Anda di halaman 1dari 77

HUKUM INTERNASIONAL

DIBUAT OLEH

ARSENSIUS, SH, MH
DOSEN FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS TANJUNGPURA

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN


UNIVERSITAS TANJUNGPURA
FAKULTAS HUKUM
PONTIANAK
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan atas Karunianya sehingga Diktat Hukum


Internasional ini dapat diselesaikan.
Sumber utama dalam penulisan Diktat ini berasal dari buku-buku
wajib untuk mata kuliah hukum internasional.
Semoga Diktat ini bermanfaat bagi mahasiswa fakultas hukum
yang sedang mengikuti kuliah Hukum Internasional pada semester II.
Akhir kata, segala saran dan kritik guna perbaikan Diktat ini
dikemudian hari sangat diharapkan, terima kasih.

Pontianak, Februari 2021

Arsensius, SH, MH.


A. ISTILAH DAN PENGERTIAN HUKUM INTERNASIONAL

Istilah Hukum Internasional


Istilah lain untuk hukum internasional adalah : hukum bangsa-
bangsa, hukum antar bangsa, hukum antar negara, Law of Nations
(hukum bangsa-bangsa), Droit de gens, Voelkerrecht, International law,
serta Transnational law (Philip C. Jessup, Sunaryati Hartono).

Istilah hukum bangsa-bangsa (law of nations) berasal dari istilah


hukum Romawi, yaitu Ius Gentium. Ius Gentium adalah kaidah dan asas
hukum yang mengatur hubungan antar orang Romawi dengan orang
bukan Romawi satu sama lain. Selain itu ada istilah Ius Inter gentes, yaitu
hukum antar bangsa. Istilah ini menandakan permulaan lahirnya hukum
internasional public sebagai lapangan hukum tersendiri.

Menurut Oppenheim istilah hukum internasional (internasional law)


dan hukum bangsa-bangsa (law of nations) tidak sama, masing-masing
memiliki ruang lingkup yang berbeda. Hukum internasional terbagi
menjadi dua yaitu hukum internasional publik dan hukum perdata
internasional. Hukum internasional public disebut juga hukum bangsa-
bangsa. Hukum internasional public disebut juga hukum internasional
dalam arti sempit.1

Berkaitan dengan hal itu, Mochtar kusumaatmaja mengemukakan


bahwa: hukum internasional publik adalah keseluruhan kaidah dan asas
hukum yang mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas
negara (hubungan internasional) yang bukan bersifat perdata. Sedangkan
hukum perdata internasional merupakan keseluruhan kaidah dan asas
hukum yang mengatur hubungan perdata yang melintasi negara.
Persamaan antara hukum perdata internasional dengan hukum public
internasional adalah keduanya mengatur hubungan atau persoalan yang
melintasi batas negara (internasional). Perbedannya pada sifat hukum dari
hubungan atau persoalan yang diaturnya (obyeknya). Kata “internasional”
pada hukum internasional menunjuk pada sumber hukumnya yang
berlaku untuk semua Negara. Pada hukum perdata internasional, kata
“internasional” menunjukan adanya unsur-unsur asing dalam fakta-fakta
yang ditemukan.

Alasan pengunaan istilah hukum internasional, menurut Mochtar


Kusumaatmadja :
 Istilah hukum internasional lebih mendekati kenyataan berkenaan
dengan sifat hubungan dan masalah yang menjadi obyek bidang
hukum ini, yang pada masa sekarang tidak hanya terbatas pada
hubungan antar bangsa atau antar negara saja.

1
F. Sugeng Istanto, Hukum Internasional, Andi Offset, Jogyakarta, 1998, h. 2.
 Istilah hukum internasional tidak mengandung keberatan karena
perkataan internasional lazim dipakai untuk suatu persoalan yang
melintasi batas wilayah negara.
 Ia bermaksud mengadakan pembedaan dalam pengunaan beberapa
istilah lain dari hukum internasional, sehingga masing-masing akan
mendapatkan suatu tahap perkembangan tertentu dalam
perkembangan hukum internasional. Istilah-istilah lain hukum
internasional yang dimaksud adalah : Hukum Bangsa-Bangsa
digunakan untuk menunjukan pada kebiasaan dan aturan hukum
yang berlaku dalam hubungan antar raja-raja zaman dahulu. Karena sifat
hubungannya belum bisa dikatakan merupakan hubungan antara
anggota masyarakat bangsa-bangsa. Hukum antar bangsa atau
hukum antar negara akan dipergunakan untuk menunjuk pada
kompleks kaidah dan asas yang mengatur hubungan antara anggota
masyarakat bangsa-bangsa atau negara-negara yang kita kenal sejak
munculnya negara dalam bentuknya yang moderen sebagai negara
nasionalis.
 Hukum internasional selain mengatur hubungan antara negara
dengan subyek hukum bukan negara serta subyek hukum bukan
negara satu dengan lainnya.

Hukum transnasional merupakan prinsip-prinsip dan kaidah yang


mengatur hubungan hukum antara subyek-subyek hukum dan bersifat
lintas batas negara. Pengunaan istilah hukum transnasional karena sulit
membedakan pembagian hukum internasional dalam arti public dan privat.
Tidak mudah membedakan hukum internasional public dan hukum
internasional privat, karena dalam perkembangannya negara tidak saja
berperan di bidang hukum public tetapi juga berperan dalam lapangan
hukum privat. Oleh sebab itu, lebih tepat mengunakan istilah hukum
transnasional.

Hukum Internasional Khusus :


 Hukum internasional khusus berlaku bagi negara-negara tertentu saja.
Contohnya Konvensi Eropa mengenai Hak Asasi Manusia.
 Hukum internasional khusus diatur melalui konvensi multilateral.
Pesertanya dapat berasal dari berbagai region.

Hukum Internasional Regional :


 Hukum internasional ini berlaku terbatas pada regional tertentu.
Contohnya Hukum Internasional Amerika, Hukum Internasional
Amerika Latin.
 Adanya hukum internasional regional ini karena adanya hal-hal khusus
pada regional tertentu.
 Berlakunya hukum internasional regional tidak boleh bertentangan
dengan hukum internasional umum.
 Konsep hukum dari hukum internasional khusus dapat diterima
menjadi konsep hukum internasional umum. Contohnya konsep landas
kontinen dan konsep perlindungan kekayaan hayati laut mula-mula
tumbuh di benua Amerika.
 Menurut International Court Justice (MI) dalam Columbian Peruvin
Asylum Case 1950 antara lain menyatakan bahwa kaidah-kaidah
regional tidak perlu tunduk pada kaidah-kaidah hukum internasional
umum tetapi mungkin bisa saling mengisi atau berkaitan satu dengan
lainnya. Suatu pengadilan internasional harus, sepanjang menyangkut
negara-negara dalam wilayah khusus berkait, memberlakukan kaidah-
kaidah regional tersebut sepanjang benar-benar terbukti memenuhi
syarat dari pengadilan.

Hukum Internasional Dan Hukum Dunia (World Law, Welfstaats recht)


 Kedua pengertian ini menunjukan pada konsep tertib hukum
masyarakat dunia yang berlainan pangkal tolaknya.
 Hukum internasional di dasarkan atas pikiran adanya masyarakat
internasional yang terdiri dari negara-negara merdeka dan berdaulat,
sederajat, berdiri sendiri. Tidak ada badan yang bersifat supranasional
yang berdiri di atas negara-negara. Adanya tertib hukum koordinasi
antara anggota masyarakat internasional. Anggota masyarakat
internasional tunduk pada hukum internasional sebagai suatu tertib
hukum yang mereka terima sebagai perangkat kaidah dan asas yang
mengikat hubungan mereka.
 hukum dunia dipengaruhi oleh analogi hukum tata negara. Hukum
dunia merupakan semacam negara dunia yang meliputi semua negara
di dunia (semacam negara federal). Negara dunia secara hirarkhi
berdiri diatas negara-negara nasional. Tertib hukumnya adalah sub
ordinasi.

Masyarakat Internasional Dan Hukum Internasional


Pada hakekatnya, adanya hukum internasional, maka terlebih
dahulu ada masyarakat internasional sebagai landasan sosiologisnya.
Pada kenyataannya, setiap negara saling berhubungan satu sama lain
untuk memenuhi kebutuhannya, salah satunya adalah kebutuhan untuk
hidup berdampingan secara teratur. Menurut hukum alam, kebutuhan
hidup bersama dan teratur ini merupakan penjelmaan dari ratio dan naluri
untuk mempertahankan jenisnya. Untuk mengatur, menertibkan dan
memelihara hubungan-hubungan antara bangsa atau negara itu
diperlukan perangkat hukum, yaitu hukum internasional. 2

2
Mochtar Kusumaatmaja dan Etty R. Agoes, 2003, Pengantar Hukum Internasional,
Alumni, Bandung h. 12-15.
Kedaulatan Negara Dan Hukum Internasional
Kedaulatan suatu negara memiliki arti terbatas, artinya kekuasaan
tertinggi dari suatu negara hanya berlaku dalam batas-batas territorial
suatu negara dan kekuasaan itu mulai berakhir dengan dimulainya
kekuasaan dari negara lain. Tunduknya negara yang berdaulat pada
pergaulan masyarakat internasonal merupakan syarat mutlak bagi
terciptanya masyarakat internasinal yang teratur. Kehidupan masyarakat
internasional yang tertib dan teratur hanya mungkin dengan adanya
hukum internasional.3

Pengertian Hukum Internasional

J.G. Starke :
Hukum internasional adalah keseluruhan hukum yang untuk sebagian
besar dari prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah berprilaku yang terhadapnya
negara-negara merasa dirinya terikat untuk mentaati dan karenanya
benar-benar ditaati secara umum dalam hubungan-hubungan mereka satu
sama lain, dan juga meliputi :
a. Kaidah-kaidah hukum yang berkaitan dengan berfungsinya lembaga-
lembaga atau organisasi-organisasi internasional, hubungan mereka
satu sama lain, dan hubungan mereka dengan negara-negara dan
individu.
b. kaidah-kaidah tertentu yang berkaitan degan individu-individu dan
badan-badan non negara sejauh hak-hak dan kewajiban individu dan
badan non negara tersebut penting bagi masyarakat internasional.

Definisi J.G. Starke ini lebih luas dibandingkan dengan definisi tradisional
mengenai pengertian hukum internasional. Dari pengertian hukum
internasinal itu, maka :
 Subyek hukum internasional bukan saja negara tetapi juga individu,
organisasi internasional, subyek hukum bukan negara (non states
entitis).
 Subtansi yang diatur hukum internasional adalah prinsip dan aturan
mengenai
- negara, negara-negara, misalnya negara sebagai subyek hukum
internasional, syarat-syarat terbentuknya negara, hak dan
kewajiban negara, berakhirnya negara.
- hubungan antar negara, perjanjian internasional, hubungan
diplomatic, hubungan konsuler dan hubungan lainnya.
- organisasi internasional dan hubungannya dengan subyek hukum
lainnya dan sesama organisasi internasional.
- individu dan subyek bukan negara.

3
Ibid, h. 19-20.
Mochtar Kusumaatmadja :
Hukum internasional adalah keseluruhan kaidah dan asas yang mengatur
hubungan atau persoalan yang melintasi batas negara, antara negara
dengan negara, negara dengan subyek hukum lain bukan negara satu
sama lain.
Beberapa faktor yang mempengaruhi perkembangan hukum
internasional adalah :
1. Meningkatnya jumlah negara baru akibat proses dekolonisasi. Negara
maju berharap hukum internasional tetap mengakomodasi dan
menjaga kepentingan mereka, sedangkan negara-negara yang baru
merdeka, umumnya negara berkembang, menghendaki adanya
perubahan mendasar dalam hukum internasional agar mencerminkan
nilai-nilai yang dianut oleh mayoritas masyarakat dunia.
2. Munculnya berbagai organisasi internasional. Organisasi internasional
banyak mengeluarkan aturan-aturan hukum internasional yang
mengikat, baik lingkup regional maupun universal bagi anggotanya.
3. Diakuinya individu sebagai subyek hukum internasional dalam arti
terbatas, seperti dalam peradilan Nurenberg dan Tokyo atas
kejahatan-kejahatan perang.
4. Perkembangan teknologi dan komunikasi.
5. Muncul dan berperannya NGO dan perusahaan transnasional dalam
pergaulan masyarakat internasional.
6. Era globalisasi yang ditandai oleh transaksi bisnis antar negara;
tekanan-tekanan dari negara maju terhadap negara berkembang di
bidang ekonomi; pemanfaatan hukum internasional oleh negara maju
untuk kepentingan mereka semata.
7. Munculnya isu-isu secara global mengenai demokrasi, HAM,
lingkungan hisup, terorisme yang banyak mempengaruhi hukum
internasional.4

B. SEJARAH PERKEMBANGAN HUKUM INTERNASIONAL DARI MASA


KLASIK HINGGA MASA MODEREN

A. Pendahuluan
Terdapat hubungan yang erat antara hukum internasional dengan
masyarakat internasional. Menurut Mochtar Kusumaatmaja bahwa ”untuk
menyakini adanya hukum internasional maka harus ada pula masyarakat
internasional sebagai landasan sosiologis”. Pada bagian lain
dikemukakan juga bahwa ”...Hukum internasional dalam arti luas,
termasuk hukum bangsa-bangsa, maka sejarah hukum internasional itu
telah berusia tua. Akan tetapi bila hukum internasional diartikan sebagai
perangkat hukum yang mengatur hubungan antar negara, maka sejarah
hukum internasional itu baru berusia ratusan tahun...” 5

4
Sefriani, 2016, Hukum Internasional Suatu Pengantar, RajaGrafindo Persada, Jakarta,
h. 19-20.
5
Mochtar Kusumaatmaja dan Etty R. Agoes, Op. Cit., h. 25.
Pendapat serupa juga dikemukakan olej J.G. Starke bahwa
pengungkapan sejarah sistem hukum internasional harus dimulai dari
masa paling awal, karena justru pada periode kuno kaidah-kaidah yang
mengatur hubungan antar masyarakat internasional berupa adat istiadat.
Traktat, kekebalan duta besar, peraturan perang ditemukakan sebelum
lahirnya agama Kristen di India dan Mesir Kuno. Di Cina kuno ditemukan
aturan penyelesaian melalui arbitrase dan mediasi. Demikian juga di
Yunani kuno dan Romawi kuno. Sedangkan sistem hukum internasional
merupakan suatu produk dari empat ratus tahun terakhir ini. Pada
mulanya berupa adat istiadat dan praktek-praktek negara Eropa moderen
dalam hubungan dan komunikasi antar mereka dan adanya bukti-bukti
pengaruh dari para ahli hukum pada abad ke enambelas, tujuhbelas dan
delapan belas. Lagi pula hukum internasional masih diwarnai oleh
konsep-konsep kedaulatan nasional, kedaulatan teritorial, konsep
kesamaan penuh dan kemerdekaan negara-negara yang meskipun
memperoleh kekuatan dari teori-teori politik yang mendasari sistem
ketatanegaraan Eropa moderen juga dianut oleh negara-negara non
Eropa yang baru muncul6.
Dengan demikian sejarah hukum internasional sama tuanya dengan
adanya masyarakat internasional meskipun dalam taraf tradisional yang
berbeda dengan masyarakat internasional dalam arti moderen.
Dengan mengunakan kedua pendekatan di atas, sejarah
perkembangan hukum internasional dalam pembahasan ini akan dimulai
pada masa klasik, yaitu masa India kuno, Mesir kuno, Cina Kuno, Yunani
Kuno, Romawi Kuno; kemudian pada masa abad pertengahan yaitu abad
15 dan 16; Masa Hukum Internasional Moderen, yaitu pada abad 17, abad
18, abad 19, abad ke 20 dan hingga dewasa ini.
Dalam penulisan makalah ini mengunkan metode yuridis normatif
dengan pendekatan sejarah. Bahan-bahan pustaka yang dipergunkan
adalah ketentuan hukum internasional yang termuat dalam perjanjian
internasional (traktat, konvensi), buku-buku hukum internasional dan
praktek pengadilan internasionl. Dari bahan-bahan tersebut kemudian
diolah dan dianalisa secara deskriftif analitis. Sehubungan dengan
pengunaan metode sejarah ini, Jawahir Tontowi dan Pranoto Iskandar
menyatakan bahwa ”Hukum internasional publik sangat terkait dengan
pemahaman sejarah. Melalui pendekatan sejarah ini, tidak sekedar proses
evolusi perkembangan hukum internasional dapat diruntut secara faktual
kronologis, melainkan juga seberapa jauh kontribusi setiap zaman bagi
perkembangan hukum internasional”.7

B. Hukum Internasional Klasik


1. India Kuno
Dalam kebudayaaan India kuno terdapat kaidah dan lembaga
6
J.G. Starke,2001, Pengantar Hukum Internasional, Sinar Grafika, Jakarta, h. 8.
7
Jawahir Tontowi dan Pranoto Iskandar; 2006, Hukum Internasional Kontemporer, Refika
Aditama, Jakarta, h. 29.
hukum yang mengatur hubungan antara kasta, suku bangsa dan raja-raja.
Menurut Bannerjce, adat kebiasaan yang mengatur hubungan antar
raja, yang disebut Desa Dharma. Gautama Sutera dan undang-undang
Manu memuat tentang hukum kerajaan. Hukum yang mengatur
hubungan antar raja-raja pada masa itu tidak dapat dikatakan sebagai
hukum internasional, karena belum ada pemisahan dengan agama, soal-
soal kemasyarakatan dan negara. Namun tulisan-tulisan pada waktu itu
sudah ada menunjukkan ketentuan-ketentuan yang mengatur hubungan
antara raja atau kerajaan, seperti ketentuan yang mengatur kedudukan
utusan raja dan hak istimewa utusan raja, perjanjian dengan kerajaan lain,
serta ketentuan perang dan cara berperang 8.
2. Cina Kuno
Cina memperkenalkan nilai-nilai etika dalam proses pembelajaran
untuk kelompok-kelompok berkuasa. Pembentukan sistim kekuasaan
negara yang bersifat regional tributary state. Pembentukan perserikatan
negara-negara Tiongkok yang dicanangkan oleh Kong Hu Cu.
3. Yunani Kuno
Menurut Vinoggradoff, pada masa itu telah ada hukum
intermunicipal, yaitu kaidah-kaidah kebiasaan yang berlaku dalam
hubungan antar negara-negara kota, seperti ketentuan mengenai utusan,
pernyataan perang, perbudakan tawanan perang. Kaidah-kaidah
intermunicipal juga diterapkan bagi masyarakat tetangga dari negara kota.
Namun kaidah intermunicipal sangat dipengrauhi oleh pengaruh agama,
sehingga tidak ada pemisahan yang tegas antara hukum, moral, keadilan,
dan agama 9.
Pembedaan golongan penduduk Yunani menjadi 2 (dua) yaitu :
orang Yunani dan orang bukan Yunani (Barbar). Pada masa itu juga,
telah dikenal ketentuan perwasitan dan wakil-wakil dagang (konsul).
Sumbangan yang terpenting bagi hukum internasional adalah konsep
hukum alam, konsep ini kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh orang-
orang Romawi 10.
4. Romawi Kuno
Pada masa Romawi kuno, hukum yang mengatur hubungan antar
kerajaan tidak mengalami perkembangan karena masyarakat bangsa-
bangsa adalah satu imperium, yaitu Imperium Romawi. Sumbangan
utama bangsa Romawi bagi perkembangan hukum pada umumnya dan
sedikit sekali bagi perkembangan hukum internasional. Pada masa
Romawi ini diadakan pembedaan antara Ius Naturale dan Ius Gentium.
Ius Gentium (hukum masyarakat) menunjukkan hukum yang merupakan
sub dari hukum alam (Ius Naturale). Pengertian Ius Gentium hanya dapat
dikaitkan dengan dunia manusia sedangkan Ius naturale (hukum alam)
meliputi seluruh penomena alam. Sumbangan bangsa Romawi terhadap
hukum pada umumnya yaitu dengan adanya the Corpus Juris Civilis,
8
Mochtar Kusumaatmaja dan Etty R. Agoes, Op. Cit., h. 26.
9
J.G. Starke, Op. Cit, h. 9.
10
Ibid, h. 27.
pada masa Kaisar Justinianus. Konsep-konsep dan asas-asas hukum
perdata yang kemudian diterima dalam hukum internasional seperti
occupation, servitut, bona fides, pacta sunt servanda.
Pada masa kekuasaan Romawi, hukum internasional tidak
mengalami perkembangan Hal ini disebabkan karena adanya Imperium
Romawi Suci (Holly Roman Empire), yang tidak memungkinkan timbulnya
suatu bangsa merdeka yang berdiri sendiri, serta adanya struktur
masyarakat Eropa Barat yang bersifat feodal, yang melekat pada hierarki
otoritas yang menghambat munculnya negara-negara merdeka, oleh
karenanya tidak diperlukan hukum yang mengatur hubungan antar
bangsa-bangsa.11

C. Masa Abad Pertengahan


1. Hukum Internasional Pada Abad ke 15 dan 16
Pada masa abad pertengahan atau biasa disebut sebagai the Dark
Age (masa kegelapan), hukum alam mengalami kemajuan kembali melalui
transformasi di bawah gereja. Peran keagamaan mendominasi sektor-
sektor sekuler. Sistim kemasyarakatan di Eropa pada waktu itu terdiri dari
beberapa negara yang berdaulat yang bersifat feodal dan Tahta Suci.
Pada masa itu muncullah konsep perang adil sesuai dengan
ajaran Kristen, yang bertujuan untuk melakukan tindakan yang tidak
bertentangan dengan ajaran gereja. Selain itu, beberapa hasil karya ahli
hukum memuat mengenai persoalan peperangan, seperti Bartolo yang
menulis tentang tindakan balas yang seimbang (reprisal), Honore de
Bonet menghasilkan karya The Tree of Battles tahun 1380 12.
Meskipun pada abad pertengahan hukum internasional tidak
mengalami perkembangan yang berarti, sebagai akibat besarnya
pengaruh ajaran gereja, tetapi negara-negara yang berada di luar
jangkuan gereja seperti di Inggris, Perancis, Venesia, Swedia, Portugal,
benih-benih perkembangan hukum internasional mulai bermunculan.
Traktat-traktat yang dibuat oleh negara lebih bersifat mengatur
peperangan, perdamaian, gencatan senjata dan persekutuan-
persekutuan.
Melemahnya kekuasaan gereja yang ditandai dengan upaya
sekulerisasi, seperti yang dilakukan oleh Martin Luther sebagai tokoh
reformis gereja, dan seiring dengan mulai terbentuknya negara-negara
moderen. Misalnya, Jean Bodin dalam Buku Six Livers De la
Republique 1576, mengemukakan bahwa kedaulatan atau kekuasaan
bagi pembentukan hukum merupakan hak mutlak bagi lahirnya
entitas suatu negara.
Pada akhir abad pertengahan ini, hukum internasional digunakan
dalam isu-isu politik, pertahanan dan militer. Hukum mengenai

11
Ibid, h. 8-9.
12
Jawahir Tontowi dan Pranoto Iskandar, Op. Cit., h. 34.
pengambilalihan wilayah berkaitan dengan eksplorasi Eropa terhadap
benua Afrika dan Amerika. Beberapa ahli hukum seperti, Fransisco De
Vittoria yang memberikan kuliah di Universitas Salamanca Spanyol
bertujuan untuk justifikasi praktek penaklukan Spanyol. Ia menulis buku
Relectio de Indies, yang menjelaskan hubungan bangsa Spanyol dan
Portugis dengan bangsa Indian di benua Amerika, Di dalam buku itu juga
dikemukakan bahwa negara tidak dapat bertindak sekehendak hatinya,
dan ius inter gentes (hukum bangsa-bangsa) diberlakukan bukan saja
bagi bangsa Eropa tetapi juga bagi semua umat manusia.
Alberico Gentili, dengan hasil karyanya De Jure Belli Libri Tres
tahun 1598. Hasil pemikirannya lainnya adalah studi tentang hukum
perang, doktrin perang adil, pembentukan traktat, hak-hak budak dan
kebebasan di laut 13.
Pada abad ke l5 dan 16, telah terjadi penemuan dunia baru, masa
pencerahan ilmu dan reformasi yang merupakan revolusi keagamaan
yang telah memporakporandakan belenggu kesatuan politik dan rohani di
Eropa dan menguncangkan fundamen-fundamen umat Kristen pada abad
pertengahan.
Para ahli hukum pada abad tersebut telah mulai memperhitungkan
evolusi suatu masyarakat negara-negara merdeka dan memikirkan serta
menulis tentang berbagai macam persoalan hukum bangsa-bangsa.
Mereka menyadari perlunya serangkaian kaidah untuk mengatur
hubungan antar negara-negara tersebut. Andai kata tidak terdapat kaidah-
kaidah kebiasaan yang tetap maka para ahli hukum wajib menemukan
dan membuat prinsip-prinsip yang berlaku berdasarkan nalar dan analogi.
Mereka mengambil prinsip-prinsip hukum Romawi untuk dijadikan pokok
bahasan studi di Eropa. Mereka juga menjelaskan preseden-preseden
sejarah kuno, hukum kanonik, konsep semi teologis dan serta hukum
alam 14.Diantara penulis-penulis pelopor itu antara lain adalah Hugo De
Groot atau Grotius, Vittoria (1480-1546), Belli (1502-1575), Brunus
(1491-1563), Fernando Vasgues de Menchaca (1512-1569), dan Ayala
(1548-1617). Tulisan-tulisan para ahli hukum ini yang terpenting adalah
pengungkapan bahwa satu pokok perhatian hukum internasional pada
abad ke-16 adalah hukum perang antar negara, dan dalam kaitan Eropa
telah mulai menggunakan tentara tetap, suatu praktek yang tentunya
menyebabkan berkembang adat-istiadat dan praktek-praktek peperangan
yang seragam.
Francisco Suares (1548-1617), yang menulis buku De Legibus ae
Deo Legislatore (on Laws and Good as Legislator) yang
mengemukakan adanya suatu hukum atau kaidah objektif yang harus
diikuti oleh negara-negara dalam hubungan antar mereka. Ia juga
meletakkan dasar suatu ajaran hukum internasional yang meliputi
seluruh umat manusia.

