Anda di halaman 1dari 24

YURIDIKSI NEGARA DALAM HUKUM

INTERNASIONAL
”Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum
Internasional “

Disusun Oleh :
Kelompok 2
NAMA NPM
Lola Novita Loka Pasa 2216000228
Diki Dewantara Tarigan 2216000174
Cut Ramadhan Alisyabana 2216000262
Syahni Dinda 2216000094
Widi Putri 2216000009
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN PANCA BUDI
ILMU HUKUM
2023
Daftar Isi

KATA PENGANTAR...............................................................................................................… i

Daftar Isi ......................................................................................................................................……


i

BAB I ..........................................................................................................................................…....
1

PENDAHULUAN ..................................................................................................................….. 1

Latar Belakang ............................................................................................................................….…


1

Rumusan Masalah ......................................................................................................................…….


1

Tujuan...............................................................................................................................................……
1

BAB II .............................................................................................................................................……
2

PEMBAHASAN ..........................................................................................................................……
2

1. Pengertian Yurisdiksi Negara dalam Hukum Internasional


.................………..…….. 2

2. Prinsip-Prinsip Yurisdiksi dalam Hukum Internasional .....................…………..….….


6

3. Penerapan Yurisdiksi Ektrateritorial.......................................………………………………


13

4. Bentuk Kerja Sama Antarnegara Dalam Penerapan Yurisdiksi............…….....…


16

Sesi tanya jawab.............................................................................................……………………………….


19

BAB III ..................................................................................................................................…...……..


20

PENUTUP .....................................................................................................................…............……
20

Kesimpulan ..............................................................................................................................……..…
20
Saran..................................................................................................................................….........………
21

Daftar Pustaka .................................................................................................................……........…


22
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memeberikan
rahmat serta karunia-Nya kepada kami sehingga kami mampu menyelesaikan
makalah dengan judul “YUDIKSI NEGARA DALAM HUKUM INTERNASIONAL ”
dengan tepat waktu. Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih
yang sebesar-besarnya kepada dosen mata kuliah Hukum Internasional yang
telah memberikan tugas kepada kami. Adapun penulisan tugas makalah ini
bertujuan untuk memberikan pemahaman dan menambah wawasan bagi
orang yang membacanya.
Makalah ini di susun berdasarkan dari buku dan sumber sumber lainnya yang
berhubungan dengn Yudiksi Negara Dalam Hukum Internasional .
Makalah ini tentu masih mengandung ketidak sempurnaan dan ini merupakan
langkah
yang baik dalam studi yang sesungguhnya. Oleh karena itu, keterbatasan
waktu dan kemampuan kami, kritik dan saran yang membangun senantiasa
kami harapkan semoga makalah ini dapat berguna bagi kami pada khususnya
dan bagi pihak lain yang berkepentingan pada umumnya

Medan, Juni 2023

Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN

Latar Belakang
Tertib hukum internasional dilandasi prinsip kedaulatan Negara. Setiap
Negara merdeka memiliki kedaulatan untuk mengatur segala sesuatu yang
ada maupun yang terjadi di wilayah atau teritorialnya. Sebagai implementasi
dimilikinya kedaulatan, Negara berwenang untuk menetapkan ketentuan-
ketentuan hukum dan untuk menegakkan atau menetapkan ketentuan-
ketentuan hukum nasionalnya terhadap suatu peristiwa, kekayaan dan
perbuatan. Kewenangan ini dikenal sebagai yurisdiksi Negara dalam hukum
internasional.
Yurisdiksi Negara dalam hokum internasional jelas berperan sangat
penting dalam tiap-tiap Negara, dengan demikian tiap Negara berwenang
untuk menetapkan ketentuan-ketentuan hokum nasionalnya terhadap suatu
peristiwa, kekayaan dan perbuatan apapun yang terjadi di wilayah atau
teritorialnya.

Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, masalah-masalah yang dibahas
dapat dirumuskan sebagai berikut:
1) Apa pengertian yurisdiksi Negara dalam Hukum Internasional?
2) Apa saja prinsip-prinsip yurisdiksi dalam Hukum Internasional?
3) Bagaimana penerapan yurisdiksi ekstrateritorial?
4) Bagaimana bentuk kerjasama antranegara dalam penerapan yurisdiksi?

Tujuan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah agar mahasiswa lebih
memahami tentang yurisdiksi Negara yang ada dalam Hukum Internasional.

1
BAB II
PEMBAHASAN

1) Pengertian Yurisdiksi Negara dalam Hukum Internasional

Kata yurisdiksi (jurisdiction) berasal dari kata yurisdictio.


Kata yurisdictio berasal dari dua kata yaitu
kata Yuris dan Diction. Yuris berarti kepunyaan hukum atau kepunyaan
menurut hukum. Adapun Dictio berarti ucapan, sabda atau sebutan. Dengan
demikian dilihat dari asal katanya Nampak bahwa yurisdiksi berkaitan
dengan masalah hukum, kepunyaan menurut hukum atau kewenangan
menurut hukum.
Dalam praktik kata yurisdiksi sering memiliki bebarapa arti seperti di
pengadilan Inggris dalam kasus custody of children sering dinyatakan bahwa
para pihak dilarang melakukan “out of the jurisdiction of the court” terhadap
anak-anak yang berarti melarang membawa anak-anak keluar dari Inggris.
Kata jurisdiction di sini berarti territory. Dalam Piagam PBB sering digunakan
istilah domestic jurisdiction yang berarti kewenangan domestik. Meskipun
demikian, dalam praktik, kata yurisdiksi paling sering untuk menyatakan
kewenangan yang dlaksanakan oleh Negara terhadap orang, benda atau
peristiwa. Menurut Wayan Parthiana, kata yurisdiksi berarti kekuasaan atau
kewenangan yang dimiliki suatu badan peradilan atau badan-badan Negara
lainnya yang berdasarkan atas hukum yang berlaku. Bila yurisdiksi dikaitkan
dengan Negara maka akan berarti kekuasaan atau kewenangan Negara
untuk menetapkan dan memaksakan (to declare and to enfore) hukum yang
dibuat oleh Negara atau bangsa itu sendiri.

