perdamaian Westphalia Tahun 1648. Perjanjian perdamaian
ini menandai berakhirnya perang tiga puluh tahun di eropa atau sering dinamakan masa
kegelapan di Eropa (dark eght). Selain itu Perjanjian Westphalia juga membawa perubahan
terhadap struktur masyarakat Eropa dengan mulai munculnya
Perubahan ciri masyarakat internasional yang terdapat di Eropa setelah Perjanjian Perdamaina
Westphalia adalah sebagai berikut: (Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional, 1999, pp.
22-23)
1) Negara merupakan satuan territorial yang berdaulat. Setiap negara dalam batas
wilayahnya mempunyai kekuasaan tertinggi yang ekslusif;
2) Hubungan nasional satu dengan yang lainnya didasarkan atas kemerdekaan dan
persamaan derajat;
4) Hubungan antara negara-negara berdasarkan atas hukum yang banyak mengambil oper
pengertian lembaga hukum perdata hukum Romawi:
5) Negara mengakui adanya hukum internasional sebagai hukum yang mengatur hubungan
antara negara-negara tetapi menekankan peranan yang besar yang dimainkan negara dalam
kepatuhan terhadap hukum ini;
7) Anggapan terhadap perang yang dengan lunturnya segi-segi keagamaan beralih dari
anggapan mengenai doktrin bellum justum sebagai ajaran “perang suci” ke arah ajaran yang
menganggap perang sebagai salah satu cara penggunaan kekerasan (di samping respresaille)
dalam penyelesaian sengketa untuk mencapai tujuan kepentingan nasional (perang yang benar).
Meskipun masyarakat internasional memiliki ciri-ciri seperti di atas, tetapi hukum internasional
belum menemukan bentuknya yang pasti. Hukum internasional masih berada dalam tahap
mencari bentuk dan isinya. (Parthiana, 1990, pp. 31-32)
Menyadari akan hal di atas, perjanjian Westphalia bukanlah sebagai titik awal munculnya hukum
internasional yang sebenarnya sudah ada dan dikenal sejak pada zaman Kuno. Sangat keliru
apabila muncul pendapat yang menyatakan bahwa hukum internasional itu ada sejak
diadakannya Perjanjian Perdamaian Westphalia 1648. Mochtar Kusumaatmadja menegaskan
bahwa: “keliru sekali kita menggangap Perjanjian Westphalia ini sebagai suatu peristiwa yang
mencanangkan suatu zaman baru dalam sejarah masyarakat internasional yang tidak ada
hubungannya dengan masa lampau.” (Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional, 1999, p.
22) Patriana mengemukakan bahwa pada masa ini (1648-1907) memperlihatkan bahwa hukum
internasional dalam tahap mencari bentuk dan isinya. (Parthiana, 1990, p. 32)
Selain perkembangan hukum internasioal dipengaruhi Perjanjian Perdamaian Wespelia terdapat
beberapa sumbangan pemikiran yang cukup besar diberikan oleh para sarjana diantaranya
adalah Grotius atau Hugo De Groot (Belanda), Pemikiran Grotius sangat berpengaruh terhadap
hukum internasional adalah keberanaiannya dalam menyusun sistematikan secara ilmiah tentang
hukum internasional menjadi dua golongan besar yaitu hukum internasional bagian perang dan
hukum internasioanl bagaian damai yang dituangkannya dalam karyanya yang berjudul De jure
Belli ac Pacis (tentang hukum Perang dan Damai).
Grotius mendasarkan sistem hukum internasional ini atas berlakunya hukum alam yang telah
dilepaskannya dari pengaruh unsure-unsur agama dan kegerejaan. Disamping itu Grotius
memberikan tempat bagi praktek negara-negara nasional dan perjanjian antar negara sebagai
sumber hukum internasional di samping hukum alam yang diilhami oleh akal manusia.
(Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional, 1999, pp. 23-24) Begitu besarnya pengaruh
pemikiran Grotius terhadap perkembangan hukum interasional sehingga disebut sebagai Bapak
Hukum Internasional.
Sebelumnya terdapat pula para sarjana lain yang memberikan sumbangan pemikiran terhadap
perkembangan hukum internasional antara lain sebagai berikut:
1. Francisco Vittoria (Spayol) melalui bukunya berjudul Relectio de Indis memuat tentang
hubungaan Spanyol dan Portugis dengan orang India Amerika. Dalam buku ini dikemukakannya
bahwa negara dalam tingkah lakunya tidak bisa bertindak sekehendak hatinya. Dengan demikian,
maka hukum bangsa-bangsa yang ia namakan ius intergentes tidak hanya terbatas pada dunia
Kristen Eropa, melainkan meliputi seluruh umat manusia.
2. Francisco Suarez (Spanyol) menulis De legibus ae Deo legislatore (on Law and God as
Legislator) yang mengemukakan adanya suatu hukum atau kaidah obyektif yang harus dituruti
oleh negara-negara dalam hubungan antara mereka. Dalam tulisan ini Francisco Suarez
meletakkan dasar ajaran hukum internasional yang meliputi seluruh ummat manusia.
Kedua pemikiran yang diberikan di atas memperlihatkan bahwa hukum internasional masih di
dasarkan pada hukum alam yang sangat berbeda dengan dasar pemikiran Grotius yang sudah
memurnikan hukum alam dari unsur keagamaan. Apalagi hukum internasional dalam kedua
pemikiran tersebut belum ada pemisahan antara unsur-unsur etika, agama dan hukum.
Setelah masa Grotius bermunculan pula berbagai pemikiran tentang hukum internasional yang
dapat dikelompokkan menjadi 3 (tiga) golongan antara lain sebagai berikut:
a. Pufendorf memandang hukum internasional merupakan bagian dari hukum alam yang
sebagian hukum yang berpangkal pada akal manusia mengatur kehidupan manusia kapan saja
dan dimana saja ia berada, apakah ia hidup berorganisasi dalam negara atau tidak.
b. Christian Wolf mengemukakan teori mengenai Civitas Maxima yang sebagai suatu negara
dunia meliputi negara-negara di dunia.
2. Penganut ajaran Hukum Positivis, antara lain Zouche, Bynkershoek dan Von Martens
memandang bahwa hukum internasional sebagai praktek negara sebagai sumber hukum
sebagaimana terjelma dalam adat kebiasaan dan perjanjian-perjanjian.
3. Penganut jalan tengah dengan melihat sisi-sisi baik dari dua aliran hukum alam dan hukum
positivis dinamakan seorang ecclectic yaitu: Emerich Vattel yang dalam tulisannya banyak
mengadung adat kebiasaan dan perjanjian- perjanjian antar negara yang berharga sebagai sumber
atau bukti hukum.
Perjanjian Perdamaian Wesphalia dan berbagai pemikiran para ahli di atas sangat berpengaruh
dalam memperkuat keberadaan hukum internasional yang memperlihatkan semakin mapannya
negara-negara nasional yang didasarkan pada asas kebangsaan dan asas teritorialitas serta hidup
berdampingan secarara damai dalam suasana merdeka, berdaulat dan sama derajat. Begitu pula
dalam peyelesaian berbagai sengketa yang ada dilakukan secara damai melalui perudingan,
konperensi dan kongres-kongres internasional. Dalam perkembangan selanjutnya konprensi-
konprensi internasional itu tida saja berfungsi sebagai sarana untuk menyelesaikan sengketa
internasional tetapi juga sebagai sarana untuk membentuk kaedah-kaedah hukum internasional
mengenai suatu masalah tertentu. Seperti Konprensi Perdamaian Den Haag I tahun 1899 dan
Konprensi Perdamaian Dn Haag II Tahun 1907 yang menghasilkan kaedah-kaedah yang menjadi
dasar bagi hukum perang internasional yang dalam era sekarang ini berkembang menjad hukum
humaniter internsional.
Perkembangan dimasa ini (1648 – 1907) menjadi peletak dasar bagi perkembangan hukum
internasional dimasa konsolidasi antara tahun 1907 -1945 yang memperlihatkan bahwa
masyarakat internasional yang terdiri atas negara- negara nasional dan lembaga-lembaga atau
oraganisasi internasional semakin menampakkan kedewasaannya. (Parthiana, 1990, p. 36)
Namun dimasa konsolidasi ini bukan berarti tidak ada akses negatif yang muncul, yaitu usaha
saling merebut pengaruh antara negara-negara terhadap satu dengan yang lainnya dengan cara-
cara melanggar hukum hukum internasional. Akibatnya menimbulkan apa yang dikenal dengan
peristiwa Perang Dunia I Tahun 1914 dan berakhir Tahun 1918.
Peperangan yang terjadi memberikan pelajaran berarti bagi masyarakat internasional sehingga
ada keinginan bersama membentuk dan mendirikan suatu lembaga sebagai upaya untuk
mencegah agar Perang Dunia I tidak terulang yang dikenal dengan nama Liga Bangsa-Bangsa
disingkat LBB (The League of Nations) pada tahun 1919. Tujuan utama LBB adalah
mewujudkan ketertiban, keamanan dan perdamaian duni. Demikian pula LBB berfungsi sebagai
badan pembentuk hukum internasional dan mengatur hubungan-hubungan internasional
beradasarkan pada kaedah-kaedah hukum internasional.
Disamping itu dimasa kosolidasi ini dibentuk pula badan peradilan internasional
permanen (Permanent Court of International Justice) yang merupakan salah satu organ dari
LBB, dilaksanakannya perudingan-perundingan bilateral maupun konprensi-konprensi
internasional multilateral yang diandalkan untuk mencapai tujuan. Seperti misalnya Pakta Briand
Kellog (Briand Kellog Pact) tahun 1928 antara Prancis dan Amarika Serikat yang bertujuan
untuk menghapus perang, dan diselenggarakannya Konfrensi kodifikasi hukum internasioan di
Den Haag Negeri Belanda pada tahun 1930 yang menghasilkan beberapa konvesi internasional
yang sangat berarti bagai pertumbuhan hukum internasional.
Meskipun LBB dibentuk tapi kenyataanya tidak berumur panjang dengan meletusnya Perang
Dunai II pada tahun 1939 dan disusul dengan Perang Asia Timur Raya pada tahun 1942
merupakan peristiwa yang kedua kalinya memporak porandakan struktur masyarakat
internasional yag sudah mulai mapan. Dengan belajar dari pegamalaman sebelumnya, dibentu
suatu lembaga yang tidak jauh berbeda dengan LBB yang dikenal dengan nama Perserikatan
Bangsa-Bangsa disingkat PBB pada tanggal 24 Oktober 1945.
Berdirinya PBB yang menandai berakhirnya Perang Dunia II membawa angin positif bagi
perkembangan struktur masyarakat internasional kearah yang lebih maju dari sebelumnya
menuju apa yang dinamakan dengan tahap emansipasi bagi negara-negar baru merdeka dan
bangsa-bangsa terjajah. Kemajuan masyarakat internasional dimasa ini ditandai antara lain:
5. Semakin bertambahnya jumlah penduduk dunia serta kebutuhan yang semaki meningkat.
Berbagai kemajuan yang ada menunjukkan tahap emansipasi dari hukum internasional yang
semakin dinamis adanya dan menunjukkan bentuk wujudnya. Ini memperlihatkan bahwa
kedudukan hukum internasional benar-benar adanya dan masyarakat internasioal mengakuinya.
3. Rangkuman
Hukum internasional sudah ada sejak jaman kuno yang ditandai oleh adanya praktek-praktek
peperangan dan diplomasi yang masih didasarkan pada hukum kebiasaan. Perjanjian Perdamaian
Wesphalia tahun 1648 menandai lahirnya hukum internasional modern. Sajarah Perkembangan
Hukum Internasional setelah abad pertengahan dapat dibagi menjadi 3 tahap yaitu: tahap mencari
bentuk, tahap kondolidasi dan tahap emansipasi bagi negara-negara baru merdeka dan bangsa-
bangsa terjajah.
4. Tugas
5. Evaluasi
1) Jelaskan apakah hukum internasional mulai ada sejak Perjanjian Perdamaian Wesphalia
1948?
D. KEGIATAN PEMBELAJARAN IV
Mahasiswa dapat mengetahui dan mejelaskan bagaimana hakekat dan dasar kekuatan berlakunya
hukum Internasional bagi negara-negara sebagai sistem hukum.
2. Materi Pembelajaran
Keberadaan hukum internasional sebagai suatu sistem hukum yang mengatur masyarakat
internasional sudah tidak perlu diragukan dan dipersoalkan lagi. Masyarakat internasional kini
telah menerimanya sebagai suatu norma hukum yang mengatur masyarakat internasional.
Terbukti sebagaimana dipraktekkan oleh negara-negara seperti misalnya: kaedah-kaedah hukum
internasional dapat diterima dan diadaptasi sebagai bagian dari hukum nasional negara-negara
seperti ketentuan-ketentuan yang berkaitan hak asasi manusia, perselisihan-perselisihan
internasional diselesaikan melalui jalur-jalur hukum internasional misalnya melalui jalur
mahkamah internasional atau arbitrase internasional, alat-alat perlengkapan negara khususnya
bertugas menagani urusan luar negeri atau internasional menghormati kaedah-kaedah hukum
internasional yang mengatur hubungan- hubungan yang diadakannya dengan sesama alat-alat
perlengkapan dari negara- negara lain dan praktek-praktek lainnya.
Walaupun keberdaan hukum internasional tidak perlu dipermasalahkan, tapi muncul suatu
pertanyaan berikutnya bagaimana daya mengikatnya hukum internasional bagi masyarakat
internasional umumnya dan negara-negara khususnya? Untuk menjawab hal ini terdapat
beberapa pendekatan teori digunakan seperti berikut ini:
Hukum alam diartikan sebagai hukum ideal yang didasarkan atas hakeket manusia sebagai
makhluk yang berakal atau kesatuan kaidah yang diilhamikan alam pada akal manusia. Hukum
internasional mengikat karena hukum internasional itu tidak lain dari pada hukum alam yang
diterapkan pada kehidupan masyarakat bangsa-bangsa. Dengan kata lain negara itu terikat atau
tunduk pada hukum internasional dalam hubungan antara mereka satu sama lain karena hukum
internasional itu merupakan bagian dari hukum yang lebih tinggi yaitu: “Hukum Alam”.
Keberatan terhadap teori hukum alam terlihat dari Apa yang dimaksud dengan hukum alam itu
sangat samar dan tergantung dari pada subjektifitas dari yang bersangkutan mengenai keadilan,
kepentingan masyarakat internasional dan lain-lain konsep yang serupa.
Kelemahan: Mereka tidak dapat menerangkan dengan memuaskan bagaimana caranya hukum
internasional yang tergantung dari kehendak negara dapat mengikat negara itu
Untuk mengatasi kelemahan tersebut Tripel berusaha membuktikan bahwa hukum internasional
itu mengikat bagi negara bukan karena kehendak mereka satu persatu untuk terikat, melainkan
karena adanya suatu kehendak bersama, yang lebih tinggi dari kehendak masing-masing negara,
untuk tunduk pada hukum internasional. Tripel mendasarkan kekuatan mengikat hukum
internasional pada kehendak negara tetapi membantah kemungkinan suatu negara melepaskan
dirinya dari ikatan itu dengan suatu tindakan sepihak. Teori-teori yang mendasarkan berlakunya
hukum internasional itu pada kehendak negara (teori vountaris) ini merupakan pencerminan dari
teori kedaulatan dan aliran positivism yang menguasai alam pikir dunia ilmu hukum di Benua
Eropa – terutama Jerman pad bagia kedua bad ke 19. Ini berarti teori kehendak negara berbeda
dengan teori kehendak bersama negara yang berarti dengan melepaskan dari kehendak individual
negara dan mendasarkannya pada kemauan bersama. (Kusumaatmadja, Pengantar Hukum
Internasional, 1999, pp. 35-36)
c. Mazhab Winna
Mazhab Winna mengemukakan bahwa Kekuatan mengikat hukum internasional lepas dari
kehendak negara, melainkan suatu norma hukumlah yang merupakan dasar terakhir kekuatan
mengikat hukum internasional. Menurut Mazhab
ini kekuatan mengikat suatu kaidah hukum internasional didasarkan suatu kaidah yang lebih
tinggi yang pada gilirannya didasarkan pula pada suatu kaidah yang lebih tinggi lagi dan
demikian seterusnya. Akhirnya sampailah pada puncak piramida kaidah hukum dimana terdapat
kaidah dasar (Grundnorm) yang tidak dapat lagi dikembalikan pada suatu kaidah yang lebih
tinggi, melainkan harus diterima adanya sebagai suatu hipotesis asal yang tak dapat diterapkan
secara hukum.