13
Ibid, h. 35-36.
14
J.G. Starke, Op. Cit, h. 11.
Hugo De Groot atau Grotius (1583-1645), orang yang paling
berpengaruh atas keadaan hukum internasional moderen dan dianggap
sebagai Bapak Hukum Internasional. Karyanya yang terkenal adalah
buku on the law of war and peace (de jure Belli ac Pacis) tahun 1625.
Hasil karyanya itu menjadi karya acuan bagi para penulis selanjutnya
serta mempunyai otoritas dalam keputusan-keputusan pengadilan.
Sumbangan pemikirannya bagi perkembangan hukum internasional
adalah pembedaan antara hukum alam dengan hukum bangsa-bangsa.
Hukum bangsa-bangsa berdiri sendiri terlepas dari hukum alam, dan
mendapatkan kekuatan mengikatnya dari kehendak negara-negara itu
sendiri. Beberapa doktrin Grotius bagi perkembangan hukum internasional
moderen adalah pembedaan antara perang adil dan tidak adil, pengakuan
atas hak-hak dan kebebasan-kebebasan individu, netralitas terbatas,
gagasan tentang perdamaian, konferensi-konferensi periodik antara
pengusa-penguasa negara serta kebebasan di laut yang termuat dalam
buku Mare Liberium tahun 1609.
Samuel Pufendorf (1632-1694) dalam buku De Jure Nature Et
Gentium menyatakan bahwa hukum internasional dibentuk atas dasar
hak-hak alamiah universal dan perang sebagai alat hanya dapat
disahkan melalui syarat-syarat yang ketat. Zouche (1590-1660),
penganut aliran positivisme, lebih memberikan perhatian pada hukum
internasional dalam keadaan damai dari pada hukum perang 15.

D. Hukum Internasional Moderen


D.1 Pada abad ke 17 dan 18
Hukum bangsa-bangsa mempunyai nama baru sebagai hukum
internasionl, oleh Jeremy Bentham 16. Pengertian baru ini berpengaruh
pada isi hukum internasional itu sendiri, yaitu adanya pemisahan antara
persoalan domestik dengan internasional. Pembedaan ini sebagai akibat
munculnya konsep kedaulatan dari perjanjian the Peace of Westphalia
yang ditujukan untuk mengakhiri perang antar kelompok antar agama
yang berlangsung lebih dari 30 tahun di Eropa 17. Menurut Mochtar
Kusumaatmaja, perdamaian Westphalia dianggap sebagai peristiwa
penting dalam sejarah hukum internasional moderen dan meletakkan
dasar-dasar masyarakat moderen. Bentuk negara-negara tidak lagi
berdasarkan kerajaan tetapi didasarkan atas negara-negara nasional,
serta adanya pemisahan antara gereja dengan urusan pemerintahan.
Dasar-dasar perjanjan Westphalia kemudian diperkuat lagi dengan
adanya perjanjian Utrecht, yaitu dengan menerima asas keseimbangan
kekuatan sebagai asas politik internasional18.
Ada kecendrungan dari para ahli hukum untuk lebih mengemukakan
kaidah-kaidah hukum internasional terutama dalam bentuk traktat dan

15
Jawahir Tontowi dan Pranoto Iskandar; Op. Cit., h. 39.
16
Ibid, h.34.
17
Ibid, h. 40.
18
Mochtar Kusumaatmaja dan Etty R. Agoes, Op. Cit., h. 30,32.
kebiasaan dan mengurangi sedikit mungkin hukum alam sebagai sumber
dari prinsip-prinsip tersebut 19. Para penulis terkemuka pada abad ke 17
dan 18 antara lain : Cornelis Van Bynkershoek (1673-1743), yang
mengemukakan pentingnya actual practice dari negara-negara dari pada
hukum alam. Sumbangan pemikiran lainnya teori tentang hak dan
kewajiban dari negara netral. Christian Wolf (1632-1694),
mengemukakan teori mengenai Civitas Maxima yang sebagai negara
dunia meliputi negara-negara dunia. Von Martens (1714-1767), dalam
Receuil des Traites yaitu suatu kumpulan perjanjian yang masih
merupakan suatu kumpulan berharga hingga sekarang. Emmerich De
Vattel (1714-1767) memperkenalkan prinsip persamaan antar negara-
negara.

D.2. Pada abad ke 19


Hukum internasional berkembang lebih jauh lagi. Beberapa faktor
yang mempengaruhi perkembangan ini adalah adanya kebangkitan
negara-negara baru, baik di dalam maupun di luar benua Eropa,
Modernisasi sarana angkutan dunia, penemuan-penemuan baru, terutama
di bidang persenjataan militer untuk perang. Kesemuanya itu
menimbulkan kebutuhan akan adanya sistem hukum internasional yang
bersifat tegas untuk mengatur hubungan-hubungan internasional tersebut.
Pada abad ini juga mengalami perkembangan kaidah-kaidah tentang
perang dan netralitas, serta meningkatnya penyelesaian perkara-perkara
internasional melalui lembaga Arbitrase internasional. Praktek negara-
negara juga mulai terbiasa dengan pembuatan traktat-traktat untuk
mengatur hubungan-hubungan antar negara. Hasil karya para ahli hukum,
lebih memusatkan perhatian pada praktek yang berlaku dan
menyampingkan konsep hukum alam, meskipun tidak meninggalkan pada
reason dan justice, terutama apabila sesuatu hal tidak diatur oleh traktat
atau kebiasaan20. Para ahli hukum yang terkemuka pada masa ini antara
lain : Henry Wheaton, menulis buku Elements of International Law;
De Martens, menulis buku yang semata-mata didasarkan atas
praktek negara-negara tidak menurut hukum alam; Kent, Kluber,
Philimore, Calvo, Fiore, Hall.
Berdirinya organiasi internasional yang menampung para ahli hukum
internasional adalam wadah the Law International Association dan Institut
De Droit International. Hukum internasional juga menjadi objek studi
dalam skala yang luas dan memungkinkan penaganan persoalan
internasional secara lebih profesional.

D.3. Abad ke 20 dan Dewasa ini


Hukum internasional mengalami perkembangan yang cukup penting
Pada abad ini mulai dibentuk Permanent of Court Arbitration pada
Konferensi Hague 1899 dan 1907. Pembentukan Permanent Court of
19
J.G. Starke, Op. Cit., h.13.
20
Ibid, h. 8.
International Justice sebagai pengadilan yudicial internasional pada
tahun 1921, pengadilan ini kemudian digantikan oleh International Court of
Justice tahun 1948 hingga sekarang. Terbentuk juga organisasi
internasional yang fungsinya menyerupai pemerintahan dunia untuk
tujuan perdamaian dan kesejahteraan umat manusia, seperti Liga Bangsa
Bangsa, yang kemudian digantikan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Adanya perluasan ruang lingkup traktat multiulateral tidak saja dibidang
sosial ekonomi tetapi juga mencakup perlindungan hak-hak dan
kebebasan-kebebasan fundamental individu. Para ahli hukum
internasional lebih memusatkan perhatian pada praktek-praktek dan
putusan-putusan pengadilan21.
Sejalan dengan perkembangan dalam masyarakat moderen, maka
hukum internasional dituntut agar dapat mengatur mengenai energi
nuklir dan termonuklir, perdagangan internasional. Pengangkutan
internasional melalui laut, pengaturan ruang angkasa di luar atmosfir dan
di ruang kosmos, pengawasan lingkungan hidup, menetapkan rezim baru
untuk eksplorasi dan eksploitasi sumber-sumber daya alam di dasar laut
di luar batas-batas teritorial, sistim jaringan informasi dan pengamanan
data-data komputer serta terorisme internasional22.
Beberapa persoalan hukum internasional yang kerap kali timbul
dalam hubungan internasional antara lain adalah klaim ganti kerugian
yang menimpa warga negara suatu negara di negara lain, penerimaan
dan pengusiran warga asing oleh suatu negara, persoalan nasionalitas,
pemberlakuan extrateritorial beberapa perundangan nasional, penafsiran
perjanjian internasional, serta pemberlakuan suatu perjanjian yang rumit
diberlakukan sebagian besar negara di bidang perdagangan, keuangan,
pengangkutan, penerbangan, energi nuklir. Pelanggran hukum
internasional yang berakibat perang, perlucutan senjata dan perdagangan
senjata ilegal23. Berbagai persoalan di atas menunjukkan bahwa hukum
internasional tetap diperlukan untuk mengatasi berbagai persoalan yang
terjadi dalam hubungan internasional. Hukum internasional diharapkan
dapat mengatur dan memberikan penyelesaian hukum yang tepat dan
adil sehingga dapat diakui dan diterima oleh negara-negara atau pihak-
pihak yang bertikai, tidak bertentangan dengan perundangan nasional
suatu negara, dalam suatu tatanan sistim hukum internasional yang
bersifat global.

C. DASAR-DASAR BERLAKUNYA HUKUM INTERNASIONAL

Apakah hukum internasional merupakan ketentuan hukum yang


ditaati dan mengikat negara atau bangsa dalam masyarakat internasional.
Dalam hal ini terdapat 2 pendapat :

21
Ibid, h.14-15.
22
Ibid, h.16.
23
Ibid, h.18.
1. Hukum internasional bukan hukum. Penganut aliran ini seperti Hobbes,
Spionoza, John Austin.

Menurut John Austin, hukum internasional bukan hukum melainkan


himpunan kaidah perilaku yang hanya mempunyai kekuatan moral
belaka atau positive international morality (moralitas internasional
positip). Pandangannya itu dilatar belakangi oleh teori mengenai
hukum pada umumnya. Menurutnya hukum adalah kaidah yang
dihasilkan oleh keputusan formal dari badan legislative yang berdaulat.
Apabila bukan berasal dari badan legislative, maka ia disebut moral
atau etika.
2. Hukum internasional adalah hukum.
Menurut Oppenheim, hukum internasional adalah hukum yan
sesungguhnya (really law). Sebagai hukum yang sesunguhnya, ada 3
(tiga) syarat yang harus dipenuhi, yaitu :
a. Adanya aturan hukum. Dalam kehidupan sehari-hari banyak
ditemukan aturan hukum internasional yang mengatur berbagai
kehidupan dalam masyarakat internasional.
b. Adanya masyarakat internasional. Masyarakat internasional itu
adalah negara-negara dalam lingkup bilateral, trilateral, regional
dan universal.
c. Adanya jaminan pelaksanaan dari luar atas aturan itu. Jaminan
pelaksanaan itu dapat berupa sanksi yang berasal dari negara lain,
organisasi internasional ataupun pengadilan internasional. Wujud
sanksi itu berupa permintaan maaf (satisfication), ganti rugi
(compensation/pecuniary), dan pemulihan pada keadaan semula
(repatriation). Selain itu, adapula sanksi yang wujudnya kekerasan
seperti pemutusan hubungan diplomatic, pembalasan, embargo,
perang.24
Bagaimana hukum internasional itu mengikat. Untuk menjawab
pertanyaan ini terdapat beberapa teori :
a. Teori hukum alam (Grotius , Emerich Vattel). Menurut aliran ini
hukum internasional adalah bagian dari hukum alam yang
diberlakukan dalam hubungan antar bangsa.
b. Teori kehendak negara (Voluntaris).
- Menurut faham Hegel, hukum internasional mengikat karena
negara sendiri menghendakinya
- G. Jellineak, Selbst Limitation Theorie : Negara sendiri
menghendaki untuk terikat pada hukum internasional.
- Zorn, Auszeres Staatrecht : hukum internasional adalah hukum
tata negara yang mengatur hubungan luar negeri.
- Triepel, Vereinbarung Theorie: hukum internasinal mengikat
karena kehendak bersama-sama dari negara-negara untuk
terikat dan tunduk pada hukum internasional.

24
Sefriani, Op. Cit., h. 6.
c. Aliran Objektivitas. Kekuatan mengikatnya hukum internasional
karena norma hukumnya, bukan karena kehendak negara.
- Mazhab Wiena, mengikatnya hukum internasional karena adanya
kaidah yang lebih tinggi (grond norm). Menurut Hans Kelsen,
kaidah dasar hukum internasional adalah pacta sunt servanda.
d. Mazhab Perancis. Dasar mengikatnya hukum internasional karena
fait social (fakta kemasyarakatan), yaitu faktor biologis, social dan
sejarah.

Menurut Dixon beberapa bukti bahwa masyarakat internasional


mengakui dan mentaati adanya hukum internasional adalah :
a. Hukum internasional banyak dipraktekkan oleh pejabat-pejabat luar
negeri, pegawai asing, pengadilan nasional dan organisasi
internasional.
b. Negara-negara yang melanggar hukum internasional dalam praktek
tidak mengatakan bahwa mereka melanggar hukum karena hukum
internasional tidak mengikat mereka. Praktek negara-negara tersebut
senantiasa mencari argumentasi hukum untuk menjustifikasi atas
perbuatan mereka.
c. Mayoritas negara mematuhi hukum internasional. Jumlah pelanggaran
terhadap hukum internasional lebih sedikit dibandingkan dengan
ketaatan yang terjadi.
d. Adanya lembaga-lembaga penyelesaian hukum seperti arbitrase dan
pengadilan internasional yang senantiasa mengunakan argumentasi-
argumentasi hukum dalam penyelesaian sengketa yang ditanganinya.
e. Dalam praktek hukum internasional dapat diterima dan diadaptasi ke
dalam hukum nasional negara-negara. Tidak ada satupun suatu
negara membuat hukum nasionalnya tanpa melihat kaidah hukum
internasional yang ada.25

Beberapa faktor yang menyebabkan lemahnya penegakkan hukum


internsional adalah :
1. Kurangnya institusi-institusi formal penegak hukum :
- Tidak adanya polisi yang siap sedia mengawasi dan menindak
pelanggar hukum internasional.
- Meskipun ada jaksa dan hakim pada pengadilan internasional,
namun mereka tidak memiliki otoritas memaksa negara pelanggar
secara langsung, sebagaimana lazimnya pada pengadilan
internasional.
- Tidak adanya pengadilan internasional yang memiliki yurisdiksi
wajib.

25
Ibid, h. 7-8.
2. Tidak jelasnya aturan-aturan hukum internasional yang ada sehingga
mendukung terjadinya berbagai penafsiran dan menyebabkan
kurangnya kepastian hukum.26

D. HUBUNGAN ANTARA HUKUM INTERNASIONAL


DENGAN HUKUM NASIONAL

Terdapat 2 (dua) aliran mengenai hubungan antara hukum


internasional dengan hukum nasional, yaitu :
1. Aliran Voluntaris, berlakunya hukum internasonal karena kehendak
negara.
2. Aliran Objektivitas, berlakunya hukum internasional bukan karena
kemauan negara.

Sesuai pandangan dari aliran voluntais ini, maka hukum nasional dan
hukum internasional adalah dua perangkat hukum yang hidup
berdampingan dan terpisah. Hal ini kemudian melahirkan aliran
Dualisme. Sedangkan menurut aliran objektivitas, maka antara hukum
nasional dan hukum internasional adalah dua bagian dari satu kesatuan
perangkat hukum. Sesuai pandangan dari aliran ini kemudian melahirkan
aliran Monoisme.

Aliran Dualisme :
Penganut aliran ini seperti Triepel dan Anzilotti.
Menurut paham dualisme, yang bersumber pada teori daya ikat hukum
internasional bersumber pada kemauan negara, hukum internasional dan
hukum nasional merupakan dua sistim atau perangkat hukum yang
terpisah satu dengan lainnya. Sebagai alasannya :
- Hukum nasional dan hukum internasional mempunyai sumber yang
berlainan. Hukum internasional dan hukum nasional memiliki sumber
yang berbeda. Hukum nasional bersumber pada kemauan negara.
Hukum internasional pada kemauan bersama masyarakat antar
bangsa.
- Subyek hukumnya berlainan. Subyek hukum nasional adalah orang
perorangan, baik untuk hukum perdata maupun hukum publik.
Sedangkan subyek hukum internasional adalah negara.
- Sebagai tata hukum berbeda pula dalam hal strukturnya. Lembaga
yang diperlukan untuk melaksanakan hukum dalam kenyataannya
seperti mahkamah dan organ eksekutif hanya ada dalam bentuk yang
sempurna dalam lingkungan hukum nasional. Dalam kenyataannya
pula, hukum nasional berlaku efektif sekalipun bertentangan dengan
hukum internasional.

Pandangan Dualisme ini menimbulkan akibat :

26
Ibid, h. 18.
- Tidak ada hirarkhi antara hukum nasional dengan hukum
internasional, karena pada hakekatnya kedua perangkat hukum itu
tidak tergantung satu sama lainnya, melainkan terlepas satu sama
lainnya.
- Tidak mungkin ada pertentangan antara kedua perangkat hukum itu,
yang mungkin hanya penunjukan (renvoi).
- Ketentuan hukum internasional memerlukan transformasi menjadi
hukum nasional sebelum dapat berlaku dalam lingkungan hukum
nasional.

Kelemahan dari aliran Dualisme ini :


- Sumber hukum nasional dan hukum internasional berasal dari
kemauan negara. Hukum itu ada dan diberlakukan oleh kehidupan
manusia yang beradab. Tanpa hukum kehidupan yang teratur tidak
mungkin terjadi. Demikian juga pada hukum internasional, daya ikat
hukum itu merupakan prasyarat kehidupan manusia yang teratur dan
beradab sehingga disebabkan oleh kebutuhan manusia bermasyarakat
yang hakiki yang tak dapat dielakan.
- Mengenai subyek hukumnya. Dalam satu lingkungan hukum dapat
saja subyek hukumnya berlainan, karena itu dalam hukum nasional
ada pembagian hukum publik dan hukum perdata. Tidak benar pula
subyek hukum internasional itu hanya negara, karena individu dapat
menjadi subyek hukum internasional.
- Struktur hukum. Perbedaan struktur hukum di lingkungan hukum
nasional dan hukum internasional tidak bersifat prinsip tetapi hanya
gradual saja, yaitu hanya perbedaan pada taraf integritas dari
masyarakat nasional dengan masyarakat internasional.

Aliran Monoisme :
- Didasarkan atas pemikiran adanya kesatuan hukum dari seluruh
hukum yang mengatur kehidupan manusia.
- Menurut aliran ini, hukum nasional dan hukum internasional adalah
dua bagian dari kesatuan yang lebih besar, yaitu hukum yang
mengatur kehidupan manusia.
- Ada hirarkhi antara hukum nasional dengan hukum internasional. Hal
ini kemudian menimbulkan dua pandangan yang berbeda yaitu
menganggap hukum nasional yang utama (Paham monoisme
dengan primat hukum nasional) dan paham yang beranggapan
hukum internasional yang utama (Paham monoisme primat hukum
internasional)

Paham Monoisme dengan primat hukum nasional :


o Hukum internasional adalah lanjutan dari hukum nasional atau hukum
nasional untuk urusan luar negeri (auzeres staatrecht). Aliran ini di
Jerman disebut mazhab Bonn (Max wenzel).
o Hukum internasional bersumber dari hukum nasional, dengan alasan :
 Tidak ada satupun organisasi diatas negara-negara yang mengatur
kehidupan negara-negara di dunia ini.
 Dasar hukum internasional yang mengatur hubungan internasional
terletak dalam wewenang negara untuk mengadakan perjanjian
internasional, jadi wewenangnya konstitusional.
o Kelemahan aliran ini adalah :
 Hukum hanya tertulis. Sebagai hukum internasional hanya semata-
mata bersumberkan pada perjanjian internasional.
 Paham monosime primat hukum nasional ini menyangkal terhadap
keberadaan hukum internasional. Sebabnya, terikatnya hukum
internasional tergantung pada hukum nasional, yaitu tergantung
pada kemauan negara. Keterikatan ini dapat ditiadakan bila negara
itu tidak ingin lagi terikat dengan hukum internasional. Dalam hal ini
pemikiran aliran monoisme ini tidak jauh beda dengan pemikiran
dari aliran Dualisme.

Paham Monoisme dengan primat hukum Internasional :


o Hukum nasional bersumber pada hukum internasional.
o Hukum internasional berkedudukan lebih tinggi dari hukum nasional.
o Hukum nasional mengikat pada hukum internasional karena
berdasarkan pendelegasian wewenang dari hukum internasional.
o Paham ini dikembangkan oleh mazhab Wiena, seperti Kunz, Hans
Kelsen, Verdross, serta di Perancis, seperti Duguit, Scelle.
o Kelemahan dari paham ini adalah :
 Pandangan yang menyatakan bahwa hukum nasional bergantung
pada hukum internasional, juga mengenai kekuatan berlakunya,
bertentangan dengan fakta sejarah, bahwa hukum nasional lebih dulu
ada dibandingan dengan hukum internasional.
 Hukum nasional kekuatan mengikatnya dari hukum internasional
bertentangan pula dengan kenyataan, bahwa kewenangan negara
nasional sepertinya wewenang hukum nasional.

Primat Hukum Internasional Dalam Praktek Internasional


o Hukum nasional tunduk pada hukum internasional.
o Hukum internasional umumnya ditaati oleh negara-negara dalam
masyarakat internasional, contohnya : setiap negara menghormati
batas-batas negaranya dengan negara lain, perlindungan terhadap
orang asing dan harta milik asing

E. SUMBER-SUMBER HUKUM INTERNSIONAL

Terdapat 2 (dua) pengertian sumber hukum yaitu :


1. Sumber hukum materil adalah faktor-faktor yang menentukan isi
ketentuan hukum yang berlaku. sumber hukum materil ini adalah
prinsip-prinsip yang menentukan isi ketentuan hukum yang berlaku.
2. Sumber hukum formil adalah faktor-faktor yang menjadikan ketentuan
menjadi ketentuan hukum yang berlaku umum atau dengan kata lain
sumber hukum formil merupakan proses yang membuat suatu
ketentuan menjadi ketentuan hukum yang positif.

Menurut J.G. Starke, sumber materil hukum internasional adalah


bahan-bahan actual dari mana seorang ahli hukum menentukan kaidah
hukum yang berlaku terhadap keadaan tertentu. Sumber hukum materil itu
berupa :
1. Kebiasaan.
2. Traktat-traktat.
3. Keputusan-keputusan pengadilan atau pengadilan arbitrasi.
4. karya-karya hukum.
5. Keputusan-keputusan atau penetapan-penetapan organ-organ lembaga
lembaga internasional.

Sumber hukum formal hukum internasional dapat ditemukan dalam pasal


7 Konvensi Den Haag XII tertanggal 18 Oktober 1907, yakni berkenaan
dengan pendirian Mahkamah Internasional Perampasan Kapal Di Laut
(International Prize Court) dan pasal 38 Piagam Mahkamah Internasional
Permanen tertanggal 18 Desember 1920, yang kini tercantum dalam pasal
38 Piagam Mahkamah Internasional yang dimuat pada Piagam PBB
tanggal 26 Juni 1945. Dari kedua sumber hukum ini, yang memiliki arti
penting bagi kita adalah ketentuan yang dimuat pada pasal 38 Piagam
Mahkamah Internasional. Sedangkan pendirian Mahkamah Perampasan
Kapal Di laut tidak dapat diwujudkan, karena tidak terpenuhinya jumlah
negara peserta untuk ratifikasi konvensi itu.

Pada pasal 38 ayat (1) Piagam Mahkamah Internasional, dalam


mengadili perkara yang diajukan kepadanya, Mahkamah Internasional
akan mempergunakan :
1. Perjanjian internasional, baik yang bersifat umum maupun khusus, yang
mengandung ketentuan hukum yang diakui secara tegas oleh negara-
negara yang bersengketa.
2. Kebiasaan internasional, sebagai bukti dari suatu kebiasaan umum
yang telah diterima sebagai hukum;
3. Prinsip hukum umum yang diakui oleh bangsa-bangsa beradab;
4. Keputusan pengadilan dan ajaran para sarjana yang paling terkemuka
dari berbagai negara sebagai sumber hukum tambahan untuk
menetapkan kaidah hukum

Ada 2 hal penting berkaitan dengan keberadaan pasal 38 Piagam


Mahkamah Internasional itu :
1. Pasal 38 piagam Mahkamah Internasional tidak secara khusus
membahas mengenai sumber-sumber hukum internasional. Pasal itu
hanya memberi petunjuk bagi hakim untuk mempertimbangkan
macam-macam sumber hukum yang dapat digunakan dalam mengadili
suatu perkara.
2. Daftar sumber hukum pada pasal 38 Piagam Mahkamah Internasional
tidak menunjukan adanya suatu hierarki.

Sesuai pasal 38 ayat (1), sumber hukum formal itu terbagi menjadi
2 yaitu sumber hukum utama (Primer) dan sumber hukum tambahan.
Sumber hukum utama berupa perjanjian internasional, kebiasaan
internasional, prinsip hukum umum. Sedangkan sumber hukum tambahan
berupa keputusan pengadilan dan ajaran para sarjana yang paling
terkemuka. Sumber hukum tambahan itu dimaksudkan untuk
membuktikan adanya kaidah hukum internasional terhadap suatu
persoalan yang di dasarkan atas sumber hukum primer. Sumber hukum
tambahan itu tidak mengikat, artinya tidak dapat menimbulkan kaidah
hukum.

