DIBUAT OLEH
ARSENSIUS, SH, MH
DOSEN FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS TANJUNGPURA
1
F. Sugeng Istanto, Hukum Internasional, Andi Offset, Jogyakarta, 1998, h. 2.
Istilah hukum internasional tidak mengandung keberatan karena
perkataan internasional lazim dipakai untuk suatu persoalan yang
melintasi batas wilayah negara.
Ia bermaksud mengadakan pembedaan dalam pengunaan beberapa
istilah lain dari hukum internasional, sehingga masing-masing akan
mendapatkan suatu tahap perkembangan tertentu dalam
perkembangan hukum internasional. Istilah-istilah lain hukum
internasional yang dimaksud adalah : Hukum Bangsa-Bangsa
digunakan untuk menunjukan pada kebiasaan dan aturan hukum
yang berlaku dalam hubungan antar raja-raja zaman dahulu. Karena sifat
hubungannya belum bisa dikatakan merupakan hubungan antara
anggota masyarakat bangsa-bangsa. Hukum antar bangsa atau
hukum antar negara akan dipergunakan untuk menunjuk pada
kompleks kaidah dan asas yang mengatur hubungan antara anggota
masyarakat bangsa-bangsa atau negara-negara yang kita kenal sejak
munculnya negara dalam bentuknya yang moderen sebagai negara
nasionalis.
Hukum internasional selain mengatur hubungan antara negara
dengan subyek hukum bukan negara serta subyek hukum bukan
negara satu dengan lainnya.
2
Mochtar Kusumaatmaja dan Etty R. Agoes, 2003, Pengantar Hukum Internasional,
Alumni, Bandung h. 12-15.
Kedaulatan Negara Dan Hukum Internasional
Kedaulatan suatu negara memiliki arti terbatas, artinya kekuasaan
tertinggi dari suatu negara hanya berlaku dalam batas-batas territorial
suatu negara dan kekuasaan itu mulai berakhir dengan dimulainya
kekuasaan dari negara lain. Tunduknya negara yang berdaulat pada
pergaulan masyarakat internasonal merupakan syarat mutlak bagi
terciptanya masyarakat internasinal yang teratur. Kehidupan masyarakat
internasional yang tertib dan teratur hanya mungkin dengan adanya
hukum internasional.3
J.G. Starke :
Hukum internasional adalah keseluruhan hukum yang untuk sebagian
besar dari prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah berprilaku yang terhadapnya
negara-negara merasa dirinya terikat untuk mentaati dan karenanya
benar-benar ditaati secara umum dalam hubungan-hubungan mereka satu
sama lain, dan juga meliputi :
a. Kaidah-kaidah hukum yang berkaitan dengan berfungsinya lembaga-
lembaga atau organisasi-organisasi internasional, hubungan mereka
satu sama lain, dan hubungan mereka dengan negara-negara dan
individu.
b. kaidah-kaidah tertentu yang berkaitan degan individu-individu dan
badan-badan non negara sejauh hak-hak dan kewajiban individu dan
badan non negara tersebut penting bagi masyarakat internasional.
Definisi J.G. Starke ini lebih luas dibandingkan dengan definisi tradisional
mengenai pengertian hukum internasional. Dari pengertian hukum
internasinal itu, maka :
Subyek hukum internasional bukan saja negara tetapi juga individu,
organisasi internasional, subyek hukum bukan negara (non states
entitis).
Subtansi yang diatur hukum internasional adalah prinsip dan aturan
mengenai
- negara, negara-negara, misalnya negara sebagai subyek hukum
internasional, syarat-syarat terbentuknya negara, hak dan
kewajiban negara, berakhirnya negara.
- hubungan antar negara, perjanjian internasional, hubungan
diplomatic, hubungan konsuler dan hubungan lainnya.
- organisasi internasional dan hubungannya dengan subyek hukum
lainnya dan sesama organisasi internasional.
- individu dan subyek bukan negara.
3
Ibid, h. 19-20.
Mochtar Kusumaatmadja :
Hukum internasional adalah keseluruhan kaidah dan asas yang mengatur
hubungan atau persoalan yang melintasi batas negara, antara negara
dengan negara, negara dengan subyek hukum lain bukan negara satu
sama lain.
Beberapa faktor yang mempengaruhi perkembangan hukum
internasional adalah :
1. Meningkatnya jumlah negara baru akibat proses dekolonisasi. Negara
maju berharap hukum internasional tetap mengakomodasi dan
menjaga kepentingan mereka, sedangkan negara-negara yang baru
merdeka, umumnya negara berkembang, menghendaki adanya
perubahan mendasar dalam hukum internasional agar mencerminkan
nilai-nilai yang dianut oleh mayoritas masyarakat dunia.
2. Munculnya berbagai organisasi internasional. Organisasi internasional
banyak mengeluarkan aturan-aturan hukum internasional yang
mengikat, baik lingkup regional maupun universal bagi anggotanya.
3. Diakuinya individu sebagai subyek hukum internasional dalam arti
terbatas, seperti dalam peradilan Nurenberg dan Tokyo atas
kejahatan-kejahatan perang.
4. Perkembangan teknologi dan komunikasi.
5. Muncul dan berperannya NGO dan perusahaan transnasional dalam
pergaulan masyarakat internasional.
6. Era globalisasi yang ditandai oleh transaksi bisnis antar negara;
tekanan-tekanan dari negara maju terhadap negara berkembang di
bidang ekonomi; pemanfaatan hukum internasional oleh negara maju
untuk kepentingan mereka semata.
7. Munculnya isu-isu secara global mengenai demokrasi, HAM,
lingkungan hisup, terorisme yang banyak mempengaruhi hukum
internasional.4
A. Pendahuluan
Terdapat hubungan yang erat antara hukum internasional dengan
masyarakat internasional. Menurut Mochtar Kusumaatmaja bahwa ”untuk
menyakini adanya hukum internasional maka harus ada pula masyarakat
internasional sebagai landasan sosiologis”. Pada bagian lain
dikemukakan juga bahwa ”...Hukum internasional dalam arti luas,
termasuk hukum bangsa-bangsa, maka sejarah hukum internasional itu
telah berusia tua. Akan tetapi bila hukum internasional diartikan sebagai
perangkat hukum yang mengatur hubungan antar negara, maka sejarah
hukum internasional itu baru berusia ratusan tahun...” 5
4
Sefriani, 2016, Hukum Internasional Suatu Pengantar, RajaGrafindo Persada, Jakarta,
h. 19-20.
5
Mochtar Kusumaatmaja dan Etty R. Agoes, Op. Cit., h. 25.
Pendapat serupa juga dikemukakan olej J.G. Starke bahwa
pengungkapan sejarah sistem hukum internasional harus dimulai dari
masa paling awal, karena justru pada periode kuno kaidah-kaidah yang
mengatur hubungan antar masyarakat internasional berupa adat istiadat.
Traktat, kekebalan duta besar, peraturan perang ditemukakan sebelum
lahirnya agama Kristen di India dan Mesir Kuno. Di Cina kuno ditemukan
aturan penyelesaian melalui arbitrase dan mediasi. Demikian juga di
Yunani kuno dan Romawi kuno. Sedangkan sistem hukum internasional
merupakan suatu produk dari empat ratus tahun terakhir ini. Pada
mulanya berupa adat istiadat dan praktek-praktek negara Eropa moderen
dalam hubungan dan komunikasi antar mereka dan adanya bukti-bukti
pengaruh dari para ahli hukum pada abad ke enambelas, tujuhbelas dan
delapan belas. Lagi pula hukum internasional masih diwarnai oleh
konsep-konsep kedaulatan nasional, kedaulatan teritorial, konsep
kesamaan penuh dan kemerdekaan negara-negara yang meskipun
memperoleh kekuatan dari teori-teori politik yang mendasari sistem
ketatanegaraan Eropa moderen juga dianut oleh negara-negara non
Eropa yang baru muncul6.
Dengan demikian sejarah hukum internasional sama tuanya dengan
adanya masyarakat internasional meskipun dalam taraf tradisional yang
berbeda dengan masyarakat internasional dalam arti moderen.
Dengan mengunakan kedua pendekatan di atas, sejarah
perkembangan hukum internasional dalam pembahasan ini akan dimulai
pada masa klasik, yaitu masa India kuno, Mesir kuno, Cina Kuno, Yunani
Kuno, Romawi Kuno; kemudian pada masa abad pertengahan yaitu abad
15 dan 16; Masa Hukum Internasional Moderen, yaitu pada abad 17, abad
18, abad 19, abad ke 20 dan hingga dewasa ini.
Dalam penulisan makalah ini mengunkan metode yuridis normatif
dengan pendekatan sejarah. Bahan-bahan pustaka yang dipergunkan
adalah ketentuan hukum internasional yang termuat dalam perjanjian
internasional (traktat, konvensi), buku-buku hukum internasional dan
praktek pengadilan internasionl. Dari bahan-bahan tersebut kemudian
diolah dan dianalisa secara deskriftif analitis. Sehubungan dengan
pengunaan metode sejarah ini, Jawahir Tontowi dan Pranoto Iskandar
menyatakan bahwa ”Hukum internasional publik sangat terkait dengan
pemahaman sejarah. Melalui pendekatan sejarah ini, tidak sekedar proses
evolusi perkembangan hukum internasional dapat diruntut secara faktual
kronologis, melainkan juga seberapa jauh kontribusi setiap zaman bagi
perkembangan hukum internasional”.7
11
Ibid, h. 8-9.
12
Jawahir Tontowi dan Pranoto Iskandar, Op. Cit., h. 34.
pengambilalihan wilayah berkaitan dengan eksplorasi Eropa terhadap
benua Afrika dan Amerika. Beberapa ahli hukum seperti, Fransisco De
Vittoria yang memberikan kuliah di Universitas Salamanca Spanyol
bertujuan untuk justifikasi praktek penaklukan Spanyol. Ia menulis buku
Relectio de Indies, yang menjelaskan hubungan bangsa Spanyol dan
Portugis dengan bangsa Indian di benua Amerika, Di dalam buku itu juga
dikemukakan bahwa negara tidak dapat bertindak sekehendak hatinya,
dan ius inter gentes (hukum bangsa-bangsa) diberlakukan bukan saja
bagi bangsa Eropa tetapi juga bagi semua umat manusia.
Alberico Gentili, dengan hasil karyanya De Jure Belli Libri Tres
tahun 1598. Hasil pemikirannya lainnya adalah studi tentang hukum
perang, doktrin perang adil, pembentukan traktat, hak-hak budak dan
kebebasan di laut 13.
Pada abad ke l5 dan 16, telah terjadi penemuan dunia baru, masa
pencerahan ilmu dan reformasi yang merupakan revolusi keagamaan
yang telah memporakporandakan belenggu kesatuan politik dan rohani di
Eropa dan menguncangkan fundamen-fundamen umat Kristen pada abad
pertengahan.