2
Dalam bahasa yang lebih sederhana Shaw mengemukakan bahwa
yurisdiksi adalah kompetensi atau kekuasaan hukum Negara terhadap orang,
benda dan peristiwa hukum. Yurisdiksi ini merupakan refleksi dari prinsip
dasar kedaulatan Negara, persamaan derajat Negara dan prinsip non
intervensi.

Ada tiga macam yurisdiksi yang dimiliki oleh Negara yang berdaulat
menurut John O’Brien, yaitu:
1. Kewenangan Negara untuk membuat ketentuan-ketentuan hukum
terhadap orang, benda, peristiwa maupun perbuatan di wilayah
teritorialnya (legislative jurisdiction or prescriptive jurisdiction);
2. Kewenangan Negara untuk memaksakan berlakunya ketentuan-
ketentuan hukum nasionalnya (executive jurisdiction or enforcement
jurisdiction);
3. Kewenangan pengadilan Negara untuk mengadili dan memberikan
putusan hukum (yudicial jurisdiction).

Adalah penting untuk membedakan antara ketiga yurisdiksi di atas.


Menurut Akehurst, khususnya membedakan antara yang kedua dengan yang
ketiga. Contoh enforcement jurisdiction adalah menangkap seseorang,
menyita harta kekayaan dan lain-lain. Enforcement jurisdiction menurut
Akehurst merupakan powers of physical interference exercised by the
executive. Contoh enforcement jurisdiction adalah menangkap seseorang,
menyita harta kekayaan dan lain-lain. Adapun contoh judicial enforcement
adalah persidangan yang dilakukan pengadilan suatu Negara berkaitan
dengan orang, banda maupun  peristiwa tertentu.
Bila Akehurst menekankan perbedaan antara enforcement
jurisdiction dengan judicial jurisdiction. Beberapa penulis lain seperti Martin
Dixon dan Tien Saefullah menggabungkan keduanya dalam enforcement
jurisdiction. Dengan demikian, menurut mereka keweangan Negara untuk
menetapkan ketentuan-ketentuan hukum dikenal sebagai jurisdiction to
prescribe, adapun kewenangan untuk menegakkan atau menerapkan
ketentuan hukum nasionalnya terhadap peristiwa, kekayaan danperbuatan

3
dikenal sebagai jurisdiction to enfore.

Dengan jurisdiction to prescribe Negara bebas untuk merumuskan


materi ketentuan HN-nya, juga untuk menyatakan bahwa ketentuan tersebut
berlaku secara ekstrateritorial, maka beberapa penulis lain justru
menekankan pentingnya perbedaan antara prescriptive
jurisdiction dengan enforcement jurisdiction. Kewenangan Negara untuk
menetapkan ketentuan-ketentuan hukum dikenal sebagai jurisdiction to
prescribe. Adapun berkaitan dengan jurisdiction to enforce Negara tidak
dapat secara otomatis memaksakan ketentuan hukum yang telah
dirumuskannya di luar wilayah negaranya. Hal ini dikarenakan oleh adanya
prinsip Par in parem non habet imperium yang melarang suatu Negara yang
berdaulat melakukan tindakan kedaulatan di dalam wilayah Negara lain.
Dalam kasus Lotus 1927 Mahkamah Internasional Permanen (PJIC)
dinyatakan bahwa suatu Negara tidak dapat melaksnakan segala bentuk
kekuasaannya di wilayah Negara lain.
Dengan kata lain, kecuali ditentukan lain, Negara A tiak dapat melaksanakan
yurisdiksinya di Negara B.

Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa bila Negara memiliki


kekuasaan penuh di bawah hukum internasional to prescribe jurisdiction,
namun pelaksanaan prescriptive jurisdiction tersebut terbatas hanya di
wilayah teritorialnya saja. Penggunaan kekuatan polisi, eksekusi putusan
pengadilan nasional, tidak dapat dilakukan di wilayah Negara lain, kecuali
diperjanjikan secara khusus oleh pihak-pihak terkait. Contoh yang jarang
terjadi adalah perjanjian antara UK dan Belanda 1999 yang mengizinkan
persidangan kasus Lockerbie diselenggarakan oleh Pengadilan Scotlandia,
menggunakan hukum Scotlandia, di wilayah Belanda. Kesemuanya ini
sebenarnya senada dengan yang dikemukakan oleh Muchtar
Kusumaatmadja bahwa kedaulatan Negara berakhir ketika dimlai wilayah
Negara lain. Kedaulatan Negara dibatasi oleh hukum internasional dna
kepentingan Negara lain.