Kaidah dasar
Hukum Internasional
Kelemahan Mazhab ini tidak dapat menjelaskan mengapa kaidah dasar itu sendiri mengikat.
Oleh karena tindak mungkin persoalan kekuatan mengikat hukum internasional itu didasarkan
atas suatu hipotesis. Dengan pengakuan bahwa pesolaan kekuatan Grundnorm merupakan suatu
persoalan di luar hukum yang tak dapat diterangkan, maka persoalan mengapa hukum
internasional itu mengikat dikembalikan kepada nilai-nilai kehidupan manusia di luar hukum
yakni rasa keadilan, dan moral. (Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional, 1999, p. 37)
d. Mazhab Prancis
Mazhab Perancis mengatakan kekuatan mengikat hukum internasional seperti juga segala hukum
– pada faktor biologis, sosial dan sejarah kehidupan manusia yang mereka namakan fakta
kemasyarakatan yang menjadi dasar kekuatan mengikatnya segala hukum, termasuk hukum
internasional. Jadi dasar kekuatan mengikat hukum (internasional) terdapat dalam kenyataan
sosial bahwa mengikatnya hukum itu mutlak perlu untuk dapat terpenuhinya kebutuhan manusia
(bangsa) untuk hidup bermasyarakat.
Meskipun hukum internasional tidak dapat ditolak keberadaannya sebagai suatu norma hukum
yang berlaku bagi masyarakat internasional, namun masih terdapat beberapa faktor yang
menjadikan hukum internasinal sebagai hukum yang lemah. Martin Dixon menerangkan ada
beberapa faktor yang menyebabkan hukum internasional lemah adalah sebagai berikut: (Dixon,
Textbook on International Law, 2000, pp. 9-11)
a. TIdak adanya polisi yang sipa sedia mengawasi dan menindak pelanggaran hukum
internasional;
b. Meskipun ada jaksa dan haki di pengdilan internasional, namun mereka tidak memiliki
otoritas memaksa negara pelanggar secara langsung sebagaimana yang umumnya terjadi di
pengadilan;
(compulsory jurisdiction)
2) Tidak jelasnya aturan-aturan hukum internasional yang ada (unclear) sehingga mendukung
terjadinya berbagai penafsiran di lapangan dan mengakibatkan kurangnya kepastian hukum.
3. Rangkuman
Masyarakat internasional kini telah menerimanya sebagai suatu norma hukum yang mengatur
masyarakat internasional. Untuk mengetahui bagaimana daya mengikat hukum internasional
dapat dilihat dari pendekatan teori yang antara lain, teori hukum alam, teori kehendak negara,
mazhab winna dan mazhab Prancis. Meskipun berdasarkan teori yang ada menyatakan hukum
internasional memiliki daya mengikat, tapi tidak terlepas pula adanya kelemahan.
4. Tugas
Mahasiswa membandingkan dari berbagai teori mengenai daya mengikat hukum internasional
5. Evaluasi
1) Jelaskan bagaimana pandangan teori hukum Alam tentang daya mengikat hukum
internasional?
E. KEGIATAN PEMBELAJARAN V
Mahasiswa dapat mengetahui dan menjelaskan hubungan antara hukum internasional dan hukum
nasional.
2. Materi Pembelajaran
2.1. Tempat Hukum Internasional dalam tata hukum secara keseluruhan. Hukum internasional
merupakan bagian dari hukum pada umumnya.
Anggapan seperti ini tidak dapat dihindari apabila hukum internasional dipandang sebagai suatu
perangkat ketentuan dan asas yang efektif yang benar-benar hidup dalam kenyataan dan
mempunyai hubungan yang efektif dengan ketentuan atau bidang hukum lainnya, diantaranya
dengan hukum nasional masing-masing negara yang berlaku dalam kehidupan manusia pada
lingkungan kebangsaannya masing- masing. (Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional,
1999, p. 39)
Apalagi masyarakat internasional yang terdiri dari negara-negara nasional secara praktis
dihadapkan pada keberlakuan 2 (dua) sistem hukum yang berbeda tapi hidup secara berdapingan,
yaitu: hukum internasional dan hukum nasional. Adanya perbedaan antara hukum internasional
dan hukum nasional hendaknya tidak dijadikan sebagai hal yang perlu untuk dipersoalkan dan
dipertentangkan satu dengan yang lainnya. Kenyataannya negara-negara nasional sebagai bagian
dari masyarakat internasional secara praktis mengakui keberlakuan kedua sistem hukum tersebut.
Sebenarnya yang penting dipersoalkan adalah bagaimana hubungan antara berbagai hukum
nasional itu dengan hukum internasional.
Untuk melihat bagaimana hubungan antara hukum nasional dan hukum internasional, terlebih
dahulu memahami bagaimana keberlakuan hukum internasional bagi negara-negara nasional
yang dilihat secara teori. Dalam teori terdapat 2 (dua) pandangan tentang hukum internasional,
yaitu: (Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional, 1999, p. 40)
2) Pandangan Objektivis yang menganggap ada dan berlakunya hukum internasional ini lepas
dari kemauan negara.
Berdasarkan kedua pandangan di atas dapatlah dikemukan bahwa pandangan pertama membawa
akibat bahwa hukum internasional dan hukum nasional sebagai dua satuan perangkat hukum
yang hidup berdampingan dan terpisah. Sedangkan pandangan kedua menganggapnya sebagai
dua bagian dari satu kesatuan perangkat hukum. Timbulnya pandangan seperti ini didasari oleh
berbagai teori yang digunakan untuk melihat daya mengikat hukum internasional sebagaimana
telah dibahas pada bagian sebelumnya. Pandangan voluntarisme didasarkan pada Teori kehendak
negara, sedangkan Pandangan objektivis didasarkan pada teori hukum alam, mazhab Winna dan
mazhan Prancis.
Kedua cara pandangan yang digunakan untuk menjelaskan bagaimana hubungan antara hukum
internasional dan hukum nasional seperti di atas dapat dikelomokkan menjadi 2 (dua) aliran atau
sudut pandang yaitu: Aliran dualisme dan Paham monisme.
Aliran dualisme berpandangan bahwa daya ikat hukum internasional bersumber pada kemauan
negara, maka hukum internasional dan hukum nasional merupakan dua sistem atau perangkat
hukum yang terpisah satu dari yang lainnya. Pendapat seperti ini didasarkan pada alasan-alasan
sebagai berikut:
1. kedua perangkat hukum tersebut mempunyai sumber yang berlainan, hukum nasional
bersumber pada kemauan negara, sedangkan hukum internasional bersumber pada kemauan
bersama masyarakat negara;
2. Berlainan subjek hukumnya, Hukum nasional subjek hukumnya adalah orang perorang
baik dalam hukum perdata maupun hukum publik, sedangkan hukum internasional ialah negara.
3. Sebagai tata hukum, hukum nasional dan hukum internasional menampakkan pula
perbedaan dalam strukturnya.
Apa yang dikemukakan oleh aliran dualisme juga menimbulkan beberapa akibat sebagai berikut:
1. Kaidah kaidah dari perangkat hukum yang satu tidak mungkin bersumber atau berdasar
pada perangkat hukum yang lain. (tidak ada hirarki)
2. Tidak mungkin ada pertentangan antara kedua perangkatut hukum itu, yang mungkin
hanya penunjukan (renvoi) saja.
Bukan berarti apa yang menjadi pandangan aliran dualisme tidak ada keberatan. Keberatan
terbesar terhadap aliran dualisme ialah Pemisahan mutlak antara hukum internasional dan hukum
nasional tidak dapat menerangkan dengan cara memuaskan kenyataan bahwa dalam praktek
sering kali hukum nasioanal itu tunduk pada atau sesuai dengan hukum internasional
Berbeda halnya dengan Paham monisme yang didasarkan atas pemikiran kesatuan dari seluruh
hukum yang mengatur hidup manusia. Dalam kerangka pemikiran ini hukum internasional dan
hukum nasional merupakan dua bagian dari satu kesatuan yang lebih besar yaitu hukum yang
mengatur kehidupan manusia (hukum internasional bersumber dari hukum nasional). Akibat
pandangan seperti ini bahwa antara dua perangkat ketentuan hukum ini mungkin ada hubungan
hirarki yang menyebabkan lahirnya 2 (dua) sudut pandang yang berbeda dalam aliran monism,
yakni: Aliran monisme dengan primat hukum nasional dan aliran monism dengan primat hukum
internasional.
Aliran Monisme dengan Primat Hukum Nasional berpandangan bahwa Hukum internasional itu
tidak lain dari merupakan lanjutan hukum nasional belaka, atau tidak lain dari hukum hukum
nasional untuk urusan luar negeri (mazhab bonn (jerman), tokoh: Max Wenzel). Ini berarti
hukum internasional itu bersumber pada hukum nasional. Alasan utama anggapan ini ialah:
1. Tidak ada satu organisasi di atas negara-negara yang mengatur kehidupan negara negara
di dunia ini.
2. Dasar hukum internasional yang mengatur hubungan internasional terletak dalam
wewenang negara untuk mengadakan perjanjian internasional, jadi kewenangan konstitusional
Aliran Monisme dengan Primat Hukum Nasional memiliki beberapa kelemahan sebagai berikut:
1. Paham ini terlalu memandang hukum itu sebagai hukum yang tertulis semata-mata
sehingga sebagai hukum internasional dianggap hanya hukum yang bersumberkan perjanjian
internasioanl, suatu hal sebagaimana diketahui tidak benar .
negara itu. Sendiri. Ini berarti memiliki paham yang sama dgn aliran dualisme.
Berdasarkan alasan-alasan diatas paham monisme dengan primat nasional pada hakekatnya
merupakan penyangkalan terhadap adanya hukum internasional walaupun secara teoritis dan
konstruksi logika apa yng dikemukakannya memang mungkin.
Menurut paham monisme dengan primat hukum internasional, maka Hukum nasional itu
bersumber pada hukum internasional yang menurut pandangannya merupakan suatu perangkat
ketentuan hukum yang hirarki lebih tinggi. Adanya Pendelegasian dari Hukum Internasional
pada hukum nasoinal. Hal ini sesuai dengan (Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional,
1999) paham yang dikembangkan oleh “Mazhab Vienna” dan disokong oleh mazhab Prancis.
Kelemahan dari paham ini ialah sebagai berikut:
1. Hukum nasional itu tergantung dari hukum internasional yang mau tidak mau
mendalilkan bahwa hukum internasional telah ada lebih dahulu dari hukum nasional,
bertentangan dengan kenyataan sejarah.
2. Tidak dapat dipertahankan dalil bahwa hukum nasional itu kekuatan mengikatnya
diperoleh dari hukum internasional atau bahwa hukum nasional merupakan suatu derivasi
darinya.
Melihat dari uraian diatas terlihat bahwa kedua paham yang ada tidak mampu memberikan
jawaban yang memuaskan dalam melihat hubungan antara hukum internasional dan nasional.
Untuk itu Mochtar Kusumaatmadja berpendapat Hukum nasional tunduk pada hukum
internasional mau tidak mau harus kita diterima kalu kita mengakui adanya hukum internasional.
(Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional, 1999, p. 45)
1. Ketaatan negara negara mentaati hukum internasional mengenai batas wilayah negara sebagai
suatu hukum yang mengikat dirinya dalam pergaulandengan negara lain, khususnya dengan
negara tetangganya,
2. Ketaatan negara negara terhadap kewajiban yang bersumber pada perjanjian internasional
antar negara, seperti; hubungan diplomatic dan konsuler dan perlakuan orang asing termasuk
miliknya
2.3. Hubungan antara Hukum Internasional dan Hukum Nasional menurut hukum positif
beberapa negara-negara
Pada bagian ini melihat bagaimana hukum internasional dapat diterapkan menjadi hukum
nasional dari negara-negara untuk menggambarkan adanya hubungan antara hukum internasional
dan hukum nasional. Untuk mengkaji hal tersebut digunakan apa yang dikenal dengan nama
doktrin inkorporasi. Doktrin inkorporasi beranggapan bahwa hukum internasional adalah hukum
negara atau bagian dari hukum nasional. Dalam praktek doktrin inkorporasi teleh diterima dan
dianut oleh Inggris dan Amarika Serikat. Namun praktek yang dilakukan oleh Inggris dan
Amerika Serikat dalam menerapkan doktrin inkorporasi ternyata berbeda.
Berkaitan dengan hukum kebiasaan internasional dapat dikatakan bahwa doktrin inkorporasi
berlaku dengan dua pengecualian, yaitu:
1. Ketentuan hukum kebiasaan internasional itu tidak bertentangan dengan suatu UU, baik
yang lebih tua maupun yang diundangkan kemudian
Berbeda halnya terhadap penerapan hukum internasional yang tertulis pada umumnya perjanjian
yang memerlukan persetujuan Parlemen, memerlukan pula pengundangan nasional sedangkan
yang tidak memerlukan persetujuan badan ini dapat mengikat dan berlaku secara langsung
setelah penandatanganan dilakukan
Begitu pula praktek yang dilakukan Amerika Serikat menerapkan doktrin inkorporasi dengan
pertimbangan bahwa apabila suatu perjanjian internasional tidak bertentangan dengan konstitusi
dan termasuk golongan perjanjian yang “self executing”, maka isi perjanjian demikian
(dianggap) menjadi bagian dari hukum yang berlaku di AS tanpa memerlukan pengundangan
melalui perundang-undangan nasional. Sebaliknya perjanjian yang tidak termasuk golongan
yang berlaku dengan
sendirinya (yaitu yang “non self executing”) baru dianggap mengikat pengadilan di AS setelah
adanya perundang-undangan yang menjadikannya berlaku sebagai hukum.
Membandingkan praktek yang dilakukan di Inggris dan Amerika serikat terlihat bahwa
penerapan doktrin inkorporasi di Inggris dianggap lebih fleksibel dan pragmatis dalam
memecahkan persoalan hubungan antara hukum internasional dan hukum nasional. Walaupun
kedua negara tersebut sama-sama menganut ajaran atau doktrin inkorporasi (incorporation)
Contoh lain negara yang secara tegas menerapkan doktrin inkorporasi adalah Republik Federasi
Jerman yang mengakui sebagaimana dicantumkan pada Pasal
25 Undang Undang Dasar (Grund Gesezt) yang dimilikinya bahwa ketentuan- ketentuan hukum
internasional merupakan bagian dari hukum nasional Jerman. A. Peaslee mengemukakan bahwa
ketentuan demikian lebih tinggi kedudukannya dari undang-undang nasional dan langsung
mengakibatkan hak dan kewajiban bagi penduduk wilayah Federasi Jerman. (Kusumaatmadja,
Pengantar Hukum Internasional, 1999, p. 62)
Demikian pula halnya dianut dalam sistem hukum Prancis sesuai dengan Pasal 55 Undang-
Undang Dasar 1958 menyatakan bahwa traktat atu perjanjian internasional lainnya yang telah
disahkan atau diterima menurut undang-undang mempunyai kedudukan yang leih tinggi dari
undang-undang nasional mulai sejak berlakunya perjanjian itu dengan ketentuan bahwa pihak
lain (peserta) juga melakukannya.