Para ahli hukum pada abad tersebut telah mulai memperhitungkan
evolusi suatu masyarakat negara-negara merdeka dan memikirkan serta
menulis tentang berbagai macam persoalan hukum bangsa-bangsa.
Mereka menyadari perlunya serangkaian kaidah untuk mengatur
hubungan antar negara-negara tersebut. Andai kata tidak terdapat kaidah-
kaidah kebiasaan yang tetap maka para ahli hukum wajib menemukan
dan membuat prinsip-prinsip yang berlaku berdasarkan nalar dan analogi.
Mereka mengambil prinsip-prinsip hukum Romawi untuk dijadikan pokok
bahasan studi di Eropa. Mereka juga menjelaskan preseden-preseden
sejarah kuno, hukum kanonik, konsep semi teologis dan serta hukum
alam 14.Diantara penulis-penulis pelopor itu antara lain adalah Hugo De
Groot atau Grotius, Vittoria (1480-1546), Belli (1502-1575), Brunus
(1491-1563), Fernando Vasgues de Menchaca (1512-1569), dan Ayala
(1548-1617). Tulisan-tulisan para ahli hukum ini yang terpenting adalah
pengungkapan bahwa satu pokok perhatian hukum internasional pada
abad ke-16 adalah hukum perang antar negara, dan dalam kaitan Eropa
telah mulai menggunakan tentara tetap, suatu praktek yang tentunya
menyebabkan berkembang adat-istiadat dan praktek-praktek peperangan
yang seragam.
Francisco Suares (1548-1617), yang menulis buku De Legibus ae
Deo Legislatore (on Laws and Good as Legislator) yang
mengemukakan adanya suatu hukum atau kaidah objektif yang harus
diikuti oleh negara-negara dalam hubungan antar mereka. Ia juga
meletakkan dasar suatu ajaran hukum internasional yang meliputi
seluruh umat manusia.
13
Ibid, h. 35-36.
14
J.G. Starke, Op. Cit, h. 11.
Hugo De Groot atau Grotius (1583-1645), orang yang paling
berpengaruh atas keadaan hukum internasional moderen dan dianggap
sebagai Bapak Hukum Internasional. Karyanya yang terkenal adalah
buku on the law of war and peace (de jure Belli ac Pacis) tahun 1625.
Hasil karyanya itu menjadi karya acuan bagi para penulis selanjutnya
serta mempunyai otoritas dalam keputusan-keputusan pengadilan.
Sumbangan pemikirannya bagi perkembangan hukum internasional
adalah pembedaan antara hukum alam dengan hukum bangsa-bangsa.
Hukum bangsa-bangsa berdiri sendiri terlepas dari hukum alam, dan
mendapatkan kekuatan mengikatnya dari kehendak negara-negara itu
sendiri. Beberapa doktrin Grotius bagi perkembangan hukum internasional
moderen adalah pembedaan antara perang adil dan tidak adil, pengakuan
atas hak-hak dan kebebasan-kebebasan individu, netralitas terbatas,
gagasan tentang perdamaian, konferensi-konferensi periodik antara
pengusa-penguasa negara serta kebebasan di laut yang termuat dalam
buku Mare Liberium tahun 1609.
Samuel Pufendorf (1632-1694) dalam buku De Jure Nature Et
Gentium menyatakan bahwa hukum internasional dibentuk atas dasar
hak-hak alamiah universal dan perang sebagai alat hanya dapat
disahkan melalui syarat-syarat yang ketat. Zouche (1590-1660),
penganut aliran positivisme, lebih memberikan perhatian pada hukum
internasional dalam keadaan damai dari pada hukum perang 15.
15
Jawahir Tontowi dan Pranoto Iskandar; Op. Cit., h. 39.
16
Ibid, h.34.
17
Ibid, h. 40.
18
Mochtar Kusumaatmaja dan Etty R. Agoes, Op. Cit., h. 30,32.
kebiasaan dan mengurangi sedikit mungkin hukum alam sebagai sumber
dari prinsip-prinsip tersebut 19. Para penulis terkemuka pada abad ke 17
dan 18 antara lain : Cornelis Van Bynkershoek (1673-1743), yang
mengemukakan pentingnya actual practice dari negara-negara dari pada
hukum alam. Sumbangan pemikiran lainnya teori tentang hak dan
kewajiban dari negara netral. Christian Wolf (1632-1694),
mengemukakan teori mengenai Civitas Maxima yang sebagai negara
dunia meliputi negara-negara dunia. Von Martens (1714-1767), dalam
Receuil des Traites yaitu suatu kumpulan perjanjian yang masih
merupakan suatu kumpulan berharga hingga sekarang. Emmerich De
Vattel (1714-1767) memperkenalkan prinsip persamaan antar negara-
negara.
21
Ibid, h.14-15.
22
Ibid, h.16.
23
Ibid, h.18.
1. Hukum internasional bukan hukum. Penganut aliran ini seperti Hobbes,
Spionoza, John Austin.
24
Sefriani, Op. Cit., h. 6.
c. Aliran Objektivitas. Kekuatan mengikatnya hukum internasional
karena norma hukumnya, bukan karena kehendak negara.
- Mazhab Wiena, mengikatnya hukum internasional karena adanya
kaidah yang lebih tinggi (grond norm). Menurut Hans Kelsen,
kaidah dasar hukum internasional adalah pacta sunt servanda.
d. Mazhab Perancis. Dasar mengikatnya hukum internasional karena
fait social (fakta kemasyarakatan), yaitu faktor biologis, social dan
sejarah.
25
Ibid, h. 7-8.
2. Tidak jelasnya aturan-aturan hukum internasional yang ada sehingga
mendukung terjadinya berbagai penafsiran dan menyebabkan
kurangnya kepastian hukum.26
Sesuai pandangan dari aliran voluntais ini, maka hukum nasional dan
hukum internasional adalah dua perangkat hukum yang hidup
berdampingan dan terpisah. Hal ini kemudian melahirkan aliran
Dualisme. Sedangkan menurut aliran objektivitas, maka antara hukum
nasional dan hukum internasional adalah dua bagian dari satu kesatuan
perangkat hukum. Sesuai pandangan dari aliran ini kemudian melahirkan
aliran Monoisme.
Aliran Dualisme :
Penganut aliran ini seperti Triepel dan Anzilotti.
Menurut paham dualisme, yang bersumber pada teori daya ikat hukum
internasional bersumber pada kemauan negara, hukum internasional dan
hukum nasional merupakan dua sistim atau perangkat hukum yang
terpisah satu dengan lainnya. Sebagai alasannya :
- Hukum nasional dan hukum internasional mempunyai sumber yang
berlainan. Hukum internasional dan hukum nasional memiliki sumber
yang berbeda. Hukum nasional bersumber pada kemauan negara.
Hukum internasional pada kemauan bersama masyarakat antar
bangsa.
- Subyek hukumnya berlainan. Subyek hukum nasional adalah orang
perorangan, baik untuk hukum perdata maupun hukum publik.
Sedangkan subyek hukum internasional adalah negara.
- Sebagai tata hukum berbeda pula dalam hal strukturnya. Lembaga
yang diperlukan untuk melaksanakan hukum dalam kenyataannya
seperti mahkamah dan organ eksekutif hanya ada dalam bentuk yang
sempurna dalam lingkungan hukum nasional. Dalam kenyataannya
pula, hukum nasional berlaku efektif sekalipun bertentangan dengan
hukum internasional.
26
Ibid, h. 18.
- Tidak ada hirarkhi antara hukum nasional dengan hukum
internasional, karena pada hakekatnya kedua perangkat hukum itu
tidak tergantung satu sama lainnya, melainkan terlepas satu sama
lainnya.
- Tidak mungkin ada pertentangan antara kedua perangkat hukum itu,
yang mungkin hanya penunjukan (renvoi).
- Ketentuan hukum internasional memerlukan transformasi menjadi
hukum nasional sebelum dapat berlaku dalam lingkungan hukum
nasional.
Aliran Monoisme :
- Didasarkan atas pemikiran adanya kesatuan hukum dari seluruh
hukum yang mengatur kehidupan manusia.
- Menurut aliran ini, hukum nasional dan hukum internasional adalah
dua bagian dari kesatuan yang lebih besar, yaitu hukum yang
mengatur kehidupan manusia.
- Ada hirarkhi antara hukum nasional dengan hukum internasional. Hal
ini kemudian menimbulkan dua pandangan yang berbeda yaitu
menganggap hukum nasional yang utama (Paham monoisme
dengan primat hukum nasional) dan paham yang beranggapan
hukum internasional yang utama (Paham monoisme primat hukum
internasional)
Sesuai pasal 38 ayat (1), sumber hukum formal itu terbagi menjadi
2 yaitu sumber hukum utama (Primer) dan sumber hukum tambahan.
Sumber hukum utama berupa perjanjian internasional, kebiasaan
internasional, prinsip hukum umum. Sedangkan sumber hukum tambahan
berupa keputusan pengadilan dan ajaran para sarjana yang paling
terkemuka. Sumber hukum tambahan itu dimaksudkan untuk
membuktikan adanya kaidah hukum internasional terhadap suatu
persoalan yang di dasarkan atas sumber hukum primer. Sumber hukum
tambahan itu tidak mengikat, artinya tidak dapat menimbulkan kaidah
hukum.
Perjanjian Internasional :
- Istilah lain untuk perjanjian internasional adalah Treaty (traktat), Pact
(pakta), Charter, Convention (Konvensi), Statute (Statuta),
Declaration (Deklarasi), Protokol, Arrangement, Accord, Modus
Vivendi, Convenant, dan lain sebagainya.
- Perjanjian internasional adalah perjanjian yang diadakan antara
anggota masyarakat bangsa-bangsa dan bertujuan untuk
mengakibatkan akibat hukum tertentu. Perjanjian internasional
diadakan oleh subyek hukum internasional yang menjadi anggota
masyarakat internasional, seperti perjanjian internasional antara
negara, antara organisasi internasional, antara negara dengan
organisasi internasional.
- Klasifikasi perjanjian internasional dapat berbentuk perjanjian
internasional : Bilateral (peserta perjanjian hanya dua pihak) dan
Multilateral (peserta perjanjian dari banyak pihak). Selain itu, ada
pengolongan perjanjian internasional yang berbentuk law making
treaty (traite-lois) dan treaty contract (traite-contract). Perjanjian
internasional yang berbentuk law making treaty adalah : perjanjian
yang meletakkan ketentuan atau kaidah hukum bagi masyarakat
internasional secara keseluruhan. Sedangkan treaty contract hanya
meletakan hak dan kewajiban bagi para pihak.