4
Penerapan yurisdiksi menjadi masalah hukum internasional bila dalam
suatu kasus ditemukan unsur asing. Misalkan saja kewarganegaraan pelaku
dan/atau korban warga Negara asing., atau tempat perbuatan atau peristiwa
terjadi di luar negeri. Dalam kasus yang kompleks bisa tersangkut banyak
unsure asing, misalkan saja dalam kasus pembunuhan yang dilakukan Oki,
seorang mahasiswa WNI terhadap dua WNI lainnya dan WN India di New
York tahun 1995. Kasus ini menyangkut tiga Negara. Semua Negara
mengklaim memiliki yurisdiksi terhadap si pembunuh, tetapi hanya ada satu
Negara yang akan mengadilinya. Seorang pelaku kejahatan tentu tidak dapat
diadili untuk kedua kalinya dalam perkara dan tuntutan yang sama. Negara
tempat dimana pelaku ditemukan memiliki kesempatan terbesar untuk
menerapkan yurisdiksinya. Meskipun demikian, belum tentu Negara tersebut
mau menerapkan yurisdiksinya. Dalam kasus mahasiswa Indonesia di atas
meskipun pelaku ditangkap di New York, tetapi atas permintaan pemerintah
Indonesia, AS mengekstradisikan pelaku ke Indonesia.
Dalam kaitannya dengan klasifikasi beberapa penulis hukum
internasional telah mencoba untuk membuat beberapa kualifikasi.
Berdasarkan objeknya (hal, masalah, peristiwa, orang dan benda), yurisdiksi
Negara dibedakan menjadi yurisdiksi personal, yurisdiksi kebendaan,
yurisdiksi criminal, yurisdiksi perdata, dan yurisdiksi eksklusif. Adapun
berkaitan dengan ruang atau tempat objek atau masalah yang bukan semata
-mata masalah domestic maka yurisdiksi Negara dapat dibedakan menjai
yurisdiksi territorial, quasi territorial, ekstrateritorial, universal dan eksklusif.

2) Prinsip-Prinsip Yurisdiksi dalam Hukum Internasional

Secara garis besar yurisdiksi pengadilan (judicial jurisdiction)


mencakup perdata dan pidana. Yurisdiksi perdata adalah kewenangan
hokum pengadilan suau Negara terhadap perkara-perkara yang menyangkut
keperdataan baik yang sifatnya perdata biasa (nasional), maupun yang
bersifat perdata internasional di mana ada unsur-unsur asing dalam kasus
tersebut baik menyangkut para pihak, objek yang disengketakan maupun
tempat perbuatan dilakukan. Adapun yurisdiksi pidana adalah kewenangan
hokum pengadilan suatu Negara terhadap perkara-perkara yang menyangkut

5
kepidanaan baik yang murni nasional maupun yang terdapat unsure asing di
dalamnya.
Hukum internasional public tidak banyak membuat aturan atau
pembatasan berkaitan dengan kasus-kasus perdata internasional. Hokum
internasional public lebih memfokuskan diri pada yurisdiksi pengadilan yang
berkaitan dengan kasus-kasus pidana internasional. Sepanjang menyangkut
perkara pidana ada beberapa prinsip yurisdiksi yang dikenal dalam hokum
internasional yang dapat digunakan oleh Negara untuk mengklaim dirinya
memiliki judicial jurisdiction. Adapun prinsip-prinsip tersebut ialah:

1. Prinsip Yurisdiksi Teritorial


Menurut prinsip ini setiap Negara memiliki yurisdiksi terhadap
kejahatan-kejahatan yang dilakukan di dalam wilayah atau teritorialnya.
Dibandingkan prinsi-prinsip lain, prinsip territorial merupakan prinsip yang
tertua, terpopuler dan terpenting dalam pembahasan yurisdiksi dalam HI.
Menurut Hakim Loed Macmillan, suatu Negara harus memiliki yurisdiksi
terhadap semua orang, benda dan perkara-perkara perdata dan pidana dalam
batas-batas territorialnya sebagai pertanda Negara  tersebut berdaulat.

Pengadilan Negara di mana suatu kejahatan dilakukan memiliki


yurisdiksi terkuat dengan pertimbangan:
a. Negara dimana kejahatan dilakukan adalah Negara yang ketertiban
sosialnya paling terganggu
b. Biasanya pelaku ditemukan  Negara dimana kejahatan dilakukan
c. Akan lebih mudah menemukan saksi dan bukti-bukti sehingga proses
persidangan dapat lebih efisien dan efektif
d. Sesroang WNA yang dating ke wilayah suatu Negara dianggap
menyerahkan diri pada system HN Negara tersebut, sehingga ketika ia
melakukan pelanggaran HN di Negara yang ia datangi maka ia harus
tunduk pada hokum stempat meskipun mungkin apa yang ia lakukan
sah (lawful) menurut system HN negaranya sendiri.

Dengan demikian, ketika seorang WN Australia tertangkap basah


menyimpan dan memperjualbelikan ganja di sebuah hotel Denpasar, Bali

6
Indonesia dapat menerapkan yurisdiksi teritorialnya terhadap orang tersebut.
Meskipun penting, kuat dan popular, penerapan yurisdiksi territorial
tidaklah absolute. Ada beberapa perkecualian yang diatur dalam HI dimana
Negara tidak dapat menerapkan yurisdiksi territorialnya, meskipun suatu
peristiwa terjadi di wilayahnya, beberapa perkecualian yang dimaksud adalah
sebagai berikut:
a. Terhadap pejabat diplomatik negara asing
b. Terhadap negara dan kepala negara asing
c. Terhadap kapal publik negara asing
d. Terhadap organisasi internasional
e. Terhadap pangkalan militer negara asing.