Perjanjian Internasional :
- Istilah lain untuk perjanjian internasional adalah Treaty (traktat), Pact
(pakta), Charter, Convention (Konvensi), Statute (Statuta),
Declaration (Deklarasi), Protokol, Arrangement, Accord, Modus
Vivendi, Convenant, dan lain sebagainya.
- Perjanjian internasional adalah perjanjian yang diadakan antara
anggota masyarakat bangsa-bangsa dan bertujuan untuk
mengakibatkan akibat hukum tertentu. Perjanjian internasional
diadakan oleh subyek hukum internasional yang menjadi anggota
masyarakat internasional, seperti perjanjian internasional antara
negara, antara organisasi internasional, antara negara dengan
organisasi internasional.
- Klasifikasi perjanjian internasional dapat berbentuk perjanjian
internasional : Bilateral (peserta perjanjian hanya dua pihak) dan
Multilateral (peserta perjanjian dari banyak pihak). Selain itu, ada
pengolongan perjanjian internasional yang berbentuk law making
treaty (traite-lois) dan treaty contract (traite-contract). Perjanjian
internasional yang berbentuk law making treaty adalah : perjanjian
yang meletakkan ketentuan atau kaidah hukum bagi masyarakat
internasional secara keseluruhan. Sedangkan treaty contract hanya
meletakan hak dan kewajiban bagi para pihak.
- Jika ditinjau dari fungsi sebagai sumber hukum formil, maka setiap
perjanjian yang berbentuk law making treaty dan treaty contract adalah
law making, artinya menimbulkan hukum.
- Perjanjian yang berbentuk treaty contract dapat membentuk kaidah
yang berlaku umum melalui proses hukum kebiasaan.
Contohnya : Konvensi Hukum Laut PBB 1958, Konvensi Hukum Laut
PBB 1982, Konvensi Wina 1969 tentang Perjanjian Internasional,
Konvensi Wina 1961 tentang Hubungan Diplomatik, dan lain
sebagainya.
- Perjanjian internasional yang berbentuk treaty contract adalah
perjanjian internasional yang hanya mengakibatkan hak dan kewajiban
bagi para pihak yang mengadakan perjanjian.

Hukum Kebiasaan Internasional (International Customary Law)


- Hukum kebiasaan internasional adalah kebiasaan internasional yang
merupakan kebiasaan umum, yang diterima sebagai hukum.
- Menurut Dixon, hukum kebiasaan internasional berkembang dari
praktek atau kebiasaan negara-negara.
- Hukum kebiasaan internasional merupakan sumber hukum yang
tertua. Hukum kebiasaan internasional harus dibedakan dengan adat
istiadat (Usage), kesopanan internasional (International Commity) atau
persahabatan internasional (Friendship).
- Suatu kebiasaan internasional dapat menjadi sumber hukum harus
memenuhi unsur material dan unsur psikologis. Unsur materil yang
dimaksud adalah :
 Harus terdapat kebiasaan yang bersifat umum :
 Perlu adanya satu kebiasaan yaitu satu pola tindak yang
berlangsung lama, adanya tindakan serupa mengenai hal dan
keadaan serupa.
 Kebiasaan itu merupakan tindakan serupa mengenai hal dan
keadaan serupa yang bersifat umum dan berkaitan dengan
hubungan internasional
 Kebiasaan itu harus diterima sebagai hukum .
Unsur psikologis : kebiasaan internasional dirasakan memenuhi
suruhan kaidah atau kewajiban hukum (Opinio Juris Sive Necessitatis).

- Dari segi praktek, kebiasaan internasional dapat diterima sebagai


hukum apabila negara-negara tidak menyatakan keberatannya.
- Contoh kebiasaan internasional : pengunaan bendera putih sebagai
bendera parlementer dalam kondisi perang, konsep landas kontinen
dalam hukum laut internasional, dan lain-lain.

Prinsip Hukum Umum (General Principles of law Recognized By


Civilized Nation) :
- Prinsip hukum umum yang termuat pada piagam Mahkamah
Internasional (PCIJ) dimaksudkan untuk menghindari masalah Non
Liquet27 dalam suatu perkara yang dihadapkan pada hakim. Hakim
tidak boleh menolak perkara yang diajukan kepadanya dengan alasan
tidak ada hukumnya. Bila hakim tidak menemukan aturan hukum atas
suatu perkara pada perjanjian internasional atau hukum kebiasaan
internasional, maka hakim dapat mengunakan prinsip-prinsip hukum
umum. Keberadaan Prinsip hukum umum ini sangat penting bagi

27
Non Liquet adalah menolak mengadili perkara karena tidak ada hukum yang mengatur
persoalan yang diajukan.
perkembangan dan pertumbuhan hukum internasional. Demikian juga
dengan peranan Mahkamah Internasional sebagai badan yang
membentuk dan menemukan hukum baru.
- Yang dimaksud prinsip hukum umum atau asas hukum umum
(General Principles of law) adalah asas hukum yang mendasari sistim
hukum moderen, yaitu sistim hukum positif yang didasarkan atas asas
dan lembaga hukum barat yang untuk sebagian besar di dasarkan atas
asas dan lembaga hukum Romawi.
- Prinsip hukum umum berasal dari asas dari hukum pada umumnya,
sehingga dapat berupa asas hukum perdata, asas hukum
internasional, asas hukum acara, asas hukum pidana, asas hukum
lainnya.
- Contoh asas hukum umum : pacta sunt servanda, abus de droit
(penyalahgunaan hak), non intervensi, persamaan negara, dan lain
sebagainya.

Putusan Pengadilan :
- Yang dimaksud keputusan pengadilan adalah dalam arti luas,
sehingga meliputi segala macam peradilan internasional, pengadilan
nasional dan komisi arbitrase.
- Putusan pengadilan merupakan sumber hukum tambahan. Keputusan
pengadilan tidak menciptakan hukum. Keputusan pengadilan hanya
mengikat para pihaknya saja dan terhadap persoalan tertentu. Hal ini
dinyatakan pada pasal 59 Piagam Mahkamah Internasional yang
memuat asas non precedence (asas keputusan pengadilan tidak
mengikat).
- Walaupun keputusan pengadilan tidak mengikat, keputusan
pengadilan internasional, seperti Mahkamah internasional Permanen
(Permanent Court of international Justice), Mahkamah Internasional
(International Court of Justice), Mahkamah Arbitrase Permanen
(Permanent Court of Arbitration) memiliki pengaruh besar dalam
perkembangan hukum internasional.
- Keputusan pengadilan nasional dan pengadilan internasional
memainkan peranan penting dalam perkembangan hukum kebiasaan
internasional.
Contoh putusan pengadilan ini : Putusan Mahkamah Internasional
dalam kasus Anglo Norwegian Fisheries Case 1952.

Ajaran Para Sarjana Yang Terkemuka :


- Ajaran dari sarjana terkemuka (doktrin) bukanlah hukum yang
mengikat. Ajarannya tidak mengikat dan tidak menimbulkan hukum.
- Ajaran sarjana terkemuka ini, baik berupa penelitian maupun
tulisannya, dapat digunakan untuk pegangan atau pedoman untuk
menemukan apa yang menjadi hukum internasional.
- Contohnya : Panitia ahli hukum (Committee of Jurists) yang diangkat
oleh LBB tahun 1920, anggota panitia komisi hukum internasional PBB
(international law commission), Pendapat Gidel mengenai Zona
Tambahan dalam hukum laut internasional.

Keputusan Badan Perlengkapan (Organ) Organisasi Internasional Dan


Lembaga Internasional :
- Keputusan dari organisasi internasional bukanlah merupakan sumber
hukum internasional dalam arti sesungguhnya. Namun, keputusan
organisasi internasional berlaku terbatas dalam lingkungan organisasi
internasional itu sendiri dan melahirkan kaidah-kaidah yang hanya
berlaku bagi sesama anggotanya saja. Selain itu, ada pula keputusan
organisasi internasional yang mempunyai kekuatan mengikat bagi
negara-negara dan putusan organisasi internasional yang mempunyai
pengaruh yang lebih besar dari yang semestinya.
Contohnya : Keputusan dari European Economic Community,
Keputusan Majelis Umum PBB tanggal 10 Desember 1948 tentang
Pernyataan Umum Mengenai Hak-Hak Asasi Manusia, Resolusi
Majelis Umum PBB tentang Hak Menentukan Nasib Sendiri Dan
Kemerdekaan Bangsa-Bangsa.

F. SUBYEK HUKUM INTERNASIONAL

Arti subyek hukum Internasional adalah pemegang segala hak dan


kewajiban menurut hukum internasional. Subyek hukum internasional
memiliki kecakapan-kecakapan hukum yang utama untuk dapat
mewujudkan kepribadian hukuim internasionalnya. Kecakapan hukum itu
meliputi :
- Mampu menuntut hak-haknya di depan pengadilan internasional dan
nasional.
- Menjadi subyek dari beberapa atau semua kewajiban yang diberikan
oleh hukum internasional.
- Mampu membuat perjanjian internasional yang sah dan mengikat
dalam hukum internasional.
- Menikmati imunitas dari yurisdiksi pengadilan domestik.
Dalam prakteknya hanya negara dan organisasi internasional yang
memiliki semua kecakapan hukum diatas.

Menurut Mochtar Kusumaatmadja, subyek hukum internasional


adalah Negara, Tahta Suci, Palang Merah Internasional, Organisasi
Internasional, Orang Perorangan (individu), Pemberontak dan pihak yang
bersengketa (Belligerent) :
Negara
- Negara adalah subyek hukum yang paling utama, terpenting dan
memiliki kewenangan terbesar sebagai subyek hukum internasional.
- Pasal 1 Konvensi Montevideo 1933 tentang Hak dan Kewajiban
Negara, menentukan karakteristik suatu negara, yaitu : memiliki
wilayah tertentu, memiliki penduduk yang tetap, memiliki pemerintahan
dan memiliki kemampuan untuk mengadakan hubungan internasional
dengan negara lain.
- Pada negara kesatuan, kewenangan untuk mengadakan hubungan
luar negeri berada pada pemerintahan pusat. Contohnya : Indonesia
dan Perancis.
- Di negara Federal, sesuai konstitusinya, kewenangan untuk urusan
luar negerinya berada pada pemerintahan federal, seperti di Amerika
Serikat. Tetapi, ada juga negara federal yang memberikan
kewenangan secara terbatas pada negara bagiannya untuk urusan
luar neger, seperti Swiss, Canada.

Vatikan (Takhta Suci)


- Vatikan sebagai subyek hukum internasional dalam arti sejarah.
Vatikan sebagai subyek hukum internasional telah ada sejak zaman
dahulu di samping negara. Paus tidak saja berkedudukan sebagai
kepala gereja Katolik tetapi juga memiliki kekuasaan duniawi. Hingga
sekarang, Vatikan memiliki perwakilan diplomatic di banyak negara.
- Lateran Treaty tanggal 11 Februari 1929, Italia mengembalikan
sebidang tanah di Italia kepada Vatikan, sehingga didirikannya Negara
Vatikan.
- Vatikan sebagai subyek hukum internasional memiliki kedudukan
yang sejajar dan penuh dengan negara lain.

Palang Merah Internasional


- Organisasi Palang Merah Internasional sebagai subyek hukum
internasional dalam arti sejarah dan memiliki ruang lingkup terbatas.
- Kedudukan organisasi Palang Merah Internasional diperkuat oleh
Konvensi-Konvensi Jenewa tahun 1949.

Organisasi Internasional
- Organisasi internasional adalah organisasi yang dibentuk dengan
perjanjian internasional oleh dua negara atau lebih, yang di dalamnya
memiliki tujuan, fungsi, asas, wewenang dan struktur organisasi.
- Organisasi internasional sebagai subyek hukum internasional sejak
keluarnya Advisory opinion Mahkamah Internasional atas kasus
Reparation in Injury 1949, antara lain menyatakan bahwa PBB memiliki
legal capacity untuk mengajukan klaim ganti kerugian terhadap
pemerintah deyure atau defacto.
- Organisasi internasional sebagai subyek hukum internasional harus
memenuhi syarat-syarat tertentu, yaitu : dibentuk dengan perjanjian
internasional dan tunduk pada hukum internasional, serta memiliki
sekretariat tetap.
- Dengan dipenuhinya kedua syarat diatas, organisasi internasional
memiliki international personality sehingga ia dapat :
 Membuat perjanjian internasional dengan sesama organisasi
internasional atau dengan subyek hukum internasional lainnya.
 Memiliki property atas namanya sendiri.
 Dapat melakukan perbuatan-perbuatan hukum untuk dan atas
nama anggota-anggotanya.
 Dapat menuntut dan dituntut di pengadilan internasional.
 Contohnya : PBB, ASEAN, dan lain-lain.

Orang Perorangan (individu)


- Dalam arti yang terbatas, orang perorangan sudah agak lama dapat
dianggap sebagai subyek hukum internasional. Dalam perjanjian
Versailles 1919, terdapat ketentuan yang memungkinkan orang
perorangan mengajukan perkara di hadapan Mahkamah Arbitrase
Internasional. Ketentuan serupa juga dimuat pada perjanjian antara
Jerman dan Polandia tahun 1922 mengenai Silesia Atas (Upper
Silesia).
- Perkembangan lainnya atas pengakuan individu sebagai subyek
hukum internasional, seperti pada Keputusan Permanent Court of
International Justice dalam perkara Danzig Railway Case. Dalam
perkara itu Mahkamah antara lain menentukan : Bila perjanjian
internasional memberikan hak tertentu kepada orang perorangan,
maka hak itu harus diakui dan mempunyai daya laku dalam hukum
internasional. Kemudian dalam penuntutan terhadap para penjahat
perang di pengadilan Nurenberg dan Tokyo, para pemimpin perang
dari Jerman dan Jepang dituntut secara orang peorangan atas
kejahatan perang yang dilakukannya semasa perang dunia II, terlepas
dari negaranya. Dalam Genocide Convention, antara lain menentukan
: orang perorangan yang terbukti melakukan genocide harus dihukum
lepas dari persoalan apakah mereka bertindak sebagai orang
perorangan, pejabat pemerintah atau pimpinan negara.
- European Convention for the Protection of Human Rights and
Fundamental Freedoms, sebagai pelaksanaannya telah dibentuk
Komisi Eropa tentang Hak-Hak Asasi Manusia serta Mahkamah Eropa
tentang Hak-Hak Asasi Manusia. Sesuai konvensi Eropa tadi, dalam
hal terjadinya pelanggaran hak-hak asasi manusia, individu dapat
mengadukan negaranya sendiri di hadapan Mahkamah Eropa.
Pengajuan gugatannya dapat dilakukan melalui negaranya atau Komisi
Eropa.

Pemberontak dan Pihak Dalam Sengketa (Belligerent)


- Menurut hukum perang, pemberontak dapat memperoleh kedudukan
dan hak sebagai pihak yang bersengketa dalam beberapa keadaan
tertentu.
- Ada 4 unsur yang harus dipenuhi oleh pemberontak agar dapat diakui
sebagai Belligerent, yaitu :
 Terorganisir, teratur, dibawah pimpinan yang jelas.
 Mengunakan tanda pengenal yang jelas untuk menunjukan
identitasnya.
 Menguasai sebagian wilayah secara efektif dan wilayah itu benar-
benar telah dikuasainya.
 Mendapat dukungan rakyat dari wilayah yang diduduki.
- Pengakuan atas gerakan pembebasan nasional, yaitu perjuangan
suatu bangsa atas kemerdekaannya dari bangsa asing yang
menjajahnya. Contohnya pengakuan PBB atas SWAPO dan PLO.

Perusahaan Multinasional (Multinational Corporations atau MNCs)


- Perusahaan Multinasional atau Multinational Corporations (MNCs)
memiliki kantor pusat di suatu negara dan banyak memilki cabang di
beberapa negara.
- MNCs merupakan kesatuan non pemerintah dan tidak berstatus
international legal person. Perusahaan-perusahaan ini tidak memiliki
hak dan kewajiban sesuai hukum internasional. Tetapi, dalam hal-hal
tertentu, ia dapat membuat persetujuan-persetujuan dengan
pemerintah suatu negara dengan memberlakukan prinsip-prinsip
hukum internasional atau prinsip-prinsip hukum umum dalam membuat
transaksi mereka yang bukan diatur oleh hukum nasional suatu
negara. Kontrak seperti ini biasa disebut internasionalized contracts.
contoh MNCs, seperti Exxon, Royal Dutch, Shell Group, General
Electric, Ford, dan lain-lain.

Organisasi Non Pemerintah28


- Organisasi non pemerintah atau Non Governmental Organizations
(NGOs) adalah lembaga yang didirikan atas prakarsa swasta yang
menghimpun orang-orang swasta atau public, fisik, moral dari berbagai
kewarganegaraan.
- NGOs lebih banyak berperan sebagai kekuatan transnasional
(International Pressure Group). Organisasi ini secara yuridis berbentuk
himpunan yang tunduk pada hukum nasional dan tidak secara langsung
diatur oleh hukum internasional.
- Contohnya : ICRC, Greenpeace, Amnesty International, Human Right
Watch, Komite Olimpiade Internasional.

G. WILAYAH NEGARA DALAM HUKUM INTERNASIONAL

A. Pengertian Wilayah Negara


Pasal 1 Konvensi Montevideo atau Montevideo the Covention on
Rights and Duties of State of 1933 menyatakan : Negara sebagai subyek

28
Lihat Jawahir Thontowi dan Pranoto Iskandar, Hukum Internasional Kontemporer, Refika
Aditama, jogyakarta, 2006, hal. 122. Ada juga pendapat dari para ahli bahwa NGOs bertindak
sebagai subyek hukum internasional, yang berperan dalam perkwmbangan hukum internasional di
bidang hak-hak asasi manusia. NGOs berperan aktif pada forum-forum HAM di tingkat universal,
regional dan local.
dalam hukum internasional harus memiliki : (a). Penduduk tetap; (b).
Wilayah tertentu; (c). Pemerintahan; dan (d). Kapasitas untuk
berhubungan dengan negara lain. Menurut J.G. Starke : syarat no (b)
bukan syarat esensial untuk adanya negara, dengan ketentuan perlu
adanya pengakuan tertentu atas ketetapan (consistency) terhadap wilayah
yang terkait dan penduduknya. Syarat no. d) merupakan syarat yang
terpenting dari suatu negara, dimana suatu negara dapat mengadakan
hubungan-hubungan ekstern dengan negara-negara lain.

Penduduk Yang Tetap


- Penduduk atau rakyat suatu negara adalah sekelompok orang yang
secara tetap (permanen) mendiami atau bermukim dalam suatu
wilayah negara.
- Penduduk itu merupakan warga negara dari negara tersebut.

Wilayah Tertentu
- Menurut Oppenheim : tanpa adanya batas-batas atas wilayahnya,
maka suatu negara maka suatu negara tidak dapat dianggap sebagai
subyek hukum internasional. Oleh sebab itu adanya wilayah suatu
negara menjadi konsep mendasar dalam hukum internasional, untuk
menunjukan adanya kekuasaan tertinggi dan eksklusif negara itu
dalam batas-batas wilayhnya.
- Wilayah suatu negara merupakan tempat bermukimnya penduduk
atau warga negaranya.
- Wilayah suatu negara dapat berupa darat, laut dan udara dalam
batas-batas wilayah.

Pemerintahan
- Unsur pemerintahan sebagai salah satu unsur penting bagi
terbentuknya suatu negara dalam hukum internasional. Hukum
internasional akan membebankan hak-hak dan kewajiban-kewajiban
terhadap suatu pemerintahan dari suatu negara.
- Bagi hukum internasional suatu wilayah yang tidak mempunyai
pemerintahan tidak dianggap sebagai suatu negara. Hal ini sesuai
dengan Keputusan Mahkamah Internasional mengenai kasus Sahara
Barat 1957. Pemerintahan itu harus memiliki Kontrol dan kemampuan
untuk menguasai secara penuh atas semua wilayah yang berada
dibawah kekuasaannya dan terhadap setiap warga yang berada di
wilayahnya.

Kemampuan Untuk Mengadakan Hubungan Dengan Negara


lain :
Dalam perkara Madzimbamuto v Lardner-Burke, Judicial Committee of the
Privay Council memutuskan : Rezim Rhodesia yang menyatakan
kemerdekaan sepihak tanggal 11 November 1955, meskipun secara de
fakto rejim itu telah melaksanakan kewenangannya, namun peraturan
perundang-undangan yang dikeluarkan rejim itu tidak sah dan batal
berdasarkan peraturan pembatalan dari Inggeris. Sesuai keputusan tadi,
Dewan Keamanan PBB mengeluarkan Resolusi tanggal 17 November
1979: agar semua negara tidak memberikan pengakuan dalam bentuk
apapun terhadap rejim yang berkuasa di Rhodesia.

Berkenaan dengan Negara Mikro, sebagai kesatuan yang memiliki


wilayah, penduduk dan sumber daya manusia dan sumber daya ekonomi
yang sangat kecil (definisi dari Sekretariat Jenderal PBB pada Laporan
Tahunan Tugas Organisasi tahun 1966-1967), berhak menentukan
nasibnya sendiri sebagai suatu negara merdeka. Negara mikro dapat
bergabung dengan PBB, menjadi anggota tidak penuh (Misi peninjau tetap
/ associated membership) dengan memperoleh keuntungan-keuntungan
dari keanggotaan itu tanpa dibebani kewajiban-kewajiban. Beberapa
keuntungan yang dapat diperolehnya
1. Hak akses pada International Court Justice.
2. Keanggotaan dalam komisi ekonomi regional.
3. Keikutsertaan pada badan-badan khusus tertentu dan konferensi-
konferensi diplomatic untuk membentuk konvensi-konvensi
internasional.

B. Kedaulatan Teritorial
- Di dalam Konsep kedaulatan teritorial menandakan bahwa di dalam
kekuasaan ini, yurisdiksi dilaksanakan oleh negara terhadap
orang-orang dan harta benda dengan mengeyampingkan negara
lain. Advisory Opinion dari International Court mengenai Western
Sahara Case 1975 (Kasus Sahara Barat) mengemukakan bahwa :
“Pertalian hukum antara kedaulatan teritorial dengan rakyat atau
tanah harus dibedakan dengan dari pertalian kesetiaan, dalam
hal orang-orang dan semata-mata hak kebiasaan berkaitan
dengan tanah. Di lain pihak aktivitas negara dalam skala yang
pantas, secara konklusif memberikan kewenangan, merupakan
suatu pertanda eksistensi kedaulatan teritorial”. Pendapat hukum
dari Mahkamah Internasional ini senanda dengan pendapat dari Max
Hubber, arbriter dalam kasus Islands of Palmas Arbitration :
“Kedaulatan dalam hubungan antar negara-negara menandakan
kemerdekaan. Kemerdekaan berkaitan dengan suatu bagian dari
muka bumi adalah hak untuk melaksanakan di dalamnya,
terlepas dari negara lain, fungsi-fungsi suatu negara”.
- Dalam prakteknya kedaulatan teritorial suatu negara dapat dibagi
secara bersama-sama dua atau lebih negara, contohnya bentuk
negara Kondominium.
- Penyewaan wilayah, dimana kedaulatan sementara dilaksanakan oleh
negara penyewa (Lessee State), pihak negara yang menyewakan
(Lessor State) akan memperoleh kedaulatannya pada saat
pengembalian wilayah tersebut, misalnya penyewaan Hongkong milik
Cina kepada Inggeris selama 99 tahun, yang kemudian baru
dikembalikan kepada Cina tahun 1997.

C. Cara-Cara Memperoleh Kedaulatan Teritorial (Wilayah)


- Okupasi (Occupation)
Penegakan kedaulatan atas wilayah yang tidak berada di bawah
penguasaan negara manapun, baik wilayah yang baru ditemukan
(Terra Nullius) maupun daerah yang sudah ditinggalkan oleh negara
yang sebelumnya menguasainya. Untuk menentukan apakah
Okupasi suatu wilayah sudah sesuai atau bertentangan dengan
hukum internasional, maka Prinsip yang banyak digunakan adalah :
Prinsip Keefektifan (Effectiveness). Contoh dalam Eastern
Greenland Case, Permanent Court of International Justice
menetapkan supaya Okupasi dapat efektif memerlukan dua syarat
dari negara yang melakukannya yaitu :
1. Suatu kehendak untuk bertindak sebagai yang berdaulat.
2. Melakukan atau menunjukan kedaulatan secara pantas.

Dalam Minquiers and Ecrehos Case berkaitan dengan sengketa klaim


antara Inggeris dan Perancis atas pulau-pulau kecil Channel,
International Court of Justice menekankan arti pentingnya
pelaksanaan fungsi-fungsi negara yaitu pemerintah lokal, yurisdiksi
lokal, dan tindakan-tindakan kekuasaan legislative, sebagai terbukti
menunjukkan kedaulatannya secara terus-menerus yang diperlukan
untuk membuktikan suatu hak. Sesuai bukti-bukti yang diajukan pihak
Inggeris, dan karenanya ia diberi hak atas pulau itu. Prinsip serupa
juga digunakan dalam kasus Sahara Barat tahun 1975, bahwa
pelaksanaan aktivitas negara pada skala memadai yang berupa
tindakan-tindakan rutin, cukup sebagai alasan untuk menegakan
kedaulatan teritorialnya.