Berdasarkan praktek doktrin inkorporasi yang dilakukan oleh negara-negara terlihat bahwa tidak
dipersoalkan bagimana diberlakunya hukum internasional ke dalam hukum nasional. Apakah
melalui cara “resepsi” atau “transformasi” perjanjian internasional itu ke dalam hukum nasional,
melainkan terlebih dahulu melalui perundang-undangan nasional. Mengikat dan mulai
berlakunya perjanjian itu sesuai dengan ketentuan hukum nasional tentang pengesahan perjanjian
dan pengumumnya secara resm sudah mencukupi. (Kusumaatmadja, Pengantar Hukum
Internasional, 1999)
lain terutama negara-negara. Tidak dapat dipungkiri bahwa Indonesia mengakui keberlakuan
hukum internasional kedalam hukum nasional walupun Undang- Undang Dasar 1945 tidak
memuat secara tegas sebagaimana negara-negara lain seperti di atas.
Ini bukan berarti Indonesia tidak mengakui supremasi hukum internasional atas hukum nasional,
Apalagi kita menganut pendirian bahwa hukum nasional mengatasi hukum internasional.
(Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional, 1999, p. 63) Pandangan seperti ini bukan
berarti kita menentang supremasi hukum internasional atas hukum nasional, tetapi kita tidak
begitu saja menerima secara langsung ketentuan–ketentuan hukum internasional yang ada.
Moctar kusumaatmadja mengemukakan bahwa “sikap kita terhadap hukum international seperti
ini ditentukan oleh kesadaran akan kedudukan kita dalam masyarakat internasional yang sedang
berkemabang, merupakan suatu sikap yang wajar”. (Kusumaatmadja, Pengantar Hukum
Internasional, 1999, p. 63)
Mengigat persolan ini tidak dinyatakan secara tergas dalam UUD 1945, maka satu-satunya
petunjuk dalam usaha melihat hubungan antara hukum internasional dan hukum nasional ialah
didasarkan atas praktek dalam pelaksanaan kewajiban kita sebagai peserta beberapa perjanjian
internasional yang telah kita adakan. Mochtar kusumaadmadja berpendapat bahwa kita
(Indonesia) tidak menganut teori “transformasi” dalam menerapkan hukum internasional menjadi
hukum nasional melainkan langsung menggap diri kita (Indonesia) terikat dalam kewajiban
melaksanakan dan mentaati semua ketentuan perjanjian dan konvesi yang telah disahkan tanpa
perlu mengadakan lagi perundang-undangan pelaksanaan (Implementing legislation).
(Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional, 1999,
p. 66) Walaupun demikian dalam hal –hal tertentu pengundangan dalam undang- undang
nasional adalah mutlak diperlukan seperti berkaitan dengan hak warga negara sebagai individu
(perseorangan). .
3. Rangkuman
Hukum internasional dan hukum nasional merupakan dua perangkat hukum yang meskipun
berbeda hidup berdampingan dan saling berhubungan dalam mengatur masyarakat internasional.
Untuk melihat hubungan kedua perangkat hukum ini dapat diketahui dari bebarapa pendekatan
teori, seperti: pandangan voluntarisme dan pandangan objektivis, dan aliran dualisme hukum dan
aliaran
monisme yang meliputi monisme dengan primat hukum nasional dan monism dengan primat
hukum internasional.
4. Tugas
Mahasiswa menganalisis persoalan kekuatan perjanjian internasional yang sudah diterima dan
diakui tapi dianggap merugikan kepentinga nasional
5. Evaluasi
2) Jelaskan bagaimana hubungan antara hukum internasional dan hukum nasional menurut
aliran dualisme?
3) Jelaskan bagaimana sikap bangsa Indonesia dalam memandang hubungan antar hukum
internasional dan hukum nasional?
2. Materi Pembelajaran
Subjek hukum Internasional adalah pemegang segala hak dan kewajiban menurut hukum
internasional. Ini berarti subjek-subjek hukum internasioanl harus memiliki kapasitas hukum
atau kecakapan–kecakapan hukum internasional untuk mewujudkan kepribadian hukum
internasionalnya dalam hal-hal sebagai berikut: (Dixon, Texbook on International Law, 2000, p.
105)
2. Menjadi subjek dari beberapa atau semua kewajiban yang dierikan oleh hukum
internasional;
3. Mampu membuat perjanjian internasional yang sah dan mengikat dalam hukum
internasional
4. Menikmati imunitas dari yuridiksi pengadilan nasional.
Pada awal mula kelahiran hukum internasional, hanya negaralah satu- satunya dipandang sebagai
subjek hukum internasional. Hal ini memang dapat dimegerti sebab pada masa itu tidak atau
jarang sekali ada pribadi-pribadi hukum lain selai daripada negara yang melakukan hubungan-
hubungan internasional. (Parthiana, 1990, p. 59)
a. Negara;
b. Organisasi Internasional
g. Individu. .
a. Negara.
Negara merupakan merupakan subjek hukum internasional yang utama, karena negara satu-
satunya yang memegang “kedaulatan” . Negara memiliki kewenangan terpenting dan terbesar
sebagai subjek hukum internasional serta memiliki semua kecakapan hukum sebagaimana telah
diuraikan sebelumnya. (Safriani, 2016, p. 103)
Berkaitan dengan pengertian negara belum ada ditemukan keseragaman yang sama dalam
Hukum Internasional, tetapi masih berdasarkan pendapat para sarjana. Untuk mengetahui yang
begaimana dinamakan “negara” dalam hukum internasioanl digunakan pendekatan unsur-unsur
yang dimiliki untuk adanya negara sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 Konvensi Montevidio
tahun 1933 tentang hak dan kewajiban negara. Konvensi ini sebenarnya hanya merupakan
konvensi regional di kawasan Amerika Regional dan ketentuan pasal ini sudah dijadikan sebagi
prinsip-prinsip umum hukum internasional untuk menyebutkan negara. Pasal Konvensi
Montevideo 1933 menyatakan bahwa karakteristik negara adalah sebagai berikut:
Kriterian negara sebagaimana di atas secara teoritis dapat dikelompokkan menjadi 2 (dua) unsur,
yaitu: 1) unsur konstitutif yang terdiri atas unsur no. 1. 2 dan 3, sedangkan unsur deklaratif
meliputi unsur nomor 4. Unsur konstitutif
dimaksudkan sebagai kereterian yang harus ada untuk lahirnya suatu negara, tanpa terpenuhinya
kreterian tersebut maka tidak dapat disebut negara. sedangkan unsur deklaratif dimaksudkan
sebagai kreteria yang ada untuk menyebutkan negara bukanlah bersifat mutlak, tanpa
terpenuhinya kreteria tersebut tetap disebut negara.
Guna lebih memahami bagiamana negara, maka perlu untuk menjabarkan kreteria-kreteria di
atas sebagai berikut:
Penduduk yang tetap merupakan sekumplan manusia yang hidup bersama di suatu tempat
tertentu sehingga merupakan suatu kesatuan masyarakat yang diatur oleh suatu tertib hukum
nasional yang dinamakan warga negara. Partianan menyebutkan bahwa penduduk suatu negara
adalah sekelompok orang yang secara tetap atau permanen mendiami atau bermukim dalam
suatu wilayah yang sudah pasti luasnya (Parthiana, 1990, p. 63). Penduduk sebagai kreteria
untuk mendirikan negara tidak mensyaratkan adanya besar atau kecilnya jumlal penduduknya.
Hukum internasional memberikan hak bagi penduduk yang tinggal secara tetap dalam suatu
wilayah untuk menentukan nasib sendiri yang kemudian dikenal dengan prinsip the right of self-
determination. Perluh dipahami bahwa prinsip ini hanya dapat digunakan bagi bangsa-bangsa
yang terjajah.
Adapun dasar negara untuk menentukan siapa saja yang termasuk warga negaranya (penduduk
tetap) secara teori terdapat beberapa asas yang lajim digunakan yaitu: asas jus sanguinis
(berdasarkan keturunan), asas jus soli (berdasarkan tempat kelairan) danasas naturalisasi.
Berdasarkan Pasal 1 Konvensi Den Haag 1930 tentang Konflik Hukum kewarganegaraan
penerapan asas-asas ini mengacu pada pengaturan dalam hukum nasional masing-masing.
Suatu wilayah yang pasti atau tetap merupakan persyaratan mendasar adanya suatu negara.
Priatna menyatakan agar wilayah itu dapat dikatakan tatap atau pasti sudah tentu harus jelas
batas-batasnya. (Parthiana, 1990, p. 64) luas wilayah negara bukanlah menjadi prasyarak untuk
berdirinya negara. Wilayah merupakan hal yang cukup penting dimiliki negara, karena diwilayah
itulah negara memiliki kedaulatan, Tanpa adanya wilayah sangat sulit negara itu memiliki dan
melaksanakan kedaulatan.
Wilayah yang menjadi milik negara meliputi tiga gatra, yaitu: gatra darat, gatra laut dan gatra
udara yang batas-batasnya ditetapkan melalui perjanjian bilateral dengan negara-negara
bersebelahan (tetangga).
ad. 3. Pemerintahan
Pemerintahan yang menjadi kreteria untuk adanya negara merupakan pemerintahan yang
mendapat dukungan dari rakyatnya. Lauterpacht berpendapat bahwa adanya unsur pemerintahan,
merupakan syarat utama untuk adanya suatu negara. Jika pemeritahan tersebut ternyata
kemudian secara hukum atau secara faktanya menjadi negara boneka atau negara setelit dari
suatu negara lainnya, maka negara tersebut tidak dapat digolongkan sebagai negara”.
b. Organisasi Internasional;
Organisasi internasional adalah suatu organisasi yang dibentuk dengan perjanjian internasional
oleh dua negara atau lebih berisi fungsi, tujuan, kewenangan,asas, struktur organisasi. Pasal 2
ayat 1 Konvensi WIna 1969 tetang Hukum Perjanjian menyebutkan organisasi internasional
adalah orgnisasi antar pemerintahan.
Organisasi internasional baru diakui sebagai subjek hukum internasional sejak keluarnya
Advisory Case 1958 yang diberikan oleh Mahkamah Internasional
.dalam kasus “Reparation of Injuries” yang berkaitan dengan peristiwa terbunuhnya Pangeran
Bernadotte dari Swedia di Israel dalam menjalankan tugas sebagai anggota Komisi PBB pada
tahun1958. Majelis Umum PBB minta pendapat hukum kepada Mahkamah Internasional tentang
hal apakah PBB mempunyai kemampuan pribadi (legal personality) serta kemampua
hukum (legal capacity) untuk mengajukan tuntutan ganti rugi terhadap pemerntahan
“de jure’ atau “de facto”, Israel yang bertanggung jawab atau tidak. Mahkamah Internasional
dalam pendapat
hukumnya (advisory opinion) menyatakan bahwa secara de jure atau de facto cukup PBB
sebagai suatu organisasi Internasional yang memiliki legal personality serta Legal
Capacity untuk bertindak di depan hukum mewakili kepentingan PBB sendiri juga kepentingan
korbannya. Legal personality dan legal capacity adalah hal yang sangat penting dimiliki oleh
suatu organisasi internasional agar mereka dapat menjalankan fugsinya. (Akehurst, 1983, p. 69)
Ini berarti suatu organisasi internasional baru disebut sebagai subjek hukum internasional harus
memiliki legal personality dan legal capacity.
a. Dibentuk dengan suatu perjanjian internasional oleh lebih dari dua negara, apa pun
namanya dan tunduk pada rezim hukum internasional;
Dengan international personality yang dimiliki organisasi internasional seperti ini, maka akan
dengan mudah mendapatkan kecakapan hukum internasional (international legal capacity).
International legal capacity yang dimiliki organisasi internasional antara lain: (Safriani, 2016, p.
144)
orang warga negara Swiss yang dipinpin oleh Henry Dunant dan bergerak dalam bidang
kemanusian. Tegasnya memberikan pertolongan yang berlandaskan dan berjiwakan kemanusiaan
kepada anggota tentara yang menjadi korban perang tanpa memandang kawan maupun lawan,
kebangsaan, agama, dan lainnya. (Parthiana, 1990, p. 80)
Tahta suci diakui sebagi subjek hukum internasional juga berdasarkan alasan sejarah. Sejak
jaman Roma kedudukan Tahta suci sudah diakui memiliki kewenangan dalam bidang
kerohaniaan atau keagamaan juga dalam bidang keduniawian atau kenegaraan. Dalam
perkembangannya kekuasaan Tahta Suci dibatasi hanya dalam bidang kerohanian atau
keagamaan, sedangkan bidang keduniawian diserhkan kepada negara. Meskipun demikian
negara-negara tetap menghargai dan memberikan tempat tersendiri kepada Tahta Suci dalam
hubungan- hubungan internasional sejajar dengan negara-negara dan subjek-subjek hukum
internasional lainnya.
Berdasarkan Traktat Lateran (Lateran Treaty) tanggal 11 Februari 1929 antara Italia dan Tahta
Suci mengadakan perjanjian penyerahan pengembalian sebidang tanah di Roma kepada Tahta
Suci dan memungkinkan didirikannya negara Vatikan. Dengan Traktak itu sekaligus sebagai
pengakuan Italia atas eksistensi Tahta Suci sebagai pribadi internasional yang berdiri sendiri.
HIngga saat ini Tahta Suci mempunyai perwakilan diplomatic di banyak negara dan diakui
kedudukannya
sejajar dengan wakil diplomatic negara-negara lain. Hal ini memerkuat kedudukan Tahta suci
sebagai subjek hukum Internasional.
Sejarah munculnya Organisasi Pembebasan maupun Bangsa erat kaitannya dengan kebangkitan
rakyat-rakyat wilayah jajahan atas hak-hak mereka untuk mendirikan negara merdeka yang
sejajar atau sederajat dengan negara-negara penjajahnya. Sebenarnya sulit untuk menentukan
yang bagaimana dimaksud dengan Organisasi Pembebasan atau Bangsa. Hal ini disebabkan
masih kontroversi pemberian penilaian atau pandangan dari masyarakat internasional yang
umunya didasarkan pada faktor-faktor maupun pertimbangan politik.