2. Prinsip Teritorial Subjektif


Berdasarkan prinsip ini Negara memiliki yurisdiksi terhadap seseorang
yang melakukan kejahatan yang dimulai dari wilayahnya, tetapi diakhiri atau
menimbulkan kerugian di Negara lain. Didekat perbatasan wilayah Indonesia-
Malaysia, A yang berada di wilayah Indonesia menembak B yang berada di
seberang perbatasan (wilayah Malaysia). Dalam kasus ini, Indonesia
memiliki dasar untuk mengadili A berdasarkan prinsip territorial subjektif
karena A melakukan kejahatan yang dimulai dari wilayah Indonesia meskipun
kerugiannya timbul di wilayah Malaysia.

3. Prinsip Teritorial Objektif


Berdasarkan prinsip ini sutau Negara memiliki yurisdiksi terhadap
seseorang yang melakukan kejahatan yang menibulkan kerugian di
wilayahnya meskipun perbuatan itu dimulai dari Negara lain. Prinsip teritorial
objektif muncul pertama dalam kasus Lotus, dimana kapal Prancis
menabrak kapal Turki yang mengakibatkan kapal Turki tenggelam. Turki
mengklaim memiliki yurisdiksi terhadap kapal Prancis karena menderita
kerugian yang ditimbulkan oleh kapal (wilayah ekstrateriotrial) Prancis.
Dalam kasus A di atas, Malaysia juga dapat mengklaim memiliki yurisdiksi
untuk mengadili A karena telah menimbulkan kerugian yaitu tertembaknya B
di wilayah Malaysia, meskipun penembakan dilakukan A dari wilayah
Indonesia.

7
4. Prinsip Nasionalitas Aktif
Berdasarkan prinsip ini Negara memiliki yurisdiksi terhadap warga yang
melakukan kejahatan di luar negeri. Indonesia memiliki yurisdiksi untuk
mengadilil TKI yang membunuh majikannya di Arab Saudi atas dasar prinsip
ini. Dalam praktik sering terjadi klaim yang tumpang tindih dari beberapa
Negara karena pelaku kejahatan memiliki kewarganegaraan ganda.
Karenanya sangat penting bagi suatu Negara untuk membuat aturan tegas
siapa yang berhak mendapatkan kewarganegaraan di negaranya.

5. Prinsip Nasionalitas Pasif


Berdasarkan prinsip ini Negara memiliki yurisdiksi terhadap warganya
yang menjadi korban kejahatan yang dilakukan orang asing di luar negeri.
Dengan prinsip ini maka Indonesia akan memiliki yurisdiksi berdasarkan
prinsip nasionalitas pasif terhadap Philip (Warga Filipina) yang membunuh
Soni (Warga Indonesia) di Thailand. Dalam kasus US v Yunis 1989, Amerika
mengadili Yunis, warga Libanon yang dituduh terlibat pembajakan pesawat
Yordania di Timur Tengah atas dasar prinsip nasionalitas pasif. Beberapa
warga AS yang ada dalam pesawat Yordania itu menjadi korban perbuatan
Yunis.

6. Prinsip Universal
Berdasarkan prinsip ini setiap Negara memiliki yurisdiksi untuk
mengadili pelaku kejahatan internasional yang dilakukan dimanapun tanpa
memperhatikan kebangsaan pelaku maupun korban. Alasan munculnya
prinsip ini adalah bahwa pelaku dianggap orang yang sangat kejam, musuh
seluruh umat manusia, jangan sampai ada tempat untuk pelaku meloloskan
diri dari hukuman, sehingga tuntutan yang dilakukan oleh suatu Negara
terhadap pelaku adalah atas nama seluruh masyarakat internasional.
Yurisdiksi universal dalam hokum internasional bertujuan untuk
memproses fenomena pengampunan (impunity) bagi orang-orang tertentu.
Pelaku serious international crime tanpa di bawah hokum internasional yang
menikmati impunity bebas bepergian ke suatu tempat yang diinginkannya
setelah ia melakukan serious international crime tanpa bisa dimintai

8
pertanggungjawaban bahkan hanya untuk sekedar diinvestigasi.
Yurisdiksi universal adalah yurisdiksi yang bersifat unik dengan
beberapa cirri menonjol sebagai berikut:
a. Setiap Negara berhak untuk melaksanakan yurisdiksi universal. Frase
“setiap negara” mengarah hanya padanegara yang merasa bertanggung
jawab untuk turut serta secara aktif  menyelamatkan masyarakat
internasional dari bahaya yang ditimbulkan oleh serious crime,
sehingga merasa wajib untuk menghukum pelakunya. Rasa
bertanggung jawab tersebut harus dibuktikan dengan tidak adanya niat
untuk melindungi pelaku dengan memberikan safe heaven dalam
wilayah negaranya.
b. Setiap Negara yang ingin melaksanakan yurisdiksi universal tidak perlu
mempertimbangkan siapa dan berkewarganegaraan apa pelaku juga
korban dan dimana serious crime dilakukan. Dengan kata lain dapat
dikatakan tidak diperlukan titik pertautan antara Negara yang akan
melaksanakan yurisdiksinya dengan pelaku, korban dan tempat
dilakukannya kejahatan itu sendiri. Satu-satunya pertimbangan yang
diperlukan adalah apakah pelaku berada di wilayahnya atau tidak?
Tidak mungkin suatu Negara bisa melakansakan yurisdiksi universal
bia pelaku tidak berada di wilayahnya. Akan merupakan pelanggaran
hokum internasional bila Negara memaksa menangkap seseorang yang
berada di wilayah Negara lain.
c. Setiap Negara hanya dapat melaksanakan yurisdiksi universalnya
terhadap pelaku serious crime atau yang lazim disebut internastional
crime.
Berdasarkan karakteristik sebagaimana dipaparkan di atas dapat
disimpulkan bahwa pada hakikatnya yurisdiksi yang berpotensi untuk
mengisi kekosongan hokum dalam pelaksanaan yurisdiksi terhadap tindak-
tindak pidana internasional. Hakikat yurisdiksi universal berbeda dengan
yurisdiksi yang lain karena tidak memerlukan titik pertautan antara Negara
yang melaksanakan yurisdiksinya dengan pelaku, korban, dan tindak pidana
itu sendiri. Kekosongan hokum dapat diatasi dengan diberikannya wewenang
oleh hokum internasional kepada setiap Negara untuk melaksanakan
yurisdiksi universal.