- Jika ditinjau dari fungsi sebagai sumber hukum formil, maka setiap
perjanjian yang berbentuk law making treaty dan treaty contract adalah
law making, artinya menimbulkan hukum.
- Perjanjian yang berbentuk treaty contract dapat membentuk kaidah
yang berlaku umum melalui proses hukum kebiasaan.
Contohnya : Konvensi Hukum Laut PBB 1958, Konvensi Hukum Laut
PBB 1982, Konvensi Wina 1969 tentang Perjanjian Internasional,
Konvensi Wina 1961 tentang Hubungan Diplomatik, dan lain
sebagainya.
- Perjanjian internasional yang berbentuk treaty contract adalah
perjanjian internasional yang hanya mengakibatkan hak dan kewajiban
bagi para pihak yang mengadakan perjanjian.
27
Non Liquet adalah menolak mengadili perkara karena tidak ada hukum yang mengatur
persoalan yang diajukan.
perkembangan dan pertumbuhan hukum internasional. Demikian juga
dengan peranan Mahkamah Internasional sebagai badan yang
membentuk dan menemukan hukum baru.
- Yang dimaksud prinsip hukum umum atau asas hukum umum
(General Principles of law) adalah asas hukum yang mendasari sistim
hukum moderen, yaitu sistim hukum positif yang didasarkan atas asas
dan lembaga hukum barat yang untuk sebagian besar di dasarkan atas
asas dan lembaga hukum Romawi.
- Prinsip hukum umum berasal dari asas dari hukum pada umumnya,
sehingga dapat berupa asas hukum perdata, asas hukum
internasional, asas hukum acara, asas hukum pidana, asas hukum
lainnya.
- Contoh asas hukum umum : pacta sunt servanda, abus de droit
(penyalahgunaan hak), non intervensi, persamaan negara, dan lain
sebagainya.
Putusan Pengadilan :
- Yang dimaksud keputusan pengadilan adalah dalam arti luas,
sehingga meliputi segala macam peradilan internasional, pengadilan
nasional dan komisi arbitrase.
- Putusan pengadilan merupakan sumber hukum tambahan. Keputusan
pengadilan tidak menciptakan hukum. Keputusan pengadilan hanya
mengikat para pihaknya saja dan terhadap persoalan tertentu. Hal ini
dinyatakan pada pasal 59 Piagam Mahkamah Internasional yang
memuat asas non precedence (asas keputusan pengadilan tidak
mengikat).
- Walaupun keputusan pengadilan tidak mengikat, keputusan
pengadilan internasional, seperti Mahkamah internasional Permanen
(Permanent Court of international Justice), Mahkamah Internasional
(International Court of Justice), Mahkamah Arbitrase Permanen
(Permanent Court of Arbitration) memiliki pengaruh besar dalam
perkembangan hukum internasional.
- Keputusan pengadilan nasional dan pengadilan internasional
memainkan peranan penting dalam perkembangan hukum kebiasaan
internasional.
Contoh putusan pengadilan ini : Putusan Mahkamah Internasional
dalam kasus Anglo Norwegian Fisheries Case 1952.
Organisasi Internasional
- Organisasi internasional adalah organisasi yang dibentuk dengan
perjanjian internasional oleh dua negara atau lebih, yang di dalamnya
memiliki tujuan, fungsi, asas, wewenang dan struktur organisasi.
- Organisasi internasional sebagai subyek hukum internasional sejak
keluarnya Advisory opinion Mahkamah Internasional atas kasus
Reparation in Injury 1949, antara lain menyatakan bahwa PBB memiliki
legal capacity untuk mengajukan klaim ganti kerugian terhadap
pemerintah deyure atau defacto.
- Organisasi internasional sebagai subyek hukum internasional harus
memenuhi syarat-syarat tertentu, yaitu : dibentuk dengan perjanjian
internasional dan tunduk pada hukum internasional, serta memiliki
sekretariat tetap.
- Dengan dipenuhinya kedua syarat diatas, organisasi internasional
memiliki international personality sehingga ia dapat :
Membuat perjanjian internasional dengan sesama organisasi
internasional atau dengan subyek hukum internasional lainnya.
Memiliki property atas namanya sendiri.
Dapat melakukan perbuatan-perbuatan hukum untuk dan atas
nama anggota-anggotanya.
Dapat menuntut dan dituntut di pengadilan internasional.
Contohnya : PBB, ASEAN, dan lain-lain.
28
Lihat Jawahir Thontowi dan Pranoto Iskandar, Hukum Internasional Kontemporer, Refika
Aditama, jogyakarta, 2006, hal. 122. Ada juga pendapat dari para ahli bahwa NGOs bertindak
sebagai subyek hukum internasional, yang berperan dalam perkwmbangan hukum internasional di
bidang hak-hak asasi manusia. NGOs berperan aktif pada forum-forum HAM di tingkat universal,
regional dan local.
dalam hukum internasional harus memiliki : (a). Penduduk tetap; (b).
Wilayah tertentu; (c). Pemerintahan; dan (d). Kapasitas untuk
berhubungan dengan negara lain. Menurut J.G. Starke : syarat no (b)
bukan syarat esensial untuk adanya negara, dengan ketentuan perlu
adanya pengakuan tertentu atas ketetapan (consistency) terhadap wilayah
yang terkait dan penduduknya. Syarat no. d) merupakan syarat yang
terpenting dari suatu negara, dimana suatu negara dapat mengadakan
hubungan-hubungan ekstern dengan negara-negara lain.
Wilayah Tertentu
- Menurut Oppenheim : tanpa adanya batas-batas atas wilayahnya,
maka suatu negara maka suatu negara tidak dapat dianggap sebagai
subyek hukum internasional. Oleh sebab itu adanya wilayah suatu
negara menjadi konsep mendasar dalam hukum internasional, untuk
menunjukan adanya kekuasaan tertinggi dan eksklusif negara itu
dalam batas-batas wilayhnya.
- Wilayah suatu negara merupakan tempat bermukimnya penduduk
atau warga negaranya.
- Wilayah suatu negara dapat berupa darat, laut dan udara dalam
batas-batas wilayah.
Pemerintahan
- Unsur pemerintahan sebagai salah satu unsur penting bagi
terbentuknya suatu negara dalam hukum internasional. Hukum
internasional akan membebankan hak-hak dan kewajiban-kewajiban
terhadap suatu pemerintahan dari suatu negara.
- Bagi hukum internasional suatu wilayah yang tidak mempunyai
pemerintahan tidak dianggap sebagai suatu negara. Hal ini sesuai
dengan Keputusan Mahkamah Internasional mengenai kasus Sahara
Barat 1957. Pemerintahan itu harus memiliki Kontrol dan kemampuan
untuk menguasai secara penuh atas semua wilayah yang berada
dibawah kekuasaannya dan terhadap setiap warga yang berada di
wilayahnya.
B. Kedaulatan Teritorial
- Di dalam Konsep kedaulatan teritorial menandakan bahwa di dalam
kekuasaan ini, yurisdiksi dilaksanakan oleh negara terhadap
orang-orang dan harta benda dengan mengeyampingkan negara
lain. Advisory Opinion dari International Court mengenai Western
Sahara Case 1975 (Kasus Sahara Barat) mengemukakan bahwa :
“Pertalian hukum antara kedaulatan teritorial dengan rakyat atau
tanah harus dibedakan dengan dari pertalian kesetiaan, dalam
hal orang-orang dan semata-mata hak kebiasaan berkaitan
dengan tanah. Di lain pihak aktivitas negara dalam skala yang
pantas, secara konklusif memberikan kewenangan, merupakan
suatu pertanda eksistensi kedaulatan teritorial”. Pendapat hukum
dari Mahkamah Internasional ini senanda dengan pendapat dari Max
Hubber, arbriter dalam kasus Islands of Palmas Arbitration :
“Kedaulatan dalam hubungan antar negara-negara menandakan
kemerdekaan. Kemerdekaan berkaitan dengan suatu bagian dari
muka bumi adalah hak untuk melaksanakan di dalamnya,
terlepas dari negara lain, fungsi-fungsi suatu negara”.
- Dalam prakteknya kedaulatan teritorial suatu negara dapat dibagi
secara bersama-sama dua atau lebih negara, contohnya bentuk
negara Kondominium.
- Penyewaan wilayah, dimana kedaulatan sementara dilaksanakan oleh
negara penyewa (Lessee State), pihak negara yang menyewakan
(Lessor State) akan memperoleh kedaulatannya pada saat
pengembalian wilayah tersebut, misalnya penyewaan Hongkong milik
Cina kepada Inggeris selama 99 tahun, yang kemudian baru
dikembalikan kepada Cina tahun 1997.
- Aneksasi (Annexation)
Aneksasi merupakan perolehan wilayah teritorial yang dipaksakan,
dengan dua keadaan :
1. Bila wilayah yang dianeksasi telah ditundukan oleh negara
yang menganeksasi. Selain itu diperlukan adanya pernyataan
formal mengenai kehendak untuk menganeksasi, seperti nota-
nota yang disampaikan pada semua negara yang
berkepentingan.
2. Bila wilayah yang dianeksasi dalam kedudukan yang benar-
benar berada dibawah negara yang menganeksasi pada waktu
diumumkannya kehendak aneksasi oleh negara tersebut.
Aneksasi yang dilakukan dengan cara kekerasan bersenjata/perang
yang bertentangan dengan Piagam PBB tidak boleh diakui oleh
negara-negara lain.
- Penambahan (Accreation).
Hak untuk penambahan wilayah terjadi bila wilayah baru
ditambah, karena sebab-sebab alamiah terhadap wilayah yang
telah ada. Dalam hal ini tidak diperlukan pernyataan formal
mengenai hal ini. Sebab-sebab alamiah ini dapat berupa
pergerakan sungai atau endapan-endapan lumpur dalam
jangka waktu lama.
Hukum perdata Romawi mengenai pembagian pemilikan
terhadap endapan-endapan lumpur pada aliran atau sungai di
antara pemilik yang berseberangan, secara analogi dapat juga
diterapkan bagi negara-negara yang menimbulkan endapan-
endapan lumpur pada aliran sungai yang menjadi perbatasan
dari kedua negara.
- Preskripsi (Prescription)
Preskripsi (Preskripsi Akuisitif) merupakan hasil pelaksanaan
kedaulatan de facto secara damai untuk jangka waktu yang cukup
lama atas wilayah yang tunduk pada kedaulatan dari negara lain.
River dan De Martin menyangkal bahwa preskripsi akuisitif diakui
oleh hukum internasional. Tidak ada keputusan dari pengadilan
Internasional yang mendukung doktrin ini. Tidak ada prinsip hukum
internasional yang diakui yang menetapkan batas waktu berapa
tahun untuk dianggap sebagai alas hak .