Apalagi tidak setiap pergolakan dalam suatu negara atau wilayah dapat secara mudah untuk
diberikan predikat sebagai Organisasi Pembebasan atau bangsa yang sedang berjuang. Oleh
karena belum ada kreteria objektif untuk menentukan apakah kelompok orang itu sebagai suatu
Organisasi Pembebasan atau Bangsa. Patriana mengemukakan beberapa faktor yang dapat
digunakan untuk diakui sebagai Organisasi Pembebasan atau bangsa antara lain: (Parthiana,
1990, p. 83)
Sebagai contoh Organisasi Pembebasan atau Bangsa yang dapat dilihat ialah Organisasi
Pembebasan Palestina (Palestina Liberation Organitation/ PLO) yang memang sudah sejak
tahun 1948 memperjuangkan hak-haknya untuk mendirikan sebuah Negara Palestina Merdeka di
wilayah yang sekarang dikuasai oleh Israel. Sebagian besar masyrakat internasional telah
mengakui eksistensi PLO sebagai wakil syah bangsa Palestina yang memang berhak untuk
memperjuangkan aspirasinya untuk mendirikan Negara Palestian Merdeka. Bahkan pada tanggal
15 Nopember 1988 Dewan Nasional Palestina semacam Parlement Palestina dalam
pengasingannya telah memproklamasikan berdirinya Negara palestina Merdeka yang segera
memperoleh pengakuan dari berbagai penjuru dunia. Walaupun batas- batas wilayahnya sendiri
masih belum jelas, masyarakat internasional sudah
menempatkan Palestina sejajaran sederajat dengan negara.negara. (Parthiana, 1990, pp. 83-84)
f. Kaum Billigerensi
Pemberontak pada hakekatnya muncul sebagai masalah yang semula adalah masalah dalam
negeri dari suatu negara. Pemberontakan yang terjadi dalam suatu negara merupakan urusan
intern negara yang bersangkutan. Hukum internasional melarang negara lain untuk tidak
melakukan intervensi tanpa persetujuan negara tersebut. Negara-negara lain berkewajiban
menghormati kedulatan negara yang bersangkutan termasuk menghormati hak negara tersebut
menerapkan hukum nasionalnya terhadap peristiwa pemberontakan itu. (Parthiana, 1990, p. 85)
Apabila pemberontakan dalam suatu negara telah mengambil porsi sedemikian rupa, sehingga
negara negara lain tidak mungkin lagi menutup mata terhadap peristiwa tersebut, maka negara-
negara lain dengan sesuatu cara menunjukan perhatiannya dengan pengakuan (recognition of
Insurgency) dan bukan dengan penghukuman. Pemberian pengakuan bagi kaum pemberontak
bukan berarti menunjukkan keberpihakan melainkan tuntutan agar kaum pemberontak
diperlakukan sesuai tuntutan kemanusiaan. Kaum pemberontak seharusnya tidak diperlakukan
seperti penjahat-penjahat kriminal. (Tasrif, 1990, p. 73)
Bila kedudukan pemberontak dipandang pemerintah semakin kuat, secara de facto menguasai
sebagian wilayah cukup luas, telah mempunyai pemerintahan sendiri, maka dalam literature
hukum internasional dikenal adanya pengakuan Belligerent. Kaum pemberontak untuk
mendapatkan pengakuan sebagai belligerent hendaknya memenuhi kreteria berikut:
b. harus menggunakan tanda penegal yang jelas yang dapat menunjukkan identitas;
c. harus sudah menguasai secara efektif sebagian wilayah sehingga wilayah tersebut benar-
benar teah dibawah kekuasaannya;
Adanya kreteria seperti di atas, bukan berarti mudah untuk mendapatkan pengakuan sebagai
kaum billegerent. Oleh karena pemberian pengakuan dapat merusak hubungan baik yang dijalin
oleh negara-negara, disebabkan dianggap mencampuri urusan dalam negeri negara dan berpihak
pada kaum billegerent.
Selain itu Pasal 3 Konvesi Jenewa 1949 mengatur pertikaian bersenjata yang tidak bersifat
internasional secara tersirat mengakui keberadaan kaum pemberontak sebagi pihak dalam koflik
bersenjata. Pasal 3 kovensi ini menegaskan bahwa dalam hal terjadinya pertikaian bersenjata
yang tidak bersifat internasional yang berlangsung dalam wilayah salah satu pihak agung
penandatangan, tiap pihak yang bertikai harus memperhatikan aturan-aturan tentang
kemanusiaan, antara lain larangan tindakan kekerasan atas jiwa dan raga, penyanderaan,
perkosaan atas kehormatan pribadi dan menghukum dan menjalankan hukuman mati tanpa
didahului keputusan yang dijatuhkan oleh suatu pengadilan yang dibentuk secara teratur. (Haryo
Mataram, 1994, p. 50)
Demikian pula Protocol Tambahan 1977 bagian ke II juga mengakui keberadaan kaum
pemberontak (organized group). Ini berarti dimasukkanya pengaturan tentang kaum
pemberontak dalam Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol Tambahan 1977 bagian II menunjukan
bahwa kaum pemberontak dapat disebut sebagai subjek internasional.
g. Individu.
Kedudukan Individu sebagai subjek hukum internasonal tidak perlu di ragukan lagi. Sejak
Perjanjian Perdamaian Versailles tahun 1919 yang mengakhiri Perang Dunia I antara Jerman
dengan Inggris dan Prancis memberikan kemungkinan bagi individu (orang perorang) untuk
mengajukan perkara ke hadapan Mahkaman Arbitrase Internasioal. Hal ini sama dengan
perjanjian antara Jerman dan Polandia tahun 1922 mengenai Silesia (Upper Silesia).
Selain ketentuan di atas status individu sebagai subjek hukum internasional ditemukan dalam
kasus Kewenangan Pengadilan di Danzing (case Cocerning Compentence of the Court of
Dazing) tahun 1928 berkaitan dengan perkara pegawai kereta api Danzig (Danzig Railway
Official’s Case). Dalam perkara ini diputuskan oleh Mahkamah bahwa apabila suatu perjanjian
internasional memberikan hak tertentu kepada orang perorang, maka hak itu harus diakui dan
mempunyai daya laku dalam hukum internasional, artinya diakuinya oleh badan peradilan
internasional. (Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional, 1999, pp. 74-75)
Selanjutnya pasca Perang Dunia ke II dalam pengadilan ad hoc Nurenberg dan Tokyo berkaitan
dengan kejahatan perang , dinyatakan bahwa individu memiliki international personality,
maupun menyandang hak dan kewajiban yang diberikan
hukum internasional padanya. Individu (orang perorang) bertanggung jawab secara pribadi , dan
dapat dituntut di pengadilan internasional atas kejahatan perang yang dilakukannya tanpa dapat
berlindung dibalik negaranya. (Sefriani, Hukum Internasional Suatu Pengantar, 2014, p. 147)
3. Rangkuman
Subjek hukum internasional merupakan pemegang segala hak dan kewajiban menurut hukum
internasional yang memiliki legal personality dan legal capacity. Subjek hukum internasional
yang pertama dan utama ialah negara. Sesuai dengan perkembangan hukum internasional, bahwa
negara bukanlah satu-satunya subjek hukum internasional yang diakui.
4. Tugas
5. Evaluasi
2) Jelaskan apa yang dimaksud negara menurut kaca mata hukum internasional?
2. Materi Pembelajaran
2.1. Pengertian Sumber Hukum Internasional
Perkataan sumber hukum dapat dipergunakan dalam beberapa arti. Secara material sumber
hukum dapat diartikan sebagai sumber isi hukum atau dasar berlakunya hukum dan atau tempat
di mana kaidah-kaidah hukum itu diciptakan. Juga dapat pula diartikan sebagai sumber hukum
yang mempersoalkan sebab apakah hukum itu mengikat? dan juga berarti sebagai sumber hukum
yang menyelidiki masalah apakah yang menjadi dasar mengikatnya hukum itu?
Sedangkan secara formal, sumber hukum dapat diartikan sebagai sumber yang memuat tentang
ketentuan-ketentuan hukum secara formal yang dapat diterapkan sebagai kaidah dalam suatu
persoalan yang konkrit. Juga dapat berarti sebagai sumber yang merupakan tempat di mana
ketentuan-ketentuan atau kaidah- kaidah hukum dapat ditemukan dan sumber yang memberikan
jawaban atas pertanyaan dimanakah kita dapat menemukan atau mendapatkan ketentuan-
ketentuan hukum yang dapat diterapkan sebagai kaidah di dalam suatu persoalan yang aktual dan
konkrit.
Sementara dalam arti lain, sumber hukum dapat diartikan sebagai kekuatan- kekuatan atau
faktor-faktor (politic, sociologic, ekonomis, teknis, dan psikologis), yang membantu dalam
pembentukan hukum sebagai suatu bentuk perwujudan atau fenomena sosial dalam kehidupan
kemasyarakatan manusia. Dapat juga diartikan sebagai sumber hukum yang meneliti faktor-
faktor kausal atau penyebab yang turut membantu di dalam pembentukan suatu kaidah.
Menurut Pasal 38 Piagam Mahkamah Internasional sumber sumber hukum internasional terdiri
atas:
1. Perjanjian Internasional, baik yang bersifat umum maupun khusus yang mengandung
ketentuan hukum yang diakui secara tegas oleh negara- negara yang bersengketa.
2. Kebiasaan Internasional, sebagai bukti dari suatu kebiasaan umum yang telah diterima
sebagai hukum.
4. Keputusan pengadilan dan ajaran para sarjana yang paling terkemuka dari berbagai negara
sebagai sumber tambahan bagi menetapkan kaidah hukum.
Perjanjian Internasional ialah perjanjian yang diadakan anggota masyarakat bangsa-bangsa dan
bertujuan untuk mengakibatkan akibat tertentu. Perjanjian ini harus diadakan oleh subjek hukum
internasional yang menjadi anggota masyarakat internasional. Istilah lain untuk perjanjian
internasional antara lain : traktat (treaty), pakta (pact), konvensi (convention), piagam (statute),
charter, declaration, protocol, arrangement, accord, modus vivendi, covenant dan sebagainya.
Dewasa ini hukum internasional cenderung mengatur hukum perjanjian internasional antara
organisasi internasional dengan organisasi internasional atau antara organisasi internasional
dengan subjek hukum internasional secara tersendiri. Hal ini disebabkan oleh perkembangan
yang pesat dari organisasi internasional di lapangan ini.
Berdasarkan praktik beberapa negara kita dapat membedakan perjanjian internasional itu ke
dalam beberapa golongan. Pada satu pihak terdapat perjanjan internasional yang diadakan
menurut tiga tahap pembentukan yaitu perundingan, penandatanganan, dan ratifikasi. Di pihak
lain perjanjian internasional ada yang hanya melalui dua tahap yakni perundingan dan
penandatanganan. Biasanya perjanjian golongan pertama diadakan untuk hal yang dianggap
penting sehingga memerlukan persetujuan dari badan yang memiliki hak untuk mengadakan
perjanjian (treaty making power), sedangkan perjanjian golongan kedua yang lebih sederhana
sifatnya diadakan untuk perjanjian yang tidak begitu penting dan memerlukan penyelesaian yang
cepat.
sedangkan multilateral artinya perjanjian antara banyak pihak misalnya Konvensi Jenewa tahun
1949 mengenai perlindungan korban perang.
Penggolongan lain yang lebih penting dalam pembahasan hukum internasional sebagai sumber
hukum formal ialah penggolongan perjanjian dalam treaty contract dan law making treaties.
Dengan treaty contract dimaksudkan perjanjian seperti suatu kontrak atau perjanjian hukum
perdata yang hanya mengakibatkan hak dan kewajiban antara para pihak yang mengadakan
perjanjian itu. Dengan law making treaties dimaksudkan perjanjian yang meletakan ketentuan
atau kaidah hukum bagi masyarakat internasional sebagai keseluruhan.
Perbedaan antara treaty contract dan law making treaties jelas nampak bila dilihat dari pihak
yang tidak turut serta dalam perundingan yang melahirkan perjanjian tersebut. Pihak ketiga
umumnya tidak dapat turut serta dalam treaty contract. Pada law making treaties selalu terbuka
bagi pihak lain yang semula tidak turut serta dalam perjanjian karena yang diatur dalam
perjanjian itu merupakan masalah umum yang mengenai semua anggota masyarakat.
Apabila ditinjau secara yuridis maka menurut bentuknya setiap perjanjian baik treaty contract
maupun law making treaties adalah suatu contract yaitu suatu perjanjian atau persetujuan antara
pihak yang mengadakannya dan yang mengakibatkan timbulnya hak dan kewajiban bagi para
pesertanya.
2. Kebiasaan Internasional
Hukum kebiasaan internasional ialah kebiasaan internasional yang merupakan kebiasaan umum
yang diterima sebagai hukum. Perlu diketahui bahwasannya tidak semua kebiasaan internasional
dapat menjadi sumber hukum. Untuk dapat dikatakan bahwa kebiasaan internasional itu
merupakan sumber hukum perlu terdapat unsur-unsur sebagai berikut:
Sebagai suatu sumber hukum kebiasaan internasional tidak berdiri sendiri. Kebiasaan
internasional erat hubungannya dengan perjanjian internasional dimana hubungan ini adalah
hubungan timbal balik. Perjanjian internasional yang berulang kali diadakan mengenai hal yang
sama dapat menimbulkan suatu kebiasaan dan menciptakan lembaga hukum.
Asas hukum umum ialah asas hukum yang mendasari sistem hukum modern yaitu sistem hukum
positif yang didasarkan atas asas dan lembaga hukum negara barat yang untuk sebagian besar
didasarkan atas asas dan lembaga hukum Romawi. Menurut Pasal 38 ayat (1) asas hukum umum
merupakan suatu sumber hukum formal utama yang berdiri sendiri di samping kedua sumber
hukum yang telah disebut di muka yaitu perjanjian internasional dan kebiasaan.
Adanya asas hukum umum sebagai sumber hukum primer tersendiri sangat penting bagi
pertumbuhan dan perkembangan hukum internasional sebagai sistem hukum positif. Pertama
dengan adanya sumber hukum ini mahkamah tidak dapat menyatakan “non liquet” yakni
menolak mengadili perkara karena tiadanya hukum yang mengatur persoalan yang diajukan.
Berhubungan erat dengan ini ialah bahwa kedudukan mahkamah internasional sebagai badan
yang membentuk dan menemukan hukum baru diperkuat dengan adanya sumber hukum ini.
Keleluasaan bergerak yang diberikan oleh sumber hukum ini kepada mahkamah dalam
membentuk hukum baru sangat berfaedah bagi perkembangan hukum internasional.
Keputusan pengadilan dan pendapat para sarjana terkemuka di dunia. Lain dengan sumber utama
yang telah dijelaskan di atas, keputusan pengadilan dan pendapat para sarjana hanya merupakan
sumber subsider atau sumber tambahan. Artinya keputusan pengadilan dan pendapat para sarjana
dapat dikemukan untuk membuktikan adanya kaidah hukum internasional mengenai suatu
persoalan yang didasarkan atas sumber hukum primer.
Keputusan pengadilan dan pendapat para sarjana itu sendiri tidak mengikat artinya tidak dapat
menimbulkan suatu kaidah hukum. Keputusan Mahkamah Internasional sendiri tidak mengikat
selain bagi perkara yang bersangkutan, maka “a fortion” keputusan pengadilan lainnya tidak
mungkin mempunyai keputusan yang mengikat. Walaupun keputusan pengadilan tidak
mempunyai kekuatan yang mengikat namun keputusan pengadilan internasional, terutama
Mahkamah Internasional Permanen (Permanent Court of International Justice), Mahkamah
Internasional (Iternational Court of Justice), Mahkamah Arbitrase Permanen (Permanent Court
Arbtration) mempunyai pengaruh besar dalam perkembangan hukum intersional.
Mengenai sumber hukum tambahan yang kedua yaitu ajaran para sarjana hukum terkemuka
dapat dikatakan bahwa penelitian dan tulisan yang dilakukan oleh sarjana terkemuka sering dapat
dipakai sebagai pegangan atau pedoman untuk menemukan apa yang menjadi hukum
internasional walaupun ajaran para sarjana itu sendiri tidak menimbulkan hukum.
3. Rangkuman
Sumber hukum internasional dapat diartikan sebagai dasar kekuatan mengikatnya hukum
internasional, metode penciptaan hukum internasional dan tempat di ketemukanya ketentuan-
ketentuan hukum internasional yang dapat diterapkan pada suatu persoalan konkrik. Arti yang
relevansi dengan hubungan internasional adalah bahwa sumber hukum internasional sebagai
tempat diketemukanya ketentuan-ketentuan hukum internasional untuk memecahkan persoalan
yang timbul dalam hubungan antar Negara.