9
Sebagaimana dikemukakan sebelumnya, selama ini yurisdiksi universal
hanya dapat diterapkan dalam kasus-kasus international crime menurut
hakim Supreme Court Amerika Serikat dalam Hostage Case adalah:
“an international crime is such an act universally recognized as
criminal, which is considered as agrave matter of international
concern and for some valid reason cannot be left within the state
that would have control over it under normal circumatances”
Dengan demikian, untuk menjadi international crime harus memenuhi
beberapa syarat sebagai berikut:
a. Perbuatan itu diakui universal sebagai tindak pidana, sudah dirumuskan
sebagai tindak pidana dalam semua system hokum pidana di semua
Negara. Semua Negara mengutuk (condemn) perbuatan itu dan
menentukan hukumannya yang layak.
b. Tindak pidana itu harus memenuhi criteria tertentu sebagai
international crime, yaitu bahwa pelakunya merupakan musuh umat
manusia dan tindakannya bertentangan dengan kepentingan umat
manusia sehingga penegakan hokum internasionalnya harus dilakukan,
dengan melalui hokum kebiasaan internasional maupun perjanjian
internasional, dengan menghukum pelakunya.
c. Arena sifatnya yang sangat membahayakan masyarakat internasional
maka sangat beralasan untuk tidak hanya memberikan yurisdiksi pada
suatu Negara saja yang jika dalam keadaan normal memang berhak
untuk melaksanakannya.
Hukum internasional klasik menyebutkan kejahatan perang (war crime)
dan piracy sebagai kejahatan internasional yang kepadanya dapat diterapkan
yurisdiksi universal.
Pasal 404 Restatement (Third) of the Foreign Relations Law of United
Statesmenyebutkan yurisdiksi universal diberlakukan terhadap piracy,
perdagangan budak, attack or hijacking of aircraft, genocide, war
crimes dan terrorism. ICTY memasukkan pelanggaran berat Konvensi
Jenewa 1949, pelanggaran hokum atau kebiasaan perang, genocide, dan
kejahatan kemanusiaan sebagai kejahatan internasional yang memerlukan
yurisdiksi universal. Yurisdiksi ICTR mencakup genocide, kejahatan
kemanusiaan, pelanggaran pasal 3 bersama Konvensi Geneva dan Protokol

10
Tambahan II 1977. Adapun Statuta ICC menyebutkan genocide, war crime,
kejahatan kemanusiaan dan kejahatan agresi sebagai yurisdiksinya.

7. Prinsip Perlindungan
Berdasarka prinsip ini Negara memiliki yurisdiksi trehadap orang asing
yang melakukan yurisdiksi terhadap orang asing yang melakukan kejahatan
yang sangat serius yang mengancam kepentingan vital Negara, keamanan,
integritas dan kedaulatan, serta kepentingan vital ekonomi Negara. Beberapa
contoh kejahatan yang masuk yurisdiksi perlindungan antara lain spying,
plots to overthrow the government, forging currency, immigration and
economic violation.
Meskipun dipraktikan di beberapa HN Negara seperti halnya Prancis,
Inggris, dan lain-lain termasuk Indonesia, namun prinsip ini terkadang
dipandang  sangat berbahaya karena dapat diinterpretasikan dengan sangat
luas oleh suatu Negara untuk mengadili seseorang atas dasar prinsip
perlindungan bagi negaranya. Beberapa Negara barat menggunakan prinsip
ini dalam kasus perdagangan obat-obat terlarang juga terorisme. Adapun
Indonesia menyatakan dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidananya
bahwa Indonesia memiliki yurisdiksi terhadap seseorang yang ada di luar
negeri yang melakukan tindakan mengancam dan kepentingan vital ekonomi
Indonesia.

3) Penerapan Yurisdiksi Ektrateritorial

Hukum internasional memang tidak mengatur secara detail


pembatasan-pembatasan yurisdiksi suatu Negara, kecuali apa yang telah
dikenal dalam prinsip-prinsip yurisdiksi hokum internasional, misalnya bahwa
suatu Negara tidak akan menjalankan yurisdiksinya terhadap orang, benda
atau perbuatan yang tidak ada sangkut paut dengan negaranya. Namun
demikian, seandainya  ada suatu Negara (Negara A) menyatakan bahwa
penerapan yurisdiksi dari Negara B melanggar hokum internasional, maka
Negara A harus membuktikan dimana letak pelanggaran yang telah
dilakukan Negara B.
Dalam kaitannya dengan hal ini pertanyaan yang sering muncul adalah