- Aneksasi (Annexation)
 Aneksasi merupakan perolehan wilayah teritorial yang dipaksakan,
dengan dua keadaan :
1. Bila wilayah yang dianeksasi telah ditundukan oleh negara
yang menganeksasi. Selain itu diperlukan adanya pernyataan
formal mengenai kehendak untuk menganeksasi, seperti nota-
nota yang disampaikan pada semua negara yang
berkepentingan.
2. Bila wilayah yang dianeksasi dalam kedudukan yang benar-
benar berada dibawah negara yang menganeksasi pada waktu
diumumkannya kehendak aneksasi oleh negara tersebut.
 Aneksasi yang dilakukan dengan cara kekerasan bersenjata/perang
yang bertentangan dengan Piagam PBB tidak boleh diakui oleh
negara-negara lain.
- Penambahan (Accreation).
 Hak untuk penambahan wilayah terjadi bila wilayah baru
ditambah, karena sebab-sebab alamiah terhadap wilayah yang
telah ada. Dalam hal ini tidak diperlukan pernyataan formal
mengenai hal ini. Sebab-sebab alamiah ini dapat berupa
pergerakan sungai atau endapan-endapan lumpur dalam
jangka waktu lama.
 Hukum perdata Romawi mengenai pembagian pemilikan
terhadap endapan-endapan lumpur pada aliran atau sungai di
antara pemilik yang berseberangan, secara analogi dapat juga
diterapkan bagi negara-negara yang menimbulkan endapan-
endapan lumpur pada aliran sungai yang menjadi perbatasan
dari kedua negara.

- Preskripsi (Prescription)
Preskripsi (Preskripsi Akuisitif) merupakan hasil pelaksanaan
kedaulatan de facto secara damai untuk jangka waktu yang cukup
lama atas wilayah yang tunduk pada kedaulatan dari negara lain.
River dan De Martin menyangkal bahwa preskripsi akuisitif diakui
oleh hukum internasional. Tidak ada keputusan dari pengadilan
Internasional yang mendukung doktrin ini. Tidak ada prinsip hukum
internasional yang diakui yang menetapkan batas waktu berapa
tahun untuk dianggap sebagai alas hak .

- Penyerahan (Cession)
 Penyerahan didasarkan atas prinsip bahwa hak pengalihan
wilayah adalah attribut fundamental dari kedaulatan teritorial
suatu negara.
 Penyerahan wilayah dapat dilakukan secara sukarela, melalui
traktat atau dengan paksaan. Penyerahan sukarela seperti
penjualan Alaska oleh Rusia pada Amerika Serikat tahun 1867.
Penyerahan melalui Traktat batal apabila pembuatan traktat itu
dilakukan dengan ancaman atau pengunaan kekerasan yang
bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum internasional
sesuai dengan pasal 52 Konvensi Wina Tahun 1969 tentang
Traktat.
 Suatu transaksi seperti hibah, penjualan atau pembelian, akan
dianggap sah sebagai suatu penyerahan bila hal itu cukup
memperlihatkan maksud untuk menyerahkan kedaulatan dari
satu negara ke negara lainnya.
 Negara yang menyerahkan wilayah tidak dapat mengurangi
apa yang telah ia serahkan. Di dalam wilayah yang diserahkan
terkandung semua hak-hak berdaulat dalam wilayah negara
yang diserahkan.
 Suatu negara yang menyerahkan tidak dapat mengalihkan lebih
dari pada wilayah dimana ia telah melaksanakan
kedaulatannya, dan karenanya negara penerima akan
mengurus wilayah yang diserahkan tunduk pada suatu
pembatasan kedaulatan atau hak-hak berdaulat yang
sebelumnya mengikat negara yang menyerahkan.

J.G. Starke menambahkan cara-cara lain untuk memperoleh


kedaulatan teritorial yaitu melalui :
1. Keputusan oleh Konferensi negara-negara. Hal ini terjadi sebagai
hasil dari konferensi negara-negara untuk penyelesaian perdamaian
umum, contoh perdamaian Versailles tahun 1919 yang membagi
wilayah Eropa.
2. Menurut Doktrin Soviet : kedaulatan teritorial juga dapat diperoleh
melalui Plebisit (penentuan pendapat rakyat).
3. Keputusan dari Arbitrase atau Mahkamah Internasional mengenai
penyelesian garis perbatasan dari dua negara.
4. Pemberian hak-hak teritorial pada suatu negara berdasarkan traktat
antara negara dengan penguasa atau wakil-wakil beberapa suku
bangsa /masyarakat pribumi.
5. Pengakuan yang lama dan berkesinambungan oleh negara lain atas
kedaulatan teritorial suatu negara, meskipun ada ketidakjelasan klaim
yang dinyatakan negara itu atas haknya.
6. Suksesi suatu negara baru atas wilayah negara pendahulunya.
7. Wilayah-wilayah yang dibagikan sebagai akibat traktat kompromi atau
penyelesaian berkaitan dengan bekas tanah sengketa. Contoh Traktat
Mei 1985 antara Cilie dan Argentina mengenai wilayah ujung timur
Beagle Channel.

Perolehan Kedaulatan Dari Negara Yang Baru Muncul


- Sesuai dengan Deklarasi tentang Prinsip-Prinsip Hukum Internasional
mengenai Hubungan-Hubungan Bersahabat dan Kerjasama di Antara
Negara-Negara yang disahkan oleh MU PBB tahun 1970 serta
Piagam PBB bahwa wilayah Koloni atau wilayah tidak
berpemerintahan sendiri memiliki status sendiri dan berbeda dengan
wilayah negara yang memerintahnya, hingga rakyatnya dapat
melaksanakan hak menentukan sendiri.

Cara-cara kehilangan kedaulatan wilayah territorial :


- Wilayah itu ditinggalkan (Dereliction), berkenaan dengan adanya
okupasi atas wilayah itu oleh suatu negara dan dari negara yang
meninggalkannya akan melepaskan control efektifnya.
- Penaklukan.
- Sebab-sebab alamiah.
- Preskripsi.
- Revolusi yang diikuti dengan pemisahan sebagian dari wilayah yang
terkait.
D. Bagian-Bagian Wilayah Negara
1. Wilayah Darat
Wilayah daratan adalah bagian dari wilayah negara sebagai tempat
rakyat atau penduduk suatu negara tinggal secara permanent atau
sebagai tempat pelaksanaan kegiatan pemerintahan suatu negara.
Termasuk pula wilayah daratan adalah tanah yang terdapat dibawah
permukaan daratan. Batas kedalaman antara tanah dengan permukaan
daratan hingga saat ini belum ada pengaturan internasional mengenai hal
itu.
Batas wilayah daratan dengan negara lain dapat diatur dengan perjanjian
internasional dari kedua negara yang berbatasan, atau melalui jalur
pemisah dari aliran sungai atau bagian terdalam dari aliran sungai
(thalweg)

2. Wilayah Air
Secara umum pengaturan mengenai laut secara internasional
terdapat pada Konvensi Hukum Laut PBB 1958 mengenai :
1. Konvensi hukum laut tentang Laut Teritorial dan Zona Tambahan.
2. Konvensi hukum laut tentang Laut Lepas.
3. Konvensi hukum laut tentang Landas Kontinen.
4. Konvensi hukum laut tentang Perikanan dan Perlindungan Sumber
Kekayaan Hayati Di Laut Lepas.
Selain itu juga terdapat pengaturan hukum laut pada Konvensi Hukum
Laut PBB III tahun 1982, yang telah diratifikasi oleh 138 negara peserta.
Konvensi ini banyak memuat hukum-hukum kebiasaan, dan karenanya
dapat mengikat negara-negara meskipun belum meratifikasi Konvensi
Hukum laut PBB tersebut.

Wilayah perairan terdiri adari :


1. Laut Teritorial yang merupakan laut yang terletak di sisi luar garis
pangkal, dengan lebar 12 mil laut dari garis pangkal. Kedaulatan atas
laut teritorial ini mencakup juga ruang udara diatasnya, dasar laut dan
tanah dibawahnya.
2. Laut Pedalaman : perairan pedalaman dan perairan daratan.
Perairan pedalaman adalah perairan yang terletak pada sisi dalam
dalam garis pangkal. Didalam perairan pedalaman suatu negara
memiliki kedaulatan penuh atas wilayah perairannya.
3. Zona Tambahan, yang terletak diluar laut teritorial sejauh 24 mil diukur
dari garis pangkal. Pada zona ini, negara pantai memiliki wewenang
terbatas untuk mencegah timbulnya pelanggaran terhadap peraturan-
peraturan bea cukai, fiskal, imigrasi, dan kesehatan.
4. Zona Ekonomi Eksklusif, merupakan zona laut selebar 200 mil dari
garis pangkal. Pada zona ini negara pantai memiliki hak-hak berdaulat
untuk keperluan eksplorasi, eksploitasi, konservasi, perijinan,
pembuatan dan pemakaian pulau buatan, riset kelautan serta
perlindungan sumber daya hayati dan non hayati di laut.
5. Landas Kontinen, yang meliputi dasar laut dan tanah di bawahnya di
daerah bawah permukaan laut yang terletak di luar laut teritorialnya
sepanjang kelanjutan alamiah wilayah daratannya hingga pinggiran
luar tepi kontinen atau hingga jarak 200 mil laut dari garis pangkal
darimana lebar laut tepi kontinen tidak mencapai jarak tersebut.
Negara pantai mempunyai hak eksklusif untuk melakukan eksploitasi
dan eksplorasi sumber daya alam di daerah landas kontinennya.

Zona laut diluar kedaulatan suatu negara adalah laut lepas. Pada
laut lepas berlaku asas Res Communis, yaitu laut yang bebas dan terbuka
bagi semua negara. Kebebasan itu berupa berlayar, penerbangan,
memasang kabel dan pipa laut, menangkap ikan, riset ilimah, dan lain
sebagainya. Penegakan peraturan di laut lepas ditentukan menurut
bendera kebangsaan suatu kapal. Untuk kejahatan-kejahatan berat
seperti pembajakan kapal, perdagangan budak, narkotika dan terorisme,
setiap negara memiliki yurisdiksi untuk mengadili perbuatan-perbuatan
atas kejahatan tersebut.

3. Wilayah Udara
- Wilayah ruang udara merupakan wilayah udara yang terletak diatas
wilayah daratan dan perairan.
- Batas terluar dari wilayah udara suatu negara hingga saat ini belum
ada kesepakatan dari masyarakat internasional.
- Secara teoritis kedaulatan mengenai ruang udara terdapat beberapa
teori / doktrin, yaitu :
A. The Air Freedom Theory : terbagi menjadi 3 pendapat/aliran :
1. Teori kebebasan ruang udara tanpa batas.
2. Teori kebebasan ruang udara yang dilekati dengan beberapa
hak khusus negara yang berada dibawahnya
3. Teori kebebasan ruang udara yang menetapkan zona
teritorial di mana hak-hak tertentu dari negara di bawahnya
dapat dilaksanakan. .
B. Teori kedaulatan ruang udara (The Air Sovereignty Theory) yang
memandang suatu negara berdaulat atas ruang udara, daratan
dan perairan dibawahnya.

Dari kedua teori tadi, maka dalam praktek masyarakat internasional


yang diterima adalah teori kedua yaitu teori kedaulatan atas ruang udara,
yang tercermin pada pasal 1 Konvensi Paris 1919 tentang Navigasi
Udara dan pasal 1 Konvensi Chicago 1944 tentang Penerbangan Sipil.
Ketentuan pada pasal 1 Konvensi Paris ini juga diambil secara integral
yang dimasukan pada pasal 1 Konvensi Chichago, yang menentukan :
Negara-negara pihak mengakui bahwa tiap-tiap negara mempunyai
kedaulatan penuh dan eksklusif atas ruang udara diatasnya.
E. Doktrin Hak-Hak Dan Kewajiban-Kewajiban Negara
- Tahun 1916 American Institute of International Law mengadakan
seminar dan menghasilkan Declaration of the Rights and Duties of
Nations, yang disusul dengan sebuah kajian mengenai Fundamental
Rights and Duties of American Republic dan hingga
dirampungkannya Konvensi Montevideo 1933. Hasil dari rancangan
Konvensi Montevideo menjadi rancangan Deklarasi tentang Hak Dan
Kewajiban Negara-Negara yang disusun oleh Komisi Hukum
Internasional PBB tahun 1949. Namun Komisi tersebut tidak pernah
berhasil menghasilkan usulan yang memuaskan bagi negara-negara.
- Prinsip-Prinsip mengenai Hak-Hak dan Kewajiban-Kewajiban Negara
yang termuat dalam rancangan tersebut :

Hak-Hak negara :
1) Hak atas kemerdekaan.
2) Hak untuk melaksanakan yurisdiksi terhadap wilayah, orang dan
benda yang berada di wilayahnya.
3) Hak untuk mendapatkan kedudukan hukum yang sama dengan
negara lain.
4) Hak untuk menjalankan pertahanan diri sendiri atau kolektif.

Kewajiban-kewajiban dasar negara :


1) Kewajiban untuk tidak melakukan intervensi terhadap masalah-
masalah yang terjadi di negara lain.
2) Kewajiban untuk tidak mengadakan pergolakan sipil di negara
lain.
3) Kewajiban untuk memperlakukan semua orang yang berada di
wilayahnya dengan memperhatikan hak-hak asasi manusia.
4) Kewajiban untuk menyelesaikan sengketa secara damai.
5) Kewajiban untuk tidak mengunakan kekuatan atau ancaman
senjata.
6) Kewajiban untuk tidak membantu terlaksananya pengunaan
kekuatan atau ancaman senjata.
7) Kewajiban untuk tidak mengakui wilayah-wilayah yang diperoleh
melalui cara-cara kekerasan.
8) Kewajiban untuk melaksanakan kewajiban internasional dengan
itikad baik.
9) Kewajiban untuk mengadakan hubungan dengan negara-negara
lain sesuai dengan hukum internasional.

Menurut J. G. Starke hak-hak dan kewajiban-kewajiban negara lainnya


berupa :
a. Kekuasaan untuk mengatur masalah dalam negerinya.
b. Kekuasaan untuk menerima dan mengusir orang lain.
c. Memiliki hak dan kekebalan diplomatik lainnya di luar negeri.
d. Memiliki yurisdiksi terhadap tindakan kriminal yang dilakukan di
wilayah negaranya.

O’brien merangkum hak-hak dan kewajiban-kewajiban negara menjadi


lima prinsip utama :
1. Prinsip persamaan antara negara-negara.
2. Prinsip kebebasan atau kemerdekaan antara negara-negara.
3. Prinsip tidak campur tangan.
4. Prinsip ko-eksistensi yang damai.
5. Prinsip pertahanan diri (Self Defence)

Prinsip Kesetaraan atau Persamaam Antara Negara-Negara (Equality


Before Souvereign State)
- Pengakuan atas prinsip ini termuat pada Preamble Piagam PBB
:”...the equality rights of....nation large and small”, dan pasal 21
Piagam PBB. Perwujudan prinsip ini melalui penentuan satu suara
untuk satu anggota Majelis Umum PBB.
- Prinsip ini dikukuhkan juga pada Deklarasi mengenai Prinsip-Prinsip
Hukum Internasional tahun 1977 yang berbunyi : “Setiap negara
memiliki kesamaan kedaulatan, mereka memiliki keseteraan hak dan
kewajiban, juga keseteraan sebagai anggota organisasi internasional,
tanpa mempertimbangkan adanya perbedaan ekonomi, sosial, politik
dan sifat lainnya.
- Unsur-unsur dari Prinsip Keseteraan itu meliputi :
1. Negara-negara secara juridis sederajat (States are juridicially
equal).
2. Setiap negara memiliki hak-hak inheren kedaulatan penuh.
3. Setiap negara memiliki kewajiban untuk menghormati integritas
negara lain.
4. Integritas wilayah dan kemerdekaan politik suatu negara tidak
dapat dicampuri.
5. Setiap negara memiliki kebebasan untuk memilih dan
mengembangkan sistim politik, budaya, sosial dan ekonomi.
6. Setiap negara mempunyai kewajiban untuk memenuhi tuntutan
secara penuh dengan itikad baik menurut kewajiban internasional
yaitu hidup berdampingan secara damai.

Prinsip Kemerdekaan
- Kemerdekaan suatu negara dapat ditentukan melalui kemampuan
suatu negara untuk melaksanakan kehendaknya sendiri secara penuh
(Self Reliance), sikap patuh atas kewajiban-kewajiban internasional
serta dapat mencegah intervensi asing terhadap pelaksanaan
kedaulatannya.
- Kemerdekaan dalam hukum internasional juga dikaitkan dengan
kesediaannya untuk mengikatkan diri pada perjanjian internasional
untuk melekatkan hak-hak dan kewajiban-kewajiban tanpa adanya
paksaan atau tekanan.

Prinsip Non Intervensi (Tidak Turut Campur)


- Hukum internasional melarang negara lain mencampuri urusan intern
suatu negara, termasuk juga campur tangan terhadap kepentingan
dari negara yang terkait. Hyde dan dijelaskan oleh International Court
Justice dalam kasus Nicaragua vs United States America tahun 1986
menyatakan bahwa : “campur tangan itu hampir selalu disertai dengan
bentuk atau implikasi tindakan untuk menggangu kemerdekaan politik
negara yang bersangkutan. Mahkamah Internasional menentukan
suatu intervensi dilarang oleh hukum internasional bila : berkaitan
dengan masalah-masalah dimana setiap negara dibolehkan untuk
mengambil keputusan secara bebas dan campur tangan itu meliputi
gangguan terhadap kemerdekaan negara lain dengan cara-cara
paksa, khususnya kekerasan.
- Arti intervensi dapat berupa intervensi atas urusan intern dan ekstern
suatu negara, termasuk tindakan milter, intervensi subversive (
bentuk intervensi berupa propaganda atau tindaklan lain dengan
maksud untuk menyulut revolusi atau perang saudara, dengan tujuan
kepentingan bagi negara itu sendiri.
- Bentuk-bentuk intervensi seperti :
a. Intervensi Intern (Internal Intervation) : Contohnya Negara A
mencampuri urusan sengketa dari negara B, dengan cara
mendukung salah pihak yang bertikai, baik kepada pemerintah
yang sah atau pada pihak pemberontak.
b. Intervensi Ekstern (Ekstern Intervation) : Contohnya Negara A ikut
campur dalam hubungan-hubungan permusuhan dari negara-
negara yang bertikai.
c. Intervensi penghukuman (Punitive Intervation) : Bentuk intervensi
ini berupa pembalasan (Reprisal) yang bukan perang, atas suatu
kerugian yang diderita negara lain.
- Suatu intervensi tidak dilarang atau sah menurut hukum internasional
dalam hal :
a. Intervensi kolektif sesuai Piagam PBB.
b. Intervensi untuk melindungi hak-hak dan kepentingan-kepentingan
serta keselamatan jiwa warga negaranya di luar negeri yang
menjadi dasar bagi pemerintah Amerika Serikat untuk
membenarkan tindakannya mengirimkan pasukan multinasional di
pulau Grenada tahun 1983.
c. Pertahanan diri, apabila intervensi diperlukan untuk menghilangkan
bahaya serangan bersenjata secara nyata.
d. Dalam urusan-urusan protektorat yang berada dibawah
kekuasaannya.
e. Apabila negara yang menjadi subyek intervensi dipersalahkan
melakukan pelanggaran berat terhadap hukum internasional yang
menyangkut negara yang melakukan intervensi, sebagai contoh :
apabila negara pelaku intervensi sendiri telah diintervensi secara
melawan hukum.
- Dalam melaksanakan hak-hak intervensi diatas, maka
pelaksanaannya harus tunduk pada piagam PBB, kecuali Piagam
PBB membolehkan tindakan itu. Intervensi tidak boleh berkembang
menjadi ancaman atau pengunaan kekerasan terhadap integritas
teritorial atau kemerdekaan politik dari negara manapun.

Prinsip Membela Diri


- Prinsip ini merupakan pengecualian dari prinsip Non Intervensi.
- Prinsip ini dimuat pada pasal 51 Piagam PBB.
- Pengunaan prinsip membela diri harus memiliki unsur-unsur :
keharusan (necessity) dan kepatuhan (proportionality).
- Menurut Lauterpacht, dengan teori Herch Lauterpacht : Klaim atas hak
membela diri merupakan subjek terhadap evolusi objektif yang sesuai
dengan hukum. Hak ini diakui pada satu sisi,oleh hukum nasional
bersifat absolut, artinya tidak ada hukum yang dapat
menghapuskannya. Pada sisi lain harus ada penghakiman sehingga
jika suatu pihak mengkalim mengunakan hak ini, maka hal itu menjadi
objek pengadilan. Pandangan Lauterpacht ini diadopsi oleh
pengadilan Nurenberg dan digunakan oleh hakim M. Schwebel
mengunakan teori Lauterpacht ini dalam kasus invasi Amerika Serikat
terhadap Nicaragua.

H. PENGAKUAN (RECOGNITION)

A. Teori-Teori Pengakuan
Lahirnya suatu negara menimbulkan 2 pendapat :
1. Lahirnya suatu negara hanya peristiwa fakta yang terlepas dari
ketentuan hukum internasional. Fakta itu dapat bersifat politis, historis,
sosiologis dan meta yuridis. Penganut pendapat ini :Jellinek,
Cavaglieri dan Strupp.
2. Lahirnya suatu negara sebagai suatu proses hukum yang diatur dalam
hukum internasional. Penganut pendapat ini Hans Kelsen dan
Verdross.

Dari 2 pendapat di atas yang tepat adalah pendapat pertama karena tidak
mungkin hukum internasional mengatur timbulnya suatu negara, sebab
hukum internasional ada setelah timbulnya suatu negara. Negara-negara
merdeka yang merumuskan hukum internasional dan berlaku bagi
mereka.

Apakah suatu negara yang baru lahir secara langsung memiliki


international nationality (Kepribadian Internasional) atau sebagai subyek
hukum internasional yang memiliki hak dan kewajiban yang diatur oleh
hukum internasional. Berkaitan dengan hal itu, terdapat 2 teori :
- Teori Konstitutif
Negara itu baru ada/lahir menurut hukum internasional jika telah
mendapat pengakuan dari negara-negara lain.
Penganut ajaran ini seperti Lauterpacht
- Teori Declaratif / Evidenter
Pengakuan tidak menciptakan lahirnya suatu negara, tetapi hanya
penerimaan suatu fakta. Lahirnya suatu negara merupakan suatu
fakta, yang terlepas dari hukum internasional. Pengakuan hanyalah
suatu penegasan secara formil, karena faktanya negara itu telah
berdiri (ada).

B. Bentuk-Bentuk Pengakuan
1. Pengakuan secara terang-terangan
Pengakuan ini dilakukan oleh pemerintah atau organ yang paling
berwenang di bidang hubungan luar negeri. Pengakuan dengan
cara ini dapat dilakukan melalui :
a. Nota diplomatik, surat pernyataan dan telegram.
b. Suatu perjanjian internasional.

2. Pengakuan secara diam-diam (Implisit)


Pengakuan diam-diam dalam hal suatu negara mengadakan
hubungan dengan negara atau pemerintahan yang baru dengan
mengirimkan perwakilan diplomatik
3. Pengakuan secara kolektif.
Pengakuan secara internasional yang dilakukan melalui perjanjian
internasional atau oleh sekelompok negara tertentu.
4. Pengakuan secara prematur
Suatu negara memberikan pengakuan kepada negara-negara baru
tanpa lengkapnya unsur-unsur konstitutif yang harus dimiliki oleh
entititas suatu negara
5. Pengakuan pemerintah adalah pernyataan dari suatu negara
bahwa negara tersebut telah siap dan bersedia berhubungan dengan
pemerintahan yang baru diakui oleh organ yang bertindak untuk dan
atas nama negaranya.

Perbedaan pengakuan negara dengan pengakuan pemerintah :


a. Pengakuan negara adalah pengakuan terhadap entitas baru yang
telah mempunyai semua unsur konstitutif negara dan yang telah
menunjukan kemauannya untuk melaksanakan hak-hak dan
kewajiban-kewajibannya sebagai anggota masyarakat internasional.
b. Pengakuan negara mengakibatkan pengakuan atas pemerintahannya
dan berisi kesediaan negaranya untuk mengadakan hubungan
dengan pemerintahan yang baru.
c. Pengakuan terhadap suatu negara sekali diberikan tidak dapat ditarik
kembali. Pengakuan terhadap pemerintahan sewaktu-waktu dapat
ditarik kembali. Penolakan atau pencabutan atas pengakuan suatu
pemerintahan yang baru tidak akan mempengaruhi personalitas
internasional dari negara tersebut.

Suatu negara tidak mempunyai hak untuk diakui dan tidak ada
kewajiban hukum untuk mengakui (Legal right to be recognized and legal
duty to recognize) Pengakuan pemerintah seperti pengakuan negara
adalah berkaitan dengan kebijakan (matters of policy). Tiap-tipa negara
bebas membuat kebijaksanaannya untuk mengakui atau tidak mengakui
suatu pemerintahan yang baru.Pengakuan itu merupakan kebijaksanaan
politik suatu negara. Meskipun terdapat beberapa kriteria untuk dapat
memberikan pengakuan atas pemerintahan yang baru, seperti stabilitas
keamanan dan kemampuan pemerintahan yang baru dalam
melaksanakan kewajiban-kewajiban internasionalnya, tetapi dalam
prakteknya sering kali menyimpang.

C. Pengakuan De Facto Dan De Yure


- Pengakuan de facto adalah pengakuan yang diberikan kepada suatu
pemerintahan yang belum sah secara konstitusional. Pengakuan ini
diberikan atas dasar suatu fakta bahwa suatu negara atau
pemerintahannya sudah ada / lahir. Pengakuan defacto diberikan
diberikan tanpa mempermasalahkan keabsahan yuridis dari negara
yang diakui itu, sekali pengakuan diberikan sejak saat itu pula
konsekuensi hukum dari hubungan timbal balik antar kedua negara
berlangsung, meslipun secara diam-diam. Pada prakteknya, sebelum
suatu negara memberi pengakuan de yure, terlebih dahulu memberi
pengakuan secara defacto. Contoh Inggeris mengakui de facto
UniSoviet tahun 1921. Pengakuan de yure baru dilakukan tahun 1924.
- Pengakuan de yure adalah bentuk pengakuan terhadap pemerintahan
yang telah memenuhi beberapa syarat :
a. Efektivitas : kekuasaan yang diakui di seluruh wilayah negara.
b. Regularitas : Berasal dari pemilihan umum yang telah disahkan
oleh konstitusi.
c. Eksklusivitas : Hanya pemerintah itu sendiri yang mempunyai
kekuasaan dan tidak ada pemerintahan tandingan.