- Penyerahan (Cession)
Penyerahan didasarkan atas prinsip bahwa hak pengalihan
wilayah adalah attribut fundamental dari kedaulatan teritorial
suatu negara.
Penyerahan wilayah dapat dilakukan secara sukarela, melalui
traktat atau dengan paksaan. Penyerahan sukarela seperti
penjualan Alaska oleh Rusia pada Amerika Serikat tahun 1867.
Penyerahan melalui Traktat batal apabila pembuatan traktat itu
dilakukan dengan ancaman atau pengunaan kekerasan yang
bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum internasional
sesuai dengan pasal 52 Konvensi Wina Tahun 1969 tentang
Traktat.
Suatu transaksi seperti hibah, penjualan atau pembelian, akan
dianggap sah sebagai suatu penyerahan bila hal itu cukup
memperlihatkan maksud untuk menyerahkan kedaulatan dari
satu negara ke negara lainnya.
Negara yang menyerahkan wilayah tidak dapat mengurangi
apa yang telah ia serahkan. Di dalam wilayah yang diserahkan
terkandung semua hak-hak berdaulat dalam wilayah negara
yang diserahkan.
Suatu negara yang menyerahkan tidak dapat mengalihkan lebih
dari pada wilayah dimana ia telah melaksanakan
kedaulatannya, dan karenanya negara penerima akan
mengurus wilayah yang diserahkan tunduk pada suatu
pembatasan kedaulatan atau hak-hak berdaulat yang
sebelumnya mengikat negara yang menyerahkan.
2. Wilayah Air
Secara umum pengaturan mengenai laut secara internasional
terdapat pada Konvensi Hukum Laut PBB 1958 mengenai :
1. Konvensi hukum laut tentang Laut Teritorial dan Zona Tambahan.
2. Konvensi hukum laut tentang Laut Lepas.
3. Konvensi hukum laut tentang Landas Kontinen.
4. Konvensi hukum laut tentang Perikanan dan Perlindungan Sumber
Kekayaan Hayati Di Laut Lepas.
Selain itu juga terdapat pengaturan hukum laut pada Konvensi Hukum
Laut PBB III tahun 1982, yang telah diratifikasi oleh 138 negara peserta.
Konvensi ini banyak memuat hukum-hukum kebiasaan, dan karenanya
dapat mengikat negara-negara meskipun belum meratifikasi Konvensi
Hukum laut PBB tersebut.
Zona laut diluar kedaulatan suatu negara adalah laut lepas. Pada
laut lepas berlaku asas Res Communis, yaitu laut yang bebas dan terbuka
bagi semua negara. Kebebasan itu berupa berlayar, penerbangan,
memasang kabel dan pipa laut, menangkap ikan, riset ilimah, dan lain
sebagainya. Penegakan peraturan di laut lepas ditentukan menurut
bendera kebangsaan suatu kapal. Untuk kejahatan-kejahatan berat
seperti pembajakan kapal, perdagangan budak, narkotika dan terorisme,
setiap negara memiliki yurisdiksi untuk mengadili perbuatan-perbuatan
atas kejahatan tersebut.
3. Wilayah Udara
- Wilayah ruang udara merupakan wilayah udara yang terletak diatas
wilayah daratan dan perairan.
- Batas terluar dari wilayah udara suatu negara hingga saat ini belum
ada kesepakatan dari masyarakat internasional.
- Secara teoritis kedaulatan mengenai ruang udara terdapat beberapa
teori / doktrin, yaitu :
A. The Air Freedom Theory : terbagi menjadi 3 pendapat/aliran :
1. Teori kebebasan ruang udara tanpa batas.
2. Teori kebebasan ruang udara yang dilekati dengan beberapa
hak khusus negara yang berada dibawahnya
3. Teori kebebasan ruang udara yang menetapkan zona
teritorial di mana hak-hak tertentu dari negara di bawahnya
dapat dilaksanakan. .
B. Teori kedaulatan ruang udara (The Air Sovereignty Theory) yang
memandang suatu negara berdaulat atas ruang udara, daratan
dan perairan dibawahnya.
Hak-Hak negara :
1) Hak atas kemerdekaan.
2) Hak untuk melaksanakan yurisdiksi terhadap wilayah, orang dan
benda yang berada di wilayahnya.
3) Hak untuk mendapatkan kedudukan hukum yang sama dengan
negara lain.
4) Hak untuk menjalankan pertahanan diri sendiri atau kolektif.
Prinsip Kemerdekaan
- Kemerdekaan suatu negara dapat ditentukan melalui kemampuan
suatu negara untuk melaksanakan kehendaknya sendiri secara penuh
(Self Reliance), sikap patuh atas kewajiban-kewajiban internasional
serta dapat mencegah intervensi asing terhadap pelaksanaan
kedaulatannya.
- Kemerdekaan dalam hukum internasional juga dikaitkan dengan
kesediaannya untuk mengikatkan diri pada perjanjian internasional
untuk melekatkan hak-hak dan kewajiban-kewajiban tanpa adanya
paksaan atau tekanan.
H. PENGAKUAN (RECOGNITION)
A. Teori-Teori Pengakuan
Lahirnya suatu negara menimbulkan 2 pendapat :
1. Lahirnya suatu negara hanya peristiwa fakta yang terlepas dari
ketentuan hukum internasional. Fakta itu dapat bersifat politis, historis,
sosiologis dan meta yuridis. Penganut pendapat ini :Jellinek,
Cavaglieri dan Strupp.
2. Lahirnya suatu negara sebagai suatu proses hukum yang diatur dalam
hukum internasional. Penganut pendapat ini Hans Kelsen dan
Verdross.
Dari 2 pendapat di atas yang tepat adalah pendapat pertama karena tidak
mungkin hukum internasional mengatur timbulnya suatu negara, sebab
hukum internasional ada setelah timbulnya suatu negara. Negara-negara
merdeka yang merumuskan hukum internasional dan berlaku bagi
mereka.
B. Bentuk-Bentuk Pengakuan
1. Pengakuan secara terang-terangan
Pengakuan ini dilakukan oleh pemerintah atau organ yang paling
berwenang di bidang hubungan luar negeri. Pengakuan dengan
cara ini dapat dilakukan melalui :
a. Nota diplomatik, surat pernyataan dan telegram.
b. Suatu perjanjian internasional.
Suatu negara tidak mempunyai hak untuk diakui dan tidak ada
kewajiban hukum untuk mengakui (Legal right to be recognized and legal
duty to recognize) Pengakuan pemerintah seperti pengakuan negara
adalah berkaitan dengan kebijakan (matters of policy). Tiap-tipa negara
bebas membuat kebijaksanaannya untuk mengakui atau tidak mengakui
suatu pemerintahan yang baru.Pengakuan itu merupakan kebijaksanaan
politik suatu negara. Meskipun terdapat beberapa kriteria untuk dapat
memberikan pengakuan atas pemerintahan yang baru, seperti stabilitas
keamanan dan kemampuan pemerintahan yang baru dalam
melaksanakan kewajiban-kewajiban internasionalnya, tetapi dalam
prakteknya sering kali menyimpang.
29
Malcom N. Shaw, dalam Jawahir Thontowi dan Pranoto Iskandar, Hukum Internasional
Kontemporer, Refika Aditama, Bandung, 2006, h. 193.
1. Dapat ditujukan pada negara.
2. Mengandung pelanggaran atas kewajiban-kewajiban internasional
yang dimilki suatu negara. Pengecualiannya dalam hal negara
melakukan tindakan pembelaan diri (Self Defence) dan keadaan
terpaksa (Force Majure).
Ad. No. 1)
- Kapasitas negara adalah, melalui wakil-wakilnya, yaitu para pejabatnya
sebagai agent diplomatik. Semua pejabat negara dapat dikenakan
pertanggungjawaban internasional. Contohnya tindakan aparat
kepolisian yang melakukan penyiksaan (torture) terhadap seseorang.
(Hal itu merupakan norma yang terdapat dalam kebiasaan).
- Pihak pemberontak yang kemudian menjadi pemerintah suatu negara,
maka negara itu memiliki tanggung jawab negara atas perbuatannya.
Contoh: Penyanderaan oleh pejuang revolusi Iran tahun 1979 di Iran,
pengadilan memutuskan meskipun pejuang dalam hukum internasional
bukan aparat negara, tetapi mereka telah mengantikan fungsinya.
Ad. No. 2)
- Pelanggaran yang dilakukan suatu negara dapat berupa pelanggaran
bersifat bilateral dan pelanggaran yang terkait dengan perlindungan
diplomatik. Dalam hal pelanggaran yang bersifat bilateral, maka suatu
pelanggaran dapat diatributkan pada suatu negara sehingga negara itu
dapat diminta pertanggungjawabannya. Dalam kaitan ini tidak perlu
dilakukan Nationality of Claims atau Exhaustion of Local Remedies.
Sedangkan pelanggaran yang berkaitan dengna perlindungan
diplomatik membutuhkan syarat berupa Exhaustion of Local Remedies.
Syarat ini sebagai syarat fundamental yang diperlukan oleh peradilan
internasional.
- Menurut ILC, faktor untuk menuntut tanggung jawab negara berkenaan
dengan adanya kerugian, tidak harus selalu ada bahaya dan
kerusakan, tetapi sudah cukup bila sudah ada terjadinya suatu
pelanggaran.
- Alasan pembenar atas adanya suatu pelanggaran :
1. Persetujuan yang sah (Valid Consent) : adanya persetujuan yang
sah dari suatu negara terhadap tindakan negara lainnya yang
bertentangan dengan yang seharusnya, merupakan salah satu
alasan pemaaf. Menurut ILC, jika persetujuan antara negara itu
bertujuan untuk melegitimasi suatu tindakan-tindakan yang
bertentangan dengan Jus Cogens atau Peremory Normas, maka
persetujuan itu batal. Dalam hal pengunaan kekerasan, maka
persetujuan dari negara yang terkait menjadi alasan untuk
membenarkan tindakan kekerasan itu, asalkan tindakan dari tentara
asing tidak merusak kesatuan wilayah atau kemerdekaan politik
dari negara yang memintanya sesuai pasal 2 ayat (4) Piagam PBB.
2. Bela diri : Suatu negara diijinkan bertindak berlawanan dengan
kewajiban internasional yang diembannya dengan tujuan untuk
membela diri sesuai dengan Piagam PBB.
3. Force Majeure : Dalam hukum internasional dikenal suatu keadaan
yang berada di luar kemampuan. Alasan force Majeure tidak dapat
digunakan bila negara itu sendiri penyebabnya.