11
apakah suatu Negara (Negara C) bisa menerapkan yurisdiksi extraterritorial-
nya terhadap subjek hokum asing (Negara D) yang melakukan perbuatan di
luar wilayah Negara C. Yurisdiksi ekstrateritorial digunakan beberapa Negara
berlandaskan kepentingan nasional, khususnya kepentingan nasional,
khususnya kepentingan bisnis mereka. Sebagai contoh dapat dikemukakan
jika dua perusahaan asing membuat perjanjiandi luar negeri untuk
mengoordinasikan kebijakan harga barang-barang yang mereka pasarkan di
wilayah Negara X dapatkah dikatakan bahwa  perjanjian ii melanggar hokum
nasional Negara X atas dasar merugikan kepentingan Negara X.
Undang-undang anti monopoli Amerika Serikat, Sherman Act, yang
pertama kali dibuat tahun 1890 adalah contoh riil undang-undang nasional
yang menerapkan yurisdiksi ekstrateritorial. UU ini menetapkan bahwa
semua perjanjian, persekongkolan, dan konspirasi dalam pembatasan usaha
bidang perdagangan, baik di dalam maupun luar negeri, yang mencoba
memonopoli adalah bertentangan dengan hokum Amerika Serikat (AS).
Yurisdiksi ekstrateritorial mengundang controversial khususnya dari
sudut pandang yurisdiksi territorial karena tidak ada direct and immediate
link between the initiation and complection of the act sebagaimana
ditemukan dalam kasus Lotus yang menerapkan yursdiksi tertorial objektif.
Contoh kasus penggunaan yurisdiksi ekstrateritorial antara lain dalam
kasus American Banana Co. Dalam kasus ini penggugat adalah warga
Negara AS, pemilik perkebunan pisang di Costarica, sedangkan tregugat
adalah pemilik United Fruit Co. Tuntutan yang diajukan adalah bahwa
tergugat telah melanggar Sherman Act dengan cara membujuk pemerintah
Costaria untuk merampas tanah milik perkebunan Banana Co. Mahkamah
Agung AS memutuskan bahwa Sherman Act tidak dapat diterapkan terhadap
United Fruit Co atas kegiatannya yang dilakukan di luar negeri bila kegiatan
tersebut tidak melanggar hokum Costarica. Pelanggaran terhadap hokum AS
di luar negeri tidak dapat dijadikan dasar tuntutan di pengadilan AS apabila
tindakan tersebut tidka bertentangan dengan hokum nasionall dimana
perbuatan itudilakukan.
Dalam kasus Alcoa 1945, Pemerintah AS telah menggugat perusahaan
Alcoa dan aluminium Ltd berdasarkan Sherman Act dimana tergugat dituduh
telah bersekongkol dengan berbagai perusahaan asing (Swiss, Jerman,

12
Inggris) untuk menghambat perdagangan domestic maupun luar negeri AS
dalam hal produksi dan penjualan aluminium. Perkara ini sudah menjadikan
preseden yurisdiksi ekstrateritorial yang sangat popular. Pengadilan banding
AS dalam putusannya menetapkan bahwa kongres tidak dapat menerapkan
Sherman Act apabila:
1. Tidak ada maksud untuk menimbulkan akibat terhadap perdagangan
AS;
2. Tidak mempunyai akibat terhadap perdagangan AS;
Apabila kedua syarat itu terpenuhi maka Sherman Act dapat diterapkan
sekalipun kegiatannya dilakukan di luar wilayah AS.
Masih terkait dengan penerapan yurisdiksi ekstrateritorial, AS juga
menerapkaneffect doctrine melalui US anti-trust legislation. Effect
doctrine diterapkan pertama kali dalam kasus US v Aluminium Co of
America tahun 1945. Dalam kasus ini dipertanyakan apakah perusahaan
Canada dapat dimintai pertanggungjawaban di bawah US anti trust
legislation atas kebajikannya menetapkan harga barang yang mereka
pasarkan di AS. Pengadilan AS menyatakan dirinya memiliki judicial
jurisdiction terhadap perusahaan Canada tersebut atas dasar effect doctrine,
bahwa tindakan Perusahaan Canada memberikan efek, merusak persaingan
di AS.
Selain AS, penerapan yurisdiksi ekstrateritorial juga diterapkan oleh
pengadilan Eropa (ECJ) berkaitan dengan penerapan EC Competition
Law dalam kasus Wood Pulp. Dalam kasus ini muncul kontroversi seputar
dua hal menyangkut yurisdiksi ECJ dan substansi tuntutan. Dalam kasus ini
pengadilan pengadilan menetapkan bahwa lebih dari 42 supplier of wood
pulp melanggar European Community Competition Law. Perusahaan-
perusahaan tersebut 11 perusahaan AS, 6 Canada, 11 Swedia, 11 Finlandia, 1
Norwegia, 1 Spanyol, dan 1 Portugal. Perusahaan-perusahaan Non EC ini
menjual barang mereka ke Eropa lewat berbagai cara seperti agen, cabang,
dan anak perusahaan yang berada di Eropa.
Pelaksanaan yurisdiksi ekstrateritorial sering menimbulkan banyak
masalah. Investasi cabang perusahaan yang ada di luar negeri misalnya,
akan memerlukan kerja sama dari otoritas yang berwenang demikian halnya
berkaitan dengan enforcement jurisdiction putusan pengadilan. Negara lain

13
tidak memiliki kewajiban untuk membantu atau bekerja sama dengan
otoritas asing berkaitan dengan pengakuan pelaksanaan putusan asing
tersebut.