D. Pengakuan Terhadap Pemberontak (Belligerency)


- Pihak Belligerency yang sudah mencapai tingkat yang kuat dan
mapan secara politik, organisasi dan militer sehingga tampak
sebagai kesatuan politik yang mandiri.
- Kaum Belligerency atau kaum pemberontak secara umum harus
memiliki unsur-unsur :
a. Terorganisir dan teratur dibawah pemimpinnya yang jelas.
b. Mengunakan uniform atau tanda pengenal yang jelas untuk
menunjukan identitasnya.
c. Menguasai sebagian wilayah secara efektif.
d. Mendapat dukungan dari rakyat yang dwilayahnya diduduki.
- Memberikan kepada pihak pemberontak hak-hak dan kewajiban-
kewajiban suatu negara merdeka selama berlangsungnya suatu
peperangan. Hal itu berarti :
1. Angkatan perangnya adalah kesatuan yang sah sesuai dengan
ketentuan hukum perang dan bukan para pembajak.
2. Peperangan yang terjadi harus sesuai dengan hukum perang.
3. Kapal-kapal perangnya adalah kapal-kapal perang yang sah dan
bukan kapal dari pembajak.
4. Blokade-blokade di laut harus dihormati oleh negara netral.
- Pemerintah dari pihak memberontak mengadakan hubungan dengan
negara lain bersifat informal, tidak dapat merundingkan perjanjian-
perjanjian internasional, tidak dapat menerima dan mengirimkan
perwakilan diplomatiknya. Pemerintah itu tidak dapat menuntut hak-
hak dan kekebalan-kekebalan di bidang internasional. Pemerintah dari
pemberontak itu merupakan subjek hukum internasional dalam bentuk
terbatas, tidak penuh dan bersifat sementara.
- Akibat pengakuan dari negara ketiga terhadap pemberontak, maka
negara induk dibebaskan dari tanggungjawab terhadap negara ketiga
berkaitan perbuatan-perbuatan dari pihak pemberontak. Bila negara
induk juga memberikan pengakuan terhadap pemberontak, hal itu
berarti kedua belah pihak dalam peperangan harus mematuhi hukum
perang.
- Pengakuan atas pemberontak bersifat terbatas dan sementara serta
hanya selama berlangsungnya perang tanpa memperhatikan apakah
pihak pemberontak menang atau kalah dalam peperangan.
- Dengan adanya pengakuan terhadap pemberontak ini, negara-negara
ketiga akan mempunyai hak-hak dan kewajiban-kewajiban sebagai
negara netral. Pemberian pengakuan itu semata-mata dengan alasan
humaniter.

E. Pengakuan Terhadap Gerakan-Gerakan Pembebasan Nasional


- Pengakuan terhadap gerakan pembebasan nasional merupakan
perkembangan baru dalam hukum internasional. Pengakuan
semacam ini memungkinkan gerakan pembebasan nasional diterima
dalam kegiatan-kegiatan PBB atau organisasi internasional tertentu.
- Contoh dari bentuk pengakuan ini : Sesuai dengan Resolusi PBB No.
3237 tanggal 22 Nopember 1974, PLO diberi status sebagai peninjau
tetap pada PBB. Dalam perkembangan kemudian, Austria, Uni Soviet,
India dan Indonesia serta negara-negara lainya telah memberikan
pengakuan diplomatik penuh kepada PLO. Pengakuan atas PLO pada
waktu itu, sebagai bentuk baru dalam pengakuan diplomatic terhadap
suatu bangsa yang tidak mempunyai negara dan wilayah.
F. Akibat-Akibat Hukum Pengakuan
- Pengakuan menimbulkan akibat-akibat hukum yang menyangkut hak-
hak, kekuasaan-kekuasaan, privelege-privelege dari pemerintah atau
negara yang diakui menurut hukum nasional dari negara yang
mengakui dan hukum internasional.
- Dari segi hukum nasional pengakuan itu berakibat bagi negara atau
pemerintah yang diakui, antara lain :
a. Memperoleh hak untuk mengajukan perkara dimuka pengadilan-
pengadilan dari negara yang mengakuinya.
b. Dapat memperoleh pengukuhan atas tindakan-tindakan legislative
dan eksekutif, baik dimasa lalu maupun dimasa mendatang oleh
pengadilan-pengadilan dari negara yang mengakui.
c. Dapat menuntut imunitas dari peradilan berkenaan dengan harta
kekayaan dan perwakilan-perwakilan diplomatiknya.
d. Berhak meminta dan menerima hak milik atau untuk menjual harta
kekayaannya di dalam yurisdiksi suatu negara yang mengakuinya
yang sebelumnya menjadi milik dari pemerintah terdahulu.
- Dari segi hukum internasional, suatu pengakuan akan berdampak
pada status negara yang diakui secara de yure membawa serta
hak-hak istimewa penuh keanggotaan dalam masyarakat
internasional. Suatu negara dapat menjalin hubungan diplomatik
dengan negara lain. Negara atau pemerintah yang diakui memikul
beban tanggungjawab atas hak-hak dan kewajiban-kewajiban
menurut hukum internasional.

Beberapa kelemahan bagi negara atau pemerintah yang tidak


mendapat pengakuan berupa :
1. Negara yang belum diakui tidak dapat berperkara di negara yang
belum mengakuinya. Di Amerika Serikat, jika suatu negara asing
belum diakui oleh negaranya maka sesuai asas kepantasan (Komitas)
negara yang belum diakui tidak dapat mengajukan perkara di
Mahkamah.
2. Sejalan dengan asas Kepantasan itu, perbuatan-perbuatan dari
pengadilan-pengadilan dari negara atau pemerintah yang belum
diakui tidak menimbulkan akibat-akibat hukum bagi negara yang
belum mengakuinya.
3. Perwakilan diplomatiknya tidak dapat menuntut imunitas dari proses
pengadilan.
4. Harta kekayaan yang menjadi hak dari suatu negara yang
pemerintahannya tidak diakui, dapat dimiliki oleh wakil-wakil dari rejim
yang telah digulingkan.

Akibat Pengakuan Terhadap Pemerintahan Yang Baru


- Pemerintahan yang diakui dapat mengadakan hubungan resmi
dengan negara yang mengakui.
- Pemerintah negara yang diakui atas nama negaranya, dapat
menuntut negara yang mengakui di peradilan-peradilan.
- Pemerintah negara yang mengakui dapat melibatkan tanggungjawab
dari negara yang diakui untuk semua perbuatan perbuatan
internasionalnya.
- Pemerintah yang diakui berhak memiliki harta benda pemerintah
sebelumnya di wilayah negara yang mengakui.

Penggantian pemerintahan dalam suatu negara adalah urusan intern


suatu negara. Campur tangan pihak asing dalam urusan dalam negeri
suatu negara, dianggap sebagai kebijakan yang tidak bersahabat dari
suatu negara. Penggantian pemerintahan baru yang dilakukan secara
konstitusional sebagai suatu hal biasa dan tidak ada hubungannya
dengan hukum internasional. Persoalannya baru timbul, bila penggantian
pemerintahan yang baru dilakukan dengan cara-cara inkonstitusional,
seperti makar/kudeta, revolusi atau cara-cara yang inkonstiutusional
lainnya. Berkaitan dengan hal itu, terdapat beberapa teori mengenai
pengakuan atas pemerintahan baru :
a. Doktrin Tobar
- Tobar (Menlu Equador dalam pernyataannya tanggal 15 Maret
1907) menyatakan : Suatu negara harus berusaha untuk tidak
mengakui suatu pemerintahan asing bila pembentukan
pemerintahan itu didasarkan atas kudeta militer atau
pemberontakan. Sebelum diakui, paling tidak pemerintahan
tersebut harus disahkan terlebih dahulu secara konstitusional.
Oleh karena itu doktrin ini disebut sebagai doktrin legitimasi
konstitusional.
Doktrin Tobar ini juga sesuai dengan doktrin Willson (1913) yang
menyatakan doctrine of non recognition of government set up by
force in any of the five central American Republic.
- Dalam prakteknya doktrin ini tidak dilaksanakan oleh negara-
negara Perancis, Belgia dan Inggeris.
b. Doktrin Stimson (Menlu Amerika Serikat)
- Doktrin ini menolak diakuinya suatu keadaan yang lahir sebagai
akibat penggunaan kekerasan atau pelanggaran terhadap
perjanjian-perjanjian yang ada.
- Doktrin ini berkaitan dengan pembentukan Manchukuo oleh
Jepang di wilayah Cina yang diduduki. Saat itu Stimson
mengeluarkan nota pada Jepang dan Cina, yang menolak
pembentukan negara Manchukuo tersebut.

c. Doktrin Ekstrada (Menlu Mexico)


- Tanggal 27 September 1930 menyatakan : Penolakan pengakuan
adalah cara yang tidak baik karena bertentangan dengan
kedaulatan suatu negara dan bentuk campur tangan terhadap
urusan dalam negeri negara lain.
- Teori ini sesuai dengan perkembangan zaman. Pada umumnya
negara-negara membiarkan saja perwakilan diplomatiknya di
suatu negara meskipun terjadi pergantian pemerintahan secara
inkonstitusional.

I. TANGGUNG JAWAB NEGARA DALAM HUKUM INTERNASIONAL

Dalam hukum internasional, pertanggungjawaban negara timbul


bila perbuatan suatu negara merugikan negara lain. Pertanggungjawaban
negara itu dibatasi atas perbuatan negara yang melanggar hukum
internasional. Perbuatan negara yang menimbulkan kerugian bagi negara
lain tetapi tidak melanggar hukum internasional tidak menimbulkan
pertanggung jawaban negara.
Tanggungjawab negara muncul sebagai akibat adanya Prinsip
Persamaan dan Kedaulatan Negara dalam hukum internasional. Prinsip
ini kemudian memberikan kewenangan bagi suatu negara yang terlanggar
haknya untuk menuntut suatu reparasi.29 Bentuk-bentuk pelanggaran atas
hukum internasioanl yang menyebabkan tanggungjawab negara seperti :
pelanggaran atas perjanjian internasional, melanggar kedaulatan wilayah
negara lain, menyerang negara lain, mencederai perwakilan diplomatik
dari negara lain, memperlakukan warga negara asing seenaknya.
Pemulihan atas pelanggaran hukum interasional yang menimbulkan
kerugian negara lain berupa Satisfaction atau Pecuniary Reparation.
Satisfation dilakukan melalui perundingan diplomatik, melalui permintaan
maaf secara resmi dan jaminan tidak akan mengulangi perbuatan serupa.
Pecuniary Reparation dilakukan bila pelanggaran itu menimbulkan
kerugian materil.

Perbedaan pertanggungjawaban negara menurut hukum nasional


dan menurut hukum internasional :
- Pertanggungjawaban negara menurut hukum internasional hanya
timbul bila telah terjadi pelanggaran hukum internasional.
Pertanggungjawaban negara tetap ada meskipun menurut hukum
nasional, perbuatan negara itu tidak merupakan perbuatan melanggar
hukum.
- Suatu negara tidak dapat menghindari tanggungjawab negaranya
menurut hukum internasional berdasarkan alasan menurut hukum
nasionalnya.

A. Unsur-Unsur Pertanggungjawaban Negara


- Menurut Crawford dan Oileson : perbuatan salah dari negara yang
mengandung tanggungjawab negara harus memiliki syarat-syarat :

29
Malcom N. Shaw, dalam Jawahir Thontowi dan Pranoto Iskandar, Hukum Internasional
Kontemporer, Refika Aditama, Bandung, 2006, h. 193.
1. Dapat ditujukan pada negara.
2. Mengandung pelanggaran atas kewajiban-kewajiban internasional
yang dimilki suatu negara. Pengecualiannya dalam hal negara
melakukan tindakan pembelaan diri (Self Defence) dan keadaan
terpaksa (Force Majure).
Ad. No. 1)
- Kapasitas negara adalah, melalui wakil-wakilnya, yaitu para pejabatnya
sebagai agent diplomatik. Semua pejabat negara dapat dikenakan
pertanggungjawaban internasional. Contohnya tindakan aparat
kepolisian yang melakukan penyiksaan (torture) terhadap seseorang.
(Hal itu merupakan norma yang terdapat dalam kebiasaan).
- Pihak pemberontak yang kemudian menjadi pemerintah suatu negara,
maka negara itu memiliki tanggung jawab negara atas perbuatannya.
Contoh: Penyanderaan oleh pejuang revolusi Iran tahun 1979 di Iran,
pengadilan memutuskan meskipun pejuang dalam hukum internasional
bukan aparat negara, tetapi mereka telah mengantikan fungsinya.

Ad. No. 2)
- Pelanggaran yang dilakukan suatu negara dapat berupa pelanggaran
bersifat bilateral dan pelanggaran yang terkait dengan perlindungan
diplomatik. Dalam hal pelanggaran yang bersifat bilateral, maka suatu
pelanggaran dapat diatributkan pada suatu negara sehingga negara itu
dapat diminta pertanggungjawabannya. Dalam kaitan ini tidak perlu
dilakukan Nationality of Claims atau Exhaustion of Local Remedies.
Sedangkan pelanggaran yang berkaitan dengna perlindungan
diplomatik membutuhkan syarat berupa Exhaustion of Local Remedies.
Syarat ini sebagai syarat fundamental yang diperlukan oleh peradilan
internasional.
- Menurut ILC, faktor untuk menuntut tanggung jawab negara berkenaan
dengan adanya kerugian, tidak harus selalu ada bahaya dan
kerusakan, tetapi sudah cukup bila sudah ada terjadinya suatu
pelanggaran.
- Alasan pembenar atas adanya suatu pelanggaran :
1. Persetujuan yang sah (Valid Consent) : adanya persetujuan yang
sah dari suatu negara terhadap tindakan negara lainnya yang
bertentangan dengan yang seharusnya, merupakan salah satu
alasan pemaaf. Menurut ILC, jika persetujuan antara negara itu
bertujuan untuk melegitimasi suatu tindakan-tindakan yang
bertentangan dengan Jus Cogens atau Peremory Normas, maka
persetujuan itu batal. Dalam hal pengunaan kekerasan, maka
persetujuan dari negara yang terkait menjadi alasan untuk
membenarkan tindakan kekerasan itu, asalkan tindakan dari tentara
asing tidak merusak kesatuan wilayah atau kemerdekaan politik
dari negara yang memintanya sesuai pasal 2 ayat (4) Piagam PBB.
2. Bela diri : Suatu negara diijinkan bertindak berlawanan dengan
kewajiban internasional yang diembannya dengan tujuan untuk
membela diri sesuai dengan Piagam PBB.
3. Force Majeure : Dalam hukum internasional dikenal suatu keadaan
yang berada di luar kemampuan. Alasan force Majeure tidak dapat
digunakan bila negara itu sendiri penyebabnya.
4. Distress Suatu situasi dimana suatu negara tidak meiliki cara lain
yang lebih baik dalam upaya menyelamatkan hidupnya atau orang-
orang dalam tanggungjawabnya. Distress tidak dapat dijadikan
alasan bila keadaan yang muncul merupakan akibat dari tindakan
negara itu sendiri dan bila perbuatan yang akan dilakukan
menimbulkan kerugian yang sama atau lebih besar.
5. Necessity : alasan ini dapat digunakan jika suatu negara
menghadapi bahaya yang luar biasa bagi kepentingannya.
Tindakan necessity tidak boleh menimbulkan bahaya bagi negara-
negara lain yang berkepentingan atas kewajiban yang dilanggar.
Pengecualian dalam pengunaan alasan necessity yaitu dalam hal
perjanjian itu secara jelas tidak memberikan kemungkinan bagi
pengunaan necessity atau negara itu sendiri.

B. Pihak-Pihak Yang Dapat Mengajukan Tuntutan


Pertanggungjawaban

1. Injured State (negara-negara yang dirugikan)


2. Komunitas Internasional secara keseluruhan. Pelanggaran yang
dilakukan memiliki sifat Erga Omnes atau merupakan persoalan
bersama dari komunitas internasional.
3. Individu. Contoh dalam hal pertanggungjawaban pelanggaran HAM
pada pengadilan HAM Eropa di StarsBourg.

C. Bentuk-Bentuk Pertanggungjawaban Negara


- Kompensasi : Restitusi dalam arti sempit yang berhubungan
dengan pembayaran sejumlah uang sebagai nilai ganti kerugian
Kompensasi dapat juga diberikan terhadap perbuatan negara yang
tidak menimbulkan kerugian secara financial. Ganti rugi seperti ini
disebut reparasi moral atau politik.
- Restitusi : bertujuan untuk mengembalikan situasi seperti sebelum
timbulnya suatu kejadian.
- Satisfication : Upaya yang dilakukan oleh suatu negara untuk
mendapatkan suatu putusan dari pengadilan yang mendukungnya.
- Declaratory Judgement yang merupakan putusan dari pengadilan
internasional. Putusan itu bersifat declaratory.
D. Macam-Macam Pertanggungjawaban Negara
1. Pertanggungjawaban atas perjanjian internasional
Pertanggungjawaban negara timbul bila terjadi pelanggaran terhadap
perjanjian internasional, sesuai dengan azas setiap pelanggaran atas
perjanjian internasional wajib untuk mengganti kerugian.
2. Pertanggungjawaban atas kontrak
Pelanggaran atas kontrak oleh negara dan warga negara atau
korporasi asing tidak selalu menimbulkan pertanggungjawaban
negara menurut hukum internasional. Pertanggungjawaban negara
atas kontrak bukan karena ketentuan dalam kontrak, tetapi karena
suatu negara melanggar kewajiban diluar kontrak, misalnya
penginkaran keadilan (denial justice).
3. Pertanggungjawaban atas konsesi.
Dalam perjanjian konsesi antara negara dan warga negara atau
korporasi asing dikenal klausul Calvo. Dalam klausul ini menentukan
bahwa penerima konsesi melepaskan perlindungan pemerintahahnya
dalam sengketa yang timbul dari perjanjian tersebut dan penyelesaian
atas sengketa yang timbul atas pelaksanaan perjanjian dilakukan
melalui peradilan dari negara pemberi konsesi dan tunduk pada
hukum nasional dari negara pemberi konsesi.
Di tinjau dari hukum internasional, klausul Calvo ini dapat dibenarkan
bila dimaksudkan agar penerima konsesi mengunakan peradilan dari
negara pemberi konsesi sebelum negaranya turut campur tangan
atas persoalan itu. Tetapi jika klausul Calvo dimaksudkan untuk
menghapus hak negara dalam melindungi warga negaranya atau
untuk mengikat negara lain agar tidak campur tangan atas
pelanggaran hukum internasional, klausul demikian menurut hukum
internasional adalah batal.
4. Pertanggungjawaban atas ekspropriasi.
Ekspropriasi ialah pencabutan hak milik perorangan untuk
kepentingan umum yang disertai pemberian ganti kerugian. Pada
abad ke 19, tindakan ekspropriasi atas hak milik warga negara asing
dianggap merupakan dasar bagi tuntutan internasional, tetapi pada
abad ke 20, tindakan ekspropriasi atas hak milik asing untuk
kepentingan umum tidak lagi dianggap bertentangan dengan hukum
internasional bila dilakukan dengan pengumuman politik dalam negeri
dari negara itu dan dilakukan dengan tanpa diskriminasi. Bila
eksproriasi melanggar hukum internasional, mewajibkan negara itu
membayar ganti kerugian, demikian juga bagi ekspropriasi yang sah
juga tetap membayar ganti kerugian kepada pihak yang hak miliknya
diambilalih.
5. Pertanggungjawaban atas hutang negara
Hutang negara yang tidak dibayar akan menimbulkan tuntutan atas
pertanggungjawaban atas negara. Pertanggungjawaban negara atas
hutangnya terdapat 3 teori berkaitan dengan hak negara untuk
melindungi kreditor warga negaranya :
a. Teori Lord Palmerston (1848) menyatakan negara kreditor berhak
ikut campur tangan secara diplomatik dan mengadakan intervensi
bersenjata terhadap negara debitur yang tidak membayar.
b. Teori Drago (Menlu Argentina tahun 1902) menyatakan negara
kreditur tidak berhak mengunakan kekerasan (aksi militer) jika
negara debitur tidak membayar hutangnya. Doktrin Drago ini sesuai
dengan Konvensi Den Haag tahun 1907 dan Piagam PBB.
c. Teori yang diterima secara umum : Kewajiban negara debitur sama
dengan kewajiban negara menurut hukum perjanjian pada
umumnya.

6. Pertanggungjawaban atas kejahatan internasional


Pertanggungjawaban negara dapat timbul karena
kejahatan/kesalahan internasional (International Deliquency), yaitu
pelanggaran kewajiban internasional yang bukan merupakan kewajiban
dari kontrak. Contoh : pelanggaran atas hak milik asing, penahanan yang
tidak semestinya, penolakan atas peradilan, dan lain sebagainya. Untuk
menentukan adanya pertanggungjawaban negara atas kejahatan
internasional terdapat teori petugas terhadap negara ( The Doctrine of
Imputability atau Attributability) : kejahatan yang dilakukan oleh
petugas negara menimbulkan pertanggungjawaban oleh negaranya.
Persyaratannya :
- Bila kejahatan merupakan pelanggaran atas ketentuan hukum
internasional.
- Hukum internasional membebankan kejahatan itu pada negaranya.

7. Pertanggungjawaban negara dan Teori Fault


Suatu perbuatan dikatakan mengandung fault (kesalahan) bila
dilakukan dengan sengaja beritikad buruk atau suatu kelalaian yang tidak
dapat dibenarkan. Dalam hal ini negara bertanggungjawab atas kesalahan
yang diperbuat tanpa adanya keharusan bagi pihak yang menuntut
pertanggungjawaban untuk membuktikannya. Pertanggungjawaban
negara tanpa memperhitungkan kesalahannya ini disebut Strict Liability

8. Pertanggungjawaban Negara Terhadap Orang Asing


Deniel of Justice
Arti Deniel of Justice :
- Harvad Research Draft on State Responsibility 1929, mengartikan
sebagai Defisiensi administarsi keadilan.
- The Hague Codification Conference 1930, member arti sebuah
negara bertanggungjawab sebagai akibat tindakannya yang tidak
sesuai dengan tuntutan internasional sehingga orang asing tidak
mendapatkan perlindungan atas haknya untuk mendapat proses
yang sesuai tuntutan keadilan.
- Bentuk permintaan pertanggungjawaban negara atas orang asing
berupa :
1. Nationality of claims.
Dalam hukum internasional, semua negara memiliki hak atas
perlindungan diplomatic bagi warga negaranya, yang terjadi bila
warga negaranya mengalami perlakuan yang tidak sesuai di
negara lain. Penentuan nasionalitas (kewarganegaraan) dari
korban ditentukan menurut hukum nasionalnya dari negara
yang menuntut. Dalam Nottebohm Case menentukan
diperlukan adanya hubungan nyata dengan antara negara yang
mewakili dengan individu yang diwakilinya. Menurut Martin
Dixon, hubungan nyata adalah hubungan de facto, suatu
hubungan yang dapat dibuktikan dengan secara factual.
2. Exhaustion of Local Remedy
Sesuai pasal 22 ILC Draft Articles on States Responsibility
menentukan : pertanggungjawaban hukum akan diterapkan bila
orang asing yang terlibat perkara telah mengupayakan
penyelesaiannya melalui hukum local. Dengan demikian
pertanggungjawaban ini baru muncul setelah seluruh upaya
hukum local (hukum nasional) telah dilakukan. Contoh kasus
ini : Ambatielos Arbitration, dimana pihak Turki yang mewakili
negaranya meminta pertanggungjawaban Inggeris. Inggeris
menolak karena Turki belum mengunakan seluruh upaya
hukum yang disediakan oleh hukum nasional Inggeris. Pada
akhirnya pengadilan memberikan pernyataan bahwa suatu
negara yang diminta pertanggungjawabannya merasa belum
digunakan seluruh upaya hukum domestiknya oleh pihak
pengklaim, berhak untuk menolak.
3. Ekspropriasi.
- Ekspropriasi diartikan sebagai pengambilalihan kepemilikan
swasta oleh negara. Elemen pentingnya adalah
membebankan kerugian terhadap warga negara asing.
Menurut Resolusi PBB Tahun 1962, ekspropriasi harus
dilakukan dengan mendasarkan pada kepentingan-
kepentingan yang luas dan kompensasi yang adil.
- Suatu ekspropriasi haruslah memenuhi tiga syarat :
1. Tidak diskriminatif.
2. Negara menyediakan kompensasi yang adil.
3. Didasarkan atas kebijakan public.
- Jika eksproriasi dilakukan tidak sejalan dengan hukum, maka
ganti kerugian tidak disebut kompensasi tetapi kerusakan.
Ganti kerugian tidak semata untuk kerugian saat ini tetapi
juga kerugian yang diderita kemudian hari, seperti dalam
kasus Amco Finance Case 1985.
- Terdapat 2 pandangan berkaitan dengan jumlah kompensasi
dari tindakan ekspropriasi : Bagi negara maju supaya
didasarkan atas standard internasional minimum dan bagi
negara berkembang, kompensasi itu harus disesuaikan
dengan hukum nasional.