4. Distress Suatu situasi dimana suatu negara tidak meiliki cara lain
yang lebih baik dalam upaya menyelamatkan hidupnya atau orang-
orang dalam tanggungjawabnya. Distress tidak dapat dijadikan
alasan bila keadaan yang muncul merupakan akibat dari tindakan
negara itu sendiri dan bila perbuatan yang akan dilakukan
menimbulkan kerugian yang sama atau lebih besar.
5. Necessity : alasan ini dapat digunakan jika suatu negara
menghadapi bahaya yang luar biasa bagi kepentingannya.
Tindakan necessity tidak boleh menimbulkan bahaya bagi negara-
negara lain yang berkepentingan atas kewajiban yang dilanggar.
Pengecualian dalam pengunaan alasan necessity yaitu dalam hal
perjanjian itu secara jelas tidak memberikan kemungkinan bagi
pengunaan necessity atau negara itu sendiri.
B. Bentuk-Bentuk Suksesi
1. Suksesi Terhadap Hak-Hak Dan Kewajiban-Kewajiban Traktat
Tidak ada prinsip umum atau kaidah umum mengenai suksesi
terhadap hak dan kewajiban dalam hubungannya dengan traktat. Apabila
suatu negara lenyap karena kehilangan seluruh wilayahnya, tidak ada hak
dan kewajiban yang sifatnya pelaksanaan (executor character)
berdasarkan traktat yang beralih pada negara suksesor (negara yang
mengantikan), kecuali :
1. Traktat-traktat yang secara langsung berkaitan dengan wilayah yang
telah berganti pemiliknya. Contohnya traktat mengenai perbatasan,
servitut (servitude), quasiservitude ( hak melintas ), traktat netralitas
atau demiliterasi wilayah terkait.
Menurut pasal 11 dan 12 Konvensi Wina 1978 menentukan suksesi
negara tidak mempengaruhi perbatasan yang ditetapkan oleh traktat,
hak-hak dan kewajiban-kewajiban serta pembatasan-pembatasan
yang tercakup dalam wilayah untuk kepentingan wilayah yang
berkaitan dan wilayah yang berbatasan. Ketentuan-ketentuan ini tidak
berlaku untuk perjanjian-perjanjian mengenai pangkalan-pangkalan
militer asing, sehingga negara pemilik pangkalan militer tidak dapat
menuntut perjanjian-perjanjian untuk itu mengikat negara suksesor.
2. Konvensi-konvensi multilateral berkaitan dengan kesehatan,
narkotika, HAM dan sejenisnya, yang dimaksudkan untuk berlaku
meskipun telah terjadi perubahan-perubahan dalam wilayah
negaranya. Contohnya :
Anglo-Chinese Agreement, Annex 1 tanggal 19 Desember 1984
mengenai pengembalian kedaulatan atas wilayah Hongkong kepada
Cina, menentukan bahwa International Convenant 1966 on Civil and
Political Rights dan International Convenant on Economic, Social and
Cultural, akan tetap diberlakukan di Hongkong meskipun akan
dikembalikan pada Cina tahun 1997.
K. YURISDIKSI NEGARA
Dasar-Dasar Yurisdiksi
A. Teritorial
- Prinsip Jurisdiksi Teritorial memberikan kewenangan terhadap
suatu negara untuk melaksanakan kedaulatannya terhadap
kejadian-kejadian yang terjadi di wilayahnya, serta memberikan
hukuman terhadap warga negara asing yang melakukan kejahatan
atau pelanggaran di wilayah suatu negara. Dengan prinsip ini
sebagai dasar atau alasan suatu negara mengadili suatu perkara.
- Prinsip teritorial terbagi menjadi 2 bagian :
1. Prinsip Teritorial Subyektif : Suatu negara memiliki kewenangan
atas suatu kejahatan yang direncanakan di negara tersebut
tetapi diselesaikan di negara lain.
2. Prinsip Teritorial Obyektif, merupakan kebalikan dari prinsip
teritorial subyektif, yaitu suatu negara memiliki kewenangan
atas suatu kejahatan yang direncanakan di negara lain tetapi
dilaksanakan di negara tersebut.
B. The Effect Doctrine
- Penerpan Prinsip The Effect ini didasarkan atas akibat dari suatu
perbuatan / kejahatan yang dilakukan orang asing atau negara
lain yang berdampak pada suatu negara.
- Beberapa kasus berkaitan dengan penerapan Prinsip ini :
1. Kasus Alcoa : Amerika Serikat mengklaim memiliki jurisdiksi
atas tindakan perusahaan asing (anggota suatu kartel), yang
berakibat mempengaruhi ekspor dan impor Amerika Serikat.
Putusan hakim atas kasus ini lebih menekankan pada
intensional terhadap situasi ekonomi Amerika Serikat, bukan
atas tindakan-tindakan secara fisik.
2. The Uranium Antitrust Litigation : Perusahaan uranium
membentuk kartel untuk monopoli penjualan uranium di dunia.
Di lain pihak, Westinghouse (perusahaan AS), yang menjual
uranium tidak mampu memenuhi kontraknya. Sesuai dengan
hukum antitrust, Westinghouse menuntut di pengadilan atas
perbuatan monopoli penjualan uranium yang dilakukan oleh
kartel tersebut.
C. Kebangsaan
- Penerapan prinsip ini didasarkan atas kebangsaan dari pihak
yang terkait dalam suatu perkara, dimanapun ia berada.
- Kebangsaan seseorang didasarkan atas hubungannya atau
keterkaitannya dengan negaranya, berupa ius soli (kelahiran , ius
sanguinis (keturunan), dalam hal anak tidak memiliki bapak,
maka anak mengikuti kewarganegaraan bapaknya.
- Mengenai syarat-syarat kebangsaan seseorang dapat ditemukan
pada pasal 2 the Hague Convention on Certain Question
Relating to the Conflict of the Nationality Laws : “...any question
as to wether a person possesses the nationality of a particular
State shall be determined in accordance with the law of the
State.
- Kebangsaan suatu kapal laut, sesuai Konvensi Hukum Laut PBB
1982 ditentukan menurut status bendera kapalnya. Untuk
pesawat udara status kebangsaan pesawat udara sesuai
Konvensi Chicago, ditentukan menurut tempat pendaftaran
pesawatnya.
- Berkaitan dengan prinsip kebangsaan ini, Konvensi Mengenai
Pengurangan Orang Yang Tak Berkewarganegaraan,
mewajibkan kepada negara pesertanya untuk memberikan
kewarganegaraan bagi orang lahir di negaranya.
D. Nasonalitas Pasif
- Prinsip ini memberikan dasar klaim bagi suatu negara untuk
menerapkan jurisdiksinya dari korban actual dan atau potensial.
Demikian juga pendapat Shaw : suatu negara dapat mengklaim
jurisdiksi atas perbuatan orang asing yang dilakukan diluar
negeri yang diduga telah merugikan dari negara yang
bersangkutan, seperti dalam kasus the Cutting Case. Duduk
perkaranya : Cutting seorang warga negara AS, mengeluarkan
pernyataan subersif terhadap seorang warga negara Meksiko di
AS. Ketika Cutting berada di Meksiko, ia ditangkap dan ditahan
oleh pihak berwajib Meksiko atas dasar Prinsip Nasionalitas
Pasif.
- Amerika Serikat mengunakan prinsip nasionalitas pasif tertuang
dalam the Comprehensive Crime Control Act 1984, antara lain
menegaskan : “..any place outside jurisdiction of any nation with
respect to an offence by or against a national of the United
Nations”. Dalam perkara US v Yunis, terkait pembajakan yang
dilakukan oleh warga Lebanon, Pihak AS mengunakan prinsip
nasionalitas pasif hanya semata-mata terdapat beberapa warga
AS yang disandera di atas kapal tersebut.
- Keuntungan pengunaan Prinsip Nasionalitas Pasif : suatu negara
dapat melindungi warga negaranya di luar negeri serta dapat
dikaitkan dengan pelaksanaan ekstradisi.
E. Prinsip Protective
- Prinsip ini disebut juga dengan Prinsip Competence Reel, yang
memungkinkan suatu negara melakukan penuntutan terhadap
seseorang yang melakukan kejahatan berakibat merugikan
kepentingan nasional dari negara itu.
- Pengunaan prinsip Protective ini sering kali digunakan untuk
perjanjian-perjanjian yang khusus.
- Contoh pengunaan Prinsip Protective dalam kasus Einchmenn
(warga negara Argentina), yang diculik oleh Israel di Argentina
kemudian dibawa ke Israel atas tuduhan melakukan delicta juris
gentium terhadap bangsa Yahudi, meskipun orang yahudi itu
bukan warga negara Israel. Pengadilan Israel dalam hal ini
mengunakan Lingking the Point (terdapat hubungan) dalam
mengadili perkara itu.
F. Prinsip Universal
- Menurut Prinsip Universal, tiap-tiap negara memiliki jurisdiksi atas
kejahatan-kejahatan tertentu tanpa adanya pertimbangan lain.
Lahirnya prinsip ini didasarkan atas pemikiran adanya Hostis
Humani generis (timbulnya suatu kejahatan yang merupakan
kejahatan bagi seluruh umat manusia) serta adanya kehendak
bersama untuk membasmi kejahatan seperti itu, yang terdapat
pada perjanjian-perjanjian internasional atau resolusi-resolusi
dari organisasi internasional.
- Prinsip Universal ini muncul pada abad ke 17 sebagai hukum
kebiasaan, sebagai upaya untuk menumpas pembajakan.
Menurut prinsip ini, maka setiap negara dapat mengadili pelaku
kejahatan pembajakan, dengan tujuan untuk melindungi
kepentingan negaranya sendiri dan negara lain.
- Prinsip Universal saat ini dapat diterapkan pada kejahatan-
kejahatan : pembajakan, perdagangan budak, perdagangan
narkotika, terorisme, kejahatan perang, genoside, pembajakan
pesawat.
- Terdapat beberapa keberatan atas penerapan Jurisdiksi Universal
ini : sebagai bentuk ikut campur urusan dalam negeri suatu
negara dan dapat merusak hubungan luar negeri.
Arbitrasi
- Pengunaan Arbitrasi sudah cukup tua, tetapi Arbitrsi dalam arti
modern digunakan sejak Jay Treaty 1794 antara Amerika Serikat
dengan Inggeris yang mengatur pembentukan Joint Mix Commissions
untuk penyelesaian masalah-masalah tertentu yang tidak dapat
diselesaikan melalui traktat itu.
- Faktor lain yang mendorong berkembangnya pengunaan Arbitrasi
dalam penyelesaian sengketa internasional : Alabama Claims Award
1872. Menurut Manly H. Hudson :”Dalam tiga Dekade sejak tahun
1872 pengadilan Arbitrasi berhasil menyelesaikan ratusan perkara”.