4) Bentuk Kerja Sama Antarnegara Dalam Penerapan Yurisdiksi

Kedaulatan Negara hanya dapat dilakasanakan di wilayah atau


teritorialnya dan akan berakhir ketika sudah dimulai wilayah atau teritorial
Negara lain. Meskipun suatu Negara memiliki judicial jurisdiction atau
kewenangan untuk mengadili seseorang berdasarkan prinsip-prinsip
yurisdiksi dalam hokum internasional, namun tidak begitu saja Negara dapat
melaksanakannya (enforcement jurisdiction) ketika orang tersebuut sudah
melarikan diri ke Negara lain. Demikian pula berlaku terhadap seorang
terpidana yang berhasil kabur dari tahanan, Negara tidak bisa langsung
menangkapnya lagi ketika si terpidana berhasil kabur ke luar negeri.
Untuk itulah dalam tata kra pergaulan internasional dibutuhkan permohonan
ekstradisi dari requesting State kepada Requested State. Dengan demikian,
keterbatasan kedaulatan territorial bisa dijembatani melalui kerjasama
dengan Negara-negara lainnya untuk proses penegakan hukumnya.
Keberhasilan kerjasama penegakan hokum tersebut pada umumnya tidak
akan menjadi kenyataan jika tidakada perjanjian bilateral maupun multilateral
dalam penyerahan pelaku kejahatan atau dalam kerja sama penyidikan,
penuntutan, dan peradilan. Prasyarat perjanjian tersebut tidak bersifat
mutlak karena tanpa ada perjanjian itupun kerjasama penegakan hukum
dapat dilaksnakan berlandaskan asas resiprositas (timbal balik).
Kerjasama penerapan yurisdiksi atau penegakan hukum yang tertua
adalah ekstradisi kemudian diikuti kerjasama penegakan hukum lainnya
seperti, dengan “mutual assistance” (MLAT’s); “transfer of sentenced
person” (TSP); “transfer of criminal proceedings” (TCP), dan “joint
investigation” serta “handing over”.
Pemerintah Indonesia telah memiliki “undang-undang payung”
(umbrella act) untuk ekstradisi dengan undang-undang Nomor 1 Tahun 1979
tentang Ekstradisi, dan untuk kerja sama penyidikan dan penuntutan,
termasuk pembekuan dan penyitaan asset, dengan Undang-undang No 1

14
Tahun 2006 tentang Bantuan Timbal Balik dalam Masalah Pidana (mutual
assistance in criminal matters).
Perbedaan kedua bentuk perjanjian kerja sama penegakan hokum
tersebut adalah, bahwa perjanjian ekstradisi untuk tujuan penyerahan orang
(pelaku kejahatan), sedangkan perjanjian MLTA’s untuk tujuan perbantuan
dalam proses penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang peradilan
pidana termasuk pengusutan, penyitaan dan pengembalian asset hasil
kejahatan. Permintaan penyerahan pelaku kejahatan (ekstradisi) tidak serta
merta merupakan pengembalian aset hasil kejahatan yang dibawa pelaku
kejahatan yang bersangkutan. Kedua bentuk perjanjian tersebut harus saling
melengkapi dan bukan dilihat secara terpisah. Hal ini berarti permintaan
ekstradisi wajib dilengkapi dengan permintaan bantuan timbal balik dalam
masalah pidana terutama pengusutan dan pengembalian aset kejahatan dari
pelaku kejahatan yang bersangkutan.
Ekstradisi menurut pasal 1 UU 1/1979 tentang Ekstradisi adalah
penyerahan oleh suatu Negara kepada Negara yang meminta penyerahan
seseorang yang disangka atau dipidana karena melakukan suatu tindak
pidana di luar wilayah yang menyerahkan dan di dalam yurisdiksi wilayah
Negara yang meminta penyerahan tersebut. Pengertian ini pada dasarnya
sama dengan pengertian yang terdapat dalam Black Law Dictionary yaitu the
surrender by one state or country to anotherof an individual accused or
convicted of an offense outside its own territory and within the territorial
jurisdiction of the other, which, being competent to try and punish him,
demand the surrender. Senada dengan pengertian tersebut I Wayan Pathiana
menegaskan bahwa Ekstradisi adalah penyerahan secara formal
berdasarkan perjanjian, prinsip resirositas/hubungan baik antarnegara. Atas
seseorang (tersangka, terrtuduh, terdakwa, terpidana) oleh Negara. Tempat
orang tersebut melarikan diri/bersembunyi (Requested State) kepada Negara
yang memiliki yurisdiksi untuk mengadili hukumnya atas permintaan dari
Negara tersebut (Requesting State) dengan tujuan untuk diadili atau
dilaksanakan hukumnya. Dari pengertian-pengertian di atas dapat
disimpulkan bahwa ekstradisi adalah penyerahan secara formal seseorang
baik dalam statustersangka, terdakwa, atau trepidana dari Negara diminta ke
Negara yang meminta untuk diadili atau dilaksanakan hukumannya.

15
Ekstradisi dapat dilakukan melalui perjanjian maupun atas dasar hubungan
baik kedua Negara.
Perjanjian ekstradisi sangat dibutuhkan saat ini seiring dengan
meningkatnya kualitas maupun kuantitas kejahatan khususnya kejahatan
transnasional dan terorisme. Keberadaan istrumen hukum internasional ini
sangat bermanfaat untuk meningkatkan jangkauan da kemampuan
penegakan hokum pidana nasional secara umum.
Perjanjian ekstradisi tumbuh dari praktik Negara-negara yang kemudian
menjadi hokum kebiasaan internasional. Pada umunya perjanjian-perjanjian
ekstradisi akan memuat sebagai prinsip-prinsip berikut:
1. Prinsip kejahatan ganda (double criminal)
2. Prinsip kekhususan/spesialitas
3. Prinsip tidak menyerahkan pelaku kejahatan politik
4. Prinsip tidak menyerahkan WN sendiri
5. Prinsip Ne bis in idem
6. Prinsip kadaluwarsa
Prinsip-prinsip di atas sudah terwadahi dalam instrumen hukum
nasional yaitu UU No. 1/1979 tentang ekstradisi. Disamping hukum nasional
yang bersumberkan pada hukum internasional, saat ini PBB juga sudah
mengeluarkan instrumen khusus yang menjadi panduan dalam pembuatan
perjanjian ekstradisi yaitu Model Treaty on Extradition. Model ini bisa
diterapkan baik dalam perjanjian bilateral maupun internasional.