9. Pertanggungjawaban Terhadap Lingkungan


- Negara bertanggungjawab atas timbulnya kerusakan lingkungan.
- Beberapa keputusan pengadilan internasional mengenai
tanggungjawab negara atas mengganti kerugian atas kerusakan
lingkungan seperti :
1. PCIJ dalam kasus the International Commission on the River
Order, menyatakan “terdapat kepentingan bersama atas
perairan yang dijadikan wilayah pelayaran”.
2. Dalam Arbitrase Trial Smelter : “Dalam hukum internasional dan
Konstitusi Amerika Serikat, negara tidak memiliki hak untuk
mengunakan atau mengijinkan penggunaan wilayah laut yang
menyebabkan negara lain mengalami kerugian”.
3. Advisory Opinion ICJ untuk Majelis Umum PBB dalam the
Legality of the Threat or Use of Nuclear Weapon : “Terdapat
kewajiban umum dari negara-negara untuk menjaga agar
segala aktivitas dalam yurisdiksinya dituntut untuk melakukan
control terhadap wilayah-wilayah yang berada di luar
wilayahnya pada saat ini merupakan bagian hukum
internasional yang terkait dengan perlindungan terhadap
lingkungan.

J. SUKSESI NEGARA (STATE SUCCESSION)

A. Pengertian Suksesi (Succession)


Suksesi negara dapat terjadi dengan cara konstitusional atau
dengan cara revolusi. Suksesi negara adalah peralihan hak-hak dan
kewajiban-kewajiban negara-negara atau kesatuan-kesatuan lain,
perubahan atau kehilangan indentitas sebagian maupun seluruhnya atas
bagian-bagian kedaulatan wilayahnya .
Pada Konvensi Wina mengenai Suksesi Negara–Negara Berkaitan
Dengan Traktat-Traktat 1978, pasal 2 mendefinisikan Suksesi Negara :
Penggantian kedudukan satu negara oleh negara lainnya dalam hal
tanggungjawab bagi hubungan-hubungan internasional lainnya.

Penyebab timbulnya suksesi negara karena alasan ekstern, dapat terjadi


dengan cara :
1. Sebagian wilayah negara A dimasukan ke dalam wilayah negara B
atau terbagi diantara negara B, C, D dan negara lain.
2. Sebagian wilayah negara A dijadikan sebagai negara baru.
3. Seluruh wilayah negara A dimasukan ke dalam negara B yang
berakibat negara A lenyap.
4. Seluruh wilayah negara A di bagi di antara negara-negara B, C, D dan
negara lain, berakibat negara A lenyap.
5. Seluruh wilayah negara A dijadikan basis bagi beberapa negara baru,
sehingga negara A menjadi lenyap.
6. Seluruh wilayah negara A menjadi bagian dari wilayah negara baru,
sehingga negara A lenyap.
Suksesi seperti diatas juga dapat terjadi pada kesatuan yang bukan
negara, seperti pada organisasi internasional

B. Bentuk-Bentuk Suksesi
1. Suksesi Terhadap Hak-Hak Dan Kewajiban-Kewajiban Traktat
Tidak ada prinsip umum atau kaidah umum mengenai suksesi
terhadap hak dan kewajiban dalam hubungannya dengan traktat. Apabila
suatu negara lenyap karena kehilangan seluruh wilayahnya, tidak ada hak
dan kewajiban yang sifatnya pelaksanaan (executor character)
berdasarkan traktat yang beralih pada negara suksesor (negara yang
mengantikan), kecuali :
1. Traktat-traktat yang secara langsung berkaitan dengan wilayah yang
telah berganti pemiliknya. Contohnya traktat mengenai perbatasan,
servitut (servitude), quasiservitude ( hak melintas ), traktat netralitas
atau demiliterasi wilayah terkait.
Menurut pasal 11 dan 12 Konvensi Wina 1978 menentukan suksesi
negara tidak mempengaruhi perbatasan yang ditetapkan oleh traktat,
hak-hak dan kewajiban-kewajiban serta pembatasan-pembatasan
yang tercakup dalam wilayah untuk kepentingan wilayah yang
berkaitan dan wilayah yang berbatasan. Ketentuan-ketentuan ini tidak
berlaku untuk perjanjian-perjanjian mengenai pangkalan-pangkalan
militer asing, sehingga negara pemilik pangkalan militer tidak dapat
menuntut perjanjian-perjanjian untuk itu mengikat negara suksesor.
2. Konvensi-konvensi multilateral berkaitan dengan kesehatan,
narkotika, HAM dan sejenisnya, yang dimaksudkan untuk berlaku
meskipun telah terjadi perubahan-perubahan dalam wilayah
negaranya. Contohnya :
Anglo-Chinese Agreement, Annex 1 tanggal 19 Desember 1984
mengenai pengembalian kedaulatan atas wilayah Hongkong kepada
Cina, menentukan bahwa International Convenant 1966 on Civil and
Political Rights dan International Convenant on Economic, Social and
Cultural, akan tetap diberlakukan di Hongkong meskipun akan
dikembalikan pada Cina tahun 1997.

Hak-hak dan kewajiban-kewajiban dalam traktat yang ada sebelum


pengabungan akan tetap beralih, dalam hal negara aksesor yang
merupakan perluasan dari negara pendahulunya (Predecessor State).
Contohya pengabungan Prusia dalam kerajaan Jerman.
Bila negara yang lama tidak lenyap dan hanya sebagian saja dari
wilayah negara itu yang hilang, maka beralihnya hak dan kewajiban
dalam traktat tergantung pada sifat dan hakekat dari traktat itu. Berkaitan
dengan suksesi hanya sebagian wilayah yang dimasukan dalam wilayah
negara baru, menurut pasal 15 Konvensi Wina 1978 menentukan :
1. Traktat-traktat negara yang digantikan tidak berlaku dalam hal wilayah
negara yang beralih.
2. Traktat-traktat negara suksesor harus berlaku di wilayah negara yang
beralih kecuali tampak dari traktat atau ditentukan lain dalam traktat,
bahwa berlakunya traktat terhadap wilayah itu tidak sesuai dengan
maksud dan tujuan traktat atau akan mengubah sama sekali syarat-
syarat berlakunya traktat. Kaidah yang ditentukan pada pasal 15 bisa
disebut Moving Frontair Rule (Kaidah perbatasan yang beralih)

Sesuai pasal 11 dan 12 Konvensi Wina 1978, maka kewajiban-


kewajiban berdasarkan traktat mengenai perbatasan, servitude,
quasiservitude, atau untuk kepentingan dari wilayah yang menjadi subyek
perubahan kedaulatan atau yang digabungkan, juga dapat beralih.

Traktat mengenai perdagangan dan ekstradisi tidak dapat beralih kecuali


ada pertimbangan yang kuat untuk mensyaratkan hal itu.

Bagian ke IV Konvensi Wina 1978 mengatur mengenai dua negara atau


lebih menyatukan diri membentuk satu negara aksesor atau dimana
sebagian atau bagian-bagian wilayah suatu negara yang memisahkan diri
untuk membentuk suatu negara atau lebih. Ketentuan umum mengenai
hal itu : Traktat-traktat yang ada dan relevan tetap berlaku, baik dalam
hubungannya dengan negara aksesor atau dengan negara yang
digantikan, kecuali para pihak yang terkait mempunyai pendapat lain atau
tampak dari traktat itu sendiri atau ditentukan lain, yaitu berlakunya traktat
bagi negara aksesor atau terhadap negara yang digantikan, sesuai
kasusnya, mungkin tidak sesuai dengan maksud dan tujuan traktat atau
syarat-syarat berlakunya akan diubah sama sekali.

3. Suksesi Terhadap Hak-Hak Dan Kewajiban-Kewajiban


Kontraktual Non Keuangan
Untuk persoalan ini belum ada keseragaman pendapat, tetapi
beberapa prinsip-prinsip umum yang dapat dijadikan pedoman :
- Hak kontraktual yang bersifat tuntutan atas kerugian-kerugian yang
tidak dapat dihapuskan dan yang secara alternatif tidak dapat
diterapkan sebagai kontraktual semu terhadap negara yang
digantikan dan negara aksesor, tidak dapat dipertahankan dengan
adanya perubahan kedaulatan. Tetapi jika terdapat unsur kontrak
semu, maka hak dan kewajiban itu dapat dipertahankan.
- Hak kontraktual yang bersifat tetap (vested) atau hak yang
diperoleh (aquired) yang semestinya dihormati oleh negara
aksesor . Untuk menjadi hak tetap dan hak yang diperoleh, hak-hak
itu sifatnya harus dapat dibayar dan berkaitan dengan beberapa
usaha, perusahaan atau penanaman modal yang bersifat tetap atau
hak itu bersifat sedemikian rupa sehingga tidak adil bila aksesor
tidak mengabulkannya.

4. Suksesi Dan Kontrak-Kontrak Konsesi


Pada umumnya, kewajiban-kewajiban berdasarkan kontrak –kontrak
konsesi berakhir karena adanya perubahan-perubahan kedaulatan
yang disebabkan oleh lenyapnya negara lama. Oleh sebab itu, negara
pemegang konsesi akan diberikan hak untuk memperoleh ganti
kerugian dengan syarat-syarat yang adil sebagai akibat kehilangan
haknya karena adanya suksesi tersebut. Pemegang konsesi juga
sering kali mendapatkan penggantian atau berhak atas bunga dari
uang yang diinvestasikan dan tenaga kerja yang digajinya. Kedua hal
itu seharusnya wajib dihormati oleh negara suksesor.

5. Suksesi Dan Hutang-Hutang Negara


- Suksesi-suksesi negara tidak akan mempengaruhi hak-hak dan
kewajiban-kewajiban, seperti kreditur. Suatu perjanjian antara
negara yang digantikan dengan negara suksesor yang mengatur
hutang-hutang negara yang harus beralih tidak dapat disandarkan
terhadap negara kreditur ketiga atau organisasi internasional
kreditur. (pasal 36)
- Pengalihan bagian wilayah suatu negara, dalam hal tidak adanya
suatu perjanjian, harus beralih dalam proporsi yang adil,
menyangkut harta benda, hak-hak dan kepentingan-kepentingan
yang beralih kepada negara-negara suksesor dalam hubungannya
dengan hutang yang relevan (pasal 37).
- Apabila negara suksesor merupakan negara yang baru merdeka,
maka tidak ada hutang yang beralih, kecuali ada perjanjian yang
mengatur lain mengingat ada kaitan antara hutang tersebut disatu
pihak dengan harta benda, hak-hak dan kepentingan-kepentingan
dilain pihak, yang beralih kepada negara-negara baru merdeka,
perjanjian mana tidak boleh melanggar prinsip kedaulatan tetap dari
rakyat terhadap kekayaan dan sumber daya alamnya, dan
pelaksanaannya tidak boleh membahayakan keseimbangan
ekonomi yang bersifat fundamental dari negara itu. (pasal 38).
- Apabila suatu negara memisahkan diri untuk membentuk negara
baru atau negara lama lenyap dan bagian-bagian wilayahnya
membentuk negara dua atau lebih, maka porsi pembagiannya
harus adil bagi hutang dari negara lama
Yang berkaitan dengan harta benda, hak-hak dan kepentingan-
kepentingan yang bertambah pada negara suksesor dalam
hubungannya dengan hutang-hutang yang bersangkutan, beralih
pada negara suksesor atau kepada tiap-tiap negara suksesor, yang
mungkin timbul (pasal 40 dan 41).

6. Suksesi Dan Hak-Hak Hukum Perdata Atau Hukum Nasional


- Hak-hak tetap dan hak-hak yang diperoleh yang berasal dari
hukum perdata (hukum nasional) harus dihormati oleh negara
aksesor.
- Jika negara suksesor mengganti hukum nasionalnya, maka hak-
hak yang berasal dari hukum perdata itu juga dapat berubah.
Negara suksesor senantiasa dapat mengganti hak-hak dengan
cara mengubah hukum nasional yang berlaku sebelumnya,
kecuali hal itu telah melanggar kewajiban yang bersifat independent
berdasarkan ketentuan dari hukum internasional, misalnya
pengambilalihan harta benda asing secara sewenang-wenang
bukan untuk kepentingan umum.

7. Suksesi Dan Perbuatan-Perbuatan Melawan Hukum (Tort)


- Tidak ada prinsip umum berkaitan dengan tanggungjawab delictual.
Dalam kasus Robert E. Brown claims dan Hawaian claims, negara
suksesor tidak terikat untuk menghormati suatu tuntutan yang tidak
dapat dinilai dengan uang bagi kerugian-kerugian karena perbuatan
melawan hukum.
- Jika jumlah tuntutan dapat dinilai dengan uang melalui perjanjian
antara para pihak atau melalui keputusan pengadilan, dan tidak
ada pernyataan ketidak wajaran atau ketidakadilan, maka negara
suksesor terikat untuk memenuhi jumlah tuntutan yang tidak dapat
dinilai dengan uang. Ketentuan ini tidak mempersoalkan apakah
perubahan kedaulatan itu dipaksakan atau secara sukarela.

8. Suksesi Dan Arsip-Arsip Nasional


- Prinsip umum bahwa arsip-arsip berkaitan dengan wilayah-wilayah
yang beralih atau pemerintahan di wilayah tersebut (dalam hal
pemisahan diri bagian atau bagian-bagian wilayah) atau sebagian
dari arsip-arsip itu secara eksklusif atau secara khusus berkaitan
dengan wilayah yang beralih atau dengan kata lain arsip yang
berkaitan dengan wilayah yang beralih pada suksesornya.
- Pasal 21 Konvensi Wina 1983 tentang Suksesi Negara Dalam
Kaitannya Dengan State Property, Arsip dan Hutang Melalui
Keberadaan Perjanjian Peralihan, menentukan : arsip dari
predecesor (negara yang digantikan) beralih pada suksesor pada
saat terjadinya suksesi. Jika tidak ada perjanjian, maka beralihnya
arsip itu tanpa ada kompensasi. Selain itu, Konvensi itu juga
mewajibkan predecessor untuk membantu proses penemuan dan
pengambilan arsip-arsip yang berkaitan dengan bekas daerah
jajahannya.
- Jika terjadi penggabungan negara, maka arsip dari predecessor
akan beralih pada suksesor. Seperti ditentukan pada pasal 29 dari
Konvensi diatas. Ketentuan itu juga diberlakukan pada kasus
terjadinya pemisahan wilayah. Dalam hal terjadinya disintergasi
wilayah, maka arsip-arsip itu akan beralih pada masing-masing
suksesor sesuai dengan relevansi arsip tersebut bagi masing-
masing suksesor yang terbentuk.
9. Suksesi Dan Nasionalitas
- Dengan adanya suksesi ini maka timbul persoalan dari negara
suksesor untuk menentukan status kewarganegaraan dari warga
negara negara terdahulu, terutama bagi warga negara yang
berada di luar wilayah negara pada saat terjadinya suksesi.
- Pada prinsipnya, orang-orang yang bertempat tinggal atau
berdomisili di wilayah negara yang berubah karena suksesi, tetap
memiliki kewarganegaraan dari negara aksesor.
- Tidak ada kewajiban menurut hukum internasioanl terhadap negara
suksesor untuk memberikan suatu hak opsi mengenai
kewarganegaraannya. Demikian juga, tidak ada kewajiban dari
negara yang pendahulu untuk menarik kewarganegaraan dari
orang-orang yang biasa bertempat tinggal atau berdomisili di
wilayah negara yang beralih.

C. Pengalihan Hak-Hak Dan Kewajiban-Kewajiban Karena


Perubahan Kedaulatan Negara Intern.
Suksesi pemerintahan (Succession on Government) adalah perubahan
kedaulatan wilayah suatu negara karena sebab-sebab intern, yang dapat
terjadi secara konstitusional atau revolusi. Jika terjadi perubahan
organisasi pemerintahan atau perubahan konstitusional pada suatu
negara tertentu, negara itu menurut hukum internasional tetap terikat atas
hak-hak dan kewajiban-kewajiban menurut hukum internasional, termasuk
hak-hak dan kewajiban –kewajiban yang timbul dari traktat. Hal ini sesuai
dengan Prinsip Kontinuitas (Continuity).Berdasarkan Prinisip
Contunitas, pemerintah pengganti (Succesive Goverment) secara hukum
bertanggungjawab atas tindakan-tindakan pemerintah sebelumnya.
Prinsip Kontinuitas tidak berlaku dalam hal :
- Pemerintah pemberontak membentuk pemerintahan sementara
sebagai penguasa de facto menguasai suatu wilayah negara yang
kemudian ditumpas oleh pemerintah induknya. Dalam hal ini
pemerintah induk tidak bertanggungjawab atas segala hutang-hutang
atau kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh pemerintah
pemberontak, kecuali menyangkut hutang untuk kepentingan
keseluruhan dan kesalahan-kesalahan yang timbul akibat perbuatan
oleh pemerintah induk terhadap kewajiban menurut hukum
internasional.
- Suatu pemerintah yang secara tidak sah atau inkonstitusional dan
menetapkan control de facto untuk jangka waktu tertentu telah
mengikatkan diri dengan kewajiban-kewajiban terhadap negara-
negara lain. Jika pemerintah yang digulingkan mengambil kembali
roda pemerintahan, maka traktat-traktat yang timbul sebelumnya
menjadi tanggungjawab/resiko dari para pihak terkait, dan pemerintah
yang menggantikan dapat mengajukan klaim bahwa ia tidak terikat
apabila telah pulih kembali pemerintahannya.
- Prinsip kontinuitas tidak berlaku tidak wajar, dalam hal ketentuan-
ketentuan dalam traktat mengikat negara baik secara tegas atau
tersirat yang didasarkan atas asumsi bentuk khusus pemerintahan
atau kelanjutan konstitusi khusus itu berubah dan tidak mengikat
pemerintahan yang baru. Demikian juga jika terjadi perubahan
revolusioner fundamental dengan munculnya suatu pemerintahan
dengan politik, ekonomi, dan sosial yang baru sehingga tidak mungkin
untuk mempertahankan pemerintah tersebut pada kewajiban-
kewajiban yang memberatkan.

K. YURISDIKSI NEGARA

Michael Akherust mengartikan yurisdiksi (Jurisdiction) dalam 4 arti :


1. Yurisdiksi eksekutif (Executive Jurisdiction) : kemampuan suatu
negara untuk menjalankan fungsi eksekutifnya di negara asing
2. Yurisdiksi Judisial (Judicial Jurisdiction) : Kemampuan pengadilan
suatu negara untuk menilai atau mengadili kasus-kasus yang di
dalamnya memuat elemen-elemen asing.
3. Yurisdiksi Legislatif (Legislative Jurisdiction) : kemampuan suatu
negara menerapkan peraturannya pada kasus-kasus yang memuat
elemen-elemen asing.
4. Kewajiban negara untuk menghormati pelaksanaan jurisdiksi negara
lain.

Prinsip Yurisdiksi Domestik


Yurisdiksi domestic merupakan wilayah kompetensi dari suatu negara
untuk melaksanakan kedaulatannya secara penuh tanpa campur tangan
dari negara lain, bahkan hukum internasional.

Dasar-Dasar Yurisdiksi
A. Teritorial
- Prinsip Jurisdiksi Teritorial memberikan kewenangan terhadap
suatu negara untuk melaksanakan kedaulatannya terhadap
kejadian-kejadian yang terjadi di wilayahnya, serta memberikan
hukuman terhadap warga negara asing yang melakukan kejahatan
atau pelanggaran di wilayah suatu negara. Dengan prinsip ini
sebagai dasar atau alasan suatu negara mengadili suatu perkara.
- Prinsip teritorial terbagi menjadi 2 bagian :
1. Prinsip Teritorial Subyektif : Suatu negara memiliki kewenangan
atas suatu kejahatan yang direncanakan di negara tersebut
tetapi diselesaikan di negara lain.
2. Prinsip Teritorial Obyektif, merupakan kebalikan dari prinsip
teritorial subyektif, yaitu suatu negara memiliki kewenangan
atas suatu kejahatan yang direncanakan di negara lain tetapi
dilaksanakan di negara tersebut.
B. The Effect Doctrine
- Penerpan Prinsip The Effect ini didasarkan atas akibat dari suatu
perbuatan / kejahatan yang dilakukan orang asing atau negara
lain yang berdampak pada suatu negara.
- Beberapa kasus berkaitan dengan penerapan Prinsip ini :
1. Kasus Alcoa : Amerika Serikat mengklaim memiliki jurisdiksi
atas tindakan perusahaan asing (anggota suatu kartel), yang
berakibat mempengaruhi ekspor dan impor Amerika Serikat.
Putusan hakim atas kasus ini lebih menekankan pada
intensional terhadap situasi ekonomi Amerika Serikat, bukan
atas tindakan-tindakan secara fisik.
2. The Uranium Antitrust Litigation : Perusahaan uranium
membentuk kartel untuk monopoli penjualan uranium di dunia.
Di lain pihak, Westinghouse (perusahaan AS), yang menjual
uranium tidak mampu memenuhi kontraknya. Sesuai dengan
hukum antitrust, Westinghouse menuntut di pengadilan atas
perbuatan monopoli penjualan uranium yang dilakukan oleh
kartel tersebut.

C. Kebangsaan
- Penerapan prinsip ini didasarkan atas kebangsaan dari pihak
yang terkait dalam suatu perkara, dimanapun ia berada.
- Kebangsaan seseorang didasarkan atas hubungannya atau
keterkaitannya dengan negaranya, berupa ius soli (kelahiran , ius
sanguinis (keturunan), dalam hal anak tidak memiliki bapak,
maka anak mengikuti kewarganegaraan bapaknya.
- Mengenai syarat-syarat kebangsaan seseorang dapat ditemukan
pada pasal 2 the Hague Convention on Certain Question
Relating to the Conflict of the Nationality Laws : “...any question
as to wether a person possesses the nationality of a particular
State shall be determined in accordance with the law of the
State.
- Kebangsaan suatu kapal laut, sesuai Konvensi Hukum Laut PBB
1982 ditentukan menurut status bendera kapalnya. Untuk
pesawat udara status kebangsaan pesawat udara sesuai
Konvensi Chicago, ditentukan menurut tempat pendaftaran
pesawatnya.
- Berkaitan dengan prinsip kebangsaan ini, Konvensi Mengenai
Pengurangan Orang Yang Tak Berkewarganegaraan,
mewajibkan kepada negara pesertanya untuk memberikan
kewarganegaraan bagi orang lahir di negaranya.

D. Nasonalitas Pasif
- Prinsip ini memberikan dasar klaim bagi suatu negara untuk
menerapkan jurisdiksinya dari korban actual dan atau potensial.
Demikian juga pendapat Shaw : suatu negara dapat mengklaim
jurisdiksi atas perbuatan orang asing yang dilakukan diluar
negeri yang diduga telah merugikan dari negara yang
bersangkutan, seperti dalam kasus the Cutting Case. Duduk
perkaranya : Cutting seorang warga negara AS, mengeluarkan
pernyataan subersif terhadap seorang warga negara Meksiko di
AS. Ketika Cutting berada di Meksiko, ia ditangkap dan ditahan
oleh pihak berwajib Meksiko atas dasar Prinsip Nasionalitas
Pasif.
- Amerika Serikat mengunakan prinsip nasionalitas pasif tertuang
dalam the Comprehensive Crime Control Act 1984, antara lain
menegaskan : “..any place outside jurisdiction of any nation with
respect to an offence by or against a national of the United
Nations”. Dalam perkara US v Yunis, terkait pembajakan yang
dilakukan oleh warga Lebanon, Pihak AS mengunakan prinsip
nasionalitas pasif hanya semata-mata terdapat beberapa warga
AS yang disandera di atas kapal tersebut.
- Keuntungan pengunaan Prinsip Nasionalitas Pasif : suatu negara
dapat melindungi warga negaranya di luar negeri serta dapat
dikaitkan dengan pelaksanaan ekstradisi.

E. Prinsip Protective
- Prinsip ini disebut juga dengan Prinsip Competence Reel, yang
memungkinkan suatu negara melakukan penuntutan terhadap
seseorang yang melakukan kejahatan berakibat merugikan
kepentingan nasional dari negara itu.
- Pengunaan prinsip Protective ini sering kali digunakan untuk
perjanjian-perjanjian yang khusus.
- Contoh pengunaan Prinsip Protective dalam kasus Einchmenn
(warga negara Argentina), yang diculik oleh Israel di Argentina
kemudian dibawa ke Israel atas tuduhan melakukan delicta juris
gentium terhadap bangsa Yahudi, meskipun orang yahudi itu
bukan warga negara Israel. Pengadilan Israel dalam hal ini
mengunakan Lingking the Point (terdapat hubungan) dalam
mengadili perkara itu.

F. Prinsip Universal
- Menurut Prinsip Universal, tiap-tiap negara memiliki jurisdiksi atas
kejahatan-kejahatan tertentu tanpa adanya pertimbangan lain.
Lahirnya prinsip ini didasarkan atas pemikiran adanya Hostis
Humani generis (timbulnya suatu kejahatan yang merupakan
kejahatan bagi seluruh umat manusia) serta adanya kehendak
bersama untuk membasmi kejahatan seperti itu, yang terdapat
pada perjanjian-perjanjian internasional atau resolusi-resolusi
dari organisasi internasional.
- Prinsip Universal ini muncul pada abad ke 17 sebagai hukum
kebiasaan, sebagai upaya untuk menumpas pembajakan.
Menurut prinsip ini, maka setiap negara dapat mengadili pelaku
kejahatan pembajakan, dengan tujuan untuk melindungi
kepentingan negaranya sendiri dan negara lain.
- Prinsip Universal saat ini dapat diterapkan pada kejahatan-
kejahatan : pembajakan, perdagangan budak, perdagangan
narkotika, terorisme, kejahatan perang, genoside, pembajakan
pesawat.
- Terdapat beberapa keberatan atas penerapan Jurisdiksi Universal
ini : sebagai bentuk ikut campur urusan dalam negeri suatu
negara dan dapat merusak hubungan luar negeri.