1. kebiasaan,
2. Traktat,
4. Karya-karya hukum,
4. Tugas
3) Tuliskan apa yang dimaksud dengan perjanjian internasional dalam Hukum Internasional!
Agar mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan pengakuan dalam hukum internasional
2. Materi Pembelajaran
2.1. Pengakuan
Pengakuan dalam hukum internasional merupakan persoalan yang cukup rumit karena sekaligus
melibatkan masalah hukum dan politik. Unsur-unsur politik dan hukum sulit untuk dipisahkan
secara jelas karena pemberian dan penolakan pengakuan oleh suatu negara sering dipengaruhi
pertimbangan politik, sedangkan akibatnya mempunyai ikatan hukum. Pengakuan sebagai suatu
istilah meliputi bermacam-macam situasi fakta yang minta diakui oleh negara-negara lain
misalnya lahirnya negara baru, perubahan pemerintahan di luar kerangka konstitusional,
perubahan wilayah terutama sebagai akibat penggunaan kekerasan pihak-pihak pada perang
saudara dan lain-lain.
Timbulnya Negara baru dalam masyarakat internasional tentunya mempunyai pengaruh dalam
pergaulan masyarakat internasional. Suatu Negara yang baru muncul , keberadaanya tentu saja
harus sesuai atau memenuhi unsur-unsur adanya suatu Negara menurut hukum internasional.
Sebuah Negara baru, sebelum masuk dalam pergaulan internasional haruslah melalui suatu tahap
yang disebut dengan pengakuan ( recognition)
Meskipun demikian bukan berarti tanpa pengakuan, suatu Negara tidak dapat melangsungkan
hidupnya. Negara baru tidaklah lahir karena adanya pengakuan dari Negara lain terhadapnya.
Terlepas dari itu suatu Negara baru asalkan telah memenuhi semua unsur yang harus ada untuk
terbentuknya suatu Negara, maka Negara tersebut telah memiliki kedaulatan. Sedangkan
pengakuan bagi Negara baru akan membuat hubungan yang lebih lengkap dan sempurna kepada
Negara-negara lain (Adolf, 2002, p. 35)
Suatu negara yang belum diakui dapat memberi kesan kepada Negara lain bahwa Negara
tersebut “tidak mampu” menjalankan kewajiban-kewajiban internasionalnya. Pengakuan
menurut Oppenheim merupakan suatu pernyataan kemampuan Negara baru ( recognition is a
declaration of capacity). Menurut para
ahli hukum internasional, pengakuan itu sering sulit dalam pelaksanaanya. Oleh sebat itu tidak
ada ketentuan yang wajib secara mutlak oleh Negara-negara dalam menerapkan lembaga
pengakuan tersebut. Selanjutnya hal yang perlu diketahui bahwa tindakan pemberian pengakuan
dalam banyak hal sering dilakukan semata- mata hanya didasarkan pada alasan-alasan politis,
bukan alasan-alasan hukum.
1. Teori Konstitutif
2. Teori Deklaratoir
Berdasar teori ini suatu negara menjadi subjek hukum internasional hanya melalui pengakuan.
Jadi dengan pengakuanlah suatu negara baru itu dapat diterima sebagai anggota masyarakat
internasional. Ada dua alasan yang melatarbelakangi teori ini, yaitu:
1. Jika kata sepakat menjadi dasar berlakunya hukum internasional, maka tidak ada negara atau
pemerintah yang diperlakukan sebagai subjek hukum internasional tanpa adanya kesepakatan
dari negara yang telah ada terlebih dahulu.
2. Suatu negara atau pemerintah yang tidak diakui, tidak mempunyai status hukum sepanjang
negara atau pemerintah itu berhubungan dengan negara-negara yang tidak mengakui. ( Huala
Adolf: 1991 : 66)
Teori ini lahir sebagai reaksi dari teori Konstitutif. Menurut teori ini pengakuan hanyalah
merupakan penerimaan suatu negara baru oleh negara-negara lainnya. Suatu negara mendapat
kemapuannya dalam hukum internasional bukan berdasarkan kesepakatan dengan negara-negara
yang telah ada, namun berdasarkan suatu situasi-situasi negara tertentu. Kemampuanya secara
hukum ditentukan oleh usaha-usahanya serta keadaan-keadaan yang nyata yang tidak perlu
diakui oleh negara lain.
Jadi apabila semua unsur kenegaraan telah dimiliki, maka dengan sendirinya ia telah merupakan
negara. Dengan perkataan lain, hukum internasional secara ipso facto harus menganggap
masyarakat yang bersangkutan sebagai suatu negara
dengan hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang dengan sendirinya melekat kepadanya. (Tasrif,
1990, p. 34)
Teori ini lahir karena ketidakpuasan akan teori tersebut di atas, maka di rumuskanlah sebuah
teori baru yang dinamakan teori pemisahan atau teori jalan tengah. Hal ini disebabkan karena
mereka ingin mengadakan pemisahan antara “kepribadian internasional” yang dimiliki oleh suatu
negara dengan penggunaan hak- hak internasional yang melekat kepada kepribadian itu. Jadi di
satu pihak diakui bahwa suatu negara dapat menjadi “pribadi internasional” tanpa pengakuan
(teori deklaratif), tapi untuk mempergunakan hak-hak sebagai “pribadi internasional” itu, negara
tersebut memerlukan pengakuan negara lainnya (teori kostitutif). (Bachtiar Hamzah; sulaiman
Hamid, 1997, p. 11)
Eksistensi di dalam hubungan internasional Peristiwa apapun yang menimpa suatu negara,
sepanjang tidak menghilangkan salah satu atau beberapa unsurnya, kesinambungan/kontinyuitas
negara tersebut tetap berlangsung terus. Inilah yang disebut dengan prinsip kesinambungan
negara (continuity of state). Lahirnya negara baru,Kelahiran negara baru tersebut dalam
masyarakat internasional akan menimbulkan reaksi negara-negara lain yang dimanifestasikan
dalam pernyataan sikap menerima atau mengakui kehadiran negara-negara tersebut atau
mungkin sebagian lagi ada negara-negara yang justru menolak atau tidak mau memberikan
pengakuannya. Apakah pengakuan merupakan unsur negara? (teorikonstitutif, teori
deklaratif dan teori jalan tengah)
Status pemerintah suatu negara dalam Hukum Nasionalnya dan dalam Hukum Internasional
Pengakuan terhadap suatu negara baru, di dalamnya tersimpul pula adanya pengakuan terhadap
pemerintah itu sendiri. Sebab pemerintah hanyalah merupakan salah satu unsur negara. Tetapi
patut diingat bahwa pemerintah mempunyai status tersendiri dalam negara yang bersangkutan
maupun dalam hukum internasional. Sebagai sebuah negara berdaulat, yang melaksanakan
kedaulatannya adalah pemerintah. Ke dalam: pemerintah bertindak menjalankan kekuasaan
berdaulat demi tercapainya tujuan negara itu sendiri. Dalam arti luas,
pemerintah itu termasuk di dalamnya badan/lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif.Ke luar:
pemerintah yang bertindak mewakili untuk dan atas nama negara
dalam mengadakan hubungan-
hubungan dengan negara-
negara ataupun subjek-subjek
hukum internasional lainnya.
Pranata hukum yang berupa pengakuan terhadap suatu bangsa ini, umumnya masih sangat muda.
Munculnya pranata hukum internasional tentang pengakuan atas suatu bangsa ini, sebenarnya
menguntungkan dan memberikan dorongan kepada bangsa-bangsa terjajah untuk
memperjuangkan hak-haknya, seperti hak untuk menentukan nasib sendiri ataupun hak
mendirikan sebuah negara merdeka, di dalam percaturan politik internasional.Dewasa ini
kelompok yang layak untuk mendapat predikat sebagai bangsa yang sedang memperjuangkan
hak- haknya adalah Organisasi Pembebasan Palestina atau PLO dan Organisasi Rakyat Afrika
BaratDaya.
1. Pengakuan de facto :
Pengakuan de facto diberikan kepada pihak yang diakui, hanya berdasarkan pada fakta atau
kenyataan saja, tanpa mempersoalkan keabsahan secara yuridis dari pihak yang diakui.
2. Pengakuan de jure:
Pengakuan de jure baru dapat diberikan apabila menurut pendapat dari pihak yang hendak
memberikan pengakuan, pihak yang akan diakui secara de jure tersebut telah memenuhi
kualifikasi sebagai berikut:
a. Telah menguasai secara efektif baik secara formal maupun secara substansial wilayah dan
rakyat yang berada di bawah kekuasaannya.
b. Rakyatnya itu sendiri sebagian besar atau seluruhnya telah memberikan dukungan yang
sepenuhnya, artinya menerima dan mengakui kekuasaan baru tersebut.
c. Adanya kesediaan pihak yang akan diakui secara de jure untuk menghormati kaidah – hukum
internasional.
Dalam hukum internasional terdapat suatu asas yang telah diterima oleh semua negara bahwa
kejadian-kejadian dalam suatu negara adalah urusan intern negara tersebut dan pihak-pihak asing
tidak berhak turut campur. Tetapi adakalanya suatu negara terjadi pemberontakan sehingga
negara-negara lain tidak begitu saja mengabaikan keadaan tersebut. Dan bisa saja negara lain
dapat memberikan perhatian dengan cara-cara tertentu.
Jika terjadi pemberontakan dalam suatu negara, semakin kuat kedudukanya dan memiliki tujuan
menumbangkan pemerintahan pusat maka jelas negara ketiga dapat memberikan
pengakuan Belligerensi (recognition belligerency,)yang sifatnya lebih tegas dan lebih jelas dari
pada hanya pengakuan sebagai pemberontak.Syarat- syarat untuk dapat diakui sebagai
kaum bellegerensi adalah: (Tasrif, 1990, p. 21)
c. mentaati hukum perang dan mampu serta bersedia melindungi warga negara asing serta
harta bendanya
Pertimbangan untuk memberikan pengakuan terhadap negara dan pemerintahan baru dalam
hukum internasional dapat didasarkan pada doktrin- doktrin berikut:
3. Doktrin Stimson menyatakan bahwa Amerika Serikat tidak akan mengakui setiap
perolehan wilayah baru melalui cara-cara kekuasaan atau cara- cara yang tidak sah atau secara
melawan hukum (yang bertentangan dengan Pakta Paris atau dikenal dengan nama kellog-Briand
Pact for the Renunciation of war)
Selain ketiga doktrin pengakuan di atas, terdapat pula doktrin dalam hukum internasional yang
menyatakan agar suatu negara tidak memberikan pengakuan kepada suatu negara atau
pemerintahan baru sebagai proses terhadap adanya tindakan yang tidak sah menurut hukum
internasional. (Adolf, 2002, p. 97)
Cara-cara memberikan pengakuan pada dasarnya secara garis besar pemberian pengakuan itu
dibedakan dalam dua cara, yaitu:
1. Secara tegas (expressed recognition); dan
Pengakuan secara tegas maksudnya, pengakuan itu diberikan secara tegas melalui suatu
pernyataan resmi. Pernyataan ini dapat dilakukan melalui deklarasi atau pernyataan umum yaitu
dengan mengirimkan pernyataan pengakuan terhadap negara baru atau terhadap pemerintahan
baru. Atau, pernyataan itu dilakukan
Pengakuan secara tegas dan nyata ini diberikan tidak lama setelah kelahiran dari pihak yang
diberikan pengakuan. Jadi, dari isi dan bunyi nota diplomatik resmi tersebut secara tegas-tegas
dan nyata-nyata dapat diketahui bahwa pengakuan secara resmi telah diberikan oleh pihak yang
mengirim nota tersebut.
Sedangkan pengakuan yang dikatakan secara diam-diam apabila tidak ada pernyataan formal,
namun dilakukan secara diam-diam melalui cara-cara tertentu yaitu melalui sikap atau perbuatan.
Yang menunjukan adanya niat serta keinginan untuk memberikan pengakuan kepada negara atau
pemerintahan baru. Pengakuan secara diam-diam ini disebut juga dengani pengakuan secara
tersimpul (implied recognition). Beberapa tindakan atau peristiwa yang dapat dianggap sebagai
pemberian pengakuan secara diam-diam adalah :
a. Pembukaan hubungan diplomatik (dengan negara yang diakui secara diam-diam itu);
b. Kunjungan resmi seorang kepala negara (ke negara yang diakui secara diam-diam itu);
c. Pembuatan perjanjian yang bersifat politis (dengan negara yang diakui secara diam-diam
itu).
3. Rangkuman
Pembahasan mengenai lembaga pengakuan internasional ini semoga ada manfaatnya, oleh
karena tetap merupakan suatu masalah aktual yang menyangkut berbagai bidang hubungan antar
negara. Masyarakat internasional merupakan masyarakat yang dinamis berubah dari waktu ke
waktu ada negara yang dikuasai negara lain dan ada pula negara baru yang lahir. Demikian pula
pemerintah lama terguling, pemerintah baru lahir. Lahirnya negara/ pemerintah tersebut ada yang
melalui cara-cara damai, ada pula yang melalui cara-cara kekerasan. Perubahan- perubahan ini
menyebabkan anggota masyarakat internasional lainnya dihadapkan pada dua pilihan, yaitu mau
menyetujui atau menolaknya.
Tanpa mendapatkan pengakuan ini negara tersebut akan mengalami kesulitan dalam mengadakan
hubungan dengan negara lainnya. Negara yang belum mendapatkan pengakuan dapat memberi
kesan dalam negara lain bahwa negara tersebut tidak mampu menjalankan kewajiban-kewajiban
internasional. Oppenheim mengatakan bahwa pengakuan merupakan suatu pernyataan
kemampuan suatu negara baru. Nampaklah bahwa negara-negara dalam memberikan pengakuan
ini
semata-mata hanya didasarkan pada alasan-alasan politis, bukan alasan hukum. Dari praktek
negara-negara tidak ada keseragaman dan tidak menunjukkan adanya aturan-aturan hukum
dalam masalah pengakuan ini. Namun dengan diakuinya suatu negara/pemerintah baru,
konsekuensi yang ditimbulkannya dapat berupa konsekuensi politis tertentu dan konsekuensi
yuridis antara negara yang
4. Tugas
Diskusikanlah dalam masing-masing kelompok belajar anda, terkait dengan pengakuan lalu
jelaskanlah dalam bentuk tulisan ke-dalam lembar kerja kelompok anda!
5. Evaluasi
2). Tuliskan akibat hukum tidak mendapat pengakuan sebagai negara baru dalam Hukum
Internasional!
3). Sebutkan teori-teori pengakuan terhadap pemerintahan baru dalam Hukum Internasional!
4).Tuliskan akibat hukum tidak mendapat pengakuan sebagai pemerintahan baru dalam Hukum
Internasional!
6). Tuliskan perbedaan pengakuan de facto dan de jure dalam Hukum Internasional! 7).
Jelaskan bagaimana pengakuan secara diam-diam (implied recognition) dalam
8). Sebutkan kualifikasi negara yang akan diakui menurut Hukum Internasional!
I. KEGIATAN PEMBELAJARAN X-XI KEDAULATAN TERITORIALl
teritorial.
2. Materi Pembelajaran
Kedaulatan teritorial atau kedaulatan wilayah adalah kedaulatan yang dimiliki Negara dalam
melaksanakan yurisdiksi ekslusif di wilayahnya. Kedaulatan berarti kekuasaan tertinggi dan
bersifat monopoli atau summa potestas atau superme Power yang hanya dimiliki Negara.