16
SESI TANYA JAWAB :

Pertanyaan dari kk veni


Contoh kasus:
Bagas melakukan perbuatan tindak pidana di negara A. Menurut hukum yg
berlaku di negara A tindak pidana yg dilakukan oleh Bagas dikenai sanksi
hukuman mati. Mengetahui hal ini Bagas kemudian kabur ke negara B.
Negara A melakukan ekstradisi kepada Negara B perihal supaya Bagas
dikembalikan ke negara A. Namun ekstradisi tersebut ditolak oleh negara B
dikarenakan menurut hukum yg berlaku di negara mereka, tindak pidana yg
dilakukan oleh Bagas tidak harus dikenakan sanksi pidana mati.
Soal:
Apa yg harus dilakukan oleh negara A mengenai kasus tersebut?
Jawaban : maka bentuk penangkapan terhadap pelaku kejahatn
tersebut harus di lakukan oleh negara B namun negara A harus melakukan
hubungan diplomatik untuk memproses penangkapan terhadap pelaku
kejahatan agar si pelaku kejahatan di deportasi ke negara A, jadi bentuk
yurisdiksi hukum nya kedua negara harus melakukan hubungan diplomatik
karena setiap negara memiliki kedaulatan nya masing- masing.

Pertanyaan dari abang romi


Salah satu contoh bentuk yuridiksi negara dalam hukum internasional ?
Jawaban yurisdiksi, kewenangan suatu negara untuk menerapkan
hukum nasionalnya, karena suatu negara memiliki kedaulatan atas wilayah
daratan, udara, lautan dan ekstrateritorialnya sehingga negara dapat
menerapkan hukum nasionalnya ketika terjadi pelanggaran di batas wilayah
suatu negara yg sudah terbentuk dalam perjanjian Internasional.

17
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan

Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa bila Negara memiliki


kekuasaan penuh di bawah hukum internasional to prescribe jurisdiction,
namun pelaksanaanprescriptive jurisdiction tersebut terbatas hanya di
wilayah teritorialnya saja. Penggunaan kekuatan polisi, eksekusi putusan
pengadilan nasional, tidak dapat dilakukan di wilayah Negara lain, kecuali
diperjanjikan secara khusus oleh pihak-pihak terkait. Contoh yang jarang
terjadi adalah perjanjian antara UK dan Belanda 1999 yang mengizinkan
persidangan kasus Lockerbie diselenggarakan oleh Pengadilan Scotlandia,
menggunakan hukum Scotlandia, di wilayah Belanda. Kesemuanya ini
sebenarnya senada dengan yang dikemukakan oleh Muchtar
Kusumaatmadja bahwa kedaulatan Negara berakhir ketika dimlai wilayah
Negara lain. Kedaulatan Negara dibatasi oleh hukum internasional dan
kepentingan Negara lain.
Dalam kaitannya dengan klasifikasi beberapa penulis hukum
internasional telah mencoba untuk membuat beberapa kualifikasi.
Berdasarkan objeknya (hal, masalah, peristiwa, orang dan benda), yurisdiksi
Negara dibedakan menjadi yurisdiksi personal, yurisdiksi kebendaan,
yurisdiksi criminal, yurisdiksi perdata, dan yurisdiksi eksklusif. Adapun
berkaitan dengan ruang atau tempat objek atau masalah yang bukan semata
-mata masalah domestic maka yurisdiksi Negara dapat dibedakan menjai
yurisdiksi teritorial, quasi territorial, ekstrateritorial, universal dan eksklusif.
Secara garis besar yurisdiksi pengadilan (judicial jurisdiction)
mencakup perdata dan pidana. Hokum internasional public lebih
memfokuskan diri pada yurisdiksi pengadilan yang berkaitan dengan kasus-
kasus pidana internasional. Sepanjang menyangkut perkara pidana ada
beberapa prinsip yurisdiksi yang dikenal dalam hukum internasional yang
dapat digunakan oleh Negara untuk mengklaim dirinya memiliki judicial
jurisdiction.

18
Adapun prinsip-prinsip tersebut ialah:
1. Prinsip yurisdiksi teritorial
2. Prinsip teritorial subjektif
3. Prinsip territorial objektif
4. Prinsip nasionalitas aktif
5. Prinsip nasionalitas pasif
6. Prinsip universal

Saran
Dari uraian di atas, secara singkat dapat dikemukakan disini bahwa
masih ada rasa was-was atau perasaan belum yakin untuk mengandalkan
secara penuh yurisdiksi Negara dalam Hukum Internasional. Perbaikan
penegakan hukum, SDM, perubahan kultur harus terus-menerus dibenahi.
Selagi pembenahan berjalan, tampaknya dewasa ini upaya-upaya yang
efektif untuk menerapkan yurisdiksi Negara dalam hukum
internasional adalah agar para pihak mencoba dengan sungguh-sungguh
supaya hal tersebut dapat diterapkan dengan baik dan sesuai aturan hukum
yang berlaku.

19
Daftar Pustaka

Sefriani. (2014). Hukum Internasional Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali


Press.
https://www.academia.edu/22377894/Makalah_Yurisdiksi_Negara_dalam_H
ukum_Internasional

20

Anda mungkin juga menyukai