G. Treaty Based Extensions of Jurisdiction.


- Yurisdiksi ini diperoleh suatu negara melalui ketentuan yang
terdapat dalam perjanjian internasional.
- Tujuan penerpan jurisdiksi ini untuk mencegah pelaku kejahatan
dari hukuman atau yursidiksi universal antar negara-negara
peserta.
- Jurisdiksi ini digunakan terhadap pelaku kejahatan-kejahatan
terorisme dan kejahatan terorganisir.
- Contoh penerapan jurisdiksi ini : Monteral Convention for the
Suppression of Unlawful Act against the Safety of Civil Aviation,
dalam konvensi ini menentukan : seseorang yang melakukan
kekerasan terhadap orang lain dalam pesawat terbang dan dapat
membahayakan pesawaat tersebut. Konvensi menuntut negara
peserta untuk menyediakan hukuman bagi perbuatan tersebut dan
memberikan yurisdiksi dalam keadaan tertentu, yang termasuk
diantaranya kejahatan yang dilakukan di dalam wilayah negara
tersebut, didalam pesawat yang didaftarkan di negara tersebut,
dilakukan dalam pesawat yang mendarat di wilayahnya dengan
pelaku di dalamnya.

L. SENGKETA INTERNASIONAL (INTERNATIONAL DISPUTE)

Ruang lingkup sengketa internasional berupa sengketa-sengketa


antar negara dan kasus-kasus yang berada dalam pengaturan hukum
internasional, seperti individu-individu, badan-badan korporasi dan badan-
badan bukan negara.
Metode penyelesaian sengketa internasional:
1. Cara-cara penyelesaian secara damai.
2. Cara-cara penyelesaian secara kekerasan

Cara-Cara Penyelesaian Secara Damai berupa:


a. Arbitrasi (Arbitration).
b. Penyelesaian Yudicial ( Judicial Settlement)
c. Negosiasi, jasa-jasa baik, Mediasi, Konsiliasi.
d. Penyelidikan (Inquiry).
e. Penyelesaian melalui organisasi internasional.

Arbitrasi
- Pengunaan Arbitrasi sudah cukup tua, tetapi Arbitrsi dalam arti
modern digunakan sejak Jay Treaty 1794 antara Amerika Serikat
dengan Inggeris yang mengatur pembentukan Joint Mix Commissions
untuk penyelesaian masalah-masalah tertentu yang tidak dapat
diselesaikan melalui traktat itu.
- Faktor lain yang mendorong berkembangnya pengunaan Arbitrasi
dalam penyelesaian sengketa internasional : Alabama Claims Award
1872. Menurut Manly H. Hudson :”Dalam tiga Dekade sejak tahun
1872 pengadilan Arbitrasi berhasil menyelesaikan ratusan perkara”.
Arbitrasi menjadi tangan utama legislasi internasional, karena
sengketa-sengketa penafsiran konvensi atau penerapan konvensi
dapat diajukan melalui Arbitrasi untuk diselesaikan. Demikian juga
sejumlah traktat Arbitrasi untuk penyelesaian kelompok sengketa
tertentu antara negara-negara peserta juga telah dibentuk.
- Tahun 1899 melalui Konferensi Den Haag telah mengkodifikasi
aturan-aturan Arbitasi dan pembentukan Permanent Court of
Arbitration, yang kemudian disempurnakan pada Konferensi Den
Haag tahun 1907.

Penyelesaian Yudisial
- Penyelesaian Yudisial merupakan penyelesaian yang dilakukan
melalui pengadilan internasional yang dibentuk untuk itu dengan
memberlakukan kaidah-kaidah hukum.
- Bentuk penyelesaian yudisial ini adalah : International Court of Justice
(Mahkamah Internasional). Mahkamah ini dibentuk berdasarkan Bab
VI pasal 92-96 Piagam PBB. Sesuai pasal 92 yang menyatakan
bahwa Mahkamah Internasional adalah organ utama PBB, yang
bekerja sesuai Statuta Mahkamah Internasional sebagai bagian
integral dari Piagam PBB.
- Yurisdiksi Mahkamah Internasional berwenang untuk menyelesaikan
kasus-kasus berupa sengketa penetapan batas territorial, batas
maritime, penghindaraan pengunaan kekerasan,
- Aspek-aspek lainnya berkenaan dengan Mahkamah Internasional
antara lain :
a. Mahkamah Internasional secara permanen merupakan pengadilan
yang diatur dengan Statuta dan ketentuan prosedurnya mengikat
bagi semua pihak yang terikat dengan Mahkamah.
b. Mahkamah Internasional memiliki panitera tetap, untuk fungsi
penerimaan arsif, pencatatan, pengesahan dari dokumen serta
pelayanan umum. Mahkamah dapat bertindak sebagai saluran
komunikasi tetap dengan pemerintahan dan badan-badan lain.
c. Proses peradilan dilakukan secara terbuka, sedangkan pembelaan-
pembelaan, catatan-catatan dengar pendapat dan putusan-
putusannya dipublikasikan.
d. Pada prinsipnya Mahkamah Internasional dapat dimasuki oleh
setiap negara untuk proses penyelesaian yudisial segala kasus
yang dapat diserahkan oleh negara-negara itu kepadanya dan
semua masalah khususnya yang diatur dalam Traktat dan Konvensi
yang berlaku.
e. Pasal 38 Statuta Mahkamah secara khusus menetapkan bentuk
hukum berbeda-beda yang harus diberlakukan Mahkamah dalam
perkara-perkara dan masalah-masalah yang diajukan terhadapnya,
tanpa mengeyampingkan kewenangan Mahkamah untuk
memutuskan suatu perkara ex aequo et bono apabila para pihak
setuju terhadap cara tersebut.
f. Keanggotaan Mahkamah berupa wakil-wakil dari bagian terbesar
masyarakat internasional dan mewakili sistim hukum utama sejauh
hal itu tidak bertentangan dengan pengadilan lain.
g. Mahkamah internasional dapat mengembangkan suatu praktek
yang konsisten dalam proses-proses peradilannya dan memelihara
kesinambungan wawasan terhadap suatu hal yang tidak sesuai
jika dilakukan dengan pengadilan-pengadilan ad hoc.

- Yurisdiksi International Court of Justice :


a. Untuk memutus perkara-perkara pertikaian (Contentious Case)
- Penyelesaian sengketa hanya dapat dimintakan oleh negara
peserta yang bersengketa dengan negara lain. Organisasi
internasional dan individu tidak dapat berperkara dihadapan MI.
Yurisdiksi MI meliputi semua perkara.
- Yurisdiksi MI umumnya bersifat non compulsory, oleh karenanya
pelaksanaan yurisdiksinya memerlukan persetujuan dari pihak-
pihak bersengketa.
- Yurisdksi MI dapat bersifat compulsory dalam hal negara-negara
yang bersengketa terikat pada suatu perjanjian internasional yang
menyetujui bahwa MI mempunyai yurisdiksi atas sengketa tertentu
diantara mereka dan bila negara yang bersengketa menyatakan
mengakui klausul optional (Klausul ini menyatakan bahwa negara
pihak statuta dapat menyatakan mengakui yurisdiksi MI dan tanpa
persetujuan khusus dalam hubungannya dengan negara lain yang
juga mengakui yurisdiksi compulsory MI).
- Keputusan MI bersifat mengikat bagi para pihak yang bersengketa.
Keputusan ini juga bersifat final. MI tidak dapat mengeksekusi
keputusannya. Bila pihak yang bersengketa tidak mentaati
keputusan MI, maka dapat minta bantuan Dewan Keamanan PBB
untuk mengambil tindakan guna melaksanakan putusan MI
tersebut.
- Putusan MI tidak dapat dibanding, namun dapat dimintakan revisi
jika terdapat Decisive Factor (factor penentu) baru yang
berhubungan dengan sengketa yang diputuskannya.

b. Untuk memberikan opini-opini nasehat (Advisory Opinion)


- Advisory Opininon MI adalah pendapat MI dalam memecahkan
masalah hukum, yang abstrak maupun kongkrit, yang diajukan oleh
badan yang berwenang untuk itu menurut Piagam PBB.
- Advisory Opininon MI tidak bersifat mengikat, namun bagi badan
PBB yang memintakannya dapat menerima ketentuan itu sebagai
bersifat memaksa.
- Badan PBB yang dapat mengajukan permohonan langsung untuk
meminta advisory Opinion MI adalah Majelis Umum dan Dewan
Keamanan PBB. Sedangkan badan yang dapat meminta Advisory
Opinion PBB melalui ijin dari Majelis Umum PBB adalah Badan-
Badan Khusus PBB hanya untuk permasalahan hukum yang terkait
dengan bidang tugasnya. Negara tidak dapat mengajukan
permohonan Advisory Opinion pada MI.
- Keputusan pemberian Advisory Opinion MI di dasarkan atas
ketentuan hukum internasional, yang ditetapkan dalam sidang
terbuka.
- International Court of Justice terbuka :
a. Bagi negara-negara anggota atau bukan anggota PBB yang
menjadi peserta Statuta ICJ.
b. Bagi negara-negara lain yang ditentukan oleh DK PBB, tunduk
pada ketentuan-ketentuan khusus pada traktat yang berlaku
dan syarat-syarat itu tidak untuk menempatkan para pihak
dalam kedudukan yang tidak sama di hadapan Mahkamah
Internasional (pasal 35 Statuta ICJ)

Pengadilan-Pengadilan Internasional Lainnya :


- Pengadilan Nurenberg 1946 dan Tokyo 1948, kedua pengadilan ini
mengadili para pelaku/pejabat yang berasal dari Jerman dan Jepang
atas kejahatan terhadap perang, perdamaian dan kemanusiaan pada
waktu terjadinya perang dunia ke II.
- Pengadilan Internasional ad Hoc.
Pengadilan ini dibentuk untuk menagani kasus-kasus berat
pelanggaran hak asasi manusia. Contoh pengadilan ad hoc ICTY
untuk mengadili pelanggaran berat HAM yang terjadi di Yugoslavia.
ICTY memiliki kewenangan atas kejahatan terhadap pelanggaran
Konvensi-konvensi Jenewa, pelanggaran atas hukum dan kebisaan
perang, genosida, serta kejahatan HAM lainnya, yang terjadi di
wilayah bekas Yugoslavia sejak tanggal 1 Januari 1999. Pengadilan
ad hoc lainnya adalah pengadilan ad hoc bagi Rwanda (ICTR) tahun
1994, yang berwenang mengadili kejahatan genosida, kejahatan atas
kemanusiaan, pelanggaran pasal 3 Konvensi Jenewa dan Protokol
Tambahan II yang terjadi di wilayah Rwanda antara 1 Januari dan 13
Desember 1994.
- Pengadilan Pidana Internasional Permanent (ICC).
Statuta ICC mulai berlaku tanggal 1 Juli 2002. ICC ini memiliki
yurisdiksi atas kejahatan Genoside, kemanusiaan, kejahatan perang
(pasal 5 Statuta ICC). Berlakunya yurisdiksi ICC terhadap :
1. Kejahatan yang terjadi dalam wilayah negara peserta.
2. Kewarganegaraan dari pelaku dari negara peserta Statuta ICC.
(pasal 12 ayat 1 Statuta ICC).
Selain itu, yurisdiksi ICC merupakan perluasan pengadilan pidana
nasional dari negara-negara pesertanya.

- Pengadilan Internasional Regional seperti Pengadilan HAM Amerika,


Pengadilan HAM Eropa yang secara khusus mengadili pelanggaran
HAM.

Negosiasi, jasa-jasa baik, Mediasi, Konsiliasi.


- Negosiasi ini merupakan bentuk penyelesaian yang bersifat tradisional
dan paling sederhana. Negosiasi akan melibatkan pihak-pihak yang
terkait dengan masalah yang akan diselesaikan, yang tidak
melibatkan pihak ketiga.
- Mediasi merupakan bentuk penyelesaian dengan melibatkan pihak
ketiga sebagai mediator. Peran Mediator sebagai good office guna
mencariklan solusi yang tepat untuk tercapainya kesepakatan bagi
para pihak yang berselisih. Cara melalui mediasi ini dapat terlaksana
apabila para pihak bersepakat dan Mediator menerima syarat-syarat
yang diberikan oleh para pihak yang berselisih.
- Konsiliasi dilakukan dengan membentuk komisi baik bersifat
permanent atau sementara, untuk menyelesaikan pertikaian dari para
pihak (pasal 1 the Regulations on the Procedure of International
Conciliation).

Penyelidikan (Inquiry).
- Cara penyelesaiana sengketa dengan Inquiry ini dilakukan dengan
mendirikan suatu komisi atau badan bersifat internasional guna
mencari bukti-bukti yang relevan dengan masalah yang diseldidki.
Penyelesaian Sengketa Melalui Organisasi Internasional
a. Organisasi Regional
- Deklarasi Manila 1982 tentang penyelesaian sengketa secara
damai, dapat dilakukan melalui Organisasi Regional, seperti OAU,
NATO, EEC, Liga Arab, OAS. Salah satu fungsi dari Organisasi itu
menyediakan wadah bagi pemerintah-pemerintah untuk melakukan
hubungan diplomatic.
- Organisasi Internasional Regional umumnya bertindak sebagai
Good Office dan mediasi, Selain itu juga mengunakan metode
inquiry dan konsiliasi.
b. Penyelesaian dibawah PBB.
- Sesuai pasal 2 Piagam PBB menentukan cara penyelesaian damai
dan anti kekerasan atas penyelesaian sengketa-sengketa yang
timbul dari anggota PBB.
- Majelis Umum PBB berwenang untuk merekomendasikan tindakan-
tindakan penyelesaian secara damai atas terganggunya hubungan
bersahabat antara negara anggota. (pasal 14 Piagam PBB).
- Dewan Keamanan PBB memiliki wewenang terhadap 2 jenis
sengketa yaitu :
1. Sengketa-sengketa yang dapat membahayakan perdamaian
dan keamanan internasional.
Dalam kasus ini, Mahkamah Internasional dan Dewan
Keamanan PBB dapat mengupayakan cara-cara penyelesaian
damai melalui arbitrasi, konsiliasi, inquiry, yudisial, dan
negosiasi.
2. Sengketa-sengketa yang mengancam perdamaian, atau
melanggar perdamaian atau tindakan-tindakan agresi. Untuk
sengketa ini, Dewan Keamanan dapat melakukan tindakan-
tindakan berupa pemberian sanksi ekonomi dan pengunaan
kekuatan senjata bagi pihak yang menolak terikat dari
keputusan-keputusan PBB.

Cara-Cara Penyelesaian Dengan Kekerasan


1. Perang dan tindakan bersenjata non perang
2. Retorsi (Retorsion)
3. Tindakan-tindakan pembalasan (Reprisal)
4. Blokade secara damai (Pacific Blockade)
5. Intervensi (Intervention). Bagian ini telah diuraikan pada halaman 8-9.

Perang
- Perang dimaksudkan untuk menaklukan negara lawan dan
membebankan syarat-syarat penyelesaian dimana negara yang kalah
perang tidak memiliki alternative lain, selain mematuhinya.
- Menurut Hall pengertian perang dapat digambarkan sebagai berikut :
Apabila perselisihan antara negara-negara mencapai suatu titik
dimana kedua belah pihak berusaha untuk memaksa atau salah satu
dari mereka melakukan tindakan kekerasan, yang dipandang oleh
pihak lainnya sebagai pelanggaran perdamaian, maka terjadilah
hubungan perang, dimana pihak-pihak yang bertempur satu sama
lain dapat mengunakan kekerasan sesuai dengan peraturan, hingga
salah satu dari mereka dapat menerima syarat-syarat yang
dikehendaki oleh pihak musuh.
- Menurut JG. Starke hukum perang adalah sekumpulan pembatasan
oleh hukum internasional dalam mana kekuatan yang diperlukan
untuk mengalahkan musuh dibolehkan dan prinsip-prinsip yang
mengatur perlakuan terhadap individu-individu pada saat
berlansungnya perang serta konflik-konflik bersenjata.
- Pengaturan hukum perang antara lain dimuat pada hukum kebisaan
dan berbagai perjanjian internasional (Traktat atau Konvensi) seperti
Konvensi Palang Merah 1949 (Konvensi Jenewa 1949), Protokol
Tambahan Konvensi Jenewa I Tahun 1977 dan Protokol Tambahan
Konvensi Jenewa II Tahun 1977. Dengan adanya pengaturan perang
dalam berbagai konvensi atau traktat itu, maka aturan-aturan hukum
perang tidak hanya ditujukan pada upaya mengatur perang,
melainkan juga, dengan alasan kemanusiaan, dimaksudkan untuk
membatasi atau mengurangi akibat-akibat dari perang bagi individu-
individu serta membatasi kawasan-kawasan yang diperbolehkan
untuk perang. Oleh sebab itu pula, ketentuan-ketentuan hukum
perang biasa juga disebut sebagai Humanitarian Law of War
(Hukum perang yang berprikemanusiaan).
- Alasan pengunaan kekerasan militer (perang) :
a. Self Defence
Pada The Kellog-Brian Pact, pasal 1, melarang pengunaan
kekerasan dalam penyelesaian sengketa antar negara. Demikian
juga pasal 3 ayat (2) Piagam PBB yang menentukan agar setiap
anggota PBB menyelesaikan sengketa internasional secara damai
dan mengunakan cara-cara sedemikian rupa agar perdamaian,
keamanan dan keadilan tidak terancam. Tetapi, sesuai pasal 51
Piagam PBB, menentukan diperkenankannya pengunaan
kekerasan oleh negara peserta dalam penyelesaian sengketa
dengan alasan bela diri. Ruang lingkup Self Defence dalam arti
luas mencakup tindakan militer (serangan bersenjata), tindakan
antisipatif serta perlindungan warga negaranya yang berada diluar
wilayah kedaulatan teritorialnya. Pelaksanaan Self Defence dapat
dilakukan secara individual dan kolektif. Pengunaan self defence
secara kolektif dapat ditemukan padal pasal 5 Pakta Nato 1949
yang menentukan adanya Klausul all for one, dimana jika ada
serangan pada salah satu anggota NATO merupakan serangan
bagi negara-negara anggota NATO lainnya. ICJ dalam kasus
Nicaragua menyatakan bahwa pengertian Self Defence secara
kolektif dikenal dalam hukum kebiasaan internasional. Untuk
menghindari penyalahgunaan, pengadilan memberikan batasan
procedural berupa : 1. Harus ada bukti akan adanya serangan
bersenjata oleh negara lain terhadap negaranya. 2. Negaranya
memahami bahwa ia telah menjadi obyek serangan militer dari
negara lain. 3. Negara yang diserang akan meminta pertolongan
dari negara lain. 4. Negara lain yang membantu itu, tidak
mendasarkan tindakannya atas pemahamamnnya sendiri.
Contohnya : ketika Kuwait meminta bantuan Dewan Keamanan
PBB, atas invasi yang dilakukan Irak terhadap negaranya.
b. Humanitarian Intervention (Campur tangan kemanusiaan):
Pasal 2 ayat 7 Piagam PBB dengan tegas melarang intervensi
terhadap persoalan domestic dari suatu negara. Tetapi dalam
prakteknya, suatu negara dapat melakukan intervensi terhadap
persoalan intern suatu negara berdasarkan alasan Humanitarian.
Contohnya : ketika terjadinya konflik perang di Bosnia-
Herzegovina dan Serbia tahun 1992, dimana pasukan NATO
dengan alasan kemanusian, melakukan perlawanan terhadap
tentara Serbia yang telah melakukan kejahatan HAM di wilayah
bekas Yugoslavia.
OBrien menentukan beberapa syarat untuk melakukan
Humanitarian Intervention :
1. Harus adanya ancaman terhadap HAM yang bersifat massif.
2. Intervensi harus dibatasi hanya untuk perlindungan HAM.
3. Tindakan intervensi bukan atas undangan dari pemerintah
setempat melainkan atas dasar Resolusi Dewan Keamanan
PBB.

Retorsi
- Retorsi merupakan pembalasan dendam oleh suatu negara terhadap
tindakan-tindakan tidak pantas atau tidak patut dari negara lain, balas
dendam itu dilakukan dalam bentuk tindakan-tindakan sah yang tidak
bersahabat dalam konferensi negara yang kehormatannya di hina.
Contoh : Pencabutan priveleges-priveleges diplomatic, penarikan diri
dari konsesi-konsesi fiscal dan bea.

Tindakan-Tindakan Pembalasan
- Reprisal digunakan untuk memperoleh ganti kerugian dari negara lain
dengan cara tindakan-tindakan pembalasan. Bentuk Reprisal :
penyitaan harta benda, penahanan seseorang, tindakan pemaksaan
suatu negara terhadap negara lain karena perbuatan illegal untuk
menyelesaikan suatu sengketa.
- Perbedaan Retorsi dengan Reprisal :
1. Retorsi merupakan tindakan balas dendam yang dapat dibenarkan
oleh Hukum.
2. Pembalasan secara umum mencakup tindakan pembalasan yang
illegal
- Dalam praktek saat ini, tindakan pembalasan hanya dibolehkan bila
negara yang menjadi objek pembalasan telah bersalah karena
pelanggaran internasional. Pembalasan tidak dibenarkan bila negara
pelanggar tanpa diminta memberikan ganti rugi akibat kesalahannya
atau melebihi porsi dari kerugian yang diderita.
- Prinsip lain dari pembalasan adalah tindakan itu dilakukan setelah
negosiasi-negosiasi untuk penyelesaian dari negara yang melanggar,
mengalami kegagalan.
- Tindakan pembalasan di masa perang berbeda dengan tindakan
pembalasan pada masa damai, yang ditujukan untuk penyelesaian
perang.

Blokade Secara Damai (Facific Blockade)


- Blokde adalah pengepungan suatu wilayah, yang digunakan untuk
menyelesaikan suatu sengketa.
- Blokade terdiri dari Blokade secara damai dan Blokade di masa
perang. Blokade pelabuhan dimasa perang merupakan operasi
angkatan laut yang biasa dilakukan.
- Blokade dimasa damai biasa juga disebut sebagai pembalasan.
- Piagam PBB hanya membolehkan blockade oleh anggota PBB yang
ditetapkan oleh Dewan Keamanan PBB dalam rangka memelihara
atau mengembalikan perdamaian dan keamanan.
- Blokade oleh suatu negara sebagai tindakan sepihak oleh suatu
negara dianggap bertentangan dengan Piagam PBB.
- Secara historis, blockade pertama kali digunaklan tahun 1827, yang
dilakukan oleh pihak yang memiliki angkatan laut yang kuat terhadap
pihak yang lemah.
- Akibat hukum blockade di masa damai adalah : negara yang
memblokade tidak berhak menangkap kapal dari negara ketiga yang
mencoba melanggar blockade itu. Kapal dari negara ketiga tidak
terikat kewajiban untuk menghormati blockade tersebut. Hal ini
berbeda jika terjadi blockade di masa perang, kapal dari negara ketiga
terikat dengan blockade tersebut. Pihak dari pihak berperang dapat
melakukan pemeriksaan atas kapal netral.

M. PERLINDUNGAN ORANG ASING DALAM HUKUM


INTERNASIONAL

A. Arti Penting Nasionalitas


Individu yang bertempat tinggal dalam suatu negara berupa warga
negara dan bukan warga negara. Orang yang bukan warga negara ini
disebut sebagai orang asing Untuk menentukan seseorang penduduk
adalah warga negara atau bukan, hal tersebut diatur oleh hukum nasional
dari masing-masing negara. Dalam hukum nasionalnya akan ditentukan
siapa saja termasuk warga negaranya dan yang bukan. Meskipun masing-
masing negara berwenang menentukan peraturan kewarganegaraannya
yang diberlakukan dalam wilayah negara itu, tetapi negara tersebut juga
harus memperhatikan prinsip-prinsip hukum internasional yang terdapat
dalam perjanjian internasional, hukum kebiasaan internasional dan azas-
azas umum hukum internasional mengenai kewarganegaraan.30 Menurut
J.G. Starke, arti penting status kewarganegaraan (Nationality) seseorang
bagi hukum internasional adalah dalam hal :
1. Pemberian hak perlindungan diplomatik di luar negeri. Setiap negara
berhak melindungi warga negaranya di luar negeri.
2. Negara yang menjadi kebangsaan seseorang tertentu akan
bertanggungjawab kepada negara lain apabila negara itu melalaikan
kewajibannya mencegah tindakan-tindakan melanggar hukum yang
dilakukan oleh orang yang bersangkutan atau negara tersebut tidak
menghukumnya, setelah tindakan melanggar hukum itu dilakukan.
3. Secara umum, suatu negara tidak boleh menolak atau menerima
kembali warganegaranya sendiri di wilayahnya.
4. Nasionalitas berhubungan erat dengan kesetiaan, dan salah satu hak
utama dari kesetiaan adalah kewajiban untuk dinas militer di negara
terhadap mana kesetiaaan itu di baktikan.
5. Suatu negara mempunyai hak luas, kecuali adanya traktat khusus
yang mengikatnya untuk melakukan hak itu, untuk menolak
pengekstradisian warganya kepada negara lain yang meminta
penyerahannya.
6. Status musuh dalam perang dapat ditentukan oleh nasionalitas orang
tersebut.
7. Suatu negara melaksanakan yurisdiksi pidana dan yurisdiksi lainnya
berdasarkan nasionalitas seseorang.31
Dengan demikian, cukup penting untuk terlebih dahulu menentukan
status kewarganegaraan seseorang supaya tidak timbul keragu-raguan
dalam penerapan hukum kepadanya. Apabila timbul keragu-raguan,
maka aturan hukum yang dipergunakan adalah hukum nasional
setempat yang diakui oleh orang tersebut atau hukum yang berlaku di
negara yang diduga menjadi kebangsaan orang tersebut, demikian
pendapat Russell J dalam perkara Stoeck v Public Trustee, sebagai
berikut : ” Persoalan dari negara mana seseorang berasal pada akhirnya
harus diputuskan oleh hukum nasional setempat dari negara yang diklaim
oleh orang itu sebagai negaranya atau yang diduga sebagai negaranya ” .
Prinsip tersebut sesuai pula dengan pasal 1 dan 2 The Hague
Convention on the Conflict of Nationality Law 1930, berbunyi sebagai
berikut : Pasal 1 : “ Setiap negara untuk menentukan menurut haknya
sendiri tentang siapa yang merupakan warganegaranya . Hukum ini harus
diakui oleh negara-negara lain sejauh hal tersebut konsisten dengan

30
Yudha Bhakti Ardhiwisastra, 2003, Hukum Internasional Bunga Rampai, Alumni,
Bandung, h. 9-10.
31
J.G. Starke, Op. Cit., h. 459.
konvensi-konvensi internasional, kebiasaan internasional dan prinsip-
prinsip hukum yang umumnya diakui berkenaan dengan nasionalitas”.
Pasal 2 : “ Setiap persoalan mengenai apakah seseorang yang
berkewarganegaraan suatu negara harus ditentukan sesuai dengan
hukum dari negara tersebut”.32
Dalam membahas persoalan perlindungan hukum internasional
terhadap orang asing ini digunakan pendekatan doktrinal dan praktek
pengadilan internasional. Dari pendapat para ahli hukum internasional,
akan ditemukan azas-azas dan teori-teori hukum mengenai kedudukan
individu sebagai subyek hukum internasional. Azas-azas
kewarganegaraan sebagai dasar utama pemberlakuan azas yurisdiksi
dan tanggungjawab negara terhadap warga negaranya dan orang asing.