D.P O’Connell, berpendapat kedaulatan dan wilayah berkaitan erat karena pelaksanaan
kedaulatan didasarkan pada wilayah. S.T. Bernardez, berpendapat wilayah adalah prasyarat fisik
untuk adanya kedaulatan territorial. Arbiter Huber, berpendapat bahwa keaulatan memiliki 2 ciri,
yaitu :Kedaulatan merupakan prasyarat hukum untuk adanya suatu Negara dan Kedaulatan
menunjukkan Negara tersebut merdeka dan merupakan fungsi Negara
Yaitu prinsip yang digunakan untuk menentukan suatu wilayah menjadi milik suatu Negara,
diantaranya :
Menurut prinsip ini bahwa kepemilikan Negara atas suatu wilayah ditentukan oleh berlakunya
secara efektif peraturan hukum nasional di wilayah tersebut. Disamping prinsip ini, Martin
Dixon memperkenalkan prinsip lain yaitu :
Menurut prinsip ini, pada prinsipnya batas-batas wilayah Negara baru akan mengikuti batas-
batas wilayah dari Negara yang mendudukinya. Tujuan dari prinsip ini adalah untuk mencegah
kemerdekaan dan stabilitas yang Negara baru yang baru lahir menjadi terganggu atau terancam
oleh adanya gugatan terhadap batas – batas wilayahnya.
Prinsip ini melarang Negara memperoleh wilayah dengan menggunakan kekuatan senjata.
Prinsip ini menegaskan harus dihormatinya kehendak rakyat di dalam menentukan status
kepemilikan wilayahya.
1. Pendudukan
Yaitu pendudukan terhadap wilayah yang sebelumnya belum pernah dimiliki oleh suatu negara
ketika pendudukan terjadi.
2. Penaklukan
Akresi atau pertambahan adalah cara memperoleh wilayah baru melalui proses alam (geografis).
Misal, pembentukan pulau di mulut sungai.
4. Preskripsi.
Preskripsi adalah pemilikan suatu wilayah oleh Negara yang telah didudukinya dalam jangka
waktu lama dan dengan sepengetahuan dan tanpa keberatan dari pemiliknya
5. Cessi
Cessi adalah pengalihan wilayah secar damai dari suatu Negara ke Negara lain. Cessi
berlangsung dalam rangka suatu perjanjian seusai perang.
Plebisit adalah pengalihan suatu wilayah melalui pilihan penduduknya setelah dilaksanakan
pemilihan umum, referendum, atau cara-cara plainnya yang dipilih oleh penduduk.
7. Putusan pengadilan/arbitrase.
Dalil Hukum Romawi , “ Barang siapa memiliki sebidang tanah dengan demikian juga memiliki
segala sesuatu yang berada di atas permukaan tanah
tersebut sampai ke langit dan segala apa yang berada di dalam tanah”. Ini berarti negara memiliki
kedaulatan penuh atas ruang udara sampai kelangit. Dengan perkataan wilayah ruang udara suatu
negara menganut rezim tertutup. Setiap pemanfaatan wilayah ruang udara suatu negara harus
mendapat izin dari negara pemiliknya yang sering dinamakan negara kolong.
Disebabkan wilayah ruang udara menganut rezim tertutup, sementara aktifitas pemanfaatannya
sangat besar dalam melakukan hubungan antara negara- negara sehingga muncul suatu tuntutan
agar dapat dipergunakan secara bebas. Salah satu solusi bagi negara-negara dikenalah apa yang
dinamakan Prinsip Lima Kebebasan Udara yang berasal dari International Air Services Transit
Agreement yang berissikan sebagai berikut: :
3. Menurunkan penumpang di wilayah negara asing yang berasal dari negara asal pesawat udara.
4. Mengangkut penumpang pada lalu lintas negara asing yang bertujuan ke negara asal pesawat
udara.
Tahun 1965 (the international geophysical year) para ilmuwan dan ahli hukum mulai
dihadapkan dengan masalah batasan ruang udara dan memisahkannya dengan ruang angkasa.
Maka, Majelis Umum PBB mengembangkan bidang hukum angkasa ini dengan dibentuknya
Komisi Pemanfaatan Damai Rung Angkasa. Hasil pentingnya adalah dikeluarkannya Resolusi
No. 1962 ( XVIII ) tanggal 13 Desember 1963 yang diterima negara-negara. Prinsip-Prinsip
tersebut , yaitu :
1. Eksplorasi dan pemanfaatan ruang angkasa untuk semua umat manusia berdasarkan
kesamaan.
3. Setiap kegiatan eksplorasi dan pemanfaatan ruang angkasa harus sesuai dengan HI dan
piagam PBB.
4. Negara bertanggungjawab atas kegiatan ruang angkasa, baik negara sponsor atau sebaliknya.
5. Kewajiban negara untuk menolong dan menyelematkan astronot yang berada dalam bahaya.
PBB mengadakan Konferensi Hukum Laut di Jenewa 1958. Diikuti 86 negara menghasilkan 4
konvensi, 1 protocol fakultatif, serta 9 resolusi.
4. Konvensi tentang Perikanan dan Perlindungan Sumber Kekayaan Hayati Laut Lepas.
Rumusan kompromi yang ditawarkan konferensi waktu itu adalah 6 mil zona perikanan. Dalam
membahas kedaulatan negara atas wilayah laut ini akan mencakup :
1. Perairan Pedalaman
Perairan pedalaman adalah perairan yang berada pada sisi darat garis pangkal. Di perairan
pedalaman ini negara memiliki kedaulatan penuh atasnya.
2. Laut Teritorial
Laut teritorial adalah laut yang terletak di luar sisi luar garis pangkal yang tidak melebihi lebar
12 mil laut dari garis pangkal.
3. Jalur Tambahan
Jalur tambahan adalah suatu zona tambahan dan berda di luar laut territorial dimana suatu negara
mempunyai kekuasaan terbatas untuk mencegah pelanggaran terhadap peraturan bea cukai,
fiscal, imigrasi dan kesehatan.
4. Landas Kontinen
Landas kontinen meliputi dasar laut dan tanah dibawahnya dari daerah di bawah permukaan laut
yang terletak diluar laut teritorialnya sepanjang kelanjutan alamiah wilayah daratannya hingga
pinggiran luar tepi kontinen, atau hingga jarak 200 mil laut dari garis pangkal darimana lebar laut
tepi kontinen tidak mencapai jarak tersebut.
ZEE adalah suatu zona selebar tidak lebih dari 200 mil dari garis pangkal. Yurisdiksi yang
dimiliki ZEE meliputi :
6. Laut Lepas
Pada dasarnya, laut lepas tiak berlaku kedaulatan, hak berdaulat, yurisdiksi negara. Laut lepas
merupakan ras communis, yaitu laut yang terbuka dan bebas bagi semua negara.
- Berlayar
- Penerbangan
7. Kawasan
Kawasan adalah dasar laut dan dasar samudera serta tanah di bawahnya di luar batas yurisdiksi
nasional suatu negara. Di kawasan ini negara tidak mempunyai kedaulatan atau hak berdaulat.
Kawasan ini merupakan Warisan bersama umat manusia.
Kedaulatan negara mencakup darat, laut dan udara. Pengertian darat mencakup sungai yang
memotong darat serta danau yang dikelilingi daratan. Yang menjadi masalah berkaitan dengan
kedaulatan negara atas sungai adalah hak negara tepi sungai dan negara lain untuk berlayar di
sepanjang sungai itu.
1. Kelompok pertama, berpendapat bahwa hak lintas tersebut terbatas pada masa damai.
2. Kelompok dua, berpendapat bahwa hanya negara – negara yang dilewati sungai sajalah yang
memiliki hak lintas.
3. Kelompok tiga, berpendapat bahwa kebebasan lintas tersebut tidak terbatas namun tunduk
pada hak masing-masing negara untuk membuat peraturan yang wajar dan perlu berkaitan
dengan pemenfaatan sungai perbatasannya.
Perbatasan merupakan pemisah antara berlakunya kedaulatan negara dengan kedaulatan negara
lainnya. Masalah perbatasan ini tampak menonjol dan sulit karena beberapa negara daerah
perbatasannya belum ditetapkan dengan jelas berhubung jauhnya jarak batas dan pusat
keramaian.
Banyak negara yang berupaya mengklaim kedaulatannya atas wilayah ini. Ada beberapa
landasan teori atau pembenaran yang digunakan negara dalam mengklaim wilayah yang luas dan
tidak ada penduduk aslinya ini. Landasan pembenar tersebut adalah :
1. Pendudukan
2. Teori Koninuitas
3. Teori Kontiguitas
4. Teori Sector
5. Penemuan
Menghadapi banyaknya klaim tersebut, atas inisiatif Amerika Serikat, negara- negara
berkepentingan dengan antartica mengadakan Perjanjian Antartica 1959. Prinsip yang mendasari
Perjanjian Antartica :
1. Segala kegiatan yang dilakukan antartica hanya untuk maksu damai saja ( Pasal 1 ).
Para pihak sepakat untuk bekerjasama dan setuju untuk tidak menggunakan antartica untuk
maksud militer. Perjanjian tersebut melarang segala percobaan peledakan bom nuklir dan
pembuangan sampah radioaktif. Perjanjianpun tidak mengakui klaim-klaim terhadap kedaulatan
antartica.
3. Rangkuman
Kedaulatan merupakan kekuasaan tertinggi dari suatu negara, artinya diatas kedaulatan itu tidak
ada lagi kekuasaan yang lebih tinggi. Kedaulatan yang di miliki suatu negara menunjukan bahwa
suatu negara itu adalah merdeka atau tidak tunduk pada kekuasaan negara lain.
1. Aspek internal, yaitu berupa kekuasaan tertinggi untuk mengatur segala sesuatu yang ada atau
yang terjadi di dalam batas-batas wilayahnya.
2. Aspek eksternal yaitu kekuasaan tertinggi untuk menggadakan hubungan dengan anggota
masyarakat internasional.
Kedaulatan teritorial juga berarti kedaulatan yang dimiliki oleh suatu negara dalam
melaksanakan jurisdiksi eksklusif di wilayahnya..Kedaulatan teritorial juga berarti kedaulatan
yang dimiliki oleh suatu negara dalam melaksanakan jurisdiksi eksklusif di wilayahnya
J. G. Starke berpendapat, kedaulatan teritorial berarti bahwa di daerah teritorial ini jurisdiksi
dijalankan oleh negara itu atas orang-orang dan harta benda. Pelaksanaan kedaulatan didasarkan
pada wilayah. Dalam wilayah itulah negara menjalankan kedaulatanya, sehingga sebuah negara
tidak mungkin ada, tanpa adanya wilayah, meskipun wilayah itu kecil saja. Wilayah suatu negara
merupakan objek hukum internasional, oleh karena itu hukum internasional mengakui
kedaulatan tiap-tiap negara.
Wilayah suatu negara adalah suatu ruang dimana orang yang menjadi warganegara atau
penduduk negara yang bersangkutan hidup serta menjalankan segala aktivitasnya.
4. Tugas
Diskusikanlah dalam masing-masing kelompok belajar anda, terkait dengan kedaulatan negara
lalu jelaskanlah dalam bentuk tulisan ke-dalam lembar kerja kelompok anda!
5. Evaluasi
3) Suatu kedaulatan dapat dipandang dari perspektif intern dan ekstern, jelaskan!
Agar mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan Jurisdiksi Negara Dalam Hukum
Internasional:
2. Materi Pembelajaran
Menurut Hans Kelsen, prinsip hukum “par in parem non habet imperium” ini memiliki beberapa
pengertian. Pertama, suatu negara tidak dapat melaksanakan jurisdiksi melalui pengadilannya
terhadap tindakan-tindakan negara lain, kecuali negara tersebut menyetujuinya. Kedua, suatu
pengadilan yang dibentuk berdasarkan perjanjian internasional tidak dapat mengadili tindakan
suatu negara yang bukan merupakan anggota atau peserta dari perjanjian internasional
tersebut. Ketiga, pengadilan suatu negara tidak berhak mempersoalkan keabsahan tindakan suatu
negara lain yang dilaksanakan di dalam wilayah negaranya. (Adolf, 2002, p. 184)
Jadi jurisdiksi merupakan refleksi atau pencerminan dari prinsip dasar kedaulatan negara,
kesamaan derajat dan tidak campur tangan dalam urusan dalam negeri masing-masing.
Pelaksanaan jurisdiksi meskipun didasarkan atas banyak faktor, misalnya kebangsaan, namun
penegakannya banyak ditentukan pada faktor wilayah. Oleh sebab itu penting suatu negara
memiliki wilayah dengan batas-batas yang jelas, sebagaimana pendapat Mochtar Kusumaatmdja:
“perlunya di tentukan batas-batas wilayah suatu negara ialah untuk mengetahui sampai sejauh
mana kekuasaan suatu negara itu, karena kekuasaan suatu negara itu terbatas pada
batas-batas wilayah negara yang memiliki kekuasaan itu, dan kekuasaan itu berakhir dimana
kekuasaan suatu negara lain dimulai” (Kusumaatmadja M. , Pengantar Hukum Internasional,
1999, p. 14)
Jurisdiksi dapat dibedakan antara lain: (Bachtiar Hamzah; sulaiman Hamid, 1997, p. 75)
Yurisdiksi merupakan refleksi dari kedaulatan negara. Dari kedaulatan itu lah diturunkan atau
dilahir yurisdiksi negara. Dengan yurisdksi tersebut suatu negara dapat mengatur secara lebih
rinci dan jelas masalh-masalah yang dihadapinya, sehingga aterwujud apa yang menjadi tujuan
dari negara. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa hanya negara berdaulat yag dapat
memiliki yurisdiksi menurut hukum internasional. (Parthiana, 1990, p. 295)
Secara garis besar macam yurisdiksi negara dapat ditinjau berdasarkan pada (Parthiana, 1990,
pp. 298-328):
1. Berdasarkan hak, kekuasaan dan kewenangan untuk mengatur dapat dibedakan antara:
a. Yurisdiksi legislative
b. Yurisdiksi eksekutif
c. Yurisdiksi judikatif
2. Berdasarkan hak, kekuasaan dan kewenangan atas obyek yang di atur dapat dibedakan
menjadi:
a. Yurisdiksi personal
b. Yurisdiksi kebendaan;
c. Yurisdiksi criminal
d. Yurisdiksi civil
e. Yurisdiksi eksklusif
3. Bedasarkan hak, kekuasaan dan kewenangan atas tempat atau terjadinya objek yang di atur
dapat dibedakan atas:
a. Yurisdiksi territorial
d. Yurisdiksi universal
e. Yurisdiksi ekslusif
Jurisdiksi teritorial juga ada pengecualiannya, yaitu berdasarkan kententuan- ketentuan hukum
Internasioanl, terdapat objek-objek tertentu yang berada atau terjadi di dalam wilayah suatu
negara tetapi tidak tunduk pada jurisdiksi teritorial negara yang bersangkutan. Objek-objek yang
dikecualikan dari jurisdiksi teritorial itu adalah: (H.Bachtiar Hamzah: 1997: 82)
1. Kepala negara atau kepala pemerintahan dari negara asing, yang sedang berada di suatu
negara.
2. Staf diplomatik dan staf Konsuler dari negara asing yang di tempatkan di suatu negara.
3. Angkatan bersenjata dari negara asing yang sedang menjalankan tugas kenegaraan di suatu
negara
4. Kepala dan staf dari lembaga-lembaga internasional yang bertugas disuatu negara.
7. Kapal-kapal dan Pesawat Udara publik milik negara asing yang sedang berada di suatu
negara.