Arbitrasi menjadi tangan utama legislasi internasional, karena
sengketa-sengketa penafsiran konvensi atau penerapan konvensi
dapat diajukan melalui Arbitrasi untuk diselesaikan. Demikian juga
sejumlah traktat Arbitrasi untuk penyelesaian kelompok sengketa
tertentu antara negara-negara peserta juga telah dibentuk.
- Tahun 1899 melalui Konferensi Den Haag telah mengkodifikasi
aturan-aturan Arbitasi dan pembentukan Permanent Court of
Arbitration, yang kemudian disempurnakan pada Konferensi Den
Haag tahun 1907.
Penyelesaian Yudisial
- Penyelesaian Yudisial merupakan penyelesaian yang dilakukan
melalui pengadilan internasional yang dibentuk untuk itu dengan
memberlakukan kaidah-kaidah hukum.
- Bentuk penyelesaian yudisial ini adalah : International Court of Justice
(Mahkamah Internasional). Mahkamah ini dibentuk berdasarkan Bab
VI pasal 92-96 Piagam PBB. Sesuai pasal 92 yang menyatakan
bahwa Mahkamah Internasional adalah organ utama PBB, yang
bekerja sesuai Statuta Mahkamah Internasional sebagai bagian
integral dari Piagam PBB.
- Yurisdiksi Mahkamah Internasional berwenang untuk menyelesaikan
kasus-kasus berupa sengketa penetapan batas territorial, batas
maritime, penghindaraan pengunaan kekerasan,
- Aspek-aspek lainnya berkenaan dengan Mahkamah Internasional
antara lain :
a. Mahkamah Internasional secara permanen merupakan pengadilan
yang diatur dengan Statuta dan ketentuan prosedurnya mengikat
bagi semua pihak yang terikat dengan Mahkamah.
b. Mahkamah Internasional memiliki panitera tetap, untuk fungsi
penerimaan arsif, pencatatan, pengesahan dari dokumen serta
pelayanan umum. Mahkamah dapat bertindak sebagai saluran
komunikasi tetap dengan pemerintahan dan badan-badan lain.
c. Proses peradilan dilakukan secara terbuka, sedangkan pembelaan-
pembelaan, catatan-catatan dengar pendapat dan putusan-
putusannya dipublikasikan.
d. Pada prinsipnya Mahkamah Internasional dapat dimasuki oleh
setiap negara untuk proses penyelesaian yudisial segala kasus
yang dapat diserahkan oleh negara-negara itu kepadanya dan
semua masalah khususnya yang diatur dalam Traktat dan Konvensi
yang berlaku.
e. Pasal 38 Statuta Mahkamah secara khusus menetapkan bentuk
hukum berbeda-beda yang harus diberlakukan Mahkamah dalam
perkara-perkara dan masalah-masalah yang diajukan terhadapnya,
tanpa mengeyampingkan kewenangan Mahkamah untuk
memutuskan suatu perkara ex aequo et bono apabila para pihak
setuju terhadap cara tersebut.
f. Keanggotaan Mahkamah berupa wakil-wakil dari bagian terbesar
masyarakat internasional dan mewakili sistim hukum utama sejauh
hal itu tidak bertentangan dengan pengadilan lain.
g. Mahkamah internasional dapat mengembangkan suatu praktek
yang konsisten dalam proses-proses peradilannya dan memelihara
kesinambungan wawasan terhadap suatu hal yang tidak sesuai
jika dilakukan dengan pengadilan-pengadilan ad hoc.
Penyelidikan (Inquiry).
- Cara penyelesaiana sengketa dengan Inquiry ini dilakukan dengan
mendirikan suatu komisi atau badan bersifat internasional guna
mencari bukti-bukti yang relevan dengan masalah yang diseldidki.
Penyelesaian Sengketa Melalui Organisasi Internasional
a. Organisasi Regional
- Deklarasi Manila 1982 tentang penyelesaian sengketa secara
damai, dapat dilakukan melalui Organisasi Regional, seperti OAU,
NATO, EEC, Liga Arab, OAS. Salah satu fungsi dari Organisasi itu
menyediakan wadah bagi pemerintah-pemerintah untuk melakukan
hubungan diplomatic.
- Organisasi Internasional Regional umumnya bertindak sebagai
Good Office dan mediasi, Selain itu juga mengunakan metode
inquiry dan konsiliasi.
b. Penyelesaian dibawah PBB.
- Sesuai pasal 2 Piagam PBB menentukan cara penyelesaian damai
dan anti kekerasan atas penyelesaian sengketa-sengketa yang
timbul dari anggota PBB.
- Majelis Umum PBB berwenang untuk merekomendasikan tindakan-
tindakan penyelesaian secara damai atas terganggunya hubungan
bersahabat antara negara anggota. (pasal 14 Piagam PBB).
- Dewan Keamanan PBB memiliki wewenang terhadap 2 jenis
sengketa yaitu :
1. Sengketa-sengketa yang dapat membahayakan perdamaian
dan keamanan internasional.
Dalam kasus ini, Mahkamah Internasional dan Dewan
Keamanan PBB dapat mengupayakan cara-cara penyelesaian
damai melalui arbitrasi, konsiliasi, inquiry, yudisial, dan
negosiasi.
2. Sengketa-sengketa yang mengancam perdamaian, atau
melanggar perdamaian atau tindakan-tindakan agresi. Untuk
sengketa ini, Dewan Keamanan dapat melakukan tindakan-
tindakan berupa pemberian sanksi ekonomi dan pengunaan
kekuatan senjata bagi pihak yang menolak terikat dari
keputusan-keputusan PBB.
Perang
- Perang dimaksudkan untuk menaklukan negara lawan dan
membebankan syarat-syarat penyelesaian dimana negara yang kalah
perang tidak memiliki alternative lain, selain mematuhinya.
- Menurut Hall pengertian perang dapat digambarkan sebagai berikut :
Apabila perselisihan antara negara-negara mencapai suatu titik
dimana kedua belah pihak berusaha untuk memaksa atau salah satu
dari mereka melakukan tindakan kekerasan, yang dipandang oleh
pihak lainnya sebagai pelanggaran perdamaian, maka terjadilah
hubungan perang, dimana pihak-pihak yang bertempur satu sama
lain dapat mengunakan kekerasan sesuai dengan peraturan, hingga
salah satu dari mereka dapat menerima syarat-syarat yang
dikehendaki oleh pihak musuh.
- Menurut JG. Starke hukum perang adalah sekumpulan pembatasan
oleh hukum internasional dalam mana kekuatan yang diperlukan
untuk mengalahkan musuh dibolehkan dan prinsip-prinsip yang
mengatur perlakuan terhadap individu-individu pada saat
berlansungnya perang serta konflik-konflik bersenjata.
- Pengaturan hukum perang antara lain dimuat pada hukum kebisaan
dan berbagai perjanjian internasional (Traktat atau Konvensi) seperti
Konvensi Palang Merah 1949 (Konvensi Jenewa 1949), Protokol
Tambahan Konvensi Jenewa I Tahun 1977 dan Protokol Tambahan
Konvensi Jenewa II Tahun 1977. Dengan adanya pengaturan perang
dalam berbagai konvensi atau traktat itu, maka aturan-aturan hukum
perang tidak hanya ditujukan pada upaya mengatur perang,
melainkan juga, dengan alasan kemanusiaan, dimaksudkan untuk
membatasi atau mengurangi akibat-akibat dari perang bagi individu-
individu serta membatasi kawasan-kawasan yang diperbolehkan
untuk perang. Oleh sebab itu pula, ketentuan-ketentuan hukum
perang biasa juga disebut sebagai Humanitarian Law of War
(Hukum perang yang berprikemanusiaan).
- Alasan pengunaan kekerasan militer (perang) :
a. Self Defence
Pada The Kellog-Brian Pact, pasal 1, melarang pengunaan
kekerasan dalam penyelesaian sengketa antar negara. Demikian
juga pasal 3 ayat (2) Piagam PBB yang menentukan agar setiap
anggota PBB menyelesaikan sengketa internasional secara damai
dan mengunakan cara-cara sedemikian rupa agar perdamaian,
keamanan dan keadilan tidak terancam. Tetapi, sesuai pasal 51
Piagam PBB, menentukan diperkenankannya pengunaan
kekerasan oleh negara peserta dalam penyelesaian sengketa
dengan alasan bela diri. Ruang lingkup Self Defence dalam arti
luas mencakup tindakan militer (serangan bersenjata), tindakan
antisipatif serta perlindungan warga negaranya yang berada diluar
wilayah kedaulatan teritorialnya. Pelaksanaan Self Defence dapat
dilakukan secara individual dan kolektif. Pengunaan self defence
secara kolektif dapat ditemukan padal pasal 5 Pakta Nato 1949
yang menentukan adanya Klausul all for one, dimana jika ada
serangan pada salah satu anggota NATO merupakan serangan
bagi negara-negara anggota NATO lainnya. ICJ dalam kasus
Nicaragua menyatakan bahwa pengertian Self Defence secara
kolektif dikenal dalam hukum kebiasaan internasional. Untuk
menghindari penyalahgunaan, pengadilan memberikan batasan
procedural berupa : 1. Harus ada bukti akan adanya serangan
bersenjata oleh negara lain terhadap negaranya. 2. Negaranya
memahami bahwa ia telah menjadi obyek serangan militer dari
negara lain. 3. Negara yang diserang akan meminta pertolongan
dari negara lain. 4. Negara lain yang membantu itu, tidak
mendasarkan tindakannya atas pemahamamnnya sendiri.
Contohnya : ketika Kuwait meminta bantuan Dewan Keamanan
PBB, atas invasi yang dilakukan Irak terhadap negaranya.
b. Humanitarian Intervention (Campur tangan kemanusiaan):
Pasal 2 ayat 7 Piagam PBB dengan tegas melarang intervensi
terhadap persoalan domestic dari suatu negara. Tetapi dalam
prakteknya, suatu negara dapat melakukan intervensi terhadap
persoalan intern suatu negara berdasarkan alasan Humanitarian.
Contohnya : ketika terjadinya konflik perang di Bosnia-
Herzegovina dan Serbia tahun 1992, dimana pasukan NATO
dengan alasan kemanusian, melakukan perlawanan terhadap
tentara Serbia yang telah melakukan kejahatan HAM di wilayah
bekas Yugoslavia.
OBrien menentukan beberapa syarat untuk melakukan
Humanitarian Intervention :
1. Harus adanya ancaman terhadap HAM yang bersifat massif.
2. Intervensi harus dibatasi hanya untuk perlindungan HAM.
3. Tindakan intervensi bukan atas undangan dari pemerintah
setempat melainkan atas dasar Resolusi Dewan Keamanan
PBB.