B. Individu sebagai Subyek Hukum Internasional


Terlepas dari kedudukan seorang individu sebagai warga negara
atau orang asing, ia adalah subyek hukum internasional, yang memiliki
hak dan kewajiban menurut hukum internasional dalam arti yang terbatas.
Dalam arti terbatas ini sebagai kebalikan dari pengertian negara sebagi
subyek hukum internasional dalam arti penuh. Pandangan ini didasarkan
pada konsep teoritis bahwa hanya negara sebagai subyek hukum, dan
individu memiliki hak dan kewajiban tertentu melalui negara yang menjadi
peserta suatu konvensi, seperti pada Konvensi Palang Merah Tahun
1949.33 Dengan meminjam istilah dari Prof. Nguyen Quoc Din, bahwa
individu adalah subyek hukum internasional buatan, karena kehendak
negaralah, yang dirumuskan dalam ketentuan-ketentuan konvensional,
yang menjadikan individu dalam hal-hal tertentu sebagai subyek hukum
internasional.34
Dalam perkembangannya, kedudukan individu sebagai subyek
hukum internasional menjadi penting dan paham mengenai hanya negara
sebagai subyek hukum internasional mulai ditinggalkan, seperti dalam
kasus Danzig Railway Officials Case , Mahkamah Internasional
mengeluarkan keputusan dalam diktumnya yang bersifat umum
berpendapat bahwa : ” Apabila suatu perjanjian internasionl memberikan
hak tertentu kepada orang perorangan, hak itu harus diakui dan
mempunyai daya laku dalam hukum internasional, artinya diakui oleh
badan peradilan internasional”. Demikian pula dengan adanya peradilan di
Nurenberg dan Tokyo dalam mengadili para pelaku kejahatan perang,
dalam hal mana para pelaku kejahatan bertanggungjawab secara
individu atas kejahatan perang dan kejahatan kemanusiaan, dan tidak
dapat berlindung pada negaranya.35

32
Ibid, h. 460-461.
33
Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes, Op. Cit., h. 96.
34
Boer Mauna, 2001, Hukum Internasional Pengertian Peranan Dan Fungsi Dalam Era
Dinamika Global, Alumni, Bandung, h. 594.
35
Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes, Op. Cit., h. 104-105.
C. Yurisdiksi Negara Terhadap Orang Asing.
Praktek pelaksanaan yurisdiksi oleh beberapa negara yang
diberlakukan terhadap orang, harta bendanya, tindakan atau peristiwa,
berbeda-beda dan perbedaan itu disebabkan oleh faktor-faktor historis
dan geografis suatu negara.36
Dalam hukum internasonal dikenal beberapa prinsip-prinsip yurisdiksi :
1. Yurisdiksi teritorial, pelaksanaan yurisdiksi teritorial oleh suatu negara
terhadap harta benda, orang, tindakan dan peristiwa yang terjadi
dalam wilayah suatu negara diakui oleh hukum internasional untuk
semua negara anggota masyarakat internasional. Menurut pasal 9
Konvensi Montevideo Tahun 1933, bahwa : ” The jurisdiction of
states within the limits of national territory applies to all the
inhabitants”. Dengan demikian berlakunya jurisdiksi teritorial suatu
negara adalah dalam batas-batas wilayahnya, dan akan tetap
melekat padanya karena negara tersebut berdaulat. Termasuk pula
teritorial suatu negara adalah jalur pantai maritim atau laut tertorial,
kapal yang berbendera dari suatu negara tertentu, dan pelabuhan-
pelabuhan. Perluasan pengertian yurisdiksi teritorial adalah prinsip
teritorial subyektif dan prinsip teritorial objektif. Yang dimaksud prinsip
teritorial subyektif adalah suatu negara menjalankan yurisdiksinya
untuk menuntut dan menghukum perbuatan pidana yang dilakukan di
wilayah negaranya, tetapi perbuatan itu diselesaikan di wilayah
negara lain . Penerapan prinsip ini belum berlaku umum dalam
praktek internasional tetapi dimasukan dalam pada Geneva
Convention for Suppression of Cunterfeiting Currency, 1929 dan
Geneva Convention for Suppression of the Illicit Traffic Drug Tahun
1939. Sedangkan dalam teritorial obyektif, maka suatu negara
tertentu dapat menerapkan yurisdiksi obyektif , apabila suatu
perbuatan pidana atau perbuatan lainnya yang dilakukan di negara
lain tetapi dilaksanakan atau diselesaikan di dalam wilayah negara
mereka, atau perbuatan itu menimbulkan akibat yang sangat
berbahaya bagi ketertiban sosial dan ekonomi di wilayah negara
mereka. Prinsip ini dianut pula pada dua konvensi tersebut diatas dan
diakui dalam keputusan-keputusan pengadilan di Amerika Serikat,
Inggeris dan Jerman. Selain itu juga diakui yurisdiksi teritorial
terhadap orang asing, dengan mengutip pendapat Hakim J.B. Moore
dalam Lotus Case, antara lain menyatakan ”Tidak ada anggapan
imunitas yang muncul dari fakta bahwa orang yang dikenai perkara
itu orang asing; seorang asing tidak dapat menuntut pembebasan
dari pelaksanaan yurisdiksi demikian kecuali sejauh orang itu dapat
memperlihatkan hal-hal berikut : karena alasan imunitas khusus, ia
tidak tunduk pada hukum lokal atau hukum lokal itu tidak sesuai

36
J.G.Starke, Op. Cit., h. 269.
dengan hukum internasional”.37 Pengecualian dari pelaksanaan
yurisdiksi teritorial ini adalah : terhadap kepala negara asing,
perwakilan dan konsul asing, kapal milik asing, dan angkatan
bersenjata milik asing, lembaga internasional.
2. Yurisdiksi individu, penerapan yurisdiksi ini tergantung pada pelaku
individunya yang terlibat dalam peristiwa hukum tertentu, bukan pada
aspek teritorial suatu negara. Dalam praktek internasional, yurisdiksi
individu ini diberlakukan menurut prinsip-prinsip nasionalitas aktif dan
nasionalitas pasif. Menurut prinsip nasionalitas aktif, maka negara
dapat melaksanakan yurisdiksi terhadap semua warganegaranya,
sedangkan menurut prinsip nasionalitas pasif, maka negara dapat
menjalankan yurisdiksinya apabila seorang warga negara menderita
kerugian. Hukum internasional mengakui prinsip ini dengan
pembatasan tertentu, seperti dalam Cutting Case, dimana negara
yang tidak mengakui prinsip ini juga tidak wajib memberikan
pengakuan terhadap peradilan yang dilaksanakan oleh negara lain
terhadap warga negaranya. Dasar pembenar terhadap prinsip
nasionallitas pasif adalah setiap negara berhak melindungi
warganegaranya di luar negeri dan apabila negara teritorial dimana
tindak pidana itu terjadi tidak menghukum orang yang menyebabkan
kerugian tersebut, maka negara asal korban berwenang terhadap
tindak pidana itu, apabila orang tersebut berada dalam wilayahnya.
3. Yurisdiksi menurut prinsip perlindungan, setiap negara berwenang
melaksanakan yurisdiksinya terhadap kejahatan yang menyangkut
keamanan, integritas dan kepentingan ekonomi yang vital, dengan
alasan-alasan bahwa akibat tindak pidana itu sangat besar bagi
negara yang dimaksud dan apabila yurisdiksi itu tidak dilaksanakan
maka pelakunya akan lolos dari penghukuman karena tidak
melanggar hukum lokal atau ekstradisi ditolak dengan alasan tidak
pidana bersifat politis. Seperti misalnya praktek pengadilan di Inggeris
dalam Kasus Joyce V DPP, Majelis Tinggi berpendapat bahwa
”seorang asing yang menghianati Mahkota dapat di hukum meskipun
dilakukan di luar negeri”.
4. Yurisdiksi menurut prinsip-prinsip universal. Suatu tindak pidana yang
tunduk pada yurisdiksi universal ini adalah tindak pidana yang yang
berada dalam di bawah yurisdiksi semua negara dimanapun tindak
pidana itu dilakukan. Tindak pidana jure gentium dan semua negara
berhak untuk menangkap dan menghukum para pelakunya,
contohnya kejahatan perompakan dan kejahatan perang.
Seorang asing berhak atas perlindungan yang sama berdasarkan
undang-undang negara tempat ia berada dan berhak pula atas hak-hak
tertentu untuk memberikan kemungkinan kepadanya hidup secara layak,
seperti diatur pada pasal 9 Konvensi Montevideo Tahun 1933, yang
berbunyi:”Nationals and foreigners are under the same protection of law

37
Ibid, h. 277.
and the national authorities and the foreigners may not claim right other or
more than those of nationals“
Terlepas dari perlindungan yang sama atas hak-hak orang asing
berdasarkan peraturan perundang-undangan tuan rumah dihadapan
pengadilan, tetapi hukum internasional tidak melarang suatu negara
mengadakan perlakukan yang berbeda yang lebih mengutamakan pada
warga negaranya sendiri dari pada orang asing. Pada umumnya tidak
semua orang asing mempunyai hak dan kewajiban yang sama. Orang
asing penetap mempunyai hak dan kewajiban yang lebih besar
dibandingkan dengan mereka yang berada di wilayah suatu negara
sementara, seperti turis asing.38

D. Tanggungjawab Negara Terhadap Orang Asing.


Pada dasarnya hak dan kewajiban negara terhadap orang, baik
warga negara maupun orang asing, ditentukan oleh negara tersebut dan
kewarganegaraan dari orang yang bersangkutan. Setiap orang tersebut
tunduk pada kekuasaan negara dan harus mentaati hukum yang berlaku
di wilayah negara tersebut, terkecuali bagi orang asing dengan
pembatasan-pembatasan tertentu, seperti dalam hak politik, jabatan
dalam pemerintahan. Kewarganegaraan seseorang berhubungan erat
dengan negaranya, karena menimbulkan hak dan kewajiban secara
timbal - balik. Negara wajib melindungi warganegaranya di manapun
berada, dan setiap warga negara tetap tunduk atas kekuasaan negaranya
serta mentaati hukum yang berlaku di negaranya. Bagi warga negaranya
yang berada di luar negeri, berlakunya kekuasaan negara dan aturan
hukum baginya, dibatasi oleh kekuasaan dan hukum negara dimana ia
berada.39 Praktek negara-negara dalam memperlakukan orang asing yang
berada di wilayah negaranya selalu disertai dengan pembatasan-
pembatasan tertentu, seperti dalam bidang perpajakan, hak untuk
pekerjaan tertentu , tempat tinggal, kepemilikan harta benda, privilege dan
imunitas sipil dan keimigrasian.
Dalam doktrin hukum internasional terdapat beberapa pendapat
berkenaan dengan masuknya orang asing pada wilayah suatu negara :
1. Suatu negara wajib memberikan ijin kepada semua orang asing.
2. Suatu negara wajib memberikan ijin kepada semua orang asing,
dengan syarat bahwa negara tersebut boleh menolak golongan-
golongan tertentu, misalnya pecandu obat bius, orang mengidap
penyakit berbahaya .
3. Suatu negara terikat untuk mengijinkan orang asing masuk tetapi
dengan mengenakan syarat-syarat pada ijin masuk.
4. Suatu negara sepenuhnya berhak melarang semua orang asing
menurut kehendaknya.

38
Yudha Bhakti Ardhiwisastra,Op. Cit., h.19.
39
F. Sugeng Istanto, Op. Cit., h.42.
Praktek negara-negara dalam hal pemberian ijin masuk orang
asing di wilayah negaranya, selalu disertai dengan persyaratan-
persyaratan tertentu yang diatur dalam hukum nasional masing-masing
negara. Tindakan ini sesuai dengan pencerminan dari prinsip kedaulatan
negara yang dianut oleh suatu negara, bahkan praktek pengadilan di
Amerika dan Inggris menegaskan bahwa larangan masuk orang asing
yang dilakukan oleh suatu negara sebagai suatu peristiwa kedaulatan
teritorial. Pengecualian terhadap larangan masuk orang asing ke wilayah
suatu negara, dapat ditentukan dalam perjanjian internasional yang
mengikat bagi negara-negara tersebut. Dalam hukum internasional sendiri
tidak mempunyai kewajiban untuk mengijinkan masuknya orang asing
secara bebas dan tidak menetapkan jangka waktu tertentu bagi orang
asing yang masuk dalam wilayah suatu negara.40
Suatu negara bertanggungjawab terhadap warga negara asing dan
harta miliknya yang berada di wilayah negaranya. Perjanjian
internasional multilateral dan regional atau melalui hukum nasional
menetapkan hak dan kewajiban negara terhadap orang asing yang berada
dalam wilayah suatu negara, pelanggaran terhadap kewajiban itu
menyebabkan negara harus bertanggungjawab terhadap orang asing
tersebut. Selain itu, ada juga alasan munculnya pertanggungjawaban
negara sebagai akibat tindakan yang dilakukan oleh organ atau
pejabatnya berupa melakukan perbuatan mistreatment terhadap orang
asing dan tindakan atau kelalaian yang merugikan secara ekonomis dan
fisik yang dilakukan oleh negara terhadap orang asing.41
Ada 2 pendapat berkenaan dengan perlakuan terhadap orang
asing :
1. International Minimum Standard. Pandangan ini dianut oleh negara-
negara maju, menurut pendapat ini maka memperlakukan orang
asing di dalam negeri harus memenuhi standar minimum
internasional, yaitu sesuai dengan hukum internasional dan
perlindungan yang efektif menurut hukum internasional. Apabila syarat
ini tidak terpenuhi , maka pertanggungjawaban negara timbul.
Penerapan prinsip ini tampak dalam perkara The Neer Claim tahun
1926. Terhadap perkara ini, pengadilan berpendapat bahwa suatu
perlakuan terhadap orang asing dalah suatu kejahatan internasional
apabila perlakuan tersebut merupakan suatu kebiadaban, itikad buruk,
kelalaian yang disengaja atau kurangnya tindakan dari pemerintah.
2. National Treatment Standard. Pandangan ini dianut oleh negara-
negara berkembang, menurut prinsip ini orang asing harus
diperlakukan sama seperti halnya negara memperlakukan
warganegarannya. Penerapan standar ini dapat ditemukan pada pasal
9 Konvensi Montevideo 1933.

40
J. G. Starke, Op. Cit., h. 465.
41
Jawahir Tontowi dan Pranoto Iskandar, Op. Cit., h. 206.
Dengan adanya perpedaan pandangan dari dua kepentingan yang
berbeda tersebut, maka sebagai jalan tengah, Garcia Amandor
mengemukakan pendapatnya mengenai tanggungjawab negara
khususnya berkenaan dengan perlakuan terhadap orang asing, sebagai
laporannya pada Komisi Hukum Internasional tahun 1957, sebagai
berikut :
1. Orang asing menikmati hak dan jaminan yang sama dengan warga
negara tempat ia tinggal, tidak kurang dari jaminan untuk menikmati
hak-hak fundamental manusia yang telah ditetapkan dan diakui oleh
hukum internasional.
2. Apabila hak-hak tersebut dilanggar, akan melahirkan tanggungjawab
negara terhadap pelaku. Dalam hal ini negara asal dapat melakukan
perlindungan diplomatik. Untuk itu negara asal perlu memahami
prinsip hukum yang berlaku di negara tempat warga negara
tinggal.42
Sehubungan dengan pertanggungjawaban negara terhadap orang
asing juga dikenal Denial of Justice, dalam arti luas berati kerugian yang
timbul bagi orang asing diluar negeri karena pelanggaran keadilan
internasional yang dilakukan oleh pejabat eksekutif, yudikatif, legislatif.
Dalam arti sempit berarti penyalahgunaan proses peradilan atau
pemberian keadilan yang tidak selayaknya, misalnya dalam kasus Chattin
Claim tahun 1972, United States-Mexico General Claims Commission
berpendapat bahwa ”ketidakberesan proses perkara pengadilan terbukti
dengan adanya pemeriksaan-pemeriksaan yang tidak semestinya, tidak
memberikan kesempatan kepada tergugat untuk mengetahui semua
gugatan yang diajukan kepadanya, penundaan perkara yang tidak
semestinya, pemeriksaan terbuka di pengadilan hanya formalitas saja”.43
Selanjutnya, juga ada tiga persoalan yang terkait dengan
pertanggungjawaban negara terhadap perlakuan orang asing, yaitu
Nationality of Claims, Exhaustion of Local Remedies dan Ekspropriasi.
Dalam hal Nationality of Claims, negara memberikan perlindungan
hukum kepada warganegaranya di luar negeri apabila timbul perbuatan
yang merugikan warganya oleh negara lain. Dalam penentuan
nasionalitas warganya yang mengalami kerugian, ditentukan oleh hukum
nasional negara yang mengajukan tuntutan.
Exhaustion of Local Remedies, dimaksudkan untuk meminta
pertanggungjawaban negara yang sudah melalui seluruh mekanisme
hukum nasional negara setempat . Jadi orang asing yang terlibat dalam
suatu perkara di negara lain, terlebih dahulu harus mengunakan
mekanisme hukum nasional setempat. Dalam kasus Ambatioles
Arbitration, Pihak Inggeris menolak tuntutan warga negara Turki, yang

42
Huala Adolf, 2002,Aspek-Aspek Negara Dalam Hukum Internasional, RajaGrafindo
Persada, Jakarta, h. 294-295.
43
J.G. Starke, Op. Cit., h. 411.
diwakili negaranya, karena warga Turki tersebut belum menggunakan
seluruh upaya hukum yang berlaku di negara Inggris.44
Doktrin Calvo, klausul ini sering dimuat dalam kontrak-kontrak
antar pemerintah-pemerintah Amerika Tengah dan Selatan dengan pihak-
pihak perusahaan asing atau orang-orang yang mempunyai konsesi-
konsesi atau hak-hak berdasarkan kontrak tersebut. Tujuan di
masukannya klausul ini untuk menjamin bahwa sengketa-sengketa
hukum yang timbul dari kontrak tersebut akan dilimpahkan pada
pengadilan setempat dari negara yang memberikan konsensi dan untuk
menghapus yurisdiksi-yurisdiksi pengadilan arbitrase internasional atau
mencegah permintaan tindakan diplomatik kepada negara asal
perusahaan atau individu yang menikmati konsesi itu.45
Ekspropriasi yang diartikan sebagai pengambilalihan kepemilikan
swasta oleh negara. Menurut Resolusi PBB mengenai Kedaulatan
Permanen Atas Sumber-Sumber Alam yang diadopsi oleh Majelis Umum
PBB tahun 1962 dinyatakan bahwa ; ”Ekspropriasi harus dilakukan
berdasarkan kepentingan yang luas dan kompensasi yang adil.
Ekspropirasi tidak boleh diskriminatif dan tidak ditujukan kepada
kebangsaan tertentu”.
Suatu ekspropriasi tidak berdasarkan hukum apabila dilakukan
secara diskriminatif, hanya ditujukan pada kebangsaan tertentu,
ketidakmampuan negara untuk kompensasi yang adil dan tidak
berdasarkan pada alasan kebijakan publik. Apabila ekspropirasi tidak
sesuai dengan hukum, maka ganti kerugian disebut sebagai kerusakan
bukan kompensasi . Ganti kerugian ini didasarkan atas standar
perhitungan standar normal, bahkan meliputi kerugian yang akan datang,
seperti dalam kasus Amco Finance Case 1985.46
Praktek negara-negara, terdapat beberapa lembaga perlindungan
hukum yang dapat dipergunakan oleh orang asing dalam menyelesaikan
persoalan-persoalan hukum :
1. Perjanjian antar negara asal dengan negara tempat ia berada untuk
mengatur perlindungan warganegaranya masing-masing dan harta
bendanya.
2. Lembaga perlindungan penanaman modal asing, termasuk jaminan
dari pemerintah lokal (host state) apabila timbul tindakan nasionalisasi,
seperti Perjanjian antara Indonesia dengan Belgia tentang Dorongan
dan Perlindungan Timbal-Balik Bagi Penanaman Modal pada tanggal
15 Januari 1972.
3. Perjanjian Jaminan Asuransi yang beranggotakan negara penerima
modal dan penanam modal pada Convention Establising the
Multilateral Investment Guarantee Agency di bawah naungan Bank
Dunia.

44
Jawahir Tontowi dan Pranoto Iskandar, Op. Cit., h. 209.
45
J.G. Starke, Op. Cit., h. 400-401.
46
Jawahir Tontowi dan Pranoto Iskandar, Op. Cit., h. 210.
4. Upaya hukum setempat (Exhaustion of local remedy), yang berupa
suatu tindakan hukum dari orang asing yang dirugikan melalui
tuntutan dihadapan pengadilan setempat.
5. Melalui perlindungan Diplomatik. Upaya ini dilakukan karena adanya
pelanggaran terhadap hukum internasional melalui perundingan atau
tuntutan di pengadilan atas nama warga negaranya., dengan demikian
apabila tindakan perlindungan diplomatik telah diambil, maka yang
menjadi pihak berperkara adalah negara, demikian pendapat
Mahkamah Internasional Permanent dalam perkara Mavrommatis
Palestine Concession 1924.
6. Penuntutan melalui forum pengadilan di negara ketiga, apabila objek
yang disengketakan berada di wilayah hukum negara forum, contoh
perkara tembakau di pengadilan Bremen antara Pemerintah Indonesia
dengan pemilik perusahaan tembakau milik warga negara Belanda,
karena barang yang disengketakan berada di wilayah Jerman.47

E. Kesimpulan
1. Pada prinsipnya setiap negara akan bertanggung jawab untuk
memberikan perlindungan hukum kepada setiap warga negaranya
dimanapun ia berada dan orang asing akan mendapat perlindungan
hukum, dalam pembatasan-pembatasan tertentu, baik dari negara
tempat sementara ia berada dan dari negara asalnya. Dengan
demikian, maka status kewarganegaraan seseorang erat kaitannya
dengan perlindungan hukum internasional yang akan diberikan
kepadanya, terhadap dirinya, harta benda, dan keluarganya.
2. Penerapan prinsip tanggungjawab negara terhadap warga
negaranya di luar negeri atau orang asing, lebih didasarkan pada
prinsip kedaulatan negara. Suatu negara yang berdaulat akan
memberlakukan hukum nasionalnya kepada warga negaranya
dalam batas-batas teritorialnya. Di luar itu yang berlaku adalah
ketentuan-ketentuan hukum dari negara lain atau ketentuan hukum
internasional.

47
Ibid, h. 29.
DAFTAR PUSTAKA

1. Adhriwisastra, Yudha Bhakti, Hukum Internasional Bunga Rampai,


Alumni, Bandung, 2003.
2. Istanto, F. Sugeng, Hukum Internasional, Andy Offset, Jogyakarta,
1994.
3. Kusumaatmadja, Mochtar, dan Etty R. Agoes, Pengantar Hukum
Internasional, Alumni, Bandung, 2003..
4. Parthiana, I. Wayan, Pengantar Hukum Internasional, Mandar Maju,
Bandung, 2003.
5. Mauna, Boer, Hukum Internasional Pengertian Peranan Dan Fungsi
Dalam Era Dinamika Global, Alumni, Bandung, 2001.
6. Thontowi, Jawahir., dan Pranoto Iskandar, Hukum Internasional
Kontemporer, Refika Aditama, Bandung, 2006.
7. Starke, I.G., Pengantar Hukum Internasional 1, Ed. 10, Sinar Grafika,
Jakarta, 2008.
8. Starke, I.G., Pengantar Hukum Internasional 2, Ed. 10, Sinar Grafika,
Jakarta, 2008.
9. Samekto, F.X. Adji, Negara Dalam Dimensi Hukum Internasional,
Citra Aditya Bakti, Bandung, 2009.
10. Sefriani, Hukum Internasional Suatu Pengantar, Rajawali Pres,
Jakarta, 2010.

Anda mungkin juga menyukai