Menurut prinsip jurisdiksi personal (nasionalitas) bahwa Suatu negara dapat mengadili
warganegaranya karena kejahatan ang dilakukannya dimana pun juga. Sebaliknya adalah
kewajiban negara untuk memberkan perlindungan diplomatik kepada warga negaranya di luar
negeri. Ketentuan ini sudah diterima secara universal.
Menurut prinsip ini, suatu negara memiliki jurisdiksi untuk mengadili orang asing yang
melakukan tindak pidana terhadap warga negaranya di luar negeri Contoh: Pada UU Keamanan
Diplomatik dan Anati Terorisme Saction 2333 (a)
yang menyatakan bahwa “Amerika Serikat memiliki jurisdiksi terhadap siapa pun yang
melakukan pembunuhan terhadap warga negaranya di luar negeri.” (Adolf, 2002, p. 212)
yang dilakukan oleh orang asing di luar wilayah kedaulatannya.” (Haris, 1998, p. 288)
Prinsip ini memuat bahwa setiap negara mempunyai jurisdiksi terhadap tindak kejahatan yang
mengancam masyarakat internasional. Jurisdiksi ini lahir tanpa melihat dimana kejahatan
dilakukan atau warga negara yang melakukan kejahatan. (Adolf, 2002, p. 216) Contoh seperti
kejahatan yang berkaitan dengan kemanusian yang dapat diadili menurut hukum internasional
pada International Criminal Court (ICC) berdasarkan Statuta Roma 1998.
3. Rangkuman
Jurisdiksi teritorial adalah Jurisdiksi suatu negara untuk mengatur, menerapkan dan memaksakan
hukum nasionalnya terhadap segala sesuatu yang ada atau terjadi di dalam batas-batas
wilayahnya. Menurut prinsip jurisdiksi teritorial,
negara mempunyai jurisdiksi terhadap semua persoalan dan kejadian di dalam wilayahnya.
Prinsip ini adalah prinsip yang paling mapan dan penting dalam hukum internasional. Menurut
Hakim Lord Macmillan suatu negara memiliki jurisdiksi terhadap semua orang, benda,
perkara-perkara pidana atau perdata dalam batas-batas wilayahnya sebagai pertanda bahwa
negara tersebut berdaulat.
4. Tugas
Diskusikanlah dalam masing-masing kelompok belajar anda, terkait dengan jurisdiksi teritorial
lalu jelaskanlah dalam bentuk tulisan ke-dalam lembar kerja kelompok anda!
5. Evaluasi
2). Jelaskan hubungan antara yurisdiksi negara dengan asas kedaulatan negara!
Agar mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan Tanggung Jawab Negara Dalam Hukum
Internasional.
2. Materi Pembelajaran
Negara dalam menjalin hubungan dengan Negara lain tentu tidak luput dari membuat kesalahan
atau pelanggaran yang merugikan Negara lain. Suatu Negara itu dikatakan sebagai subjek hukum
internasional apabila ia telah menjalankan/melaksanakan kedaulatanya. Setiap Negara memiliki
batasan-batasan wilayahnya sehingga dalam batas-batas itulah Negara menjalankan juridiksinya.
Dalam menjalankan kedaulatanya suatu Negara tidak dapat lepas dari pertanggung jawaban.
Artinya ada prinsip-prinsip yang mengatur di dalam kedaulatan agar tidak menyalahgunakan
kedaulatan tersebut. Oleh karena itu jika ada suatu negara menyalahgunakan kedaulatanya maka
dapat diminta pertanggung jawaban untuk tindakannya.
Pada dasarnya yang menjadi latar belakang timbulnya tanggung jawab negara dalam hukum
internasional yaitu bahwa tidak ada satu negara pun yang dapat menikmati hak-haknya tanpa
menghormati hak-hak negara lain. Setiap pelanggaran terhadap hak negara lain maka negara
tersebut harus mempertanggung jawabkannya. (Adolf, 2002, p. 255)
Rosalyn Higgins mengemukakan bahwa hukum tentang tanggung jawab negara tiddak lain
adalah hukum yang mengatur akuntabilitas terhadap suatu pelanggaran hukum internasional.
JIka suatu negara melanggar suatu kewajiban internasional, negara tersebut bertanggung jawab
untuk pelanggran yang dilakukannya. (Higgins, 1994, p. 144) Ini berarti tanggung jawab negara
dapat diartikan sebagai segala sesuatu yang berkenaan dengan penentuan tentang atas dasar apa
dan pada situasi yang bagaimana suatu negara dapat dianggap telah melakukan kesalahan atau
tindakan yang salah secara internasional, dimana hal itu menjadi sumber pertanggungjawaban
negara, serta apa yang harus dilakukan oleh negara itu, untuk memperbaiki kesalahannya atau
memenuhi pertanggung jawabannya. (Bachtiar Hamzah; sulaiman Hamid, 1997, p. 111)
Berdasarkan hukum internasional, suatu negara bertanggung jawab bilamana suatu perbuatan
atau kelalaian yang dapat dipertautkan kepadanya melahirkan pelanggaran terhadap suatu
kewajiban internasional, baik yang lahir dari suatu perjanjian internasional maupun dari sumber
hukum internasional lainnya. Jadi pertanggung jawaban Negara lahir kerena adanya kerugian
yang diderita.
Menurut Rebecca M.M Wallace bahwa Tanggung jawab Negara dalam hukum internasional
merujuk pada pertanggungjawaban yaitu satu Negara terhadap Negara lain untuk ketidaktaatanya
memenuhi kewajiban yang ditentukan oleh sistem hukum internasional. Suatu Negara dapat
meminta pertanggungjawaban bagi kerugian kepada Negara tergugat itu sendiri.( Bhatiar
Hamzah:1997 :111)
Menurut J.G.Starke bahwa Peraturan hukum internasional tentang tanggung jawab Negara yang
menyangkut keadaan sekitar dimana dan prinsip-prinsip dengan mana Negara yang dirugikan itu
menjadi berhak untuk mendapat ganti rugi atas kerugian yang dideritanya. Tanggung jawab
Negara telah dinyatakan secara teoritatif untuk di batasi hanya pada tanggungjawab Negara
untuk tindakan-tindakan salah secara internasional.( J.G.Starke:1988 : 275)
Tanggung jawab Negara itu harus ditentukan oleh norma-norma internasional dan tergantung
pada hukum internasional mengenai apakah dan sejauh manakah tindakan dan kelalaian suatu
Negara dianggap sah atau melawan hukum. Artinya bila setelah diukur dengan norma-norma
tersebut ternyata tindakan itu dianggap sah, maka tidak timbul tanggung jawab Negara.( J.G.
Starke :1988 :275-276)
Oleh Oppenheim-Lauterpacht dinyatakan bahwa suatu Negara dapat saja menghindar dari
tanggung jawabnya atau tidak mempunyai pertanggungjawaban hukum apapun terhadap
tindakan-tindakannya kepada warga negaranya sendiri dengan merubah hukum nasionalnya
sendiri. Tetapi dalam hal pertanggung jawaban keluar , suatu Negara tidak dapat begitu saja
merubah hukum internasionalnya dan melepaskan tanggung jawabnya sebagai anggota
masyarakat internasional atau pribadi internasional.(Bachtiar Hamzah: 1997:113) Dan setiap
pengabaian terhadap kewajiban hukum internasional merupakan pelanggaran internasional dan
Negara yang di rugikan, baik merupakan tindakan balasan atau perang sekalipun, dapat memaksa
Negara yang melanggar untuk memenuhi kewajiban internasionalnya.
Jadi jelasnya tanggung jawab Negara akan timbul manakala;
1. Adanya pelanggaran atas suatu kewajiban berdasarkan hukum internasional, oleh suatu
Negara
2. Pelanggaran mana menimbulkan kerugian atau kerusakan terhadap Negara lain;dan
3. Adanya hubungan antara pelanggran dan kerugian itu yang menyebabkan Negara yang
melakukan pelanggaran harus mempertanggungjawabkanya. Apa yang telah diuraikan di atas
sesuai dengan pendapat Shaw bahwa fakor-
faktor penting untuk adanya tanggung jawab negara ialah sebagai berikut: (Shaw, 1986, p. 431)
1) Adanya suatu kewajiban hukum internasional yang berlaku antara dua negara tertentu;
2) Adanya suatu perbuatan atau kelalaian yang melanggar kewajiban hukum internasional
tersebut yang melahirkan tanggung jawab negara, dan
3) Adanya kerusakan atau kerugian sebagai akibat adanay tindakan yang melanggar hukum
atau kelalaian.
Oppenheim-Lauterpaht, membedakan tanggung jawab Negara kedalam dua jenis yaitu: (Bachtiar
Hamzah:1997:116)
1. Original Responsibility, yaitu tanggung jawab yang timbul dari tindakan- tindakan yang
dilakukan oleh dan atas ijin dari pejabat pemerintahan Negara tersebut. Artinya Negara
bertanggung jawab karena kelalaiannya, Negara dituntut untuk membayar kerugian atas tindakan
yang merugikan yang dilakukan oleh pejabatnya meskipun dilakukan di luar perintah resmi,
asalkan tugas itu merupakan tugas yang biasa dan rutin dilakukan olehnya.
2. Vicarious Responsibility, yaitu tanggung jawab yang timbul dari tindakan yang dilakukan
oleh pejabat Negara tanpa izin dari pemerintah Negara itu, atau yang dilakukan oleh
warganegaranya dan orang asing yang berkedudukan di wilayah Negara tersebut. Pada vicarious
responsibility, beban Negara hanya terbatas pada memaksa pejabat atau warganegaranya yang
melakukan tindakan yang merugikan itu untuk memperbaiki keadaan itu semampunya dan kalau
perlu Negara dapat menghukum orang yang bersalah itu.
Pada Original Resposibility hal ini merupakan tanggung jawab negara karena kelalaian negara
itu atas kewajiban negara itu sendiri, sedangkan pada Vicarious Resposibility tidak merupakan
kelalaian negara, disini negara hanya terbatas pada memaksa pejabat atau warga negaranya yang
melakukan tindakan -tindakan yang merugikan itu untuk memperbaiki keadaan atau bertanggung
jawab.
Terdapat beberapa bentuk pertanggungjawaban negara yang diakui dalam hukum internasional
yaitu, Reparation, semacam kompensasi dengan membayar sejumlah uang, tetapi pada saat
ini reparation sudah jarang di gunakan dan kemudian Satisfacation, sebuah upaya yang
dilakukan oleh sebuah negara untuk mendapatkan sebuah putusan dari pengadilan yang
mendukungnya.
Suatu negara dapat saja melanggaar suatu perjanjian yang telah dibuatnya dengan negara lain,
yang mengakibatkan kerugian terhadap lainnya. Pelanggaran terhadap suatu perjanjian tentu
melahirkan suatu kewajiban untuk membayar ganti rugi (Sugeng Istanto:1998:79). Dan berapa
besar ganti rugi untuk pelanggaran suatu perjanjian internasional dapat ditentukan oleh
Mahkamah Internasional, pengadilan, peradilan arbitrase atau melalui perundingan. Pelanggaran
atas suatu perjanjian menurut hukum internasional dianggap sebagai pelanggaran atau kelalaian
yang cukup serius, karena menyangkut kridibilitas negara di mata masyarakat internasional.
Tanggung jawab ini terjadi jika suatu negara melanggara perjanjian atau kontrak yang telah
dibuatnya dengan negara lain dan pelanggaran itu mengakibatkan kerugian terhadap negara
lainnya.
Suatu negara tidak membayar hutang-hutang luar negeri berarti bahwa negara tersebut tidak
memenuhi kewajiban kontrak atau perjanjian hutang.
Perjanjian konsesi antara negara dengan warga negara (korporasi asing) dikenal dengan Clausula
Alvo yang menetapkan bahwa penerima konsesi melepaskan perlindungan pemerintahannya
dalam sengketa yang timbul dari perjanjian tersebut dan sengketa yang timbul itu harus di ajukan
ke peradilan nasional negara pemberi konsesi dan tunduk pada hukum nasional tersebut.
f. Pertanggungjawaban Atas Perbuatan Melawan Hukum (Delictual Liability) Tanggung jawab
perbuatan melawan hukum dapat lahir dari setiap kesalahan atau kelalaian suatu negara terhadap
orang asing di dalam wilayahnya atau wilayah negara lain
Diterapkannya local remedies ini dimaksudkan ialah: (Bachtiar Hamzah; sulaiman Hamid, 1997,
p. 178)
Ketentuan local remedies tidak berlaku dalam hal-hal sebagai berikut: (Adolf, 2002, pp. 277-
279)
1) suatu negara telah melakukan pelanggran langsung hukum internasional yang menyebabkan
kerugian terhadap negara lain;
2) Ketentuan local remedies dapat ditarik kembali berdasarkan suatu perjanjian internasional;
3) Upaya penyelesaian setempat tidak perlu digunakan manakala hasil atau putusan dari
pengadilan setempat sudah dipastikan akan memberikan putusan yang sama dengan putusan-
putusan sebelumnya;
4) Upaya penyelesaian setempat tidak perlu dilakukan manakala upaya tersebut memang tidak
tersedia.
5) Apbila suatu pelanggaran dilakukan oleh pemerintah yang tidak tunduk kepada yurisdiksi
pengadilan setempat.
Imputabilitas dalam tanggung jawab negara merupakan suatu doktrin yang menyebutkan bahwa
tindakan –tindakan dari pejabat atau perwakilannya yang sah, seakan-akan tindakan itu adalah
tindakan negara itu sendiri. Yang menjadi latar belakang doktrin ini ialah bahwa negara sebagai
suatu kesatuan hukum yang abstrak tidak dapat melakukan tindakan-tindakan yang nyata. Negara
baru dapat melakukan suatu tindakan (hukum) yang nyata melalui pejabat-pejabat atau
perwakilan-perwakilan yang sah. (Adolf, 2002, pp. 279-278)
Menurut doktri Impubilitas bahwa negara dapat dimintakan pertanggungjawaban atas tindakan-
tindakan yang dilakukan oleh pejabat-pejabat atau perwakilan-perwakilan yang sah. Negara tidak
dapat mengelakkan diri dari tanggung jawab dengan adanya alasan bahwa tindakan-tindakan
yang salah dari pejabat-pejabad dan perwakilan yang sah itu ada pengaturannya di dalam hukum
nasionalnya.
a) Pemerintah;
c) Setiap lembaga, pejabat perwakilan resmi atau perwakilan lain pemerintahannya atau
setiap sub divisi yang bertindak dalam lingkup pekerjaan mereka.
Sementara itu menurut hukum internasional, negara tidak dapat dimintai pertanggung jawaban
atas semua tindakan atau perbuatan yang dilakukan warganegaranya.
3. Rangkuman
Berdasarkan hukum internasional, suatu negara bertanggung jawab bilamana suatu perbuatan
atau kelalaian yang dapat dipertautkan kepadanya melahirkan
pelanggaran terhadap suatu kewajiban internasional, baik yang lahir dari suatu perjanjian
internasional maupun dari sumber hukum internasional lainnya. Jadi pertanggung jawaban
Negara lahir kerena adanya kerugian yang diderita.
Pertanggung jawab negara muncul biasanya diakibatkan oleh pelanggaran atas hukum
internasional. Suatu negara dikatakan bertanggung jawab dalam hal negara tersebut jika
melakukan pelanggaran atas perjanjian internasional, melanggar kedaulatan wilayah, menyerang
negara lain, mencederai perwakilan diplomatik negara lain, dan memperlakukan negara asing
seenaknya
4. Tugas
5. Evaluasi
6. Jawaban
Dalam Hukum Internasional, karakteristik timbulnya tanggung jawab negara dapat dilihat dari
adanya suatu kewajiban hukum internasional yang berlaku antara dua negara tertentu, adanya
suatu perbuatan atau kelalaian yang melanggar kewajibanhukum internasional tersebut yang
melahirkan tanggung jawab negara, serta adanyakerusakan atau kerugian sebagai akibat adanya
tindakan yang melanggar hukum ataukelalaian.