Retorsi
- Retorsi merupakan pembalasan dendam oleh suatu negara terhadap
tindakan-tindakan tidak pantas atau tidak patut dari negara lain, balas
dendam itu dilakukan dalam bentuk tindakan-tindakan sah yang tidak
bersahabat dalam konferensi negara yang kehormatannya di hina.
Contoh : Pencabutan priveleges-priveleges diplomatic, penarikan diri
dari konsesi-konsesi fiscal dan bea.
Tindakan-Tindakan Pembalasan
- Reprisal digunakan untuk memperoleh ganti kerugian dari negara lain
dengan cara tindakan-tindakan pembalasan. Bentuk Reprisal :
penyitaan harta benda, penahanan seseorang, tindakan pemaksaan
suatu negara terhadap negara lain karena perbuatan illegal untuk
menyelesaikan suatu sengketa.
- Perbedaan Retorsi dengan Reprisal :
1. Retorsi merupakan tindakan balas dendam yang dapat dibenarkan
oleh Hukum.
2. Pembalasan secara umum mencakup tindakan pembalasan yang
illegal
- Dalam praktek saat ini, tindakan pembalasan hanya dibolehkan bila
negara yang menjadi objek pembalasan telah bersalah karena
pelanggaran internasional. Pembalasan tidak dibenarkan bila negara
pelanggar tanpa diminta memberikan ganti rugi akibat kesalahannya
atau melebihi porsi dari kerugian yang diderita.
- Prinsip lain dari pembalasan adalah tindakan itu dilakukan setelah
negosiasi-negosiasi untuk penyelesaian dari negara yang melanggar,
mengalami kegagalan.
- Tindakan pembalasan di masa perang berbeda dengan tindakan
pembalasan pada masa damai, yang ditujukan untuk penyelesaian
perang.
30
Yudha Bhakti Ardhiwisastra, 2003, Hukum Internasional Bunga Rampai, Alumni,
Bandung, h. 9-10.
31
J.G. Starke, Op. Cit., h. 459.
konvensi-konvensi internasional, kebiasaan internasional dan prinsip-
prinsip hukum yang umumnya diakui berkenaan dengan nasionalitas”.
Pasal 2 : “ Setiap persoalan mengenai apakah seseorang yang
berkewarganegaraan suatu negara harus ditentukan sesuai dengan
hukum dari negara tersebut”.32
Dalam membahas persoalan perlindungan hukum internasional
terhadap orang asing ini digunakan pendekatan doktrinal dan praktek
pengadilan internasional. Dari pendapat para ahli hukum internasional,
akan ditemukan azas-azas dan teori-teori hukum mengenai kedudukan
individu sebagai subyek hukum internasional. Azas-azas
kewarganegaraan sebagai dasar utama pemberlakuan azas yurisdiksi
dan tanggungjawab negara terhadap warga negaranya dan orang asing.
32
Ibid, h. 460-461.
33
Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes, Op. Cit., h. 96.
34
Boer Mauna, 2001, Hukum Internasional Pengertian Peranan Dan Fungsi Dalam Era
Dinamika Global, Alumni, Bandung, h. 594.
35
Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes, Op. Cit., h. 104-105.
C. Yurisdiksi Negara Terhadap Orang Asing.
Praktek pelaksanaan yurisdiksi oleh beberapa negara yang
diberlakukan terhadap orang, harta bendanya, tindakan atau peristiwa,
berbeda-beda dan perbedaan itu disebabkan oleh faktor-faktor historis
dan geografis suatu negara.36
Dalam hukum internasonal dikenal beberapa prinsip-prinsip yurisdiksi :
1. Yurisdiksi teritorial, pelaksanaan yurisdiksi teritorial oleh suatu negara
terhadap harta benda, orang, tindakan dan peristiwa yang terjadi
dalam wilayah suatu negara diakui oleh hukum internasional untuk
semua negara anggota masyarakat internasional. Menurut pasal 9
Konvensi Montevideo Tahun 1933, bahwa : ” The jurisdiction of
states within the limits of national territory applies to all the
inhabitants”. Dengan demikian berlakunya jurisdiksi teritorial suatu
negara adalah dalam batas-batas wilayahnya, dan akan tetap
melekat padanya karena negara tersebut berdaulat. Termasuk pula
teritorial suatu negara adalah jalur pantai maritim atau laut tertorial,
kapal yang berbendera dari suatu negara tertentu, dan pelabuhan-
pelabuhan. Perluasan pengertian yurisdiksi teritorial adalah prinsip
teritorial subyektif dan prinsip teritorial objektif. Yang dimaksud prinsip
teritorial subyektif adalah suatu negara menjalankan yurisdiksinya
untuk menuntut dan menghukum perbuatan pidana yang dilakukan di
wilayah negaranya, tetapi perbuatan itu diselesaikan di wilayah
negara lain . Penerapan prinsip ini belum berlaku umum dalam
praktek internasional tetapi dimasukan dalam pada Geneva
Convention for Suppression of Cunterfeiting Currency, 1929 dan
Geneva Convention for Suppression of the Illicit Traffic Drug Tahun
1939. Sedangkan dalam teritorial obyektif, maka suatu negara
tertentu dapat menerapkan yurisdiksi obyektif , apabila suatu
perbuatan pidana atau perbuatan lainnya yang dilakukan di negara
lain tetapi dilaksanakan atau diselesaikan di dalam wilayah negara
mereka, atau perbuatan itu menimbulkan akibat yang sangat
berbahaya bagi ketertiban sosial dan ekonomi di wilayah negara
mereka. Prinsip ini dianut pula pada dua konvensi tersebut diatas dan
diakui dalam keputusan-keputusan pengadilan di Amerika Serikat,
Inggeris dan Jerman. Selain itu juga diakui yurisdiksi teritorial
terhadap orang asing, dengan mengutip pendapat Hakim J.B. Moore
dalam Lotus Case, antara lain menyatakan ”Tidak ada anggapan
imunitas yang muncul dari fakta bahwa orang yang dikenai perkara
itu orang asing; seorang asing tidak dapat menuntut pembebasan
dari pelaksanaan yurisdiksi demikian kecuali sejauh orang itu dapat
memperlihatkan hal-hal berikut : karena alasan imunitas khusus, ia
tidak tunduk pada hukum lokal atau hukum lokal itu tidak sesuai
36
J.G.Starke, Op. Cit., h. 269.
dengan hukum internasional”.37 Pengecualian dari pelaksanaan
yurisdiksi teritorial ini adalah : terhadap kepala negara asing,
perwakilan dan konsul asing, kapal milik asing, dan angkatan
bersenjata milik asing, lembaga internasional.
2. Yurisdiksi individu, penerapan yurisdiksi ini tergantung pada pelaku
individunya yang terlibat dalam peristiwa hukum tertentu, bukan pada
aspek teritorial suatu negara. Dalam praktek internasional, yurisdiksi
individu ini diberlakukan menurut prinsip-prinsip nasionalitas aktif dan
nasionalitas pasif. Menurut prinsip nasionalitas aktif, maka negara
dapat melaksanakan yurisdiksi terhadap semua warganegaranya,
sedangkan menurut prinsip nasionalitas pasif, maka negara dapat
menjalankan yurisdiksinya apabila seorang warga negara menderita
kerugian. Hukum internasional mengakui prinsip ini dengan
pembatasan tertentu, seperti dalam Cutting Case, dimana negara
yang tidak mengakui prinsip ini juga tidak wajib memberikan
pengakuan terhadap peradilan yang dilaksanakan oleh negara lain
terhadap warga negaranya. Dasar pembenar terhadap prinsip
nasionallitas pasif adalah setiap negara berhak melindungi
warganegaranya di luar negeri dan apabila negara teritorial dimana
tindak pidana itu terjadi tidak menghukum orang yang menyebabkan
kerugian tersebut, maka negara asal korban berwenang terhadap
tindak pidana itu, apabila orang tersebut berada dalam wilayahnya.
3. Yurisdiksi menurut prinsip perlindungan, setiap negara berwenang
melaksanakan yurisdiksinya terhadap kejahatan yang menyangkut
keamanan, integritas dan kepentingan ekonomi yang vital, dengan
alasan-alasan bahwa akibat tindak pidana itu sangat besar bagi
negara yang dimaksud dan apabila yurisdiksi itu tidak dilaksanakan
maka pelakunya akan lolos dari penghukuman karena tidak
melanggar hukum lokal atau ekstradisi ditolak dengan alasan tidak
pidana bersifat politis. Seperti misalnya praktek pengadilan di Inggeris
dalam Kasus Joyce V DPP, Majelis Tinggi berpendapat bahwa
”seorang asing yang menghianati Mahkota dapat di hukum meskipun
dilakukan di luar negeri”.
4. Yurisdiksi menurut prinsip-prinsip universal. Suatu tindak pidana yang
tunduk pada yurisdiksi universal ini adalah tindak pidana yang yang
berada dalam di bawah yurisdiksi semua negara dimanapun tindak
pidana itu dilakukan. Tindak pidana jure gentium dan semua negara
berhak untuk menangkap dan menghukum para pelakunya,
contohnya kejahatan perompakan dan kejahatan perang.
Seorang asing berhak atas perlindungan yang sama berdasarkan
undang-undang negara tempat ia berada dan berhak pula atas hak-hak
tertentu untuk memberikan kemungkinan kepadanya hidup secara layak,
seperti diatur pada pasal 9 Konvensi Montevideo Tahun 1933, yang
berbunyi:”Nationals and foreigners are under the same protection of law
37
Ibid, h. 277.
and the national authorities and the foreigners may not claim right other or
more than those of nationals“
Terlepas dari perlindungan yang sama atas hak-hak orang asing
berdasarkan peraturan perundang-undangan tuan rumah dihadapan
pengadilan, tetapi hukum internasional tidak melarang suatu negara
mengadakan perlakukan yang berbeda yang lebih mengutamakan pada
warga negaranya sendiri dari pada orang asing. Pada umumnya tidak
semua orang asing mempunyai hak dan kewajiban yang sama. Orang
asing penetap mempunyai hak dan kewajiban yang lebih besar
dibandingkan dengan mereka yang berada di wilayah suatu negara
sementara, seperti turis asing.38
38
Yudha Bhakti Ardhiwisastra,Op. Cit., h.19.