2. Materi Pembelajaran 13
Secara harfiah, istilah Suksesi Negara (State Succession atau Succession of State) berarti
“penggantian atau pergantian negara”. Namun istilah penggantian atau pergantian negara itu
tidak mencerminkan keseluruhan maksud maupun kompleksitas persoalan yang terkandung di
dalam subjek bahasan state succession itu. Memang sulit untuk membuat suatu definisi yang
mampu menggambarkan keseluruhan persoalan suksesi negara. Tetapi untuk memberikan
gambaransederhana, suksesi negara adalah suatu keadaan di mana terjadi perubahan atau
penggantian kedaulatan dalam suatu negara sehingga terjadi semacam “pergantian negara” yang
membawa akibat-akibat hukum yang sangat kompleks. Negara yang lama atau negara yang
“digantikan” disebut dengan istilah Predecessor State, sedangkan negara yang “menggantikan”
disebut Successor State.
Menurut J.G.Starke, dalam hal istilah penggantian negara kurang tepat karena istilah ini
mengandaikan bahwa analogi hukum perdata, dimana pada kematian atau kebangkrutan, dan
sebagainya, hak-hak dan kewajiban berpindah dari orang yang mati atau tidak mampu kepada
orang lain dapat diterapkan pada negara-negara (J.G.Starke: 1988 :4 )
Selanjutnya menurut Lucius Calfish, suksesi negara dalam arti faktual (factual state
succession) terjadi apabila suatu negara memperoleh seluruh atau sebagian wilayah yang
sebelumnya dikuasai oleh negara lain; dan sebagai akibatnya, sesuai dengan ketentuan hukum
internasional, maka pengganti wilayah (territorial
succesor) tersebut berkewajiban menerima hak-hak dan kewajinan-kewajiban yang paling sedikit
identik secara material dengan hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang sebelumnya dimiliki oleh
penguasa wilayah yang digantikan (territorial predecessor)( Budi Lazuardi: 1986:12).
1. Penyerapan (absorption), yaitu suatu negara diserap oleh negara lain. Jadi di sini terjadi
penggabungan dua subjek hukum internasional. Contohnya, penyerapan Kongo oleh Belgia
tahun 1909.
4. Negara merdeka baru (newly independent states). Maksudnya adalah beberapa wilayah yang
sebelumnya merupakan bagian dari wilayah negara lain atau berada di bawah jajahan kemudian
memerdekakan diri menjadi negara-negara yang berdaulat. Sebagai contoh ialah lahirnya negara-
negara baru sesudah Perang Dunia II, seperti Indonesia.
5. Bentuk-bentuk lainnya yang pada dasarnya merupakan penggabungan dua atau lebih subjek
hukum internasional (dalam arti negara) atau pemecahan satu subjek hukum internasional (dalam
arti negara) menjadi beberapa negara.
Dalam perkembangannya Konvensi Wina 1978 tentang Suksesi Negara Dalam Hubungannya
Dengan Perjanjian Internasional (Vienna Convention on
1. Apabila Suatu wilayah negara atau suatu wilayah yang dalam hubungan internasional
menjadi tanggung jawab negara itu kemudian berubah menjadi bagian dari wilayah negara itu
(Pasal 15).
2. Negara merdeka baru (newly independent state), yaitu bila negara pengganti yang
beberapa waktu sebelum terjadinya suksesi negara merupakan wilayah yang tidak bebas yang
dalam hubungan internasional berada di bawah tanggung jawab negara negara yang digantikan
(Pasal 2 Ayat 1f).
3. Suksesi negara yang terjadi sebagai akibat dari bergabungnya dua wilayah atau lebih
menjadi satu negara merdeka.
4. Suksesi negara yang terjadi sebagai akibat dari bergabungnya dua wilayah atau lebih
menjadi suatu negara serikat (Pasal 30 Ayat 1).
5. Suksesi negara yang terjadi sebagai akibat terpecah-pecahnya suatu negara menjadi
beberapa negara baru (Pasal 34 ayat 1).
Pembedaan ini didasarkan pada bagian wilayah dari suatu negara yang digantikan
kedaulatannya. Universal Succesion terjadi apabila suatu negara secara keseluruhan dicaplok
oleh negara lain, baik karena ditaklukkan maupun karena melebur diri ke dalam negara lain
secara sukarela. Dapat juga terjadi suatu negara pecah belah menjadi beberapa bagian yang
masing-masing menjadi international personality atau dicaplok semua oleh negara yang
mengelilinginya.
Sedangkan Partial Succesion terjadi apabila sebagian dari pada wilayah negara memisahkan diri
dari kesatuan lewat revolusi dan menjdi international personality sendiri sesudah mencapai
kemerdekaannya. Cara lain terjadinya Partial Succesion ialah terjadi kalau negara memperoleh
sebagian dari wilayah negara lain dengan cara sukarela dan dapat juga terjadi kalau negara yang
berdaulat dan merdeka penuh masuk ke dalam negara federal.
1. Revolusi
2. Perang
Revolusi adalah perombakan suatu tatanan yang sudah menetap, yang tidak semata-mata
mengganti penguasa yang satu dengan yang lain, tetapi mengganti suatu sistem religious, politi,
dengan sistem yang lain. Tujuan revolusi ialah untuk merombak sacara radikal suatu susunan
politik atau sosial di seluruh wilayah negara,
ad.2. Perang
Perang dikaitkan dengan suksesi negara dimaksudkan untuk melihat apabilla perang berakhir
dengan kekalahan mutlak salah satu pihak bersengketa, maka pihak yang menang perang
menghadapi tiga pilihan, yakni: (Bachtiar Hamzah; sulaiman Hamid, 1997, p. 144)
2) Pihak pemenang meninggalkan wilayah tersebut sebagai terranulius atau wilayah yang
tidak ada pemiliknya.
3) Pihak pemenang dapat menetapak suatu subjek internasional baru, baik merdeka maupun
tidak merdeka di atas wilayah tersebut.
Suksesi negara dapat terjadi tanpa melalui cara-cara kekerasan, yaitu cara- cara damai. Cara-cara
damai yang dimaksud disini ialah pergantan pemegang kedaulatan atas wilayah baik eluru
ataupun sebagian terjadi dengan kehendak dan kesukarelaan negara yang digantikan
kedaulatannya atas wilayah tersebut. (Bachtiar Hamzah; sulaiman Hamid, 1997, pp. 144-145)
Ada beberapa pokok masalah yang timbul sebagai akibat hukum dari suksesi negara antara lain
mengenai: (H.Bachtiar Hamzah: 1997:145)
Dengan melihat praktik negara-negara yang ada, para ahli pada umumnya sependapat bahwa,
jika terjadi suksesi negara, kekayaan negara, yang meliputi
gedung-gedung dan tanah-tanah milik negara, dana-dana pemerintah yang tersimpan di bank,
alat-alat transportasi milik negara, pelabuhan-pelabuhan, dan sejenisnya, beralih kepada negara
pengganti (successor state).
Yang menjadi persoalan dalam hubungan ini adalah apakah negara pengganti (successor state)
mempunyai kewajiban untuk melanjutkan kontrak- kontrak konsesional yang dibuat oleh negara
yang digantikan (predecessor state) ataukah kontrak-kontrak itu otomatis berakhir dengan
terjadinya suksesi negara. Studi terhadap sejumlah kasus yang berkaitan dengan persoalan ini
menunjukkan bahwa pada dasarnya negara pengganti (successor state) dianggap berkewajiban
untuk menghormati kontrak-kontrak semacam itu yang dibuat oleh negara yang digantikan
(predecessor state) dengan pihak pemegang konsesi (konsesionaris). Artinya, kontrak-kontrak
tersebut seharusnya dilanjutkan oleh negara pengganti (successor state). Namun, bilamana demi
kepentingan kesejahteraan negara kontrak-kontrak tersebut dipandang perlu untuk diakhiri maka
pemegang konsesi harus diberikan hak untuk menuntut kompensasi atau ganti kerugian.
Mengenai hak-hak privat ini masalahnya adalah bagaimana akibat hukum dari suksesi negara
terhadap hak-hak privat yang diperoleh di bawah peraturan – peraturan atau perundang-
undangan nasional negara lama. Dalam hal ini, para sarjana berpendapat bahwa hak-hak privat
tersebut harus dihormati ataupun dilindungi oleh negara pengganti. Kelanjutan dari hak-hak
privat itu berlaku selama perundang-undangan baru dari successor state tidak menyatakan lain
(misalnya mengubah atau menghapusnya). Pengubahan atau penghapusan terhadap hak-hak
privat yang diperoleh berdasarkan hukum predecessor state itu tidak boleh bertentangan dengan
atau melanggar kewajiban-kewajiban internasional dari successor state, terutama mengenai
perlindungan diplomatik. Berhubung hak-hak privat itu jenisnya bermacam-macam, maka
prinsip-prinsip dasar sebagaimana disebutkan di atas perlu dirumuskan secara sendiri-sendiri.
Dengan kata lain, pemecahannya bersifat kasuistis.
Persoalan utama dalam hubungan ini adalah, apakah successor state wajib menerima tanggung
jawab yang timbul karena perbuatan melawan hukum yang
dilakukan oleh predecessor state? Dalam kaitan ini para sarjana sependapat bahwa successor
state tidak berkewajiban untuk menerima tanggung jawab yang timbul akibat perbuatan melawan
hukum yang dilakukan oleh predecessor state.
Dalam hubungannya dengan pengakuan, yang menjadi masalah adalah, apakah dalam hal terjadi
suksesi negara pengakuan yang pernah diberikan oleh suatu negara kepada negara yang
mengalami suksesi itu juga berakhir? Dalam hal ini, yang menentukan adalah sifat atau jenis
suksesi negara tersebut. Bilamana suksesi negara itu bersifat universal, yang berarti hilangnya
identitas internasional dari negara yang bersangkutan, maka pengakuan itu otomatis gugur.
Sedangkan bila suksesi itu bersifat parsial, yang berarti negara yang lama (predecessor state)
tidak kehilangan identitas internasionalnya, maka dalam hal ini berlaku “asas kontinyuitas
negara” (continuity of state principle). Artinya, pengakuan yang pernah diberikan itu tetap
berlaku. Namun, bilamana negara yang memberikan pengakuan tadi tidak lagi memandang
negara yang pernah diberi pengakuan itu memenuhi syarat negara menurut hukum internasional,
maka pengakuan itu dapat ditarik kembali. Pada umumnya, jika itu terjadi, penarikan kembali
pengakuan itu tidak dilakukan secara tegas.
Yang menjadi masalah dalam hubungan ini adalah apakah negara pengganti (successor state)
berkewajiban untuk menerima tanggung jawab atas hutang-hutang negara yang ditinggalkan oleh
negara yang digantikan (predecessor state). Dalam hubungan ini tidak terdapat kesamaan
pendapat di kalangan para sarjana maupun praktik negara-negara dan sifatnya sangat kasuistis.
Pedomannya adalah sebagai berikut :
a. Jika hutang-hutang tersebut dipergunakan untuk kepentingan atau kemanfaatan wilayah yang
digantikannya, maka successor state dipandang berkewajiban untuk menerima tanggung jawab
atas hutang- hutang tersebut. Sebaliknya, jika manfaat hutang-hutang tersebut ternyata hanya
dinikmati oleh golongan-golongan masyarakat tertentu yang memegang kekuasaan pada saat itu
maka successor state tidak dianggap berkewajiban untuk menerima tanggung jawab atas hutang-
hutang tersebut.
b. Successor state juga dipandang tidak bertanggung jawab atas hutang- hutang predecessor
state yang digunakan untuk membiayai perang melawan successor state atau maksud-maksud
yang bermusuhan dengan successor state sebelum terjadinya suksesi negara.
c. Dalam hal suksesi negara itu berupa terpecah-pecahnya satu negara menjadi beberapa bagian
yang kemudian bagian-bagian itu masing- masing menjadi negara yang berdiri sendiri, successor
states dipandang berkewajiban untuk bertanggung jawab atas hutang-hutang itu secara
proporsional menurut suatu metode distribusi yang adil.
d. Dalam hal suksesi negara itu bersifat parsial, maka successor state yang menggantikan
wilayah yang terlepas itu dipandang berkewajiban untuk menanggung hutang-hutang lokal atas
wilayah yang bersangkutan.
Terpecanya Uni soviet membentuk tiga negara Baltik, Georgia dan 11negara lainnya. Yang mana
11 negara ini membentuk Perserikatan Negara-Negara Merdeka pada 21 desember 1991.
Sebelum terpecahnya Uni Soviet, Bylorusia dan Ukraina telah membentuk federasi dengan Uni
Soviet. Saat pembentukan PBB dengan kepiawaian diplomasinya Uni Soviet berhasil
mengajukan kedua negara itu memperoleh kursi sebagai anggota PBB. Kedua “negara” ini
mendapat hak dan kedudukan yang sama dengan anggota PBB yang lain. Berbeda dengan negara
Republik Federal lainnya yang bukan anggota PBB. Setelah terjadi suksesi negara di mana Uni
Soviet sebagai predecessor sudah tidak ada lagi, Republik Rusia diakui sebagai pewaris yang sah
dari Uni Soviet. Akhirnya Rusia mewarisi kursi Uni Soviet
sebagai anggota tetap Dewan Keamanan PBB. Bylorusia dan Ukraina juga tetap bisa
melanjutkan keanggotaannya di PBB. Adapun 3 negara Baltik dan 9 negara lainnya harus
mendaftar diri sebagai anggota PBB
3. Rangkuman
Suksesi negara (succession of states) mempunyai pengertian yang berbeda dengan suksesi
pemerintahan (governmental succession), baik pada fakta maupun kenyataan ketika terjadi
suksesi (factual succession) maupun pada akibat hukumnya (legal succession). Pada hakekatnya
masalah suksesi pemerintahan negara (governmental succession) kurang mendapat perhatian dari
para ahli hukum
internasional, karena dipandang kurang urgen bila dibandingkan dengan masalah suksesi negara.
Karena pada suksesi pemerintahan, unsur negaranya masih tetap ada walaupun struktur dan
organisasi dari pemerintahan negara tersebut telah berubah dan juga negara itu masih tetap
berlanjut, hak-hak dan kewajiban negara itu masih terus berlanjut sesuai dengan prinsip
kontiunitas negara. Misalnya suatu negara berubah bentuk dari bentuk kerajaan menjadi republik
atau sebaliknya, atau kepala negara yang satu digantikan oleh kepala negara lainnya, perubahan
pemerintahan dimaksud tidak mempengaruhi kesinambungan atau identitas negara yang
dimaksud sebagi subjek hukum internasional (forma regimis nutata non mutatar ipsa civitas).
Identitas internasional negara tersebutlah yang membedakan antara suksesi negara dengan
suksesi pemerintahan, yakni pada suksesi negara ( yang universal) terjadi perubahan identitas
internasional negara tersebut, sedangkan pada suksesi pemerintahan tidak terjadi perubahan
identitas internasional negara yang bersangkutan.
4. Tugas
Diskusikanlah dalam masing-masing kelompok belajar anda, terkait dengan suksesi lalu
jelaskanlah dalam bentuk tulisan ke-dalam lembar kerja kelompok anda!
5. Evaluasi
1). Dalam praktik hukum internasional, dikenal dua bentuk suksesi hegara, tuliskan
perbedaan keduannya.