39
F. Sugeng Istanto, Op. Cit., h.42.
Praktek negara-negara dalam hal pemberian ijin masuk orang
asing di wilayah negaranya, selalu disertai dengan persyaratan-
persyaratan tertentu yang diatur dalam hukum nasional masing-masing
negara. Tindakan ini sesuai dengan pencerminan dari prinsip kedaulatan
negara yang dianut oleh suatu negara, bahkan praktek pengadilan di
Amerika dan Inggris menegaskan bahwa larangan masuk orang asing
yang dilakukan oleh suatu negara sebagai suatu peristiwa kedaulatan
teritorial. Pengecualian terhadap larangan masuk orang asing ke wilayah
suatu negara, dapat ditentukan dalam perjanjian internasional yang
mengikat bagi negara-negara tersebut. Dalam hukum internasional sendiri
tidak mempunyai kewajiban untuk mengijinkan masuknya orang asing
secara bebas dan tidak menetapkan jangka waktu tertentu bagi orang
asing yang masuk dalam wilayah suatu negara.40
Suatu negara bertanggungjawab terhadap warga negara asing dan
harta miliknya yang berada di wilayah negaranya. Perjanjian
internasional multilateral dan regional atau melalui hukum nasional
menetapkan hak dan kewajiban negara terhadap orang asing yang berada
dalam wilayah suatu negara, pelanggaran terhadap kewajiban itu
menyebabkan negara harus bertanggungjawab terhadap orang asing
tersebut. Selain itu, ada juga alasan munculnya pertanggungjawaban
negara sebagai akibat tindakan yang dilakukan oleh organ atau
pejabatnya berupa melakukan perbuatan mistreatment terhadap orang
asing dan tindakan atau kelalaian yang merugikan secara ekonomis dan
fisik yang dilakukan oleh negara terhadap orang asing.41
Ada 2 pendapat berkenaan dengan perlakuan terhadap orang
asing :
1. International Minimum Standard. Pandangan ini dianut oleh negara-
negara maju, menurut pendapat ini maka memperlakukan orang
asing di dalam negeri harus memenuhi standar minimum
internasional, yaitu sesuai dengan hukum internasional dan
perlindungan yang efektif menurut hukum internasional. Apabila syarat
ini tidak terpenuhi , maka pertanggungjawaban negara timbul.
Penerapan prinsip ini tampak dalam perkara The Neer Claim tahun
1926. Terhadap perkara ini, pengadilan berpendapat bahwa suatu
perlakuan terhadap orang asing dalah suatu kejahatan internasional
apabila perlakuan tersebut merupakan suatu kebiadaban, itikad buruk,
kelalaian yang disengaja atau kurangnya tindakan dari pemerintah.
2. National Treatment Standard. Pandangan ini dianut oleh negara-
negara berkembang, menurut prinsip ini orang asing harus
diperlakukan sama seperti halnya negara memperlakukan
warganegarannya. Penerapan standar ini dapat ditemukan pada pasal
9 Konvensi Montevideo 1933.
40
J. G. Starke, Op. Cit., h. 465.
41
Jawahir Tontowi dan Pranoto Iskandar, Op. Cit., h. 206.
Dengan adanya perpedaan pandangan dari dua kepentingan yang
berbeda tersebut, maka sebagai jalan tengah, Garcia Amandor
mengemukakan pendapatnya mengenai tanggungjawab negara
khususnya berkenaan dengan perlakuan terhadap orang asing, sebagai
laporannya pada Komisi Hukum Internasional tahun 1957, sebagai
berikut :
1. Orang asing menikmati hak dan jaminan yang sama dengan warga
negara tempat ia tinggal, tidak kurang dari jaminan untuk menikmati
hak-hak fundamental manusia yang telah ditetapkan dan diakui oleh
hukum internasional.
2. Apabila hak-hak tersebut dilanggar, akan melahirkan tanggungjawab
negara terhadap pelaku. Dalam hal ini negara asal dapat melakukan
perlindungan diplomatik. Untuk itu negara asal perlu memahami
prinsip hukum yang berlaku di negara tempat warga negara
tinggal.42
Sehubungan dengan pertanggungjawaban negara terhadap orang
asing juga dikenal Denial of Justice, dalam arti luas berati kerugian yang
timbul bagi orang asing diluar negeri karena pelanggaran keadilan
internasional yang dilakukan oleh pejabat eksekutif, yudikatif, legislatif.
Dalam arti sempit berarti penyalahgunaan proses peradilan atau
pemberian keadilan yang tidak selayaknya, misalnya dalam kasus Chattin
Claim tahun 1972, United States-Mexico General Claims Commission
berpendapat bahwa ”ketidakberesan proses perkara pengadilan terbukti
dengan adanya pemeriksaan-pemeriksaan yang tidak semestinya, tidak
memberikan kesempatan kepada tergugat untuk mengetahui semua
gugatan yang diajukan kepadanya, penundaan perkara yang tidak
semestinya, pemeriksaan terbuka di pengadilan hanya formalitas saja”.43
Selanjutnya, juga ada tiga persoalan yang terkait dengan
pertanggungjawaban negara terhadap perlakuan orang asing, yaitu
Nationality of Claims, Exhaustion of Local Remedies dan Ekspropriasi.
Dalam hal Nationality of Claims, negara memberikan perlindungan
hukum kepada warganegaranya di luar negeri apabila timbul perbuatan
yang merugikan warganya oleh negara lain. Dalam penentuan
nasionalitas warganya yang mengalami kerugian, ditentukan oleh hukum
nasional negara yang mengajukan tuntutan.
Exhaustion of Local Remedies, dimaksudkan untuk meminta
pertanggungjawaban negara yang sudah melalui seluruh mekanisme
hukum nasional negara setempat . Jadi orang asing yang terlibat dalam
suatu perkara di negara lain, terlebih dahulu harus mengunakan
mekanisme hukum nasional setempat. Dalam kasus Ambatioles
Arbitration, Pihak Inggeris menolak tuntutan warga negara Turki, yang
42
Huala Adolf, 2002,Aspek-Aspek Negara Dalam Hukum Internasional, RajaGrafindo
Persada, Jakarta, h. 294-295.
43
J.G. Starke, Op. Cit., h. 411.
diwakili negaranya, karena warga Turki tersebut belum menggunakan
seluruh upaya hukum yang berlaku di negara Inggris.44
Doktrin Calvo, klausul ini sering dimuat dalam kontrak-kontrak
antar pemerintah-pemerintah Amerika Tengah dan Selatan dengan pihak-
pihak perusahaan asing atau orang-orang yang mempunyai konsesi-
konsesi atau hak-hak berdasarkan kontrak tersebut. Tujuan di
masukannya klausul ini untuk menjamin bahwa sengketa-sengketa
hukum yang timbul dari kontrak tersebut akan dilimpahkan pada
pengadilan setempat dari negara yang memberikan konsensi dan untuk
menghapus yurisdiksi-yurisdiksi pengadilan arbitrase internasional atau
mencegah permintaan tindakan diplomatik kepada negara asal
perusahaan atau individu yang menikmati konsesi itu.45
Ekspropriasi yang diartikan sebagai pengambilalihan kepemilikan
swasta oleh negara. Menurut Resolusi PBB mengenai Kedaulatan
Permanen Atas Sumber-Sumber Alam yang diadopsi oleh Majelis Umum
PBB tahun 1962 dinyatakan bahwa ; ”Ekspropriasi harus dilakukan
berdasarkan kepentingan yang luas dan kompensasi yang adil.
Ekspropirasi tidak boleh diskriminatif dan tidak ditujukan kepada
kebangsaan tertentu”.
Suatu ekspropriasi tidak berdasarkan hukum apabila dilakukan
secara diskriminatif, hanya ditujukan pada kebangsaan tertentu,
ketidakmampuan negara untuk kompensasi yang adil dan tidak
berdasarkan pada alasan kebijakan publik. Apabila ekspropirasi tidak
sesuai dengan hukum, maka ganti kerugian disebut sebagai kerusakan
bukan kompensasi . Ganti kerugian ini didasarkan atas standar
perhitungan standar normal, bahkan meliputi kerugian yang akan datang,
seperti dalam kasus Amco Finance Case 1985.46
Praktek negara-negara, terdapat beberapa lembaga perlindungan
hukum yang dapat dipergunakan oleh orang asing dalam menyelesaikan
persoalan-persoalan hukum :
1. Perjanjian antar negara asal dengan negara tempat ia berada untuk
mengatur perlindungan warganegaranya masing-masing dan harta
bendanya.
2. Lembaga perlindungan penanaman modal asing, termasuk jaminan
dari pemerintah lokal (host state) apabila timbul tindakan nasionalisasi,
seperti Perjanjian antara Indonesia dengan Belgia tentang Dorongan
dan Perlindungan Timbal-Balik Bagi Penanaman Modal pada tanggal
15 Januari 1972.
3. Perjanjian Jaminan Asuransi yang beranggotakan negara penerima
modal dan penanam modal pada Convention Establising the
Multilateral Investment Guarantee Agency di bawah naungan Bank
Dunia.
44
Jawahir Tontowi dan Pranoto Iskandar, Op. Cit., h. 209.
45
J.G. Starke, Op. Cit., h. 400-401.
46
Jawahir Tontowi dan Pranoto Iskandar, Op. Cit., h. 210.
4. Upaya hukum setempat (Exhaustion of local remedy), yang berupa
suatu tindakan hukum dari orang asing yang dirugikan melalui
tuntutan dihadapan pengadilan setempat.
5. Melalui perlindungan Diplomatik. Upaya ini dilakukan karena adanya
pelanggaran terhadap hukum internasional melalui perundingan atau
tuntutan di pengadilan atas nama warga negaranya., dengan demikian
apabila tindakan perlindungan diplomatik telah diambil, maka yang
menjadi pihak berperkara adalah negara, demikian pendapat
Mahkamah Internasional Permanent dalam perkara Mavrommatis
Palestine Concession 1924.
6. Penuntutan melalui forum pengadilan di negara ketiga, apabila objek
yang disengketakan berada di wilayah hukum negara forum, contoh
perkara tembakau di pengadilan Bremen antara Pemerintah Indonesia
dengan pemilik perusahaan tembakau milik warga negara Belanda,
karena barang yang disengketakan berada di wilayah Jerman.47
E. Kesimpulan
1. Pada prinsipnya setiap negara akan bertanggung jawab untuk
memberikan perlindungan hukum kepada setiap warga negaranya
dimanapun ia berada dan orang asing akan mendapat perlindungan
hukum, dalam pembatasan-pembatasan tertentu, baik dari negara
tempat sementara ia berada dan dari negara asalnya. Dengan
demikian, maka status kewarganegaraan seseorang erat kaitannya
dengan perlindungan hukum internasional yang akan diberikan
kepadanya, terhadap dirinya, harta benda, dan keluarganya.
2. Penerapan prinsip tanggungjawab negara terhadap warga
negaranya di luar negeri atau orang asing, lebih didasarkan pada
prinsip kedaulatan negara. Suatu negara yang berdaulat akan
memberlakukan hukum nasionalnya kepada warga negaranya
dalam batas-batas teritorialnya. Di luar itu yang berlaku adalah
ketentuan-ketentuan hukum dari negara lain atau ketentuan hukum
internasional.
47
Ibid, h. 29.
DAFTAR PUSTAKA